• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hawis Madduppa dilahirkan di Watampone (Sulawesi Selatan) pada tanggal 26 Maret 1979 sebagai anak ketujuh dari delapan bersaudara dari ayah H. Madduppa (Alm) dan ibu H. Mennung (Alm).

Pendidikan penulis diawali dengan bersekolah di TK Aisyah Watampone pada tahun 1984 dan kemudian dilanjutkan di SD Negeri 22 Macege Watampone (1986- 1992). Pada tahun 1992-1995 penulis menempuh pendidikan lanjutan pertama di SMP Negeri 2 Watampone, dan pada tahun 1995-1998 dilanjutkan di SMU Negeri 2 Watampone. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada tahun 1998 dan memilih Program Studi Ilmu Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan dan tamat pada tahun 2003.

Selama di IPB, di bidang organisasi penulis aktif di himpunan profesi HIMITEKA (Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan) , BEM-C (Badan Eksekutif Mahasiswa FPIK), klub selam ilmiah Mahasiswa Perikanan dan Kelautan FDC (Fisheries Diving Club), MBC (Marine Biology Club) , Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan Indonesia (HIMITEKINDO). Di bidang akademis penulis menjadi Asisten Luar Biasa pada beberapa mata kuliah seperti Biologi Laut, Avertebrata Air, Ekologi Perairan, Ekologi Laut Tropis, Dasar-Dasar Akustik, Akustik Perikanan dan Dasar-Dasar Akustik Kelautan. Untuk menyelesaikan studi di Jurusan Ilmu dan Teknologi Kelautan FPIK-IPB, penulis melaksanakan penelitian yang berjudul “Pendugaan Densitas Ikan Pelagis dengan Sistem Akustik Bim Terbagi (Split Beam Acoustic System) di Laut Sulawesi Pada Bulan Agustus – September 2001”. Penulis dinyatakan lulus ujian skripsi pada tanggal 17 Januari 2003.Setelah lulus S1, penulis mengikuti pelatihan Marine Science Special Training Course (MST) pada tahun 2003 dan mendapatkan

research fellowship dari kegiatan ini selama satu tahun.

Pada tahun 2004, penulis meneruskan pendidikan pascasarjana di IPB dengan program studi Ilmu Kelautan. Selama menjadi mahasiswa Pascasarjana, penulis aktif di kegiatan kemahasiswaan dan menjadi sekretaris umum pada Wahana Interaksi Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Kelautan (WATERMASS). Untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Magister Sains, penulis melaksanakan penelitian yang berjudul Kajian Ekobiologi Ikan Kepe -kepe (Chaetodon octofasciatus, Bloch 1787) dalam Mendeteksi Kondisi Ekosistem Terumbu Karang di Pulau Petondan Timur, Kepulauan Seribu, Jakarta ”.

i

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iv DAFTAR GAMBAR ... v DAFTAR LAMPIRAN ... viii

PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Permasalahan ... 3 Kerangka Pemikiran ... 4 Hipotesis ... 6 Tujuan ... 6 Manfaat ... 6 TINJAUAN PUSTAKA ... 7 Terumbu Karang ... 7 Pengertian karang dan simbiotik alga ... 7 Struktur karang ... 8 Nematokis ... 9 Pertumbuhan karang batu ... 11 Organisme yang berasosiasi dengan terumbu karang ... 12 Status ekosistem terumbu karang di Kepulauan Seribu ... 13 Ikan Kepe-Kepe (Chaetodontidae) ... 15 Karakteristik dan Klasifikasi ... 15 Ekobiologi Chaetodontidae ... 16 Biogeografi Ikan Chaetodontidae di Dunia ... 18 Konsep Chaetodontidae sebagai bioindikator ... 19 Penelitian tentang Chaetodontidae ... 22

ii BAHAN & METODE ... 24

Lokasi dan waktu penelitian ... 24 Alat dan bahan ... 26 Tahapan penelitian ... 26 Penentuan titik sampel ... 27 Waktu pengambilan data ... 27 Jenis data ... 29 Metode pengambilan data ... 29 Substrat dasar ... 29 Ikan kepe -kepe (Chaetodon octofasciatus) ... 31 Analis is data ... 34 Substrat dasar ... 34 Ikan kepe -kepe (Chaetodon octofasciatus) ... 35 Analisis statistika ... 37 Struktur data ... 40

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 41 Kondisi lokasi penelitian... 41 Penutupan substrat dasar ... 42 Kepadatan genera karang skleraktinia ... 44 Indeks mortalitas karang ... 46 Kelimpahan ikan Chaetodon octofasciatus ... 47 Tingkat pemangsaan oleh ikan Chaetodon octofasciatus ... 48 Selektivitas pemangsaan ... 53 Pola hubungan antara kelimpahan ikan Chaetodon octofasciatus

dengan persentase penutupan karang batu ... 58 Analisis makanan dan kebiasaan makan ... 61 Kajian ekobiologi... 66

KESIMPULAN DAN SARAN ... 70 Kesimpulan ... 70 Saran ... 71

iii DAFTAR PUSTAKA ... 72 LAMPIRAN ... 78

iv

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Dampak negatif dari beberapa aktivitas manusia di daerah Terumbu

Karang di Kepulauan Seribu Jakarta (Brown 1986) ... 14 2 Daftar beberapa spesies ikan kepe -kepe (Chaetodontidae) beserta tipe

kebiasaan makannya... 17 3 Posisi geografis stasiun penelitian... 24 4 Peralatan dan metode untuk pengambilan data parameter perairan ... 26 5 Contoh struktur data penelitian... 40 6 Kondisi perairan ...41 7 Nilai indeks mortalitas karang pada lokasi penelitian ( x ± SE)... ....46 8 Rerata kelimpahan (individu/250m3) Chaetodon octofasciatus pada lokasi

penelitian, data diambil dengan metode sensus visual (x ± SE)...47 9 Tingkat pemangsaan dari Chaetodon octofasciatus pada masing-masing

lokasi penelitian pada kedalaman 3 dan 10 meter ...49 10 Uji taraf nyata tingkat pemangsaan Chaetodon octofasciatus pada masing-

masing kedalaman dan lokasi penelitian...50 11 Indeks pilihan Ivlev Chaetodon octofasciatus pada masing-masing

lokasi penelitian di Pulau Petondan Timur ...55 12 Uji taraf nyata pada masing-masing kedalaman dan lokasi penelitian

terhadap jumlah individu dan % HC (*0.05, **0.01, ***0.10, t.n. tidak nyata) ....59 13 Persentase dan rerata kelimpahan (ind/20ml) kandungan perut ikan strip delapan Chaetodon octofasciatus (x ± SE)...62

v

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka pemik iran ... 5 2 Anatomi polip karang dan kerangka kapur (Veron 1986)... 8 3 Tipe nematokis ... 10 4 Organisme yang berasosiasi dengan terumbu karang (Castro & Huber

2000)... 12 5 Jenis ikan kepe-kepe Chaetodon octofasciatus (Chaetodontidae)

yang dijadikan spesies indikator dalam penelitian ini ... 15 6 Hubungan phylogenetik diantara genus dari famili Chaetodontidae

(Blum 1989) ... 18 7 Distribusi dari spesies Chaetodon octofasciatus (Chaetodontidae)

(modifikasi Blum 1989) ... 19 8 Peta lokasi penelitian: Pulau Petondan Timur, Kepulauan Seribu,

DKI Jakarta ... 25 9 Tahapan penelitian ... 28 10 Ilustrasi teknik pengumpulan data karang dengan menggunakan transek

garis menyinggung ... 30 11 Ilustrasi teknik pengumpulan data karang dengan menggunakan transek

sabuk... 30 12 Ilustrasi teknik pengumpulan data karang dengan menggunakan transek

fotografi... 31 13 Ilustrasi teknik pengumpulan data ikan dengan menggunakan transek

sabuk dan metode sensus ikan stasioner ... 31 14 Rerata persentase penutupan karang batu (hard coral) di perairan terumbu

karang pada lokasi penelitian pada kedalaman 3 dan 10 meter ...42 15 Perbandingan penutupan substrat dasar di perairan terumbu karang pada

lokasi penelitian selama periode penelitian di 3 meter ...43 16 Perbandingan penutupan substrat dasar di perairan terumbu karang pada

vi 17 Perbandingan 10 jenis karang batu (hard coral) yang mempunyai kepadatan

dan persentase tertinggi di lokasi penelitian pada kedalaman 3 meter ...45 18 Perbandingan 10 jenis karang batu (hard coral) yang mempunyai kepadatan

dan persentase tertinggi di lokasi penelitian pada kedalaman 10 meter ...45 19 Beberapa genera karang batu (hard coral) di lokasi penelitian (1:

Montipora, 2: Fungia, 3: Acropora, 4: Echinopora, 5: Pachyseris, 6:

Pavona, 7: Porites, 8: Seriatopora, 9: Favites, 10: Lobophylia)...46 20 Perbandingan tingkat pemangsaan (gigitan/5 menit) terhadap karang oleh

C. octofasciatus di kedalaman 3 dan 10 meter pada masing- masing stasiun selama penelitian...48 21 Perbandingan rerata jumlah gigitan(bites) per 5 menit pada karang oleh

Chaetodon octofasciatus dengan % penutupan jenis karang yang dimangsa

(% cover) di kedalaman 3 dan 10 meter di setiap stasiun (A: Barat, B: Timur, C: Selatan, D: Utara) pada bulan Juli 2005 ...51 22 Perbandingan rerata jumlah gigitan(bites) per 5 menit pada karang oleh

Chaetodon octofasciatus dengan % penutupan jenis karang yang dimangsa

(% cover) di kedalaman 3 dan 10 meter di setiap stasiun (A: Barat, B: Timur, C: Selatan, D: Utara) pada bulan Februari 2006 ...52 23 Perbandingan rerata jumlah gigitan(bites) per 5 menit pada karang oleh

Chaetodon octofasciatus dengan % penutupan jenis karang yang dimangsa

(% cover) di kedalaman 3 dan 10 meter di setiap stasiun (A: Barat, B: Timur, C: Selatan, D: Utara) pada bulan April 2006 ...53 24 Perbandingan rerata indeks elektivitas (E) pada bulan (I) Juli 2005, (II)

Februari dan (III) April 2006 di semua kedalaman (3 dan 10 meter) ...56 25 Hubungan antara jumlah individu ikan indikator dengan persentase

penutupan karang batu (hard coral) pada kedalaman 3 meter...60 26 Hubungan antara jumlah individu ikan indikator dengan persentase

penutupan karang batu (hard coral) pada kedalaman 10 meter ...60 27 Jenis-jenis nematokis dan alga perifitik yang ditemukan dalam isi perut ikan

Chaetodon octofasciatus (bar = 10 µm)...63 28 Kandungan zat kapur (A) dan alga uniselular Zooxanthellae (B) di dalam

perut ikan Chaetodon octofasciatus (bar = 5 µm)...64 29 Bentuk mulut ikan strip delapan Chaetodon octofasciatus pada saat normal

vii 30 Pemangsaan ikan strip delapan Chaetodon octofasciatus terhadap beberapa

jenis karang yang ada pada lokasi penelitian ...67 31 Hubungan antara rerata kepadatan genus Acropora dengan tingkat pemangsaan Chaetotodon octofasciatus pada lokasi penelitian...68 32 Perbandingan antara rerata kepadatan karang genus Acropora dengan tingkat pemangsaan Chaetodon octofasciatus pada lokasi penelitian ...68

vi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Gambaran lokasi penelitian di setiap stasiun penelitian ... 79 2 Beberapa jenis-jenis karang di Pulau Petondan Timur ... 83 3 Kepadata n Genus Karang... 85 4 Persentase Penutupan Genus Karang ... 88 5 Persentase Penutupan Substrat dasar ... 91 6 Hasil a nalisa makanan Ikan Chaetodon octofasciatus... 92 7 Proses pengumpulan sampel ikan Chaetodon octofasciatus di lapangan... 93 8 Contoh pengolahan hasil transek kuadrat dengan ImageJ ... 94 9 Jenis-jenis Nematokis... 95 10 Jenis-jenis alga perifitik ... 97 11 Analisa statistik dengan Minitab v13 ... 98 12 Proses pengambilan data ... 100

PENDAHULUAN

Latar belakang

Ekosistem terumbu karang terus terdegradasi di berbagai wilayah di Indonesia termasuk di Kepulauan Seribu, Jakarta (Burke et al. 2002; Erdmann 1998). Hal ini terlihat dari hasil pemantauan kondisi terumbu karang Indonesia yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PPO- LIPI) sampai dengan Desember 1999 diperoleh sekitar 6,69% terumbu karang yang statusnya sangat baik dan 26,59% yang berstatus baik, berstatus sedang mencapai 37,58% dan berstatus jelek mencapai 29,16% (Moosa 2001). Oleh karena itu, dibutuhkan suatu metode monitoring yang murah dan efektif dalam memprediksi dan mengamati perubahan kesehatan terumbu karang.

Pengamatan kondisi ekosistem terumbu karang merupakan kegiatan yang sangat penting dilakukan mengingat banyaknya area terumbu karang dunia yang telah hancur atau terdegradasi. Terdapat beberapa metode yang telah dipakai untuk menduga komposisi bentik terumbu karang, misalnya menggunakan transek garis menyinggung (line intercept transects), namun metode-metode tersebut memakan banyak waktu dan membutuhkan keterampilan tertentu untuk mengaplikasikannya. Oleh karena itu, diperlukan cara lain yang bisa dipakai untuk melengkapi pe ngamatan dan menduga perubahan ekosistem terumbu karang menurut waktu yaitu dengan mengidentifikasi spesies indikator. Spesies indikator dapat digunakan untuk menduga kesehatan, keanekaragaman, produktivitas dan integritas sistem terumbu karang (Smith 2004; Hourigan et al.

2 Spesies di ekosistem terumbu karang yang bisa dipakai sebagai bioindikator adalah ikan (Tanner et al. 1994; Markert et al. 2003) karena keberadaan ikan-ikan terumbu sangat tergantung pada kesehatan terumbu karang yang salah satunya ditunjukkan oleh persentase penutupan karang hidup (Hourigan et al. 1988; Ohman 1998; Lowe-McConnell 1987). Selain itu, ikan terumbu hidup berasosiasi dengan aneka bentuk dan jenis karang sebagai tempat tinggal, perlindungan dan mencari makanan (Nybakken 1993; Barnes 1980; Sale 1991). Salah satu bentuk asosiasi antara ikan dan terumbu yang dapat dilihat adalah ikan pemakan koral (koralivor) seperti dari famili Chaetodontidae, Balistidae, dan Tetraodontidae (Reese 1981; Soule & Kleppel 1988; Birkeland 1997; Ohman 1998) dengan karang terumbu yang menjadi makanannya. P opulasi ikan koralivor sangat tergantung pada ketersediaan karang hidup yang dapat dilihat dari penutupannya (Berumen et al. 2005; Fishbase 2004; Nontji 1993; Burges 1978) . Ikan kepe-kepe dari famili Chaetodontidae merupakan penghuni habitat terumbu karang yang mudah untuk diamati, umum dijumpai dan diidentifikasi secara langsung (Nybakken 1993; Barnes 1980). Beberapa spesies yang sudah diteliti adalah

Chaetodon multicinctus, C. ornatissimus, C. trifasciatus, C. unimaculatus

(Hourigan et al. 1988; Ohman et al. 1998), C. lunulatus, C. baronessa (Berumen

et al. 2005), C. austriatus, dan C. trifascialis (Alwany et al. 2003).

Berdasarkan penelitian Bawole et al. (1999) dikemukakan bahwa kehadiran yang dominan dari Chaetodon octofasciatus mengindikasikan bahwa terumbu karang sudah mengalami perubahan. Dari penelitian tersebut disarankan perlu adanya penelitian yang lebih lanjut tentang kebiasaan makan dan tingkah laku ikan Chaetodontidae, dengan perhatian khusus pada jenis Chaetodon

3

octofasciatus, Chaetodon trifasciatus, Chaetodon trifascialis dan Chaetodon ornatissimus. Karena kelimpahan Chaetodon octofasciatus di Kepulauan seribu sangat tinggi dibandingkan dengan spesies lainnya. Maka penelitian ini memfokuskan kajian pada Chaetodon octofasciatus yang ditinjau dari aspek ekologis dan biologis.

Permasalahan

Beberapa permasalahan yang telah teridentifikasi berdasarkan hasil studi pustaka dalam penelitian ini, yaitu:

1. Belum adanya metode yang murah, mudah dan efektif untuk diaplikasikan di lapangan dalam mendeteksi perubahan ekosistem terumbu karang mengingat cepa tnya degradasi ekosistem tersebut

2. Belum ada penelitian tentang pola makan ikan koralivor kaitannya dengan perubahan ekosistem terumbu karang di Pulau Petondan Timur Kepulauan Seribu, Jakarta.

3. Belum adanya penelitian tentang efektivitas ikan koralivor untuk dapat dijadikan indikator untuk kerusakan terumbu karang di Pulau Petondan Timur Kepulauan Seribu, Jakarta

4. Belum adanya informasi perbedaan jumlah ikan indikator pada masing-masing kategori kerusakan terumbu karang

5. Masih kurangnya informasi tentang hubungan antara persentase penutupan karang hidup terhadap keberadaan ikan indikator

6. Belum ada studi mendalam tentang ikan kepe-kepe jenis Chaetodon octofasciatus baik secara ekologi maupun biologis seperti kajian makanan dan kebiasaan makan

4 Dari permasalahan yang ada maka muncul beberapa pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut dengan penelitian ini yaitu:

1. Bagaimana pola makan ikan kepe-kepe jenis Chaetodon octofasciatus

berdasarkan analisa makanan dan kebiasaan makan serta tingkat pemangsaan ikan kepe -kepe jenis Chaetodon octofasciatus terhadap karang?

2. Apakah ikan kepe-kepe jenis Chaetodon octofasciatus merupakan indikator untuk ekosistem terumbu karang yang sehat, rusak atau yang sedang mengalami perubahan?

3. Bagaimana pola hubungan antara persentase penutupan karang hidup dengan kelimpahan ikan kepe -kepe jenis Chaetodon octofasciatus?

Kerangka pemikiran

Untuk mencapai berbagai tujuan penelitian yang telah ditetapkan yang didasari dari permasalahan yang ada maka disusun suatu kerangka pemikiran seperti disajikan pada Gambar 1.

5

Gambar 1 Kerangka pemikiran

Ikan kepe-kepe Chaetodon octofasciatus

dapat dipakai sebagai bioindikator dalam endeteksi kondisi pada ekosistem

terumbu karang Kajian Ekobiologi

Metode terumbu karang: a. Transek sabuk

b. Transek garis menyinggung c. Transek kuadrat

Metode ikan kepe-kepe: a. Sensus ikan stasioner

b. Analisa makanan dan kebiasaan makan Biologi Ekologi Ekosistem Terumbu Karang Tekanan Antropogenis Tekanan Alami Perubahan Ekosistem Ada perbedaan ? Barat Timur Selatan Utara S t a s i u n ya tidak Terumbu karang:

- Persentase penutupan karang hidup - Struktur komunitas karang - Indeks Mortalitas Karang (IMK) - Komposisi substrat dasar

Ikan Kepe-kepe: - Jenis

- Kelimpahan ikan - Tingkat pemangsaan - Makanan & kebiasan makan

Ikan kepe-kepe Chaetodon octofasciatus

belum dapat dipakai sebagai bioindikator dalam endeteksi kondisi

6

Hipotesis

Adapun hipote sis dalam penelitian ini adalah: Kelimpahan ikan kepe-kepe (Chaetodon octofasciatus) ditentukan oleh besarnya persentase penutupan karang hidup.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui makanan dan kebiasaan makan Chaetodon octofasciatus melalui analisa isi perut;

2. Mengetahui perbedaan tingkat pemangsaan Chaetodon octofasciatus terhadap jenis koral yang dikonsumsi;

3. Didapatkannya pola hubungan antara kelimpahan Chaetodon octofasciatus dengan persentase penutupan karang hidup;

Manfaat

Penelitian ini diharapkan mempunyai berbagai manfaat, yaitu:

1. Mendapatkan indikator kerusakan terumbu karang berdasarkan jumlah

Chaetodon octofasciatus yang sangat murah, mudah dan efektif untuk diimplementasikan di lapangan khususnya di Pulau Petondan Timur Kepulauan Seribu, Jakarta;

2. Memberikan tambahan informasi mengenai ekobiologi dari ikan indikator ini, maka memberikan informasi kerusakan terumbu karang yang lebih dini dan akurat.

TINJAUAN PUSTAKA

Terumbu Karang

Pengertian Karang dan Simbiotik Alga

Karang merupakan nama lain dari ordo Scleractinia yang memiliki jaringan batu kapur yang keras. Ordo Scleractinia dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok karang pembentuk terumbu (reef building) dan kelompok karang bukan pembentuk terumbu (non reef building). Karang pembentuk terumbu merupakan karang hermatipik yang memerlukan cahaya matahari untuk hidup, sedangkan kelompok bukan pembentuk terumbu adalah karang ahermatip ik yang hidup tanpa cahaya matahari di dasar laut (Veron 1993; Nybakken 1993; Tomascik et al.

1997).

Karang hermatipik hanya ditemukan di daerah tropis, sedangkan karang ahermatipik tersebar luas di seluruh dunia. Perbedaan utama antara karang hermatipik dan karang ahermatipik adalah terdapatnya simbiose mutualisma dengan zooxanthellae, tumbuhan alga bersel tunggal (dinoflagellata uniselular) -

Gymnodinium microadriatum, yang terdapat di dalam jaringan karang. Karang hermatipik bersimbiose dengan alga tersebut sedangkan hampir semua karang ahermatipik tidak bersimbiose (Ditlev 1980; Nybakken 1993). Menurut Barnes (1980) terdapat lebih dari 60 genera karang yang bersimbiose dengan zooxanthellae.

Asosiasi simbiotik antara zooxanthellae dengan karang sedemikian eratnya hingga sangat menentukan proses metabolisme, kemampuan untuk membentuk kerangka dan sebaran vertikalnya hewan tersebut. Selain itu zooxanthellae juga terdapat dalam berbagai jenis invertebrata di daerah terumbu karang sehingga

8 memberikan petunjuk bahwa peranan alga tersebut sangat penting dalam ekosistem terumbu karang (Nybakken 1993; Nontji 1984). Oleh karena itu karang hermatipik mempunyai sifat yang unik, yaitu perpaduan antara sifat hewan dan tumbuhan, sehingga arah pertumbuhannya selalu bersifat fototropik positif. Kebutuhan akan cahaya matahari adalah untuk kepentingan zooxanthellae (Nybakken 1993).

Struktur Karang

Karang dapat hidup berkoloni maupun soliter. Individu karang terdiri dari polip (bagian yang lunak) dan kerangka kapur (bagian yang ke ras). Polip karang (Gambar 2), mulutnya terletak di bagian atas dan sekaligus berfungsi sebagai anus. Makanan yang masuk dicerna oleh filamen mesentary dan sisa makanan dikeluarkan melalui mulut. Jaringan tubuh karang terdiri dari ektoderm, mesoglea dan endoderm (Veron 1986).

9 Ektoderm merupakan jaringan terluar yang mempunyai cilia, kantung lendir (mucussac) dan sejumlah nematokis (nematocyst). Mesoglea adalah jaringan yang terletak anta ra ektoderm dan endoderm, bentuknya seperti agar-agar (jelly). Endoderm merupakan jaringan yang paling dalam dan sebagian besar berisi zooxanthellae (Nybakken 1993), tetapi menurut Barnes (1980) zooxanthellae yang bersimbiose juga berada di dalam jaringan gastroderm.

Ukuran diameter polip karang yang berbentuk koloni umumnya adalah 1- 3 mm, sedangkan jenis yang soliter ada yang mencapai 25 cm (Barnes 1980). Rangka karang terdiri dari kristal kalsium karbonat dan disekresikan oleh epidermis yang berada di pertengahan bawah polip . Proses sekresi ini meghasilkan rangka cawan (skeletal cup), dimana polip Karang menetap. Cawan tersebut dinamakan calyx, dinding yang mengelilingi cawan disebut theca dan lantai cawan disebut lempeng basal (basal plate). Pada bagian lantai terdapat dinding septa yang terbuat dari kapur tipis (radiating calcareous septa) (Gambar 4). Disamping memberikan tempat hidup bagi polip karang, cangkang (terutama sklerosepta/septa) juga memberikan perlindungan. Bila berkontraksi, polip menja di kecil dan berada dalam cangkang sehingga menyulitkan predator yang akan memangsanya (Barnes 1980).

Nematokis

Filum Coelenterata disebut juga Cnidaria yang dalam bahasa Yunani adalah sengat. Anggota dari filum ini adalah hydra, ubur-ubur, anemone laut dan koral. Coelenterata mempunyai rongga pencernaan dan mulut, tetapi tidak ada anus. Anatomi dari filum ini adalah mempunyai dinding tubuh yang terdiri dari 3

10 lapisan, yaitu epidermis (lapisan paling luar), gastrodermis (lapisan paling dalam dan membatasi rongga pencernaan), dan mesoglea (lapisan yang terletak di antara epidermis dan gastrodermis) (Suwignyo et al. 2005).

Pada lapisan epidermis terdiri dari lima macam sel yaitu sel epitel otot, sel interstisial, sel cnidocyte, sel kelenjar lender, dan sel saraf indera. Di dalam cnidocyte terdapat nematokis, yaitu suatu struktur seperti kapsul bulat atau lonjong. Di dalam nematokis terdapat semacam benang atau pipa halus atau duri melingkar-lingkar, dan pangkalnya menempel pada dasar nematokis. Bila ada rangsangan dari luar, benang dalam nematokis ditembakkan keluar. Nematokis paling banyak terdapat di tentakel dan ujung oral (Suwignyo et al. 2005) .

Gambar 3 Tipe nematokis: (A) Perekat; (B) Penggulung; (C) Penusuk (Suwignyo et al. 2005)

Terdapat tiga macam tipe nematokis berdasarkan fungsinya yaitu (Suwignyo

et al. 2005) :

a. Perekat (glutinant, isorhiza): mempunyai pipa halus yang ujungnya terbuka dan menghasilkan bahan perekat sebagai pertahanan diri dan untuk melekatkan diri ke substrat.

A

B

11 b. Penggulung (volvent, demoneme): berukuran kecil dan berfungsi untuk

menggulung mangsa, berbentuk seperti tali lasso.

c. Penusuk (penetrant, stenotele): berukuran besar agak bulat mengandung 3 buah duri besar dan 3 deret duri-duri kecil, dan berfungsi untuk menyuntikkan racun ke dalam tubuh mangsa

Sedangkan berdasarkan bentuknya terdapat 9 tipe nematokis yaitu:

1. Atrich: tipe nematokis yang didefinisikan oleh bentuknya yang bulat tanpa dasar (basal shaft) atau senapan (barbs).

2. Basitrich: tipe nematokis yang didefinisikan oleh bentuknya yang bulat tetapi sudah mempunyai senapan (barbs) pada dasar.

3. Holotrich: tipe nematokis yang didefinisikan oleh non-differensial basal shaft dan sebuah senapan (barb) disepanjang tubuhnya.

4. Macrobasic amastigophore: tipe nematokis yang didefinisikan oleh bentuknya yang bulat memanjang dan terdapat senapan di ujungnya. 5. Microbasic amastigophore: tipe nematokis yang didefinisikan oleh

bentuknya yang membulat panjang namun kecil dan hanya terdapat senapan di ujungnya.

6. Microbasic b-mastigophore: tipe nematokis yang didefinisikan oleh bentuknya yang membulat dan berongga, tetapi pemisah antara rongga dan tabung tubule tidak ada tanda yang jelas.

7. Microbasic p-mastigophore: tipe nematokis yang didefinisikan oleh bentuknya yang membulat dan mempunyai sebuah rongga dan tabung, pemisah antara rongga senapan dan tabung terlihat dengan jelas.

12 8. Spirocyst: tipe cnidae yang didefinisikan oleh bentuknya yang panjang,

spriral, tidak menyengat dan membulat.

9. Heterotrich: tipe nematokis yang didefinisikan oleh bentuk tubuhnya yang panjang membulat dengan garis-garis melintang ditubuhnya.

Organisme yang berasosiasi dengan terumbu karang

Kondisi fisik terumbu karang yang kompleks memberikan andil bagi keragaman dan produktivitas biologinya. Banyaknya lubang dan celah di terumbu karang memberikan tempat tinggal, perlindungan, tempat mencari makan dan berkembangan biak bagi ikan dan invertebrata yang ada di perairan terumbu karang maupun yang berasal dari lingkungan sekitarnya (Nybakken 1993).

Gambar 4 Organisme yang berasosiasi dengan terumbu karang (Castro & Huber 2000)

Biota yang hidup di daerah terumbu karang merupakan suatu komunitas yang meliputi kumpulan kelompok biota dari berbagai tingkat trophik (Gambar 4). Masing-masing komponen dalam komunitas ini mempunyai ketergantungan yang erat satu dengan yang lain (Nybakken 1993).

13

Status Ekosistem Terumbu Karang di Kepulauan Seribu

Kondisi ekosistem terumbu karang di daerah tropis khususnya di Indonesia saat ini sangat dipengaruhi oleh peningkatan populasi penduduk. Hal ini sesuai yang dinyatakan oleh Wilkinson et al. (1993) bahwa pada tahun 1993 bahwa 10 sampai 20 tahun mendatang, 30% terumbu karang di dunia akan hancur dan rusak. Pada tahun 1998, World Resources Institute di Washington mengestimasi bahwa 50% dari terumbu karang di dunia sangat terancam, dan 10% telah hancur dan rusak (Bryant et al. 1998).

Terumbu karang di Indonesia bagian barat mendapatkan lebih banyak tekanan dibandingkan dengan terumbu karang di bagian timur Indonesia (Chou 1998). Khususnya di Kepulauan Seribu yang selama 25 tahun terakhir menanggung beban limbah dari Jakarta (Cesar 1996). Limbah domestik, limbah industri, dan penangkapan ikan yang merusak (termasuk bom sianida) merupakan faktor utama yang membuat terumbu karang di Kepulauan Seribu semakin riskan (Bryant et al.

1998; Chou 1998; Erdmann 1996). Dampak negatif dari beberapa aktivitas manusia dan alam di daerah terumbu karang di Kepulauan Seribu Jakarta disajikan pada Tabel 1.

Pemboman (blast fishing), suatu teknik yang menggunakan ledakan untuk membunuh ikan dan hal ini sangat merusak ekosistem secara ekstrim. Terlebih lagi kegiatan pemboman ini membunuh ikan target dan non-target serta hewan invertebrate dari segala jenis kelas dan ukuran, dan juga ledakan merusak dan menghancurkan struktur terumbu. Kegiatan pemboman ini menghasilkan

Dokumen terkait