BAB II BIOGRAFI TOKOH
1. Riwayat Hidup KH Abdurrahman Wahid
Gus Dur bukan nama asing bagi nama bagi bangsa Indonesia. Sosok orang besar ini bukan cuma milik NU. Sikapnya yang demokratis dan humanis, melekatkan kesan yang mendalam pada sebagian besar masyarakat. Citra humanisme Gus Dur sanggup membawa citra politik yang positif, yang melampaui garis-garis sektarianisme yang harus diakui atau masih eksis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (Hadi, Tanpa Tahun:11).
KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dilahirkan di Desa Denanyar, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, di sebuah rumah milik kakek dari pihak ibunya, Kyai Bisri Syansuri. Rumah ini sendiri berada di dalam komplek Pondok Pesantren Mambaul Maarif, yang dihuni oleh ribuan santri dari berbagai penjuru tanah air (Mandan, 2010:20-21). Abdurrahman Wahid lahir pada hari ke-4 dan bulan ke-8 kalender Islam (Agustus) 1940. Terdapat kepercayaan bahwa ia lahir 4 Agustus, namun kalender yang digunakan untuk menandai hari kelahirannya adalah kalender Islam yang berarti ia lahir pada 4 Sya‟ban, sama dengan 7 September 1940 (Rifa‟i, 2016:26).
20
Ia lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil, dengan berat badan 3,5 kg atau lebih. Memilik rambut tebal, hidung sedang, dan kulit halus (Irawan, 2015:31). Kata “Addakhil” berarti “Sang Penakluk”. Hal ini dikarenakan Abdurrahman Wahid sebagai anak pertama diharapkan menjadi pewaris budaya keluarga Hasyim Asyari, menjadi penakluk seperti halnya Sultan Abdurrahman Addakhil (Abdurrahman I) yang pernah berkuasa selama 32 tahun para Dinasti Bani Umayyah, Spanyol.
Kata “Addakhil” yang tidak cukup dikenal pada akhirnya diganti menjadi
“Wahid”, dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. “Gus” adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anakkiai
yang berarti “abang” atau “mas” (Al-Madyuni, 2013:93).
Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Dus Dur lahir dalam keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas Muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya adalah KH. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, KH. Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan. Ayah Gus Dur, KH. Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang.
Gus Dur secara terbuka pernah menyatakan bahwa ia memiliki darah Tionghoa. Gus Dur mengaku bahwa ia adalah keturunan dari Tan Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah (Tan Eng Hwa), pendiri Kasultanan Demak. Tan A Lok dan Tan Eng
21
Hwa ini merupakan anak dari Putri Campa, putri Tiongkok yang merupakan selir Raden Brawijaya V. Tan Kim Han sendiri kemudian berdasarkan penelitian seorang peneliti Perancis, Louis-Charles Damais diidentifikasikan sebagai Syekh Abdul Qadir Al-Shini yang diketemukan makamnya di Trowulan (Hadi, Tanpa Tahun:13).
Selain itu silsilah Gus Dur dapat dirinci sebagai berikut, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu.
Dari pihak ayah dimulai dari Brawijaya ke VI (Lembu Peteng) – Djoko Tingkir (Karebet) – Pangeran Banawa – Pangeran Sambo – Ahmad – Abd. Jabar – Soichah – Lajjinah – Winih –Muhammad Hasyim Asy‟ari – Wahid Hasyim - Abdurrahman Wahid Addakhil (Gus Dur).
Dari pihak ibu dimulai dari Brawijaya VI (Lembu Peteng) – Djoko Tingkir (Karebet) – Pangeran Banawa – Pangeran Sambo – Ahmad – Abd. Jabar – Soichah – Fatimah – K. Hasbullah – Nyai Bisri Syansuri – Solichah – Abdurrahman Wahid Addakhil (Gus Dur).
Dari sini dapat melihat bagaimana Gus Dur dalam silsilahnya atau trahnya merupakan campuran darah biru, kalangan priyayi dan darah putih, kalangan kiai. Selain itu, trahnya Gus Dur adalah trahnya para pahlawan. Kakeknya, KH. Hasyim Asy‟ari, dari ayahnya, KH. Wahid Hasyim adalah salah satu dari berbagai tokoh NU yang menjadi tokoh pahlawan Nasional.
Melihat silsilah tersebut kiranya wajar kalau Gus Dur mewarisi bakat, mental, dan perjuangan orang-orang besar dan memang menjadi orang
22
besar, selain besar fisiknya, besar pemikirannya, besar perjuangannya, dan besar hatinya.
Memang masih banyak kalangan yang meragukan, terutama kalangan akademisi modernis, berkaitan dengan pola silsilah tersebut, berkaitan dengan bagaimana sumbernya masih oral yang perlu penulusuran lebih jauh. Namun, kalangan masyarakat Jawa abangan dan santri lebih mempercayainya. Hal ini dikaitkan pula bagaimana Gus Dur pernah mengaku kalau dirinya masih ada keturunan Cina dan leluhurnya (Rifa‟i, 2015:25-26).
Gus Dur kecil tumbuh seperti halnya anak-anak pada umumnya. Ia senang dengan segala sesuatu yang baru, suka bertanya, dan kadang suka kesal sendiri. Kalau meminta sesuatu, ia suka ngeyel dan memaksa.
Kalaupun ada perbedaan Gus Dur dengan anak-anak seumurannya, maka perbedaan itu adalah pendidikan dan pengajaran ayah, ibu, dan kakeknya. Solichah, sang ibu, sejak mengandung sudah terbiasa bertirakat dan berpuasa. Ia terbiasa menjalani laku mengurangi tidur dan mencegah hal-hal buruk yang dapat mengeruhkan batinnya. Ia terbiasa berpuasa untuk melatih kepasrahan, keikhlasan, dan kesabaran, demi menggapai ridha-Nya. Dari batin sang ibu, Gus Dur mulai tampak berbeda dengan anak kebanyakan. Badannya yang mulai sedikit gemuk justru berbanding terbalik dengan sedikitnya makan. Ia adalah bocah yang sepertinya lebih suka menahan lapar.
23
Akan halnya dengan sang ayah, Wahid Hasyim, kecintaannya pada buku dan ilmu pengetahuan rupanya sudah mulai menunjukkan tanda- tanda menurun pada putranya. Gus Dur diajarinya membaca, menulis, dan mencintai buku dan kitab. Dan melalui sentuhan lembut hati sang kakek, ia diperkenalkan dengan dasar-dasar agama (Irawan, 2015:39-40).
Sejak kecil Gus Dur dikenal dengan sebagai anak yang sangat aktif aktif dan cenderung nakal. Ia pernah diikat dengan tambang ke tiang bendera di halaman depan sekolah sebagai hukuman bagi leluconnya yang terlalu jauh atau sikapnya yang kurang sopan. Ketika belum genap dua belas tahun, ia pernah mengalami patang tulang lengan akibat kegemarannya memanjat pohon. Pertama-tama, lengannya patah karena dahan yang diinjaknya patah. Yang kedua, saat ia mengambil makanan di dapur, ia lalu memakannya di atas dahan sebuah pohon besar. Keenakan di atas pohon, ia tertidur dan kemudian menggelinding jatuh. Dalam ingatan Gus Dur, kala itu ia mengalamani patah tulang yang serius, hingga lengannya menonjol ke luar. Namun akhirnya dokter yang menanganinya dapat memperbaiki tulang tersebut. Tetapi pengalaman tersebut tak membuat Gus Dur menjadi anak yang pendiam. Ia tetap aktif dan bertindak sesuka hatinya (Mandan dkk, 2010:31-32).
Pada akhir tahun 1944, ketika Gus Dur baru berusia empat tahun, ia diajak ayahnya ke Jakarta. Wahid Hasyim memilih untuk meninggalkan keluarganya di Jombang, dan ia sendiri bersama putra tertuanya pergi menetap di Jakarta. Pada saat itu, Wahid Hasyim dan Gus Dur tinggal di
24
daerah Menteng, Jakarta Pusat, yang saat itu merupakan daerah yang diminati oleh pengusaha terkemuka, yang profesional, dan politikus.
Dengan berdiam di daerah Menteng, Wahid Hasyim dan putranya tertuanya ini berada di pusat kegiatan. Misalnya ketika mereka melaksanakan ibadah shalat di masjid Matraman yang letaknya tak begitu jauh, mereka secara teratur bertemu dengan pemimpin-pemimpin nasionalis, yaitu Mohammad Hatta. Menurut ingatan Gus Dur, saat itu ia sering membukakan pintu pada sekitar pukul delapan malam. Seorang laki-laki asing yang berpakaian petani berwarna hitam datang berkunjung untuk menemui ayahnya. Keduanya kemudian sering bercakap-cakap selama berjam-jam. Atas permintaan tamu itu, Gus Dur memanggilnya Paman Hussein. Baru beberapa tahun kemudian ia tahu bahwa orang itu adalah Tan Malaka, seorang pemimpin komunis yang terkanal. Walaupun Wahid Hasyim secara efektif memimpin organisasi Islam terbesar di negeri ini, namun ia juga menjalin hubungan baik dengan komponen- komponen masyarakat lainnya, termasuk Tan Malaka dan orang-orang komunis lainnya (Barton, 2016:37).
Pada akhir perang tahun 1949, keluarga Gus Dur pindah ke Jakarta karena ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama pertama. Dengan demikian suasana baru telah dimasukinya. Tamu-tamu,yang terdiri dari para tokoh dengan berbagai bidang profesi yang sebelumnya telah dijumpai di rumah kakeknya, terus berlanjut ketika ayahnya menjadi Menteri Agama. Hal ini memberikan pengalaman tersendiri bagi Gus
25
Dur. Karena secara tidak langsung, Gus Dur juga dapat berkenalan dengan dunia politik (Hamid, 2010:15-16).
Sejak kecil di Jakarta, Gus Dur terbiasa bergaul dan bercanda dengan sekelompok aktivis muda teman-teman ayahnya, yang suka berkumpul dikediamannya. Salah satunya adalah Munawird Sjadzali, yang kemudian hari menjadi Menteri Agama pada pemerintahan Soeharto. Sang ayah terkadang menyuruh Gus Dur untuk menyajikan minuman teh dan sekedar makanan kecil untuk sahabat-sahabatnya. Kadang Gus Dur iseng mengikat tali-tali sepatu teman-teman ayahnya yang jatuh tertidur.
Di Jakarta Wahid Hasyim memiliki teman yang banyak. Salah satunya adalah seorang Jerman yang sudah menjadi Islam bernama Williem Iskandar Bueller yang suka memutar lagu-lagu klasik Eropa di rumahnya. Gus Dur sering menghabiskan waktu sepulang sekolah di rumah Bueller ini, untuk menikmati lagu-lagu klasik. Di sinilah Gus Dur untuk pertama kalinya mendengar karya-karya Beethoven yang kemudian sangat ia sukai. Sebelumnya Gus Dur sudah menyenangi musik-musik Arab tradisional yang sering ia dengar di kampung kelahirannya, Jombang. Banyaknya buku dan majalah di rumah Wahid Hayim, membuat Gus Dur ikut suka membaca. Tradisi gemar membaca ini telah membuat Gus Dur memiliki wawasan yang luas, melampaui ukuran anak seusianya saat itu (Mandan dkk, 2010:33-34).
Selama bertahun-tahun tinggal di Jakarta ini, Gus Dur sering berada bersama ayahnya dan sering menemaninya pergi ke pertemuan-
26
pertemuan. Dengan demikian, ia dapat menyaksikan dunia ayahnya yang penuh dengan berbagai macam orang dan peristiwa. Ia juga dapat menyaksikan bagaimana ayahnya ini hidup dalam dunianya tersebut dengan cara yang sederhana dan gampangan. Wahid Hasyim selalu berusaha untuk sedapat mungkin mengajak putranya ini bersamanya. Ini semua karena sang ayah merasa senang ditemani oleh putranya, dan juga karena hal ini dianggapnya merupakan bagain penting dari pendidikan anak sulungnya ini (Barton, 2016:43-44).
Pada Sabtu 18 April 1953, Gus Dur bepergian menemani ayahnya untuk suatu pertemuan NU di Sumedang, Jawa Barat. Di dalam perjalanan menuju Bandung yang berliku-liku, Wahid Hasyim duduk di jok bagian belakang bersama sabahatnya, Argo Sutjipto. Sementara Gus Dur duduk di kursi depan bersama sopir. Mobil yang mereka tumpangi adalah jenis sedan Chevrolet. Ketika sampai di jalan antara Cimahi dan Bandung, suasana hujan membuat jalanan menjadi licin. Sopir saat itu mencoba mempercepat laju kendaraan agar tidak terlambat sampai di tujuan. Namun ketika melalui sebuah kelokan, sopir kehilangan kontrol atas laju kendaraan tersebut. Pada saat yang sama dari arah depan melaju sebuah truk. Pengemudi truk yang melihat bahwa sopir sedan yang ada di depannya kesulitan mengendalikan kendaraannya, lantas menepi dan menghentikan laju kendaraannya. Tetapi sedan yang dikendarai Gus Dur sulit dihentikan, ia malah memutar dan akhirnya menubruk truk yang sudah terhenti tersebut dengan sangat keras. Wahid Hasyim dan Argo
27
Sutjipto terlempar keluar dan mendarat di aspal yang cadas, sementara sopir dan Gus Dur yang duduk di bagian depan tidak terluka (Mandan dkk, 2010:35-36).
Kecelakaan itu terjadi sekitar pukul 01.00 siang, tetapi celakanya mobil ambulan dari Bandung baru tiba di tempat kejadian sekitar pukul 04.00 sore. Gus Dur duduk di tepi jalan menunggu ayahnya yang tak berdaya hingga ambulan datang. Akhirnya, mereka diangkut ke rumah sakit di Bandung. Gus Dur tidak tidur menunggui ayahnya. Malam itu, istri Whaid Hasyim itu tiba di rumah sakit dan menunggui suaminya bersama Gus Dur. Pada pukul 10.30 pagi keesokan harinya, Wahid Hasyim tak lagi dapat bertahan dan akhirnya meninggal dunia. beberapa jam kemudian Argo Sutjipto juga meninggal dunia. Wahid Hasyim, yang merupakan tokoh harapan banyak orang Indonesia, telah menghembuskan nafasnya yang terakhir. Ia meninggal dalam usia 38 tahun. Sementara Gus Dur baru berusia 12 tahun.
Anehnya, walaupun terguncang oleh kecelakaan maut itu, Gus Dur tetap berfikir tenang. Gus Dur ingat bahwa ketika ia duduk menunggui ayahnya yang tergolek tak sadarkan diri di tepi jalan, ia mendadak teringat akan pesan ayahnya bahwa terdapat sejumlah besra uang yang disimpan di bantalan kecil di tempat duduk bagian belakang. Ia pun mengambil bantalan itu dan memegangnya erat-erat. Ketika ia berada di rumah sakit, ia tetap tidak mau menyerahkan bantalan itu kepada orang lain. Banyak mengira bahwa Gus Dur muda memegangi bantalan itu erta-
28
erat karena rasa sedihnya yang dalam. Baru ketika sang ibu tiba ia menyerahkan bantalan itu kepadanya.
Ketika beranjak dewasa, Gus Dur baru tahu bahwa ayahnya adalah seorang tokoh yang populer dan berpengaruh. Namun sukar bagi seorang anak untuk benar-benar memahami hal ini. Barulah ketika ia membawa pulang jenazah ayahnya ke Jakarta ia baru tahu betapa besar rasa hormat dan cinta orang kepada ayahnya. Pada saat rombongan melewati jalan- jalan di Bandung dan kemudian ke jalan raya, Gus Dur tercekam melihat demikian banyaknya orang yang berbaris di tepi jalan untuk memberikan penghormatanterakhir kepada ayahnya, Wahid Hasyim. Di setiap kota dan desa, jalan-jalan dipenuhi oleh orang-orang yang berduka. Mereka menunggu dengan sabar di tengah terik matahari untuk dapat menyaksikan perjalanan terakhir seorang tokoh yang sangat mereka cintai.
Hal yang sama terjadi keesokan harinya ketika iring-iringan jenazah berangkat dari rumah duka di Matraman ke lapangan udara Halim. Masih jelas dalam ingatan Gus Dur betapa jalan-jalan di Jakarta dipadati oleh orang-orang yang ingin menyaksikan perjalanan terakhir ayahnya, Wahid Hasyim, ke Jawa Timur. Di Surabaya, demikian kenang Gus Dur, lebih banyak orang lagi berkerumun di jalan-jalan daripada di Jakarta. Demikian juga kerumunan orang terlihat di setiap desa kecil dan di setiap kediaman yang dilewati oleh iring-iringan jenazah sepanjang perjalanan menempuh jarak 80 km, ke Jombang.
29
Bagi seorang anak yang baru berusia dua belas tahun, kesabaran yang ditunjukkan oleh orang-orang ini ketika menunggu di tepi sepanjang jalan memperlihatkan dengan jelas besarnya cinta mereka terhadap ayahnya. Hampir setengah abad kemudian, Gus Dur menceritakan bagaimana ia sangat dipengaruhi oleh kesadaran bahwa orang sangat mencintai almarhum ayahnya itu. Diingatnya bagaimana ia berusaha memecahkan arti semuanya ini sambil berfikir: “Apa yang mungkin dapat dilakukan oleh seorang manusia sehingga rakyat sangat mencintainya? Apakah ada prestasi yang lebih baik daripada hal ini dalam hidup?” Kenangan yang pahit namun manis ini tetap tak terlupakan oleh Gus Dur (Barton, 2016:44-46).
Dalam urusan asmara, Gus Dur muda memiliki gaya yang berbeda dari remaja pada umumnya. Gus Dur muda dikenal sebagai pria pemalu. Ia lebih memilih buku dan bola sebagai teman daripada harus berpacaran (Hamid, 2010:17).
Hingga akhir tahun 1966, perjalanan studi Gus Dur di Kairo tidak menemukan jalan terang. Dan pada saat itu Gus Dur juga menjalin korespondensi dengan seorang gadis, mantan muridnya di Tambakberas, Nuriyah, yang sedikit dikenalnya beberapa saat sebelum ia meninggalkan tanah air. Nuriyah, yang konon merupakan „kembang pesantren‟ sehingga banyak pria yang meminatinya, pada awalnya tak merespon Gus Dur. Tetapi Gus Dur terus berusaha mendapatkan tempat di hati Nuriyah.
30
Meski terpisah oleh jarak yang jauh, Gus Dur mencoba mendekati Nuriyah melalui surat.
Pada suatu ketika, pada akhir tahun1966, di tengah kegalauan karena kegagalan studinya di Kairo, Gus Dur mengirimkan surat yang berisi kesedihan hati sekaligus kesungguhannya untuk meminang gadis pujaannya itu. Tetapi kenapa untuk kali itu Nuriyah memberikan jawaban yang tegas kepada Gus Dur melalui suratnya; “Mengapa orang harus gagal dalam segala hal? Anda boleh gagal dalam studi Anda, paling tidak
berhasil dalam kisah cinta.” Gus Dur tentu bersuka cinta mendapatkan
jawaban ini. Ia pun segera menulis surat kepada ibunya di Jombang untuk meminang Nuriyah (Mandan dkk, 2010:50-51).
Pernikah ini berlangsung pada tanggal 11 Juli 1968, Gus Dur melangsungkan pernikahan jarak jauh. Inilah kejadian heboh pertama dari Gus Dur untuk keluarga istrinya. Karena Gus Dur masih berada di Mesir, terpaksa pernikahan dilakukan tanpa menghadirkan mempelai pria (in absentia). Sehingga pihak keluarga meminta kakek Gus Dur dari garis ibu, KH. Bisri Syamsuri, yang berusia 68 tahun, untuk mewakili mempelai pria.
Pernikahan ini smepat membuat geger tamu yang menyaksikan acara ijab kabul. Namun kesalahpahaman itu hilang setelah pada 11 September 1971, pasangan Gus Dur- Nuriyah melangsungkan pesta pernikahan.
Pernikahan Gus Dur dengan Nuriyah dianugerahi emapat putri. Mereka adalah Alissa Qatrunnada Munawarah (Lissa), Zannuba Arifah
31
Chafsoh (Yenny), Anita Hayatunnufus (Anita), dan Inayah Wulandari (Inayah) (Hamid, 2010: 19-20).
Keluarga Gus Dur tampaknya tidak jauh dengan model keluarga lainnya. Konsepnya tentang suami istri misalnya pernah ia ungkapkan,
Menurut Tiara dalam buku Gus Dur Guru Bangsa Bapak Pluralisme (Hadi, Tanpa Tahun:21), Istri itu yang terbaik kalau „nggak‟ ikut
campur urusan suami. Dan suami yang baik adalah „nggak‟ mau tahu-
urusan istrinya. Yang penting menghormati hak masing-masing. Saya nggak pernah cerita-cerita. Zaman saya susah, pulang dari Mesir, saya kan mengajar di pondok Pesantren. Untuk tambah-tambah penghasilan istri saya tiap malam menggoreng kacang dan bikin es lilin, kadang-kadang sampai pukul 02.00 pagi. Esok harinya dijual di warung-warung. Dan dia tidak guncang. Sampai hari ini. Saya selalu ingat saat saya menderita dulu.
2. Riwayat Pendidikan KH. Abdurrahman Wahid