PERSEPSI PERILAKU DUKUNGAN SOSIAL MENURUT KAUM HOMOSEKSUAL
Studi Pada Mahasiswa Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Ni Luh Putu Rika Ayu Wulandari
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi kaum homoseksual terhadap perilaku dukungan sosial. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh perlakuan diskriminatif dan stigma negatif yang diberikan oleh masyarakat terhadap kaum homoseksual. Kaum homoseksual seharusnya berhak mendapatkan perlakuan yang sama dengan masyarakat lain karena homoseksualitas bukan merupakan sebuah abnormalitas di dalam DSM IV. Fokus dari penelitian ini adalah mencari perilaku-perilaku yang dipersepsi oleh kaum homoseksual sebagai perilaku dukungan sosial. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif fenomenologi sebagai metode penelitian. Penelitian fenomenologi ini merujuk kepada suatu pengalaman dari berbagai informan yang memiliki jenis dan tipe berbeda sehingga memiliki pengalaman informantif yang bisa jadi berbeda-beda. Dalam penelitian ini, peneliti berusaha mendapatkan dan memahami arti suatu peristiwa yang dialami oleh informan penelitian serta hubungan-hubungannya terhadap orang lain yang berada di dalam situasi tertentu. Informan dari penelitian ini adalah empat orang homoseksual yang terdiri dari dua orang gay dan dua orang lesbian. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara semi terstruktur kepada para informan penelitian. Validitas hasil penelitian dilakukan dengan member member checking dimana hasil penelitian sudah dianggap akurat dari sudut pandang peneliti, partisipan dan pembaca secara umum. Hasil penelitian ini menunjukkan ada kesamaan persepsi mengenai dukungan sosial yang terdiri atas empat perilaku. Perilaku tersebut adalah dihargai pilihannya sebagai homoseksual, tidak didiskriminasi menurut orientasi seksualnya, diberikan saran ketika ada masalah dan dibiarkan untuk menjadi homoseksual. Dari perilaku tersebut, ditemukan bahwa kaum homoseksual memiliki kebutuhan dukungan sosial yang serupa dengan masyarakat pada umumnya. Terdapat empat sumber dukungan sosial menurut persepsi informan, yaitu teman, keluarga, teman homoseksual, dan orang yang tidak bergitu dikenal atau orang asing. Dilihat dari sumber pemberi dukungan sosial, semua informan menyatakan bahwa teman merupakan pemberi dukungan yang paling banyak dibandingkan dengan sumber yang lain. Dari hasil ini bisa dilihat suatu pola bahwa persepsi dukungan sosial dipengaruhi oleh sumber pemberi dukungan sosial. Semakin dalam ikatan emosional informan dengan sumber pemberi, semakin tinggi tuntutan informan dalam hal dukungan sosial.
PERCEPTION OF SOCIAL BEHAVIOR SUPPORT ACCORDING TO THE HOMOSEXUALS
Study in Psychology in Sanata Dharma University
Ni Luh Putu Rika Ayu Wulandari
Abstract
This study aims to determine the perception of homosexuals to behavior of social support. This research is motivated by discriminatory treatment and negative stigma that society places against homosexuals. Homosexuals should be treated equally with the other communities because homosexuality is not an abnormality in the DSM IV. The focus of this study is to look for behaviors perceived by homosexuals as social support behavior. This research uses qualitative research phenomenology as a research method. This phenomenological study refers to an experience from various informants who have different types and types that have different informative experiences. In this study, researchers sought to obtain and understand the meaning of an event experienced by studied informants as well as relationships to other people who are in certain situations. Informants of this study are four people consisting of two gays and two lesbians. Data were collected by semi-structured interviews to the researched informants. The validity of the results of research carried out by "member checking" where the research is considered accurate from the perspective of the researcher, participants and readers in general. The results showed there was a common perception of the social support of four behaviors. Such as to be respected as a homosexual, not to be discriminated against their sexual orientation, allowed to be given advices when they have problems and allowed to be homosexual. By taking
conclusions of these behaviors, found that homosexual’s needs of social support are similar to
the public at large. There are four sources of social support as perceived by informants, friends, family, homosexual friends, and acquaintance or a stranger. Judging from the source provider of social support, all of the informants stated that a friend is giving most support compared with other sources. This can be seen from the results of a pattern that the perception of social support is influenced by the source of social support providers. The deeper the emotional bond with the source, the higher the informants demands in social support.
HOMOSEKSUAL
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun oleh
Ni Luh Putu Rika Ayu Wulandari
109114055
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
iv
HALAMAN MOTTO
Homosexuality is assuredly no advantage, but it is nothing to be ashamed of, no
vice, no degradation, it cannot be classified as an illness; we consider it to be
variation of the sexual function produced by a certain arrest of sexual
development
-Sigmund Freud-
Tak ada yang lebih baik bagi manusia dari pada makan dan minum dan
bersenang-senang dalam jerih payahnya. Aku menyadari bahwa inipun dari
tangan Allah
-Pengkhotbah 2:24-
It’s not the future that you’re afraid of. It’s repeating the past that makes
you
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Karya ini kupersembahkan kepada:
Tuhan Yesus Kristus atas segala berkat dan perlindungannya di dalam
hidupku
Mama, Papa, Ito, Tio yang selalu mendukung dengan sepenuh hati di saat
suka dan duka
Almh. Eyang Soepartini Soengkowo
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak
memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang disebutkan dalam
kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 19 Mei 2015
Peneliti,
vii
PERSEPSI PERILAKU DUKUNGAN SOSIAL MENURUT KAUM HOMOSEKSUAL
Studi Pada Mahasiswa Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Ni Luh Putu Rika Ayu Wulandari
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi kaum homoseksual terhadap perilaku dukungan sosial. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh perlakuan diskriminatif dan stigma negatif yang diberikan oleh masyarakat terhadap kaum homoseksual. Kaum homoseksual seharusnya berhak mendapatkan perlakuan yang sama dengan masyarakat lain karena homoseksualitas bukan merupakan sebuah abnormalitas di dalam DSM IV. Fokus dari penelitian ini adalah mencari perilaku-perilaku yang dipersepsi oleh kaum homoseksual sebagai perilaku dukungan sosial. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif fenomenologi sebagai metode penelitian. Penelitian fenomenologi ini merujuk kepada suatu pengalaman dari berbagai informan yang memiliki jenis dan tipe berbeda sehingga memiliki pengalaman informantif yang bisa jadi berbeda-beda. Dalam penelitian ini, peneliti berusaha mendapatkan dan memahami arti suatu peristiwa yang dialami oleh informan penelitian serta hubungan-hubungannya terhadap orang lain yang berada di dalam situasi tertentu. Informan dari penelitian ini adalah empat orang homoseksual yang terdiri dari dua orang gay dan dua orang lesbian. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara semi terstruktur kepada para informan penelitian. Validitas hasil penelitian dilakukan dengan member member checking dimana hasil penelitian sudah dianggap akurat dari sudut pandang peneliti, partisipan dan pembaca secara umum. Hasil penelitian ini menunjukkan ada kesamaan persepsi mengenai dukungan sosial yang terdiri atas empat perilaku. Perilaku tersebut adalah dihargai pilihannya sebagai homoseksual, tidak didiskriminasi menurut orientasi seksualnya, diberikan saran ketika ada masalah dan dibiarkan untuk menjadi homoseksual. Dari perilaku tersebut, ditemukan bahwa kaum homoseksual memiliki kebutuhan dukungan sosial yang serupa dengan masyarakat pada umumnya. Terdapat empat sumber dukungan sosial menurut persepsi informan, yaitu teman, keluarga, teman homoseksual, dan orang yang tidak bergitu dikenal atau orang asing. Dilihat dari sumber pemberi dukungan sosial, semua informan menyatakan bahwa teman merupakan pemberi dukungan yang paling banyak dibandingkan dengan sumber yang lain. Dari hasil ini bisa dilihat suatu pola bahwa persepsi dukungan sosial dipengaruhi oleh sumber pemberi dukungan sosial. Semakin dalam ikatan emosional informan dengan sumber pemberi, semakin tinggi tuntutan informan dalam hal dukungan sosial.
viii
PERCEPTION OF SOCIAL BEHAVIOR SUPPORT ACCORDING TO THE HOMOSEXUALS
Study in Psychology in Sanata Dharma University
Ni Luh Putu Rika Ayu Wulandari
Abstract
This study aims to determine the perception of homosexuals to behavior of social support. This research is motivated by discriminatory treatment and negative stigma that society places against homosexuals. Homosexuals should be treated equally with the other communities because homosexuality is not an abnormality in the DSM IV. The focus of this study is to look for behaviors perceived by homosexuals as social support behavior. This research uses qualitative research phenomenology as a research method. This phenomenological study refers to an experience from various informants who have different types and types that have different informative experiences. In this study, researchers sought to obtain and understand the meaning of an event experienced by studied informants as well as relationships to other people who are in certain situations. Informants of this study are four people consisting of two gays and two lesbians. Data were collected by semi-structured interviews to the researched informants. The validity of the results of research carried out by "member checking" where the research is considered accurate from the perspective of the researcher, participants and readers in general. The results showed there was a common perception of the social support of four behaviors. Such as to be respected as a homosexual, not to be discriminated against their sexual orientation, allowed to be given advices when they have problems and allowed to be homosexual. By taking
conclusions of these behaviors, found that homosexual’s needs of social support are similar to
the public at large. There are four sources of social support as perceived by informants, friends, family, homosexual friends, and acquaintance or a stranger. Judging from the source provider of social support, all of the informants stated that a friend is giving most support compared with other sources. This can be seen from the results of a pattern that the perception of social support is influenced by the source of social support providers. The deeper the emotional bond with the source, the higher the informants demands in social support.
ix
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertandatangan dibawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma
Nama : Ni Luh Putu Rika Ayu Wulandari
Nomor Mahasiswa : 109114055
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah yang berjudul:
Persepsi Perilaku Dukungan Sosial Menurut Kaum Homoseksual
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan
kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan,
mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain
untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun
memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
peneliti.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta,
Pada tanggal : 19 Mei 2015
Yang menyatakan,
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan setinggi-tingginya terhadap tritunggal Bapa,
Putera dan Roh Kudus karena hanya oleh rahmat dan berkat-Nya, penulis bisa
menyelesaikan penelitian ini. Penelitian dengan judul Persepsi Dukungan Sosial
pada Homoseksual ini disusun untuk memperoleh gelar sarjana psikologi (S.Psi)
dari Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Dalam proses pengerjaan penelitian ini, penulis dibantu dan didukung oleh
banyak pihak. Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya, penulis haturkan
kepada :
1. Bapak Dr. Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi.
2. Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si. selaku Kaprodi Fakultas Psikologi.
3. Bapak C. Wijoyo Adinugroho, M.Psi, Psi selaku dosen pembimbing yang
telah membimbing penulis dari awal pengerjaan penelitian ini. Terimakasih
atas dukungan dan pengarahannya yang sangat membantu penulis.
4. Bapak C. Siswa Widyatmoko, M.Psi dan Y. B. Cahya Widyanto, M.Si
selaku dosen penguji yang sudah memberikan masukan yang berarti dalam
hasil penelitian ini.
5. Ibu Dra. Lusia Pratidarmanastiti, M.S. selaku dosen pembimbing akademik
atas waktu dan dukungannya.
6. Jajaran dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang sudah
membantu setiap proses yang dijalani oleh penulis dalam melakukan
kegiatan belajar mengajar. Terimakasih banyak atas ilmu dan bimbingannya
selama penulis menjadi mahasiswa.
7. Staf dan karyawan di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang
sangat suportif dalam membantu serta melayani penulis di dalam setiap
dinamika yang penulis lakukan.
8. Dr. I Gede Oka Subagia, M. Hum, dr. Lipur Riyantiningtyas B.S., S.H.,
xi
saudara yang sudah memberikan dukungan secara material dan emosional
dalam penyelesaian penelitian ini.
9. Teman-teman seperjuangan “Road to S.Psi”, Anin, Sondra, Tari, Sheilla,
Astrid dan Rosari. Banyak terimakasih diucapkan atas semangat dan
dukungannya selama ini.
10. Teman-teman yang menemani penulis dalam mengerjakan penelitian; Pino,
cik Fani, mbok Ayu, Ajeng Wijayanti, Raaf Muerthe Thierry. Terimakasih
sebanyak-banyaknya untuk waktu dan kesediannya.
11. P2TKP crews, Pak Toni, Mbak Thia, Pak Tius, Suster Wina, Pak Landung,
Mbak Diah, Anju, Lito, Bella, Lukas, Ardi, Pudar, Christy, Natasya, Ester,
Stanis, Retha, Cia, Lenny, Jejes, Tiara, Pipit, Estu, Dimas, Sasha. Terkhusus
untuk Bianca, cik Grace, Yovino, Wuri dan Fiona yang selalu menemani dan mendukung dalam pengerjaan skripsi di “ruang sebelah”.
12. Teman-teman kelompok “Menuju S.Psi” yang berada di bawah bimbingan
Pak Adi. Regina, Vica, Vita, Ika, Vincent, Surya, Mbak Dinda, Aldo, Mimi
dan yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terimakasih atas dukungan dan
semangatnya, serta bantuan-bantuannya yang sangat membantu.
13. Teman-teman Psikologi 2010, Masdha FM 2010, PPK Sih Nugroho, SIM
Corner Ramai Mall, dan teman-teman yang tidak bisa penulis sebutkan
satu-satu yang telah membantu dan mendukung.
14. Informan P, A, R dan T yang telah memberikan kesediaan dan waktunya
sehingga bersedia untuk menjadi informan dalam penelitian ini.
Yogyakarta, 11 Juni 2015
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
HALAMAN PERNYATAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ...viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABEL ...xvi
DAFTAR SKEMA ...xvii
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 7
D. Manfaat Penelitian ... 7
1. Manfaat Teoritis ... 7
2. Manfaat Praktis ... 7
xiii
A. Homoseksual ... 8
1. Pengertian Homoseksual ... 8
2. Penyebab Homoseksual ... 10
3. Klasifikasi Homoseksual ... 13
4. Komponen dari Homoseksualitas ... 13
5. Masalah-Masalah Kaum Homoseksual ... 14
a. Kesehatan ... 14
b. Sosial ... 14
c. Psikologis ... 15
B. Homoseksual di Masa Dewasa... 16
1. Fase Dewasa ... 16
2. Homoseksual di Fase Dewasa ... 16
C. Dukungan Sosial ... 17
1. Pengertian Dukungan Sosial ... 17
2. Macam-Macam Dukungan Sosial ... 19
3. Manfaat Dukungan Sosial ... 21
D. Persepsi ... 21
1. Pengertian Persepsi ... 21
2. Faktor-Faktor Penentu Persepsi ... 22
E. Persepsi Dukungan Sosial ... 23
F. Persepsi Dukungan Sosial pada Homoseksual ... 25
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 29
A. Jenis Penelitian ... 29
B. Fokus Penelitian ... 30
C. Informan Penelitian ... 30
D. Prosedur Penelitian... 31
E. Metode Pengumpulan Data ... 32
1. Wawancara ... 32
F. Analisis Data ... 34
xiv
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 38
A. Proses Pengambilan Data ... 38
1. Proses Penelitian ... 38
2. Proses Pengambilan Data ... 39
3. Identitas Informan ... 41
B. Hasil Penelitian ... 44
1. Latar Belakang Informan ... 44
2. Persepsi Dukungan Sosial menurut Informan ... 43
a. Informan 1 ... 46
b. Informan 2 ... 51
c. Informan 3 ... 54
d. Informan 4 ... 59
3. Hasil Persepsi Dukungan Sosial ... 63
a. Dukungan Emosional ... 63
b. Dukungan Instrumental ... 65
c. Dukungan Informasi ... 65
d. Dukungan Pertemanan ... 66
e. Dukungan Lain ... 67
4. Pembahasan ... 70
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN. ... 82
A. Kesimpulan ... 82
B. Saran ... 84
1. Bagi Masyarakat... 84
2. Bagi Peneliti Lain ... 84
DAFTAR PUSTAKA ... 86
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 1 : Panduan Pertanyaan ...33
Tabel 2 : Keterangan Koding ...35
Tabel 3 : Jadwal Pengambilan Data ...40
xvi
DAFTAR SKEMA
Skema 1 : Alur Berpikir ...28
Skema 2 : Ringkasan Hasil Penelitian Informan 1 ...50
Skema 3 : Ringkasan Hasil Penelitian Informan 2 ...53
Skema 4 : Ringkasan Hasil Penelitian Informan 3 ...58
Skema 5 : Ringkasan Hasil Penelitian Informan 4 ...61
Skema 6 : Ringkasan Hasil Penelitian Keempat Informan ...62
1
BAB I
LATAR BELAKANG
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Orang lain akan lebih mudah menerima individu yang memiliki
orientasi seksual berlainan jenis kelamin (heteroseksual) dibandingkan
dengan individu yang memiliki orientasi seksual pada jenis kelamin yang
sama (homoseksual). Hal ini bisa disebabkan oleh kurangnya pengakuan dan
penerimaan masyarakat pada individu dengan orientasi seksual sejenis
(Dessy, 2012). Dalam bukunya, Mikulincer dan Shaver (2007)
mengungkapkan bahwa individu yang memiliki orientasi seksual sejenis
kurang mampu untuk menerima orientasi seksualnya. Kurangnya penerimaan
tersebut disebabkan karena kaum homoseksual merasa mendapatkan tekanan
dari lingkungan untuk menjadi sama atau normal sesuai dengan pandangan
masyarakat meskipun tidak sesuai dengan kepercayaan, values dan kemauan
pada dirinya. Hal ini sesuai dengan salah satu definisi normalitas yang
menyebutkan bahwa sesuatu dianggap normal jika diterima oleh masyarakat
dan sesuatu dianggap normal jika sesuai dengan suara atau pendapat yang
terbanyak.
Sebagai kaum minoritas, homoseksual menghadapi beberapa stressor
dari lingkungannya seperti rasa malu, kebingungan identitas, ketakutan,
penolakan dari lingkungan dan penyiksaan (Diamond, Jurgensen & White.,
tahun 2001 (dalam Peplau & Fingerhut, 2007) menemukan bahwa 74% kaum
homoseksual dilaporkan mendapatkan perlakuan diskriminatif karena
orientasi seksualnya. Selain itu, 34% kaum homoseksual menerima penolakan
dari anggota keluarganya mengenai orientasi seksualnya.
The Indonesia Survey Circle (2001) di dalam web
http://www.touchmagz.com/2012/11/tetangga-gay-di-indonesia.html?zx=4b6bb167278ff305 meneliti bahwa terdapat peningkatan
penolakan atau intoleransi terhadap kaum homoseksual. Pada tahun 2005,
terdapat 64,7% dari populasi masyarakat di Indonesia yang melakukan
penolakan atau intoleransi terhadap homoseksual. Pada tahun 2012, terdapat
peningkatan sebanyak 15,9% sehingga penolakan atau intoleransi masyarakat
terhadap homoseksual mencapai 80,6% dari total populasi masyarakat di
Indonesia. Selain itu, salah satu bentuk nyata penolakan kaum LGBT
(Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender) di Indonesia adalah ancaman yang
dilakukan oleh FUI (Front Umat Islam) terhadap seminar LGBT yang
rencananya akan dilaksanakan oleh Fakultas Psikologi, Universitas Sanata
Dharma pada tanggal 27 September 2014
(
http://www.merdeka.com/peristiwa/ini-alasan-fui-diy-ancam-bubarkan-seminar-lgbt-di-sanata-dharma.html)
Selain itu, dalam artikel di VOA (Voice of America) di dalam web
http://www.voaindonesia.com/content/indonesia-termasuk-paling-tidak-toleran-terhadap-homoseksualitas/1675468.html pada Desember 2013
toleransi yang rendah terhadap kaum homoseksual. 93% dari 1.000 warga
Indonesia berusia dewasa yang dijadikan sampel mengatakan bahwa kaum
gay tidak seharusnya diterima. Dua negara lain yang memiliki toleransi
rendah terhadap kaum homoseksual adalah Malaysia dan Pakistan yang sudah
melarang praktik sesama jenis melalui undang-undang.
Penolakan terhadap kaum homoseksual sering kali didasari pada
orientasi seksual mereka yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya.
Sering kali masyarakat menganggap homoseksualitas sebagai suatu penyakit
yang menular sehingga layak untuk dijauhi. Hal ini didukung oleh American
Psychiatric Association (APA) yang mengeluarkan buku Diagnostic and
Statistical of Mental Disorder (DSM) yang pertama. Di dalam DSM terdapat
diagnosis bahwa homoseksualitas merupakan salah satu dari daftar
abnormalitas khususnya pada sociopathic personality disturbances. Seiring
berjalannya waktu, pada tahun 1957, Hooker, untuk pertama kalinya, mulai
mempertanyakan keabnormalan dari homoseksualitas. Pada akhirnya, di
tahun 1975, APA menyatakan bahwa homoseksual bukanlah penyakit mental
(Guidelines for Psychotherapy with Lesbian, Gay, Bisexual Client,
www.apa.org).
Pernyataan bahwa homoseksualitas bukan penyakit mental memiliki
berbagai alasan. Hooker (1957 dalam www.apa.org) menemukan bahwa tidak
ada perbedaan pada respon di dalam tes proyektif antara sampel non klinikal
yang memiliki orientasi seksual sejenis maupun yang memiliki orientasi beda
heteroseksual dalam kemampuan kognitif (Tuttle & Pillard, 1991),
psychological well-being dan self-esteem (Coyle, 1993; Herek, 1990;
Savin-Williams, 1990). Jika ada perbedaan fungsi psikologis antara homoseksual
dan heteroseksual, bisa jadi dipengaruhi oleh efek tekanan dan stigma yang
diperoleh dari masyarakat berdasarkan orientasi seksualnya (Guidelines for
Psychotherapy with Lesbian, Gay, Bisexual Client, www.apa.org).
Penolakan yang diterima oleh kaum homoseksual akan mempengaruhi
perkembangan psikologis ke arah yang lebih buruk dan memperbesar
kemungkinan untuk mengalami distress (Mays & Cochran 2001; Meyer 1995,
2003 dalam Peplau & Fingerhut, 2007). Penolakan dari lingkungan yang
berkepanjangan terhadap kaum homoseksual, jika tidak mampu diatasi
dengan baik, maka akan menimbulkan dampak negatif seperti terjadinya
konflik, kecemasan dan perasaan frustasi (Kusumastuti, 2002). Selain itu,
penolakan yang berkepanjangan dari figur yang lekat seperti sosok pengasuh,
keluarga dan masyarakat sekitar akan mengganggu harga diri dan value
personal yang stabil dan kuat (Milkulincer & Shaver, 2007). Dalam sebuah
penelitian, ditemukan bahwa kaum homoseksual yang tidak diterima oleh
keluarganya akan memiliki tingkat depresi dan keinginan untuk bunuh diri
yang lebih besar daripada yang diterima oleh keluarganya (Ryan, Rusell,
Huebner, Diaz & Sanchez, 2010).
Untuk menangani kondisi psikologis tersebut, dibutuhkan dukungan
sosial terhadap homoseksual. Hal ini sejalan dengan penelitian yang
antara dukungan sosial dengan coping stress. Selain itu dukungan sosial yang
tinggi dapat menyebabkan kebermaknaan hidup yang tinggi (Astuti &
Budiyani), penyesuaian diri (Wibawati, 2013), rendahnya tingkat stress
(Anggoro, 2011), dan rendahnya kecemasan (Buntoro, 2005).
Di dalam Guidelines for Psychotherapy with Lesbian, Gay, Bisexual
Client yang diterbitkan oleh APA, seorang psikolog tidak diperkenankan
untuk melakukan diskriminasi yang tidak adil berdasarkan orientasi seksual
di dalam aktifitas pekerjaan. Namun pada kenyataannya, tidak banyak
informasi yang ada mengenai macam perilaku dukungan sosial yang
dibutuhkan oleh kaum homoseksual. Kurangnya informasi ini bisa membuat
orang-orang yang ingin memberikan dukungan sosial merasa tidak enak hati
dalam menyampaikan dukungan sosialnya. Perasaan ini muncul apabila
individu memiliki ketakutan bahwa dukungan sosial yang diberikannya akan
dipersepsi dengan tidak benar oleh kaum homoseksual. Dukungan sosial yang
diberikan kepada kaum homoseksual akan memiliki hasil yang baik dan
menjadi bantuan apabila kaum homoseksual tersebut merasa mendapatkan
dukungan dari orang lain. Hal ini sejalan dengan definisi persepsi yaitu
sebagai cara manusia menangkap rangsangan (Sobur, 2003). Rangsangan
yang diterima oleh individu akan diorganisasi dan diinterpretasi sehingga
dapat rangsangan tersebut dapat disadari (Walgito, 2003). Penerimaan
dukungan sosial dapat dipersepsikan berbeda-beda oleh kaum homoseksual
karena adanya perbedaan dalam memaknai dan menilai sesuatu yang diterima
diberikan oleh kaum homoseksual bisa dipersepsikan menjadi sesuatu hal
yang menyakiti bila dipersepsi secara negatif.
Di samping itu, penelitian mengenai persepsi dukungan sosial
khususnya pada kaum homoseksual tidak banyak ditemui. Jikapun ada,
penelitian dilakukan dengan metode kuantitatif. Selain itu penelitian ini
digunakan untuk menggali lebih dalam mengenai konsep persepsi dukungan
sosial pada heteroseksual ketika diaplikasikan pada homoseksual. Penelitian
ini juga menjawab saran dari penelitian yang dilakukan oleh Larasati (2012)
yang mengatakan bahwa agar dilakukan penelitian mengenai persepsi
dukungan sosial pada homoseksual yang menggunakan dimensi-dimensi
persepsi terhadap dukungan sosial. Pada penelitian yang dilakukan Angelie
(2013) juga memberikan saran untuk menggunakan dimensi dukungan sosial
dari ahli selain Sarason (1983) dan lebih spesifik untuk mengungkapkan
dimensi jenis dukungan sosial yang diterima. Angelie juga menambahkan
untuk menggunakan metode wawancara dalam penelitian selanjutnya.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa banyaknya
penolakan yang diterima oleh kaum homoseksual secara tidak langsung
membuat dukungan sosial yang diterimanya menjadi terbatas. Sebagai
individu yang ingin memberikan dukungan sosial, terkadang ada ketakutan
ketika kaum homoseksual memberikan persepsi yang negatif terhadap
dukungan sosial yang akan diberikan. Oleh karena itu, penulis ingin
mengetahui mengenai persepsi perilaku dukungan sosial pada kaum
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan paparan di atas, maka rumusan masalah dari penelitian
ini adalah: Bagaimana persepsi perilaku dukungan sosial menurut kaum
homoseksual?
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui persepsi kaum
homoseksual mengenai perilaku dukungan sosial.
D. MANFAAT PENELITIAN a. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini dapat menambah pengetahuan bagi
ilmu psikologi, khususnya pada psikologi sosial mengenai persepsi
perilaku dukungan sosial pada kaum homoseksual.
b. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini dapat menjadi acuan bagi psikolog,
maupun individu lain yang ingin memberikan dukungan sosial kepada
kaum homoseksual sehingga mereka bisa mengerti perilaku apa yang
seharusnya dilakukan dalam memberikan dukungan sosial terhadap kaum
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. HOMOSEKSUAL
1. Pengertian Homoseksual
Orientasi seksual dapat diartikan sebagai ketertarikan baik secara
emosional, romantisme maupun secara seksual. Homoseksual merupakan
orientasi seksual dimana seseorang memiliki ketertarikan secara
emosional, romantisme dan seksual terhadap orang lain yang memiliki
jenis kelamin yang sama dengan dirinya. (APA, 2002).
Menurut ensiklopedia psikologi (Weiner & Craighead, 2010),
homoseksualitas merujuk pada perilaku seksual, hasrat, ketertarikan dan
relasi yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain yang memiliki
jenis kelamin yang sama, termasuk jika di dalamnya terdapat unsur
kebudayaan, identitas dan komunitas.
Homoseksualitas meliputi lima fenomena atau aspek. Aspek yang
pertama adalah bahwa homoseksualitas digunakan untuk
mendeskripsikan contoh spesifik dari perilaku seksual seseorang yang
dilakukan oleh orang lain yang berjenis kelamin sama. Aspek yang kedua
adalah homoseksualitas merujuk pada ketertarikan seksual atau
ketertarikan romantisme yang terjadi secara terus menerus pada
seseorang terhadap orang lain yang berjenis kelamin sama, yang
ketiga dari homoseksualitas adalah identitas psikologis. Identitas
psikologis yang dimaksud adalah menyadari dan merasakan dirinya
sendiri sebagai seseorang yang memiliki ketertarikan terhadap orang
yang berjenis kelamin sama secara terus menerus. Komponen yang
keempat dalam homoseksualitas adalah relasi romatis dengan sesama
jenis. Relasi ini sama seperti relasi romatis heteroseksual yang ditandai
dengan adanya bermacam-macan rencana kehidupan, gaya
berkomunikasi, komitmen, pola intimasi, dan metode penyelesaian
masalah. Aspek yang terakhir adalah sosialisasi dengan sesama
homoseksual. (Weiner & Craighead, 2010)
Homoseksualitas menurut Kartini Kartono (1989) adalah perasaan
mencintai atau perasaan tertarik seseorang dengan orang lain yang
memiliki jenis kelamin yang sama. Homoseksual juga bisa diartikan
sebagai hubungan seksual seseorang dengan orang lain yang memiliki
jenis kelamin yang sama.
Homoseksualitas juga didefinisikan sebagai keadaan dimana
seseorang hanya dapat tertarik, merasakan kasih sayang, memiliki
hubungan emosional dan erotis kepada orang lain yang sama jenis
kelaminnya. Hubungan homoseksual ini dapat diikuti dengan adanya
hubungan fisik atau tidak (Heerdjan, 1987).
Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa homoseksual
dan seksual yang terjadi pada seseorang dengan orang lain yang memiliki
jenis kelamin yang sama.
2. Penyebab Homoseksual
Sampai saat ini masih banyak perdebatan mengenai penyebab
seseorang menjadi seorang homoseksual. Kartini Kartono menyebutkan
beberapa hal yang menjadi penyebab terjadinya homoseksualitas:
a. Faktor herediter, yaitu berupa ketidakseimbangan
hormon-hormon seksual yang dimiliki.
b. Faktor lingkungan yang tidak baik sehingga menghambat
perkembangan kematangan seksual.
c. Adanya pengalaman homoseksual ketika masih remaja yang
menggairahkan, sehingga sampai sekarang masih mencari
kepuasan di dalam relasi homoseksual.
d. Adanya pengalaman traumatis dengan ibu atau sosok wanita
lain sehingga timbul kebencian terhadap sosok wanita yang
membuat dorongan homoseks menetap.
e. Lingkungan homogen seperti penjara atau asrama homogen
yang membuat seseorang terpisah dari orang lain yang
memiliki jenis kelamin yang berbeda.
f. Adanya pengalaman yang tidak memuaskan dan traumatik
yang bisa mendorong seseorang untuk mencari pemuasan lain,
Menurut Cass (1979, dalam Alessi, Ahm, Kulkin & Ballard, 2011),
terdapat enam tahap formasi identitas bagi kaum homoseksual
a. Identity Confusion. Di dalam tahapan ini, individu memiliki
kebingungan dan perasaan tidak yakin mengenai tindakan,
perasaan dan pikiran yang ia miliki bahwa dirinya adalah seorang
homoseksual.
b. Identity Comparasion. Di dalam tahapan ini individu
membandingkan dirinya dengan orang-orang lain yang bukan
merupakan homoseksual dan ia merasa bahwa dirinya berbedan
dengan orang lain (heteroseksual).
c. Identity Tolerance. Di dalam tahapan ini, individu memiliki
peningkatan komitmen terhadap identitas homoseksualnya
sehhingga individu tersebut memiliki toleransi terhadap orientasi
seksual sejenis ini.
d. Identity Acceptance. Di dalam tahapan ini individu mulai
menerima identitas orientasi seksual sejenisnya dan melakukan
coming out atau mengungkapkan orientasi seksualnya kepada
beberapa orang.
e. Identity Pride. Tahapan ini ditunjukkan dengan munculnya
kemarahan pada diri individu terhadap kelompok yang menentang
f. Identity Synthesis. Di dalam tahapan ini, individu tidak lagi
menyembunyikan orientasi seksual sejenisnya sehingga ia mampu
untuk mengungkapkan orientasi seksualnya terhadap orang lain.
McCarn dan Fassinger (1996 dalam Alessi, Ahm, Kulkin &
Ballard, 2011) mengembangkan proses pembentukan identitas seksual.
Model ini dapat menjelaskan identitas seksual baik secara individual
maupun kelompok orientasi seksual tertentu. Model ini terdiri dari empat
tahapan yaitu Awareness atau kesadaran, Exploration atau eksplorasi
identitas seksual, Deepening/Commitment atau penggalian terhadap
orientasi seksualnya sehingga menimbulkan komitmen dan
Internalization/Synthesis. Selain itu, di dalam jurnal yang ditulis oleh
Munoz-Plaza dkk (2002) kaum homoseksual yang dijadikan responden
penelitian menyatakan bahwa formasi pembentukan identitas seksual
yang dialaminya adalah proses karakterisasi yang berasal dari berbagai
macam penolakan dan penerimaan orang-orang di sekitarnya.
Untuk setiap identitas seksual pada homoseksual, dibutuhkan
dukungan yang berbeda-beda (Cass, 1979). Sebagai contoh, ketika
homoseksual berada di dalam tahap pertama dari formasi identitasnya
yaitu identity confusion, maka ia akan lebih membutuhkan dukungan
berupa informasi dan dorongan agar ia mau mengeksplorasi identitasnya
lebih dalam. Hal ini berbeda jika dibandingkan dengan tahap ketiga dari
lebih membutuhkan dukungan berupa dorongan untuk mengetahui lebih
dalam mengenai perasaan malu yang didapat dari kaum heteroseksual
dan cara menghadapinya. Selain itu dukungan untuk mencari komunitas
homoseksual yang membangun dan positif juga dibutuhkan pada kaum
homoseksual di tahap ini.
3. Klasifikasi Homoseksual
Berdasarkan orang yang terlibat, kaum homoseksual bisa dibagi
menjadi beberapa jenis, yaitu:
1. Gay
Gay merupakan salah satu istilah yang digunakan untuk
memanggil individu berjenis kelamin laki-laki yang memiliki
orientasi seksual terhadap laki-laki.
2. Lesbian
Lesbian berasal dari kata Lesbos, yaitu sebuah pulau di jaman
dahulu yang hanya dihuni oleh kaum wanita (Kartono, 1989).
Lesbian merupakan orientasi seksual dari perempuan terhadap
perempuan.
4. Komponen dari Homoseksualitas
Herek, di dalam jurnalnya yang berjudul Homosexual, mengatakan
bahwa hubungan sesama jenis atau homoseksualitas, terdapat beberapa
seksual dan hasrat, perilaku seksual, identitas, relasi dan keluarga, dan
komunitas
5. Masalah-Masalah Kaum Homoseksual
a. Kesehatan
Masalah kesehatan menghinggapi kaum homoseksual. Di
dalam penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat, ditemukan
bahwa 44% kaum homoseksual menderita HIV pada tahun 2000
sampai 2003. Selain itu hubungan seksual anal yang biasa terjadi pada
homoseksual laki-laki (gay) bisa menyebabkan wasir, retakan pada
anus, trauma pada anus, dan meningkatkan kemungkinan kanker pada
anus. (Lehrman, 2005). Kaum homoseksual juga lebih rentan
mengalami ketergantungan obat-obat terlarang dan minuman
beralkohol (Munoz-Plazza, Quinn, Rounds, 2002).
b. Sosial
Kaum homoseksual mendapatkan penolakan dari lingkungan
dan penyiksaan. (Diamond, Jurgensen & White, 2007). Hal ini
membuat kaum homoseksual merasakan keterasingan (Munoz-Plaza,
Quinn, Rounds, 2002). 74% kaum homoseksual mendapatkan
perlakuan diskriminasi karena orientasi seksualnya dan 34% kaum
oleh Kaiser Family Foundation di tahun 2001 dalam Peplau &
Fingerhut, 2007).
Di Indonesia sendiri, hukum nasional tidak menyinggung
mengenai masalah LGBT dan tidak dianggap sebagai sebuah
kriminalitas, namun pernikahan dan adopsi oleh LGBT tidak
diperbolehkan. Di lingkungan yang lebih kecil, beberapa daerah
menganggap bahwa homoseksualitas merupakan kriminalitas karena
dianggap sebagai perilaku yang tidak bermoral. Mekipun begitu,
empat dari lima lingkungan tersebut belum menyatakan hukuman
secara eksplisit terhadap kaum homoseksual. (UNDP, 2014). Di dalam
jurnal ini juga menyatakan bahwa aparat kepolisian di Indonesia
secara umum gagal untuk melindungi kaum LGBT dari ekstrimis
agama tertentu. Hal ini terjadi karena tidak adanya hukum anti
diskriminasi terhadap LGBT di Indonesia. Selain itu, mayoritas
populasi masyarakat Indonesia yang beragama Muslim dan Kristen
juga menolak homoseksualitas karena menginterpretasi
kepercayaannya dengan cara konservatif.
c. Psikologis
Secara psikologis, kaum homoseksual mengalami tekanan dari
lingkungan untuk menjadi sama atau normal sesuai dengan pandangan
masyarakat meskipun tidak sesuai dengan kepercayaan, values dan
stressor dari lingkungannya berupa rasa malu, kebingungan identitas,
ketakutan (Diamond, Jurgensen & White, 2007). dan kebingungan
mengenai identitas seksualnya (Munoz-Plaza, Quinn, Rounds, 2002).
Kaum homoseksual yang ditolak oleh keluarganya akan mengalami
depresi, percobaan bunuh diri dan resiko kesehatan seksual (Ryan,
Russell, Huebner, Diaz, & Sanchez, 2009)
B. HOMOSEKSUAL DI MASA DEWASA 1. Fase Dewasa
Fase dewasa terdiri dari fase dewasa awal, dewasa tengah dan
dewasa akhir. Fase dewasa dimulai pada usia 18 tahun (Santrock, 2014).
Pada fase dewasa, individu sudah mulai mandiri dalam hal ekonomi.
Selain itu, penanda lain fase dewasa adalah dengan adanya rasa tanggung
jawab terhadap diri sendiri. Hal ini dibuktikan oleh studi yang dilakukan
oleh Nelson & others pada tahun 2007 (dalam Santrock, 2014) dimana
mahasiswa dan orang tua setuju bahwa rasa tanggung jawab terhadap diri
sendiri dan pengembangan kontrol emosional adalah salah satu aspek
yang penting untuk masuk ke fase dewasa.
2. Homoseksual di Fase Dewasa
Sebagian besar kaum LGBT (lesbian, gay, bisexual, transgender)
sudah memahami dengan jelas mengenai orientasi seksual mereka di fase
ini berbeda dengan individu di fase remaja. Menurut Santrock (2009),
pada masa ini, remaja ingin melakukan banyak eksperimen mengenai
kehidupan romantisnya, termasuk bereksperimen untuk menjalin relasi
romantis dengan sesama jenis. Pada remaja dengan kasus ini, biasanya
mereka akan kembali menjalin relasi dengan lawan jenis sebagai
orientasi seksualnya yang sebenarnya.
Terdapat lima tahap pengidentitasan relasi romantis sejenis
(Papalia, 2007). Tahap pertama adalah kesadaran akan ketertarikan
seksual dengan sesama jenis yang dimulai pada usia 8 sampai 11 tahun.
Tahap kedua adalah perilaku seksual dengan sesama jenis yang dimulai
pada usia 12 sampai 15 tahun. Tahap ketiga adalah identifikasi orientasi
seksual sejenis yang dimulai pada usia 15 sampai 18 tahun. Tahap
keempat adalah pembukaan diri mengenai orientasi seksualnya kepada
orang lain yang dimulai pada usia 17 sampai 19 tahun. Tahap terakhir
adalah perkembangan relasi romantis dengan sesama jenis yang dimulai
pada usia 18 tahun.
C. DUKUNGAN SOSIAL
1. Pengertian Dukungan Sosial
Dukungan sosial adalah hubungan intrapersonal dimana
seseorang memberikan bantuan kepada orang lain. Dukungan sosial ini
komunitas, teman sekerja, atasan dan lain sebagainya (Taylor, Peplau,
Sears, 2000).
Menurut Wallston et al dan Wills & Fegan (dalam Sarafino, 2008)
dukungan sosial merujuk pada perasaan nyaman, diperhatikan, dibantu
yang dirasakan seseorang dari orang atau kelompok lain. Orang-orang
dengan dukungan sosial mempercayai bahwa mereka dicintai, dihargai
dan menjadi bagian dari jaringan sosial seperti keluarga atau komunitas
sosial lain yang dapat membantu ketika individu dalam tekanan atau
bahaya.
Dukungan merupakan interaksi kepada orang lain dimana
individu mengakui dan mempercayai kekuatan dan kemampuan mereka
untuk mengelola situasi secara produktif. Mendukung dan menerima
bukan berarti menyetujui semua yang dikatakan atau dilakukan. Individu
bisa mengungkapkan dukungan dan penerimaannya dengan menjadi
terbuka terhadap perbedaan (Johnson & Johnson, 2003).
Gottlieb (dalam Smet, 1994) menyatakan bahwa perilaku ataupun
informasi apapun yang diterima individu dari lingkungan sosialnya, yang
memiliki efek positif, menegaskan dan membantu, merupakan ungkapan
2. Macam-Macam Dukungan Sosial
Dukungan sosial dapat diberikan dengan beberapa cara (Taylor,
Peplau, Sears, 2000), yaitu
a. Dukungan emosional. Dukungan emosional yang ditunjukkan
dengan menyukai, mencintai atau merasa empati bisa menjadi
salah satu bentuk dukungan sosial terhadap orang lain.
b. Penyediaan sarana. Penyediaan sarana ini tidak hanya berupa
barang, melainkan juga jasa kepada orang yang membutuhkan.
Penyediaan barang dan jasa terhadap orang lain yang sedang
mengalami tekanan tinggi, bisa merupakan bentuk dari dukungan
sosial.
c. Informasi. Pemberian dukungan sosial berupa informasi akan
bermanfaat ketika informasi yang diberikan sesuai dengan
self-appraisal orang yang diberi dukungan..
Dalam buku Sarafino (2008), Cutrona & Gardner, 2004; Schaefer,
Coyne, & Lazarus, 1981; Wills & Fegan, 2001 membagi dukungan sosial
menjadi empat fungsi dasar:
a. Dukungan emosional dan penghargaan. Dukungan emosional
meliputi perasaan empati, kepedulian, perhatian, perasaan hormat,
dan pemberian semangat terhadap individu. Hal ini menyebabkan
timbulnya kenyamanan dan ketentraman hati dengan rasa
b. Dukungan instrumental atau dukungan nyata. Dukungan
instrumental ini meliputi hal-hal nyata berupa pemberian barang
atau jasa kepada individu.
c. Dukungan informasi. Dukungan informasi meliputi pemberian
saran, arahan, usulan dan umpan balik yang bersifat informatif
atau hal-hal yang berkaitan dengan penyelesaian masalah yang
dihadapi oleh individu.
d. Dukungan pertemanan. Dukungan pertemanan diberikan dengan
memberikan kesediannya untuk menemani dan menghabiskan
waktu bersama dengan individu. Dukungan ini menimbulkan
perasaan diterima sebagai salah satu anggota di dalam suatu
kelompok yang memiliki minat dan aktifitas sosial yang sama.
Kebutuhan akan keempat dukungan sosial tersebut bisa sangat
bervariasi tergantung dari tingkat tekanan yang dialami individu. Hal ini
dibuktikan dalam penelitian Martin (dalam Sarafino, 2008) yang
menyatakan bahwa dukungan emosional lebih membantu pada individu
dengan penyakit yang berat dibandingkan pada individu dengan penyakit
yang lebih ringan. Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Cutrona
(dalam Sarafino 2008) menemukan bahwa seseorang akan mendapatkan
dukungan sosial yang lebih pada kelompok yang sedang melalui tekanan
berat dibandingkan dengan kelompok yang memiliki tekanan tidak
dukungan yang paling sering muncul adalah dukungan informasi dan
emosional sedangkan yang paling jarang muncul adalah dukungan
instrumental.
3. Manfaat Dukungan Sosial
Dukungan sosial dapat menghilangkan efek dari stress, membantu
orang lain untuk mengatasi stress (Bromman 1993, dalam Taylor, Peplau,
Sears, 2000), meningkatkan penyembuhan dari penyakit fisik (House,
Landis, & Umberson, 1988 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2000),
meningkatkan sistem imun (Kiecolt-Glaser & Glaser dalam Taylor,
Peplau, Sears, 2000) dan meningkatkan kebiasaan yang baik mengenai
kesehatan. (Taylor, Peplau, Sears, 2000). Selain itu, dukungan sosial dari
lingkungan akan meringankan efek dari kejadian-kejadian yang
menegangkan (Smet, 1994).
D. PERSEPSI
1. Pengertian Persepsi
Secara etimologis, persepsi berasal dari bahasa Latin perception dari
kata percipere yang berarti menerima atau mengambil (Sobur, 2003).
Persepsi merupakan pemberian makna terhadap stimuli yang diterima
oleh alat indera mengenai pengalaman tentang suatu kejadian, objek
ataupun suatu hubungan dengan cara menyimpulkan informasi yang
Persepsi juga bisa diartikan sebagai kesadaran seseorang terhadap
suatu objek atau kejadian yang dirasakan melalui stimuli-stimuli oleh
panca inderanya. Ketika stimuli yang didapatkan tidak lengkap atau
terganggu, maka fungsi otak akan berkontribusi dalam proses persepsi
sehingga bisa memunculkan hasil persepsi yang bermakna (Braun,
Linder & Asimov, 1979)
Selain itu, persepsi sosial mengacu kepada suatu proses yang terjadi
di antara presentasi informasi mengenai orang lain dengan kesadaran
akan dirinya. Persepsi sosial meliputi informasi dan penilaian mengenai
orang-orang lain. Hal ini akan memperngaruhi status psikologis individu.
( Newcome, Turner, Converse, 1965)
Dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah suatu kesadaran seseorang
dalam memberikan makna, menyimpulkan informasi dan menafsirkan
pesan terhadap stimuli yang diterima oleh panca indera mengenai
pengalaman tentang suatu kejadian, objek maupun hubungan.
2. Faktor-Faktor Penentu Persepsi
Krech dan Crutchfield (dalam Rakhmat, 2008) menyebutkan bahwa
persepsi dapat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor fungsional dan
faktor sktruktural. Faktor fungsional berasal dari dalam diri orang yang
menerima stimulus atau biasa disebut sebagai faktor personal. Faktor
fungsional ini antara lain adalah pengalaman masa lalu, kebutuhan,
latar belakang budaya. Faktor struktural berasal dari sifat stimuli fisik
dan efek-efek saraf yang ditimbulkannya pada sistem saraf individu.
Selain itu, di dalam Myers (1999) ditemukan bahwa situasi lingkungan
sekitar juga menjadi penentu bagaimana seseorang mempersepsi sesuatu
di sekitarnya.
E. PERSEPSI DUKUNGAN SOSIAL
Dukungan sosial yang diberikan oleh seseorang, bisa dipersepsi secara
tidak tepat oleh orang yang menerima dukungan sosial tersebut. Hal ini
dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ritter (dalam Smet 1994)
yang membuktikan bahwa adanya perbedaan efek antara persepsi dukungan
sosial (perceived support) dengan dukungan sosial yang diterima (received
support). Selain itu semua perilaku dan informasi bisa menjadi dukungan
sosial ketika individu merasa mendapatkan efek positif, ditegaskan dan
dibantu oleh lingkungan sosialnya (Gottlieb dalam Smet, 1994). Oleh karena
itu persepsi seseorang terhadap dukungan sosial dirasa penting bagi individu
yang ingin memberikan dukungan sosial karena dukungan sosial yang
diberikan tidak selalu dipersepsi sebagai dukungan bagi orang lain.
Pemberian dukungan sosial menyangkut dua hal, yaitu persepsi mengenai
keberadaan (availability) dan ketepatan (adequacy) yang dirasakan oleh
penerima dukungan sosial terhadap dukungan sosial yang diterimanya
Dukungan sosial yang diterima oleh seseorang hanya akan bermaanfaat
ketika ia mempersepsi dukungan sosial yang diterimanya dengan tepat sesuai
dengan maksud pemberi dukungan sosial. (Dunkel-Schetter & Bennett;
Wilcox, Kasl & Berkman dalam Sarafino 2008). Namun pada kenyataannya,
dukungan sosial yang diberikan oleh orang lain tidak selalu bermanfaat. Hal
ini terjadi apabila dukungan sosial tidak dipersepsi atau diterima sebagai
sebuah dukungan atau support (Sarafino, 2008).
Kesalahan seseorang dalam menginterpretasi dukungan sosial yang
didapat dari lingkungannya dapat membuatnya merasa tidak didukung secara
sosial oleh masyarakat. Selain itu kesalahan dalam mempersepsi tujuan dan
motif orang lain, mampu menyebabkan terjadinya konflik sosial (Myers,
1999). Sebagai contoh, seseorang yang memiliki tujuan untuk memberikan
dukungan sosial bisa menyebabkan timbulnya konflik ketika dukungan sosial
tersebut dipersepsi dengan tidak tepat.
Menurut Sarason (dalam Kuntjoro, 2002) ada dua pendekatan persepsi
dukungan sosial, yaitu pendekatan berdasarkan kuantitas dan pendekatan
berdasarkan kualitas. Pendekatan berdasarkan kuantitas merupakan persepsi
seseorang dalam menentukan kuantitas atau jumlah dukungan sosial yang
tersedia bagi dirinya, seperti jumlah orang yang membantu dan jumlah harta
benda yang diberikan. Pendekatan berdasarkan kualitas merupakan persepsi
seseorang dalam pemenuhan dukungan sosial yang diberikan kepadanya.
Sebagai contoh adalah, apakah individu sudah merasa terpenuhi atau belum
Individu tidak mampu menerima atau mempersepsi dukungan sosial
sebagai bantuan apabila ia tidak pernah bersosialisasi, tidak membantu orang
lain dan tidak membiarkan orang lain tahu ketika ia membutuhkan bantuan
(Sarafino, 2008).
Dari penjelasan ini, bisa ditarik kesimpulan bahwa suatu tindakan yang
dilakukan seseorang bisa dipersepsi sebagai hal yang berbeda-beda. Persepsi
sosial ini ditentukan oleh beberapa hal, yaitu interpretasi, kuantitas dan
kualitas dukungan sosial serta tingkat pemahaman seseorang terhadap
kebutuhannya.
F. PERSEPSI DUKUNGAN SOSIAL PADA HOMOSEKSUAL
Sama seperti masyarakat pada umumnya, dukungan sosial yang diberikan
kepada kaum homoseksual hanya dapat bermanfaat jika dipersepsi dengan
tepat sesuai dengan maksud pemberi dukungan sosial. Ketika terjadi
kesalahan dalam mempersepsi dukungan sosial yang diberikan, maka
dukungan sosial itu tidak akan bermanfaat atau bahkan bisa menjadi sebuah
tekanan bagi kaum homoseksual. Kesalahan dalam mempersepsi dukungan
sosial yang diberikan juga bisa membuat kaum homoseksual menganggap
bahwa dirinya tidak diterima atau didukung secara sosial.
Mercier dan Berger (1989, dalam Munoz-Plaza, Quinn, Rounds, 2002)
menyatakan bahwa anak muda dengan orientasi seksual LGBT (Lesbian, Gay,
Bisexual, Transgender), memiliki dukungan yang terbatas di rumah, di
sosial yang banyak dialami oleh LGBT. Isolasi sosial yang dialami oleh
LGBT bisa menyebabkan mereka tidak mampu menerima atau mempersepsi
dukungan sosial sebagai bantuan. Hal ini sesuai dengan teori yang
menyataakan bahwa individu tidak mampu menerima atau mempersepsi
dukungan sosial sebagai bantuan apabila ia tidak pernah bersosialisasi, tidak
membantu orang lain dan tidak membiarkan orang lain tahu ketika ia
membutuhkan bantuan (Sarafino, 2008).
Di dalam penelitian yang dilakukan oleh Mayock, Bryan, Carr, dan
Kitching (2008), ditemukan bahwa empat sumber dukungan sosial yang
paling berpengaruh bagi kaum homoseksual adalah teman, keluarga,
komunitas LGBT dan lingkungan sosial lain seperti sekolah dan tempat kerja.
Dari keempat sumber dukungan sosial tersebut, dukungan dari teman
merupakan dukungan sosial yang paling kuat karena membantu responden
melalui pengalaman yang menyedihkan, menakutkan dan menekan.
Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Munoz Plaza, Quinn dan
Rounds (2002) terhadap murid SMA yang memiliki orientasi seksual LGBT
menemukan bahwa orang yang bukan merupakan anggota keluarga seperti
teman sebaya dan orang dewasa lain lebih suportif dibandingkan dengan
anggota keluarganya.
Selain itu, persepsi dukungan pada homoseksual bisa dikaitkan dengan
jenis dukungan sosial yang diterima. Terdapat empat jenis dukungan sosial,
yaitu dukungan emosional, dukungan instrumental, dukungan infromasi dan
bahwa murid dengan orientasi seksual LGBT mendapatkan dukungan
emosional paling banyak dari teman dekatnya (Munoz-Plaza, Quinn, Rounds,
2002).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ellis, Kitzinger dan Wilkinson
bahwa sumber dukungan sosial yang diterima oleh kaum homoseksual dapat
dibedakan menurut jenis kelamin, status anggota keagamaan dan usia (2003).
Masyarakat yang berjenis kelamin laki-laki lebih tidak suportif terhadap
hak-hak homoseksual dibandingkan dengan masyarakat yang berjenis kelamin
perempuan.
Bisa disimpulkan bahwa persepsi dukungan sosial pada homoseksual
meliputi dukungan emosional, dukungan instrumental, dukungan informasi
dan dukungan pertemanan. Keempat jenis dukungan ini, bisa dipersepsi
secara berbeda-beda tergantung dari sumber pemberi dukungan sosial yang
bisa dibagi menjadi empat sumber, yaitu teman, keluarga, komunitas dan
lingkungan sosial lain.
Karena ada banyaknya variasi dan kemungkinan terjadi salah persepsi
dukungan sosial yang diberikan oleh masyarakat, maka peneliti menjadi
tertarik untuk melihat bagaimana kaum homoseksual mempersepsi dukungan
Dari penjelasan di atas, dapat dibuat alur berpikir sebagai berikut,
Skema 1 Alur Berpikir
HOMOSEKSUAL
PERSEPSI KAUM HOMOSEKSUAL TERHADAP DUKUNGAN
SOSIAL
TEKANAN STIGMA NEGATIF
KELUARGA TEMAN
HOMOSEKSUAL
LAIN LAIN-LAIN
PERILAKU YANG DIPERSEPSI SEBAGAI:
DUKUNGAN EMOSIONAL DUKUNGAN INSTRUMENTAL
DUKUNGAN EMOSIONAL DUKUNGAN PERTEMANAN
29
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. JENIS PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang mendiskripsikan
fenomena dengan menggunakan kata-kata dan bahasa. Penelitian ini
bermaksud untuk memahami fenomena yang dialami oleh informan penelitian
dengan menganalisis secara keseluruhan pada suatu konteks khusus yang
alamiah. (Moleong, 2008)
Penelitian mengenai persepsi dukungan sosial pada homoseksual ini
secara khusus menggunakan metode kualitatif fenomenologi. Fenomenologi
merujuk kepada suatu pengalaman dari berbagai informan yang memiliki jenis
dan tipe berbeda sehingga memiliki pengalaman subjektif yang bisa jadi
berbeda-beda. Dalam penelitian fenomenologi, peneliti berusaha
mendiskripsikan makna atau esensi dari suatu pengalaman atau fenomena yang
dialami oleh satu atau lebih individu yang mengalami pengalaman atau
fenomena yang sama. Fokus dari penelitian ini adalah deskripsi mengenai
kesamaan-kesamaan yang dimiliki oleh informan di dalam pengalamannya
B. FOKUS PENELITIAN
Fokus dari penelitian ini adalah memahami bagaimana persepsi
dukungan sosial menurut kaum homoseksual dilihat dari macam dukungan
sosial yang ada. Selain itu fokus penelitian ini juga untuk memahami
bagaimana kaum homoseksual mempersepsi dukungan sosial yang diberikan
oleh teman, keluarga, komunitas dan lingkungan sosial lainnya.
C. INFORMAN PENELITIAN
Informan dalam penelitian fenomenologi merupakan individual atau
sekelompok orang yang mengalami fenomena yang sama. Penggunaan
metode ini dimaksudkan untuk mencari informasi terbaik yang terkait dengan
pencapaian tujuan penelitian sehingga peneliti mencari informan yang
dianggap memiliki informasi yang dibutuhkan (Widi, 2010). Oleh karena itu,
informan dalam penelitian ini harus memenuhi kriteria sebagai berikut,:
1. Memiliki orientasi seksual sejenis atau homoseksual (gay dan
lesbian)
2. Berusia minimal 18 tahun atau minimal fase dewasa muda.
3. Terbuka mengenai orientasi seksualnya, minimal kepada orang
terdekat.
Individu yang ditindaklanjuti sebagai informan penelitian dipilih
berdasarkan tujuan penelitian yang akan mengungkapkan persepsi mengenai
sedangkan informan yang lain merupakan teman dari informan yang dikenal
peneliti.
D. PROSEDUR PENELITIAN
Prosedur penelitian merupakan tahap-tahap yang dilakukan oleh
peneliti dalam melakukan penelitian ini. Tahapan tersebut adalah,
1. Mengumpulkan data yang berkaitan dengan topik penelitian yaitu
homoseksual, persepsi dan dukungan sosial. Data dikumpulkan dari
buku, jurnal, artikel serta informasi-informasi terkait yang bisa
ditemukan di internet.
2. Peneliti menentukan karakteristik informan penelitian dan menentukan
individu yang akan menjadi informan di dalam penelitian ini.
3. Peneliti bertemu dengan informan dan membangun rapport kepada
informan. Di dalam tahap ini, informan juga menanyakan kesediaan
informan untuk menjadi informan dalam penelitian ini.
4. Menyusun panduan pertanyaan yang akan digunakan sebagai dasar
dalam melakukan wawancara.
5. Menghubungi informan penelitian mengenai waktu dan tempat
pengambilan data atau wawancara. Waktu dan tempat ini disepakati oleh
peneliti dan informan sehingga informan merasa nyaman ketika
melakukan wawancara.
6. Sebelum melakukan wawancara, peneliti kembali menanyakan kesediaan
menandatangani lembar informed consent yang berisi proses
pengambilan data, efek yang akan didapatkan oleh informan, dan
hak-hak yang bisa didapatkan informan ketika melakukan proses wawancara
ini.
7. Setelah melakukan wawancara, peneliti membuat verbatim dari hasil
wawancara yang diperoleh dengan bantuan sound recorder. Peneliti juga
membuat kode-kode dan keterangan kode pada hasil verbatim tersebut
8. Melakukan analisis data sesuai dengan metode yang sudah ditentukan.
Tahap ini diawasi dan dikoreksi oleh dosen pembimbing sehingga
tercapai maksud dan tujuan dari penelitian ini.
9. Hasil data yang sudah dikonsultasikan dengan dosen pembimbing lalu
ditarik kesimpulannya. Dari situ juga didapatkan saran bagi masyarakat
dan peneliti lain sesuai dengan hasil penelitian.
E. METODE PENGUMPULAN DATA
1. Wawancara
Wawancara merupakan percakapan antara dua orang dimana satu
pihak berusaha mengarahkan pembicaraan untuk memperoleh informasi
yang dipergunakan dalam tujuan tertentu (Gorden dalam Herdiansyah,
2013). Dalam konteks penelitian kualitatif, wawancara dapat
didefinisikan sebagai proses interaksi yang dilakukan oleh dua orang
saling percaya untuk melakukan pembicaraan yang mengacu pada suatu
tujuan yang telah ditetapkan (Herdiansyah, 2013)
Peneliti melakukan teknik wawancara yang bersifat semi
terstruktur dengan panduan pertanyaan yang bersifat terbuka sehingga
data yang didapatkan mendalam dan tidak terbatas. Hal ini juga
dilakukan agar informan tidak merasa ditekan ketika dilakukan
wawancara. Sebelum melakukan wawancara, peneliti menyusun panduan
wawancara yang akan digunakan untuk membantu mengumpulkan data.
Tabel 1
Panduan Pertanyaan
Panduan Pertanyaan
1. Jenis perilaku dukungan sosial
- Perilaku seperti apa yang anda anggap sebagai dukungan sosial
terhadap orientasi seksual anda?
- Mengapa perilaku tersebut anda persepsi sebagai dukungan
sosial?
- Perilaku dukungan sosial seperti apa yang anda harapkan?
2. Pelaku pemberi dukungan sosial
- Siapa yang biasa memberikan dukungan sosial seperti itu?
Daftar pertanyaan di atas hanya digunakan sebagai panduan
wawancara. Dalam kenyataannya di lapangan saat pengambilan data,
pertanyaan yang diajukan oleh peneliti bersifat mengalir dan tidak terlalu
mengacu kepada pertanyaan-pertanyaan di atas.
Dalam mengambil data, peneliti menggunakan alat perakam
sebagai alat bantu. Alat perekam digunakan agar tidak ada hasil
wawancara yang terlewatkan atau hilang sehingga terjaga keutuhan hasil
data. Selain itu alat perekam digunakan agar peneliti berkonsentrasi penuh
pada proses wawancara. Dalam penggunannya, alat perekam akan
digunakan ketika sudah mendapatkan ijin dari responden.
F. ANALISIS DATA
Analisis data menurut Creswell (2012) dilakukan melalui beberapa tahap
yaitu,
1. Mengolah dan mempersiapkan data untuk dianalisis. Mengolah dan
mempersiapkan data untuk dianalisis ini diwujudkan dengan
melibatkan panduan wawancara, scanning hasil data, mengetik data
lapangan dalam bentuk verbatim, memilah dan menyusun data ke
dalam jenis yang berbeda tergantung pada informan penelitian.
2. Membaca keseluruhan data. Dalam tahap ini, peneliti membuat tema
umum atas hasil verbatim yang diperoleh dari hasil wawancara dengan
informan. Peneliti lalu menuliskan catatan-catatan khusus atau
3. Menganalisis data lebih rinci dengan melakukan koding data. Koding
sendiri merupakan proses mengolah materi atau informasi menjadi
segmen-segmen tertulis sebelum memaknainya (Rossman & Rallis
dalam Sarafino, 2012). Pada penelitian ini, peneliti mengkombinasikan
jenis kode emerging dan kode predetermined dimana koding sudah
ditetapkan sebelumnya dengan menggunakan teori, namun tidak
menutup kemungkinan adanya koding baru ketika hasil data bervariasi.
Koding yang digunakan pada penelitian ini, bisa digambarkan sebagai
berikut,
- Diberikan oleh keluarga
- Diberikan oleh teman
- Diberikan oleh homoseksual lain
- Diberikan oleh orang yang tidak
- Diberikan oleh keluarga
- Diberikan oleh teman
- Diberikan oleh homoseksual lain
- Diberikan oleh orang yang tidak
C
- Diberikan oleh keluarga
- Diberikan oleh teman
- Diberikan oleh homoseksual lain
- Diberikan oleh orang yang tidak
- Diberikan oleh keluarga
- Diberikan oleh teman
- Diberikan oleh homoseksual lain
- Diberikan oleh orang yang tidak
- Diberikan oleh keluarga
- Diberikan oleh teman
- Diberikan oleh homoseksual lain
- Diberikan oleh orang yang tidak
begitu dikenal
Jenis dukungan lain merupakan unsur tambahan jika perilaku dukungan
sosial yang dimaksud subjek tidak bisa dimasukkan ke dalam keempat
jenis dukungan sosial.
4. Koding digunakan untuk menetapkan sejumlah tema atau kategori yang
akan dianalisis dan diinterpretasi lebih dalam dalam bentuk deskripsi
umum. Tema-tema ini yang biasanya akan menjadi hasil penelitian di
G.UJI KEABSAHAN DATA
Untuk menetapkan keabsahan data, diperlukan teknik pemeriksaan. Uji
keabsahan data yang digunakan peneliti, antara lain adalah member checking.
Member checking dilakukan dengan mengecek kembali data yang sudah
diberikan oleh informan dengan cara menunjukkan hasil akhir penelitian
kepada informan (Creswell, 2007). Hal ini bertujuan untuk mengecek apakah
hasil penelitian sudah sesuai dengan data yang diperoleh dari informan. Jika