• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II BENTUK BERTEOLOGI DI INDONESIA

D. Bentuk-Bentuk Berteologi di Indonesia

4. Teologi Substansialis

Genderang perubahan pemikiran keislaman yang ditabuh oleh para pemikir arus utama (mainstream) pada tahun 1970-an tidak hanya berpengaruh kepada masyarakat di kalangan tertentu saja, tetapi juga turut menjadi stimulan kepada masyarakat umum dalam merespon setiap perubahan paradigma

119Dawam Rahardjo, “Islam dan Modernisasi: Catatan atas Paham Sekularisasi

Nurcholish Madjid” dalam Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1999), cet. xii, h. 23.

120Nurcholish Madjid “Sekapur Sirih,” dalam Sukidi,

Teologi Inklusif Cak Nur, (Jakarta: Kompas, 2001), h. xiii-xiv.

keislaman (teologis) yang banyak dipengaruhi konteks situasi dan kondisi historis tertentu yang dihadapi kaum Muslim Indonesia.

Pada gilirannya stimulasi itu mendorong masyarakat umum, yang dalam hal ini adalah para pemikir, cendekiawan untuk memberikan respon-respon tertentu yang kelihatannya tidak selaras dengan keyakinan dan pemikiran yang mereka anut selama ini.

Mereka adalah kelompok yang tidak terpaut dengan warna-warni kelompok sektarian keislaman yang oleh William Liddle digolongkan sebagai kelompok substansialis. Berbeda dengan kelompok neo-modernisme yang memiliki keahlian dalam ilmu-ilmu tradisionalis dan modern sekaligus, yang terdidik klasik dan dipengaruhi pendidikan pesantren tradisional yang kental, kelompok substansialis tidak memiliki latarbelakang pendidikan tradisional keislaman, seperti pesantren. Mereka hanya terdidik lewat keilmuan sekular.121

Greg Barton berpandangan tidaklah tepat untuk menempatkan neo-modernisme sebagai bagian dari substansialis. Lebih tepat, kata Barton, substansialisme maupun neo-modernisme adalah dua cara pendekatan dalam menggambarkan kelompok yang sama.122

Kelompok yang berorientasi teologis substansialis ini memiliki gagasan-gagasan kunci dalam melahirkan gagasan-gagasan teologisnya, seperti yang diutarakan Greg Barton dengan mengutip Fachry Ali:

“Hal paling utama dan mendasar bahwa substansi keimanan dan praktik adalah lebih penting daripada bentuk. Kedua pesan al-Qur’ân dan Hadîst walau abadi esensinya dan universal artinya dapat ditafsir kembali oleh setiap generasi Muslim sesuai dengan situasi masanya. Ketiga karena mustahil bagi siapapun untuk mendapat kepastian dalam memahami kehendak dan suruhan Tuhan. Ummat Muslim harus toleran terhadap sesamanya dan terhadap non-Muslim,

121Greg Barton,

Gagasan Islam Liberal di Indonesia, h. 34-35.

122Greg Barton,

terakhir, Muslim substansialis menerima pemerintahan yang ada sekarang sebagai bentuk final dari negara bangsa Indonesia,”123

Paradigma pemahaman keislaman (teologis) yang dianut oleh kelompok substansialis lebih mementingkan substansi atau isi ketimbang label atau simbol-simbol eksplisit tertentu yang berkaitan dengan agama. Dalam bidang kemasyarakatan mereka cenderung concern pada pengembangan dan penerapan nilai-nilai Islam secara implisit saja.124

Dalam kesehariannya individu-invididu yang tergolong kepada kelompok berorientasi teologis substansialis adalah mereka yang langsung terjun ke dalam masyarakat lewat organisasi kemasyarakatan, baik itu seni dan budaya, hukum, politik dan lain sebagainya. Salah satu tokoh yang digolongkan ke dalam kelompok teologi substansialisme adalah Dawam Rahardjo.125

Hasil pemikiran keislaman mereka yang acapkali diterima dengan sinisme oleh para agamawan dan masyarakat kebanyakan, seperti dalam kasus HB. Jassin,126 menjadikan pemikiran keislaman mereka menjadi termarjinalkan.

123Greg Barton,

Gagasan Islam Liberal di Indonesia, h. 34.

124Azyumardi Azra, Konteks Berteologi Islam di Indonesia, h. 9

125

Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, h. 33-35 dan Jamhari, “Teologi,” h. 352.

126Sebagai seorang sastrawan yang hanya mengandalkan pendidikan sekular (sastra), dua

karya monumental HB Jassin, yakni Al-Qur’ân Bacaan Mulia (ABM) dan Al-Qur’ân Berwajah Puisi (ABP) tidak mendapatkan apresiasi yang positif di sebagian besar agamawan, intelektual dan masyarakat umum ketika itu (tahun 1993). Oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) ketika itu, karya yang ditelurkan oleh HB. Jassin dianggap lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya. Dan oleh menteri agama pada saat itu, Munawir Sjadzali, karya Jassin dianggap menimbulkan keresahan di kalangan ummat Islam, sehingga menteri agama harus menarik dukungannya terhadap usaha Jassin untuk menerbitkan karyanya itu, baca Taufik Abdullah, “Terbentuknya Paradigma Baru: Sketsa Wacana Islam Kontemporer,” dalam Mark R. Woodward, ed., Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, h. 61-62.

Dalam konteks itu, mereka bisa dimasukkan sebagai Muslim subaltren127 atau pinggiran (periphery).

Dalam konteks diskursus keislaman, jika sebuah penafsiran tentang al-Qur’ân telah melewati batas-batas yang telah disepakati, seperti tidak melalui Hadîst maupun hasil ijmâ’ ulama, maka penafsiran kelompok ini sering disebut dengan pemahaman agama yang splinter.128 Dalam konteks ini, splinter dapat dimaknai sebagai suatu pemahaman keislaman (teologis) yang tidak dilahirkan melalui metode normatif-tradisional, melainkan dengan latarbelakang keilmuan sekular atau berdasarkan pengalaman empiris. Dalam melahirkan gagasan, mereka cenderung terpengaruh oleh situasi historis dan kondisi tertentu (mental, psikologis, dan intelektual).

Sesuai dengan ciri latarbelakang dan metode dalam merumuskan pemikiran keislaman, RPD, tokoh yang akan penulis bahas dalam penulisan ini, adalah tokoh yang termasuk ke dalam kelompok Muslim subaltern. Karena pemikiran keislaman RPD tidak didasari metode normatif-tradisional yang dipadu dengan ilmu keislaman modern, maka dalam konteks keislaman, pemahaman keislaman RPD dapat cenderung kuat dikategorikan sebagai

127Pengertian

subaltern pada awalnya berasal dari kajian tentang Muslim-Muslim yang tertindas dan termarjinalkan karena pemikiran keagamaan mereka dianggap bertentangan dengan pemikiran arus utama atau yang masih memegang doktrinal Islam secara utuh, dalam hal ini adalah institusi agama yang diakui oleh negara. Mereka kerap mendapatkan perlakuan represif oleh kelompok mainstream yang menggandeng kekuasaan politik ketika itu, baca Azyumardi Azra “Komunitas Tersisih: Perspektif Subaltern” Gatra 6 Desember 2003, h. 8. Penulis menggolongkan para Muslim yang tidak terdidik ilmu-ilmu tradisional Islam dan hanya berpendidikan sekular ke dalam subaltern yang termarjinalkan. Muslim-Muslim yang tidak memiliki latarbelakang keilmuan tradisional Islam dan kemodernan Barat, tidak akan pernah mendapatkan tempat utama dalam pemikiran keislaman mereka. Malahan pemikiran kelompok subaltern yang juga disebut sebagai Muslim pinggiran ini kerap dipandang menyimpang dengan berbagai alasan. Menurut Azyumardi Azra, “kaum splinter dan pinggiran dalam agama manapun hampir tidak mendapatkan tempat dalam sejarah,” baca Azyumardi Azra, “Komunitas Tersisih,” h. 8.

128Azyumardi Azra,

pemahaman splinter. Lebih dalam tentang RPD dan pemikirannya, penulis akan membahasnya pada bab 3 dan 4.

BAB III

BIOGRAFI RADHAR PANCA DAHANA

Dokumen terkait