• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II BENTUK BERTEOLOGI DI INDONESIA

A. Riwayat Hidup

Radhar Panca Dahana lahir di Jakarta 26 Maret 1965,129 di daerah Radio Dalam, Jakarta Selatan. Bapaknya bernama Radsomo merupakan pegawai pemerintahan di departemen Perindustrian, sedangkan ibunya, Suharti hanyalah seorang ibu rumah tangga. RPD memiliki tujuh saudara dan RPD adalah anak kelima.

Walaupun terlahir dari keluarga beragama Islam, RPD tidak terlalu dekat dengan “lingkungan” agama. Dari kecil RPD oleh Radsomo tidak ditekankan untuk mendalami tentang pendidikan Islam tradisional (belajar bahasa Arab, mengkaji ilmu fiqh dan lain-lain) secara khusus (dimasukkan ke pesantren atau madrasah). Namun oleh kedua orang tuanya RPD tetap diajari baca tulis al-Qur’ân dan tentang tatacara ibadah ritual pokok, seperti puasa, shalat.

Sejak masa anak-anak, kedua orang tua RPD juga tidak begitu memerintahkan secara tegas kepada anak-anaknya untuk menunaikan ritus-ritus keagamaan, seperti shalat dan puasa, walaupun itu tetap diajarkan oleh kedua orang tuanya. Bagi kedua orangtuanya, cara berislam tidak hanya difokuskan dengan melaksanakan ritus-ritus agama, tetapi lebih ditekankan kepada integritas pribadi, seperti kejujuran, tata krama, toleransi, inklusifitas dan kerja keras. Pelaksanaan ritus keagamaan oleh penganut agama adalah masalah yang sangat personal, dan tidak perlu diperbincangkan dan diperdebatkan.

129“Pergulatan Hidup Radhar Panca Dahana,”

Jurnal Nasional, edisi 0131 Minggu IV-april 2007, h. 7.

Saat RPD masih kecil, orang tuanya lebih banyak memerintahkannya untuk serius mendalami ilmu-ilmu yang ada di sekolah formal, walaupun pada akhirnya RPD tetap membangkang atas perintah ayahnya itu. RDP lebih memilih jalur seni teater dan sebagai penulis.

Potensinya sebagai penulis mulai terlihat saat RPD berumur 10 tahun, kelas lima SD, di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 4 Blok D Gandaria. Cerpennya yang berjudul “Tamu tak Diundang” diterbitkan oleh, Kompas.130

RPD bersyukur bahwa ia dibesarkan di lingkungan di mana dia diarahkan, baik oleh kedua orang tuanya, maupun oleh sahabat-sahabat yang pernah hidup bersamanya, pada satu pemahaman tentang agama bahwa agama harus imanen di dalam kehidupan pribadi, sosial dan politik. RPD akan merasakan kesia-siaan dan ketidakmanfaatan dari agama, jika agama hanya menjadi satu retorika, dengan demikian agama hanya berhenti pada tataran retorika dan tidak menjadi trembling.

RPD bukan tidak mau mendalami agama secara formal, namun dia tidak mau pada suatu saat nanti menggunakan agama (Islam) yang secara murni merupakan sebuah keyakinan sebagai sumber pembelaan atas perilaku keduniawiannya. Ia melihat telah terjadi reduksi terhadap premis-premis dasar dalam agama (Islam), seperti, bahwa Islam adalah Arab, Muhammad adalah wakil Tuhan yang segala perkataannya sama sucinya dengan al-Qur’ân itu sendiri dan lain sebagainya.

Islam dalam pandangan RPD adalah persoalan personal, yang tidak perlu dibicarakan kepada publik, misalnya tentang bagaimana seseorang itu beribadah, kapan, di mana, bacaan-bacaan dalam ritus-ritus keagamaan dan lain sebagainya.

130

Sedari masa remaja atau ketika duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), RPD mengaku telah mengenal dan bersentuhan dengan beberapa pemikiran yang ia baca dari buku-buku yang dikoleksi oleh pamannya, termasuk buku-buku yang berkaitan dengan studi keagamaan dan keislaman. Menurut penuturan RPD, beberapa buku yang telah ia baca antara lain buku tentang Jalâluddîn Rûmî, Max Weber, Karl Marx, al-Ghazâlî, falsafah Islam, sekulerisme Islam di Turki, Mohammed Arkoun, Muhammad Iqbal, falsafah Yunani dan lain sebagainya. Keranjingan membaca RPD ini ditulari dari orang tua dan keluarganya yang memang terkenal kutu buku.

Ketika remaja hingga dewasa RPD banyak menghabiskan waktu bersama para seniman dan sastrawan, antara lain W.S Rendra, Noorca Massardi (Pemimpin Redaksi Majalah Jakarta Jakarta), Seno Gumira Adjidarma dan Alex Komang. Penulis meyakini bahwa pergaulannya dengan para seniman dan sastrawan tersebut turut membentuk pola pikir keberagamaan RPD.

Dalam perjalanan hidupnya, tahun 2001 merupakan momen terpenting dan bersejarah bagi RPD dalam memahami makna hidup, termasuk soal keberagamaannya. Pada tahun itu, RPD telah divonis mengalami penyakit gagal ginjal kronis yang harus memaksanya melakukan cuci darah sebanyak tiga kali seminggu. Dari peristiwa ini, banyak pemahaman RPD tentang makna hidup dan keberagamaan yang mengalami perubahan ke arah yang lebih religius di mana ia

merasa bahwa sebagai manusia dirinya akan selalu bertaut kepada Tuhan sebagai sumber ontologisnya.131

Pemikiran-pemikiran RPD yang kritis dan segar dalam berbagai bidang pemikiran, terutama dalam bidang seni dan budaya, yang termuat di banyak media terkemuka di Indonesia, mendapat respon positif dan simpati dari para intelektual. Tak ayal, sejak masih duduk di bangku kuliah, RPD sudah sering diundang sebagai pembicara di berbagai forum diskusi dan seminar yang terkadang lawan bicara RPD dalam seminar itu adalah profesor-profesor yang menguasai di bidangnya.

Hingga sekarang, RPD tetap aktif menghadiri forum-forum diskusi dan seminar, yang tajuknya hingga ke persoalan agama. Seperti dalam Soegeng Sarjadi Forum132 di mana RPD dan tokoh-tokoh intelektual agama seperti Komaruddin Hidayat (Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), Yudi Latif (Deputi Rektor Paramadina), Mudji Soetrisno (dosen Driyakarya), pernah duduk satu meja, dengan berbagai tema pembicaraan antara lain: "Manusia Makhluk Termulya," dalam edisi Puasa Ramadhan 2006, "Ilmu Pengetahuan, Manusia dan Agama," (edisi Isrâ’ Mi‘râj 2007) dan "Kurban dalam ‘Îd Adlhâ" (edisi ‘Îd al-Qurbân 2007).

RPD pun mengaku bergaul cukup akrab dengan para intelektual Islam, antara lain dengan Komaruddin Hidayat. Pergaulannya dengan Komaruddin

7 7>6 @ + 1 E F + 1 @ ?

EGG--- + G G - G9 9 G9 G7*8 78 79

8994 0 7 99 5).

132Soegeng Sarjadi Forum adalah sebuah forum diskusi yang digelar oleh lembaga

Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) yang mengetengahkan berbagai tema-tema aktual di masyarakat dengan berbagai pembicara yang berkompeten di bidangnya. Acara ini sendiri disiarkan melalui televisi kabel MQTV. Dokumentasi siaran di mana RPD menjadi pembicara dapat dilihat dalam dokumentasi siaran yang penulis miliki.

Hidayat membuat RPD dan para penulis lainnya dipercaya untuk mengerjakan sebuah esai yang kemudian akan dijadikan sebuah buku.

Dokumen terkait