• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penulis dilahirkan di Sibea ( Kabupaten Tolitoli, Sulawesi Tengah) pada 15 Mei 1985 sebagai anak ke tiga dari pasangan Arjo dan Poniyem.

Tahun 2004, penulis lulus dari Madrasah Alyah (MA) dan melanjutkan pendidikan sarjana di program studi Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Tadulako, lulus pada tahun 2009. Pada tahun 2011, penulis diterima di Program Studi Biofisika pada Program Pasca Sarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 2014.

1

1

PENDAHULUAN

.

Latar Belakang

Sel surya merupakan pengembangan teknologi yang memanfaatkan cahaya matahari untuk diubah menjadi energi listrik. Penelitian mengenai sel surya bukan suatu yang terbarukan, karena penelitian sel surya sendiri sudah sejak lama dikembangkan. Sel surya yang pertama kali dikembangkan adalah sel surya yang berbasiskan silikon berupa silikon kristal tunggal dan silikon polikristal yang efisiensinya mencapai 25±0,5% (Ozgur. 2005). Generasi kedua adalah sel surya yang berbasis film tipis, dimana sel surya ini dibuat dari semikonduktor seperti Tembaga Indium Galium diselenida (CIGS) dan kadmium telluride (CdTe) sebagai bahan penyerapnya. Efisiensi yang dicapai pada generasi ini mencapai 19,9% (CIGS) (Repins et al. 2008). Karena bahannya yang bersifat toksik,

sehingga sel surya bentuk ini dianggap tidak ramah lingkungan dan dapat membahayakan bagi peneliti. Generasi yang ketiga merupakan jenis sel surya berbasis semi konduktor organik seperti PCBM, C60, P3HT dan lain sebagainya. Sel surya jenis ini dianggap ramah lingkungan dan relatif lebih murah bila dibandingkan dengan generasi sebelumnya, tetapi efisiennya masih jauh dari generasi sebelumnya yang hanya mencapai 1,78% (Tong et al. 2012). Di tahun

1991 seorang ilmuan yang bernama Gratzel (Gratzel. 1991) telah memperkenalkan jenis sel surya baru yang dikenal sebagai dye-sensitised solar cell (DSSC), yang mana sel surya bentuk ini didasarkan pada kaidah proses

fotosintesis yang terjadi di alam bebas yang dilakukan oleh semua jenis tanaman. Selain sel surya organik dan anorganik ada pula jenis sel hibrid yaitu jenis sel surya yang merupakan perpaduan antara semikonduktor anorganik dan organik. Material organik dalam sel surya jenis ini berfungsi sebagai penyerap cahaya dan bagian anorganiknya adalah nanokristal semikonduktor biasanya material golongan II-IV. Secara umum lapisan foto aktif memiliki bentuk struktur bilayer dan struktur bulk heterojuction dengan memadukan bahan yang bersifat donor dan

akseptor yang didepositkan pada subtrat. Berbeda dengan bulk semikonduktor

anorganik, penyerapan foton oleh semikonduktor organik tidak menghasilkan pembawa muatan bebas tetapi terikat oleh pasangan elektron-hole yang selanjutnya disebut sebagai eksiton (Gledhil. 2005). Secara khusus prinsip kerja sel surya hibrid yaitu diawali dengan penyerapan foton oleh bahan absorban dari pita valensi (VB) ke pita konduksi (CB) dalam bentuk eksiton. Eksiton berdifusi ke interface donor/akseptor, dimana muatan yang ditransferkan mengarah pada

pemisahan eksiton mejadi elektron bebas dan hole dibawah pengaruh medan listrik internal yang ditransferkan oleh material donor atau akseptor yang dominan dan akhirnya dikumpulkan pada masing-masing elektroda. Singkatnya ada empat tahapan dalam sel surya hibrid yaitu penyerapan foton, difusi eksiton, pemisahan muatan serta transportasi pembawa muatan dan pengumpulan (Greenham. 2008).

Pada umumnya bahan semikonduktor yang biasa digunakan dalam sel surya hibrid dan DSSC adalah TiO2 dan ZnO dengan masing-masing energi pita celah nya adalah 3,2 eV ( Reddy et al. 2002, 3,2–3,4 eV (Song et al. 2002).

2

Pada tanaman, semua pigmen memiliki karakteristik tersendiri dalam merespon cahaya. Klorofil merupakan bagian dari tanaman yang memiliki peran aktif dalam proses fotosintesis. Klorofil menyerap cahaya berupa gelombang elektromagnetik pada spektrum kasat mata (visible) dengan panjang gelombang

antara 400 sampai 700 nm.

Dalam beberapa dekade terakhir, klorofil dan turunannya telah dikembangkan untuk berbagai aplikasi elektronik, diantaranya adalah sebagai optoelektronik (Ohtani et al. 2011), fotosensitiser (Chand et al. 2012),

fototransistor (Chen et al. 2013) dan terapi fotodinamik untuk kanker (Park et al.

1989).

Secara umum klorofil merupakan pigmen yang mudah terdegradasi akibat berkurangnya atau menurunnya logam Mg di dalam inti cincin porfirin, Ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu panas (Erge et al. 2008) dan kosentrasi

asam (Koca et al.2003), sehingga beberapa penelitian telah melakukan modifikasi

terhadap logam inti pada klorofil (Mg) dengan unsur logam lainnya yaitu seng (Zn2+) dan tembaga (Cu2+).(Kupper et al. 1996), agar pigmen klorofil lebih stabil.

Pengembangan lebih lanjut dalam penelitian ini, akan memanfaatkan klorofil yang termodifikasi ion logam Zn2+ dan Cu2+ sebagai fotosensitiser sel surya hibrid nanopartikel ZnO.

Perumusan Masalah

Masalah utama dalam penelitian ini adalah bagaimana mengoptimalkan pembentukan nanopartikel ZnO dan klorofil kompleks (Zn2+ dan Cu2+) yang diambil dari tanaman tingkat tinggi serta menentukan bagaimana bentuk struktur divais yang baik untuk meningkatkan peforma sel surya hibrid.

Tujuan Penelitian

Memanfaatkan klorofil termodifikasi ion logam Zn2+ dan Cu2+ sebagai fotosensitiser pada sel surya hibrid nanopartikel ZnO

Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian dalam penelitian ini meliputi:

1. Membuat dan mengkarakterisasi material semikonduktor nanopartikel ZnO yang diperoleh dengan metode hidrotermal

2. Mensintesis dan mengkarakterisasi klorofil kompleks (Zn-feofitin dan Cu- feofitin).

3. Membentuk dan mengkarakterisasi divais sel surya hibrid nanopartikel ZnO/klorofil kompleks (Zn-feofitin dan Cu-feofitin)

3

2

SINTESIS DAN KARAKTERISASI NANOSTRUKTUR ZnO

Pendahuluan

ZnO merupakan bahan semikonduktor tipe-n yang memiliki lebar pita energi 3,37 eV pada suhu ruang dan 3,34 eV pada temperatur rendah dengan nilai energi ikat eksitonnya sebesar 60 meV (Takena et al. 2012). ZnO memiliki

struktur kristal wurtzite heksagonal, dengan nilai parameter kisinya a = 3249 Å

dan c = 5,206 Å (Wu et al.2007).

Beberapa aplikasi yang telah dikembangkan dari semikonduktor ZnO adalah sel surya (Xiaohui et al. 2008; Beek et al. 2005), sensor (Parviz et al. 2011,

Gupta et al. 2010, Chueh-Yang et al. 2009), optoelektronik, ZnO thin film transistor (ZnO-TFTs) dibuat dalam bentuk transparan dan fleksibel sebagai

lapisan selektif elektron pada sel surya organik yang fleksibel (Lee et al. 2010).

Beberapa metode yang telah dilakukan untuk membentuk struktur kristal ZnO diantaranya adalah metode sol gel (Hassan et al. 2011), hidrotermal (Yong-

hong et al, 2005; Sarika et al. 2012), chemical bath depotitions (CBD), (Ali et al.

2011; Wen-Yao et al. 2012). Dari metode yang telah disebutkan tersebut,

hidrotermal merupakan salah satu metode yang efektif dan efisien, karena dalam proses hidrotermal dapat dikontrol suhu dan tekanan yang sangat berpengaruh pada hasil yang diperoleh. Untuk metode hidrotermal yang telah dilakukan dalam mensintesis nanopartikel ZnO, dikaji berdasarkan pada variasi suhu (Aneesh et al.

2007; Meen et al. 2007). Dalam penelitian ini akan dikaji pengaruh durasi

hidrotermal terhadap struktur morfologi, ukuran partikel dan sifat optik dari nanopartikel ZnO.

Tujuan

Mensintesis dan mengkarakterisasi nanostruktur ZnO dengan menggunakan metode hidrotermal dengan durasi 3 jam, 6 jam dan 12 jam.

Metode Sintesis nanopartikel ZnO

Penumbuhan nanopartikel ZnO dilakukan dengan cara melarutkan 8,75 gram CH3COO)2Zn.2H2O ke dalam 28 ml etanol (C2H5OH) dan 12 ml ethylen glycol (HOCH2CH2OH) dan diaduk selama 10 menit sampai terlarut sempurna. Kemudian larutan yang terbentuk dimasukkan ke dalam reaktor hidrotermal dengan durasi 3 jam, 6 jam dan 12 jam. Endapan yang diperoleh dari proses hidrotermal dicuci dengan akuades dan etanol secara bergantian sebanyak tiga kali lalu dikeringkan diatas hotplate pada suhu 100oC sampai mengering, kemudian

dikalsinasi selama dua jam pada suhu 300oC. Selanjutnya dilakukan uji karakterisasi X-ray diffraction (XRD) (GBC Emma) untuk menentukan struktur

4

Untuk pengukuran sifat optik dari film ZnO, dilakukan dengan menggunakan spektrometer Uv-Vis (Ocean Optics).

Fabrikasi dan karakterisasi film ZnO

Pertama, bubuk ZnO dibuat suspensi koloid yang di dispersikan dengan

ethylen glycol 5 wt% dan etanol (Ibrahem et al. 2013) kemudian diaduk dengan

magnetik stirrer selama 30 menit. Setelah itu dilapiskan pada kaca preparat dengan menggunakan metode casting. Sampel yang telah dilapiskan pada preparat

kemudian dipanaskan di atas hot plate selama 1 jam pada suhu 100oC, setelah itu

dilakukan uji karakterisasi dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis (Ocean Optics). Karakteristik film ZnO dipelajari berdasarkan spektrum

transmitansi, diantaranya untuk menentukan lebar celah energi (band gap).

Hasil dan Pembahasan Struktur kristal Nanopartikel ZnO

Hasil sintesis nanopartikel ZnO dengan metode hidrotermal kemudian dilakukan beberapa uji karakterisasi yaitu XRD, SEM dan spektrofotometer UV- Vis. Dari hasil XRD memperlihatkan pola-pola difraksi menunjukkan karakteristik dari ZnO yang sesuai dengan data JCPDS no. 1314-13-2. Dari pola- pola tersebut memperlihatkan bentuk pola dari polikristalin ZnO yang merupakan bentuk struktur wurtzite heksagonal (Wu et al. 2007, Maddu et al. 2006) dengan

nilai parameter kisi a dan c yang telah disesuaikan dengan data JCPDS No.1314- 13-2 sebagaimana yang tercantum dalam lampiran 1. Hasil perhitungan ini juga tidak jauh berbeda dengan hasil yang diperoleh dari beberapa peneliti sebelumnya yaitu a= 3,620Å, c= 5,214Å (Khan et al. 2011), a= 3,248Å, c= 5,2Å (Hamedani

dan Farzaneh. 2006). Parameter kisi dihitung dengan menerapkan metode Cohen

untuk kristal ZnO heksagonal dengan persamaan (1). Hasil perhitungan ini dapat dilihat pada Tabel 1.

dimana d adalah jarak antar kisi kristal, a dan c adalah parameter kisi kristal.

Tabel 1. Nilai parameter kisi ZnO pada durasi hidrotermal

Sampel a (Å) JCPDS (Å) c (Å) JCPDS (Å) 3 jam 3,256 3,249 5,212 5,209 6 jam 3,256 5,215 12 jam 3,264 5,228

Nilai parameter kisi ZnO sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 1, menunjukkan adanya peningkatan nilai parameter kisi meskipun tidak begitu signifikan. Menurut Samuel et al. (2009), meningkatnya nilai parameter kisi ini

dipengaruhi oleh ukuran partikel yang semakin kecil. Pola-pola difraksi yang dihasilkan, pada masing-masing sampel dengan durasi hidrotermal 3 jam, 6 jam

5 dan 12 jam diperlihatkan pada Gambar 1. Pada Gambar 1 diperlihatkan bahwa bidang 101 memiliki nilai intensitas lebih tinggi dari lainnya. Ini menggambarkan bahwa bidang 101 lebih dominan pada struktur ZnO yang dihasilkan.

Ukuran kristal dari pola difraksi Gambar 1, didapatkan dengan menerapkan persamaan (2).

σ adalah ukuran kristal rata-rata, k adalah konstanta (0,9), λ adalah panjang

gelombang sumber sinar-X yaitu 1,54059 Å, adalah lebar puncak setengah maksimum (FWHM) masing-masing puncak, dan adalah sudut difraksi.

Ukuran kristal rata-rata yang didapatkna dari perhitungan berdasarkan durasi hidrotermal adalah 44,32 nm untuk durasi 3 jam, 50,56 nm untuk durasi 6 jam dan 54,37 nm untuk durasi 12 jam memperlihatkan ukuran dari nanokristal. Hasil ini mirip dengan metode hidrotermal lainnya yang meninjau ukuran partikel berdasarkan pada perubahan suhu dan kosentrasi (Aneesh at al.2007).

In te ns ita s ( a.u ) 2 Tetha (derajat) 30 40 50 60 70 100 201 112 200 103 110 102 101 002 3 Jam 6 Jam 12 Jam

Gambar 1. Pola difraksi nanopartikel ZnO yang disintesis dengan menggunakan metode hidrotermal selama durasi 3 jam, 6 jam dan 12 jam

6

Morfologi

Hasil karakterisasi SEM memperlihatkan bentuk morfologi ZnO tampak lebih homogen dengan ukuran partikelnya menurun bersamaan dengan pertambahan durasi hidrotermal. Dari analisis Gambar 2 (a, b dan c) dengan menggunakan CorelDraw, didapatkan ukuran partikel rata-rata untuk setiap durasi 3 jam yaitu 249 nm, 147 nm untuk durasi 6 jam dan 107 nm untuk durasi 12 jam. Menurunnya ukuran partikel ini ternyata menyebabkan meningkatnya ukuran kristal dengan nilai parameter kisinya juga meningkat (Samuel et al. 2009). Ini

kemungkinan disebabkan oleh menurunnya ukuran partikel, sehingga dalam pembentukan kristal akan lebih mudah dibandingkan dengan partikel yang lebih besar. Pada Gambar 2, juga memperlihatkan adanya pengaruh ukuran partikel terhadap suhu saat dilakukan kalsinasi. Dimana pada Gambar 2(c) memperlihatkan adanya proses algomerasi (penggumpalan) yang diakibatkan ukuran partikel lebih kecil yang lebih rentan terhadap suhu kalsinasi.

(a) (b)

(c)

Gambar 2. Foto SEM film permukaan morfologi ZnO a (3 jam), b (6 jam), c (12 jam).

7 Hubungan antara ukuran partikel dengan ukuran kristal terhadap perubahan waktu lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3 memperlihatkan bahwa lama waktu hidrotermal yang digunakan menyebabkan ukuran partikel semakin menurun dan menghasilkan ukuran kristal yang meningkat. Meningkatnya ukuran kristal ini, dihasilkan dari ukuran partikel yang lebih kecil. Karena sifat dari suatu partikel, semakin kecil akan memiliki tingkat keteraturan struktur molekul yang baik.

Waktu (jam) 2 4 6 8 10 12 U ku ra n kr is ta l ( nm ) 42 44 46 48 50 52 54 56 U ku ra n pa rt ik el ( nm ) 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 Ukuran kristal Ukuran partikel

Gambar 4. Pengaruh durasi terhadap ukuran partikel dan kristal pada metode hidrotermal

Sifat optik dan lebar pita energi

Sifat optik ZnO nanopartikel ditentukan berdasarkan pengamatan spektrum transmitansi yang diperoleh dengan memakai alat spektrofotometer UV-Vis. Dari

hasil pengukuran ini didapatkan film ZnO menyerap spektrum UV pada panjang gelombang maksimum 361 nm untuk sampel 3 jam, 364 nm untuk sampel 6 jam dan 367 nm untuk sampel 12 jam.

Seperti yang telah diketahui, faktor durasi hidrotermal menyebabkan perbedaan ukuran partikel untuk setiap waktunya, sehingga ukuran partikel ini kemungkinan mempengaruhi terjadinya pergeseran pada daerah serapan meskipun tidak begitu signifikan. Bila merujuk pada hasil penelitian sebelumnya, dinyatakan bahwa pergeseran puncak serapan dari panjang gelombang yang rendah ke yang lebih tinggi disebabkan oleh ukuran partikel yang berbeda, sehingga Ini akan berpengaruh pada energi celah pita yang dihasilkan. Karena energi celah pita itu sendiri akan meningkat seiring dengan menurunnya ukuran partikel disebabkan oleh ukuran kuantum (Samuel et al. 2009).

Pola spektrum transmitansi film ZnO pada Gambar 4, memperlihatkan bahwa film ZnO sampel 3 jam meneruskan cahaya ±41-58%, sampel 6 jam meneruskan ± 25-52% dan sampel 12 jam meneruskan cahaya ±21-51 %. Perbedaan ini kemungkinan besar disebabkan oleh perbedaan pada ketebalan film karena proses pelapisan film yang memungkinkan terjadinya perbedaan tersebut.

8  (nm) 400 500 600 700 800 900 T ra nsm ita nsi (%) 20 40 60 80 100 3 jam 6 jam 12 jam

Gambar 4. Sifat optik transmitansi dari semikonduktor film ZnO yang diukur dengan spektrometer UV-Vis

Untuk menentukan besarnya energi celah (Eg) dari film ZnO, dapat diestimasikan secara fundamental yang merupakan transisi dari absorbansi atau transmitansi. Untuk transisi secara langsung dan tak langsung dapat digunakan hubungan sebagai mana dalam persamaan (3) ( Altaf et al. 2003, Maddu et al.

2006).

( ) dimana hv adalah energi foton, A adalah sebuah konstanta yang nilainya antara

107 sampai 108 m-1 (Samuel et al. 2009), sedangkan eksponen n bergantung pada

jenis transisi di dalam bahan. Untuk transisi langsung n = ½, untuk transisi tak

langsung n = 2, Eg adalah lebar celah pita optik bahan semikonduktor, α adalah

koefesien absorbansi yang dapat ditentukan dari kurva transmitansi atau absorbansi pada setiap panjang gelombang melalui hubungan Beer-Lambert, yang

ditunjukkan pada persamaan (4)

sedangkan untuk nilai α dapat ditentukan dengan :

( )

dengan I adalah intensitas cahaya yang ditransmisikan melalui sampel film, I0

adalah intensitas cahaya datang dan t adalah ketebalan film.

Berdasarkan hubungan Gärtner's pada teori semikonduktor, bahwa terjadinya transisi langsung dan tak langsung dapat dilihat pada hubungan antara

9 nilai koefesien absorbansi (α) terhadap nilai panjang gelombang (λ). Adapun kurva hubungan Gärtner's tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.

.

Gambar 5 Kurva hubungan Gärtner's pada transisi langsung dan tak langsung semikonduktor

Plot nilai koefisien absorbansi (α) terhadap pajang gelombang (λ) untuk semua sampel ZnO ditunjukkan pada Gambar 6. Hasil plot ini memperlihatkan bentuk transisi langsung, sebagaimana mengacu pada kurva hubungan Gärtner's pada Gambar 5, sehingga nilai n yang digunakan adalah ½. Hasil plot ini dapat dilihat pada Gambar 6.

Panjang gelombang( (nm) 400 500 600 700 800 900 K oe fe si en a bs orba ns i ( ) x 10 6 0 1 2 3 4 5 6 3 Jam 6 Jam 12 Jam

Gambar 6 Kurva hubungan nilai absorbansi (α) terhadap panjang gelombang (λ)

Hasil Tonc plot antara terhadap dari tiga film ZnO sebagaimana

pada pada Gambar 7, masing-masing dari durasi hidrotermal 3 jam, 6 jam dan 12 jam. Nilai energi pita (Eg) ditentukan dari perpotongan bagian linier kurva dengan

10

eV dan 3,24 eV. Nilai energi pita ini tidak jauh berbeda dengan hasil peneliti sebelumnya dengan menggunakan metode sol gel yaitu 3,24 eV (Khan. 2011), 3,280 eV, 3,287 eV, dan 3,290 eV (Ilican et al. 2008), dan 3,20 eV, 3,19 eV dan

3,16 eV (Gupta et al. 2009). hv (eV) 2,0 2,2 2,4 2,6 2,8 3,0 3,2 3,4 hv eV ) 0 10 20 30 3 jam 6 jam 12 jam

Gambar 7 Plot (αhv)2 terhadap energi foton absorbansi (hv)

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa perubahan energi gap ini

disebabkan oleh adanya perbedaan ukuran dari ukuran partikel, dan dari hasil penelitian telah di dapatkan bahwa faktor lamanya durasi menyebabkan ukuran partikel yang menurun dengan ukuran kristalnya meningkat, sehingga dapat dibuat suatu hubungan yaitu perubahan energi pita terhadap ukuran partikel dan ukuran kristal yang dapat dilihat pada Gambar 8.

Eg (eV) 3,17 3,18 3,19 3,20 3,21 3,22 3,23 3,24 3,25 U kura n pa rt ike l ( nm ) 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 U kura n kr is ta l ( nm ) 42 44 46 48 50 52 54 56 Ukuran partikel Ukuran kristal

Gambar 8. Perubahan energi gap terhadap ukuran partikel dan ukuran

3

2

SINTESIS DAN KARAKTERISASI NANOSTRUKTUR ZnO

Pendahuluan

ZnO merupakan bahan semikonduktor tipe-n yang memiliki lebar pita energi 3,37 eV pada suhu ruang dan 3,34 eV pada temperatur rendah dengan nilai energi ikat eksitonnya sebesar 60 meV (Takena et al. 2012). ZnO memiliki

struktur kristal wurtzite heksagonal, dengan nilai parameter kisinya a = 3249 Å

dan c = 5,206 Å (Wu et al.2007).

Beberapa aplikasi yang telah dikembangkan dari semikonduktor ZnO adalah sel surya (Xiaohui et al. 2008; Beek et al. 2005), sensor (Parviz et al. 2011,

Gupta et al. 2010, Chueh-Yang et al. 2009), optoelektronik, ZnO thin film transistor (ZnO-TFTs) dibuat dalam bentuk transparan dan fleksibel sebagai

lapisan selektif elektron pada sel surya organik yang fleksibel (Lee et al. 2010).

Beberapa metode yang telah dilakukan untuk membentuk struktur kristal ZnO diantaranya adalah metode sol gel (Hassan et al. 2011), hidrotermal (Yong-

hong et al, 2005; Sarika et al. 2012), chemical bath depotitions (CBD), (Ali et al.

2011; Wen-Yao et al. 2012). Dari metode yang telah disebutkan tersebut,

hidrotermal merupakan salah satu metode yang efektif dan efisien, karena dalam proses hidrotermal dapat dikontrol suhu dan tekanan yang sangat berpengaruh pada hasil yang diperoleh. Untuk metode hidrotermal yang telah dilakukan dalam mensintesis nanopartikel ZnO, dikaji berdasarkan pada variasi suhu (Aneesh et al.

2007; Meen et al. 2007). Dalam penelitian ini akan dikaji pengaruh durasi

hidrotermal terhadap struktur morfologi, ukuran partikel dan sifat optik dari nanopartikel ZnO.

Tujuan

Mensintesis dan mengkarakterisasi nanostruktur ZnO dengan menggunakan metode hidrotermal dengan durasi 3 jam, 6 jam dan 12 jam.

Metode Sintesis nanopartikel ZnO

Penumbuhan nanopartikel ZnO dilakukan dengan cara melarutkan 8,75 gram CH3COO)2Zn.2H2O ke dalam 28 ml etanol (C2H5OH) dan 12 ml ethylen glycol (HOCH2CH2OH) dan diaduk selama 10 menit sampai terlarut sempurna. Kemudian larutan yang terbentuk dimasukkan ke dalam reaktor hidrotermal dengan durasi 3 jam, 6 jam dan 12 jam. Endapan yang diperoleh dari proses hidrotermal dicuci dengan akuades dan etanol secara bergantian sebanyak tiga kali lalu dikeringkan diatas hotplate pada suhu 100oC sampai mengering, kemudian

dikalsinasi selama dua jam pada suhu 300oC. Selanjutnya dilakukan uji karakterisasi X-ray diffraction (XRD) (GBC Emma) untuk menentukan struktur

4

Untuk pengukuran sifat optik dari film ZnO, dilakukan dengan menggunakan spektrometer Uv-Vis (Ocean Optics).

Fabrikasi dan karakterisasi film ZnO

Pertama, bubuk ZnO dibuat suspensi koloid yang di dispersikan dengan

ethylen glycol 5 wt% dan etanol (Ibrahem et al. 2013) kemudian diaduk dengan

magnetik stirrer selama 30 menit. Setelah itu dilapiskan pada kaca preparat dengan menggunakan metode casting. Sampel yang telah dilapiskan pada preparat

kemudian dipanaskan di atas hot plate selama 1 jam pada suhu 100oC, setelah itu

dilakukan uji karakterisasi dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis (Ocean Optics). Karakteristik film ZnO dipelajari berdasarkan spektrum

transmitansi, diantaranya untuk menentukan lebar celah energi (band gap).

Hasil dan Pembahasan Struktur kristal Nanopartikel ZnO

Hasil sintesis nanopartikel ZnO dengan metode hidrotermal kemudian dilakukan beberapa uji karakterisasi yaitu XRD, SEM dan spektrofotometer UV- Vis. Dari hasil XRD memperlihatkan pola-pola difraksi menunjukkan karakteristik dari ZnO yang sesuai dengan data JCPDS no. 1314-13-2. Dari pola- pola tersebut memperlihatkan bentuk pola dari polikristalin ZnO yang merupakan bentuk struktur wurtzite heksagonal (Wu et al. 2007, Maddu et al. 2006) dengan

nilai parameter kisi a dan c yang telah disesuaikan dengan data JCPDS No.1314- 13-2 sebagaimana yang tercantum dalam lampiran 1. Hasil perhitungan ini juga tidak jauh berbeda dengan hasil yang diperoleh dari beberapa peneliti sebelumnya yaitu a= 3,620Å, c= 5,214Å (Khan et al. 2011), a= 3,248Å, c= 5,2Å (Hamedani

dan Farzaneh. 2006). Parameter kisi dihitung dengan menerapkan metode Cohen

untuk kristal ZnO heksagonal dengan persamaan (1). Hasil perhitungan ini dapat dilihat pada Tabel 1.

dimana d adalah jarak antar kisi kristal, a dan c adalah parameter kisi kristal.

Tabel 1. Nilai parameter kisi ZnO pada durasi hidrotermal

Sampel a (Å) JCPDS (Å) c (Å) JCPDS (Å) 3 jam 3,256 3,249 5,212 5,209 6 jam 3,256 5,215 12 jam 3,264 5,228

Nilai parameter kisi ZnO sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 1, menunjukkan adanya peningkatan nilai parameter kisi meskipun tidak begitu signifikan. Menurut Samuel et al. (2009), meningkatnya nilai parameter kisi ini

dipengaruhi oleh ukuran partikel yang semakin kecil. Pola-pola difraksi yang dihasilkan, pada masing-masing sampel dengan durasi hidrotermal 3 jam, 6 jam

5 dan 12 jam diperlihatkan pada Gambar 1. Pada Gambar 1 diperlihatkan bahwa bidang 101 memiliki nilai intensitas lebih tinggi dari lainnya. Ini menggambarkan bahwa bidang 101 lebih dominan pada struktur ZnO yang dihasilkan.

Ukuran kristal dari pola difraksi Gambar 1, didapatkan dengan menerapkan persamaan (2).

σ adalah ukuran kristal rata-rata, k adalah konstanta (0,9), λ adalah panjang

gelombang sumber sinar-X yaitu 1,54059 Å, adalah lebar puncak setengah maksimum (FWHM) masing-masing puncak, dan adalah sudut difraksi.

Ukuran kristal rata-rata yang didapatkna dari perhitungan berdasarkan durasi hidrotermal adalah 44,32 nm untuk durasi 3 jam, 50,56 nm untuk durasi 6 jam dan 54,37 nm untuk durasi 12 jam memperlihatkan ukuran dari nanokristal. Hasil ini mirip dengan metode hidrotermal lainnya yang meninjau ukuran partikel berdasarkan pada perubahan suhu dan kosentrasi (Aneesh at al.2007).

In te ns ita s ( a.u ) 2 Tetha (derajat) 30 40 50 60 70 100 201 112 200 103 110 102 101 002 3 Jam 6 Jam 12 Jam

Gambar 1. Pola difraksi nanopartikel ZnO yang disintesis dengan menggunakan metode hidrotermal selama durasi 3 jam, 6 jam dan 12 jam

6

Morfologi

Hasil karakterisasi SEM memperlihatkan bentuk morfologi ZnO tampak lebih homogen dengan ukuran partikelnya menurun bersamaan dengan pertambahan durasi hidrotermal. Dari analisis Gambar 2 (a, b dan c) dengan menggunakan CorelDraw, didapatkan ukuran partikel rata-rata untuk setiap durasi 3 jam yaitu 249 nm, 147 nm untuk durasi 6 jam dan 107 nm untuk durasi 12 jam. Menurunnya ukuran partikel ini ternyata menyebabkan meningkatnya ukuran kristal dengan nilai parameter kisinya juga meningkat (Samuel et al. 2009). Ini

kemungkinan disebabkan oleh menurunnya ukuran partikel, sehingga dalam pembentukan kristal akan lebih mudah dibandingkan dengan partikel yang lebih besar. Pada Gambar 2, juga memperlihatkan adanya pengaruh ukuran partikel terhadap suhu saat dilakukan kalsinasi. Dimana pada Gambar 2(c) memperlihatkan adanya proses algomerasi (penggumpalan) yang diakibatkan ukuran partikel lebih kecil yang lebih rentan terhadap suhu kalsinasi.

Dokumen terkait