! " # #
! " # #
! " # #
! " # #
$ % &' ( & "" " $ & $ ' $ % &' ( & "" " $ & $ ' $ % &' ( & "" " $ & $ ' $ % &' ( & "" " $ & $ ' ) ' & # * $ ( " * ' && ( ) ' & # * $ ( " * ' && ( ) ' & # * $ ( " * ' && (
) ' & # * $ ( " * ' && ( %%%% ''''
+ (,- ,
+ (,- ,
+ (,- ,
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk memenuhi persyaratan meraih gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh:
Arif Sugiharto
NIM: 0032118695
Di bawah Bimbingan
Pembimbing,
Drs. Nanang Tahqiq, MA.
NIP. 150240753
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan untuk:
Andriyani, Istriku,
Tanpa dia, penulis akan menjadi seseorang yang “tidak ada.”
Ibu Siti Aminah, Mertuaku
Kedua orangtuaku
Saudara-saudara kandungku Seluruh keluargaku
Hikmah kehidupan ada di mana-mana, termasuk di dalam keluarga
Radhar Panca Dahana,
Sebagai inspirator tangguh yang patut penulis tiru
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul PARADIGMA KEBERISLAMAN RADHAR PANCA
DAHANA (DITINJAU DARI BENTUK BERTEOLOGI DI INDONESIA)
telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, pada Selasa, 17 Juni 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I) pada jurusan Perbandingan Agama.
Jakarta, 17 Juni 2008
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota
Drs. Masri Mansoer, MA Maulana, MA
NIP. 150244493 NIP. 150293221
Penguji I Penguji II
Dr. Hamid Nasuhi, MA Dra. Ida Rosyidah, MA
NIP. 150241817 NIP. 150242267
Pembimbing,
Drs. Nanang Tahqiq, MA
= a
= b
= t
= ts
= j
= h
= kh
= d
= dz
= r
= z
= s
= sy
= sh
= dl
= th
= zh
= ‘
= gh
= n
= w
= h
= ’
= y
Untuk Madd dan Diftong
=
â
= aw
= û
KATA PENGANTAR
Sembah dan sujud hamba kepada Allah SWT, Tuhan semesta alam, Tuhan seluruh ummat manusia yang mengatur alam ini dengan penuh cinta dan kasih. Dan penulis yakin atas cinta kasih-Nya, penulis dapat merampungkan tugas akhir skripsi ini. Salam penghormatan kepada manusia istimewa yang telah mengorbankan hidupnya untuk tegaknya nilai-nilai kemanusiaan di muka bumi ini, Nabi Muhammad SAW.
Ucapan terima kasih penulis haturkan kepada Bapak Dr. H. M Amin Nurdin, MA, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Ibu Dra. Ida Rosyidah, MA, selaku Ketua Jurusan Perbandingan Agama, Bapak Drs. Maulana, MA, selaku Sekretaris Jurusan Perbandingan Agama yang dengan baik hati telah memberikan semangat untuk menyelesaikan skrips ini. Dan seluruh dosen-dosen di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, khususnya di jurusan Perbandingan Agama yang telah mengajari penulis dengan penuh antusiasme sehingga penulis mampu melihat realitas kehidupan beragama dengan sesungguhnya.
Bapak Drs. Nanang Tahqiq, MA, selaku dosen pembimbing. Banyak pesan dan kesan positif serta penuh makna ketika penulis menjalani bimbingan dengan beliau. Beliau adalah figur yang sabar dan detail dalam melakukan bimbingan skripsi, sehingga mampu memberikan masukan yang sangat amat berharga bagi penulis.
Kepada seluruh staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakulas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas pelayanan yang baik. Juga penulis tidak lupa haturkan terima kasih kepada beberapa institusi yang telah menyediakan ‘waktunya’ untuk memberikan pinjaman bahan-bahan skripsi ini, seperti Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS), terutama Mbak Miskola yang dengan ramah membantu penulis dalam mendapatkan dokumentasi siaran diskusi Radhar Panca Dahana. Kepada perpustakaan Freedom Institute, perpustakaan HB. Jassin, perpustakaan Wahid Institute dan perpustakaan Imam Jama.
apapun demi sang suami. Tidak lupa kepada Ibu mertua, Siti Aminah yang selalu memberikan nasihat-nasihat baik kepada kami. Juga kepada keluarga tercinta Papa dan Mamaku, Omah, Emak dan Saudara dan saudari kandungku atas semua dorongan dan doa.
Ucapan terima kasih terbesar juga penulis haturkan kepada Abang Radhar Panca Dahana dan keluarga yang telah bersedia meluangkan waktu untuk diwawancarai di tengah-tengah kesibukannya. Selain bahan-bahan skripsi yang diberikan, penulis juga mendapatkan banyak hal bermanfaat dari setiap obrolan dan diskusi dengan Abang Radhar. Bagi penulis, Abang Radhar memang seorang inspirator tangguh. Dua kata kunci yang akan selalu penulis ingat dari Abang Radhar: “independensi dan idealisme.”
Terima kasih juga kepada Komunitas Teater Syahid UIN Jakarta, yang penulis anggap sebagai keluarga kedua yang telah bersedia menampung segala kegelisahan penulis sebagai manusia muda dan mewujudkan kegelisahan itu dalam bentuk berkesenian yang mampu membuka potensi yang ada dalam diri penulis. Kita akan selalu mengingat: “Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata” (mengutip sajak Rendra). Dan marilah kita terus dan terus berkarya. Tidak lupa, penulis haturkan terima kasih kepada teman-teman pekerja seni di Ciputat atas pergaulan dan obrolan yang bermakna.
Terima kasih kepada Mas Klutuk yang kini menjabat redaktur politik di harian Nonstop dan rekan-rekan yang pernah berjuang bersama melawan
pemerintahan tiranik di negeri ini yang tergabung dalam komunitas pergerakan kampus, khususnya di Kesatuan Aksi Mahasiswa Jakarta (Kamjak) UIN Jakarta. “Hanya ada satu kata: LAWAN!” (mengutip sajak Wiji Tukul). Terima kasih atas dukungan semangatnya.
ilmiahnya. Pak Idris, Gus Sholah dan Mas Dlirin “ Saya tidak akan pernah melupakan keceriaan kita dalam bekerja.”
Terima kasih penulis haturkan juga kepada rekan-rekan wartawan dan para pekerja di Tabloid Gema Olahraga (GO), harian Indo Pos dan Tabloid Wanita Indonesia. Kebersamaan kita memang singkat, namun banyak petuah dan ilmu yang sangat bermanfaat bagi penulis dalam melanjutkan hidup ini. “Jangan lupa:
cover both side.”
Terima kasih selanjutnya adalah kepada Pondok Pesantren Tarbiyatul Falah di Cicurug, Sukabumi, Jawa Barat, tempat penulis menimba berbagai ilmu (agama dan kemasyarakatan) selama kurun waktu enam tahun. Dari sinilah awal penulis mengenal kehidupan sesungguhnya dan mengenal kasih sayang yang tulus dan murni dari orang-orang yang penulis anggap sebagai orang tua dan keluarga, yakni kepada Ajengan Asep Yusuf Afandi dan Ibu Idah, Ajengan Fauzi dan Ibu Euis, Pak Mumuh dan Ibu Anis serta seluruh keluarga besar pondok pesantren.
Tidak lupa kepada keluarga besar Pak Abbas dan Mamih, Mamah Nining, Mamah Martin dan Mamah Yayan yang telah berkenan rumah tinggalnya dijadikan tempat ’peristirahatan’ oleh para santri untuk melepas lelah setelah berjibaku dengan rutinitas pondok dan tentunya ’melepas’ kelaparan perut kami. Sampai kapanpun penulis tidak akan pernah lupa apa yang telah keluarga Pak Abbas berikan kepada kami dari mulai perhatian dan kasih sayang hingga hal-hal yang bersifat materiil. Dan terakhir kepada teman-teman di desa Sadammukti dan keluarganya, Ipang, Blank, Kaka dan Ade, yang telah menerima kehadiran penulis dengan kehangatan dan rasa persaudaraan yang kental. “Saya pasti akan selalu kembali.”
Guru spiritual Kang Ajuy dan keluarga yang telah memberikan bimbingan ruhani kepada penulis. Banyak petuah dari beliau yang kini penulis jadikan pegangan dalam mengarungi hidup ini. Dan tidak lupa kepada tiga punggawa perkumpulan spiritual Sukabumi, Asep Cepot, Bang Idris dan Dedet. “Ingat kita selalu bersama dan tidak akan pernah pecah.”
Ainurahman (pekerja pers), teman-teman perkumpulan guru sufi di Depok, Anwar Cablak the best friend, teman-teman di komunitas Lombok, Lestari Sunyek, Riadi,
Akieb dan Oji Lalu, Fator dan seluruh rekan-rekan di jurusan Perbandingan Agama angkatan 2000.
Dan terakhir penulis berterima kasih adalah kepada orang-orang yang pernah menjalin persahabatan dengan penulis di berbagai komunitas dan wilayah pekerjaan yang tidak mungkin penulis sebutkan satu per satu karena adanya keterbatasan. Yang terpenting adalah persahabatan yang telah terjalin di antara kita tidak pernah terputus.
Ciputat, 2 Mei 2008
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR... i
DAFTAR ISI ... v
PEDOMAN TRANSLITERASI ... vii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 10
C. Tujuan Penelitian ... 10
D. Studi Kepustakaan... 12
E. Metode Penelitian... 13
F. Sistematika Penulisan... 15
BAB II BENTUK BERTEOLOGI DI INDONESIA A. Pengertian Teologi secara Umum ... 16
B. Pengertian Teologi Islam di Indonesia ... 21
C. Sejarah Kemunculan Corak Berteologi di Indoneisa ... 22
D. Bentuk-Bentuk Berteologi di Indonesia ... 31
1. Teologi Tradisional ... 31
2. Teologi Rasional... 34
3. Teologi Neo-Modernisme... 37
BAB III BIOGRAFI RADHAR PANCA DAHANA
A. Riwayat Hidup... 45
B. Pergulatan Radhar Panca Dahana dalam Dunia Akademik... 49
C. Aktivitas Radhar Panca Dahana ... 51
D. Karya-karya Radhar Panca Dahana... 53
Bab IV PARADIGMA KEBERISLAMAN RADHAR PANCA DAHANA: PANDANGAN TENTANG TUHAN DAN MANUSIA A. Konsep Keberislaman Radhar Panca Dahana... 55
B. Pandangan Radhar Panca Dahana Tentang Tuhan... 63
1. Keesaan Tuhan ... 63
2. Tuhan dalam Tafsiran Angka ... 66
C. Pandangan Radhar Panca Dahana tentang Manusia... 69
1. Manusia sebagai Homo-Religius... 69
2. Manusia Semesta dalam Konteks Keberislaman... 72
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 77
B. Saran ... 79
DAFTAR PUSTAKA... 81
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Sejak awal abad ke-20 pemahaman masyarakat Muslim Indonesia
terhadap agamanya telah mengalami transformasi secara massif. Kebanyakan
ummat Islam terutama sarjana Muslim terdidik Barat secara berani dan
bertanggung jawab kembali menelaah dan mempertanyakan pemahaman dan
keyakinan beragama yang mereka anut selama ini, yang dalam hal ini terkait
dengan doktrinal Islam yang prinsipil, seperti tawhîd, Kitab Suci dan kenabian.1
Dalam produk pemahaman yang baru masyarakat Muslim terdidik Barat
itu tidak mau asal menerima dan menggunakan dogma-dogma agama tradisional
(konservatif) tanpa proses penelahaan kritis. Dan telaah kritis mereka dilakukan
dengan menggerakkan berbagai disiplin keilmuan (multidisipliner) secara
komprehensif. Penelahaan kritis tersebut dilakukan sebagai penegasan bahwa
tidak ada pertentangan antara keyakinan agama yang dianut dengan proses
kehidupan yang tengah mereka jalani di era modern.2 Sehingga ummat Islam
dapat dengan leluasa mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya yang bisa
berdampak kepada kemajuan bangsa dalam berbagai bidang kehidupan.
Gagasan-gagasan pembaharuan yang disuarakan oleh sarjana keislaman
itu, secara perlahan-lahan mengikis hegemoni dan dominasi pemahaman
tradisional atas keyakinan agama yang pada umumnya bersandar kepada pendapat
aliran dalam madzhab fiqh ditambah sikap taqlid buta atas setiap fatwa-fatwa
1Baca Prof Howard M Federspiel dalam Kata Pengantar pada buku, Fauzan Saleh,
Teologi Pembaharuan: Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta: 2004), h. 5-9.
2Azyumardi Azra,
yang disuarakan oleh para agamawan. Paradigma kebanyakan individu Muslim
yang terpenjara oleh pemahaman-pemahaman tradisional seperti itu dinilai
sebagai pemicu utama kemunduran yang dialami ummat Islam Indonesia.3
Dari persoalan kebuntuan dan kemunduran yang dialami ummat Islam
Indonesia yang kemudian memunculkan usaha-usaha pembaharuan dalam bidang
teologis sebagai persoalan dasar yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan
masyarakat Muslim Indonesia, lahirlah beragam corak atau bentuk-bentuk
berteologi (Islam) di Indonesia.
Kemunculan beragam corak atau bentuk berteologi di Indonesia tersebut
adalah sebagai respon atas situasi dan kondisi kebekuan dan kemunduran yang
dialami ummat Islam dalam banyak bidang antara lain ekonomi, sains dan
teknologi, politik dan kebudayaan. Namun demikian, kelahiran teologi-teologi
yang dianggap sebagai pembaharuan itu tidak otomatis menghilangkan corak
teologi tradisional-klasik (Asy‘ariyyah) atau dalam istilah kontemporer
dinamakan dengan teologi formalis-normatif-tradisional.4 Sebagian besar
masyarakat Muslim Indonesia hingga sekarang masih banyak menganut aliran
teologi tersebut.
Bentuk teologi pembaharuan di Indonesia pada umumnya didasari atau
dipengaruhi oleh dua teologi besar, yaitu teologi rasional yang diusung oleh
Harun Nasution dan teologi neo-modernisme yang disuarakan oleh Nurcholish
Madjid (Cak Nur).5 Kendati demikian, ada juga corak teologi yang selama ini
3Moeslim Abdurrahman,
Islam Transformatif, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), cet. 3., h. 62-65.
4Fachry Ali dan Bachtiar Effendi,
Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, (Bandung: Mizan, 1986), h. 48-49.
5Fauzan Saleh,
kurang terdengar, namun memiliki pengaruh besar secara diam-diam yakni teologi
kultural yang salah satunya digerakkan oleh Abdurahman Wahid (Gusdur).6
Lebih menarik lagi, dalam fenomena masyarakat Muslim kekinian,
pemikiran tentang pembaharuan teologis yang berkembang di Indonesia tidak
hanya terpusat dan diramaikan oleh mereka yang disebut sebagai pemikir-pemikir
arus utama (mainstream), yang dalam kategori ini adalah para sarjana Muslim
didikan Barat yang dulu pernah mengecap pendidikan tradisional Islam (pesantren
atau madrasah yang mengajarkan bahasa Arab, fiqh, ‘ulûm al-Qur’ân dan ‘ulûm
al-Hadîst) atau mereka yang pernah hidup di seputar lingkungan dan kalangan
pesantren, melainkan juga oleh mereka kalangan masyarakat perkotaan,
sekular-rasional dan tidak terdidik dalam ilmu-ilmu Islam tradisional7 (sarjana Muslim
sekular). Dengan demikian mereka diyakini tidak begitu menguasai ilmu-ilmu
tradisional Islam. Oleh William Liddle, individu-individu tersebut diberi nama
6
Penamaan berbagai corak teologi Islam di Indonesia sangat beragam sekali tetapi setiap satu istilah tidak begitu ketat dan mengikat, dan terkadang dipertukarkan maka penamaan istilah tersebut tidak baku atau mutlak. Dalam berbagai literatur dapat ditemukan istilah dari bentuk-bentuk teologi, antara lain teologi transformatif, teologi rasional, teologi pembangunan, teologi kultural dan teologi substansialis. Untuk mengetahui istilah dari bentuk-bentuk teologi, baca antara lain buku Teologi Pembangunan, ed. M. Masyhur Amin (Yogyakarta: LKPSM NU, 1989), Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, ed. Mark R Woodward, terj. Yuliani Lipoto (Bandung: Mizan, 1998) Azyumardi Azra Konteks Berteologi Islam di Indonesia: Pengalaman Islam (Jakarta: Paramadina, 1999) dan buku Greg Barton, Gagasan Islam Liberal: Pemikiran Neo-modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid, terj. Nanang Tahqiq (Jakarta: Paramadina, 1999). Dalam penulisan ini penulis hanya akan menggunakan beberapa bentuk teologi yang banyak mendominasi atau berpengaruh dan telah banyak dikaji oleh kalangan akademisi, yaitu teologi tradisional, teologi rasional, teologi neo-modernisme dan teologi substansialis.
7Islam di Indonesia dianut oleh dua lapisan struktur masyarakat, yaitu masyarakat
dengan sebutan Islam substansialis.8 Sedangkan bila menggunakan kerangka teori
Azyumardi Azra, kelompok ini bisa dikategorikan sebagai Muslim subaltern9.
Kebanyakan mereka adalah individu-individu yang menggeluti satu bidang
tertentu, misalnya politik, kesenian, sastra, ekonomi, lembaga swadaya
masyarakat dan lain sebagainya. Mereka tidak mau bidang-bidang tersebut
tergerus hancur oleh sebab persoalan doktrinal Islam (teologis).
Para Muslim substansialis subaltern ini meyakini persoalan teologis dalam
Islam yang pada umumnya masih bersandar kepada paradigma
tradisional-normatif dan dianggap dapat membuntukan ruang gerak atau bidang yang mereka
geluti (politik, ekonomi, seni dan budaya) di mana di ruang atau bidang itulah
mereka bisa mencurahkan segala potensi kemanusiaan yang telah diberikan
Tuhan. Namun di sisi lain mereka juga cenderung menolak para pemikir arus
utama yang beraliran moderat-liberal (sarjana Islam berpendidikan Barat), karena
mereka dianggap belum mampu menyentuh akar persoalan yang dihadapi oleh
golongan Muslim subaltern ini terkait dengan bidang yang mereka geluti.
Untuk mencegah terjadinya kemunduran dan pereduksian makna terhadap
bidang-bidang yang mereka geluti, tidak sedikit yang kemudian para individu
8Kelompok substansialis tidak terpaut dengan warna-warni kelompok sektarian
keislaman, seperti Muhammadiyah, Sunnî dan non-Sunnî. Berbeda dengan kelompok pemikir arus utama yang memiliki keahlian dalam ilmu-ilmu tradisionalis dan modern sekaligus, yang terdidik klasik dan dipengaruhi pendidikan pesantren tradisional yang kental, kelompok substansialis tidak memiliki latarbelakang pendidikan tradisional keislaman, seperti pesantren, baca Greg Barton, Gagasan Islam Liberal: Pemikiran Neomodernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Abdurrahman Wahidan dan Ahmad Wahib, terj. Nanang Tahqiq (Jakarta, Paramadina, 1999), h. 34-35. Tentang kelompok substansialis secara lebih dalam akan dibahas pada bab 2.
9Berasal dari kata Latin subalternus. Sub berarti di bawah dan altern berarti yang lain.
tersebut melakukan usaha-usaha yang antara lain mengeluarkan gagasan-gagasan
personal-alternatif keislaman yang lebih kontekstual sebagai landasan berpijak
mereka dalam menjalankan aktivitas mereka. Tidak seperti kebanyakan pemikir
arus utama yang menggunakan metode kombinasi modern-tradisional dalam
memahami dan menafsir Islam, mereka para Muslim substansialis subaltern
memahami Islam dengan metode empiris ditambah dengan menggunakan
latarbelakang keilmuan yang sekular.10
Dari konteks inilah besar keinginan penulis untuk menempatkan
paradigma keberislaman Radhar Panca Dahana (selanjutnya disingkat RPD)
dalam objek kajian keislaman di mana penulis akan menempatkan RPD sebagai
Muslim subaltern11 yang memiliki cara pandang alternatif keislaman, dalam hal
10Kasus seperti ini terjadi di Indonesia di mana HB Jassin, seorang sastrawan Indonesia,
yang hanya memiliki latar belakang pendidikan sekular (kesusasteraan) di Barat (Belanda dan Amerika) mampu menelurkan sebuah karya yang dianggap monumental, yaitu Al-Qur`an Bacaan Mulia (ABM) sebagai karya terjemahan dan Al-Qur’ân Berwajah Puisi (ABP) sebagai penemuan model penyusunan mushhaf al-Qur`ân. Dalam penerjemahan ABM, Jassin hanya mempelajari bahasa Arab ketika mengajar sekaligus menjadi Mahasiswa di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, baca Abdul Hafid, “Estetika Puitis al-Qur`ân: Studi Analisis tentang Dua Metode HB. Jassin Memahami al-Qur`ân,” Skripsi (Jakarta: Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah: 2005), h. 3. Alasan Jassin melahirkan karya ABM dan ABP adalah, antara lain, karena terjemahan al-Qur’ân yang ada sekarang cenderung ditulis dalam bahasa prosa yang lebih mengutamakan kandungannya saja yang pada akhirnya cenderung kaku, baca Abdul Hafidh, “Estetika Puitis al-Qur’ân: Studi Analisis tentang Dua Metode HB Jassin Memahami al-Qur`an,” h. 3
11Peta pemikiran Islam di Indonesia tidak selalu monolitik dan tunggal, dalam arti hanya
ini adalah tentang Tuhan dan manusia, dan ditinjau dari bentuk berteologi di
Indonesia, untuk mengetahui bentuk berteologi macam apa pemikiran yang
digagas RPD tersebut.
RPD adalah seorang pemikir,12 yang berlatarbelakang sebagai seorang
sastrawan,13 dan seniman14 Muslim yang pernah mengenyam pendidikan Barat.15
Sesuai dengan latarbelakangnya, sebagai seorang sastrawan, seniman kemudian
ditambah sekolah di jurusan sosiologi di Barat, banyak hal yang disorot RPD studi keislaman. Padahal bukan tidak mungkin kritik konstruktif atas pemahaman agama yang telah mapan bisa muncul dari pandangan mereka. Selain itu, wacana keilmuan sekular yang digunakan RPD dalam memahami agama (Islam) setidaknya bisa memberikan pandangan dan saluran alternatif bagi seorang Muslim dalam merespon dan memperlakukan peradaban modern demi sebuah kemajuan Islam. Dengan mengkaji paradigma keberislaman RPD sebagai Muslim subaltern, skrispsi ini bisa
dikatakan sebagai bagian dari subaltern studies yang mengekplorasi dan mengetengahkan tema keagamaan dari seseorang tokoh yang memiliki pemahaman splinter (orang yang berbeda dengan pemikiran arus utama)
atas agama yang dianutnya. Penulis melihat bahwa selama ini arus utama dalam diskursus keilmuan Islam menjadi terpusat, terhegemoni dan terkontrol oleh agamawan dan intelektual Islam yang notabene berasal dari kalangan pesantren dan perguruan tinggi Islam. Padahal fenomena masyarakat Muslim menunjukkan bahwa selama ini banyak orang yang menafsirkan dogma agamanya (al-Qur’ân) tidak dengan menggunakan metode normatif-tradisional, melainkan juga dengan merujuk kepada hasil pemikiran pemikir-pemikir agama yang telah ada dan atau menggunakan disiplin keilmuan sekular (antropologi, sosiologi, seni, budaya dan lain-lain) yang dimilikinya. Oleh karenanya “Islam sebagai sebuah realitas historis, sosiologis dan kultural tidak pernah tunggal dan monolitik.” Penulis tidak menggunakan teori Clifford Geertz, untuk memetakan RPD masuk ke dalam kelompok Muslim Abangan dan tidak juga sebagai Muslim sekular. Karena teori Abangan sudah tidak tepat untuk mengklasifikasikan masyarakat Jawa dalam golongan agama, karena klasifikasi tersebut tidak bersumber pada satu sistem klasifikasi yang sama. Parsudi Suparlan yang dikutip oleh Abuddin Nata menegaskan, “Abangan dan Santri adalah penggolongan yang dibuat menurut tingkat ketaatan mereka
menjalankan ibadah agama Islam, sedangkan Priyai adalah suatu penggolongan sosial,” baca Abuddin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Pustaka, 2001), h. 183-184. Selain
itu, istilah Abangan cenderung denotatif yang isinya merendahkan derajat bagi mereka yang tidak taat dalam
menjalankan ibadah, baca Abuddin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam Indonesia, h. 184. Dalam hal ini RPD adalah Muslim taat beribadah, tetapi tidak terdidik dalam ilmu-ilmu Islam tradisional. Sedangkan, kenapa penulis tidak menggunakan Muslim sekular adalah untuk menghindari anggapan bahwa RPD adalah orang menutup diri dari agama serta menafikan perannya dalam kehidupan ini. RPD tetap berpandangan bahwa fungsi dan peran sangat vital dalam kehidupan agama, meskipun hanya sebatas peran spiritualisme, baca RadharPanca Dahana, “Keragaman yang Teperdaya,” Gatra 13 Oktober 2007, h.106.
12Fokus terbesar dalam hidupnya adalah antara lain dicurahkan untuk bidang pemikiran. Ada tiga
bidang yang menjadi sorotan RPD, yaitu sosio-kultural (dalam hal ini termasuk agama), kesenian dan sastra. Penulis dalam hal ini hanya akan mengelompokan dan memfokuskan kepada pemikiran RPD dalam bidang keagamaan (Islam) yang meliputi pandangannya tentang Tuhan dan manusia.
13Sebagai sastrawan RPD banyak menelurkan karya-karya dalam bentuk cerpen, puisi dan prosa
yang tema-temanya sangat aktual dengan situasi kekinian dan problema yang dialami manusia modern. Kumpulan puisinya yang berjudul Lalu Batu dan Lalu Waktu dinilai oleh berbagai kalangan penikmat sastra
sebagai karya fenomenal. RPD juga telah menulis sebuah buku sastra dengan judul Kebenaran dan Dusta dalam Sastra (Yogyakarta: Lkis, 2004).
14RPD juga seorang pekerja seni. Sejak duduk di SMP RPD telah menggeluti dunia seni teater di
berbagai paguyuban teater baik sebagai pemain, penulis naskah dan sutradara. Pementasan teater yang ia bawakan selalu aktual dengan persoalan-persoalan yang dihadapi manusia modern, seperti tema pencaharian identitas individu di tengah dunia yang materialis dan modern.
15Ia adalah seorang sarjana strata dua (S-2) jurusan Sosiologi lulusan EHESS (Ecole des hautes
dalam pemikiran, namun dalam skripsi ini penulis hanya akan menggali pemikiran
RPD yang termuat dalam karya-karya tulisannya dalam bidang keagamaan (Islam)
dengan fokus menggali pandangannya seputar Tuhan dan manusia.
RPD memiliki ciri khas dalam melahirkan gagasan-gagasan dalam bidang
keagamaan. Meskipun ia memiliki latar belakang pendidikan Barat, ia tidak
otomatis berpihak kepada paradigma Barat, yang menurut RPD terlalu
mengeliminir metabolisme spiritual yang ada di dalam jiwa manusia, dalam
menilai agama.
Dalam masalah keyakinan dan paham keagamaan, bagi RPD, setiap
manusia tidak boleh terikat dan bergantung pada suatu monopoli dan otoritas
kebenaran ilmu pengetahun, peradaban dan dogma-dogma agama yang
menghegemonik sebagai pilihan hidup,16 lebih-lebih mengikuti satu paham dan
keyakinan seseorang, yang dilihatnya sebagai suatu hasil penafsiran atau
interpretasi terhadap segala sesuatu. Setiap Muslim, bagi RPD harus mampu dan
berhak menafsir sekaligus membentuk keyakinan Islamnya dan tauhidnya
masing-masing sesuai dengan kapasitas intelektual, psikologis dan mental.
Dalam konteks agama Islam di Indonesia, RPD berusaha mengubah
wacana hegemoni paradigmatik intelektual global yang telah masuk dan
membentuk nalar kritis intelektual Muslim Indonesia, yakni dengan cara
melakukan perubahan paradigmatik-ideologis.17
Usaha-usaha dasar untuk melakukan perubahan paradigmatik-ideologis
yang ditawarkan oleh RPD antara lain adalah dengan mengubah cara pandang
16Wawancara penulis dengan RPD pada tanggal 11 November 2007 pukul 19.00-22.00
WIB di kediaman RPD di perumahan Villa Pamulang, Tangerang, Banten.
17 Radhar Panca Dahana,
(persepsi) individu-individu Muslim terhadap dogma agama (fatwa atau tafsir
agamawan atau ulama). Bagi sebagian masyarakat Muslim apa yang berasal dari
tafsiran seorang agamawan atau ulama adalah sesuatu yang juga dianggap berasal
dari Tuhan yang absolut dan maha sempurna.
Sedangkan menurut RPD dogma agama (Islam) yang berasal dari
agamawan dan ulama tersebut adalah ajaran yang belum tentu murni berasal dari
Tuhan, bisa saja tafsiran atas dogma itu adalah kesepakatan antara manusia
dengan manusia maupun manusia dengan budaya lokalnya yang berlangsung
ketika dogma itu dirumuskan.18 Dalam kasus Islam ditemukan seorang ulama
berijtihad dalam menentukan sebuah hukum fiqh, tidak terlepas dari pengalaman
empiris ulama tersebut terhadap realitas sosial-kultural-geografis yang ada di
sekitarnya.19
Dogma yang ilahiah menurut RPD adalah dogma yang tidak menutup
potensi kemanusiaan yang dimiliki oleh manusia itu sendiri, tetapi sebaliknya
justru akan memberikan ruang sebesar dan seluas mungkin bagi tiap manusia
untuk mengoptimalkan peran yang sudah difitrahkan kepada manusia.20
Antara lain atas dasar hal-hal di atas, RPD berpandangan bahwa
ajaran-ajaran Tuhan dalam setiap agama sebenarnya adalah ajaran-ajaran kemanusiaan. Dalam
artian, keterlibatan manusia di dalam hukum-hukum Tuhan dalam hal memahami
dan menafsir adalah sebuah keniscayaan. Ini tercermin dari konsep Tuhan dalam
18“Radhar Panca Dahana: ‘Semua Orang Merindukan Tuhan, Tapi…’”
http://islamlib.com/id/index.php?page=article7id=944 diakses pada 10 Agustus 2007.
19Dengan perbedaan budaya yang dihadapi oleh para imam madzhab
fiqh, serta mempertimbangkan faktor sosial budaya, maka ditemukan perbedaan-perbedaan bentuk hukum yang ada pada mereka, meski itu dalam satu kasus. Bahkan seorang imam bisa berubah istilah atau metode yang dipakai dalam menentukan produk hukum tatkala ia pindah dari satu daerah ke daerah lain. Baca, Azyumardi azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, cet. I., h. 12.
20“Radhar Panca Dahana: ‘Semua Orang Merindukan Tuhan, Tapi…’”
Islam yang menurut RPD diwakili oleh 99 atau yang biasa disebut asmâ’
al-husnâ. Kenapa 99? Karena Islam bukan dan tidak akan menjadi agama yang telah
mencapai kesempurnaan tanpa adanya keterlibatan manusia di dalamnya. Dalam
tafsiran RPD, angka 99 bukanlah angka yang belum mencapai sempurna, ia harus
disempurnakan dengan kehadiran angka satu yang tak lain dan tak bukan adalah
manusia. Berbeda dengan konsep ketuhanan pada agama Kristen yang telah
berkeyakinan bahwa konsep ajaran ketuhanan mereka telah sempurna dan tidak
perlu dilakukan intepretasi oleh manusia. Hal ini terlihat dari bentuk salib yang
menurut tafsiran RPD merupakan bentuk lain dari huruf Romawi, X (10) yang
artinya Xristos atau sempurna.21
Dalam pandangannya tentang manusia, RPD menilai bahwa manusia
dalam pergumulannya dengan peradaban modern kian terseret keluar dari pusat
lingkaran eksistensi mereka sendiri. Di sinilah kemudian problem eksistensial
mencuat kembali: “bagaimana seorang individu, kelompok, bangsa atau warga
dunia menjelaskan dirinya sendiri”22
Problem eksistensial itu akan melahirkan kerinduan manusia untuk
mengembalikan kesadarannya kepada bentuknya yang paling amat purba: yaitu
mencari dan mendekati Tuhan yang merupakan kodrat pertama manusia. Dalam
penjelasannya yang lebih lanjut, RPD menyimpulkan bahwa sebenarnya sudah
menjadi kodrat bahwa sebenarnya manusia adalah homo-religius.
Dari penjelasan-penjelasan tersebut penulis ingin menguraikan satu bentuk
penulisan tentang paradigma keberislaman RPD yang dalam hal ini mengkaji
pandangannya tentang Tuhan dan manusia yang ditinjau dari bentuk berteologi
21Radhar Panca Dahana, “2008”
Gatra 7 Januari 2008, h. 106
22Radhar Panca Dahana,
Islam di Indonesia ke dalam satu penulisan skripsi dengan judul Paradigma
Keberislaman Radhar Panca Dahana (Ditinjau dari Bentuk Berteologi di Indonesia).
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Keberislaman RPD adalah hal masih sangat umum sekali. Untuk itu
penulis membatasi pembahasan masalah hanya pada seputar pandangan RPD
tentang Tuhan dalam Islam dan manusia. Untuk menyamakan variabel penelitian
dengan paradigma keberislaman RPD, dalam pembahasan bentuk berteologi pun
penulis hanya akan membahas seputar pandangan Tuhan dan manusia menurut
masing-masing aliran teologi tersebut.
Adapun rumusan masalah yang akan dijawab dalam penulisan skrispsi ini
adalah isi pandangan RPD tentang Tuhan dan manusia serta mencari bentuk
paradigma keberislaman RPD yang ditinjau dari konteks berteologi di Indonesia.
C. Tujuan penulisan
Ada beberapa tujuan dari penulisan karya ilmiah ini. Pertama
memperkenalkan isi pemahaman keberislaman RPD dalam hal ini yang terkait
dengan kajian tentang Tuhan dan manusia. RPD tergolong sebagai Muslim
subaltern atau dengan kata lain Muslim yang pemikirannya tidak menjadi arus
utama (mainstream) dalam wilayah kajian doktrinal Islam atau juga bisa
dikategorikan sebagai Muslim ‘pinggiran.’
Penulis melihat bahwa selama ini arus utama dalam diskursus keilmuan
intelektual Islam yang notabene berasal dari kalangan terdidik dalam ilmu-ilmu
Islam tradisional. Padahal fenomena masyarakat Muslim menunjukkan bahwa
selama ini banyak orang yang menafsirkan dogma agamanya tidak dengan
menggunakan metode normatif-tradisional, melainkan juga dengan merujuk
kepada metode non-tradisional (antropologi, sosiologi, seni, budaya dan lain-lain)
dan atau merujuk kepada hasil pemikiran para pemuka ataupun pemikir-pemikir
agama (baik yang dianggap menyimpang maupun yang tidak). Oleh karenanya
“Islam sebagai sebuah realitas historis, sosiologis dan kultural tidak pernah
tunggal dan monolitik.”23
Untuk itu yang kedua penulis bermaksud memperkaya diskursus keilmuan
Islam dengan mengkaji pemikiran orang-orang, dalam hal ini RPD, yang selama
ini menjadi margin of history dalam kajian keislaman. Dalam hal ini penulis
berharap, para sarjana Islam tidak hanya terpaku untuk meneliti para tokoh-tokoh
Muslim yang menjadi arus utama pemikiran Islam, tetapi juga meneliti
orang-orang yang selama ini dianggap sebagai Muslim pinggiran yang memiliki
pemahaman splinter atas Islam, dengan catatan ia telah memiliki karya-karya
tertulis untuk, setidaknya, menjadi petunjuk atas bentuk paham keagamaan yang
ia anut. Karena dalam realitas historis, sosiologis dan kultural, Islam tidak akan
pernah menjadi tunggal dan monolitik.
Sisi positif yang bisa diharapkan dari meneliti para Muslim subaltern
adalah munculnya kritik konstruktif dan solusif atas kebuntuan pemahaman akan
agama (Islam), dalam ruang lingkup dan bidang tertentu, dalam rangka merespon
dan memperlakukan peradaban mutakhir ini.
23 Azyumardi Azra, “Komunitas Tersisih”
Dan bukan tidak mungkin bahwa fenomena paradigma keberislaman yang
digagas RPD ini mewakili pandangan sejumlah orang yang beridentitas Muslim
dengan kemiripan latarbelakang sosio-kultural.
Ketiga, tidak ada pemikiran yang terlahir secara sempurna dan terklaim
sebagai kebenaran tunggal. Dalam konteks RPD, apa yang dilahirkannya tentu
memiliki kekurangan dan kelebihan, untuk itu apa yang dituangkan RPD dalam
penulisan karya ilmiah ini seyogyanya dapat dikaji secara lebih kritis dan
proporsional dengan menggunakan berbagai sudut pandang.
D. Studi Kepustakaan
Memperkenalkan bentuk paradigma keberislaman RPD sebagai Muslim
substansialis subaltern yang memfokuskan pemikirannya tentang Tuhan dan
manusia sebagai homo-religius yang ditinjau dari bentuk berteologi di Indonesia
dalam bentuk penulisan karya skripsi adalah hal baru dan belum pernah ada
sebelumnya. Walalupun demikian, bentuk pemahaman dan gagasan RPD tentang
agama secara umum dan singkat bisa dibaca dalam wawancara RPD dengan
Jaringan Islam Liberal (JIL) pada situs
http://islamlib.com/id/index.php?page=article7id=944 dengan judul “Radhar
Panca Dahana: ‘Semua Orang Merindukan Tuhan, Tapi….’” Dalam wawancara
tersebut, RPD menjelaskan tentang definisi agama secara fenomenologis-historis,
Tuhan dan dogma serta semiotika.
Selain itu, gagasan keberagamaan RPD juga tertuang dalam
wawancaranya dengan koran Jurnal Nasional edisi 013, Miggu IV-April 2007
tentang makna hidup, dalam wawancara itu RPD juga menguraikan tentang
Tuhan.
Sekalipun berbeda dari tulisan-tulisan tersebut, penulisan skripsi ini adalah
bentuk pendalaman dan perluasan dari isi gagasan dan pemahaman keberislaman
RPD yang memfokuskan kepada pandangan RPD tentang Tuhan dan manusia.
E. Metode Penelitian
Karya penulisan skripsi ini menggunakan dua metodologi penelitian, yaitu
metode pengumpulan data dan metode pembahasan. Untuk metode pertama,
penulis mengumpulkan data-data, literatur dan rujukan melalui studi kepustakaan
(library research) dan studi lapangan (field research) dengan mewawancarai nara
sumber secara langsung. Data-data dalam skripsi ini terbagai dua, yakni, data
primer yang mengulas tentang pengertian, sejarah kemunculan dan bentuk teologi
di Indonesia dan tulisan-tulisan RPD yang terdapat di dalam buku Inikah Kita:
Mozaik Manusia Indonesia, Menjadi Manusia Indonesia, dan yang terdapat di
dalam majalah Gatra24dengan judul “Keberagaman yang Teperdaya” dan “2008.”
Selanjutnya dari data-data primer tersebut, penulis akan memilah dan memilih
pembahasan yang mengulas tentang Tuhan dan manusia.
Penulis menyadari bahwa data-data primer yang ada di dalam buku
maupun majalah tersebut belum mencukupi untuk menjelaskan pandangannya
seputar Tuhan dan manusia dalam penulisan karya ilmiah ini. Untuk lebih
menegaskan lagi tentang pandangan-pandangan RPD, maka penulis harus
mengambil data-data yang ada di dalam wawancara RPD dengan berbagai media
cetak maupun internet. Pertama wawancara RPD dengan Burhanuddin dari
Jaringan Islam Liberal di situs www.islamlib.com dengan judul “Semua Orang
Merindukan Tuhan, Tapi….” Kedua wawancara RPD dengan koran Jurnal
Nasional25 dengan judul “Pergulatan Hidup Radhar Panca Dahana,” ketiga
wawancara RPD dengan majalah Alkisah26 dengan judul “Radhar Panca Dahana:
‘Saya adalah Karyawan Allah’,” dan terakhir wawancara khusus penulis dengan
RPD27
Sedangkan untuk data sekunder penulis menggunakan rujukan pendukung
yang bersumber dari buku dan tulisan lain yang termuat dalam jurnal, majalah,
koran sebagainya. Selain itu, data sekunder dari tulisan-tulisan lain baik yang
berasal dari dalam maupun luar negeri yang masih terkait dengan pembahasan
tetap akan penulis gunakan dalam pembahasan ini.
Setelah data-data yang diperlukan dianggap lengkap, penulis melakukan
pembahasan dengan cara deskriptif-analitis-personal, yaitu menjelaskan,
menguraikan dan memaparkan masalah beserta aspek pentingnya dengan
menggunakan nalar penulis. Untuk lebih memperdalam analisis, penulis
menggunakan pendekatan hermeneutik, yang terbagi dalam dua metode. Pertama,
hermeneutika kecurigaaan (interpretation as excercise of suspention) atau
penafsiran sebagai latiahan kecurigaan. Kedua, penafsiran sebagai upaya untuk
mencari kembali makna (interpretation as recollection of meaning).
25
Jurnal Nasional edisi 0131 Minggu, IV April 2007.
26
Alkisah No. 4 / 1-14 September 2003.
27Wawancara yang langsung terfokus kepada bahasan pokok skripsi dilakukan pada dua
Adapun untuk teknik penulisan karya ilmiah ini, penulis merujuk pada
buku pedoman penulisan skripsi, tesis dan disertasi yang disusun oleh tim
penyusun dari Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2006 ditambah arahan dari pembimbing untuk
melengkapi pedoman Fakultas Ushuluddin dan Filsafat.
F. Sistematika Penulisan
Untuk lebih memudahkan pembahasan, skripsi ini disusun sesuai dengan
alur pembahasan yang komprehensif dan sistematis yang bersandar kepada
BAB II
BENTUK BERTEOLOGI DI INDONESIA
A. Pengertian Teologi secara Umum
Istilah teologi28 di dunia Islam lebih dikenal dengan ‘ilm al-kalâm,29 yang
secara harfiah adalah pembicaraan yang membahas kredo Muslim yang sangat
prinsip seperti ketauhidan, kenabian dan eskatologis.30 Menurut Ahmad Hanafi
penggunaan istilah ‘ilm al-kalâm adalah untuk membahas kredo dasar Islam,
karena pertama, persoalan terpenting yang menjadi fokus pembahasan adalah
firman Tuhan (kalâm Allah). Kedua dasar ‘ilm al-kalâm adalah dalil-dalil pikiran
yang dijelaskan melalui pembicaraan-pembicaraan, dan ketiga untuk membedakan
antara logika dalam filsafat.31
Sedikit berbeda dengan Ahmad Hanafi, menurut Harun Nasution, teologi
adalah ajaran-ajaran dasar dari sesuatu agama. Dalam istilah Arab teologi
memiliki banyak sebutan, yakni ushûl al-dîn (ilmu yang mempelajari dasar-dasar
agama), ‘aqâ’îd (keyakinan dasar), ‘ilm al-tawhîd (keesaan atau monoteisme) dan
terakhir adalah ‘ilm al-kalâm.
28Secara etimologis teologi berasal dari kata Yunani,
theo berarti Tuhan dan logos berarti akal, pikiran, ucapan dan pembicaraan. Dari konteks itu teologi mempunyai pengertian ilmu atau pembahasan tentang Tuhan, Hasbullah Mursyid, “Aliran Khawarij dan Splinter Group” dalam M. Masyhur Amin, ed., Teologi Pembangunan: Paradigma Baru Pemikiran Islam (Yogyakarta: LKPSM NU, 1989), h. 114. Istilah teologi yang dipakai sekarang sebenarnya telah lama ada. Istilah ini digunakan oleh para pemikir (intelektual) keagamaan di Yunani untuk menjelaskan soal-soal keagamaan (Tuhan dan dewa-dewa). Istilah teologi bisa juga bisa digunakan untuk menguraikan tradisi masyarakat yang tidak bertuhan (ateistik) ataupun kepada tradisi non-theistik, seperti Hindu, Budha dan Tao, baca David Tracy, “Theology: Comparative Theology,” dalam Mircea Eliade, et.al., The Encyclopedi of Religion, vol. 13., (New York: Macmillan Library refference, 1993), print number 10, h. 446.
29Terminologi
‘ilm al-kalâm kali pertama digunakan pada masa pemerintahan rezim ‘Abbâsiyyah, tepatnya ketika khalifah al-Makmûn menjabat. Sebelumnya, pembahasan masalah kepercayaan dalam Islam menggunakan istilah, antara lain al-fiqh fî al-dîn dan al-fiqh al-Akbar, baca Ahmad Hanafi, Teologi Islam (Ilmu Kalam), (Jakarta: Bulan Bintang, 2001), cet. 12., h. 4
30Parviz Morewegde, “Teologi” dalam John L. Espositto ed.,
Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern, jil. 6, terj. Eva Y.N., dkk., (Bandung: Mizan, 2001), h.14.
31Ahmad Hanafi,
‘Ilm al-kalâm, kata Harun Nasution, memiliki dua pengertian, yaitu bila
kata kalâm yang dimaksud merujuk kepada sabda Tuhan, maka pengertian teologi
dalam Islam adalah persoalan sabda Tuhan (al-Qur’ân), namun jika istilah
al-kalâm merujuk kepada kata-kata manusia, maka pembahasan ‘ilmal-kalâm adalah
pendapat atau jalan pikiran dari manusia yang berpendapat itu.32
Harun Nasution juga menyatakan teologi adalah ilmu yang membahas
masalah-masalah yang fundamental dalam setiap agama, terutama masalah Tuhan.
Teologi akan memberikan keyakinan yang kuat pada sesorang tentang ajaran
agama yang dianutnya, dengan tujuan agar keyakinanya tidak mengalami
ambiguitas dan skeptis atas tantangan dan perubahan Zaman.33
Secara umum teologi mengandung,
“Pertama, analisis tentang konsep Tuhan; kedua, bukti ontologis dan kosmologis keberadaan Tuhan; ketiga, kosmologis hubungan antara Tuhan dan dunia; keempat, etika teodisi perintah Tuhan dalam kaitan dengan kehendak bebas, determinisme, nasib, kebaikan, keburukan, hukuman dan ganjaran; kelima aspek pragmatis dari bahasa agama dan fungsi khusus dari fakultas imajinasi yang secara istimewa terdapat pada para nabi, mistikus dan para pewaris nabi; keenam hubungan antara penalaran dan wahyu; dan ketujuh aspek politik dari penarapan hukum Tuhan ilahi dalam masyarakat.34
32Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta
UI Press, 1972), cet. II., h. ix.
33Harun Nasution,
Teologi Islam, h iv
Di dalam Islam, persoalan teologi lahir35 karena politik, terutama
perdebatan mengenai siapakah yang berhak menjadi pemimpin ummat Islam
terutama sesudah ‘Umar ibn Khaththâb wafat. Di sini terdapat beberapa kubu
yang berambisi menduduki rezim kekuasan Islam, yaitu antara lain kubu ‘Ustmân
ibn ‘Affân dan ‘Alî ibn Abû Thâlib serta tidak ketinggalan beberapa kubu lainnya
yang juga mengklaim lebih berhak untuk menduduki rezim pemerintahan, seperti
kubu ‘Â’isyah.36
35Kelahiran teologi Islam memang telah disepakati banyak intelektual adalah karena
alasan politik, namun demikian, ada beberapa tokoh yang tidak mengamini secara eksplisit bahwa politiklah faktor pemicu dominan bagi kelahiran teologi. Seperti Nurcholish Majdid atau yang biasa disapa Cak Nur, menegaskan persoalan kelahiran teologi karena sebab skisme (perpecahan) di dalam tubuh ummat Islam yang berpuncak pada tewasnya ‘Ustmân ibn ‘Affân, dan bukan menyatakannya langsung dengan istilah sebab politis. Justru karena sebab skisme dalam Islam inilah yang kemudian menumbuhkembangkan ummat Islam dalam berbagai bidang seperti politik, sosial dan keagamaan. ‘Ilmal-kalâm, yang oleh Cak Nur didefinisikan sebagai pembicaraan nalar yang menggunakan logika, pada awalnya adalah untuk keperluan penalaran logis bagi orang-orang yang mendukung dan melakukan pembunuhan terhadap ‘Ustmân ibn ‘Affân, menurut para pendukung dan pelaku pembunuhan, mengapa ‘Ustmân layak dibunuh karena ia telah berbuat dosa besar dengan menjalani pemerintahan dengan tidak adil, sedankan dosa besar adalah kekafiran. Dan kekafiran adalah perbuatan menentang Tuhan, maka ‘Ustmân wajib dibunuh, baca Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernenan (Jakarta: Paramadina, 1992), cet. 2., h. 203. Sementara itu, menurut Seyyed Hossein Nasr, kelahiran teologi yang berfungsi untuk menunjang kepercayaan-kepercayaan prinsipil di dalam Islam secara tradisional adalah oleh ‘Alî ibn Abû Thâlib. Karya ‘Alî, al-Nahj al-Balâghah, kata Nasr adalah karya pertama yang dapat membuktikan keesaan Tuhan yang mengikuti di belakang al-Qur’ân dan Hadîst, Seyyed Hossein Nasr dan William C. Chittick, Islam Intelektual: Teologi, Filsafat dan Ma’rifat, terj. Tim Perenial (Depok: Perenial Press, 2001), cet. 2., h. 18. Berbeda dengan Cak Nur dan Nasr, Fazlur Rahman, meskipun secara samar ia tetap mengakui bahwa persoalan politik merupakan pemicu bagi kelahiran teologi Islam, namun persoalan politis, kata Rahman tidak bisa dijadikan sebagai faktor pemicu yang dominan bagi kelahiran teologi Islam. Kata dia, kelahiran teologi juga dimunculkan oleh sebab pergolakan-pergolakan pemahaman ummat Islam terhadap al-Qur’ân dan Hadîst pada masa ‘Ustmân dan ‘Alî. Pergolakan pemahaman atas kedua sumber hukum Islam itu bertambah dalam dan luas ketika daulat Umayyah berkuasa. Pergolakan pemahaman atas al-Qur’ân dan Hadîst dipicu oleh pertanyaan “apakah seorang Muslim dapat disebut sebagai Muslim setelah ia melakukan dosa besar? Atau, apakah iman dalam hati saja sudah cukup atau haruskan ia dinyatakan dalam perbuatan.” Hal ini yang kemudian, menurut Rahman, bisa disebut sebagai salah satu pemicu utama kelahiran teologi Islam, Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Mohammad (Bandung; Pustaka, 1994), cet. 2., h.117.
! " # $ %
& $ %%$
# ' ( !
Dari persoalan politis di kalangan ummat Islam yang tidak bisa
didamaikan, lahirlah aliran-aliran yang awalnya memperdebatkan mekanisme
arbitrase antara kubu ‘Alî dan Mu‘awiyah37 yang menurut sebagian mereka tidak
sah, karena tidak sesuai dengan hukum Tuhan (al-Qur’ân). Perdebatan ini
kemudian mengalir ke ranah siapa yang kafir dan yang mukmin serta siapa yang
berdosa dan tidak.
Saling menuduh kesalahan (kafir-dosa) dan saling mengklaim kebenaran
(mukmin-pahala) antar golongan Muslim, membuat masing-masing kubu yang
bertikai membentuk aliran-aliran teologi yang masing-masing memiliki isi
pandangan yang berbeda tentang persoalan-persoalan keyakinan dasar keislaman
yang kemudian dijadikan dasar pijakan oleh mereka dalam menjalankan aktivitas
keseharian (politik, ibadah, ekonomi dan lain sebagainya).
, !
!% & $ - % & $
! + & $
" . ( !
& $ - / & $
0 1 2
3 %%! (
+ -
! - " $
! 1 % - 0
+ " $
! 0 !
" $ + 0 ! !%
Menurut catatan sejarah, terdapat aliran-aliran teologi penting di dalam
Islam yang mempengaruhi pola pikir keberagamaan individu Muslim. Aliran itu
adalah Khawârij,38 Murji‘ah,39 Mu‘tazilah,40 Asy‘ariyyah41 dan Mâtûrîdiyah.42
Hingga kini hanya Asy‘ariyyah dan Mâtûrîdiyyah yang keduanya biasa disebut
sebagai Islam Sunnî atau Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah43 yang masih memiliki
wujud. Namun, seiring masuknya paham rasionalisme ke dunia Islam melalui
kebudayaan Barat modern, maka ajaran Mu‘tazilah yang bersifat rasional mulai
timbul kembali, terutama di kalangan cerdik-cendekia Muslim yang
berpendidikan Barat.44
B. Pengertian Teologi Islam di Indonesia
Sebenarnya pengertian teologi Islam di Indonesia adalah sama dengan
pengertian teologi secara umum, yaitu membahas tentang konsep Tuhan,
kenabian, perintah Tuhan dalam kaitannya dengan kehendak bebas, nasib,
kebaikan, keburukan, wahyu dan nalar, Hari Akhir dan lain sebagainya.45 Namun,
pengertian teologi Islam di Indonesia lebih dimaknai sebagai sebuah gerakan
pembaruan pemikiran dalam rangka merespon perubahan zaman yang umumnya
dilakukan oleh intelektual muda berpendidikan modern (baik di dunia Timur atau
Barat). Para intelektual muda tersebut mencoba merumuskan landasan teologis,
yang selama ini dianggap formalis, legalistis dan normatif, untuk membuat
penyesuaian antara Islam dan realitas sosial-budaya Indonesia.46
Pengertian teologi di Indonesia terutama yang disuarakan oleh gerakan
pembaharuan Islam adalah persoalan yang terkait dengan pembaharuan pemikiran
1 ) 3 - D $
3 ! ( $ " ! (
3 D $ 0 0
$ " ! + (
+ ! !
3 D $ ) +
* 44Harun Nasution,
Teologi Islam, h. 11.
45Parviz Morewegde, “Teologi,” h. 14.
46Jamhari, "Islam di Indonesia," dalam Taufiq Abdullah dkk., ed.,
Islam yaitu pandangan seputar pandangan bagaimana keislaman dan
keindonesiaan dapat bersinergi.47 Namun perumusan pandangan berteologi di
Indonesia tidak selalu merujuk kepada kalâm Tuhan (al-Qur’ân) sebagai fokus
perbincangan, tetapi juga pemikiran (ijtihâd) dari para agamawan dan intelektual
Muslim baik yang klasik maupun kontemporer. Secara spesifik, dalam kajian
Islam modern di Indonesia, persoalan pemikiran pembaharuan Islam (teologis)
dilatarbelakangi oleh dua hal, yaitu Indonesia dan modernitas versus Islam.
Mengenai latar belakang kemunculan bentuk atau corak teologi di Indonesia akan
didalami pada pembahasan berikutnya.
C. Sejarah Kemunculan Corak Berteologi di Indonesia
Kemunculan aliran teologi di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sejarah
kedatangan Islam yang dibawa para pedagang Persia dan Arab pada sekitar abad
ke-12 atau 13 di Nusantara ini.48 Namun, di sisi lain faktor eksternal berupa
pengaruh kondisi sosio-historis dan kultural tertentu49 juga merupakan faktor
penting dalam kemunculan corak berteologi di Indonesia.
Secara historis aliran teologi yang kali pertama muncul di Indonesia sejak
awal abad ke-12 adalah teologi Asy‘ariyyah. Ini terlihat dari para pedagang
47Jamhari, "Islam di Indonesia," h. 347.
48Tidak ada yang dapat memastikan kedatangan Islam ke Nusantara untuk kali pertama,
namun abad ke-12 dan 13 adalah abad yang cenderung dipilih oleh para sejarahwan bagi kedatangan Islam ke Nusantara ini. Selain itu, para ahli sejarah juga berdebat dalam kesimpulan tentang cara bagaimana Islam datang ke negeri ini. Sebagian ahli sejarah menegaskan bahwa Islam tiba di Nusantara melalui para pedagang yang berasal dari benua India. Namun, para ahli sejarah yang lain menyatakan bahwa Islam datang di Nusantara ini sejak abad pertama Hijriah atau abad ke-7 Masehi langsung dari Arabia. Untuk kajian lebih lanjut tentang kedatangan Islam ke Nusantara dan melalui medium apa Islam datang, dapat dibaca di Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah da Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Akar Pembaharuan Islam Indonesia, (Jakarta: Prenada, 2005), edisi revisi, cet. Ke-2., h. 2-19.
49 Azyumardi Azra, “Komunitas Tersisih: Perspektif Subaltren,”
Muslim, baik itu dari benua India maupun Arabia yang masuk ke Indonesia
kebanyakan beraliran madzhab Syâfi‘î dan sebagian lagi adalah Hanafî50. Menurut
Harun Nasution, teologi Asy‘ariyyah dan Mâtûrîdiyyah umumnya banyak dianut
oleh individu Muslim yang menganut Madzhab Syâfi‘î dan Hanafî.51
Sejak abad ke-12 di bumi Nusantara ini sudah terjadi gerakan Islamisasi di
Nusantara yang dilakukan oleh gerakan teologi Asy‘ariyyah.52 Namun gerakan ini
tidak sepenuhnya berhasil. Ini dikarenakan, meskipun sebagian masyarakat
Nusantara khususnya Jawa telah menganut Islam pada abad ke-14,53 mereka telah
menganut teologi yang dinamakan oleh Fauzan Saleh, sebagai teologi pra-Islam.
Teologi ini sangat dipengaruhi oleh orientasi mistik keyakinan Jawa kuno.
Berbeda dengan teologi Asy‘ariyyah yang meyakini Tuhan adalah transenden,
teologi pra-Islam berkeyakinan bahwa Tuhan adalah imanen.54
Meskipun mendapatkan ganjalan dari keberadaan teologi pra-Islam dalam
penyebarannya, sejak saat itu teologi yang mengusung pemurnian Islam ini
semakin berkembang luas di Indonesia. Dan kemudian menemukan titik awal
perkembangan yang pesat sejak abad ke-17, atau tepatnya ketika sebagian muslim
Indonesia yang belajar dari Timur Tengah, terutama Arab (Makkah dan Madînah)
pulang ke Indonesia.55
Pada abad ke-18 terkait dengan datangnya kolonialisme Belanda, muncul
teologi jihad yang diprakarsai oleh gerakan tasawuf yang dalam hal ini dipelopori
oleh Syekh Abd al-Shamad al-Palembani. Gerakan teologi jihad mencapai
Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, (Jakarta: Paramadina, 1999), cet. 1., h. 45.
53Fauzan Saleh,
Teologi Pembaharuan: Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004), h. 63-64.
54Fauzan Saleh,
Teologi Pembaharuan, h. 66-67
55Azyumardi Azra,
puncaknya pada tahun 1888 ketika dua aliran tarekat yakni Naqsybandiyyah dan
Qâdiriyyah melakukan pemberontakan di Cilegon, Banten melawan Belanda.
Sekitar abad ke-19 teologi jihad juga terlihat pada gerakan Pangeran Diponegoro
di Jawa dan di Minangkabau yang dipelopori oleh kaum Padri. Teologi jihad
paska penjajahan Belanda, pada akhirnya diarahkan sasarannya kepada ummat
Islam sendiri. Teologi tersebut diyakini berafiliasi dengan gerakan Wahhâbî di
Arab Saudi yang mengusung pemurnian kembali (repurifikasi) Islam sebagaimana
yang telah diterapkan oleh Nabi Muhammad dan para sahabatnya.56
Proses repurifikasi Islam pada abad ke-19 yang dilakukan oleh gerakan
teologi jihad dan sejumlah ulama yang pernah belajar di Timur Tengah, terutama
di Makkah dan Madînah, lebih menekankan aspek formal-ritual ketimbang
hakikat Islam. Hal ini tidak mengherankan, karena sejak abad ke-12 teologi
Asy‘ariyyah telah mendominasi paradigma keislaman kebanyakan ummat Islam
Nusantara dan memulai titik perkembangan yang amat pesat sejak abad ke-17.
Dominasi teologi Asy‘ariyyah yang dikategorikan sebagai aliran
tradisionalisme57 yang menganut paham predestinasi58 terus berlanjut hingga
Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Sebagian dari kalangan penganut
teologi tradisionalisme ini mulai masuk ke ranah politik-kenegaraan. Tujuannya
56Azyumardi Azra,
Konteks Berteologi di Indonesia, h. 44-49. Teologi Asy‘ariyyah kemudian mendapat kritik dari kalangan ummat Islam Indonesi karena sifatnya yang cenderung mengikuti bentuk teologi Jabâriyyah dalam masalah takdir (predestination). Teologi Asy‘ariyyah dianggap bertanggung jawab atas lemahnya etos sosial ekonomi ummat Islam Indonesia yang cenderung menyandarkan segala bentuk kehidupan pada kekuasaan Tuhan. Manusia tidak lebih berperan sebagai wayang yang diatur oleh dalangnya. Pergeseran cara pandang ummat Islam Indonesia terhadap teologi Asy‘ariyyah ini terlihat sejak abad ke-18.
57Penggunaan kata tradisionalisme atas teologi Asy‘ariyyah, dikarenakan kebanyakan dari
mereka adalah masih terikat kuat dengan pemikiran ulama ahli tawhîd, fiqh, Hadîst, tasawuf dan tafsîr yang hidup antara abad ke-7 hingga abad ke-13, Fachry Ali dan Bachtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, (Bandung: Mizan, 1986), h. 48-49.
58Penganut paham ini meyakini bahwa manusia adalah makhluk yang tidak berkuasa dan
adalah agar Indonesia dijadikan sebagai negara Islam yang berazaskan kepada
al-Qur‘ân dan Hadist,59 salah satu alasannya adalah karena mayoritas penduduk
Indonesia adalah Muslim. Selanjutnya oleh kalangan intelektual, mereka
diidentifikasi menjadi golongan teologi formalis-legalistis, teologi normatif dan
teologi ortodoks.60
Dalam peta pemikiran Islam kekinian, nama teologi Asy‘ariyyah memang
telah hampir redup dalam perbincangan akademis. Kini oleh sebagian intelektual
Muslim, golongan yang menyerupai teologi Asy‘ariyyah, karena memiliki paham
seperti predestinasi, teosentris,61 fatalistis, skriptualis dan fiqh oriented,62
dikategorikan sebagai aliran teologi tradisionalisme, formalistis-legalistis,63
normatif,64 ortodoks65 bahkan konservatisme.66 Selanjutnya untuk
59Jamhari, “Islam di Indonesia,” h. 346.
60Teologi yang mengusung semangat pemurnian kembali Islam seperti yang disyariatkan
di dalam al-Qur’ân dan oleh Nabi Muhammad serta menolak keras sinkretisme dan bid‘ah di dalam agama, baca Fauzan Saleh, Teologi Pembaharuan, h. 25.
61Paham yang meyakini bahwa segala sesuatu kejadian atau perubahan hanya berpusat
pada Tuhan. Manusia tidak memiliki kehendak apapun untuk mengubah diri dan keadaannya, baca Zamakhsyari Dhofier, “Teologi Asy‘ari dan Pembangunan,” dalam M. Masyhur Amin, ed., Teologi Pembangunan: Paradigma Baru Pemikiran Islam, (Yogyakarta: LKPSM NU, 1989), h. 42.
62Pemahaman keagamaan yang hanya bersandar kepada fatwa-fatwa yang terdapat di
dalam empat madzhab fiqh. Pemahaman keagamaan ini diyakini sebagai salah satu pemicu utama kemunduran yang dialami ummat Islam Indonesia, Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), cet. 3., h. 62-65.
63Golongan ini juga memfokuskan diri pada perjuangan untuk menjadi Islam sebagai
ideologi negara, Jamhari, “Islam di Indonesia,” h. 346. Penekanan paham keagamaan ini juga terletak pada ketaatan formal dan hukum agama. Dan setiap ekspresi keagaman harus diwujudkan secara eksplisit, seperti pembentukan bank-bank Islam, asuransi Islam dan lain sebagainya. Di sisi lain mereka cenderung mengadopsi tradisi-tradisi Arab yang dianggap sebagai warisan Nabi Muhammad, seperti memelihara jenggot dan lain-lain, baca Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia, h. 9.
64Paham Islam yang berangkat dari teks yang tertulis di dalam kitab suci. Paham ini
sangat meyakini bahwa keterpurukan yang menimpa bangsa Indonesia dapat ditemukan solusinya di dalam kitab suci dan Hadîst. Mereka sangat menolak usaha penafsiran yang dilakukan oleh kalangan Muslim liberal, baca Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia, h. 9-10.
65Istilah ortodoks sendiri merupakan pinjaman dari istilah dalam lembaga keagamaan
mengidentifikasi teologi yang identik dengan paham ajaran Asy‘ariyyah penulis
akan menggunakan istilah yang telah dipakai oleh Harun Nasution dan Fachry
Ali, yaitu dengan teologi tradisional.67
Azyumardi Azra menilai tidak tepat jika ada anggapan yang berpendapat
bahwa teologi Asy‘ariyyah tidak mendorong terjadinya dinamika perubahan
dalam masyarakat Islam Indonesia dan justru mendorongnya ke arah kemunduran.
Meskipun bila dilihat secara teoritis, tuduhan itu sangat mendasar sekali
dikarenakan adanya peningkatan aktivisme yang cukup menonjol di kalangan
Muslim, baik dalam bidang politik, ritual keagamaan, budaya dan ekonomi yang
landasan aktivitasnya belum tentu berafiliasi ke dalam teologi Asy‘ariyyah.68
Sebagian kalangan, terutama masyarakat Muslim terdidik modern, mulai
resah dengan dominasi dan hegemoni teologi tradisional yang telah mendarah
daging dalam keyakinan dan pemikiran ummat Islam kebanyakan, sehingga
membuat ummat Islam Indonesia mengalami kebuntuan dan kemunduran dalam
berbagai bidang.
Pernyataan mereka didasari oleh sebuah pandangan bahwa persoalan
teologis dalam masyarakat Islam merupakan soal yang sangat amat sensitif,
karena meyangkut masalah keyakinan beragama, dan juga faktor determinan
dalam progresifitas ummat Islam Indonesia, karena pendirian teologis merupakan
upaya untuk mencetak pola perilaku dan struktur keyakinan, selain, tentunya
keras sinkretisme dan bid‘ah di dalam agama. Oleh sebagian peneliti keagamaan, sebutan ortodoksi Indonesia bisa melekat pada kelompok yang digolongkan tradisionalis maupun modernis, yang dalam hal ini oleh M. Howard Federspiel adalah kelompok Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis), Fauzan Saleh, Teologi Pembaharuan, h. 24-25.
66Fachry Ali dan Bachtiar Effendi,
Merambah Jalan Baru Islam, h. 49.
67Istilah tradisionalisme berasal dari kata tradisi yang berarti segala sesuatu, baik itu
kepercayaan, kebiasaan, ajaran yang turun-temurun dari nenek moyang, Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1982), h. 1088.
68Azyumardi Azra,
sebagai rasionalisasi atau justifikasi bagi tindakan-tindakan sosial dan program
pembangunan yang telah direncanakan.69
Kalangan sarjana Muslim menilai dengan pemahaman beragama yang
masih didominasi dan dihegemoni oleh pemahaman tradisionalisme akan
membuntukan jalan pembangunan Indonesia, yang mengakibatkan
keterbelakangan ummat Islam dalam berbagai bidang, terutama ekonomi, politik
serta sains dan teknologi.
Dalam abad modern ini, ummat Islam Indonesia dihadapi oleh dua
problem besar, yaitu Indonesia dan modernitas versus Islam.70 Teologi tradisional
yang masih menganut paham tradisionalisme-teosentris-skripturalis diyakini tidak
akan mampu menemukan kesesuaian di antara dua problem besar itu. Sebab
mereka masih terkunci oleh pemahaman sempit bahwa modernisasi di Indonesia
akan meminggirkan peran agama dan merusak nilai-nilai yang ada di dalamnya.71
Dengan kerangka tersebut beberapa pemikir Muslim Indonesia mulai
berbicara untuk merumuskan sebuah teologi baru yang kondusif dan dapat
menopang modernisasi dan pembangunan dalam bidang ekonomi. Dalam ide
mereka, para pemikir itu mengharapkan adanya teologi yang lebih kontekstual
dengan perkembangan situasi modern.72
Meskipun gerakan pembaharuan Islam Indonesia telah muncul sejak awal
abad ke-20, namun awal 1970 adalah periode penting bagi perkembangan
pemikiran Islam di Indonesia. Menurut Greg Barton, Indonesia mengalami
69Taufik Abdullah, “Terbentuknya Paradigma Baru: Sketsa Wacana Islam Kontemporer”
dalam Mark R. Woodward, ed., Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, terj. Ihsan Ali Fauzi, (Bandung: Mizan, 1996), h. 84.
70Taufik Abdullah, “Terbentuknya Paradigma Baru,” h. 74. 71Jamhari, “Islam di Indonesia,” h. 347.
72Azyumardi Azra,
kebangkitan yang amat progresif dan begitu memiliki masa depan dalam
pemikiran keagamaan. Dikatakannya, bahwa kebangkitan ini juga bukan petanda
bahwa Islam akan kembali ke zaman 1950 di mana kelompok Islam tertentu
menginginkan azas Islam sebagai ideologi negara. Islam yang bangkit pada tahun
1970 adalah Islam kontekstual dan substansial, yang memiliki ciri moderat, liberal
dan progresif.73
Gerakan yang dimotori oleh para intelektual menyerukan tentang
pembaharuan pemikiran Islam itu oleh Barton diidentifikasi sebagai gerakan
neo-modernisme. Mereka yang dikategorikan masuk ke dalam gerakan ini adalah
pemikir-pemikir yang memiliki pengaruh kuat atas setiap gagasan pembaharuan
pemikiran Islam yang keluar dari masyarakat Islam Indonesia. Mereka adalah
Nurcholish Madjid (Cak Nur), Abdurrahman Wahid, Djohan Effendi, Ahmad
Wahib.
Menurut Barton, sebenarnya banyak tokoh-tokoh Islam, selain yang telah
disebutkan di atas, dapat digolongkan ke dalam komunitas pemikir
neo-modernisme, seperti, Dawam Rahardjo, Jalaluddin Rakhmat dan Masdar F.
Mas’udi. Tetapi mereka ini lebih memilih untuk tidak menggunakan istilah
neo-modernisme, yang awalnya dipopulerkan oleh media massa di luar keinginan
mereka sendiri.74
Selain tokoh-tokoh yang telah disebutkan Barton, ada tokoh Islam lainnya
yang juga memiliki pengaruh kuat dalam hal pemikiran di kalangan masyarakat
Muslim Indonesia, yakni Harun Nasution. Karena dalam karyanya, ia banyak
73Greg Bartoh,
Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nucholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid, terj. Nanang Tahqiq (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 3-4.
74Greg Barton,