BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.2 Analisis Univariat
5.2.6 Riwayat Diet Hipertensi
5.2.6 Riwayat Diet Hipertensi
Data riwayat diet hipertensi dikelompokkan menjadi dua yaitu pernah dan tidak pernah. Gambaran umum distribusi sampel berdasarkan riwayat diet hipertensi dalam tabel sebagai berikut :
TABEL 5.6
DISTRIBUSI SAMPEL BERDASARKAN DIET HIPERTENSI DI UPT PENDIDIKAN SD DAN PAUDNI KECAMATAN NGAMPRAH
KABUPATEN BANDUNG BARAT
Pada tabel 5.6 dapat dilihat dari 38 orang yang pernah menjalani diet hipertensi ada 10 orang atau 26,3%. Selanjutnya yang tidak pernah menjalani diet hipertensi ada 28 orang atau 73,7%.
Diet untuk hipertensi berupa diet rendah garam. Diet rendah garam dibagi menjadi tiga yaitu rendah garam I, rendah garam II dan rendah garam III. Diet redah garam I diberikan kepada pasien hipertensi berat natrium yang diberikan 200-400 mg/hari. Diet rendah garam II diberikan pada pasien hipertensi yang tidak terlalu berat natrium yang diberikan 600-800 mg/hari. Diet rendah garam III diberikan pada pasien hipertensi yang ringan natrium yang diberikan 1000-1200 mg/hari (Almatsier, 2004).
Dari 38 sampel hanya 10 orang (26,3%) yang pernah menjalani diet hipertensi. Namun masih banyak yang tekanan darahnya tinggi hal ini Dari 10 orang, 9 diantaranya (90%) masih hipertensi. Banyaknya yang masih
Diet Hipertensi n %
Tidak Pernah 28 73,7
Pernah 10 26,3
Jumlah 38 100
hipertensi dikarenakan sebagian besar tidak patuh menjalani diet, masih banyak yang mengkonsumsi makanan instan dan penggunaan bumbu-bumbu penyedap selain garam. Kepatuhan adalah tingkat seseorang dalam melaksanakan suatu aturan dalam dan perilaku yang disarankan. Faktor yang mempengaruhi kepatuhan yaitu motivasi dari keluarga, keluarga dapat menjadi faktor yang berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan nilai kesehatan bagi individu serta memainkan peran penting dalam program perawatan dan pengobatan (Novian, 2013).
Faktor lain yaitu jenis kelamin, laki-laki beresiko 0,32 kali untuk tidak patuh terhadap diet hipertensi dibanding responden yang berjenis kelamin perempuan. Faktor lainnya pendidikan merupakan domain yang sangat penting untuk menentukan tindakan seseorang, sehingga perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih bertahan lama dibandingkan dengan yang tidak atau semakin tinggi pengetahuan seseorang diharapkan perilakunya juga semakin baik (Miyusliani dan Jasrida, 2011).
5.2.7 Asupan Natrium
Data asupan natrium dikelompokkan menjadi dua yaitu cukup dan tinggi. Gambaran umum distribusi sampel berdasarkan asupan natrium dalam tabel sebagai berikut :
TABEL 5.7
DISTRIBUSI SAMPEL BERDASARKAN ASUPAN NATRIUM DI UPT PENDIDIKAN SD DAN PAUDNI KECAMATAN NGAMPRAH
KABUPATEN BANDUNG BARAT
Persen rata- rata asupan natrium dari makanan instan yaitu 26,58%. Persen rata-rata asupan dari bahan makanan segar yaitu 10,55% dan 62,87% dari bumbu. Asupan natrium terendah yaitu 828,62 mg dan asupan natrium tertinggi yaitu 7597,88 mg.
Rata-rata konsumsi sampel melebihi 2000 mg/hari yaitu 2456,17 mg.
Hal ini melebihi batas yang sudah di anjurkan. Dari 38 orang sampel yang memiliki asupan natrium yang tinggi ada sebanyak 22 orang atau 57,9%.
Jika dibandingkan dengan survei SKMI (52,7%) angka ini tidak jauh berbeda. Asupan natrium terendah dalam penelitian ini 828,62 mg hal ini di karenakan sampel pernah melakukan diet hipertensi. Untuk asupan tertinggi yaitu 7597,88 mg sampel ini sering konsumsi kecap dalam jumlah yang banyak (60 gr) setiap harinya. Selain itu sampel juga memasak tidak hanya menggunakan garam tetapi menggunakan bumbu penyedap lainnya seperti royco setiap kali masak.
Asupan natrium berkaitan dengan penyakit hipertensi. Hasil analisis data SKMI 2014 menunjukkan, rata-rata asupan natrium penduduk Indonesia secara keseluruhan adalah 2674 mg per orang per hari. atau melebihi batas yang ditetapkan dalam Permenkes No. 30 tahun 2013.
Proporsi penduduk yang mengonsumsi natrium > 2000 mg per hari atau setara dengan garam > 5 gram per hari sebesar 52,7 persen. Asupan ini sudah termasuk penggunaan bumbu seperti garam (Prihatini dkk, 2016).
Cara memperkirakan penggunaan bumbu, termasuk garam pada makanan yang dikonsumsi dan berasal dari makanan di rumah, dilakukan dengan pendekatan penambahan garam pada saat pengolahan makanan di tingkat rumah tangga. Perhitungan jumlah garam yang dikonsumsi per orang adalah jumlah garam yang ditambahkan pada saat pengolahan makanan, dibagi jumlah anggota rumah-tangga. Khusus untuk anak balita, perkiraannya adalah sepertiga dari orang dewasa (Kemenkes, 2014).
5.2.8 Frekuensi Konsumsi Makanan dan Minuman Instan
Data frekuensi konsumsi makanan dan minuman instan dikelompokkan menjadi tiga yaitu beresiko tinggi, resiko sedang dan tidak beresiko. Gambaran umum distribusi sampel berdasarkan frekuensi konsumsi makanan dan minuman instan dalam tabel sebagai berikut :
TABEL 5.8
DISTRIBUSI SAMPEL BERDASARKAN FREKUENSI KONSUMSI MAKANAN DAN MINUMAN INSTAN
Pada tabel 5.8 dapat dilihat konsumsi makanan instan secara keseluruhan dapat dilihat dari 38 sampel yang beresiko tinggi ada 34 orang (89,5%). Sampel yang beresiko sedang ada 4 orang (10,5%) dan yang tidak beresiko 0%. Konsumsi minuman instan dapat dilihat dari 38 sampel yang beresiko tinggi ada 32 orang (84,2%). Sampel yang beresiko sedang ada 5 orang (13,2%) dan yang tidak beresiko ada 1 orang (2,6%).
TABEL 5.9
DISTRIBUSI SAMPEL BERDASARKAN FREKUENSI KONSUMSI MAKANAN INSTAN PER SUMBER MAKANAN
Makanan/Minuman Instan n %
Pada tabel 5.9 dapat dilihat dari 38 orang konsumsi olahan dari karbohidrat lebih banyak yang beresiko, sampel yang beresiko tinggi ada sebanyak 28 orang (73,7 %). Sedangkan yang paling sedikit beresiko tinggi pada makanan olahan nabati. Dapat dilihat dari 38 sampel yang beresiko tinggi tidak ada (0%). Sampel yang beresiko sedang ada 5 orang (13,2%) dan yang tidak beresiko ada 33 orang (86,8%).
Makanan dan minuman instan adalah makanan dan minuman yang dikemas dalam plastik atau kaleng yang cara mengkonsumsinya hanya membutuhkan waktu sebentar. Makanan dan minuman instan kian digemari oleh berbagai kalangan. Makanan dan minuman instan merupakan suatu alternative makan dan minum bagi seseorang. Makanan dan minuman instan mendapat respon yang positif bagi masyarakat terbukti dengan semakin membanjirnya produk instan seperti mie instan, sup instan, nasi
Bahan Makanan n %
instan, bubur instan, sirup instan. Namun perlu di waspadai karena produk instan biasanya tiggi natrium (Islamiyati, 2014).
Makanan instan sebagian besar merupakan kombinasi dari karbohidrat, lemak dan garam. Makanan instan sering dikaitkan dikaitkan dengan peningkatan risiko insiden hipertensi. Minuman instan biasanya mengandung natrium bikarbonat sebagai pengawetnya (WHO, 2003).
Dilihat dari hasil penelitian untuk makanan instan paling banyak resiko tingginya yaitu pada jenis makanan olahan dari serealia, tepung dan umbi-umbian. Yang beresiko tinggi yaitu 28 orang atau sebesar 73,7 %.
Makanan instan yang paling banyak tidak beresiko yaitu pada jenis olah nabati sebanyak 33 orang atau 86,8%. Apabila digabungkan hasilnya pada makanan instan yang beresiko tinggi yaitu 34 orang atau sebesar 89,5%.
Berdasarkan tabel untuk minuman instan yang beresiko tinggi sebanyak 32 orang atau 84,2%.
Konsumsi dari peningkatan produk makanan instan disebabkan oleh peningkatan urbanisasi, waktu, kenyamanan, perubahan gaya hidup dan meningkatnya tingkat pengaruh di kelompok berpenghasilan menengah.
Mie ditemukan setiap hari di rak-rak dapur setiap rumah tangga di India.
Ketersediaan yang siap pakai, dan penghematan waktu adalah alasan untuk mengkonsumsi produk makanan instan (Srinivasan et al, 2014).
5.2.9 Hipertensi
Data hipertensi dikelompokkan menjadi dua yaitu tidak hipertensi dan hipertensi. Gambaran umum distribusi sampel berdasarkan hipertensi dalam tabel sebagai berikut :
TABEL 5.10
DISTRIBUSI SAMPEL BERDASARKAN HIPERTENSI DI UPT PENDIDIKAN SD DAN PAUDNI KECAMATAN NGAMPRAH
KABUPATEN BANDUNG BARAT
Pada tabel 5.11 dapat dilihat bahwa dari 38 orang sampel yang menderita hipertensi ada 21 orang (55,3%) dan yang tidak menderita hipertensi ada 17 orang (44,7%).
Hasil penelitian dari 38 sampel yang hipertensi lebih banyak dibandingkan yang tidak hipertensi. Jumlah yang hipertensi ada 21 orang atau 55,3% dan yang tidak hipertensi 17 orang atau 44,7%. Hal ini sama dengan penelitian terhadap 100 responden didapati jumlah responden hipertensi lebih banyak yaitu 57 orang (57%) dari pada responden yang tidak hipertensi 43 orang (43%) (Gerungan dkk 2016). Jika dibandingkan dengan penelitian Gerungan angka hipertensinya tidak terlalu jauh berbeda. Jika dibandingkan dengan hasil Riskesdas 2018 angka hipertensi di Indonesia sekitar 34,1% yang berarti hasil penelitian di atas angka nasional.
Hipertensi disebut sebagai si pembunuh senyap karena gejalanya sering tanpa keluhan. Biasanya, penderita tidak mengetahui kalau dirinya mengidap hipertensi dan baru diketahui setelah terjadi komplikasi. Data WHO 2015 menunjukkan sekitar 1,13 miliar orang di dunia menderita hipertensi. Artinya, 1 dari 3 orang di dunia terdiagnosis menderita hipertensi, hanya 36,8% di antaranya yang minum obat (Depkes, 2018).
Klasifikasi hipertensi menurut JNC 8 (2015) dikatakan hipertensi apabila tekanan darah 140/90 mmHg. Tetapi menurut AHA (2017) ada target baru untuk tekanan darah dan rekomendasi pengobatan. Selama bertahun-tahun, hipertensi diklasifikasikan tekanan darah 140/90 mmHg
Hipertensi n %
Tidak Hipertensi 17 44,7
Hipertensi 21 55,3
Jumlah 38 100
atau lebih tinggi, tetapi pedoman baru mengklasifikasikan hipertensi apabila tekanan darah 130/80 mm Hg atau lebih tinggi.