PENINGKATAN INDEKS WARNA KUNING TELUR DENGAN
PEMBERIAN DAUN KALIANDRA
(Calliandra calothyrsus)
dan
KEPALA UDANG DALAM PAKAN ITIK
ELI SAHARA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Peningkatan Indeks Warna Kuning Telur dengan Pemberian Tepung Daun Kaliandra (Calliandra calothyrsus) dan Tepung Kepala Udang dalam Pakan Itik adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, April 2006
Eli Sahara
ABSTRAK
ELI SAHARA. Peningkatan Indeks Warna Kuning Telur dengan Pemberian Tepung Daun Kaliandra (Calliandra calothyrsus) dan Kepala Udang dalam Pakan Itik. Dibimbing oleh RITA MUTIA, PENI SOEPRAPTI HARDJOSWORO dan
HERNOMOADI HUMINTO.
Telur itik yang berasal dari pemeliharaan intensif banyak yang pucat, sehingga kurang disukai oleh konsumen. Hal ini disebabkan oleh perobahan pola pemeliharaan dari sistem gembala ke sistem terkurung karena pada sistem terkurung pakan yang diberikan adalah campuran konsentrat, menir dan dedak. Pola pemeliharaan sistem gembala ternak itik mendapatkan sumber pigmen dari makanannya yang berasal dari hijauan dan hewan kecil yang berasal dari kebun, sawah dan ladang pengembalaan yang menyebabkan warna kuning telurnya lebih kuning. Sumber pigmen penguning warna kuning telur dapat diperoleh dari hijauan seperti daun katuk, lamtoro, kaliandra dan kangkung serta dari hewani seperti limbah udang.
Penelitian ini terdiri dari dua tahap penelitian yaitu : 1) penelitian pendahuluan dengan tujuan penentuan dosis tepung daun kaliandra dan tepung kepala udang yang optimum dalam pakan 2) penelitian lanjutan bertujuan untuk mendapatkan indeks warna kuning telur yang lebih baik dari kombinasi dosis tepung daun kaliandra dan tepung kepala udang. Sebanyak 42 ekor itik umur 6 bulan yang mulai produksi dipelihara dalam penelitian pendahuluan yang dibagi ke dalam 6 perlakuan dan 7 ulangan dengan masing-masing ulangan terdiri dari 1 ekor. Perlakuan 1 adalah ransum basal (RB) 100%, 2) RB + Tepung Kaliandra (K) 3%, 3) RB + K 6%, 4) RB + tepung kepala udang (CU) 3%, 5) RB + CU 6%, dan 6) RB + CU 9%. Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan ini didapatkan dosis tepung daun kaliandra dan tepung kepala udang yang optimum untuk diterapkan pada penelitian lanjutan. Pada penelitian lanjutan digunakan 30 ekor itik umur 6 bulan yang dibagi dalam 3 perlakuan dan 10 ulangan dengan masing-masing ulangan terdiri dari 1 ekor itik. Perlakuan 1 adalah RB 100%, perlakuan 2 adalah RB + K 6% + CU 3% dan perlakuan 3 adalah RB + K 6% + CU 6%. Penelitian ini dianalisis dengan menggunakan analisis keragaman dan apabila terdapat hasil yang berpengaruh nyata atau sangat nyata dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (Steel dan Torrie, 1991). Produksi telur, perubahan histopatologi, hasil identifikasi dan tanda klinik disajikan secara deskriptif. Peubah yang diukur dalam penelitian adalah konsumsi ransum, efisiensi ransum, produksi telur, indeks warna kuning telur, Kadar retinol serum dengan menggunakan HPLC, persentase berat organ hati, ginjal, pankreas dan organ reproduksi (ovari dan oviduk), pengamatan histopatologi terhadap jaringan organ hati, ginjal,pankreas, ovari dan oviduk.
ABSTRACT
ELI SAHARA. Increasing Yolk Color Index by Using Calliandra Leaves Meals
(Calliandra calothyrsus)and Shrimp Head Meals in Duck Diets, supervised by
RITA MUTIA, PENI SOEPRAPTI HARDJOSWORO, and
HERNOMOADI HUMINTO.
The yolk from intensive duck system mostly has pale color, so it is not interested to consumers. This is caused by the changing of raising pattern from scavenging in to intensive duck system. In intensive duck system, the duck is fed by a mixture of concentrate and rice brand, meanwhile under scavenging, the ducks get its feed from forage and small animal from backyard, wetland, and dry land farming systems. The yellow pigment of yolk come from forage such as Sauropus androgynus Merr, Leucaena Leucocephala, Calliandra calothyrsus and Ipomoea aquatica and also from animal like shrimp waste (shrimp head).
This experiment is consisted of 2 ( two) phases; 1) preliminary experiment; aimed to determine the optimum level of Calliandra leaves meals and shrimp head meals in diets, 2) continued experiment; aimed to get the best yolk color index from combination levels of using Calliandra leaves meals and shrimp head meals in diets. Forty two duck started to produce egg (6 month old) were raised in the preliminary experiment and divided in to 6 treatments with 7 replicates; each replication is consisted of 1 duck. The treatments were 1) 100% of basal diet (BD); 2) BD + 3% of Calliandra leaves meals (K); 3) BD + 6% of K; 4) BD + 3% of shrimp head meals (SH); 5) BD + 6% of SH; and 6) BD + 9% of SH. Based on the preliminary experiment is found the optimum level of calliandra leaves meals and shrimp head meals for applying in the continued experiment. In continued experiment was used 30 duck (6 month old) and divided in to 3 treatments and 10 replicates, with 1 duck in each replication. The treatment were R1) 100% 0f BD; R2) BD + 6% of K + 3% of SH; 3) BD + 6% of K + 6% of SH. This experiment used random analysis approach. The difference among the treatment was tested by Multiple Duncan s Test (Steel and Torrie, 1991). Descriptive approach was used to explain egg production, histopathology changes, the result of identification, and clinical symptom. Parameters observed were consumption, ration efficiency, egg production, yolk color index, retinol content in serum by using HPLC, percentage of the weight of lever, kidney, pancreas and reproductive (ovary and oviduct) organ.
© Hak cipta milik Eli Sahara, tahun 2006 Hak cipta dilindungi
PENINGKATAN INDEKS WARNA KUNING TELUR DENGAN
PEMBERIAN DAUN KALIANDRA
(Calliandra calothyrsus)
dan
KEPALA UDANG DALAM PAKAN ITIK
ELI SAHARA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Ternak
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Peningkatan Indeks Warna Kuning Telur dengan Pemberian Tepung Daun Kaliandra (Calliandra calothyrsus) dan Tepung Kepala Udang dalam Pakan Itik
Nama : Eli Sahara
NIM : D.051030041
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Rita Mutia, M. Agr Ketua
Prof (Emeritus) Dr. Peni S. Hardjosworo, M.Sc Drh. Hernomoadi Huminto, M.VS Anggota Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Ternak Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2005 ini ialah indeks warna kuning telur, dengan judul Peningkatan Indeks Warna Kuning Telur dengan Pemberian Tepung Daun Kaliandra (Calliandra calothyrsus) dan Tepung Kepala Udang dalam Pakan Itik.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr.Ir.Rita Mutia, Ibu
Prof (Emeritus) Peni Soeprapti Hardjosworo dan Bapak Drh. Hernomoadi Huminto, M.VS selaku pembimbing dan Ibu Dr.Ir. Sumiati, M.Sc selaku penguji, yang telah banyak memberi masukan dan saran kepada penulis. Kepada ketua dan staf pengajar Program Studi Ilmu Ternak Sekolah Pasca Sarjana IPB terima kasih atas ilmu pengetahuan bermanfaat yang diberikan selama penulis menjadi mahasiswa di IPB, juga kepada teman-teman dekat yang telah banyak membantu penulis terutama dalam dorongan moril yang tidak dapat penulis lupakan.
Kepada Rektor Universitas Sriwijaya, Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, Ketua Program Studi Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Direktorat Pendidikan Tinggi Depdiknas yang telah memberikan beasiswa BPPS, Ibu Ketua Yayasan Van De Venter Maas, Ketua Yayasan Dana Sejahtera Mandiri yang telah memberikan bantuan dana penelitian penulis ucapkan terima kasih.
Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada yang terhormat bapak (alm), ibu, bapak dan ibu mertua atas kasih dan sayangnya, khusus kepada suami tercinta Mada Apriandi Zuhir, SH dan ananda tersayang Muthada Mutahari Zuhir, kakak dan adek, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Maret 2006
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Lubuk Alung pada tanggal 5 Maret 1973 dari ayah Syaharuddin (Almarhum) dan ibu Lunar. Penulis merupakan anak kelima dari 7 bersaudara.
PENINGKATAN INDEKS WARNA KUNING TELUR DENGAN
PEMBERIAN DAUN KALIANDRA
(Calliandra calothyrsus)
dan
KEPALA UDANG DALAM PAKAN ITIK
ELI SAHARA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Peningkatan Indeks Warna Kuning Telur dengan Pemberian Tepung Daun Kaliandra (Calliandra calothyrsus) dan Tepung Kepala Udang dalam Pakan Itik adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, April 2006
Eli Sahara
ABSTRAK
ELI SAHARA. Peningkatan Indeks Warna Kuning Telur dengan Pemberian Tepung Daun Kaliandra (Calliandra calothyrsus) dan Kepala Udang dalam Pakan Itik. Dibimbing oleh RITA MUTIA, PENI SOEPRAPTI HARDJOSWORO dan
HERNOMOADI HUMINTO.
Telur itik yang berasal dari pemeliharaan intensif banyak yang pucat, sehingga kurang disukai oleh konsumen. Hal ini disebabkan oleh perobahan pola pemeliharaan dari sistem gembala ke sistem terkurung karena pada sistem terkurung pakan yang diberikan adalah campuran konsentrat, menir dan dedak. Pola pemeliharaan sistem gembala ternak itik mendapatkan sumber pigmen dari makanannya yang berasal dari hijauan dan hewan kecil yang berasal dari kebun, sawah dan ladang pengembalaan yang menyebabkan warna kuning telurnya lebih kuning. Sumber pigmen penguning warna kuning telur dapat diperoleh dari hijauan seperti daun katuk, lamtoro, kaliandra dan kangkung serta dari hewani seperti limbah udang.
Penelitian ini terdiri dari dua tahap penelitian yaitu : 1) penelitian pendahuluan dengan tujuan penentuan dosis tepung daun kaliandra dan tepung kepala udang yang optimum dalam pakan 2) penelitian lanjutan bertujuan untuk mendapatkan indeks warna kuning telur yang lebih baik dari kombinasi dosis tepung daun kaliandra dan tepung kepala udang. Sebanyak 42 ekor itik umur 6 bulan yang mulai produksi dipelihara dalam penelitian pendahuluan yang dibagi ke dalam 6 perlakuan dan 7 ulangan dengan masing-masing ulangan terdiri dari 1 ekor. Perlakuan 1 adalah ransum basal (RB) 100%, 2) RB + Tepung Kaliandra (K) 3%, 3) RB + K 6%, 4) RB + tepung kepala udang (CU) 3%, 5) RB + CU 6%, dan 6) RB + CU 9%. Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan ini didapatkan dosis tepung daun kaliandra dan tepung kepala udang yang optimum untuk diterapkan pada penelitian lanjutan. Pada penelitian lanjutan digunakan 30 ekor itik umur 6 bulan yang dibagi dalam 3 perlakuan dan 10 ulangan dengan masing-masing ulangan terdiri dari 1 ekor itik. Perlakuan 1 adalah RB 100%, perlakuan 2 adalah RB + K 6% + CU 3% dan perlakuan 3 adalah RB + K 6% + CU 6%. Penelitian ini dianalisis dengan menggunakan analisis keragaman dan apabila terdapat hasil yang berpengaruh nyata atau sangat nyata dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (Steel dan Torrie, 1991). Produksi telur, perubahan histopatologi, hasil identifikasi dan tanda klinik disajikan secara deskriptif. Peubah yang diukur dalam penelitian adalah konsumsi ransum, efisiensi ransum, produksi telur, indeks warna kuning telur, Kadar retinol serum dengan menggunakan HPLC, persentase berat organ hati, ginjal, pankreas dan organ reproduksi (ovari dan oviduk), pengamatan histopatologi terhadap jaringan organ hati, ginjal,pankreas, ovari dan oviduk.
ABSTRACT
ELI SAHARA. Increasing Yolk Color Index by Using Calliandra Leaves Meals
(Calliandra calothyrsus)and Shrimp Head Meals in Duck Diets, supervised by
RITA MUTIA, PENI SOEPRAPTI HARDJOSWORO, and
HERNOMOADI HUMINTO.
The yolk from intensive duck system mostly has pale color, so it is not interested to consumers. This is caused by the changing of raising pattern from scavenging in to intensive duck system. In intensive duck system, the duck is fed by a mixture of concentrate and rice brand, meanwhile under scavenging, the ducks get its feed from forage and small animal from backyard, wetland, and dry land farming systems. The yellow pigment of yolk come from forage such as Sauropus androgynus Merr, Leucaena Leucocephala, Calliandra calothyrsus and Ipomoea aquatica and also from animal like shrimp waste (shrimp head).
This experiment is consisted of 2 ( two) phases; 1) preliminary experiment; aimed to determine the optimum level of Calliandra leaves meals and shrimp head meals in diets, 2) continued experiment; aimed to get the best yolk color index from combination levels of using Calliandra leaves meals and shrimp head meals in diets. Forty two duck started to produce egg (6 month old) were raised in the preliminary experiment and divided in to 6 treatments with 7 replicates; each replication is consisted of 1 duck. The treatments were 1) 100% of basal diet (BD); 2) BD + 3% of Calliandra leaves meals (K); 3) BD + 6% of K; 4) BD + 3% of shrimp head meals (SH); 5) BD + 6% of SH; and 6) BD + 9% of SH. Based on the preliminary experiment is found the optimum level of calliandra leaves meals and shrimp head meals for applying in the continued experiment. In continued experiment was used 30 duck (6 month old) and divided in to 3 treatments and 10 replicates, with 1 duck in each replication. The treatment were R1) 100% 0f BD; R2) BD + 6% of K + 3% of SH; 3) BD + 6% of K + 6% of SH. This experiment used random analysis approach. The difference among the treatment was tested by Multiple Duncan s Test (Steel and Torrie, 1991). Descriptive approach was used to explain egg production, histopathology changes, the result of identification, and clinical symptom. Parameters observed were consumption, ration efficiency, egg production, yolk color index, retinol content in serum by using HPLC, percentage of the weight of lever, kidney, pancreas and reproductive (ovary and oviduct) organ.
© Hak cipta milik Eli Sahara, tahun 2006 Hak cipta dilindungi
PENINGKATAN INDEKS WARNA KUNING TELUR DENGAN
PEMBERIAN DAUN KALIANDRA
(Calliandra calothyrsus)
dan
KEPALA UDANG DALAM PAKAN ITIK
ELI SAHARA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Ternak
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Peningkatan Indeks Warna Kuning Telur dengan Pemberian Tepung Daun Kaliandra (Calliandra calothyrsus) dan Tepung Kepala Udang dalam Pakan Itik
Nama : Eli Sahara
NIM : D.051030041
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Rita Mutia, M. Agr Ketua
Prof (Emeritus) Dr. Peni S. Hardjosworo, M.Sc Drh. Hernomoadi Huminto, M.VS Anggota Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Ternak Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2005 ini ialah indeks warna kuning telur, dengan judul Peningkatan Indeks Warna Kuning Telur dengan Pemberian Tepung Daun Kaliandra (Calliandra calothyrsus) dan Tepung Kepala Udang dalam Pakan Itik.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr.Ir.Rita Mutia, Ibu
Prof (Emeritus) Peni Soeprapti Hardjosworo dan Bapak Drh. Hernomoadi Huminto, M.VS selaku pembimbing dan Ibu Dr.Ir. Sumiati, M.Sc selaku penguji, yang telah banyak memberi masukan dan saran kepada penulis. Kepada ketua dan staf pengajar Program Studi Ilmu Ternak Sekolah Pasca Sarjana IPB terima kasih atas ilmu pengetahuan bermanfaat yang diberikan selama penulis menjadi mahasiswa di IPB, juga kepada teman-teman dekat yang telah banyak membantu penulis terutama dalam dorongan moril yang tidak dapat penulis lupakan.
Kepada Rektor Universitas Sriwijaya, Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, Ketua Program Studi Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Direktorat Pendidikan Tinggi Depdiknas yang telah memberikan beasiswa BPPS, Ibu Ketua Yayasan Van De Venter Maas, Ketua Yayasan Dana Sejahtera Mandiri yang telah memberikan bantuan dana penelitian penulis ucapkan terima kasih.
Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada yang terhormat bapak (alm), ibu, bapak dan ibu mertua atas kasih dan sayangnya, khusus kepada suami tercinta Mada Apriandi Zuhir, SH dan ananda tersayang Muthada Mutahari Zuhir, kakak dan adek, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Maret 2006
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Lubuk Alung pada tanggal 5 Maret 1973 dari ayah Syaharuddin (Almarhum) dan ibu Lunar. Penulis merupakan anak kelima dari 7 bersaudara.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
PENDAHULUAN .. 1
TINJAUAN PUSTAKA .. 3
Pigmen Pewarna Kuning Telur 3 Absorbsi dan Transportasi Karoten serta Vitamin A .. 5
Kaliandra .. 5
Limbah Udang . 8 Itik Lokal . 10 Pengaruh Daun Kaliandra dan Kepala Udang terhadap Kinerja Itik ... 11
Pengaruh Daun Kaliandra terhadap Alat Reproduksi . 15 MATERI DAN METODE PENELITIAN 16 Waktu dan Tempat Penelitian ... 16
Materi Penelitian ... 16
Metode Penelitian ... 17
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 21
Penelitian Pendahuluan ... 21
Indeks Warna Kuning Telur ... 21
Penelitian Lanjutan ... 24
Kandungan Gizi Pakan Perlakuan... 24
Konsumsi Ransum ... 25
Produksi Telur ... 26
Efisiensi Penggunaan Ransum ... 28
Indeks Warna Kuning Telur ... 28
Retinol Serum Itik ... 31
Pengaruh Pemberian Daun Kaliandra dan Kepala Udang terhadap Keamanan Organ Dalam... 31
Pengaruh Pemberian Daun Kaliandra dan Kepala Udang terhadap Keamanan Organ Reproduksi ... 38
KESIMPULAN DAN SARAN... 42
Kesimpulan ... 42
Saran ... 43
DAFTAR TABEL
Halaman 1 Kandungan xanthophyll total bahan makanan ... 4
2 Karotenoids dalam alfalfa, jagung kuning dan tepung alga kering ... 4
3 Karotenoid total 2.5 mg per 100 gr kuning telur 4
4 Komposisi kimia tepung daun kaliandra berdasarkan bahan kering ... 6
5 Hasil analisis komposisi kimia limbah udang ... 9
6 Komposisi bahan ransum dan kandungan zat-zat makanan ... 16
7 Komposisi zat-zat makanan yang terkandung dalam bahan makanan penyusun ransum ...
24
8 Kandungan zat-zat makanan yang digunakan dalam ransum perlakuan selama penelitian berdasarkan bahan kering ...
25
9 Konsumsi ransum itik selama tiga minggu (gram) ... 26
10 Efisiensi ransum terhadap produksi telur total selama penelitian ... 28
11 Pengaruh pemberian perlakuan kombinasi kaliandra dan kepala udang dalam pakan terhadap kadar retinol serum itik ...
31
12 Pengaruh daun kaliandra dan kepala udang terhadap bobot hati, ginjal dan pankreas ...
32
13 Rataan persentase berat ovari dan oviduk ... 38
14 Callibrating the assay ... 54
15 Analytical recovery of retinol, -tocopherol and tocopherol acetate 54
16 Analisis ragam konsumsi ransum ... 55
17 Analisis ragam efisiensi ransum ... 55
18 Pengaruh pemberian daun kaliandra dan kepala udang terhadap
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 Pola indeks warna kuning telur dengan pemberian pakan
R0 (Ransum basal), R1(3% kaliandra), R2 (6% kaliandra), R3 (3% kepala udang), R4 (6% kepala udang) dan
R5 (9% kepala udang) ... 21
2 Indeks warna kuning telur dengan pemberian pakan R0 (Ransum basal), R1 (3% kaliandra), R2 (6% kaliandra),
R3 (3% kepala udang), R4 (6% kepala udang) dan R5 (9% kepala udang) pada hari ke-7 ... 22
3 Indeks warna kuning telur asin rebus dengan pemberian pakan R0 (Ransum basal), R1 (3% kaliandra), R2 (6% kaliandra), R3 (3% kepala udang), R4 (6% kepala udang) dan
R5 (9% kepala udang) ... 23
4 Pengaruh pemberian daun kaliandra dan kepala udang terhadap produksi telur itik selama 3 minggu dari 30 ekor itik; a) untuk perlakuan R0 (itik no 1 sampai 10), b) perlakuan R1 (itik no 1 sampai 10), dan
c) perlakuan R2 (itik nomor 1 sampai 10) 27
5 Pola indeks warna kuning telur dengan pemberian pakan R0 (ransum basal), R1 (6% kaliandra + 3% kepala udang),
R2 (6% kaliandra + 6% kepala udang) ... 29
6 Indeks warna kuning telur dengan pemberian pakan R0 (ransum basal), R1 (6% kaliandra + 3% kepala udang),
R2 (6% kaliandra + 6% kepala udang) ... 30
7 Indeks warna kuning telur asin rebus dengan pemberian pakan R0 (Ransum basal), R1 (6% kaliandra + 3% kepala udang),
R2 (6% kaliandra + 6% kepala udang) ... 30
8 Morphologi jaringan hati perlakuan R0 (ransum basal), R1 (ransum basal + 6% kaliandra + 3% kepala udang) dan R2
(ransum basal + 6% kaliandra + 6% kepala udang) masih kelihatan
normal (pewarnaan HE; pembesaran lensa objektif 20x) ... 35
9 Morphologi jaringan ginjal perlakuan R0 (ransum basal), R1 (ransum basal + 6% kaliandra + 3% kepala udang) dan R2
(ransum basal + 6% kaliandra + 6% kepala udang) masih kelihatan
normal (pewarnaan HE; pembesaran lensa objektif 20x) ... 36
10 Morphologi jaringan pankreas perlakuan R0 (ransum basal), R1 (ransum basal + 6% kaliandra + 3% kepala udang) dan R2
(ransum basal + 6% kaliandra + 6% kepala udang) masih kelihatan
11 Morphologi jaringan ovary perlakuan R0 (ransum basal), R1 (ransum basal + 6% kaliandra + 3% kepala udang) dan R2
(ransum basal + 6% kaliandra + 6% kepala udang) masih kelihatan
normal (pewarnaan HE; pembesaran lensa objektif 10x) ... 40
12 Morphologi jaringan oviduk perlakuan R0 (ransum basal), R1 (ransum basal + 6% kaliandra + 3% kepala udang) dan R2
(ransum basal + 6% kaliandra + 6% kepala udang) masih kelihatan
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 Pembuatan preparat histopatologi ... 50
2 Pengembangan metoda analisa retinol dengan HPLC ... 52
3 Analisis ragam konsumsi ransum,efisiensi ransum dan
produksi telur... 55
PENDAHULUAN
Warna kuning telur itik yang pucat tidak disukai oleh konsumen, terutama
untuk telur itik yang diasin. Hal tersebut sangat mempengaruhi nilai jual dari pada
telur itik. Permasalahan yang sering muncul adalah konsumen seringkali
memprediksikan warna kuning telur yang cerah ada hubungannya dengan khasiat
dan kualitas dari telur sehingga warna kuning telur itik yang pucat akan menurunkan
nilai jual dari telur tersebut.
Perubahan cara pemeliharaan itik dari sistem ekstensif menjadi intensif
menyebabkan warna kuning telur itik pucat. Hal ini disebabkan karena pada
pemeliharaan intensif digunakan pakan campuran konsentrat, dedak, menir atau
jagung. Bila jagung yang digunakan berwarna putih maka warna kuning telurnya
akan pucat. Pada pemeliharaan ekstensif, itik mendapat kesempatan untuk memakan
sumber-sumber pigmen penguning telur seperti tanaman hijauan di sawah atau
ladang penggembalaan. Untuk menghasilkan warna kuning telur yang pekat dapat
ditambahkan pigmen pewarna kuning telur. Pigmen pewarna kuning telur adalah
karotenoid. Pigmen tersebut dapat dalam bentuk siap pakai (pigmen sintetis),
tanaman hijauan atau bahan alami lain seperti cangkang udang. Bila digunakan
pigmen siap pakai akan meningkatkan biaya pakan karena merupakan bahan impor
dan harganya mahal.
Hewan tidak dapat membuat sendiri karotenoid dalam tubuhnya, karotenoid
dapat diperoleh dengan memakan bahan makanan nabati yang banyak mengandung
karotenoid. Pigmen karotenoid tersebut sebagian besar terdiri dari lutein dan
zeaxanthin yang termasuk dalam istilah xanthophyll.
Di Indonesia penelitian menggunakan sumber pigmen alami seperti daun
kaliandra, kangkung, daun katuk dan daun lamtoro sudah terbukti dapat
meningkatkan indeks warna kuning telur, namun belum diketahui dosis yang dapat
menghasilkan warna dengan indeks yang tinggi yaitu antara 10-12. Berdasarkan
uraian di atas maka penelitian dilakukan dengan penggunaan sumber karotenoid dari
jenis tanaman dan hewani yaitu tepung daun kaliandra dan tepung kepala udang
Penelitian ini bertujuan meningkatkan indeks warna kuning telur dengan
pemberian sumber pigmen alami yaitu kaliandra dan kepala udang serta pengaruhnya
TINJAUAN PUSTAKA
Pigmen Pewarna Kuning Telur
Bahan pewarna kuning telur adalah xanthophyll, suatu pigmen karotenoid
yang terdapat dalam jagung kuning, tanaman alfalfa dan corn gluten meal. Zat warna
xanthophyll dalam pakan merupakan senyawa yang paling berpengaruh terhadap
warna kuning telur. Stadelman dan Cotterill (1984) mengatakan bahwa karotenoid
merupakan suatu pigmen yang terdapat pada tanaman maupun hewan yang
merupakan prekursor vitamin A. Lebih dari 600 karotenoid telah diidentifikasi di
alam, sebanyak 50-60 karotenoid memiliki sifat sebagai provitamin A (Flora et al.
1999). Prawirokusumo (1991) mengatakan bahwa vitamin A terdiri dari empat
macam yaitu : 1) vitamin A acetate (retinyl acetate), 2) vitamin A alkohol (retinol),
3) vitamin A aldehyde (retinal), 4) vitamin A acid (retinoic acid).
Hati menyimpan kurang lebih 90% total vitamin A dalam bentuk ester
retinol. Dalam tubuh, fungsi utama vitamin A dilaksanakan oleh retinol dan kedua
derivatnya yaitu retinal dan asam retinoat. Ester retinol yang terlarut dalam lemak
makanan akan terdispersi dalam cairan empedu dan dihidrolisis di dalam lumen usus,
yang kemudian diserap langsung oleh epitel usus. Senyawa
carotene yang dikonsumsi mungkin dipecah lewat reaksi oksidasi oleh enzim
carotene dioksigenase. Didalam mukosa usus, retinal direduksi menjadi retinol
oleh enzim spesifik retinaldehid reduktase dengan menggunakan NADPH. Retinal
dengan jumlah yang kecil akan teroksidasi menjadi asam retinoat. Sebagian besar
retinol mengalami esterifikasi dengan asam lemak jenuh dan menyatu ke dalam
kilomikron limfe yang kemudian masuk ke dalam aliran darah (Murray et al. 1996).
Senyawa karotenoid dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelas, yaitu carotene,
xanthophyll, ester xanthophyll dan likopen (Chichester 1976 dalam Arafah 1994).
Carotene adalah pigmen berwarna kuning sampai merah tersusun atas ikatan
isoprene dengan 2 methyl ditengah dalam posisi 1: 6 dan posisi lateral adalah 1: 5.
Stadelman dan Co tterill (1984) mengatakan bahwa umumnya karotenoid
dalam kuning telur adalah berupa kumpulan hydroxy yang disebut xanthophyll.
Selanjutnya dikatakan juga bahwa jenis dan kadar karotenoid dalam kuning telur
Kandungan xanthophyll total bahan makanan dapat dilihat dalam Tabel 1,
sedangkan persentase jenis-jenis karotenoid dalam jagung kuning, tepung alfalfa dan
alga dapat dilihat pada Tabel 2. Kandungan karotenoid total kuning telur dapat
dilihat pada Tabel 3.
Tabel 1 Kandungan xanthophyll total bahan makanan
Bahan Makanan Xanthophyll Total (mg per kg)
Tepung marigold petal 7000
Tepung alga 2000
Tepung alfalfa kering 280 Rumput pantai Bermuda 270 Bungkil lembaga jagung (60%) 290 Bungkil lembaga jagung (41 %) 125
Jagung kuning 17
Tepung kunyit 40 s/d 68 kali jagung
Sumber : Amrullah (2003)
Tabel 2 Karotenoids dalam alfalfa, jagung kuning dan tepung alga kering
Karotenoid Alfalfa (%)
Jagung Kuning (%)
Alga (%)
Lutein 46 54 86
Zeaxanthin 4 23 2
Violaxanthin 16 - 4
Neoxanthin 14 - -
Crytoxanthin 7 8 -
Lain-lain 13 15 8
Sumber : Smith dan Perdue (1966) dalam Stadelman dan Cotterill (1984)
Tabel 3 Karotenoid total 2.5 mg per 100 gram kuning telur
Karotenoid Persentase (%)
Lutein A 40
Zeaxanthin 19.8
Cantaxanthin 17.9
ß-cryptoxanthin 17.3
Sumber : Matsuno et al. (1986) dalam Stadelman dan Cotterill (1984)
Absorbsi dan Transportasi Karoten serta Vitamin A
Karotenoid merupakan prekursor vitamin A. Beberapa hewan mamalia
mempunyai kemampuan yang spesifik untuk mengabsorpsi karotenoid yang berasal
dari makanan. Saluran usus halus merupakan organ pertama yang berperan dalam
mampu mengkonversi provitamin A menjadi vitamin A. Enzim pemecah carotene
yaitu -carotene15, 15 oxygenase, dan hal ini telah dibuktikan pada usus halus, hati
dan ginjal tikus. Reaksi-reaksi yang dikatalisa oleh enzim ini memerlukan oksigen.
Produk awal dan satu-satunya produk yang terbentuk adalah retinal (Piliang 2001).
Murray (1996) mengatakan bahwa senyawa -carotene yang dikonsumsi
mungkin dipecah lewat reaksi oksidasi oleh enzim -carotene dioksigenase. Di
dalam mukosa usus, retinal direduksi menjadi retinol oleh enzim spesifik retinaldehid
reduktase deangan menggunakan NADPH. Retinal dengan jumlah yang kecil akan
teroksidasi menjadi asam retinoat. Sebagian besar retinol mengalami esterifikasi
dengan asam lemak jenuh dan menyatu ke dalam kilomikron limfe dan masuk ke
dalam darah.
Jumlah deposit masing-masing pigmen tanaman tergantung pada jumlah
gugus hidroksi atau gugus keton dalam molekul. Umumnya dihydroxy xanthophyll
(Lutein dan zeaxanthin) dan diketo xanthophyll (canthaxanthin) lebih efisien
ditransfer ke kuning telur daripada monohydroxy xanthophyll (cryptoxanthin) dan
monoketo xanthophyll (Bracunlich 1978 dalam Stadelman dan Cotteril 1984).
Kaliandra
Kaliandra termasuk jenis pohon semak berkayu, dengan ciri-ciri batang
mempunyai banyak cabang, tidak lurus dan pendek, pohon yang sudah dewasa
mempunyai tinggi 12 m dengan diameter 20 cm. Di daerah Jawa, kaliandra
merupakan tanaman yang bermanfaat. Kayunya untuk kayu bakar, daun-daunnya
digunakan untuk pakan ternak. Kaliandra ada dua spesies, tetapi yang ditanam untuk
tujuan ilmu kehutanan (forestry) adalah calliandra calothyrsus (bunga merah) dan
calliandra tetragona (bunga putih). Kedua spesies kaliandra ini berasal dari
Guatemala dan dikenalkan ke Indonesia tahun 1936. Kaliandra mulai disebarkan
pertama kali adalah di pulau Jawa. Umumnya Indonesia menggunakan calliandra
calothyrsus (NRC 1983).
Kaliandra kemudian menjadi sumber pakan ternak yang mudah didapat,
meskipun terbatas informasi tentang ketersediaan nilai nutrisinya. Beberapa
penelitian di Australia, kaliandra telah dikenal menjadi pakan ternak yang palatabel
dan Cheeke (1985) dalam Palmer (2006) melaporkan bahwa 22% protein kasar,
30-70% serat kasar, 4-5% abu dan 2-3% lemak terdapat pada daun kering kaliandra.
Daun kaliandra mengandung protein, carotene (provitamin A), dan
xanthophyll yang cukup tinggi. Komposisi kimia tepung daun kaliandra berdasarkan
[image:31.611.128.495.216.349.2]bahan kering dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Komposisi kimia tepung daun kaliandra berdasarkan bahan kering
Komposisi Kimia Tepung Daun Kaliandra1
Tepung Daun Kaliandra2
Tepung Daun Kaliandra3
Protein kasar (%) 19.65 20.36 22.71 Serat kasar (%) 19.61 32.64 15.50 Lemak (%) 3.27 2.69 3.41 BETN (%) 42.78 38.41 -
Kalsium (%) - - 1.39
Fosfor (%) - - 0.37
Energi bruto (kkal/kg) 4068 - 4275
Keterangan : 1) Soebarinoto (1986); 2) Narsum (1983) 3) Purwanegara (1988)
Disisi lain Suryadi (1995) dalam Syahrir dan Fattah (2000) melaporkan bahwa
kaliandra memiliki kandungan protein kasar yang cukup tinggi yaitu 24.8 % pada
daun segar dan 22.8 % pada daun kering. Permasalahan yang ada pada pemanfaatan
kaliandra sebagai sumber pakan ternak ruminansia adalah tingkat konsumsi dan
kecernaannya yang rendah. Tidak ada zat toxic yang ditemukan pada kaliandra tetapi
mengandung tanin kondensasi dengan konsentrasi tinggi sampai 11% (Akin et
al.1989 dalam Palmer 2006). Cannas (2001) melaporkan bahwa terdapat dua
kelompok tanin yang berpengaruh terhadap nutrisi ternak, yaitu tanin hidrolisis dan
tanin kondensasi yang biasa disebut proanthocyanidin. Tanin didefinisikan sebagai
water soluble polymeric phenolics yang mengikat protein (Reed 1995). Disisi lain
Hagerman (2002) mendefinisikan tanin adalah water soluble phenolic compunds
yang mempunyai berat molekul antara 500 sampai 3000, mempunyai sifat tidak
hanya membentuk ikatan komplek dengan protein dan alkaloids tetapi juga dengan
polisakarida. Kemampuan tanin untuk bereaksi dengan protein dan
mengendapkannya menimbulkan masalah pada penyiapan enzim atau protein lain
dari beberapa tumbuhan. Kadar tanin yang tinggi dianggap mempunyai pengaruh
Syahrir dan Fattah (2000) melaporkan bahwa terjadi penurunan kadar tanin dari
bahan pakan kaliandra segar (5.6%) dalam sistim rumen. Hal ini diakibatkan oleh
terbentuknya ikatan antara tanin dengan protein, mineral atau zat lain yang ada dalam
rumen. Tanin dikenal juga dapat membentuk komplek dengan ion bivalen seperti
Fe++ yang dapat menurunkan ketersediaan ion Fe++ dalam tubuh (Hassan et al.
2003). Kegunaan tanin adalah sebagai proteksi (by pass) protein, tetapi tanin
dengan level tinggi bisa menurunkan kecernaan protein untuk ternak. Nadiar (1979)
dalam Palmer (2006) menambahkan bahwa tepung daun kaliandra telah diketahui
sebagai sumber protein dan sumber carotene untuk produksi telur komersial.
Wiryawan (1999) mengatakan bahwa senyawa tanin dapat dihilangkan
dengan perlakuan alkali misalnya dengan penambahan NH4OH, NaOH, K2CO3 atau
CaO. Perendaman daun kaliandra dalam larutan kapur tohor menaikkan nilai
kecernaan nutrisi daun kaliandra. Pada perendaman dalam larutan CaO 2 %
mengakibatkan kenaikan kecernaan protein sebesar 58.28 %, kecernaan NDF sebesar
17.74 % dan kecernaan ADF sebesar 12.35 %. Selanjutnya dilaporkan bahwa kadar
tanin dalam bahan kering kaliandra sekitar 11.3 %. Adanya tanin dalam daun
kaliandra dapat menurunkan nilai cerna dari protein. Hasil analisis kandungan tanin
dalam daun kaliandra pada laboratorium Balai Penelitian Ternak Ciawi bervariasi
antara 1 17 %. Paterson et al. (1999) dalam Stewart et al. (2001) melaporkan
bahwa hijauan ternak C. colothyrsus segar dapat meningkatkan berat badan ternak
pedaging dan produksi susu pada sapi. Penambahan sedikit daun kaliandra untuk
pakan ayam petelur (0.6 2.5 % dari pakan pokok) akan menghasilkan warna
kuning telur yang lebih kuning tanpa pengaruh negatif pada jumlah telur yang
dihasilkan dan pada konversi pakan (Paterson et al. 2000 dalam Stewart et al. 2001).
Anggorodi (1985) menyatakan bahwa adanya xanthophyll dalam pakan unggas dapat
meningkatkan warna kuning telur. Laksmiwati (1997) melaporkan bahwa makin
tinggi tingkat pemberian daun kaliandra atau daun lamtoro dalam pakan
menyebabkan skor warna kuning telur bertambah tinggi. Hal ini disebabkan karena
kandungan xanthophyll yang dikandung daun kaliandra atau daun lamtoro.
Limbah Udang
Udang adalah komoditas andalan dari sektor perikanan yang umumnya
tahun terus meningkat. Selama ini potensi udang Indonesia rata-rata meningkat
sebesar 7,4 persen per tahun. Data tahun 2001, potensi udang nasional mencapai
633.681 ton. Dengan asumsi laju peningkatan tersebut tetap, maka pada tahun 2004
potensi udang diperkirakan sebesar 785.025 ton. Dari proses pembekuan udang
untuk ekspor, 60-70 persen dari berat udang menjadi limbah (bagian kulit dan
kepala) sehingga diperkirakan akan dihasilkan limbah udang sebesar 510.266 ton.
Limbah sebanyak itu, jika tidak ditangani secara tepat, akan menimbulkan dampak
negatif bagi lingkungan. Selama ini pemanfaatan limbah cangkang udang hanya
terbatas untuk pakan ternak saja seperti itik, bahkan sering dibiarkan membusuk
(Prasetiyo 2004).
Marganof (2003) mengatakan bahwa saat ini budidaya udang dengan tambak
telah berkembang dengan pesat karena udang merupakan komoditi ekspor yang
dapat diandalkan dalam meningkatkan ekspor non-migas dan merupakan salah satu
jenis biota laut yang bernilai ekonomis tinggi. Udang di Indonesia pada umumnya
diekspor dalam bentuk udang beku yang telah dibuang bagian kepala, kulit dan
ekornya. Limbah yang dihasilkan dari proses pembekuan udang , pengalengan
udang dan pengolahan kerupuk udang berkisar antara 30% - 75% dari berat udang,
dengan demikian jumlah bagian yang terbuang dari usaha pengolahan udang cukup
tinggi. Limbah kulit udang mengandung konstituen utama yang terdiri dari protein,
kalsium karbonat, khitin, pigmen, abu dan lain-lain. Kulit udang mengandung
protein (25%-40%), kalsium karbonat (45%-50%) dan khitin (15%-20%), tetapi
besarnya kandungan komponen tersebut tergantung pada jenis udangnya.
Menurut Shahidi dan Synowiecki (1992) dalam Mirwandhono dan Siregar
(2006) bahwa limbah udang mengandung protein 41.9%, khitin 17.0%, abu 29.2%
dan lemak 4.5% dari bahan kering. Berdasarkan kandungan protein yang cukup
tinggi, limbah kepala udang juga mengandung semua asam amino esensial terutama
methionin yang sering menjadi faktor pembatas pada protein nabati.
Kepala udang dapat dimanfaatkan sebagai sumber protein karena kandungan
protein yang terdapat di kepala udang masih cukup tinggi. Oleh karena itu kepala
Tabel 5 Hasil analisis komposisi kimia limbah udang*
Jenis kandungan Jumlah (%)
Kadar air 14.0** 6.30*** Protein kasar 43.40 44.10
Lemak 1.40 4.30
Serat kasar 13.20 12.10
Kadar abu 26.80 27.30
Kalsium 7.05 11.40
Fosfor 1.52 1.80
BETn Nitrogen 1.20 -
Keterangan : * Sudah dikeringkan ** Hartadi et all. (1997) *** Oke et al. (1978)
Raharjo (1985) melaporkan hasil penelitiannya bahwa pemberian cangkang
udang sampai 30 % untuk menggantikan tepung ikan dan bungkil kedele ternyata
meningkatkan produksi telur sebanyak 12 % dan meningkatkan efisiensi penggunaan
pakan sebesar 18 %, serta memberikan warna kuning telur menjadi lebih baik.
Perbaikan warna kuning telur pada pemberian 30 % cangkang udang mungkin
disebabkan oleh adanya pigmen yang dikandung dalam udang, seperti astaxanthine
yang memberikan warna kuning kemerahan.
Itik Lokal
Jenis itik lokal adalah merupakan keturunan dari bangsa itik Indian Runner.
Itik Indian Runner adalah bangsa itik yang sangat terkenal sebagai penghasil telur.
Budidaya ternak itik tersebar hampir diseluruh Indonesia. Adaptasi terhadap kondisi
lingkungan yang berbeda-beda, serta isolasi geografis dalam jangka waktu yang
lama, maka muncul sifat khas yang membedakan itik daerah satu dengan daerah lain.
Menurut Soedjai (1974) dan Srigandono (1986) itik lokal mempunyai 3 varietas
dengan tempat adaptasi yang berbeda-beda yaitu : itik Bali (Anas sp.) berkembang di
Bali, itik Alabio (Anas platyrhynchos borneo) berkembang di Kalimantan dan itik
Tegal (Anas javanica) berkembang di Jawa Tengah dan Jawa Barat bagian utara.
Bentuk badan itik Tegal adalah merupakan contoh itik Indian Runner yaitu dengan
posisi berdiri yang hampir tegak lurus. Warna bulu umumnya coklat dengan
beberapa variasi warna tertentu. Bentuk badannya lebih besar daripada itik Bali,
melaporkan bahwa itik Tegal mempunyai hubungan kekerabatan dengan itik Khaki
Campbell, yaitu merupakan persilangan itik Rouen dengan itik Indian Runner.
Potensi Itik Lokal
Indonesia merupakan negara dengan populasi itik terbesar kedua setelah
Cina, khususnya di Asia. Dari populasi tersebut separuhnya ada di pulau Jawa yang
luasnya hanya 10% dari luas Indonesia. Jawa Tengah secara nasional mempunyai
populasi itik tertinggi kedua setelah Sulawesi Selatan. Ada 2 (dua) bangsa itik Jawa
Tengah yang terkenal produksi telurnya tinggi yaitu itik Tegal dan itik Magelang.
Itik Tegal banyak diusahakan oleh peternak di sepanjang pantai utara, sedangkan itik
Magelang banyak dipelihara oleh peternak disekitar keresidenan Kedu (Subiharta et
al. 2001).
Itik lokal memiliki sifat unggul yaitu masak kelamin dini. Pada umur 113
hari kelompok itik berasal dari Tegal telah mulai bertelur, untuk itik Mojosari umur
mulai bertelur adalah 145 hari dan untuk itik Bali 157 hari
(Hardjosworo 2001).
Chavez dan Lasmini (1978) dalam Subiharta et al. (2001) melaporkan bahwa
produksi telur tertinggi itik Tegal pernah mencapai 80 %. Sebagai unggas lokal, itik
Tegal merupakan unggas air yang produktif sebagai penghasil telur, ini dapat dilihat
dari hasil penelitiannya dengan menggunakan itik Tegal yang dipelihara secara
intensif mampu berproduksi 212 butir pertahun dengan variasi antara 100 300
butir. Produksi telur tersebut akan dapat terwujud apabila pakan yang diberikan
memenuhi kualitas dan kuantitas.
Hardjosworo (1990) menyatakan bahwa itik Tegal mempunyai potensi untuk
ditingkatkan kemampuan produksi telurnya, karena dari kenyataan sekitar 50 % itik
yang digunakan dalam penelitian menghasilkan produksi telur ( duck day ) lebih
besar dari 50 %.
Pengaruh Daun Kaliandra dan Kepala Udang terhadap Kinerja Itik
Produksi Telur
Produksi telur (duck-day) dari sekelompok itik dapat tinggi bila 1) Itik-itik
Manajemen terhadap itiknya sesuai dengan yang dibutuhkan ternaknya (Hardjosworo
et al. 2001). Selanjutnya dikatakan bahwa dalam upaya peningkatan produktivitas
telur, mutu bibit merupakan salah satu komponen yang sangat menentukan bagi
keberhasilan usaha peternakan itik. Produksi telur pada unggas sangat bervariasi
untuk setiap individu selama periode bertelur. Ada hubungan yang erat antara
jumlah telur yang dihasilkan dengan waktu periode bertelur (Koops dan Grosman
1991 dalam Laksmiwati 1997). Roesdiyanto et al. (2001) menyatakan bahwa
sebagai unggas lokal, itik Tegal merupakan unggas air yang produktif sebagai
penghasil telur.
Produksi telur itik lokal sangat bervariasi dan ini tergantung dari jenis itik,
sistem pemeliharaan dan kualitas pakan yang diberikan. Hardjosworo (1989) dalam
penelitiannya mendapatkan bahwa penggunaan pakan berbentuk pellet dengan
kandungan protein 18 % dapat meningkatkan produksi telur, bobot badan dan
memperpanjang siklus produksi, dibanding dengan pakan berbentuk halus dengan
kandungan protein 16 % atau pellet dengan kandungan protein 16 %.
Konsumsi Ransum
Banyak faktor yang mempengaruhi kebutuhan nutrisi yaitu : 1) macam
unggas 2) umur unggas 3) lingkungan, terutama cuaca 4) tingkat produksi.
Sementara itu Wahju (1985) melaporkan bahwa pakan yang dikonsumsi oleh hewan
akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi dan produksi. Tingkat energi di
dalam ransum menentukan banyaknya pakan yang dikonsumsi. Banyaknya pakan
yang dikonsumsi tergantung pada jenis hewan yang bersangkutan, besarnya,
keaktifannya, temperatur lingkungan dan apakah untuk pertumbuhan atau untuk
mempertahankan produksi telur.
Menurut NRC (1994) faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi ransum
adalah temperatur lingkungan, bentuk ransum, kualitas ransum, kecepatan
pertumbuhan, produksi telur, stress dan kesehatan ternak. Amrullah (2003)
mengatakan bahwa besarnya konsumsi ransum pada berbagai umur tidak tetap.
Jumlahnya bervariasi sesuai dengan laju pertumbuhan dan tingkat produksi. Jika
ayam dapat menyesuaikan konsumsi zat makanannya tepat dengan jumlah yang
dibutuhkan, maka besarnya kebutuhan dapat dinyatakan dalam persen atau tingkat
mengkonsumsi ransum lebih banyak dari ternak ayam yaitu satu setengah kali dari
konsumsi ransum ternak ayam, dan lebih toleran terhadap serat kasar dibanding
dengan ternak ayam (Mutzar et al. 1977 dalam Laksmiwati 1997).
Kecernaan Kepala Udang
Kecernaan didefinisikan sebagai bagian yang tidak diekskresikan dalam
feses, dimana bagian tersebut diasumsikan diserap oleh tubuh (Mc Donald et al.
1988) ; atau selisih antara zat-zat makanan yang terkandung di dalam pakan yang
dimakan oleh ternak dan zat-zat makanan dalam feses (Anggorodi 1979). Bila nilai
tersebut dinyatakan sebagai persen terhadap konsumsi disebut koefisien cerna.
Sebagian besar limbah udang berasal dari kulit, kepala dan ekornya. Fungsi
kulit pada hewan udang (hewan golongan invertebrata) yaitu sebagai pelindung.
Kulit udang mengandung protein (25%-40%), kalsium karbonat (45%-50%) dan
khitin (15%-20%), tetapi besarnya kandungan komponen tersebut tergantung pada
jenis udangnya (Marganof 2003)
Limbah udang merupakan sumber khitin dan khitosan karena kulit udang
mengandung khitin sebesar 20 30 % dari berat keringnya dan keberadaannya
bergabung dengan unsur-unsur lain seperti protein, kalsium karbonat, magnesium
karbonat dan pigmen karotenoid (Jhonson dan Peniston 1982).
Khitin berasal dari bahasa Yunani yang berarti baju rantai besi, pertama kali
diteliti oleh Bracanot pada tahun 1811 dalam residu ekstrak jamur yang dinamakan
fungiue. Khitin merupakan konstituen organik yang sangat penting pada hewan
golongan orthopoda, annelida, molusca, cortengterfa dan nematoda. Khitin
biasanya berkonjugasi dengan protein dan tidak hanya terdapat pada kulit dan
kerangkanya saja, tetapi juga terdapat pada trachea, insang, dinding usus dan
bagian dalam kulit cumi-cumi (Marganof 2003).Selanjutnya dikatakan bahwa khitin
mempunyai rumus molekul C18H26N2O10, merupakan zat padat yang tidak berbentuk
(amorphous), tidak larut dalam air, asam anorganik encer, alkali encer dan pekat,
alkohol dan pelarut organik lainnya tetapi larut dalam asam-asam mineral yang
pekat. Khitin kurang larut dibandingkan dengan selulosa dan merupakan
N-glukosamin yang terdeasetilasi sedikit, sedangkan khitosan adalah khitin yang
Khitin termasuk golongan homopolisakarida yang mempunyai berat molekul
tinggi dan merupakan polimer linier dari anhidro N-asetil-D glukosamin
(N-asetil-2amino-2-dioksi-D-glukosa (Silverstein et al. 1981 dalam Sudibya 1998). Struktur
khitin sama dengan selulosa, dimana ikatan yang terjadi antar monomernya terangkai
dengan ikatan glukosida pada posisi - (1-4). Perbedaannya dengan selulosa adalah
gugus hidroksil yang terikat pada atom karbon no 2, pada khitin digantikan oleh
gugus asetamida (NHCOCH3) sehingga khitin menjadi sebuah polimer berunit
N-asetil glukosamin (Carroad dan Tom 1978 dalam Sudibya 1998).
Syamsuhaidi (1997) menyatakan bahwa selama ini perhatian terhadap peran
caecum pada unggas sebagai organ pencernaan fermentative agak terabaikan.
Pertumbuhan usus dan caecum dapat dirangsang oleh serat, karena VFA (volatile
fatty acid) produk pencernaan serat merupakan sumber energi bagi mikroba.
Caecum menyerap air sehingga berperan serta dalam termoregulasi dan
osmoregulasi. Bakteri yang hidup di dalamnya mampu membuat vitamin B
kompleks. Bakteri tersebut mungkin dapat direkayasa sehingga unggas mungkin
dapat diberi pakan berserat tinggi sehingga harga pakannya murah. Supadmo (1997)
melaporkan bahwa ayam broiler yang diberi ransum mengandung khitin dan
khitosan dengan level 30g/kg, pada hari ke-10 dan 18 ayam-ayam penelitian untuk
kontrol dan ransum khitin mempunyai berat yang lebih besar, konsumsi pakan yang
lebih baik dan rasio konversi pakan lebih rendah dari pada ayam-ayam yang diberi
ransum khitosan. Selain itu pemberian serat mengurangi absorbsi lemak sehingga
deposisi lemak ke dalam daging dan telur ayam dapat ditekan. Selanjutnya Sudibya
(1998) menyatakan bahwa penggunaan berbagai tingkat duckweed dalam ransum
ayam ras pedaging dapat mengurangi deposisi lemak abdominal dan kolesterol
karkas serta ada tendensi penurunan lemak karkas, kolesterol dan trigliserida serum.
Ada hubungan antara kadar trigliserida darah dengan kualitas telur (warna kuning
telur) seperti yang dilaporkan Purba (2003) dalam penelitiannya bahwa kualitas telur
berupa kuning telur menurun setelah rontok bulu. Penurunan tersebut karena
trigliserida dalam darah yang merupakan pembawa (carrier) pigmen pembawa
Konversi Ransum
Konversi ransum tidak saja merupakan suatu angka untuk merefleksikan
kemampuan fisiologis dalam memanfaatkan semua unsur-unsur gizi ransum, namun
mempunyai arti dan nilai ekonomis yang menentukan bagi kepentingan berusaha.
Perbandingan input unit ransum yang dikonversikan menjadi output unit berat badan
akan menghasilkan angka fisik bagi tolok ukur perhitungan ekonomis. Konversi
ransum adalah jumlah ransum yang dibutuhkan untuk meningkatkan satu-satuan
bobot badan atau produksi telur. Anggorodi (1985) mengemukakan bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi konversi ransum adalah suhu lingkungan, laju perjalanan
ransum melalui alat pencernaan, bentuk fisik ransum. Selanjutnya dinyatakan pula
bahwa peningkatan konsumsi yang diikuti dengan penurunan pertambahan bobot
badan menyebabkan tingginya konversi ransum. Semakin kecil angka konversi
ransum berarti semakin efisien ternak tersebut menggunakan ransum yang diberikan.
Pengaruh Daun Kaliandra terhadap Alat Reproduksi
Organ reproduksi ayam betina pada masa embrio terdiri dari sepasang
ovarium dan oviduk, akan tetapi selama masa pertumbuhannya dan saat mencapai
dewasa kelamin hanya ovarium dan oviduk bagian kiri yang berkembang normal
sedangkan bagian kanan mengalami penyusutan atau rudimenter (Sturkie 1976).
Laksmiwati (1997) melaporkan dalam penelitiannya bahwa penggunaan
daun kaliandra lebih baik dibandingkan dengan daun lamtoro karena perkembangan
alat reproduksi lebih baik, produksi telur lebih tinggi, lebih efisien dalam
MATERI DAN METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kandang Percobaan Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor mulai bulan Mei sampai Agustus 2005 selama 4 bulan.
Materi Penelitian
Ternak
Ternak percobaan yang digunakan adalah itik lokal alabio betina dewasa
yang berumur 6 bulan sebanyak 72 ekor itik.
Pakan
Pakan yang digunakan adalah pakan basal yang terdiri dari konsentrat, menir,
dedak dan minyak sayur disusun dengan kandungan protein 20 persen dan energi
metabolis 2824 kkal/kg. Daun kaliandra kering didapatkan dari Balai Penelitian
Peternakan Ciawi Bogor, dan digiling dengan menggunakan cutter grinder. Tepung
kepala udang dibuat dengan cara mengeringkan kepala udang di bawah sinar
matahari selama 1 minggu sampai kering. Kepala udang dijemur tiap hari mulai dari
jam 8.00 pagi sampai 4.00 sore (rata-rata 8 jam/hari), kemudian digiling dengan
menggunakan cutter grinder. Susunan bahan makanan ransum dapat dilihat pada
Tabel 6.
Tabel 6 Komposisi bahan ransum dan kandungan zat-zat makanan
Bahan Persentase
Konsentrat 35.28
Dedak 23.59
Menir 35.47
Minyak sayur 5.66
Total 100.00
Protein 20.03
Energi Metabolis (kkal/kg) 2824.00
Peralatan
Kandang yang digunakan adalah kandang sangkar tunggal dengan ukuran 50
terbuat dari paralon. Alat lain yang digunakan adalah timbangan untuk menimbang
telur dan itik. Untuk menentukan skor warna kuning telur digunakan Roche Yolk
Colour Fan .
Metode Penelitian
1. Penentuan dosis kaliandra dan kepala udang yang optimum
Materi penelitian pendahuluan menggunakan itik yang mulai produksi
sebanyak 42 ekor yang dibagi ke dalam 6 perlakuan. Masing-masing perlakuan
terdiri dari 7 ekor itik. Selama 2 minggu pertama (sebelum masuk perlakuan)
diberikan pakan basal atau tanpa tepung kepala udang (CU) maupun tepung daun
kaliandra (K)
Mulai awal minggu ketiga diberikan ransum perlakuan pendahuluan yang
terdiri dari Ransum Basal (RB), RBK-(3%), RBK-(6%), RBCU-(3%), RBCU-(6%)
dan RBCU-(9%) selama 2 minggu. Evaluasi warna kuning telur dilakukan pada hari
ke-1 perlakuan, hari ke-7 dan hari ke-14 dengan cara memecah semua telur yang ada
pada masing-masing hari tersebut. Telur pada hari ke-8 dan 15 diasin selama 10 hari
dan dilakukan pengamatan secara visual. Setelah diketahui dosis-dosis yang baik
untuk pemberi warna kuning telur yang diamati selama 2 minggu, dilanjutkan
dengan penelitian utama
Rancangan Penelitian Pendahuluan
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak
Lengkap (RAL) sebanyak 6 perlakuan dengan 7 ulangan dan setiap ulangan terdiri
dari 1 ekor itik (Steel and Torrie 1991).
Adapun model matematikanya adalah sebagai berikut :
Yijk= + i + ij i = 1,2,3,4,5,6
j = 1,2, 7
Yij = Nilai pengamatan pada satuan percobaan ke-j yang mendapat perlakuan
ransum ke-i
i = Pengaruh perlakuan ransum ke-i
ij =Pengarug galat dari satuan percobaan ke-j yang mendapat perlakuan
ransum ke-i
2. Penerapan dosis sebagai pemekat warna kuning telur
Materi penelitian lanjutan menggunakan itik lokal betina dewasa yang sedang
produksi sebanyak 30 ekor yang dibagi ke dalam 3 perlakuan, 10 ulangan dan
masing-masing ulangan terdiri dari 1 ekor itik.
Ransum perlakuan yang diberikan selama penelitian terdiri dari satu tingkat
penggunaan kombinasi tepung daun kaliandra dan tepung kepala udang dalam
ransum yakni R-0 (ransum basal 100% sebagai kontrol), R-1 (kaliandra 6 % +
kepala udang 3%) dan R-2 (kaliandra 6 % + kepala udang 6%).
Rancangan Penelitian
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak
Lengkap (RAL) sebanyak 3 perlakuan dengan 10 ulangan dan setiap ulangan terdiri
dari 1 ekor itik (Steel and Torrie 1991).
Adapun model matematikanya adalah sebagai berikut :
Yijk = + i + ij i = 1,2,3
j = 1,2, 10
Yij = Nilai pengamatan pada satuan percobaan ke-j yang mendapat perlakuan
ransum ke-i
i = Pengaruh perlakuan ransum ke-i
= Nilai rata-rata sesungguhnya
ijk = Pengaruh galat dari satuan percobaan ke-j yang mendapat perlakuan ransum
ke-i.
Peubah yang Diamati
1. Konsumsi ransum setiap kelompok ulangan dihitung setiap minggu
berdasarkan selisih ransum yang diberikan dengan sisa makanan
2. Produksi telur ditentukan dengan mencatat jumlah telur setiap hari, kemudian
ditimbang untuk mengetahui beratnya dan ini dilakukan selama 3 minggu
Jumlah telur pada satu minggu (7 hari)
3. Duck day production = ________________________________ x 100%
Jumlah itik pada 1 minggu (jumlah itik x 7 hari)
4. Efisiensi ransum berdasarkan perbandingan antara berat telur total selama
penelitian dengan konsumsi ransum total selama penelitian.
5. Kandungan retinol darah dilakukan dengan menggunakan HPLC (High
Performance Liquid Chromotography) dengan mengikuti metoda Thurnham
et al. (1988).
6. Penentuan pengukuran skor kuning telur dilaksanakan setiap hari dengan cara
memecah semua telur pada hari ke-1, ke-2, ke-3 sampai hari ke-14 perlakuan
(selama 2 minggu). Warna kuning telur diukur secara visual dengan
menggunakan alat bantu Roche yolk colour fan yang mempunyai 15
macam warna dengan score dari 1 15. Evaluasi warna kuning telur juga
dilakukan terhadap telur yang sudah diasin, yaitu dengan mengasin semua
telur pada hari 15,16 dan hari ke-17 perlakuan selama 15 hari. Pengamatan
dilakukan secara visual.
7. Pada akhir penelitian, itik dipotong untuk mengamati ovarium, saluran telur,
hati, ginjal dan pankreas. Pengambilan sampel dilakukan dengan mengambil
dua ekor itik pada setiap perlakuan dengan memilih secara acak 1 petelur
yang mempunyai produksi telur diatas 30% dan satu lagi petelur yang
memiliki produksi telur dibawah 20%, kemudian itik ditimbang untuk
mengetahui bobot hidup.
8. Penentuan persentase bobot ovarium, bobot saluran telur, bobot hati, bobot
ginjal dan bobot pankreas didasarkan atas perbandingan bobot
masing-masing organ dengan bobot hidup dikalikan 100%.
9. Untuk pengamatan terhadap perubahan histopatologi maka organ-organ yang
Analisis Statistik
Untuk melihat pengaruh perlakuan terhadap peubah yang diamati digunakan
analisis keragaman dan apabila ditemukan hasil yang berpengaruh nyata atau sangat
nyata dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan
(Steel and Torrie 1991). Data diolah menggunakan komputer program General
Linear Model. Untuk data produksi telur diamati secara deskriptif dan perubahan
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Penelitian Pendahuluan
Indeks Warna Kuning Telur
Pengaruh warna kuning telur terhadap berbagai perlakuan pakan dalam
penelitian pendahuluan dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2.
Inde ks Warna Kuning Te lur pada Pe ne litian Pe ndahuluan
0 2 4 6 8 10 12
H-1 H-7 H-14
Hari In d e k s w a r n a R0 R1 R2 R3 R4 R5
Gambar 1 Pola indeks warna kuning telur dengan pemberian pakan R0 (Ransum basal), R1 (3% kaliandra), R2 (6% kaliandra), R3 (3% kepala udang), R4 (6% kepala udang) dan R5 (9% kepala udang).
Dari Gambar 1 terlihat bahwa pemberian perlakuan kaliandra dan kepala
udang dapat meningkatkan indeks warna kuning telur. Indeks warna kuning telur
tertinggi adalah 10 yang dihasilkan oleh pemberian kepala udang 9 % dalam pakan.
Pada pemecahan telur hari ke 7, perlakuan yang memberikan indeks warna tertinggi
adalah R5 (9% kepala udang) dengan skor 10, diikuti oleh perlakuan R3 (3% kepala
udang) dengan skor 8, R1 (3% kaliandra) dan R2 (6% kaliandra) dengan skor yang
sama yaitu 7, dan R4 (6% kepala udang) dengan skor 6, serta skor yang paling
rendah adalah R0 (R. Basal) yaitu dengan skor 5. Pemecahan telur itik pada hari ke
14, indeks warna tertinggi adalah pemberian kepala udang 3% (R3) dan pemberian
kepala udang 9% (R5) dengan skor 10, dikuti oleh R4 dengan skor 9, R2 dengan
skor 8, R1 dengan skor 7 dan R0 dengan skor 6. Peningkatan warna kuning
terhadap kuning telur disebabkan oleh adanya pigmen karotenoid yang dikandung
kaliandra atau pun kepala udang.
Pigmen karotenoid akan merefleksikan warna kuning, orange, atau merah (Anonim
Rahardjo (1985) mengatakan bahwa pemberian cangkang udang sampai 30
% dalam pakan dapat menyebabkan warna kuning telur menjadi merah, karena
cangkang udang mengandung pigmen astaxanthine. Astaxanthine adalah pigmen
yang sering ditemukan pada hewan (Simpson dan Chichester 1980).
R0 hari 7 R1 hari 7 R2 hari 7 Skor 5 Skor 7 Skor 7
Skor 8 Skor 6 Skor 10
Gambar 2 Indeks warna kuning telur dengan pemberian pakan R0 (Ransum basal), R1 (3% kaliandra), R2 (6% kaliandra), R3 (3% kepala udang), R4 (6% kepala udang) dan R5 (9% kepala udang) pada hari ke-7.
Laksmiwati (1997) dalam penelitiannya bahwa pemberian kaliandra 15 %
dalam ransum meingkatkan skor warna kuning telur menjadi 12 karena pada
kaliandra mengandung pigmen xanthophyll yang dapat memberi warna kuning pada
kuning telur. Ini ditunjang oleh pernyataan Anggorodi (1985) yang menyatakan
bahwa adanya xanthophyll dalam pakan unggas dapat meningkatkan warna kuning
telur.
Pengaruh perlakuan juga dipertegas oleh penampakan warna kuning telur
asin rebus (Gambar 3).
[image:46.611.127.487.153.398.2]Gambar 3 Indeks warna kuning telur asin rebus dengan pemberian pakan R0 (Ransum basal), R1 (3% kaliandra), R2 (6% kaliandra), R3 (3% kepala udang), R4 (6% kepala udang) dan R5 (9% kepala udang).
Dari pengamatan secara visual terhadap telur asin rebus yang diberi
perlakuan kaliandra dan kepala udang, terlihat bahwa warna kuning telur asin rebus
pada hari ke-15 kelihatan lebih masir dibanding telur asin rebus pada hari ke-8. Hal
ini diduga telur asin rebus pada hari ke-15 sudah memiliki warna kuning telur yang
lebih bagus dari warna telur asin rebus hari ke-8, sehingga dengan adanya NaCl dan
lemak yang ada pada kuning telur menyebabkan tampilan warna kuning telur yang
lebih masir. Tingkat kemasiran kuning telur sangat dipengaruhi oleh kadar lemak
dan kadar NaCl yang terdapat pada kuning telur. Senyawa organik pemberi warna
pada kuning telur (pigmen karotenoid) terdiri dari atom-atom dan ikatan-ikatan yang
kaya elektron. Atom dan elektron tersebut bisa berinteraksi dan dipengaruhi oleh ion
Na+ dan ion Cl-, sehingga interaksi mereka dapat menyebabkan perubahan intensitas
penyebab warna kuning telur. Penyebab masirnya kuning telur tersebut diperkuat
dengan pendapat Muchtadi (1990) dalam Wulandari (2002) mengatakan bahwa
LDL adalah suatu emulsifier, yang dapat dipecahkan dengan berbagai cara yaitu : a)
pemanasan b) penambahan elektrolit c) pengadukan mekanis dan d) sentrifugasi
dengan kecepatan tinggi. Ikatan yang terdapat pada LDL adalah ikatan kovalen,
ikatan ion, ikatan hidrofobik dan ikatan vanderwalls. Masing-masing ikatan tersebut
dapat dirusak oleh adanya NaCl dan panas. Penambahan elektrolit seperti NaCl dan
[image:47.611.130.504.78.288.2]fase, yaitu fase polar (protein) dan fase non polar (lipid), akibatnya sifat minyak dari
fase non polar (lipid) muncul kepermukaan. Besaran minyak yang keluar adalah
salah satu kriteria mutu telur asin yang berhubungan dengan tingkat kemasiran dari
kuning telur. Semakin banyak minyak yang keluar kemasiran kuning telur semakin
tinggi (Wulandari 2002). Berdasarkan hasil indeks warna kuning telur yang
didapatkan dari penelitian pendahuluan maka diterapkan dosis kombinasi antara
kaliandra dan kepala udang dalam penelitian lanjutan yaitu dosis kaliandra 6% dan
kepala udang 3% untuk R1 serta dosis kaliandra 6% dan kepala udang 6% untuk R2.
2. Penelitian Lanjutan
Kandungan Gizi Pakan Perlakuan
Komposisi zat-zat makanan penyusun ransum percobaan berdasarkan analisis
proksimat dan kandungan zat-zat makanan yang digunakan dalam ransum perlakuan
selama penelitian berdasarkan bahan kering dapat dilihat pada Tabel 7 dan Tabel 8.
Tabel 7 Komposisi zat-zat makanan yang terkandung dalam bahan makanan penyusun ransum*
Bahan Makanan
Protein Kasar
(%)
Lemak (%)
Serat Kasar (%)
Ca (%)
P (%)
Energi Bruto (kal/gram) Kaliandra 20.38 1.37 26.59 0.98 0.29 3565 Kepala udang 38.84 7.60 19.18 8.39 1.48 3991 Ransum basal 19.44 2.63 4.79 3.88 0.92 3842
Tabel 8 Kandungan zat-zat makanan yang digunakan dalam ransum perlakuan selama penelitian berdasarkan bahan kering
Zat-zat makanan Pe