Penulis dilahirkan di Lubuk Alung pada tanggal 5 Maret 1973 dari ayah Syaharuddin (Almarhum) dan ibu Lunar. Penulis merupakan anak kelima dari 7 bersaudara.
Tahun 1992 penulis lulus dari SMA 1 Lubuk Alung dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas Andalas Padang melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Universitas Andalas. Penulis memilih Jurusan Produksi Ternak, Fakultas Peternakan dan lulus tahun 1997. Tahun 2000 sampai sekarang penulis menjadi staf pengajar di Program Studi Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya Palembang. Tahun 2003 terdaftar sebagai mahasiswa Pascasarjana IPB di Program Studi Ilmu Ternak Fakultas Peternakan IPB.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiii DAFTAR LAMPIRAN ... xv
PENDAHULUAN .. 1
TINJAUAN PUSTAKA .. 3
Pigmen Pewarna Kuning Telur 3 Absorbsi dan Transportasi Karoten serta Vitamin A .. 5
Kaliandra .. 5
Limbah Udang . 8
Itik Lokal . 10
Pengaruh Daun Kaliandra dan Kepala Udang terhadap
Kinerja Itik ... 11 Pengaruh Daun Kaliandra terhadap Alat Reproduksi . 15 MATERI DAN METODE PENELITIAN 16 Waktu dan Tempat Penelitian ... 16 Materi Penelitian ... 16 Metode Penelitian ... 17 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 21 Penelitian Pendahuluan ... 21 Indeks Warna Kuning Telur ... 21 Penelitian Lanjutan ... 24 Kandungan Gizi Pakan Perlakuan... 24 Konsumsi Ransum ... 25 Produksi Telur ... 26 Efisiensi Penggunaan Ransum ... 28 Indeks Warna Kuning Telur ... 28 Retinol Serum Itik ... 31 Pengaruh Pemberian Daun Kaliandra dan Kepala Udang
terhadap Keamanan Organ Dalam... 31 Pengaruh Pemberian Daun Kaliandra dan Kepala Udang
terhadap Keamanan Organ Reproduksi ... 38 KESIMPULAN DAN SARAN... 42
Kesimpulan ... 42 Saran ... 43
DAFTAR PUSTAKA . 44
DAFTAR TABEL
Halaman 1 Kandungan xanthophyll total bahan makanan ... 4
2 Karotenoids dalam alfalfa, jagung kuning dan tepung alga kering ... 4 3 Karotenoid total 2.5 mg per 100 gr kuning telur 4 4 Komposisi kimia tepung daun kaliandra berdasarkan bahan kering ... 6 5 Hasil analisis komposisi kimia limbah udang ... 9 6 Komposisi bahan ransum dan kandungan zat-zat makanan ... 16 7 Komposisi zat-zat makanan yang terkandung dalam bahan makanan
penyusun ransum ... 24
8 Kandungan zat-zat makanan yang digunakan dalam ransum perlakuan selama penelitian berdasarkan bahan kering ...
25
9 Konsumsi ransum itik selama tiga minggu (gram) ... 26 10 Efisiensi ransum terhadap produksi telur total selama penelitian ... 28 11 Pengaruh pemberian perlakuan kombinasi kaliandra dan kepala udang
dalam pakan terhadap kadar retinol serum itik ... 31
12 Pengaruh daun kaliandra dan kepala udang terhadap bobot hati, ginjal dan pankreas ...
32
13 Rataan persentase berat ovari dan oviduk ... 38 14 Callibrating the assay ... 54 15 Analytical recovery of retinol, -tocopherol and tocopherol acetate 54 16 Analisis ragam konsumsi ransum ... 55 17 Analisis ragam efisiensi ransum ... 55 18 Pengaruh pemberian daun kaliandra dan kepala udang terhadap
produksi telur itik selama 3 minggu dari 30 ekor itik ... 56
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 Pola indeks warna kuning telur dengan pemberian pakan
R0 (Ransum basal), R1(3% kaliandra), R2 (6% kaliandra), R3 (3% kepala udang), R4 (6% kepala udang) dan
R5 (9% kepala udang) ... 21 2 Indeks warna kuning telur dengan pemberian pakan
R0 (Ransum basal), R1 (3% kaliandra), R2 (6% kaliandra),
R3 (3% kepala udang), R4 (6% kepala udang) dan R5 (9% kepala udang) pada hari ke-7 ... 22 3 Indeks warna kuning telur asin rebus dengan pemberian pakan
R0 (Ransum basal), R1 (3% kaliandra), R2 (6% kaliandra), R3 (3% kepala udang), R4 (6% kepala udang) dan
R5 (9% kepala udang) ... 23 4 Pengaruh pemberian daun kaliandra dan kepala udang terhadap produksi telur itik selama 3 minggu dari 30 ekor itik; a) untuk perlakuan R0 (itik no 1 sampai 10), b) perlakuan R1 (itik no 1 sampai 10), dan
c) perlakuan R2 (itik nomor 1 sampai 10) 27 5 Pola indeks warna kuning telur dengan pemberian pakan
R0 (ransum basal), R1 (6% kaliandra + 3% kepala udang),
R2 (6% kaliandra + 6% kepala udang) ... 29 6 Indeks warna kuning telur dengan pemberian pakan
R0 (ransum basal), R1 (6% kaliandra + 3% kepala udang),
R2 (6% kaliandra + 6% kepala udang) ... 30 7 Indeks warna kuning telur asin rebus dengan pemberian pakan
R0 (Ransum basal), R1 (6% kaliandra + 3% kepala udang),
R2 (6% kaliandra + 6% kepala udang) ... 30 8 Morphologi jaringan hati perlakuan R0 (ransum basal), R1
(ransum basal + 6% kaliandra + 3% kepala udang) dan R2
(ransum basal + 6% kaliandra + 6% kepala udang) masih kelihatan
normal (pewarnaan HE; pembesaran lensa objektif 20x) ... 35 9 Morphologi jaringan ginjal perlakuan R0 (ransum basal), R1
(ransum basal + 6% kaliandra + 3% kepala udang) dan R2
(ransum basal + 6% kaliandra + 6% kepala udang) masih kelihatan
normal (pewarnaan HE; pembesaran lensa objektif 20x) ... 36 10 Morphologi jaringan pankreas perlakuan R0 (ransum basal), R1
(ransum basal + 6% kaliandra + 3% kepala udang) dan R2
(ransum basal + 6% kaliandra + 6% kepala udang) masih kelihatan
11 Morphologi jaringan ovary perlakuan R0 (ransum basal), R1 (ransum basal + 6% kaliandra + 3% kepala udang) dan R2
(ransum basal + 6% kaliandra + 6% kepala udang) masih kelihatan
normal (pewarnaan HE; pembesaran lensa objektif 10x) ... 40 12 Morphologi jaringan oviduk perlakuan R0 (ransum basal), R1
(ransum basal + 6% kaliandra + 3% kepala udang) dan R2
(ransum basal + 6% kaliandra + 6% kepala udang) masih kelihatan
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 Pembuatan preparat histopatologi ... 50 2 Pengembangan metoda analisa retinol dengan HPLC ... 52 3 Analisis ragam konsumsi ransum,efisiensi ransum dan
produksi telur... 55 4 Khromatogram retinol serum itik dengan HPLC ... 57
PENDAHULUAN
Warna kuning telur itik yang pucat tidak disukai oleh konsumen, terutama untuk telur itik yang diasin. Hal tersebut sangat mempengaruhi nilai jual dari pada telur itik. Permasalahan yang sering muncul adalah konsumen seringkali memprediksikan warna kuning telur yang cerah ada hubungannya dengan khasiat dan kualitas dari telur sehingga warna kuning telur itik yang pucat akan menurunkan nilai jual dari telur tersebut.
Perubahan cara pemeliharaan itik dari sistem ekstensif menjadi intensif menyebabkan warna kuning telur itik pucat. Hal ini disebabkan karena pada pemeliharaan intensif digunakan pakan campuran konsentrat, dedak, menir atau jagung. Bila jagung yang digunakan berwarna putih maka warna kuning telurnya akan pucat. Pada pemeliharaan ekstensif, itik mendapat kesempatan untuk memakan sumber-sumber pigmen penguning telur seperti tanaman hijauan di sawah atau ladang penggembalaan. Untuk menghasilkan warna kuning telur yang pekat dapat ditambahkan pigmen pewarna kuning telur. Pigmen pewarna kuning telur adalah karotenoid. Pigmen tersebut dapat dalam bentuk siap pakai (pigmen sintetis), tanaman hijauan atau bahan alami lain seperti cangkang udang. Bila digunakan pigmen siap pakai akan meningkatkan biaya pakan karena merupakan bahan impor dan harganya mahal.
Hewan tidak dapat membuat sendiri karotenoid dalam tubuhnya, karotenoid dapat diperoleh dengan memakan bahan makanan nabati yang banyak mengandung karotenoid. Pigmen karotenoid tersebut sebagian besar terdiri dari lutein dan zeaxanthin yang termasuk dalam istilah xanthophyll.
Di Indonesia penelitian menggunakan sumber pigmen alami seperti daun kaliandra, kangkung, daun katuk dan daun lamtoro sudah terbukti dapat meningkatkan indeks warna kuning telur, namun belum diketahui dosis yang dapat menghasilkan warna dengan indeks yang tinggi yaitu antara 10-12. Berdasarkan uraian di atas maka penelitian dilakukan dengan penggunaan sumber karotenoid dari jenis tanaman dan hewani yaitu tepung daun kaliandra dan tepung kepala udang dalam pakan.
Penelitian ini bertujuan meningkatkan indeks warna kuning telur dengan pemberian sumber pigmen alami yaitu kaliandra dan kepala udang serta pengaruhnya terhadap keamanan organ dalam.
TINJAUAN PUSTAKA
Pigmen Pewarna Kuning Telur
Bahan pewarna kuning telur adalah xanthophyll, suatu pigmen karotenoid yang terdapat dalam jagung kuning, tanaman alfalfa dan corn gluten meal. Zat warna
xanthophyll dalam pakan merupakan senyawa yang paling berpengaruh terhadap warna kuning telur. Stadelman dan Cotterill (1984) mengatakan bahwa karotenoid merupakan suatu pigmen yang terdapat pada tanaman maupun hewan yang merupakan prekursor vitamin A. Lebih dari 600 karotenoid telah diidentifikasi di alam, sebanyak 50-60 karotenoid memiliki sifat sebagai provitamin A (Flora et al.
1999). Prawirokusumo (1991) mengatakan bahwa vitamin A terdiri dari empat macam yaitu : 1) vitamin A acetate (retinyl acetate), 2) vitamin A alkohol (retinol), 3) vitamin A aldehyde (retinal), 4) vitamin A acid (retinoic acid).
Hati menyimpan kurang lebih 90% total vitamin A dalam bentuk ester retinol. Dalam tubuh, fungsi utama vitamin A dilaksanakan oleh retinol dan kedua derivatnya yaitu retinal dan asam retinoat. Ester retinol yang terlarut dalam lemak makanan akan terdispersi dalam cairan empedu dan dihidrolisis di dalam lumen usus, yang kemudian diserap langsung oleh epitel usus. Senyawa
carotene yang dikonsumsi mungkin dipecah lewat reaksi oksidasi oleh enzim
carotene dioksigenase. Didalam mukosa usus, retinal direduksi menjadi retinol oleh enzim spesifik retinaldehid reduktase dengan menggunakan NADPH. Retinal dengan jumlah yang kecil akan teroksidasi menjadi asam retinoat. Sebagian besar retinol mengalami esterifikasi dengan asam lemak jenuh dan menyatu ke dalam kilomikron limfe yang kemudian masuk ke dalam aliran darah (Murray et al. 1996).
Senyawa karotenoid dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelas, yaitu carotene,
xanthophyll, ester xanthophyll dan likopen (Chichester 1976 dalam Arafah 1994).
Carotene adalah pigmen berwarna kuning sampai merah tersusun atas ikatan isoprene dengan 2 methyl ditengah dalam posisi 1: 6 dan posisi lateral adalah 1: 5.
Stadelman dan Co tterill (1984) mengatakan bahwa umumnya karotenoid dalam kuning telur adalah berupa kumpulan hydroxy yang disebut xanthophyll.
Selanjutnya dikatakan juga bahwa jenis dan kadar karotenoid dalam kuning telur sangat ditentukan oleh pakan.
Kandungan xanthophyll total bahan makanan dapat dilihat dalam Tabel 1, sedangkan persentase jenis-jenis karotenoid dalam jagung kuning, tepung alfalfa dan alga dapat dilihat pada Tabel 2. Kandungan karotenoid total kuning telur dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 1 Kandungan xanthophyll total bahan makanan
Bahan Makanan Xanthophyll Total (mg per kg)
Tepung marigold petal 7000
Tepung alga 2000
Tepung alfalfa kering 280 Rumput pantai Bermuda 270 Bungkil lembaga jagung (60%) 290 Bungkil lembaga jagung (41 %) 125
Jagung kuning 17
Tepung kunyit 40 s/d 68 kali jagung
Sumber : Amrullah (2003)
Tabel 2 Karotenoids dalam alfalfa, jagung kuning dan tepung alga kering
Karotenoid Alfalfa (%) Jagung Kuning (%) Alga (%) Lutein 46 54 86 Zeaxanthin 4 23 2 Violaxanthin 16 - 4 Neoxanthin 14 - - Crytoxanthin 7 8 - Lain-lain 13 15 8
Sumber : Smith dan Perdue (1966) dalam Stadelman dan Cotterill (1984)
Tabel 3 Karotenoid total 2.5 mg per 100 gram kuning telur
Karotenoid Persentase (%)
Lutein A 40
Zeaxanthin 19.8
Cantaxanthin 17.9
ß-cryptoxanthin 17.3
Sumber : Matsuno et al. (1986) dalam Stadelman dan Cotterill (1984)
Absorbsi dan Transportasi Karoten serta Vitamin A
Karotenoid merupakan prekursor vitamin A. Beberapa hewan mamalia mempunyai kemampuan yang spesifik untuk mengabsorpsi karotenoid yang berasal dari makanan. Saluran usus halus merupakan organ pertama yang berperan dalam mengkonversi provitamin A menjadi vitamin A, meskipun organ-organ lainpun
mampu mengkonversi provitamin A menjadi vitamin A. Enzim pemecah carotene
yaitu -carotene15, 15 oxygenase, dan hal ini telah dibuktikan pada usus halus, hati dan ginjal tikus. Reaksi-reaksi yang dikatalisa oleh enzim ini memerlukan oksigen. Produk awal dan satu-satunya produk yang terbentuk adalah retinal (Piliang 2001).
Murray (1996) mengatakan bahwa senyawa -carotene yang dikonsumsi mungkin dipecah lewat reaksi oksidasi oleh enzim -carotene dioksigenase. Di dalam mukosa usus, retinal direduksi menjadi retinol oleh enzim spesifik retinaldehid reduktase deangan menggunakan NADPH. Retinal dengan jumlah yang kecil akan teroksidasi menjadi asam retinoat. Sebagian besar retinol mengalami esterifikasi dengan asam lemak jenuh dan menyatu ke dalam kilomikron limfe dan masuk ke dalam darah.
Jumlah deposit masing-masing pigmen tanaman tergantung pada jumlah gugus hidroksi atau gugus keton dalam molekul. Umumnya dihydroxy xanthophyll
(Lutein dan zeaxanthin) dan diketo xanthophyll (canthaxanthin) lebih efisien ditransfer ke kuning telur daripada monohydroxy xanthophyll (cryptoxanthin) dan
monoketo xanthophyll (Bracunlich 1978 dalam Stadelman dan Cotteril 1984).
Kaliandra
Kaliandra termasuk jenis pohon semak berkayu, dengan ciri-ciri batang mempunyai banyak cabang, tidak lurus dan pendek, pohon yang sudah dewasa mempunyai tinggi 12 m dengan diameter 20 cm. Di daerah Jawa, kaliandra merupakan tanaman yang bermanfaat. Kayunya untuk kayu bakar, daun-daunnya digunakan untuk pakan ternak. Kaliandra ada dua spesies, tetapi yang ditanam untuk tujuan ilmu kehutanan (forestry) adalah calliandra calothyrsus (bunga merah) dan
calliandra tetragona (bunga putih). Kedua spesies kaliandra ini berasal dari Guatemala dan dikenalkan ke Indonesia tahun 1936. Kaliandra mulai disebarkan pertama kali adalah di pulau Jawa. Umumnya Indonesia menggunakan calliandra calothyrsus (NRC 1983).
Kaliandra kemudian menjadi sumber pakan ternak yang mudah didapat, meskipun terbatas informasi tentang ketersediaan nilai nutrisinya. Beberapa penelitian di Australia, kaliandra telah dikenal menjadi pakan ternak yang palatabel tinggi untuk grazing dan pen-fed animals (B. Palmer, unpublished data). Rahardjo
dan Cheeke (1985) dalam Palmer (2006) melaporkan bahwa 22% protein kasar, 30- 70% serat kasar, 4-5% abu dan 2-3% lemak terdapat pada daun kering kaliandra.
Daun kaliandra mengandung protein, carotene (provitamin A), dan
xanthophyll yang cukup tinggi. Komposisi kimia tepung daun kaliandra berdasarkan bahan kering dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Komposisi kimia tepung daun kaliandra berdasarkan bahan kering
Komposisi Kimia Tepung Daun Kaliandra1 Tepung Daun Kaliandra2 Tepung Daun Kaliandra3 Protein kasar (%) 19.65 20.36 22.71 Serat kasar (%) 19.61 32.64 15.50 Lemak (%) 3.27 2.69 3.41 BETN (%) 42.78 38.41 - Kalsium (%) - - 1.39 Fosfor (%) - - 0.37
Energi bruto (kkal/kg) 4068 - 4275
Keterangan : 1) Soebarinoto (1986); 2) Narsum (1983) 3) Purwanegara (1988)
Disisi lain Suryadi (1995) dalam Syahrir dan Fattah (2000) melaporkan bahwa kaliandra memiliki kandungan protein kasar yang cukup tinggi yaitu 24.8 % pada daun segar dan 22.8 % pada daun kering. Permasalahan yang ada pada pemanfaatan kaliandra sebagai sumber pakan ternak ruminansia adalah tingkat konsumsi dan kecernaannya yang rendah. Tidak ada zat toxic yang ditemukan pada kaliandra tetapi mengandung tanin kondensasi dengan konsentrasi tinggi sampai 11% (Akin et al.1989 dalam Palmer 2006). Cannas (2001) melaporkan bahwa terdapat dua kelompok tanin yang berpengaruh terhadap nutrisi ternak, yaitu tanin hidrolisis dan tanin kondensasi yang biasa disebut proanthocyanidin. Tanin didefinisikan sebagai
water soluble polymeric phenolics yang mengikat protein (Reed 1995). Disisi lain Hagerman (2002) mendefinisikan tanin adalah water soluble phenolic compunds
yang mempunyai berat molekul antara 500 sampai 3000, mempunyai sifat tidak hanya membentuk ikatan komplek dengan protein dan alkaloids tetapi juga dengan polisakarida. Kemampuan tanin untuk bereaksi dengan protein dan mengendapkannya menimbulkan masalah pada penyiapan enzim atau protein lain dari beberapa tumbuhan. Kadar tanin yang tinggi dianggap mempunyai pengaruh yang merugikan terhadap nilai gizi tumbuhan makanan ternak (Robinson 1995).
Syahrir dan Fattah (2000) melaporkan bahwa terjadi penurunan kadar tanin dari bahan pakan kaliandra segar (5.6%) dalam sistim rumen. Hal ini diakibatkan oleh terbentuknya ikatan antara tanin dengan protein, mineral atau zat lain yang ada dalam rumen. Tanin dikenal juga dapat membentuk komplek dengan ion bivalen seperti Fe++ yang dapat menurunkan ketersediaan ion Fe++ dalam tubuh (Hassan et al.
2003). Kegunaan tanin adalah sebagai proteksi (by pass) protein, tetapi tanin dengan level tinggi bisa menurunkan kecernaan protein untuk ternak. Nadiar (1979)
dalam Palmer (2006) menambahkan bahwa tepung daun kaliandra telah diketahui sebagai sumber protein dan sumber carotene untuk produksi telur komersial.
Wiryawan (1999) mengatakan bahwa senyawa tanin dapat dihilangkan dengan perlakuan alkali misalnya dengan penambahan NH4OH, NaOH, K2CO3 atau CaO. Perendaman daun kaliandra dalam larutan kapur tohor menaikkan nilai kecernaan nutrisi daun kaliandra. Pada perendaman dalam larutan CaO 2 % mengakibatkan kenaikan kecernaan protein sebesar 58.28 %, kecernaan NDF sebesar 17.74 % dan kecernaan ADF sebesar 12.35 %. Selanjutnya dilaporkan bahwa kadar tanin dalam bahan kering kaliandra sekitar 11.3 %. Adanya tanin dalam daun kaliandra dapat menurunkan nilai cerna dari protein. Hasil analisis kandungan tanin dalam daun kaliandra pada laboratorium Balai Penelitian Ternak Ciawi bervariasi antara 1 17 %. Paterson et al. (1999) dalam Stewart et al. (2001) melaporkan bahwa hijauan ternak C. colothyrsus segar dapat meningkatkan berat badan ternak pedaging dan produksi susu pada sapi. Penambahan sedikit daun kaliandra untuk pakan ayam petelur (0.6 2.5 % dari pakan pokok) akan menghasilkan warna kuning telur yang lebih kuning tanpa pengaruh negatif pada jumlah telur yang dihasilkan dan pada konversi pakan (Paterson et al. 2000 dalam Stewart et al. 2001). Anggorodi (1985) menyatakan bahwa adanya xanthophyll dalam pakan unggas dapat meningkatkan warna kuning telur. Laksmiwati (1997) melaporkan bahwa makin tinggi tingkat pemberian daun kaliandra atau daun lamtoro dalam pakan menyebabkan skor warna kuning telur bertambah tinggi. Hal ini disebabkan karena kandungan xanthophyll yang dikandung daun kaliandra atau daun lamtoro.
Limbah Udang
Udang adalah komoditas andalan dari sektor perikanan yang umumnya diekspor dalam bentuk beku. Potensi produksi udang di Indonesia dari tahun ke
tahun terus meningkat. Selama ini potensi udang Indonesia rata-rata meningkat sebesar 7,4 persen per tahun. Data tahun 2001, potensi udang nasional mencapai 633.681 ton. Dengan asumsi laju peningkatan tersebut tetap, maka pada tahun 2004 potensi udang diperkirakan sebesar 785.025 ton. Dari proses pembekuan udang untuk ekspor, 60-70 persen dari berat udang menjadi limbah (bagian kulit dan kepala) sehingga diperkirakan akan dihasilkan limbah udang sebesar 510.266 ton. Limbah sebanyak itu, jika tidak ditangani secara tepat, akan menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan. Selama ini pemanfaatan limbah cangkang udang hanya terbatas untuk pakan ternak saja seperti itik, bahkan sering dibiarkan membusuk (Prasetiyo 2004).
Marganof (2003) mengatakan bahwa saat ini budidaya udang dengan tambak telah berkembang dengan pesat karena udang merupakan komoditi ekspor yang dapat diandalkan dalam meningkatkan ekspor non-migas dan merupakan salah satu jenis biota laut yang bernilai ekonomis tinggi. Udang di Indonesia pada umumnya diekspor dalam bentuk udang beku yang telah dibuang bagian kepala, kulit dan ekornya. Limbah yang dihasilkan dari proses pembekuan udang , pengalengan udang dan pengolahan kerupuk udang berkisar antara 30% - 75% dari berat udang, dengan demikian jumlah bagian yang terbuang dari usaha pengolahan udang cukup tinggi. Limbah kulit udang mengandung konstituen utama yang terdiri dari protein, kalsium karbonat, khitin, pigmen, abu dan lain-lain. Kulit udang mengandung protein (25%-40%), kalsium karbonat (45%-50%) dan khitin (15%-20%), tetapi besarnya kandungan komponen tersebut tergantung pada jenis udangnya.
Menurut Shahidi dan Synowiecki (1992) dalam Mirwandhono dan Siregar (2006) bahwa limbah udang mengandung protein 41.9%, khitin 17.0%, abu 29.2% dan lemak 4.5% dari bahan kering. Berdasarkan kandungan protein yang cukup tinggi, limbah kepala udang juga mengandung semua asam amino esensial terutama methionin yang sering menjadi faktor pembatas pada protein nabati.
Kepala udang dapat dimanfaatkan sebagai sumber protein karena kandungan protein yang terdapat di kepala udang masih cukup tinggi. Oleh karena itu kepala udang sangat potensial digunakan sebagai pakan.
Tabel 5 Hasil analisis komposisi kimia limbah udang*
Jenis kandungan Jumlah (%)
Kadar air 14.0** 6.30*** Protein kasar 43.40 44.10 Lemak 1.40 4.30 Serat kasar 13.20 12.10 Kadar abu 26.80 27.30 Kalsium 7.05 11.40 Fosfor 1.52 1.80 BETn Nitrogen 1.20 -
Keterangan : * Sudah dikeringkan ** Hartadi et all. (1997) *** Oke et al. (1978)
Raharjo (1985) melaporkan hasil penelitiannya bahwa pemberian cangkang udang sampai 30 % untuk menggantikan tepung ikan dan bungkil kedele ternyata meningkatkan produksi telur sebanyak 12 % dan meningkatkan efisiensi penggunaan pakan sebesar 18 %, serta memberikan warna kuning telur menjadi lebih baik. Perbaikan warna kuning telur pada pemberian 30 % cangkang udang mungkin disebabkan oleh adanya pigmen yang dikandung dalam udang, seperti astaxanthine yang memberikan warna kuning kemerahan.
Itik Lokal
Jenis itik lokal adalah merupakan keturunan dari bangsa itik Indian Runner.
Itik Indian Runner adalah bangsa itik yang sangat terkenal sebagai penghasil telur. Budidaya ternak itik tersebar hampir diseluruh Indonesia. Adaptasi terhadap kondisi lingkungan yang berbeda-beda, serta isolasi geografis dalam jangka waktu yang lama, maka muncul sifat khas yang membedakan itik daerah satu dengan daerah lain. Menurut Soedjai (1974) dan Srigandono (1986) itik lokal mempunyai 3 varietas dengan tempat adaptasi yang berbeda-beda yaitu : itik Bali (Anas sp.) berkembang di Bali, itik Alabio (Anas platyrhynchos borneo) berkembang di Kalimantan dan itik Tegal (Anas javanica) berkembang di Jawa Tengah dan Jawa Barat bagian utara. Bentuk badan itik Tegal adalah merupakan contoh itik Indian Runner yaitu dengan posisi berdiri yang hampir tegak lurus. Warna bulu umumnya coklat dengan beberapa variasi warna tertentu. Bentuk badannya lebih besar daripada itik Bali, warna kerabang telur berwarna biru kehijau-hijauan. Tanabe et al. (1984)
melaporkan bahwa itik Tegal mempunyai hubungan kekerabatan dengan itik Khaki Campbell, yaitu merupakan persilangan itik Rouen dengan itik Indian Runner.
Potensi Itik Lokal
Indonesia merupakan negara dengan populasi itik terbesar kedua setelah Cina, khususnya di Asia. Dari populasi tersebut separuhnya ada di pulau Jawa yang luasnya hanya 10% dari luas Indonesia. Jawa Tengah secara nasional mempunyai populasi itik tertinggi kedua setelah Sulawesi Selatan. Ada 2 (dua) bangsa itik Jawa Tengah yang terkenal produksi telurnya tinggi yaitu itik Tegal dan itik Magelang. Itik Tegal banyak diusahakan oleh peternak di sepanjang pantai utara, sedangkan itik Magelang banyak dipelihara oleh peternak disekitar keresidenan Kedu (Subiharta et al. 2001).
Itik lokal memiliki sifat unggul yaitu masak kelamin dini. Pada umur 113 hari kelompok itik berasal dari Tegal telah mulai bertelur, untuk itik Mojosari umur mulai bertelur adalah 145 hari dan untuk itik Bali 157 hari
(Hardjosworo 2001).
Chavez dan Lasmini (1978) dalam Subiharta et al. (2001) melaporkan bahwa produksi telur tertinggi itik Tegal pernah mencapai 80 %. Sebagai unggas lokal, itik Tegal merupakan unggas air yang produktif sebagai penghasil telur, ini dapat dilihat dari hasil penelitiannya dengan menggunakan itik Tegal yang dipelihara secara intensif mampu berproduksi 212 butir pertahun dengan variasi antara 100 300 butir. Produksi telur tersebut akan dapat terwujud apabila pakan yang diberikan memenuhi kualitas dan kuantitas.
Hardjosworo (1990) menyatakan bahwa itik Tegal mempunyai potensi untuk ditingkatkan kemampuan produksi telurnya, karena dari kenyataan sekitar 50 % itik yang digunakan dalam penelitian menghasilkan produksi telur ( duck day ) lebih besar dari 50 %.
Pengaruh Daun Kaliandra dan Kepala Udang terhadap Kinerja Itik
Produksi Telur
Produksi telur (duck-day) dari sekelompok itik dapat tinggi bila 1) Itik-itik dalam kelompok tersebut unggul 2) Itik-itik mulai bertelurnya relatif serempak 3)
Manajemen terhadap itiknya sesuai dengan yang dibutuhkan ternaknya (Hardjosworo
et al. 2001). Selanjutnya dikatakan bahwa dalam upaya peningkatan produktivitas telur, mutu bibit merupakan salah satu komponen yang sangat menentukan bagi keberhasilan usaha peternakan itik. Produksi telur pada unggas sangat bervariasi untuk setiap individu selama periode bertelur. Ada hubungan yang erat antara jumlah telur yang dihasilkan dengan waktu periode bertelur (Koops dan Grosman 1991 dalam Laksmiwati 1997). Roesdiyanto et al. (2001) menyatakan bahwa sebagai unggas lokal, itik Tegal merupakan unggas air yang produktif sebagai penghasil telur.
Produksi telur itik lokal sangat bervariasi dan ini tergantung dari jenis itik, sistem pemeliharaan dan kualitas pakan yang diberikan. Hardjosworo (1989) dalam penelitiannya mendapatkan bahwa penggunaan pakan berbentuk pellet dengan kandungan protein 18 % dapat meningkatkan produksi telur, bobot badan dan memperpanjang siklus produksi, dibanding dengan pakan berbentuk halus dengan kandungan protein 16 % atau pellet dengan kandungan protein 16 %.
Konsumsi Ransum
Banyak faktor yang mempengaruhi kebutuhan nutrisi yaitu : 1) macam unggas 2) umur unggas 3) lingkungan, terutama cuaca 4) tingkat produksi. Sementara itu Wahju (1985) melaporkan bahwa pakan yang dikonsumsi oleh hewan akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi dan produksi. Tingkat energi di dalam ransum menentukan banyaknya pakan yang dikonsumsi. Banyaknya pakan yang dikonsumsi tergantung pada jenis hewan yang bersangkutan, besarnya, keaktifannya, temperatur lingkungan dan apakah untuk pertumbuhan atau untuk mempertahankan produksi telur.
Menurut NRC (1994) faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi ransum adalah temperatur lingkungan, bentuk ransum, kualitas ransum, kecepatan pertumbuhan, produksi telur, stress dan kesehatan ternak. Amrullah (2003) mengatakan bahwa besarnya konsumsi ransum pada berbagai umur tidak tetap. Jumlahnya bervariasi sesuai dengan laju pertumbuhan dan tingkat produksi. Jika