i
KONSEP PENDIDIKAN ISLAM INKLUSIF
PERSPEKTIF K.H. ABDURRAHMAN WAHID
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Oleh :
DIAN APRIANI
NIM. 111 13 252
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
vi
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
vii
PERSEMBAHAN Karya tulis ini, kupersembahkan untuk:
1. Ibunda Sri Mulyani (Alm), perempuan terhebat yang diamanahi untuk hadirkan aku dalam kehidupan ini.
2. Bpk. Sardi dan Ibu Rusmini, yang dipilih Allah untuk senantiasa merawat serta menjagaku.
3. Abah Ulin Nuha dan Ibu Nyai Charirah, yang tak pernah jenuh dan lelah dalam menyampaikan ilmu serta nasehatnya.
4. Abah Mahfudz Ridwan sekeluarga, yang senantiasa memberikan bimbingan dan doanya.
5. Seluruh Keluarga Besarku, yang telah memberikan dukungan serta senantiasa menumbuhkan semangat ku dalam menimba ilmu.
6. Keluarga Besar PP. Madrasatul Qur’an, Andong, Boyolali dan PP. Edi
Mancoro, Gedangan, Tuntang, yang selalu bersamaku dalam langkah-langkahku menggapai cita.
7. Sahabat-sahabat terkasihku dalam Keluarga Asma’ Room, Keluarga Besar Bidik Misi IAIN Salatiga, Keluarga Besar Wanita Karier, dan Keluarga Besar Mahasiswa Al Khidmah Salatiga, sungguh berada dalam sisi kalian adalah hal yang luar biasa.
viii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas
limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulullah SAW, keluarga,
sahabat dan para pengikut setianya.
Skripsi ini dibuat untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh
gelar kesarjanaan dalam Ilmu Tarbiyah di Institut Agama Islam Negeri Salatiga.
Dengan selesainya skripsi ini tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M. Pd., selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Bapak Suwardi, M.Pd., selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
(FTIK).
3. Ibu Siti Rukhayati, M.Ag., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam,
yang berkenan mengoreksi dan mengarahkan judul skripsi di tengah padatnya
tugas.
4. Bapak Drs. A. Sultoni, M.Pd., selaku dosen pembimbing akademik, beserta
bapak dan ibu dosen yang telah berkenan membimbing penulis selama masa
studi.
5. Bapak Dr. Miftahuddin, M.Ag., selaku dosen pembimbing yang telah
berkenan meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan
bimbingan, arahan serta ide cemerlangnya dalam penyelesaian skripsi ini.
6. Segenap guru dan kiaiku, yang insyaallah petuahnya adalah obat bagi setiap
jiwa yang gersang.
7. Segenap keluarga besar, dan sahabat-sahabat terbaik yang dikirim oleh Allah
untuk selalu mendampingiku. Jazakumullahu khair al-jaza‟.
Kepada mereka semua, penulis berharap semoga Allah SWT senantiasa
melimpahkan rahmat-Nya kepada mereka serta membalas semua amal baik yang
telah diberikan kepada penulis. Akhirnya, dari karya tulis ini penulis berharap
kemanfaatan bagi penulis khususnya dan para pembaca umumnya.
ix ABSTRAK
Apriani, Dian. 2017. Konsep Pendidikan Islam Inklusif Perspektif K.H Abdurrahman Wahid. Skripsi. Jurusan Pendidikan Agama Islam. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Dr. Miftahuddin, M. Ag.
Kata Kunci: Konsep, Pendidikan Islam, Inklusif, Abdurrahman Wahid
Penulisan skripsi ini merupakan sebuah upaya untuk mengupas lebih dalam tentang sosok pemikir Muslim modernis serta kontroversi, yakni KH. Abdurrahman Wahid. Tujuan penelitian dalam skripsi ini ada dua hal, yaitu: 1) Untuk mendiskripsikan konsep Pendidikan Islam Inklusif perspektif KH. Abdurrahman Wahid; 2) Untuk mendiskripsikan relevansi pemikiran KH. Abdurrahman Wahid tentang Pendidikan Islam Inklusif dengan pendidikan di era sekarang.Tujuan tersebut menjawab dari rumusan masalah dalam penelitian ini: 1) Bagaimana konsep Pendidikan Islam Inklusif menurut KH. Abdurrahman Wahid? 2) Bagaimana relevansi pemikiran KH. Abdurrahman Wahid tentang Pendidikan Islam Inklusif dengan pendidikan di era sekarang?
Jenis penelitian ini adalah Library Research, yaitu penelitian yang dilakukan dengan menggunakan sumber-sumber literatur perpustakaan. Adapun sumber data terbagi menjadi dua, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari buku atau karya-karya K.H Abdurrahman Wahid yang berkaitan dengan judul penelitian. Sedangkan data sekunder diambil dari literatur dan buku-buku yang bersangkutan dengan obyek pembahasan penulis. Sementara itu, metode pengumpulan data dalam karya tulis ini menggunakan metode dokumentasi dan wawancara.Adapun teknis analisis data menggunakan metode deduktif, induktif, dan historis.
x DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN BERLOGO ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... v
MOTTO ... vi
1. Riwayat Hidup KH Abdurrahman Wahid ... 19
2. Riwayat Pendidikan KH Abdurrahman Wahid ... 31
3. Karir Sang Guru Bangsa ... 43
4. Penghargaan ... 45
5. Karya-Karya KH Abdurrahman Wahid ... 47
B. Konteks Eksternal ... 49
xi
2. Aspek Sosial Budaya ... 51
3. Aspek Sosial Politik ... 53
C. Corak Pemikiran KH Abdurrahman Wahid ... 55
1. Pluralisme ... 56
2. Landasan Pendidikan Inklusif ... 82
3. Karakter dan Tujuan Pendidikan Inklusif ... 85
B. Pendidikan Islam ... 87
1. Pengertian Pendidikan Islam ... 87
2. Landasan Dasar Pendidikan Islam ... 90
3. Konsep dan Tujuan Pendidikan Islam ... 92
4. Unsur-Unsur Pendidikan Islam ... 94
C. Pendidikan Islam Inklusif ... 102
1. Pengertian Islam Inklusif ... 102
2. Pendidikan Islam sebagai Sistem Kebenaran Universal ... 104
3. Konsep Pendidikan Islam Berparadigma Inklusif ... 112
BAB IV PEMIKIRAN TOKOH A. Analisis Konsep Pendidikan Islam Inklusif Gus Dur ... 124
1. Inklusivitas Pemikiran Islam Gus Dur ... 125
a. Pribumisasi Ajaran Islam ... 125
b. Pluralisme ... 127
c. Humanisme ... 130
2. Konsep Pendidikan Islam Inklusif Gus Dur ... 133
xii BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 151
B. Saran ... 152
DAFTAR PUSTAKA
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Surat Tugas Pembimbing Skripsi
Lampiran 2 : Lembar Konsultasi
Lampiran 3 : Daftar Riwayat Hidup Peneliti
Lampiran 4 : Ringkasan Skripsi dalam Bentuk Power Point
Lampiran 5 : Pernyataan Melakukan Wawancara
Lampiran 6 : Transkip Wawancara
Lampiran 7 : Foto-foto Penelitian
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan manusia dewasa ini, dimana
dengan adanya pendidikan akan mampu menciptakan generasi emas yang
akan membangun kembali peradaban suatu bangsa. Banyak program yang
telah ditawarkan pemerintah guna untuk meningkatkan mutu suatu
pendidikan, serta meningkatkan sumber daya manusia yang berkualitas.
Dengan proses pendidikan yang dilalui setiap manusia inilah yang akan
membedakan manusia dengan makhluk-makluk Allah lainya, hal ini
tercantum dalam Q.S Al-Mujaadilah ayat 11:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu:
„Berlapang-lapanglah dalam majelis‟, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: „Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan
beberapa derajat‟. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.”(Syamil Qur‟an, 2007:543).
Menurut Undang-undang RI No. 20 tahun 2003 pasal 1 ayat (1),
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
2
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara
(Sisdiknas UU RI No. 20 tahun 2003:2). Dari pengertian dapat dipahami
bahwa pendidikan adalah proses pembelajaran yang dilakukan secara sadar
dan tersusun dengan tujuan untuk membentuk manusia yang berakhlak dan
memiliki pengetahuan sesuai dengan kemampuannya, yang nantinya akan
mampu diimplementasikan pada kehidupannya dengan tujuan menjadi
individu yang aktif, produktif serta inovatif baik untuk pribadi maupun
masyarakat pada umumnya. Begitu juga dengan pendidikan Islam yang
memiliki tujuan yang sangat penting bagi perkembangan kehidupan
beragama, berbangsa dan bernegara guna untuk mewujudkan peradaban dunia
yang Islami.
Islam adalah agama yang mengajarkan untuk senantiasa menebarkan
cinta damai kepada semua orang sebagai wujud agama yang Rahmatul
Lil‟alamin, mengajarkan bagaimana bersikap yang baik terhadap perbedaan
yang ada. Ajaran Islam sebagai sebuah sistem yang diyakini oleh penganutnya
yang memiliki nilai-nilai tentang kebenaran yang hakiki dan mutlak untuk
dijadikan sebagai pedoman dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk di
dalamnya aspek pendidikan (Ramayulis, 2015:4-5). Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa Islam telah mengatur segala aspek kehidupan terutama aspek
pendidikan. Maka dari itu pendidikan Islam diharapkan mampu meningkatkan
keimanan dan mengembangkan sikap toleransi terhadap golongan lain.
3
hanya terfokus pada aspek kognitif (pengetahuan) semata, melainkan
bagaimana kita menginterpretasikan ajaran agama dalam kehidupan
sehari-hari, bukan untuk menyalahkan orang lain karena berbeda dengan kita. Tapi
pendidikan yang mampu mengintegrasikan segala aspek, baik aspek akal,
emosi, moral, dan aspek spiritual. Sehingga akan menciptakan insan manusia
yang Islami, yang menghargai perbedaan dan memiliki sikap toleran yang
tinggi.
Di Indonesia pendidikan Islam masih identik dengan dunia Pesantren dan
Madrasah, dimana sistem yang ada di dalamnya masih tertutup dengan alur
perkembangan saat ini. Selain itu antara pendidikan Islam dan pendidikan
umum seakan-akan satu dengan yang lain saling memisahkan diri. Hal ini
juga yang akan menghambat perkembangan pendidikan di Indonesia,
terutama pendidikan Islam. Menurut Arif (2008:xi) Pendidikan Islam
mengalami stagnasi (kemandekan) akut akibat kuatnya pengaruh corak
berfikir normatif-reproduktif dan miopik-narsistik yang disadari atau tidak,
turut dilanggengkan oleh sikap pengharaman terhadap hal-hal yang berbau
filsafat dan kebebasan berfikir kritis yang masih tetap dilestarikan dalam
sistem pendidikan Islam tradisional.
Indonesia dikenal sebagai bangsa yang majemuk, karena menyimpan akar
keberagaman dalam hal agama, bahasa, tradisi, dan budaya (Rosyidi, 2009:1).
Begitu halnya dalam dunia pendidikan yang mana dalam
komponen-komponen pendidikan terdapat beberapa lapis yang berbeda-beda. Terutama
4
Mereka datang dari background keluarga yang berbeda-beda, karakter yang
berbeda-beda. Disinilah bagaimana pendidikan Islam mampu merangkul
semua kalangan. Pendidikan yang menghargai perbedaan pendapat tanpa
harus mengorbankan akidah yang diyakini, menghargai diri, menghargai
kebenaran, menghargai keindahan, dan menghargai lingkungan, alam kultural
(Rosyidi, 2009:10).
Untuk menciptakan suatu pendidikan yang mencangkup semua aspek
kehidupan yang tertuang dalam Bhineka Tunggal Ika, maka diperlukan
adanya sikap inklusif. Kata inklusif berasal dari bahasa Inggris “inclusive”
yang artinya “termasuk di dalamnya” (Kembara, Tanpa tahun:185). Sikap
inklusif merupakan sikap keterbukaan untuk menghargai kemajemukan yang
ada di Indonesia, jika dikembangkan secara luas akan mampu melahirkan
pluralisme. Dimana nilai-nilai inklusif jika diaktualisasi dalam dunia
pendidikan akan mampu menumbuhkan suatu pembelajaran yang
mengutamakan kebenaran bersama tanpa ada yang mengunggulkan satu
golongan.
Pola pendidikan Islam yang terbuka dengan adanya perubahan-perubahan
di Indonesia dikenalkan oleh salah satu tokoh bahkan termasuk salah satu
pemimpin negara yaitu KH. Abdurrahman Wahid, atau lebih dikenal dengan
sebutan Gus Dur, seorang ulama sekaligus cendikiawan Muslim. Dalam dunia
pendidikan Gus Dur memadukan nilai-nilai tradisional dan Barat modern
yang disebut neomodernisme, yaitu suatu gerakan progresif dalam pemikiran
5
tertarik pada pengetahuan tradisional (Faisol, 2011:16). Beliau yang dikenal
sebagai pelindung kaum minoritas dan tertindas, juga yang memperkenalkan
sikap keterbukaan dan toleransi terhadap keberagaman yang ada. Gus Dur
lebih populer dengan sebutan “Bapak Pluralisme Indonesia” karena beliau
dekat dengan masyarakat manapun, tidak memandang agama, ras, maupun
suku. Baginya semua adalah sama yaitu masyarakat Indonesia yang menyatu
di bawah Bhineka Tunggal Ika.
Untuk menerima dan mengafirmasi pluralisme masyarakat dan
menekankan signifikansi toleransi dan harmoni dalam hubungan
antar-komunal dibutuhkan sikap terbuka, inklusif dan liberal (Masdar, 1999:122).
Dalam hal ini, Gus Dur mengedepankan sikap terbuka (inklusif) dalam
memahami masyarakat yang beranekaragam. Dengan sikap seperti inilah Gus
Dur diterima oleh semua kalangan, baik itu dari kalangan muslim maupun
non muslim, dari masyarakat negara sendiri maupun masyarakat manca
negara.
Berkaitan dengan hal tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji dan
menelaah pemikiran dan gagasan Gus Dur yang sering dianggap nyleneh atau
kontroversial oleh kebanyakan orang. Maka dari itu penulis melakukan
penelitian kepustakaan dengan judul “KONSEP PENDIDIKAN ISLAM
INKLUSIF MENURUT KH. ABDURRAHMAN WAHID”. B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep Pendidikan Islam Inklusif menurut KH. Abdurrahman
6
2. Bagaimana relevansi pemikiran KH. Abdurrahman Wahid tentang
Pendidikan Islam Inklusif dengan pendidikan di era sekarang?
C. Tujuan Penilitian
Sejalan dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Untuk mendiskripsikan konsep Pendidikan Islam Inklusif menurut KH.
Abdurrahman Wahid.
2. Untuk mendiskripsikan relevansi pemikiran KH. Abdurrahman Wahid
tentang Pendidikan Islam Inklusif dengan pendidikan di era sekarang.
D. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan manfaat bagi semua
kalangan masyarakat serta kalangan para pendidik secara teoritik dan pratik
antara lain sebagai berikut:
1. Secara Teoritik
Dapat memberikan sumbangan pengembangan konsep pendidikan
inklusif dari pemikiran KH. Abdurrahman Wahid yang dapat
memperkaya khasanah keilmuwan dunia pendidikan Islam untuk
digunakan dalam proses pembelajaran.
2. Secara Praktik
a. Bagi mahasiswa, dari hasil penelitian ini diharapkan dapat
menjadikan sumber informasi belajar tentang pendidikan Islam
7
satu cara penguasaan dalam menumbuhkan sikap inklusif kepada
peserta didik secara efektif.
b. Bagi dosen dan institut, hasil penelitian ini diharapkan dapat
dijadikan informasi untuk menambah partisipasi dan kepedulian
terhadap konsep-konsep pendidikan Islam inklusif dalam
pembelajaran khususnya di lembaga pendidikan Islam.
c. Bagi peneliti, hasil penelitian ini dapat dikembangkan lebih lanjut
sebagai upaya peningkatan kualitas pendidikan Islam dengan
berparadigma inklusif dalam membangun peradaban Islam melalui
individu-individu yang berkualitas, profesional, dan komponen sesuai
dengan bidang yang dikuasainya.
E. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan yaitu
penelitian dengan menggunakan metode kualitatif, dapat dijelaskan
pendekatan yang digunakan, proses pengumpulan dan analisis informasi,
proses penafsiran melalui analisis, dan penyimpulan hasil penelitian dan
rekomendasi yang dapat diajukan (Maslikhah, 2013:82). Penelitian ini
menggunakan pendekatan deskriptif analisis (descriptive of analyze
research). Dalam penelitian kepustakaan peneliti harus mengenal
beberapa koleksi alat bantu yang disebut bibliografi sebagai deskripsi
analisis. Bibliografi merupakan daftar informasi buku-buku karya
8
penerbit tertentu. Dalam hal ini, bibliografi dibedakan menjadi 2 yaitu: a)
bibliografi beranotasi adalah bibliografi yang lebih rinci, tidak hanya
berisi informasi tentang identitas buku, tetapi juga memberikan
keterangan tentang sinopsis isi buku dan literatur terkait. b) bibliografi
kerja yaitu daftar kepustakaan terpilih yang tercatat di atas lembaran kartu
atau buku catatan untuk kepentingan penelitian (Zed, 2008:82-83).
Penulis berusaha mengumpulkan data, menganalisa, dan membuat
interpretasi secara mendalam tentang pemikiran tokoh KH. Abdurrahman
Wahid. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menganalisis proses dan
makna dari sudut pandang peneliti mengenai konsep dan pemikiran
pendidikan inklusif menurut KH. Abdurrahman Wahid, serta relevansinya
dengan masa kini dengan menggunakan teori yang telah ada.
2. Sumber Data
Yaitu subjek dari mana data dapat diperoleh (Arikunto, 1998:114).
Sumber data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah studi
kepustakaan dengan cara mengumpulkan data-data dengan cara
mempelajari, mendalami, dan mengutip teori-teori dan konsep-konsep
dari sejumlah literatur baik buku, jurnal, majalah, ataupun karya tulis
lainnya yang relevan dengan topik penelitian. Penelitian ini sumber data
yang dibutuhkan meliputi sumber data primer dan data sumber data
sekunder.
9
Yaitu data yang langsung dikumpulkan oleh peneliti (atau
petugas-petugasnya) dari sumber pertamanya (Suryabrata,
1995:84-85). Sumber data primer dalam penelitian ini diambil langsung dari
buku yang ditulis oleh KH. Abdurrahman Wahid dan yang masih
berhubungan dengan tema peneliti. Diantaranya yaitu adalah buku
Islam Kosmopolitan, Prisma Pemikiran Gus Dur, Dialog Peradaban,
Islam Negara dan Demokrasi, Islam Tanpa Kekerasan, Islamku Islam
Anda Islam Kita, dll.
b. Data Sekunder
Adalah sumber data yang berupa buku-buku serta kepustakaan
yang berkaitan dengan objek material, akan tetapi tidak secara
langsung merupakan karya tokoh agama atau filsuf agama tertentu
yang menjadi objek (Kaelan, 2010:144). Sumber data sekunder dalam
penelitian ini adalah literatur yang sesuai dengan objek penelitian,
baik itu teks buku, majalah, jurnal ilmiah, artikel, rekaman atau kaset,
arsip, dokumen pribadi, dokumen resmi lembaga-lembaga dan lain
sebagainya serta hasil wawancara yang terkait dengan penelitian ini.
Data sekunder yang penulis gunakan diantaranya yaitu buku
Pendidikan Berparadigma Inklusif (Upaya Memadukan Pengokohan
Akidah dengan Pengembangan Sikap Toleransi dan Kerukunan) yang
ditulis oleh Imron Rosyidi, buku Biografi Singkat KH. Abdurrahman
10
Pemikiran Gus Dur dan Amin Rais yang ditulis oleh Umaruddin
Masdar, dll yang masih bersangkutan dengan penelitian.
3. Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan penulis dalam mengumpulkan berbagai
sumber data penelitian, diantaranya yaitu:
a. Metode Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu.
Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara
(interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai
(interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu
(Moleong, 2009:186). Wawancara bertujuan untuk memperoleh
informasi dengan menyelidiki pengalaman masa lalu dan masa kini
para partisipan, guna menemukan perasaan, pemikiran dan persepsi
mereka (Daymon, 2008:262).
Teknik ini bertujuan untuk memperoleh informasi secara lengkap
pemikiran Gus Dur tentang Pendidikan Islam Inklusif. Teknik
wawancara digunakan untuk mewawancarai tokoh-tokoh yang pernah
berjumpa atau berhubungan dengan Gus Dur, baik sahabat maupun
keluarganya.
b. Metode Dokumentasi
Yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa
catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen, rapat,
11
Metode dokumentasi ini, data mengenai penelitian yang diperoleh
dengan cara menghimpun data dari berbagai literatur, baik artikel,
jurnal, majalah, maupun buku-buku yang berkaitan dengan
pembahasan penelitian ini guna menjadi data penguat pembahasan
dalam penyusunan skripsi ini.
4. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan penulis dalam penulisan skripsi
ini adalah:
a. Deduktif
Metode deduktif adalah metode berfikir yang berdasarkan pada
pengetahuan umum dimana kita hendak menilai suatu kejadian yang
khusus (Hadi, 1981:42). Metode ini digunakan untuk menjelaskan
konsep pendidikan inklusif yang dewasa ini sangat diperlukan dalam
dunia pendidikan masa kini.
b. Induktif
Metode induktif adalah metode berfikir yang berangkat dari
fakta-fakta peristiwa khusus dan konkret, kemudian ditarik
generalisasi-generalisasi yang bersifat umum (Hadi, 1981:42).
Metode ini digunakan untuk membahas data tentang konsep
pendidikan inklusif menurut KH. Abdurrahman Wahid guna ditarik
kesimpulannya dan dicari relevansinya dengan dunia pendidikan
12
Selain metode deduktif dan metode induktif, peneliti menggunakan
metode analisis isi (content analysis) yaitu konten yang terdapat dalam
buku-buku karya KH. Abdurrahman Wahid.
Isi dalam metode analisis isi terdiri atas dua macam, yaitu isi laten
dan ide komunikasi. Isi laten adalah isi yang terkandung dalam dokumen
dan naskah, sedangkan ide komunikasi adalah pesan yang terkandung
sebagai akibat komunikasi yang terjadi (Ratna, 2007:48).
Dalam media massa penelitian dengan metode analisis isi dilakukan
terhadap paragraf, kalimat, dan kata termasuk volume ruangan yang
diperlukan, waktu penulisan, dimana ditulis dan sebaginya, sehingga
dapat diketahui isi pesan secara tepat (Ratna, 2007:49).
Adapun tahapan-tahapan yang peneliti gunakan dalam pengolahan isi
adalah:
1. Tahapan deskripsi, yaitu menguraikan teks-teks dalam buku yang
ditulis oleh Gus Dur yang berhubungan dengan nilai-nilai
pendidikan Islam inklusif.
2. Tahapan interpretasi, yaitu tahapan dimana peneliti menjelaskan
teks-teks dalam buku karya Gus Dur yang berhubungan dengan
nilai-nilai pendidikan Islam inklusif.
3. Tahapan analisis, yaitu tahapan peneliti menganalisis buku karya
Gus Dur yang berhubungan dengan nilai-nilai pendidikan Islam
13
4. Kesimpulan, yaitu proses mengambil kesimpulan dari
pembahasan dalam buku karya Gus Dur yang berhubungan
dengan nilai-nilai pendidikan Islam inklusif.
F. Telaah Pustaka
Kajian tentang pendidikan Islam inklusif yang dikaji oleh penulis bukan
untuk yang pertama kali dilakukan. Penelitian yang berkaitan dengan judul
penulis sudah banyak dijumpai dalam bentuk skripsi, jurnal, maupun buku.
Berikut ini beberapa literatur yang menjadi acauan pustaka dalam penelitian
penulis, diantaranya yaitu:
1. Buku yang ditulis oleh Imron Rosyidi, M. Th., M.Ed. yang berjudul
“Pendidikan Berparadigma Inklusif” (Rosyidi, 2009). Dalam buku ini
dapat disimpulkan bahwa Pendidikan Agama membutuhkan suatu model
pembelajaran yang terbuka dengan adanya perbedaan (Model
Pembelajaran Terpadu), sehingga anak didik akan memiliki sikap
toleransi dan kerukunan terhadap perbedaan beragama. Buku ini memiliki
kesamaan dengan penulis tentang paradigma inklusif terhadap pendidikan
agama, akan tetapi ada yang membedakan yaitu dari segi obyek dan
subyeknya. Skripsi penulis terfokus hanya pada Pendidikan Islam inklusif
dengan subyek yang dibahas yaitu pemikiran Gus Dur.
2. Buku yang ditulis oleh Faisol dengan judul “Gus Dur dan Pendidikan
Islam (Upaya mengembalikan Esensi Pendidikan Di Era Global)” (Faisol,
2011). Dalam buku ini dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam
14
berusaha mensintesiskan kedua pendidikan ini, yaitu pendidikan Islam
klasik dengan pendidikan Barat modern, dengan tidak melupakan esensi
ajaran Islam. Pembelajaran dalam pendidikan Islam yaitu membebaskan
pemikiran manusia dari belenggu-belenggu tradisionalis yang kemudian
ingin didaur ulang dengan pemikiran kritis yang terlahir oleh Barat
Modern. Skripsi penulis memiliki kesamaan dengan buku ini, namun
sedikit perbedaan di dalamnya yaitu bagaimana pendidikan Islam mampu
bersikap terbuka dengan perbedaan sehingga akan menumbuhkan sikap
toleransi kepada semua orang dan menyamaratakan semua pihak.
3. Penelitian yang dilakukan oleh Nandirotul Umah jurusan Pendidikan
Agama Islam fakultas Tarbiyah STAIN Salatiga dengan judul
“Pendidikan Islam Di Indonesia Dalam Perspektif KH. Abdurrahman
Wahid” (Umah, 2014). Hasil skripsi tersebut dapat disimpulkan bahwa
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang menjadikan masyarakat
beradab (berakhlak mulia), yaitu masyarakat yang mempunyai dan
menerapkan nilai-nilai kebenaran hakiki yang bersumber dari agama,
masyarakat yang mempunyai tata karma, sopan santun dan berperilaku
menempatkan sesuatu secara proporsional, masyarakat yang menjunjung
tinggi hak asasi manusia; masyarakat yang demokratis serta menjunjung
tinggi kebebasan setiap individu untuk berkreasi dan berprestasi serta
masyarakat yang menghargai kemampuan dan keunggulan pihak lain.
Pendidikan yang menjadi alat memanusiakan manusia, sebagai rumah
15
dalam pengambilan keputusan bagi setiap individu tanpa meninggalkan
budaya lokal sebagai alat menggapai kredibilitas yang mencakup segala
aspek keilmuan. Perbedaan kajian yang penulis lakukan terletak pada
konsep inklusif dalam pendidikan Islam itu sendiri.
4. Penelitian yang dilakukan oleh Wahid Irfan Maghfuri jurusan Pendidikan
Agama Islam fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UIN SUKA
Yogyakarta dengan judul “Konsep Islam Inklusif Dalam Perspektif Dr.
Alwi Shihab dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Agama Islam”
(Maghfuri, 2013). Dari skripsi ini dapat disimpulkan bahwa implikasi
islam inklusif terhadap Pendidikan Agama Islam yaitu pada tujuan dan
materi. Perbedaan skripsi tersebut dengan skripsi yang akan dikaji penulis
yaitu dari segi konsep dan subyeknya. Skripsi yang akan disusun
membahasa konsep pendidikan Islam inklusif perspektif Gus Dur, dimana
pendidikan Islam yang memiliki sikap keterbukaan karena kemajemukan.
5. Penelitian yang dilakukan Nisa Nurjanah jurusan Pendidikan Agama
Islam fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UIN SUKA Yogyakarta
dengan judul “Pemikiran Islam Inklusif Dalam Kehidupan Sosial
Beragama Dan Relevansinya Dengan Pendidikan Islam (Studi Pemikiran
KH. Abdurrahman Wahid)” (Nurjanah, 2013). Dari skripsi ini dapat
disimpulkan bahwa pemikiran Islam inklusif memiliki relevansi dengan
Pendidikan Islam dalam segi aspek manusia, aspek kurikulum, dan aspek
metode. Skripsi yang akan dikaji oleh penulis memiliki kesamaan dengan
16
perbedaan yaitu pada konsep inklusif yang diusung Gus Dur untuk
menumbuhkan sikap keterbukaan dan toleransi pada Pendidikan Islam itu
sendiri.
6. Penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Novianto jurusan Pendidikan
Agama Islam fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UIN SUKA
Yogyakarta dengan judul “Aktualisasi Nilai-nilai Islam Inklusif Dalam
Pendidikan Islam (Kajian Pemikiran KH. Abdurrahman Wahid)”
(Novianto, 2014). Dari penelitian tersebut dapat disimpilkan bahwa
nilai-nilai Islam Inklusif diaktualisasikan di lembaga pendidikan yang bernama
pesantren. Guna untuk menyerukan pandangan humanismenya ditengah
pluralisme yang ada di negeri ini demi tercapainya kehidupan beragama
yang harmonis. Skripsi penulis memiliki kesamaan dengan skripsi Ahmad
Novianto, sama-sama membahas tentang inklusif dalam Pendidikan
Islam. Namun, ada perbedaan yaitu skripsi saudara Ahmad Novianto
membahas aktualisasi nilai Islam inklusif dalam Pendidikan Islam,
sedangkan skripsi penulis akan membahas tentang konsep Pendidikan
Islam Inklusif.
7. Penelitian yang dilakukan oleh Resdhia Maula Pracahya jurusan
Pendidikan Agama Islam fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN
Syarif Hiadyatullah Jakarta dengan judul “Konsep KH. Abdurrahman
Wahid Tentang Pendidikan Islam Multikultural” (Pracahya, 2013). Hasil
dari skripsi saudara Resdhia Maula Pracahya dapat disimpulkan bahwa
17
aspek psikomotorik ditambah dengan aspek spiritual dan humanisme.
Aspek tersebut akan mencapai dimensi aspek-aspek lainnya secara
naturalistik, menurutnya pula aspek yang digagas tersebut akan menjadi
landasan pluralitasdan multikulturalitas suatu bangsa. Penelitian ini
memiliki kesamaan dengan peneliti penulis, sama-sama mengkaji
pemikiran KH. Abdurrahman Wahid. Akan tetapi obyek yang dikaji
berbeda. Skripsi saudara Resdhia membahas tentang konsep Pendidikan
Islam Multikultural, sedangkan skripsi peneliti tentang konsep Pendidikan
Islam inklusif.
G. Sistematika Penulisan
Skripsi ini akan ditulis dengan menggunakan sistematika yang terdiri dari
5 bab, antara lain:
BAB I Pendahuluan
Bab ini akan membahas mengenai latar belakang masalah, fokus
penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika
penulisan.
BAB II Biografi KH. Abdurrahman Wahid
Dalam bab ini penulis menjabarkan tentang konteks
internal yang terdiri dari: riwayat keluarga, riwayat
pendidikan, dan karya-karya KH. Abdurrahman Wahid. Selain
itu, dibahas juga mengenai konteks eksternal yang meliputi:
18
BAB III Kajian Teori Pendidikan Islam Inklusif
Dalam bab ini penulis menjabarkan tentang kajian teori
pendidikan Islam inklusif secara umum yang meliputi
beberapa pembahasan diantaranya: pendidikan inklusif,
pendidikan Islam, dan pendidikan Islam inklusif
BAB IV Pemikiran Pendidikan Islam Inklusif KH. Abdurrahman
Dalam bab ini penulis akan menjawab dari rumusan masalah yaitu konsep
pendidikan Islam inklusif perspektif KH. Abdurrahman Wahid yang terdiri
dari: inklusivitas pemikiran Islam KH. Abdurrahman Wahid dan konsep
pendidikan Islam inklusif KH. Abdurahman Wahid. Serta membahas tentang
relevansinya konsep pendidikan Islam inklusif perspektif KH. Abdurrahman
Wahid pada masa kini.
BAB V Penutup
Pada bab ini penulis menyimpulkan dari pemaparan-pemaparan dari
19 BAB II
BIOGRAFI KH. ABDURRAHMAN WAHID
A. Konteks Internal
1. Riwayat Hidup KH. Abdurrahman Wahid
Gus Dur bukan nama asing bagi nama bagi bangsa Indonesia. Sosok
orang besar ini bukan cuma milik NU. Sikapnya yang demokratis dan
humanis, melekatkan kesan yang mendalam pada sebagian besar
masyarakat. Citra humanisme Gus Dur sanggup membawa citra politik
yang positif, yang melampaui garis-garis sektarianisme yang harus diakui
atau masih eksis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (Hadi, Tanpa
Tahun:11).
KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dilahirkan di Desa Denanyar,
Kabupaten Jombang, Jawa Timur, di sebuah rumah milik kakek dari
pihak ibunya, Kyai Bisri Syansuri. Rumah ini sendiri berada di dalam
komplek Pondok Pesantren Mambaul Maarif, yang dihuni oleh ribuan
santri dari berbagai penjuru tanah air (Mandan, 2010:20-21).
Abdurrahman Wahid lahir pada hari ke-4 dan bulan ke-8 kalender Islam
(Agustus) 1940. Terdapat kepercayaan bahwa ia lahir 4 Agustus, namun
kalender yang digunakan untuk menandai hari kelahirannya adalah
kalender Islam yang berarti ia lahir pada 4 Sya‟ban, sama dengan 7
20
Ia lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil, dengan berat badan 3,5
kg atau lebih. Memilik rambut tebal, hidung sedang, dan kulit halus
(Irawan, 2015:31). Kata “Addakhil” berarti “Sang Penakluk”. Hal ini
dikarenakan Abdurrahman Wahid sebagai anak pertama diharapkan
menjadi pewaris budaya keluarga Hasyim Asyari, menjadi penakluk
seperti halnya Sultan Abdurrahman Addakhil (Abdurrahman I) yang
pernah berkuasa selama 32 tahun para Dinasti Bani Umayyah, Spanyol.
Kata “Addakhil” yang tidak cukup dikenal pada akhirnya diganti menjadi
“Wahid”, dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. “Gus”
adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anakkiai
yang berarti “abang” atau “mas” (Al-Madyuni, 2013:93).
Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Dus Dur lahir
dalam keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas Muslim Jawa
Timur. Kakek dari ayahnya adalah KH. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul
Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, KH. Bisri Syansuri, adalah
pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan.
Ayah Gus Dur, KH. Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis
dan menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah,
adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang.
Gus Dur secara terbuka pernah menyatakan bahwa ia memiliki darah
Tionghoa. Gus Dur mengaku bahwa ia adalah keturunan dari Tan Kim
Han yang menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah
21
Hwa ini merupakan anak dari Putri Campa, putri Tiongkok yang
merupakan selir Raden Brawijaya V. Tan Kim Han sendiri kemudian
berdasarkan penelitian seorang peneliti Perancis, Louis-Charles Damais
diidentifikasikan sebagai Syekh Abdul Qadir Al-Shini yang diketemukan
makamnya di Trowulan (Hadi, Tanpa Tahun:13).
Selain itu silsilah Gus Dur dapat dirinci sebagai berikut, baik dari
pihak ayah maupun dari pihak ibu.
Dari pihak ayah dimulai dari Brawijaya ke VI (Lembu Peteng) –
Djoko Tingkir (Karebet) – Pangeran Banawa – Pangeran Sambo – Ahmad
– Abd. Jabar – Soichah – Lajjinah – Winih –Muhammad Hasyim Asy‟ari
– Wahid Hasyim - Abdurrahman Wahid Addakhil (Gus Dur).
Dari pihak ibu dimulai dari Brawijaya VI (Lembu Peteng) – Djoko
Tingkir (Karebet) – Pangeran Banawa – Pangeran Sambo – Ahmad –
Abd. Jabar – Soichah – Fatimah – K. Hasbullah – Nyai Bisri Syansuri –
Solichah – Abdurrahman Wahid Addakhil (Gus Dur).
Dari sini dapat melihat bagaimana Gus Dur dalam silsilahnya atau
trahnya merupakan campuran darah biru, kalangan priyayi dan darah
putih, kalangan kiai. Selain itu, trahnya Gus Dur adalah trahnya para
pahlawan. Kakeknya, KH. Hasyim Asy‟ari, dari ayahnya, KH. Wahid
Hasyim adalah salah satu dari berbagai tokoh NU yang menjadi tokoh
pahlawan Nasional.
Melihat silsilah tersebut kiranya wajar kalau Gus Dur mewarisi bakat,
22
besar, selain besar fisiknya, besar pemikirannya, besar perjuangannya,
dan besar hatinya.
Memang masih banyak kalangan yang meragukan, terutama kalangan
akademisi modernis, berkaitan dengan pola silsilah tersebut, berkaitan
dengan bagaimana sumbernya masih oral yang perlu penulusuran lebih
jauh. Namun, kalangan masyarakat Jawa abangan dan santri lebih
mempercayainya. Hal ini dikaitkan pula bagaimana Gus Dur pernah
mengaku kalau dirinya masih ada keturunan Cina dan leluhurnya (Rifa‟i,
2015:25-26).
Gus Dur kecil tumbuh seperti halnya anak-anak pada umumnya. Ia
senang dengan segala sesuatu yang baru, suka bertanya, dan kadang suka
kesal sendiri. Kalau meminta sesuatu, ia suka ngeyel dan memaksa.
Kalaupun ada perbedaan Gus Dur dengan anak-anak seumurannya,
maka perbedaan itu adalah pendidikan dan pengajaran ayah, ibu, dan
kakeknya. Solichah, sang ibu, sejak mengandung sudah terbiasa
bertirakat dan berpuasa. Ia terbiasa menjalani laku mengurangi tidur dan
mencegah hal-hal buruk yang dapat mengeruhkan batinnya. Ia terbiasa
berpuasa untuk melatih kepasrahan, keikhlasan, dan kesabaran, demi
menggapai ridha-Nya. Dari batin sang ibu, Gus Dur mulai tampak
berbeda dengan anak kebanyakan. Badannya yang mulai sedikit gemuk
justru berbanding terbalik dengan sedikitnya makan. Ia adalah bocah yang
23
Akan halnya dengan sang ayah, Wahid Hasyim, kecintaannya pada
buku dan ilmu pengetahuan rupanya sudah mulai menunjukkan
tanda-tanda menurun pada putranya. Gus Dur diajarinya membaca, menulis, dan
mencintai buku dan kitab. Dan melalui sentuhan lembut hati sang kakek,
ia diperkenalkan dengan dasar-dasar agama (Irawan, 2015:39-40).
Sejak kecil Gus Dur dikenal dengan sebagai anak yang sangat aktif
aktif dan cenderung nakal. Ia pernah diikat dengan tambang ke tiang
bendera di halaman depan sekolah sebagai hukuman bagi leluconnya
yang terlalu jauh atau sikapnya yang kurang sopan. Ketika belum genap
dua belas tahun, ia pernah mengalami patang tulang lengan akibat
kegemarannya memanjat pohon. Pertama-tama, lengannya patah karena
dahan yang diinjaknya patah. Yang kedua, saat ia mengambil makanan di
dapur, ia lalu memakannya di atas dahan sebuah pohon besar. Keenakan
di atas pohon, ia tertidur dan kemudian menggelinding jatuh. Dalam
ingatan Gus Dur, kala itu ia mengalamani patah tulang yang serius,
hingga lengannya menonjol ke luar. Namun akhirnya dokter yang
menanganinya dapat memperbaiki tulang tersebut. Tetapi pengalaman
tersebut tak membuat Gus Dur menjadi anak yang pendiam. Ia tetap aktif
dan bertindak sesuka hatinya (Mandan dkk, 2010:31-32).
Pada akhir tahun 1944, ketika Gus Dur baru berusia empat tahun, ia
diajak ayahnya ke Jakarta. Wahid Hasyim memilih untuk meninggalkan
keluarganya di Jombang, dan ia sendiri bersama putra tertuanya pergi
24
daerah Menteng, Jakarta Pusat, yang saat itu merupakan daerah yang
diminati oleh pengusaha terkemuka, yang profesional, dan politikus.
Dengan berdiam di daerah Menteng, Wahid Hasyim dan putranya
tertuanya ini berada di pusat kegiatan. Misalnya ketika mereka
melaksanakan ibadah shalat di masjid Matraman yang letaknya tak begitu
jauh, mereka secara teratur bertemu dengan pemimpin-pemimpin
nasionalis, yaitu Mohammad Hatta. Menurut ingatan Gus Dur, saat itu ia
sering membukakan pintu pada sekitar pukul delapan malam. Seorang
laki-laki asing yang berpakaian petani berwarna hitam datang berkunjung
untuk menemui ayahnya. Keduanya kemudian sering bercakap-cakap
selama berjam-jam. Atas permintaan tamu itu, Gus Dur memanggilnya
Paman Hussein. Baru beberapa tahun kemudian ia tahu bahwa orang itu
adalah Tan Malaka, seorang pemimpin komunis yang terkanal. Walaupun
Wahid Hasyim secara efektif memimpin organisasi Islam terbesar di
negeri ini, namun ia juga menjalin hubungan baik dengan
komponen-komponen masyarakat lainnya, termasuk Tan Malaka dan orang-orang
komunis lainnya (Barton, 2016:37).
Pada akhir perang tahun 1949, keluarga Gus Dur pindah ke Jakarta
karena ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama pertama. Dengan
demikian suasana baru telah dimasukinya. Tamu-tamu,yang terdiri dari
para tokoh dengan berbagai bidang profesi yang sebelumnya telah
dijumpai di rumah kakeknya, terus berlanjut ketika ayahnya menjadi
25
Dur. Karena secara tidak langsung, Gus Dur juga dapat berkenalan
dengan dunia politik (Hamid, 2010:15-16).
Sejak kecil di Jakarta, Gus Dur terbiasa bergaul dan bercanda dengan
sekelompok aktivis muda teman-teman ayahnya, yang suka berkumpul
dikediamannya. Salah satunya adalah Munawird Sjadzali, yang kemudian
hari menjadi Menteri Agama pada pemerintahan Soeharto. Sang ayah
terkadang menyuruh Gus Dur untuk menyajikan minuman teh dan
sekedar makanan kecil untuk sahabat-sahabatnya. Kadang Gus Dur iseng
mengikat tali-tali sepatu teman-teman ayahnya yang jatuh tertidur.
Di Jakarta Wahid Hasyim memiliki teman yang banyak. Salah
satunya adalah seorang Jerman yang sudah menjadi Islam bernama
Williem Iskandar Bueller yang suka memutar lagu-lagu klasik Eropa di
rumahnya. Gus Dur sering menghabiskan waktu sepulang sekolah di
rumah Bueller ini, untuk menikmati lagu-lagu klasik. Di sinilah Gus Dur
untuk pertama kalinya mendengar karya-karya Beethoven yang kemudian
sangat ia sukai. Sebelumnya Gus Dur sudah menyenangi musik-musik
Arab tradisional yang sering ia dengar di kampung kelahirannya,
Jombang. Banyaknya buku dan majalah di rumah Wahid Hayim,
membuat Gus Dur ikut suka membaca. Tradisi gemar membaca ini telah
membuat Gus Dur memiliki wawasan yang luas, melampaui ukuran anak
seusianya saat itu (Mandan dkk, 2010:33-34).
Selama bertahun-tahun tinggal di Jakarta ini, Gus Dur sering berada
pertemuan-26
pertemuan. Dengan demikian, ia dapat menyaksikan dunia ayahnya yang
penuh dengan berbagai macam orang dan peristiwa. Ia juga dapat
menyaksikan bagaimana ayahnya ini hidup dalam dunianya tersebut
dengan cara yang sederhana dan gampangan. Wahid Hasyim selalu
berusaha untuk sedapat mungkin mengajak putranya ini bersamanya. Ini
semua karena sang ayah merasa senang ditemani oleh putranya, dan juga
karena hal ini dianggapnya merupakan bagain penting dari pendidikan
anak sulungnya ini (Barton, 2016:43-44).
Pada Sabtu 18 April 1953, Gus Dur bepergian menemani ayahnya
untuk suatu pertemuan NU di Sumedang, Jawa Barat. Di dalam
perjalanan menuju Bandung yang berliku-liku, Wahid Hasyim duduk di
jok bagian belakang bersama sabahatnya, Argo Sutjipto. Sementara Gus
Dur duduk di kursi depan bersama sopir. Mobil yang mereka tumpangi
adalah jenis sedan Chevrolet. Ketika sampai di jalan antara Cimahi dan
Bandung, suasana hujan membuat jalanan menjadi licin. Sopir saat itu
mencoba mempercepat laju kendaraan agar tidak terlambat sampai di
tujuan. Namun ketika melalui sebuah kelokan, sopir kehilangan kontrol
atas laju kendaraan tersebut. Pada saat yang sama dari arah depan melaju
sebuah truk. Pengemudi truk yang melihat bahwa sopir sedan yang ada di
depannya kesulitan mengendalikan kendaraannya, lantas menepi dan
menghentikan laju kendaraannya. Tetapi sedan yang dikendarai Gus Dur
sulit dihentikan, ia malah memutar dan akhirnya menubruk truk yang
27
Sutjipto terlempar keluar dan mendarat di aspal yang cadas, sementara
sopir dan Gus Dur yang duduk di bagian depan tidak terluka (Mandan
dkk, 2010:35-36).
Kecelakaan itu terjadi sekitar pukul 01.00 siang, tetapi celakanya
mobil ambulan dari Bandung baru tiba di tempat kejadian sekitar pukul
04.00 sore. Gus Dur duduk di tepi jalan menunggu ayahnya yang tak
berdaya hingga ambulan datang. Akhirnya, mereka diangkut ke rumah
sakit di Bandung. Gus Dur tidak tidur menunggui ayahnya. Malam itu,
istri Whaid Hasyim itu tiba di rumah sakit dan menunggui suaminya
bersama Gus Dur. Pada pukul 10.30 pagi keesokan harinya, Wahid
Hasyim tak lagi dapat bertahan dan akhirnya meninggal dunia. beberapa
jam kemudian Argo Sutjipto juga meninggal dunia. Wahid Hasyim, yang
merupakan tokoh harapan banyak orang Indonesia, telah menghembuskan
nafasnya yang terakhir. Ia meninggal dalam usia 38 tahun. Sementara Gus
Dur baru berusia 12 tahun.
Anehnya, walaupun terguncang oleh kecelakaan maut itu, Gus Dur
tetap berfikir tenang. Gus Dur ingat bahwa ketika ia duduk menunggui
ayahnya yang tergolek tak sadarkan diri di tepi jalan, ia mendadak
teringat akan pesan ayahnya bahwa terdapat sejumlah besra uang yang
disimpan di bantalan kecil di tempat duduk bagian belakang. Ia pun
mengambil bantalan itu dan memegangnya erat-erat. Ketika ia berada di
rumah sakit, ia tetap tidak mau menyerahkan bantalan itu kepada orang
erta-28
erat karena rasa sedihnya yang dalam. Baru ketika sang ibu tiba ia
menyerahkan bantalan itu kepadanya.
Ketika beranjak dewasa, Gus Dur baru tahu bahwa ayahnya adalah
seorang tokoh yang populer dan berpengaruh. Namun sukar bagi seorang
anak untuk benar-benar memahami hal ini. Barulah ketika ia membawa
pulang jenazah ayahnya ke Jakarta ia baru tahu betapa besar rasa hormat
dan cinta orang kepada ayahnya. Pada saat rombongan melewati
jalan-jalan di Bandung dan kemudian ke jalan-jalan raya, Gus Dur tercekam melihat
demikian banyaknya orang yang berbaris di tepi jalan untuk memberikan
penghormatanterakhir kepada ayahnya, Wahid Hasyim. Di setiap kota
dan desa, jalan-jalan dipenuhi oleh orang-orang yang berduka. Mereka
menunggu dengan sabar di tengah terik matahari untuk dapat
menyaksikan perjalanan terakhir seorang tokoh yang sangat mereka
cintai.
Hal yang sama terjadi keesokan harinya ketika iring-iringan jenazah
berangkat dari rumah duka di Matraman ke lapangan udara Halim. Masih
jelas dalam ingatan Gus Dur betapa jalan-jalan di Jakarta dipadati oleh
orang-orang yang ingin menyaksikan perjalanan terakhir ayahnya, Wahid
Hasyim, ke Jawa Timur. Di Surabaya, demikian kenang Gus Dur, lebih
banyak orang lagi berkerumun di jalan-jalan daripada di Jakarta.
Demikian juga kerumunan orang terlihat di setiap desa kecil dan di setiap
kediaman yang dilewati oleh iring-iringan jenazah sepanjang perjalanan
29
Bagi seorang anak yang baru berusia dua belas tahun, kesabaran yang
ditunjukkan oleh orang-orang ini ketika menunggu di tepi sepanjang jalan
memperlihatkan dengan jelas besarnya cinta mereka terhadap ayahnya.
Hampir setengah abad kemudian, Gus Dur menceritakan bagaimana ia
sangat dipengaruhi oleh kesadaran bahwa orang sangat mencintai
almarhum ayahnya itu. Diingatnya bagaimana ia berusaha memecahkan
arti semuanya ini sambil berfikir: “Apa yang mungkin dapat dilakukan
oleh seorang manusia sehingga rakyat sangat mencintainya? Apakah ada
prestasi yang lebih baik daripada hal ini dalam hidup?” Kenangan yang
pahit namun manis ini tetap tak terlupakan oleh Gus Dur (Barton,
2016:44-46).
Dalam urusan asmara, Gus Dur muda memiliki gaya yang berbeda
dari remaja pada umumnya. Gus Dur muda dikenal sebagai pria pemalu.
Ia lebih memilih buku dan bola sebagai teman daripada harus berpacaran
(Hamid, 2010:17).
Hingga akhir tahun 1966, perjalanan studi Gus Dur di Kairo tidak
menemukan jalan terang. Dan pada saat itu Gus Dur juga menjalin
korespondensi dengan seorang gadis, mantan muridnya di Tambakberas,
Nuriyah, yang sedikit dikenalnya beberapa saat sebelum ia meninggalkan
tanah air. Nuriyah, yang konon merupakan „kembang pesantren‟ sehingga
banyak pria yang meminatinya, pada awalnya tak merespon Gus Dur.
30
Meski terpisah oleh jarak yang jauh, Gus Dur mencoba mendekati
Nuriyah melalui surat.
Pada suatu ketika, pada akhir tahun1966, di tengah kegalauan karena
kegagalan studinya di Kairo, Gus Dur mengirimkan surat yang berisi
kesedihan hati sekaligus kesungguhannya untuk meminang gadis
pujaannya itu. Tetapi kenapa untuk kali itu Nuriyah memberikan jawaban
yang tegas kepada Gus Dur melalui suratnya; “Mengapa orang harus
gagal dalam segala hal? Anda boleh gagal dalam studi Anda, paling tidak
berhasil dalam kisah cinta.” Gus Dur tentu bersuka cinta mendapatkan
jawaban ini. Ia pun segera menulis surat kepada ibunya di Jombang untuk
meminang Nuriyah (Mandan dkk, 2010:50-51).
Pernikah ini berlangsung pada tanggal 11 Juli 1968, Gus Dur
melangsungkan pernikahan jarak jauh. Inilah kejadian heboh pertama dari
Gus Dur untuk keluarga istrinya. Karena Gus Dur masih berada di Mesir,
terpaksa pernikahan dilakukan tanpa menghadirkan mempelai pria (in
absentia). Sehingga pihak keluarga meminta kakek Gus Dur dari garis
ibu, KH. Bisri Syamsuri, yang berusia 68 tahun, untuk mewakili
mempelai pria.
Pernikahan ini smepat membuat geger tamu yang menyaksikan acara
ijab kabul. Namun kesalahpahaman itu hilang setelah pada 11 September
1971, pasangan Gus Dur- Nuriyah melangsungkan pesta pernikahan.
Pernikahan Gus Dur dengan Nuriyah dianugerahi emapat putri.
31
Chafsoh (Yenny), Anita Hayatunnufus (Anita), dan Inayah Wulandari
(Inayah) (Hamid, 2010: 19-20).
Keluarga Gus Dur tampaknya tidak jauh dengan model keluarga
lainnya. Konsepnya tentang suami istri misalnya pernah ia ungkapkan,
Menurut Tiara dalam buku Gus Dur Guru Bangsa Bapak Pluralisme (Hadi, Tanpa Tahun:21), Istri itu yang terbaik kalau „nggak‟ ikut
campur urusan suami. Dan suami yang baik adalah „nggak‟ mau tahu
-urusan istrinya. Yang penting menghormati hak masing-masing. Saya nggak pernah cerita-cerita. Zaman saya susah, pulang dari Mesir, saya kan mengajar di pondok Pesantren. Untuk tambah-tambah penghasilan istri saya tiap malam menggoreng kacang dan bikin es lilin, kadang-kadang sampai pukul 02.00 pagi. Esok harinya dijual di warung-warung. Dan dia tidak guncang. Sampai hari ini. Saya selalu ingat saat saya menderita dulu.
2. Riwayat Pendidikan KH. Abdurrahman Wahid a. Pendidikan di Jawa
Gus Dur kecil belajar pada sang kakek, K.H Hasyim Asy‟ari.
Saat serumah dengan kakeknya, ia diajari mengaji dan membaca
Al-Qur‟an. Dalam usia lima tahun ia telah lancar membaca Al-Qur‟an.
Pada saat sang ayah pindah ke Jakarta, di samping belajar formal
di sekolah, Gus Dur juga mengikuti les privat Bahasa Belanda. Guru
lesnya bernama Willem Buhl, berkebangsaan Jerman yang telah
masuk Islam, dan telah mengganti namanya dengan Iskandar.
Untuk menambah pelajaran Bahasa Belanda tersebut, Buhl selalu
menyajikan musik klasik yang biasa dinikmati oleh orang dewasa.
Inilah pertama kali persentuhan Gus Dur dengan dunia Barat dan dari
sini pula Gus Dur mulai tertarik dan mencintai musik klasik (Hamid,
32
Gus Dur memulai pendidikan dasarnya di Sekolah Dasar KRIS di
Jakarta Pusat. Ia mengikuti pelajaran di kelas tiga dan kemudian di
kelas empat. Akan tetapi ia kemudian pindah ke Sekolah Dasar
Matraman Perwari, yang terletak di dekat rumah keluarga mereka
yang baru di Matraman, Jakarta Pusat. Pada tahap ini, pendidikan Gus
Dur sepenuhnya bersifat sekuler. Namun, tentu saja ia telah
mempelajari bahasa Arab ketika kecil dan mempunyai cukup
pengetahuan untuk dapat membaca Al-Qur‟an dengan suara keras.
Akan tetapi, baru setelah beranjak remaja, ia mulai belajar bahasa
Arab secara sistematik. Selain itu, Gus Dur dan saudaranya
dianjurkan ayahnya untuk membaca apa saja yang disukai dan
kemudian secara terbuka membicarakan ide-ide yang mereka
temukan, agar anak-anaknya tumbuh besar dengan cakrawala pikiran
yang luas (Barton, 2016:42).
Setahun setelah wafatnya sang ayah, yaitu pada tahun 1954,
setelah lulus SD, Gus Dur melanjutkan sekolah tingkat menengah
pertama ke SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) di
Yogyakarta. Meski tergolong sangat cerdas, entah karena masih
terguncang oleh wafatnya sang ayah, atau karena sebab lain, di SMEP
ini Gus Dur sempat mengalami kegagalan, sehingga harus mengulang
kelas. Gus Dur sendiri beralasan kegagalannya tersebut karena ia
33
Di Yogyakarta, Gus Dur tinggal di rumah teman ayahnya yang
bernama Kiai Haji Junaidi. Yang menarik adalah bahwa Haji Junaidi
bukanlah orang NU, melainkan anggota Muhammadiyah, yang saat
itu menjabat sebagai anggota Majelis Tarjih atau Dewan Penasehat
Agama Muhammadiyah (Mandan dkk, 2010:40). Hal ini sebenarya
mungkin biasa-biasa saja. Akan tetapi saat itu, dan bahkan dalam
beberapa dasawarsa kemudian, secara relatif hampir tidak terdapat
pertautan antara kaum modernis Muhammadiyah dan kaum
tradisionalis NU. Sebagaiman NU, dulu dan juga sekarang,
merupakan organisasi ulama yang mewakili Islam tradisional di
Indonesia, sementara hampir semua kaum muslim modernis
tergabung dalam Muhammadiyah. Kaum modernis dan kaum
tradisionalis berbeda dalam pendekatan mereka ketika menafsirkan
Al-Qur‟an; juga dalam sikap mereka terhadap praktik-praktik dan
kepercayaan mistik serta dalam integrasi budaya mereka ke dalam
kehidupan urban modern (Barton, 2016:49-50).
Proses belajar atau masa pendidikan Gus Dur di masa sekolah
dasar dan lanjutan pertamanya adalah di sekolah-sekolah sekuler.
Inilah yang membedakan dirinya dengan kakek dan ayahnya yang
tidak pernah mencicipi pendidikan sekuler, dan Gus Dur merupakan
penanda generasi santri yang menerima pendidikan modern sejak
34
Ketika Gus Dur sekolah di SMEP di Yogyakarta, diusahakan pula
dan diatur bagaimana ia dapat pergi ke pesantren Al Munawwir di
Krapyak sebanyak tiga kali. Disini ia belajar bahasa Arab dengan KH.
Ali Ma‟shum (Rifa‟i, 2016:31).
Selain belajar dengan membaca buku-buku berbahasa Inggris,
untuk meningkatkan kemampuan bahasa Inggrisnya sekaligus
menggali informasi, Gus Dur aktif mendengarkan siaran lewat radio
Voice of America dan BBC London. Ketika mengetahui bahwa Gus
Dur pandai dalam bahasa Inggris, Sumantri, seorang guru SMEP
yang juga anggota Partai Komunis, memberi buku karya Lenin „What
is To Be Done‟. Pada saat yang sama, anak yang memasuki masa
remaja ini telah mengenal Das Kapital karya Karl Marx, filsafat
Plato, Thales, dan sebagainya. Dari paparan ini tergambar dengan
jelas kekayaan informasi dan keluasan wawasan Gus Dur (Hamid,
2010:32). Ia juga membaca buku Lenin yang lain Infantile
Communism dan buku Mao, Little Red Book-Mao. Namun bagi Gus
Dur saat itu, yang merupakan topik paling menarik dari semua karya
itu adalah aspek sifat kemanusiannya. Dan yang paling menyita
perhatiannya adalah karya-karya sastra dan kebudayaan. Karena
semua bahan pelajaran di pesantren terasa sangat mudah baginya
untuk dikuasai, maka Gus Dur memiliki waktu yang leluasa untuk
memenuhi hasratnya membaca karya-karya warisan ilmuwan dunia
35
muslim yang masih dalam proses pencarian identitas diri, Gus Dur
juga ingin mengetahui pikiran-pikiran para tokoh Islam, seperti
Sayyid Qutb, Said Ramadhan, Hasan Al-Bana, dan tokoh-tokoh lain
penggerak Ikhwanul Muslimin. Semua itu ia baca dengan
sungguh-sungguh, sehingga ia dapat memahami pikiran para tokoh gerakan
Islam tersebut (Mandan dkk, 2010:42).
Ketika berdiam di Yogyakarta, ia mulai menyukai film secara
serius. Hampir sebagian besar dari waktunya selama tinggal di kota
ini ia habiskan dengan menonton film, apresiasi Gus Dur terhadap
film jauh lebih serius daripada yang ditunjukkan oleh kebanyakan
teman-teman sebayanya.
Di Yogyakarta juga Gus Dur pertama-tama mulai tertarik pada
wayang kulit, yang merupakan pertunjukkan wayang tradisional.
Pertunjukkan wayang kulit ini sering diadakan di sekitar Yogyakarta,
tetapi jarang dipentaskan di ibu kota. Ketika berdiam di Yogyakarta
dan Magelang ia selalu mencari-cari pertunjukkan wayang kulit dan
umumnya ia bisa menonton pertunjukkan ini setiap dua atau tiga
minggu sekali, walaupun untuk itu ia harus menmepuh jarak yang
cukup jauh.
Sebagaimana juga remaja lainnya, Gus Dur juga menyukai sastra
picisan. Baginya, bacaan ini sering mengandung unsur penting dalam
hidupnya. Ia sangat menyenangi cerita silat, yaitu cerita-cerita
36
Indonesia keturunan Cina ataupun terjemahan dari tulisan-tulisan asli
dalam bahasa Cina. Cerita silat biasanya berbentuk novel pendek
dalam lima belas jilid atau lebih. Cerita silat memang tak dapat
dianggap sebagai sastra serius. Akan tetapi yang menarik bagi Gus
Dur, ketika ia mengingat-ingat kembali masa awal kegandrungannya
akan cerita silat, terdapat banyak unsur falsafah Cina yang terdapat
dalam cerita-cerita itu yang kemudian mempengaruhi cara berfikirnya
(Barton, 2016:54-55).
Setelah tamat dari SMEP di Yogyakarta pada tahun 1957, Gus
Dur pindah ke Magelang, tepatnya pindah ke Pesantren Tegalrejo di
bawah asuhan kiai kharismatik, Kian Khudori. Di sinilah, Gus Dur
belajar secara penuh dengan dunia pesantren berikut segala
keilmuannya (Rifa‟i, 2016:33). Dari Kiai Khudori inilah, Gus Dur
dikenalkan dengan ritus-ritus sufi dan menanamkan praktik-praktik
ritual mistik. Di bawah bimbingan kiai ini pula, Gus Dur mulai
mengadakan ziarah ke kuburan-kuburan keramat para wali di Jawa.
Pada saat ini pula Gus Dur telah mampu menunjukkan
kemampuannya dalam berhumor dan berbicara (Hamid, 2010:32).
Pelajaran-pelajaran yang diberikan di pesantren Tegalrejo, yang
umumnya selesai diberikan dalam waktu enam tahun, oleh Gus Dur
dapat diselesaikan hanya dalam tempo dua tahun, sampai tahun 1959
37
waktu di Pesantren Denanyar Jombang di bawah bimbingan kakeknya
dari pihak ibu, Kiai Wahab Hasbullah (Rifa‟i, 2016:33).
Selain terus menuntut ilmu, ia juga mulai mengabdi sebagai
pengajar. Kemudian berlanjut menjadi kepala sekolah madrasah. Di
samping itu, ia juga mulai memperlihatkan kemampuan menulisnya.
Tercacat ia mulai menulis sebagai jurnalis di harian Majalah Budaya
Jaya dan Horizon (Al-Madyuni, 2013:98).
b. Belajar di Luar Negeri
1. Universitas Al-Azhar, Kairo
Pada tahun 1963, Wahid menerima beasiswa dari Kementrian
Agama untuk belajar di Universitas Al Azhar di Kairo. Ia pergi
ke Mesir pada November 1963 (Hadi, Tanpa Tahun:16). Saat ia
tiba di Al-Azhar ia diberitahu oleh pejabat-pejabat universitas itu
bahwa dirinya harus mengikuti kelas khusus untuk memperbaiki
pengetahuan mengenai bahasa Arab. Gus Dur sebenarnya telah
mempunyai sertifikat yang menunjukkan bahwa ia telah lulus
studi yurisprudendi Islam yang kesemuanya memerlukan
pengetahuan bahasa Arab yang sangat baik, namun sayangnya ia
tidak mempunyai ijasah yang menunjukkan bahwa ia telah lulus
kelas dasar bahasa Arab. Sebagai akibatnya, ia dimasukkan ke
kelas yang benar-benar pemula (Barton, 2016:88).
Sepanjang tahun 1964, Gus Dur hampir tidak pernah masuk
38
pertandingan sepakbola, membaca di perputakaan, menonton film
Perancis dan ikut dalam diskusi-diskusi. Begitulah Gus Dur
menikmati kota Kairo dengan caranya sendiri (Mandan dkk,
2010:47).
Di Kairo, Gus Dur mendapati bahwa ia dapat menonton
film-film terbaik Perancis, Eropa, Inggris, dan Amerika. Selain itu,
Gus Dur banyak menghabiskan waktunya di perpustakaan
Universitas Amerika di Kairo. Perpustakaan-perpustakaan yang
ada di Kairo penuh dengan buku, jauh lebih banyak daripada
yang pernah dilihatnya sebelum ia ke kota ini. Jika tidak
membaca di perpustakaan Universitas Amerika, ia sering berada
di perpustakaan Universitas Kairo atau di perpustakaan Prancis.
Di situ pula Gus Dur membaca hampir semua karya William
Faulkner, selain itu ia membaca dan menikmati novel-novel
Ernest Hemingway. Ia juga suka dengan sastra Eropa, terutama
prosanya. Meski demikian, ia juga membaca prosa dan puisi
karya Edgar Allan Poe dan puisi-puisi John Donne. Dihafalnya
sebagian besar dari puisi Donne yang berjudul No Man Is an
Island. Ia juga mulai membaca karya-karya Andre Gide, Kafka
dan Tolstoy, yang sebelumnya tak bisa ia peroleh, karya-karya
Pushkin serta novelis-novelis Eropa.
Adapun buku yang dibawanya ke Kairo yang dianggapnya
39
kemudian ia diskusikan bersama mahasiswa dan kaum
cendikiawan di kedai-kedai kopi. Ia juga berkenalan dengan
pemikiran Eropa . Bagi Gus Dur, Kairo merupakan kota dengan
kehidupan sastra, pencaharian pengetahuan, dan ide-ide baru.
Karena di bawah pemerintahan Nasser terdapat lingkungan
intelektual yang penuh optimisme dan relatif terbuka.
Pada tahun 1964, Gus Dur dan seorang teman, Mustofa Bisri,
membuat majalah bagi Perhimpunan Pelajar Indonesia yang
diketahui oleh Gus Dur sendiri. Ia juga secara teratur
menyampaikan pidato dalam pertemuan-pertemuan mahasiswa
Indonesia dan dengan cepat ia dikenal sebagai pembicara dan
penulis esai yang jenaka dan provokatif. Topik esai yang paling
disenanginya adalah politik Indonesia, masa depan Indonesia,
serta Islam dan modernitas.
Di Al-Azhar Gus Dur mengalami kekecewaan karena
pendekatan yang digunakan adalah menghafal. Karena semua itu
sudah ditempuhnya selama belajar di Pesantren. Al-Azhar
memang murni sebuah universitas Islam dan sangat bangga akan
sejarahnya yang panjang. Universitas ini tidak mau
menggabungkan unsusr-unsur pendidikan modern Barat dalam
program pengajarannya, lebih memprioritaskan hafalan
40
Di Mesir, Gus Dur dipekerjakan di Kedutaan Besar
Indonesia. Saat itulah, peristiwa Gerakan 30 September terjadi.
Soeharto, yang saat itu berstatus sebagai Mayor Jenderal,
menangani situasi di Jakarta dan upaya pemberantasan komunis
dilakukan. Sebagai bagian dari upaya tersebut, Kedutaan Besar
Indonesia di Mesir diperintahkan untuk melakukan investigasi
terhadap pelajar universitas dan memberikan laporan kedudukan
politik mereka. Perintah ini diberikan pada Gus Dur, yang
ditugaskan menulis laporan (Hamid, 2010:34-35).
Bagi Gus Dur, Al-Azhar tampaknya terbenam dalam masa
lampau. Sayyid Qutb dan kaum Islamis lainnya terobsesi oleh
ekstrimisme agama, sedangkan pemerintahan Nasser terobsesi
dengan ekstrimisme nasionalis. Sementara itu, di Jawa, NU ikut
serta dalam melampiaskan kebencian dan histeria yang mengubah
manusia beradab menjadi pembunuh-pembunuh berdarah dingin.
Gus Dur masih ingat bahwa untuk beberapa saat ia berfikir untuk
kembali ke Jawa dan menjadi aktivis hak azasi manusia. Namun
demikian, ia tahu bahwa tanpa gelar universitas maka geraknya
akan terbatas hanya di Indonesia dan bahwa ia telah cukup
mengenal Kairo dan ia sangat sadar bahwa masih banyak yang
41 2. Universitas Baghdad, Irak
Walaupun Gus Dur merasa kecewa dengan studi formalnya
di Kairo, namun ia menarik banyak manfaat dari lingkungan
sosial dan intelektual di sana (Barton, 2016:103). Untungnya,
kondisi yang membosankan di Kairo tersebut, segera terobati
ketika ia mendapat tawaran beasiswa di Universitas Baghdad.
Pada 1960-an, Universitas Baghdad mulai berubah menjadi
universitas bergaya Eropa (Rifa‟i, 2016:34).
Pada tahun pertamanya di universitas ini ia berkenalan
dengan Mahfudz Ridwan, yang berasal dari Salatiga, Jawa
Tengah. Mahfudz menjadi teman Gus Dur yang terpercaya dan
berharga. Catatan kuliah Mahfudz juga sangat berguna baginya
untuk mengikuti ujian.
Di Baghdad, Gus Dur memiliki jadwal yang lebih padat dan
lebih ketat daripada saat di Kairo. Tetapi kebiasaan membaca dan
menonton film masih dilakukan. Di Baghdad, Gus Dur bekerja di
kantor Rahmadani mulai pukul 11 sampai dua siang.
Ar-Rahmadani adalah perusahaan kecil yang mengkhususkan diri
dalam impor tekstil dari Eropa dan Amerika, selama tiga setengah
tahun. Setiap sore ia sibuk membaca di perpustakaan universitas
untuk membuat tugas makalah secara teratur dan sering kali