Penulis dilahirkan di Bokondini Papua pada tanggal 23 Mei 1973 dari ayah Drs. S.D. Siburian dan ibu R. Simatupang. Penulis merupakan putri pertama dari tiga bersaudara.
Tahun 1991 penulis lulus dari SMA Negeri I Jayapura dan pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan S1 pada Universitas Cenderawasih pada Fakultas Pertanian Jurusan Kehutanan, lulus pada tahun 1996. Pada tahun 2007, melanjutkan pendidikan S2 di Institut Pertanian Bogor, pada Fakultas Kehutanan mayor Silvikultur Tropika. Sejak tahun 2003 sampai sekarang penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Universitas Negeri Papua Manokwari.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ... xii DAFTAR GAMBAR ... xiii PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Masalah... 2 Tujuan Penelitian... 3 Manfaat Penelitian... 3 TINJAUAN PUSTAKA ... 4
Botani Tumbuhan Gaharu... 4 Karakteristik morfologi Gyrinops verstegii ... 5 Keragaman Genetik Tanaman Hutan ... 5 RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) ... 7 Mikrosatelit ... 10 METODE PENELITIAN ... .... 12 Tempat dan Waktu Penelitian ... 12 Bahan dan Alat Penelitian... 13 Prosedur Penelitian ... 14 Pengambilan Sampel ... 14 Ekstraksi DNA ... 14 Seleksi Primer ... 15 PCR (Polymerase Chain Reaction) ... 17 Analisis Data ... 17 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 20 Polimorfisme RAPD dan Mikrosatelit... 20 Keragaman Genetik Gyrinops verstegii berdasarkan RAPD ... 22 Keragaman dalam Populasi ... 22 Keragaman Antar Populasi ... 24
Sumber Keragaman genetik Gyrinops verstegii berdasarkan Mikrosatelit 26 Implikasi Genetik terhadap Sistim Silvikultur ... 27 SIMPULAN DAN SARAN ... 28 DAFTAR PUSTAKA ... 29
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Pohon Penghasil Gaharu di Indonesia ... 4 2. Penanda Molekuler yang telah digunakan pada tanaman kehutanan... 7 3. Keadaan umum lokasi tempat tumbuh Gyrinops verstegii asal Papua ... 13 4. Primer Golongan OPO dan OPY dalam Metode RAPD ... 16 5. Daftar Primer Mikrosatelit yang digunakan dalam penelitian ... 16 6. Tahapan dalam Proses PCR ... 17 7. Variabilitas genetik dalam populasi Gyrinops verstegii... 25 8. Jarak Genetik Gyrinops verstegii Manokwari dan Kebar ... 24 9. Hasil Perhitungan AMOVA ... 28
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Bentuk bunga dan buah Gyrinops verstegii... 6 2. Tahapan-tahapan pada proses PCR (Polymerase Chain Reaction)... 11 3. Peta lokasi pengambilan sampel di daerah Manokwari dan Kebar ... 12 4. Anakan dan Induk tanaman Gyrinops verstegii ... 13 5. Cara penilaian pita dengan sistim scoring ... 18 6. Profil pita DNA dengan primer OPO 09, OPO 10, OPY 13, OPY 9 dan
OPO 14 ... 20 7. Profil hasil elektroforesis untuk primer 6 PA 18 F dan 6PA 18 R-FAM (a)
dan 14 PA 17 F dan 14 PA 17 R ... 21 8. Dendogram Jarak Genetik Antar Populasi Gyrinops verstegii berdasar
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Gaharu merupakan hasil dari pohon-pohon terinfeksi yang tumbuh didaerah tropis dan berasal dari marga Aquilaria, Gyrinops dan Gonystilus yang keseluruhannya termasuk dalam famili Thymeleaceae. Marga Aquilaria terdiri dari 15 species, tersebar mulai dari India, Pakistan, Myanmar, Thailand, Kamboja, Cina Selatan, Malaysia, Filipina dan Indonesia. Enam diantaranya ditemukan di Indonesia (A. malaccensis, A. microcarpa, A. hirta, A. becariana, A. cumingiana dan A. filaria). Keenam jenis tersebut terdapat hampir di seluruh kepulauan Indonesia, kecuali Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Marga Gonystilus memiliki 20 spesies, tersebar di Asia Tenggara mulai dari Malaysia, Peninsula, Serawak, Sabah, Indonesia, Papua New Guinea, Philipina dan kepulauan Salomon serta Kepulauan Nicobar. Sembilan spesies diantaranya terdapat di Indonesia yaitu di Sumatera, Kalimantan, Bali, Maluku dan Papua. Marga Gyrinops memiliki tujuh spesies, enam diantaranya tersebar di Indonesia bagian Timur (Annonimous 2009)
Tanaman penghasil gaharu yang telah diidentifikasi dan banyak terdapat di Papua adalah jenis Aquilaria filarial, Aquilaria secundana, Aquilaria tomentosa, Aetoxylon sympethalum, Enkleia malacensis, Wikstroemia poliantha, Wikstroemia androsaemofilia, Girynops cumingiana, Girynops salicifolia, Girynops audate dan Girynops podocarpus (Sumarna 2005). Jenis Girynops verstegii menurut Sumarna lebih banyak penyebarannya pada daerah provinsi NTT dan NTB, sedang daerah Papua diketahui tidak termasuk daerah penyebaran jenis ini. Namun menurut hasil survey Waroy (2006), jenis Gyrinops verstegii dapat dijumpai pada sekitar daerah kepala burung Papua.
Girynops verstegii yang dijumpai pada daerah ini memiliki morfologi daun yang agak berbeda, terutama pada daerah dengan letak topografi yang berbeda. Keragaman ini menurut Soerianegara dan Djamhuri (1979), disebabkan adanya keragaman geografis (antar provenansi), keragaman lokal (keragaman antar tempat tumbuh, antar tapak), keragaman antar pohon, dan keragaman di dalam pohon.
Informasi keragaman genetik, berupa tingkat dan distribusi keragaman yang ada pada suatu jenis sangat penting untuk diketahui berkaitan dengan penyusunan strategi pemuliaan (breeding) dan juga konservasinya. Keragaman genetik yang ada merupakan
sumber daya yang dapat memberikan peluang untuk dilakukannya rekombinasi, evaluasi dan seleksi. Informasi keragaman genetik dapat diperoleh dengan melakukan kegiatan inventarisasi genetik, baik melalui pengujian lapangan (field trial) ataupun analisis dengan bantuan penanda genetik.
Penelitian tentang keragaman genetik Gyrinops verstegii perlu dilakukan untuk memperoleh informasi keragaman genetik tanaman ini baik di dalam maupun antar populasi. Penelitian terdahulu mengenai beberapa jenis tanaman penghasil gaharu telah dilakukan, namun penelitian mengenai keragaman genetik species Gyrinops verstegii belum pernah dilakukan.
Analisis Permasalahan
Tanaman Gyrinops verstegii yang berasal dari daerah kepala burung di Papua memiliki bentuk daun yang berbeda. Daun yang berasal dari daerah Kebar (dataran tinggi) memiliki bentuk agak oval dan tebal, sedangkan daun yang berasal dari Asai Manokwari (daerah dataran rendah) memiliki bentuk lonjong serta bergelombang dan lebih tipis dibandingkan daun dari daerah Kebar. Berdasarkan hal tersebut pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini adalah; i). Apakah perbedaan bentuk morfologi daun dan kondisi tempat tumbuh dari kedua populasi akan mempengaruhi keragaman genetik, sekalipun berasal dari spesies tanaman yang sama? dan ii) Sejauh mana perbedaan genetik antara populasi tanaman dewasa dengan anakannya pada daerah yang sama.
Penelitian dengan menggunakan penanda molekuler DNA terhadap tanaman penghasil gaharu telah dilakukan oleh Azwin (2007) yang melakukan pengamatan terhadap jenis Aquilaria malaciensis Lamk, dimana dari 10 primer yang diuji, hanya 2 primer yang dapat mengamplifikasi DNA dengan jumlah masing-masing lokus 19 dan 17. Selain itu, Eurlings dan Gravendeel (2006) juga melakukan pengujian keefektifan primer-primer mikrosatelit terhadap jenis A. crassna, A.malaccensis, A.rugosa dan Gyrinops ledermanii dimana ada beberapa primer mikrosatelit yang diuji dapat mengidentifikasi genotipe-genotip spesifik dari keempat jenis tersebut. Namun untuk pengamatan keragaman genetik jenis Gyrinops verstegii, belum pernah dilakukan.
Sebagai langkah awal untuk mempelajari keragaman genetik tanaman Gyrinops verstegii maka perlu dilakukan seleksi awal terhadap primer-primer yang polimorfisme. Metode ekstraksi DNA serta analisis genetik terhadap beberapa jenis tanaman hutan tropis seperti Tectona grandis, Shorea leprosula, Casuarina equisetifolia, Paraserianthes falcataria, Araucaria cunninghamii, Eusideroxylon zwageri, Pinus densiflora, dan Chamaecyparis formonsensis, telah banyak dilakukan, dan informasi mengenai kesesuaian primer yang digunakan dalam pengujian keragaman genetik ini perlu dilakukan terlebih dahulu, sebelum melakukan pengujian terhadap keragaman genetik baik dalam populasi maupun antar populasi.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman genetik tanaman Gyrinops verstegii yang berasal dari dua tempat tumbuh dengan ketinggian yang berbeda di Papua, dengan menggunakan penanda DNA RAPD dan Mikrosatelit.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi genetik dalam menunjang program pemuliaan dan konservasi sumberdaya genetik tanaman hutan yang berkesinambungan serta memberikan pertimbangan ilmiah dalam penentuan sistim silvikultur yang sesuai.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Gaharu merupakan hasil dari pohon-pohon terinfeksi yang tumbuh didaerah tropis dan berasal dari marga Aquilaria, Gyrinops dan Gonystilus yang keseluruhannya termasuk dalam famili Thymeleaceae. Marga Aquilaria terdiri dari 15 species, tersebar mulai dari India, Pakistan, Myanmar, Thailand, Kamboja, Cina Selatan, Malaysia, Filipina dan Indonesia. Enam diantaranya ditemukan di Indonesia (A. malaccensis, A. microcarpa, A. hirta, A. becariana, A. cumingiana dan A. filaria). Keenam jenis tersebut terdapat hampir di seluruh kepulauan Indonesia, kecuali Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Marga Gonystilus memiliki 20 spesies, tersebar di Asia Tenggara mulai dari Malaysia, Peninsula, Serawak, Sabah, Indonesia, Papua New Guinea, Philipina dan kepulauan Salomon serta Kepulauan Nicobar. Sembilan spesies diantaranya terdapat di Indonesia yaitu di Sumatera, Kalimantan, Bali, Maluku dan Papua. Marga Gyrinops memiliki tujuh spesies, enam diantaranya tersebar di Indonesia bagian Timur (Annonimous 2009)
Tanaman penghasil gaharu yang telah diidentifikasi dan banyak terdapat di Papua adalah jenis Aquilaria filarial, Aquilaria secundana, Aquilaria tomentosa, Aetoxylon sympethalum, Enkleia malacensis, Wikstroemia poliantha, Wikstroemia androsaemofilia, Girynops cumingiana, Girynops salicifolia, Girynops audate dan Girynops podocarpus (Sumarna 2005). Jenis Girynops verstegii menurut Sumarna lebih banyak penyebarannya pada daerah provinsi NTT dan NTB, sedang daerah Papua diketahui tidak termasuk daerah penyebaran jenis ini. Namun menurut hasil survey Waroy (2006), jenis Gyrinops verstegii dapat dijumpai pada sekitar daerah kepala burung Papua.
Girynops verstegii yang dijumpai pada daerah ini memiliki morfologi daun yang agak berbeda, terutama pada daerah dengan letak topografi yang berbeda. Keragaman ini menurut Soerianegara dan Djamhuri (1979), disebabkan adanya keragaman geografis (antar provenansi), keragaman lokal (keragaman antar tempat tumbuh, antar tapak), keragaman antar pohon, dan keragaman di dalam pohon.
Informasi keragaman genetik, berupa tingkat dan distribusi keragaman yang ada pada suatu jenis sangat penting untuk diketahui berkaitan dengan penyusunan strategi pemuliaan (breeding) dan juga konservasinya. Keragaman genetik yang ada merupakan
sumber daya yang dapat memberikan peluang untuk dilakukannya rekombinasi, evaluasi dan seleksi. Informasi keragaman genetik dapat diperoleh dengan melakukan kegiatan inventarisasi genetik, baik melalui pengujian lapangan (field trial) ataupun analisis dengan bantuan penanda genetik.
Penelitian tentang keragaman genetik Gyrinops verstegii perlu dilakukan untuk memperoleh informasi keragaman genetik tanaman ini baik di dalam maupun antar populasi. Penelitian terdahulu mengenai beberapa jenis tanaman penghasil gaharu telah dilakukan, namun penelitian mengenai keragaman genetik species Gyrinops verstegii belum pernah dilakukan.
Analisis Permasalahan
Tanaman Gyrinops verstegii yang berasal dari daerah kepala burung di Papua memiliki bentuk daun yang berbeda. Daun yang berasal dari daerah Kebar (dataran tinggi) memiliki bentuk agak oval dan tebal, sedangkan daun yang berasal dari Asai Manokwari (daerah dataran rendah) memiliki bentuk lonjong serta bergelombang dan lebih tipis dibandingkan daun dari daerah Kebar. Berdasarkan hal tersebut pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini adalah; i). Apakah perbedaan bentuk morfologi daun dan kondisi tempat tumbuh dari kedua populasi akan mempengaruhi keragaman genetik, sekalipun berasal dari spesies tanaman yang sama? dan ii) Sejauh mana perbedaan genetik antara populasi tanaman dewasa dengan anakannya pada daerah yang sama.
Penelitian dengan menggunakan penanda molekuler DNA terhadap tanaman penghasil gaharu telah dilakukan oleh Azwin (2007) yang melakukan pengamatan terhadap jenis Aquilaria malaciensis Lamk, dimana dari 10 primer yang diuji, hanya 2 primer yang dapat mengamplifikasi DNA dengan jumlah masing-masing lokus 19 dan 17. Selain itu, Eurlings dan Gravendeel (2006) juga melakukan pengujian keefektifan primer-primer mikrosatelit terhadap jenis A. crassna, A.malaccensis, A.rugosa dan Gyrinops ledermanii dimana ada beberapa primer mikrosatelit yang diuji dapat mengidentifikasi genotipe-genotip spesifik dari keempat jenis tersebut. Namun untuk pengamatan keragaman genetik jenis Gyrinops verstegii, belum pernah dilakukan.
Sebagai langkah awal untuk mempelajari keragaman genetik tanaman Gyrinops verstegii maka perlu dilakukan seleksi awal terhadap primer-primer yang polimorfisme. Metode ekstraksi DNA serta analisis genetik terhadap beberapa jenis tanaman hutan tropis seperti Tectona grandis, Shorea leprosula, Casuarina equisetifolia, Paraserianthes falcataria, Araucaria cunninghamii, Eusideroxylon zwageri, Pinus densiflora, dan Chamaecyparis formonsensis, telah banyak dilakukan, dan informasi mengenai kesesuaian primer yang digunakan dalam pengujian keragaman genetik ini perlu dilakukan terlebih dahulu, sebelum melakukan pengujian terhadap keragaman genetik baik dalam populasi maupun antar populasi.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman genetik tanaman Gyrinops verstegii yang berasal dari dua tempat tumbuh dengan ketinggian yang berbeda di Papua, dengan menggunakan penanda DNA RAPD dan Mikrosatelit.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi genetik dalam menunjang program pemuliaan dan konservasi sumberdaya genetik tanaman hutan yang berkesinambungan serta memberikan pertimbangan ilmiah dalam penentuan sistim silvikultur yang sesuai.
TINJAUAN PUSTAKA Botani Tumbuhan Gaharu
Secara botanis, pohon penghasil gaharu tergolong tumbuhan tinggi dari divisio : spermatophyta, klas : Dicotyledoeneae, serta memiliki 3 famili yaitu : Thymeleaceae, Euporbiaceae,dan Leguminoceae dan berasal dari genus : Aquilaria, Aetoxylon, Enkleia, Gonystylus, Wikstroemia, Girynops, Dalbergia, dan Exxocaria (Sumarna 2005). Data sementara pohon penghasil gaharu dalam Sumarna (2005) dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Pohon penghasil gaharu di Indonesia
No Nama Botanis Famili Daerah Penyebaran
1. Aquilaria malaccensis Thymeleaceae Sumatera, Kalimantan
2. A. hirta Thymeleaceae Sumatera, Kalimantan
3. A. filaria Thymeleaceae Nusa Tenggara, Maluku, Irian Jaya
4. A. microcarpa Thymeleaceae Sumatera, Kalimantan
5. A. agalloccha Roxb Thymeleaceae Sumatera, Jawa, Kalimantan
6. A. beccariana Thymeleaceae Sumatera, Kalimantan
7. A. secundana Thymeleaceae Maluku, Irian Jaya
8. A. moszkowskii Thymeleaceae Sumatera
9. A. tomentosa Thymeleaceae Irian jaya
10. Aetoxylon sympethalum Thymeleaceae Kalimantan, Irian jaya, Maluku
11. Enkleia malacensis Thymeleaceae Irian Jaya, Maluku
12. Wikstroemia poliantha Thymeleaceae Nusa Tenggara, Irian Jaya
13. W. tenuriamis Thymeleaceae Sumatera, Bangka, Kalimantan
14. W. androsaemofilia Thymeleaceae Kalimantan, NTT, Irian Jaya, Sulawesi
15. Gonystylus bancanus Thymeleaceae Bangka, Sumatera, Kalimantan
16. G. macrophyllus Thymeleaceae Kalimantan, Sumatera
17. Girynops cumingiana Thymeleaceae Nusa Tenggara, Irian Jaya
18. G. rosbergii Thymeleaceae Nusa Tenggara
19. G. verstegii Thymeleaceae NTT, NTB
20. G. moluccana Thymeleaceae Maluku, Halmahera
21. G. decipiens Thymeleaceae Sulawesi Tengah
22. G. ledermanii Thymeleaceae Sulawesi Tengah
23. G. salicifolia Thymeleaceae Irian Jaya
24. G. audate Thymeleaceae Irian Jaya
25. G. podocarpus Thymeleaceae Irian Jaya
26. Dalbergia falviflora Leguminoceae Sumatera, Kalimantan
27. Exocaria agaloccha Euphoporbiaceae Jawa, Kalimantan, Sumatera
Di beberapa daerah di Indonesia gaharu dikenal dengan nama yang berbeda-beda seperti layak, pohon pelanduk, kayu linggu, menameng, dan terentak. Dalam perdagangan dunia, gaharu ini dikenal dengan nama agarwood, aloewood dan eaglewood (Sumarna 2002).
Karakteristik Morfologis Gyrinops verstegii
Bentuk batang Gyrinops verstegii adalah silindris, tidak berbanir, dan tekstur kulit bagian luar agak kasar serta tidak bergetah. Warna kulit batang adalah coklat keputih- putihan dan bagian dalam batang berwarna putih. Menurut Moega et al. (2001), tinggi pohon Gyrinops verstegii dapat mencapai 25 m, dengan diameter 40 cm. Daun elips memanjang, urat daun lateral sejajar, berukuran 10- 20 cm, lebar 2 – 3 cm, dan berwarna hijau licin. Pembungaan terminal mendukung 6-8 bunga. Bunga berupa tabung berukuran 3,5 mm, warna putih kehijauan, benangsari berjumlah 5. Buah bulat telur berukuran 1 cm. Morfologi dan warna daun Gyrinops verstegii dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Bentuk bunga dan buah Gyrinops verstegii.
Keragaman Genetik Tanaman Hutan
Jenis-jenis pohon memperlihatkan keragaman dalam sifat-sifatnya. Dalam suatu jenis pohon dapat dijumpai beberapa keragaman yaitu keragaman geografis (antar provenansi), keragaman lokal (antar tempat tumbuh, antar tapak), keragaman antar pohon dan keragaman di dalam pohon. Ada dua sebab utama yang menimbulkan keragaman, yaitu perbedaan lingkungan dan perbedaan struktur genetik. Keragaman yang disebabkan oleh perbedaan keadaan tempat tumbuh, sifat-sifat tanah, dan jarak tanam adalah keragaman yang disebabkan lingkungan (environmental variation). Ada pula keragaman yang tidak dapat diterangkan dengan perbedaan tempat tumbuh, misalnya perbedaan bentuk batang, tebal cabang, dan berat jenis kayu dari pohon-pohon dalam suatu tegakan.
Dalam hal ini keragaman banyak dipengaruhi oleh perbedaan genetik yang diturunkan dari tetua kepada keturunannya, dan disebut keragaman genetik (genetic variation) (Soerianegara dan Djamhuri 1979).
Keragaman genetik dari suatu keturunan merupakan hasil dari perkembangbiakan secara seksual. Perkembangbiakan secara seksual terjadi dengan adanya sel reproduktif (gamet) jantan dan betina yang bersatu melalui proses perkawinan, sel reproduktif yang bersatu mengalami proses meiosis dimana terjadi proses reduksi jumlah kromosom dari diploid (2n) dalam sel tetua menjadi haploid (n) dalam gamet mengikuti hukum segregasi secara bebas (Hukum Mendel I). Selanjutnya pada saat perkawinan terjadi rekombinasi gamet secara acak menurut Hukum Mendel II. Selain itu pada saat meiosis, kromosom homolog juga akan mengalami pindah silang dan kadang-kadang terjadi perubahan susunan genetik karena mutasi yang akan menambah keragaman dari keturunan (Crowder 1986).
Seiring dengan perkembangan bioteknologi molekuler, penemuan metode-metode penanda genetik telah mempercepat pendugaan keragaman genetik tanaman. Penanda genetik molekuler dapat menilai keragaman genetik tanpa dipengaruhi lingkungan bahkan umur tanaman. Penanda molekuler yang telah digunakan dalam penelitian keragaman suatu populasi tanaman hutan adalah isoenzim, restriction fragment length polymorphism (RFLP), simple sequence repeat (SSR), amplified fragment lenght polymorphism (AFLP), dan random amplified polymorphic DNA (RAPD) dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya (Tabel 2).
Tabel 2 Penanda Molekuler yang telah digunakan pada tanaman kehutanan
Nama Penanda Metode Keunggulan Kelemahan
Kodominan
Isoenzim Elektroforesis gel, Murah,mudah digunakan Memerlukan jaringan pewarnaan histokimia sistim enzim yang terdo- segar dan tertentu enzim dan protein selular kumentasi baik dapat (misal; tunas dan menghasilkan pengukuran kecambahan) frekwensi alel yang tegas
PCR-RLFP Lokus organel atau inti Membutuhkan sampel DNA Pengembangan primer (Restriction fragment spesifik diamplikasi dalam jumlah kecil. Primer mahal dan sulit length polymorphism) menggunakan primer pcr universal untuk lokus spe- gen multilokus atau yang dirancang khusus sifik telah tersedia banyak pseudogen kemungki- produk dipotong dengan nan diperbanyak dalam
Nama Penanda Metode Keunggulan Kelemahan
sualisasi langsung dengan kinkan kesalahan iden- elektroforesis gel. titas dan frekwensi alel
SSR (Simple sequence Primer PCR untuk me- Alel lokus tunggal yang Lokasi bermikrosatelit repeats) ngamplifikasi motif- tegas dapat dinilai berbeda antar taxa, motif berulang yang sehingga diperlukan hipervariabel dalam pengembangan yang genom inti atau organel mahal dan sulit untuk setiap jenis baru. Dominan
RAPD (Random Primer sequen pendek Analisis secara acak Lokasi genomik tidak Amplified Polymorphic digunakan untuk dapat diketahui tanpa DNA) mengamplifikasi lokus persilangan yang acak pada seluruh dikontrol genom dengan PCR
AFLP (Amplified DNA genomik total lebih reproduksibel Lebih mahal dibanding Fragment lenght dipotong dengan 2 dibanding RAPD RAPD label radioaktif Polymorphism) enzim restriksi dengan skoring otomatis tersedia mungkin diperlukan Selektif dengan meng-
Gunakan primer
RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA)
Pertama kali teknik RAPD dilakukan oleh Williams et al. (1990) diacu dalam Septimayani (2002), berhasil mengamplifikasi DNA yang bersifat polimorfik dengan menggunakan primer acak serta bantuan enzim Taq DNA polymerase. RAPD banyak digunakan karena mempunyai beberapa keuntungan. Selanjutnya Williams et al. (1990) mengungkapkan bahwa metode RAPD lebih sederhana, cepat, DNA yang diperlukan sedikit, tidak perlu terlalu murni, dan tidak menggunakan satu primer.
Disamping kelebihan tersebut teknik ini juga memiliki kelemahan yakni dapat memberikan hasil yang berbeda-beda apabila diulang, sehingga dianggap kurang handal (reliable), khususnya bagi keperluan diagnostik yang disebabkan oleh rendahnya akurasi pengulangan hasil amplifikasi. Selain itu Ellsworth et al. (1993) mengungkapkan bahwa RAPD sensitif terhadap perubahan kecil dalam reaksi yang dapat menggangu kemampuan reproduksi pola-pola pita, karena perbedaan eksperimen, alat PCR dan laboratorium.
Secara umum analisis RAPD terdiri dari empat tahap, yaitu (1) tahap ekstraksi DNA, (2) tahap pengujian kualitas dan kuantitas ekstraksi DNA, (3) tahap amplifikasi
DNA (RAPD), dan (4) tahap pengujian kualitas dan kuantitas hasil amplifikasi. Menurut Sambrook (1989), daun yang masih muda dengan berat 0,2 - 0,3 g cukup untuk menghasilkan DNA yang sesuai dengan kebutuhan selama analisis, sementara itu menurut Karsinah (1999) dari jaringan tanaman dewasa dan daun kering masih bisa didapatkan ekstrak DNAnya. Menurut Kimball (1992), sel berkembang dengan cara menggandakan diri dan memperbesar volume sel. Oleh karena itu, semakin muda suatu jaringan daun akan memberikan peluang yang lebih besar dalam menghasilkan DNA dalam jumlah yang lebih besar daripada daun yang sudah lebih tua umurnya.
Ekstraksi DNA pada prinsipnya adalah suatu proses pengisolasian DNA dengan cara fisik (penggerusan) dibantu oleh senyawa-senyawa kimia dengan metode tertentu sehingga didapat DNA yang terpisah dari kontaminan. Keberhasilan pengekstrakan DNA dapat diketahui dengan pengujian kuantitas dan kualitas DNA. Uji kuantitas dan kualitas DNA dilakukan dengan proses elektroforesis dengan menggunakan gel agarose. Untuk melihat DNA hasil ekstraksi digunakan alat UV transilluminator.
Proses amplifikasi DNA dengan metode (RAPD), pada intinya adalah proses perbanyakan DNA secara enzimatis. Pada tahap ini terdapat tiga proses, yaitu (1) proses denaturasi DNA pada suhu 950 C, (2) proses penempelan DNA (annealing) dan (3) proses ekstensi.
DNA adalah materi genetik yang terdiri atas dua utas ganda yang berpilin (Watson et al. 1987). Menurut Jusuf (1991), pada suhu tinggi pita ganda tersebut berpisah menjadi dua utas tunggal. Apabila pita ganda DNA telah terpisah, maka pada tahap kedua terjadi penempelan primer pada kedua ujung DNA sebagai titik awal pembacaan dan perbanyakan basa-basa DNA. Selanjutnya dilakukan proses pemanjangan dan pembentukan utas DNA yang baru (ekstensi).
Enzim Taq polimerase digunakan dengan teknik hot-start. Hal ini untuk mencegah terjadinya penempelan primer pada temperatur rendah. Penempelan primer yang terjadi pada temperatur rendah akan menghasilkan hasil amplifikasi dengan spesifisitas rendah. Spesifisitas yang rendah juga akan menurunkan sensitifitas karena adanya kompetisi antara produk spesifik dan non-spesifik. Jika konsentrasi primer terlalu tinggi dapat mengakibatkan mis-priming yang mengakibatkan meningkatnya jumlah
produk non spesifik. Jika konsentrasi primer terlalu rendah, hasil dari produk PCR akan rendah (Abdullah dan Retnoningrum 2003).
Tahap terakhir dari RAPD adalah elektroforesis hasil amplifikasi. Pada tahap ini terjadi pemisahan pita-pita DNA berdasarkan perbedaan berat molekulnya. Pita DNA yang mempunyai berat molekul lebih ringan akan berjalan lebih cepat. Keragaman antar populasi dapat dilihat dengan melihat perbedaan pola pita (polymorfisme) DNA antar populasi.
Teknik ini dapat tercipta dengan adanya penemuan Taq polymerase tersebut. DNA polymerase berasal dari bakteri Thermus aquaticus yang ditemukan di daerah yang panas pada musim panas. DNA polymerase ini stabil pada suhu yang tinggi dalam proses amplifikasi, yaitu terjadi pada saat tahap denaturasi. Metode PCR ini memiliki tingkat kesensitifan yang tinggi dalam mengamplifikasi DNA walaupun dalam ukuran yang kecil.
Peran enzim ini bisa optimal apabila suhu sistem tepat dan primer telah bekerja