• Tidak ada hasil yang ditemukan

Judul Skripsi :Konsep Pendidikan Islam Inklusif Perspektif KH. Abdurrahman Wahid. - Test Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Judul Skripsi :Konsep Pendidikan Islam Inklusif Perspektif KH. Abdurrahman Wahid. - Test Repository"

Copied!
187
0
0

Teks penuh

(1)

i

KONSEP PENDIDIKAN ISLAM INKLUSIF

PERSPEKTIF K.H. ABDURRAHMAN WAHID

SKRIPSI

Diajukan untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

Oleh :

DIAN APRIANI

NIM. 111 13 252

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

vi

“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan

seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku

supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia

diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.

(7)

vii

PERSEMBAHAN Karya tulis ini, kupersembahkan untuk:

1. Ibunda Sri Mulyani (Alm), perempuan terhebat yang diamanahi untuk hadirkan aku dalam kehidupan ini.

2. Bpk. Sardi dan Ibu Rusmini, yang dipilih Allah untuk senantiasa merawat serta menjagaku.

3. Abah Ulin Nuha dan Ibu Nyai Charirah, yang tak pernah jenuh dan lelah dalam menyampaikan ilmu serta nasehatnya.

4. Abah Mahfudz Ridwan sekeluarga, yang senantiasa memberikan bimbingan dan doanya.

5. Seluruh Keluarga Besarku, yang telah memberikan dukungan serta senantiasa menumbuhkan semangat ku dalam menimba ilmu.

6. Keluarga Besar PP. Madrasatul Qur’an, Andong, Boyolali dan PP. Edi

Mancoro, Gedangan, Tuntang, yang selalu bersamaku dalam langkah-langkahku menggapai cita.

7. Sahabat-sahabat terkasihku dalam Keluarga Asma’ Room, Keluarga Besar Bidik Misi IAIN Salatiga, Keluarga Besar Wanita Karier, dan Keluarga Besar Mahasiswa Al Khidmah Salatiga, sungguh berada dalam sisi kalian adalah hal yang luar biasa.

(8)

viii

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas

limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

ini. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulullah SAW, keluarga,

sahabat dan para pengikut setianya.

Skripsi ini dibuat untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh

gelar kesarjanaan dalam Ilmu Tarbiyah di Institut Agama Islam Negeri Salatiga.

Dengan selesainya skripsi ini tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih

kepada:

1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M. Pd., selaku Rektor IAIN Salatiga.

2. Bapak Suwardi, M.Pd., selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan

(FTIK).

3. Ibu Siti Rukhayati, M.Ag., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam,

yang berkenan mengoreksi dan mengarahkan judul skripsi di tengah padatnya

tugas.

4. Bapak Drs. A. Sultoni, M.Pd., selaku dosen pembimbing akademik, beserta

bapak dan ibu dosen yang telah berkenan membimbing penulis selama masa

studi.

5. Bapak Dr. Miftahuddin, M.Ag., selaku dosen pembimbing yang telah

berkenan meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan

bimbingan, arahan serta ide cemerlangnya dalam penyelesaian skripsi ini.

6. Segenap guru dan kiaiku, yang insyaallah petuahnya adalah obat bagi setiap

jiwa yang gersang.

7. Segenap keluarga besar, dan sahabat-sahabat terbaik yang dikirim oleh Allah

untuk selalu mendampingiku. Jazakumullahu khair al-jaza‟.

Kepada mereka semua, penulis berharap semoga Allah SWT senantiasa

melimpahkan rahmat-Nya kepada mereka serta membalas semua amal baik yang

telah diberikan kepada penulis. Akhirnya, dari karya tulis ini penulis berharap

kemanfaatan bagi penulis khususnya dan para pembaca umumnya.

(9)

ix ABSTRAK

Apriani, Dian. 2017. Konsep Pendidikan Islam Inklusif Perspektif K.H Abdurrahman Wahid. Skripsi. Jurusan Pendidikan Agama Islam. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Dr. Miftahuddin, M. Ag.

Kata Kunci: Konsep, Pendidikan Islam, Inklusif, Abdurrahman Wahid

Penulisan skripsi ini merupakan sebuah upaya untuk mengupas lebih dalam tentang sosok pemikir Muslim modernis serta kontroversi, yakni KH. Abdurrahman Wahid. Tujuan penelitian dalam skripsi ini ada dua hal, yaitu: 1) Untuk mendiskripsikan konsep Pendidikan Islam Inklusif perspektif KH. Abdurrahman Wahid; 2) Untuk mendiskripsikan relevansi pemikiran KH. Abdurrahman Wahid tentang Pendidikan Islam Inklusif dengan pendidikan di era sekarang.Tujuan tersebut menjawab dari rumusan masalah dalam penelitian ini: 1) Bagaimana konsep Pendidikan Islam Inklusif menurut KH. Abdurrahman Wahid? 2) Bagaimana relevansi pemikiran KH. Abdurrahman Wahid tentang Pendidikan Islam Inklusif dengan pendidikan di era sekarang?

Jenis penelitian ini adalah Library Research, yaitu penelitian yang dilakukan dengan menggunakan sumber-sumber literatur perpustakaan. Adapun sumber data terbagi menjadi dua, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari buku atau karya-karya K.H Abdurrahman Wahid yang berkaitan dengan judul penelitian. Sedangkan data sekunder diambil dari literatur dan buku-buku yang bersangkutan dengan obyek pembahasan penulis. Sementara itu, metode pengumpulan data dalam karya tulis ini menggunakan metode dokumentasi dan wawancara.Adapun teknis analisis data menggunakan metode deduktif, induktif, dan historis.

(10)

x DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN BERLOGO ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... v

MOTTO ... vi

1. Riwayat Hidup KH Abdurrahman Wahid ... 19

2. Riwayat Pendidikan KH Abdurrahman Wahid ... 31

3. Karir Sang Guru Bangsa ... 43

4. Penghargaan ... 45

5. Karya-Karya KH Abdurrahman Wahid ... 47

B. Konteks Eksternal ... 49

(11)

xi

2. Aspek Sosial Budaya ... 51

3. Aspek Sosial Politik ... 53

C. Corak Pemikiran KH Abdurrahman Wahid ... 55

1. Pluralisme ... 56

2. Landasan Pendidikan Inklusif ... 82

3. Karakter dan Tujuan Pendidikan Inklusif ... 85

B. Pendidikan Islam ... 87

1. Pengertian Pendidikan Islam ... 87

2. Landasan Dasar Pendidikan Islam ... 90

3. Konsep dan Tujuan Pendidikan Islam ... 92

4. Unsur-Unsur Pendidikan Islam ... 94

C. Pendidikan Islam Inklusif ... 102

1. Pengertian Islam Inklusif ... 102

2. Pendidikan Islam sebagai Sistem Kebenaran Universal ... 104

3. Konsep Pendidikan Islam Berparadigma Inklusif ... 112

BAB IV PEMIKIRAN TOKOH A. Analisis Konsep Pendidikan Islam Inklusif Gus Dur ... 124

1. Inklusivitas Pemikiran Islam Gus Dur ... 125

a. Pribumisasi Ajaran Islam ... 125

b. Pluralisme ... 127

c. Humanisme ... 130

2. Konsep Pendidikan Islam Inklusif Gus Dur ... 133

(12)

xii BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 151

B. Saran ... 152

DAFTAR PUSTAKA

(13)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Surat Tugas Pembimbing Skripsi

Lampiran 2 : Lembar Konsultasi

Lampiran 3 : Daftar Riwayat Hidup Peneliti

Lampiran 4 : Ringkasan Skripsi dalam Bentuk Power Point

Lampiran 5 : Pernyataan Melakukan Wawancara

Lampiran 6 : Transkip Wawancara

Lampiran 7 : Foto-foto Penelitian

(14)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan manusia dewasa ini, dimana

dengan adanya pendidikan akan mampu menciptakan generasi emas yang

akan membangun kembali peradaban suatu bangsa. Banyak program yang

telah ditawarkan pemerintah guna untuk meningkatkan mutu suatu

pendidikan, serta meningkatkan sumber daya manusia yang berkualitas.

Dengan proses pendidikan yang dilalui setiap manusia inilah yang akan

membedakan manusia dengan makhluk-makluk Allah lainya, hal ini

tercantum dalam Q.S Al-Mujaadilah ayat 11:



Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu:

„Berlapang-lapanglah dalam majelis‟, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: „Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan

beberapa derajat‟. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu

kerjakan.”(Syamil Qur‟an, 2007:543).

Menurut Undang-undang RI No. 20 tahun 2003 pasal 1 ayat (1),

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana

belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

(15)

2

keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta

keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara

(Sisdiknas UU RI No. 20 tahun 2003:2). Dari pengertian dapat dipahami

bahwa pendidikan adalah proses pembelajaran yang dilakukan secara sadar

dan tersusun dengan tujuan untuk membentuk manusia yang berakhlak dan

memiliki pengetahuan sesuai dengan kemampuannya, yang nantinya akan

mampu diimplementasikan pada kehidupannya dengan tujuan menjadi

individu yang aktif, produktif serta inovatif baik untuk pribadi maupun

masyarakat pada umumnya. Begitu juga dengan pendidikan Islam yang

memiliki tujuan yang sangat penting bagi perkembangan kehidupan

beragama, berbangsa dan bernegara guna untuk mewujudkan peradaban dunia

yang Islami.

Islam adalah agama yang mengajarkan untuk senantiasa menebarkan

cinta damai kepada semua orang sebagai wujud agama yang Rahmatul

Lil‟alamin, mengajarkan bagaimana bersikap yang baik terhadap perbedaan

yang ada. Ajaran Islam sebagai sebuah sistem yang diyakini oleh penganutnya

yang memiliki nilai-nilai tentang kebenaran yang hakiki dan mutlak untuk

dijadikan sebagai pedoman dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk di

dalamnya aspek pendidikan (Ramayulis, 2015:4-5). Dengan demikian dapat

dikatakan bahwa Islam telah mengatur segala aspek kehidupan terutama aspek

pendidikan. Maka dari itu pendidikan Islam diharapkan mampu meningkatkan

keimanan dan mengembangkan sikap toleransi terhadap golongan lain.

(16)

3

hanya terfokus pada aspek kognitif (pengetahuan) semata, melainkan

bagaimana kita menginterpretasikan ajaran agama dalam kehidupan

sehari-hari, bukan untuk menyalahkan orang lain karena berbeda dengan kita. Tapi

pendidikan yang mampu mengintegrasikan segala aspek, baik aspek akal,

emosi, moral, dan aspek spiritual. Sehingga akan menciptakan insan manusia

yang Islami, yang menghargai perbedaan dan memiliki sikap toleran yang

tinggi.

Di Indonesia pendidikan Islam masih identik dengan dunia Pesantren dan

Madrasah, dimana sistem yang ada di dalamnya masih tertutup dengan alur

perkembangan saat ini. Selain itu antara pendidikan Islam dan pendidikan

umum seakan-akan satu dengan yang lain saling memisahkan diri. Hal ini

juga yang akan menghambat perkembangan pendidikan di Indonesia,

terutama pendidikan Islam. Menurut Arif (2008:xi) Pendidikan Islam

mengalami stagnasi (kemandekan) akut akibat kuatnya pengaruh corak

berfikir normatif-reproduktif dan miopik-narsistik yang disadari atau tidak,

turut dilanggengkan oleh sikap pengharaman terhadap hal-hal yang berbau

filsafat dan kebebasan berfikir kritis yang masih tetap dilestarikan dalam

sistem pendidikan Islam tradisional.

Indonesia dikenal sebagai bangsa yang majemuk, karena menyimpan akar

keberagaman dalam hal agama, bahasa, tradisi, dan budaya (Rosyidi, 2009:1).

Begitu halnya dalam dunia pendidikan yang mana dalam

komponen-komponen pendidikan terdapat beberapa lapis yang berbeda-beda. Terutama

(17)

4

Mereka datang dari background keluarga yang berbeda-beda, karakter yang

berbeda-beda. Disinilah bagaimana pendidikan Islam mampu merangkul

semua kalangan. Pendidikan yang menghargai perbedaan pendapat tanpa

harus mengorbankan akidah yang diyakini, menghargai diri, menghargai

kebenaran, menghargai keindahan, dan menghargai lingkungan, alam kultural

(Rosyidi, 2009:10).

Untuk menciptakan suatu pendidikan yang mencangkup semua aspek

kehidupan yang tertuang dalam Bhineka Tunggal Ika, maka diperlukan

adanya sikap inklusif. Kata inklusif berasal dari bahasa Inggris “inclusive

yang artinya “termasuk di dalamnya” (Kembara, Tanpa tahun:185). Sikap

inklusif merupakan sikap keterbukaan untuk menghargai kemajemukan yang

ada di Indonesia, jika dikembangkan secara luas akan mampu melahirkan

pluralisme. Dimana nilai-nilai inklusif jika diaktualisasi dalam dunia

pendidikan akan mampu menumbuhkan suatu pembelajaran yang

mengutamakan kebenaran bersama tanpa ada yang mengunggulkan satu

golongan.

Pola pendidikan Islam yang terbuka dengan adanya perubahan-perubahan

di Indonesia dikenalkan oleh salah satu tokoh bahkan termasuk salah satu

pemimpin negara yaitu KH. Abdurrahman Wahid, atau lebih dikenal dengan

sebutan Gus Dur, seorang ulama sekaligus cendikiawan Muslim. Dalam dunia

pendidikan Gus Dur memadukan nilai-nilai tradisional dan Barat modern

yang disebut neomodernisme, yaitu suatu gerakan progresif dalam pemikiran

(18)

5

tertarik pada pengetahuan tradisional (Faisol, 2011:16). Beliau yang dikenal

sebagai pelindung kaum minoritas dan tertindas, juga yang memperkenalkan

sikap keterbukaan dan toleransi terhadap keberagaman yang ada. Gus Dur

lebih populer dengan sebutan “Bapak Pluralisme Indonesia” karena beliau

dekat dengan masyarakat manapun, tidak memandang agama, ras, maupun

suku. Baginya semua adalah sama yaitu masyarakat Indonesia yang menyatu

di bawah Bhineka Tunggal Ika.

Untuk menerima dan mengafirmasi pluralisme masyarakat dan

menekankan signifikansi toleransi dan harmoni dalam hubungan

antar-komunal dibutuhkan sikap terbuka, inklusif dan liberal (Masdar, 1999:122).

Dalam hal ini, Gus Dur mengedepankan sikap terbuka (inklusif) dalam

memahami masyarakat yang beranekaragam. Dengan sikap seperti inilah Gus

Dur diterima oleh semua kalangan, baik itu dari kalangan muslim maupun

non muslim, dari masyarakat negara sendiri maupun masyarakat manca

negara.

Berkaitan dengan hal tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji dan

menelaah pemikiran dan gagasan Gus Dur yang sering dianggap nyleneh atau

kontroversial oleh kebanyakan orang. Maka dari itu penulis melakukan

penelitian kepustakaan dengan judul “KONSEP PENDIDIKAN ISLAM

INKLUSIF MENURUT KH. ABDURRAHMAN WAHID”. B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana konsep Pendidikan Islam Inklusif menurut KH. Abdurrahman

(19)

6

2. Bagaimana relevansi pemikiran KH. Abdurrahman Wahid tentang

Pendidikan Islam Inklusif dengan pendidikan di era sekarang?

C. Tujuan Penilitian

Sejalan dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Untuk mendiskripsikan konsep Pendidikan Islam Inklusif menurut KH.

Abdurrahman Wahid.

2. Untuk mendiskripsikan relevansi pemikiran KH. Abdurrahman Wahid

tentang Pendidikan Islam Inklusif dengan pendidikan di era sekarang.

D. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan manfaat bagi semua

kalangan masyarakat serta kalangan para pendidik secara teoritik dan pratik

antara lain sebagai berikut:

1. Secara Teoritik

Dapat memberikan sumbangan pengembangan konsep pendidikan

inklusif dari pemikiran KH. Abdurrahman Wahid yang dapat

memperkaya khasanah keilmuwan dunia pendidikan Islam untuk

digunakan dalam proses pembelajaran.

2. Secara Praktik

a. Bagi mahasiswa, dari hasil penelitian ini diharapkan dapat

menjadikan sumber informasi belajar tentang pendidikan Islam

(20)

7

satu cara penguasaan dalam menumbuhkan sikap inklusif kepada

peserta didik secara efektif.

b. Bagi dosen dan institut, hasil penelitian ini diharapkan dapat

dijadikan informasi untuk menambah partisipasi dan kepedulian

terhadap konsep-konsep pendidikan Islam inklusif dalam

pembelajaran khususnya di lembaga pendidikan Islam.

c. Bagi peneliti, hasil penelitian ini dapat dikembangkan lebih lanjut

sebagai upaya peningkatan kualitas pendidikan Islam dengan

berparadigma inklusif dalam membangun peradaban Islam melalui

individu-individu yang berkualitas, profesional, dan komponen sesuai

dengan bidang yang dikuasainya.

E. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan yaitu

penelitian dengan menggunakan metode kualitatif, dapat dijelaskan

pendekatan yang digunakan, proses pengumpulan dan analisis informasi,

proses penafsiran melalui analisis, dan penyimpulan hasil penelitian dan

rekomendasi yang dapat diajukan (Maslikhah, 2013:82). Penelitian ini

menggunakan pendekatan deskriptif analisis (descriptive of analyze

research). Dalam penelitian kepustakaan peneliti harus mengenal

beberapa koleksi alat bantu yang disebut bibliografi sebagai deskripsi

analisis. Bibliografi merupakan daftar informasi buku-buku karya

(21)

8

penerbit tertentu. Dalam hal ini, bibliografi dibedakan menjadi 2 yaitu: a)

bibliografi beranotasi adalah bibliografi yang lebih rinci, tidak hanya

berisi informasi tentang identitas buku, tetapi juga memberikan

keterangan tentang sinopsis isi buku dan literatur terkait. b) bibliografi

kerja yaitu daftar kepustakaan terpilih yang tercatat di atas lembaran kartu

atau buku catatan untuk kepentingan penelitian (Zed, 2008:82-83).

Penulis berusaha mengumpulkan data, menganalisa, dan membuat

interpretasi secara mendalam tentang pemikiran tokoh KH. Abdurrahman

Wahid. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menganalisis proses dan

makna dari sudut pandang peneliti mengenai konsep dan pemikiran

pendidikan inklusif menurut KH. Abdurrahman Wahid, serta relevansinya

dengan masa kini dengan menggunakan teori yang telah ada.

2. Sumber Data

Yaitu subjek dari mana data dapat diperoleh (Arikunto, 1998:114).

Sumber data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah studi

kepustakaan dengan cara mengumpulkan data-data dengan cara

mempelajari, mendalami, dan mengutip teori-teori dan konsep-konsep

dari sejumlah literatur baik buku, jurnal, majalah, ataupun karya tulis

lainnya yang relevan dengan topik penelitian. Penelitian ini sumber data

yang dibutuhkan meliputi sumber data primer dan data sumber data

sekunder.

(22)

9

Yaitu data yang langsung dikumpulkan oleh peneliti (atau

petugas-petugasnya) dari sumber pertamanya (Suryabrata,

1995:84-85). Sumber data primer dalam penelitian ini diambil langsung dari

buku yang ditulis oleh KH. Abdurrahman Wahid dan yang masih

berhubungan dengan tema peneliti. Diantaranya yaitu adalah buku

Islam Kosmopolitan, Prisma Pemikiran Gus Dur, Dialog Peradaban,

Islam Negara dan Demokrasi, Islam Tanpa Kekerasan, Islamku Islam

Anda Islam Kita, dll.

b. Data Sekunder

Adalah sumber data yang berupa buku-buku serta kepustakaan

yang berkaitan dengan objek material, akan tetapi tidak secara

langsung merupakan karya tokoh agama atau filsuf agama tertentu

yang menjadi objek (Kaelan, 2010:144). Sumber data sekunder dalam

penelitian ini adalah literatur yang sesuai dengan objek penelitian,

baik itu teks buku, majalah, jurnal ilmiah, artikel, rekaman atau kaset,

arsip, dokumen pribadi, dokumen resmi lembaga-lembaga dan lain

sebagainya serta hasil wawancara yang terkait dengan penelitian ini.

Data sekunder yang penulis gunakan diantaranya yaitu buku

Pendidikan Berparadigma Inklusif (Upaya Memadukan Pengokohan

Akidah dengan Pengembangan Sikap Toleransi dan Kerukunan) yang

ditulis oleh Imron Rosyidi, buku Biografi Singkat KH. Abdurrahman

(23)

10

Pemikiran Gus Dur dan Amin Rais yang ditulis oleh Umaruddin

Masdar, dll yang masih bersangkutan dengan penelitian.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan penulis dalam mengumpulkan berbagai

sumber data penelitian, diantaranya yaitu:

a. Metode Wawancara

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu.

Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara

(interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai

(interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu

(Moleong, 2009:186). Wawancara bertujuan untuk memperoleh

informasi dengan menyelidiki pengalaman masa lalu dan masa kini

para partisipan, guna menemukan perasaan, pemikiran dan persepsi

mereka (Daymon, 2008:262).

Teknik ini bertujuan untuk memperoleh informasi secara lengkap

pemikiran Gus Dur tentang Pendidikan Islam Inklusif. Teknik

wawancara digunakan untuk mewawancarai tokoh-tokoh yang pernah

berjumpa atau berhubungan dengan Gus Dur, baik sahabat maupun

keluarganya.

b. Metode Dokumentasi

Yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa

catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen, rapat,

(24)

11

Metode dokumentasi ini, data mengenai penelitian yang diperoleh

dengan cara menghimpun data dari berbagai literatur, baik artikel,

jurnal, majalah, maupun buku-buku yang berkaitan dengan

pembahasan penelitian ini guna menjadi data penguat pembahasan

dalam penyusunan skripsi ini.

4. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan penulis dalam penulisan skripsi

ini adalah:

a. Deduktif

Metode deduktif adalah metode berfikir yang berdasarkan pada

pengetahuan umum dimana kita hendak menilai suatu kejadian yang

khusus (Hadi, 1981:42). Metode ini digunakan untuk menjelaskan

konsep pendidikan inklusif yang dewasa ini sangat diperlukan dalam

dunia pendidikan masa kini.

b. Induktif

Metode induktif adalah metode berfikir yang berangkat dari

fakta-fakta peristiwa khusus dan konkret, kemudian ditarik

generalisasi-generalisasi yang bersifat umum (Hadi, 1981:42).

Metode ini digunakan untuk membahas data tentang konsep

pendidikan inklusif menurut KH. Abdurrahman Wahid guna ditarik

kesimpulannya dan dicari relevansinya dengan dunia pendidikan

(25)

12

Selain metode deduktif dan metode induktif, peneliti menggunakan

metode analisis isi (content analysis) yaitu konten yang terdapat dalam

buku-buku karya KH. Abdurrahman Wahid.

Isi dalam metode analisis isi terdiri atas dua macam, yaitu isi laten

dan ide komunikasi. Isi laten adalah isi yang terkandung dalam dokumen

dan naskah, sedangkan ide komunikasi adalah pesan yang terkandung

sebagai akibat komunikasi yang terjadi (Ratna, 2007:48).

Dalam media massa penelitian dengan metode analisis isi dilakukan

terhadap paragraf, kalimat, dan kata termasuk volume ruangan yang

diperlukan, waktu penulisan, dimana ditulis dan sebaginya, sehingga

dapat diketahui isi pesan secara tepat (Ratna, 2007:49).

Adapun tahapan-tahapan yang peneliti gunakan dalam pengolahan isi

adalah:

1. Tahapan deskripsi, yaitu menguraikan teks-teks dalam buku yang

ditulis oleh Gus Dur yang berhubungan dengan nilai-nilai

pendidikan Islam inklusif.

2. Tahapan interpretasi, yaitu tahapan dimana peneliti menjelaskan

teks-teks dalam buku karya Gus Dur yang berhubungan dengan

nilai-nilai pendidikan Islam inklusif.

3. Tahapan analisis, yaitu tahapan peneliti menganalisis buku karya

Gus Dur yang berhubungan dengan nilai-nilai pendidikan Islam

(26)

13

4. Kesimpulan, yaitu proses mengambil kesimpulan dari

pembahasan dalam buku karya Gus Dur yang berhubungan

dengan nilai-nilai pendidikan Islam inklusif.

F. Telaah Pustaka

Kajian tentang pendidikan Islam inklusif yang dikaji oleh penulis bukan

untuk yang pertama kali dilakukan. Penelitian yang berkaitan dengan judul

penulis sudah banyak dijumpai dalam bentuk skripsi, jurnal, maupun buku.

Berikut ini beberapa literatur yang menjadi acauan pustaka dalam penelitian

penulis, diantaranya yaitu:

1. Buku yang ditulis oleh Imron Rosyidi, M. Th., M.Ed. yang berjudul

“Pendidikan Berparadigma Inklusif” (Rosyidi, 2009). Dalam buku ini

dapat disimpulkan bahwa Pendidikan Agama membutuhkan suatu model

pembelajaran yang terbuka dengan adanya perbedaan (Model

Pembelajaran Terpadu), sehingga anak didik akan memiliki sikap

toleransi dan kerukunan terhadap perbedaan beragama. Buku ini memiliki

kesamaan dengan penulis tentang paradigma inklusif terhadap pendidikan

agama, akan tetapi ada yang membedakan yaitu dari segi obyek dan

subyeknya. Skripsi penulis terfokus hanya pada Pendidikan Islam inklusif

dengan subyek yang dibahas yaitu pemikiran Gus Dur.

2. Buku yang ditulis oleh Faisol dengan judul “Gus Dur dan Pendidikan

Islam (Upaya mengembalikan Esensi Pendidikan Di Era Global)” (Faisol,

2011). Dalam buku ini dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam

(27)

14

berusaha mensintesiskan kedua pendidikan ini, yaitu pendidikan Islam

klasik dengan pendidikan Barat modern, dengan tidak melupakan esensi

ajaran Islam. Pembelajaran dalam pendidikan Islam yaitu membebaskan

pemikiran manusia dari belenggu-belenggu tradisionalis yang kemudian

ingin didaur ulang dengan pemikiran kritis yang terlahir oleh Barat

Modern. Skripsi penulis memiliki kesamaan dengan buku ini, namun

sedikit perbedaan di dalamnya yaitu bagaimana pendidikan Islam mampu

bersikap terbuka dengan perbedaan sehingga akan menumbuhkan sikap

toleransi kepada semua orang dan menyamaratakan semua pihak.

3. Penelitian yang dilakukan oleh Nandirotul Umah jurusan Pendidikan

Agama Islam fakultas Tarbiyah STAIN Salatiga dengan judul

“Pendidikan Islam Di Indonesia Dalam Perspektif KH. Abdurrahman

Wahid” (Umah, 2014). Hasil skripsi tersebut dapat disimpulkan bahwa

Pendidikan Islam adalah pendidikan yang menjadikan masyarakat

beradab (berakhlak mulia), yaitu masyarakat yang mempunyai dan

menerapkan nilai-nilai kebenaran hakiki yang bersumber dari agama,

masyarakat yang mempunyai tata karma, sopan santun dan berperilaku

menempatkan sesuatu secara proporsional, masyarakat yang menjunjung

tinggi hak asasi manusia; masyarakat yang demokratis serta menjunjung

tinggi kebebasan setiap individu untuk berkreasi dan berprestasi serta

masyarakat yang menghargai kemampuan dan keunggulan pihak lain.

Pendidikan yang menjadi alat memanusiakan manusia, sebagai rumah

(28)

15

dalam pengambilan keputusan bagi setiap individu tanpa meninggalkan

budaya lokal sebagai alat menggapai kredibilitas yang mencakup segala

aspek keilmuan. Perbedaan kajian yang penulis lakukan terletak pada

konsep inklusif dalam pendidikan Islam itu sendiri.

4. Penelitian yang dilakukan oleh Wahid Irfan Maghfuri jurusan Pendidikan

Agama Islam fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UIN SUKA

Yogyakarta dengan judul “Konsep Islam Inklusif Dalam Perspektif Dr.

Alwi Shihab dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Agama Islam”

(Maghfuri, 2013). Dari skripsi ini dapat disimpulkan bahwa implikasi

islam inklusif terhadap Pendidikan Agama Islam yaitu pada tujuan dan

materi. Perbedaan skripsi tersebut dengan skripsi yang akan dikaji penulis

yaitu dari segi konsep dan subyeknya. Skripsi yang akan disusun

membahasa konsep pendidikan Islam inklusif perspektif Gus Dur, dimana

pendidikan Islam yang memiliki sikap keterbukaan karena kemajemukan.

5. Penelitian yang dilakukan Nisa Nurjanah jurusan Pendidikan Agama

Islam fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UIN SUKA Yogyakarta

dengan judul “Pemikiran Islam Inklusif Dalam Kehidupan Sosial

Beragama Dan Relevansinya Dengan Pendidikan Islam (Studi Pemikiran

KH. Abdurrahman Wahid)” (Nurjanah, 2013). Dari skripsi ini dapat

disimpulkan bahwa pemikiran Islam inklusif memiliki relevansi dengan

Pendidikan Islam dalam segi aspek manusia, aspek kurikulum, dan aspek

metode. Skripsi yang akan dikaji oleh penulis memiliki kesamaan dengan

(29)

16

perbedaan yaitu pada konsep inklusif yang diusung Gus Dur untuk

menumbuhkan sikap keterbukaan dan toleransi pada Pendidikan Islam itu

sendiri.

6. Penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Novianto jurusan Pendidikan

Agama Islam fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UIN SUKA

Yogyakarta dengan judul “Aktualisasi Nilai-nilai Islam Inklusif Dalam

Pendidikan Islam (Kajian Pemikiran KH. Abdurrahman Wahid)”

(Novianto, 2014). Dari penelitian tersebut dapat disimpilkan bahwa

nilai-nilai Islam Inklusif diaktualisasikan di lembaga pendidikan yang bernama

pesantren. Guna untuk menyerukan pandangan humanismenya ditengah

pluralisme yang ada di negeri ini demi tercapainya kehidupan beragama

yang harmonis. Skripsi penulis memiliki kesamaan dengan skripsi Ahmad

Novianto, sama-sama membahas tentang inklusif dalam Pendidikan

Islam. Namun, ada perbedaan yaitu skripsi saudara Ahmad Novianto

membahas aktualisasi nilai Islam inklusif dalam Pendidikan Islam,

sedangkan skripsi penulis akan membahas tentang konsep Pendidikan

Islam Inklusif.

7. Penelitian yang dilakukan oleh Resdhia Maula Pracahya jurusan

Pendidikan Agama Islam fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN

Syarif Hiadyatullah Jakarta dengan judul “Konsep KH. Abdurrahman

Wahid Tentang Pendidikan Islam Multikultural” (Pracahya, 2013). Hasil

dari skripsi saudara Resdhia Maula Pracahya dapat disimpulkan bahwa

(30)

17

aspek psikomotorik ditambah dengan aspek spiritual dan humanisme.

Aspek tersebut akan mencapai dimensi aspek-aspek lainnya secara

naturalistik, menurutnya pula aspek yang digagas tersebut akan menjadi

landasan pluralitasdan multikulturalitas suatu bangsa. Penelitian ini

memiliki kesamaan dengan peneliti penulis, sama-sama mengkaji

pemikiran KH. Abdurrahman Wahid. Akan tetapi obyek yang dikaji

berbeda. Skripsi saudara Resdhia membahas tentang konsep Pendidikan

Islam Multikultural, sedangkan skripsi peneliti tentang konsep Pendidikan

Islam inklusif.

G. Sistematika Penulisan

Skripsi ini akan ditulis dengan menggunakan sistematika yang terdiri dari

5 bab, antara lain:

BAB I Pendahuluan

Bab ini akan membahas mengenai latar belakang masalah, fokus

penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika

penulisan.

BAB II Biografi KH. Abdurrahman Wahid

Dalam bab ini penulis menjabarkan tentang konteks

internal yang terdiri dari: riwayat keluarga, riwayat

pendidikan, dan karya-karya KH. Abdurrahman Wahid. Selain

itu, dibahas juga mengenai konteks eksternal yang meliputi:

(31)

18

BAB III Kajian Teori Pendidikan Islam Inklusif

Dalam bab ini penulis menjabarkan tentang kajian teori

pendidikan Islam inklusif secara umum yang meliputi

beberapa pembahasan diantaranya: pendidikan inklusif,

pendidikan Islam, dan pendidikan Islam inklusif

BAB IV Pemikiran Pendidikan Islam Inklusif KH. Abdurrahman

Dalam bab ini penulis akan menjawab dari rumusan masalah yaitu konsep

pendidikan Islam inklusif perspektif KH. Abdurrahman Wahid yang terdiri

dari: inklusivitas pemikiran Islam KH. Abdurrahman Wahid dan konsep

pendidikan Islam inklusif KH. Abdurahman Wahid. Serta membahas tentang

relevansinya konsep pendidikan Islam inklusif perspektif KH. Abdurrahman

Wahid pada masa kini.

BAB V Penutup

Pada bab ini penulis menyimpulkan dari pemaparan-pemaparan dari

(32)

19 BAB II

BIOGRAFI KH. ABDURRAHMAN WAHID

A. Konteks Internal

1. Riwayat Hidup KH. Abdurrahman Wahid

Gus Dur bukan nama asing bagi nama bagi bangsa Indonesia. Sosok

orang besar ini bukan cuma milik NU. Sikapnya yang demokratis dan

humanis, melekatkan kesan yang mendalam pada sebagian besar

masyarakat. Citra humanisme Gus Dur sanggup membawa citra politik

yang positif, yang melampaui garis-garis sektarianisme yang harus diakui

atau masih eksis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (Hadi, Tanpa

Tahun:11).

KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dilahirkan di Desa Denanyar,

Kabupaten Jombang, Jawa Timur, di sebuah rumah milik kakek dari

pihak ibunya, Kyai Bisri Syansuri. Rumah ini sendiri berada di dalam

komplek Pondok Pesantren Mambaul Maarif, yang dihuni oleh ribuan

santri dari berbagai penjuru tanah air (Mandan, 2010:20-21).

Abdurrahman Wahid lahir pada hari ke-4 dan bulan ke-8 kalender Islam

(Agustus) 1940. Terdapat kepercayaan bahwa ia lahir 4 Agustus, namun

kalender yang digunakan untuk menandai hari kelahirannya adalah

kalender Islam yang berarti ia lahir pada 4 Sya‟ban, sama dengan 7

(33)

20

Ia lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil, dengan berat badan 3,5

kg atau lebih. Memilik rambut tebal, hidung sedang, dan kulit halus

(Irawan, 2015:31). Kata “Addakhil” berarti “Sang Penakluk”. Hal ini

dikarenakan Abdurrahman Wahid sebagai anak pertama diharapkan

menjadi pewaris budaya keluarga Hasyim Asyari, menjadi penakluk

seperti halnya Sultan Abdurrahman Addakhil (Abdurrahman I) yang

pernah berkuasa selama 32 tahun para Dinasti Bani Umayyah, Spanyol.

Kata “Addakhil” yang tidak cukup dikenal pada akhirnya diganti menjadi

“Wahid”, dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. “Gus”

adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anakkiai

yang berarti “abang” atau “mas” (Al-Madyuni, 2013:93).

Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Dus Dur lahir

dalam keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas Muslim Jawa

Timur. Kakek dari ayahnya adalah KH. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul

Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, KH. Bisri Syansuri, adalah

pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan.

Ayah Gus Dur, KH. Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis

dan menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah,

adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang.

Gus Dur secara terbuka pernah menyatakan bahwa ia memiliki darah

Tionghoa. Gus Dur mengaku bahwa ia adalah keturunan dari Tan Kim

Han yang menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah

(34)

21

Hwa ini merupakan anak dari Putri Campa, putri Tiongkok yang

merupakan selir Raden Brawijaya V. Tan Kim Han sendiri kemudian

berdasarkan penelitian seorang peneliti Perancis, Louis-Charles Damais

diidentifikasikan sebagai Syekh Abdul Qadir Al-Shini yang diketemukan

makamnya di Trowulan (Hadi, Tanpa Tahun:13).

Selain itu silsilah Gus Dur dapat dirinci sebagai berikut, baik dari

pihak ayah maupun dari pihak ibu.

Dari pihak ayah dimulai dari Brawijaya ke VI (Lembu Peteng) –

Djoko Tingkir (Karebet) – Pangeran Banawa – Pangeran Sambo – Ahmad

– Abd. Jabar – Soichah – Lajjinah – Winih –Muhammad Hasyim Asy‟ari

– Wahid Hasyim - Abdurrahman Wahid Addakhil (Gus Dur).

Dari pihak ibu dimulai dari Brawijaya VI (Lembu Peteng) – Djoko

Tingkir (Karebet) – Pangeran Banawa – Pangeran Sambo – Ahmad –

Abd. Jabar – Soichah – Fatimah – K. Hasbullah – Nyai Bisri Syansuri –

Solichah – Abdurrahman Wahid Addakhil (Gus Dur).

Dari sini dapat melihat bagaimana Gus Dur dalam silsilahnya atau

trahnya merupakan campuran darah biru, kalangan priyayi dan darah

putih, kalangan kiai. Selain itu, trahnya Gus Dur adalah trahnya para

pahlawan. Kakeknya, KH. Hasyim Asy‟ari, dari ayahnya, KH. Wahid

Hasyim adalah salah satu dari berbagai tokoh NU yang menjadi tokoh

pahlawan Nasional.

Melihat silsilah tersebut kiranya wajar kalau Gus Dur mewarisi bakat,

(35)

22

besar, selain besar fisiknya, besar pemikirannya, besar perjuangannya,

dan besar hatinya.

Memang masih banyak kalangan yang meragukan, terutama kalangan

akademisi modernis, berkaitan dengan pola silsilah tersebut, berkaitan

dengan bagaimana sumbernya masih oral yang perlu penulusuran lebih

jauh. Namun, kalangan masyarakat Jawa abangan dan santri lebih

mempercayainya. Hal ini dikaitkan pula bagaimana Gus Dur pernah

mengaku kalau dirinya masih ada keturunan Cina dan leluhurnya (Rifa‟i,

2015:25-26).

Gus Dur kecil tumbuh seperti halnya anak-anak pada umumnya. Ia

senang dengan segala sesuatu yang baru, suka bertanya, dan kadang suka

kesal sendiri. Kalau meminta sesuatu, ia suka ngeyel dan memaksa.

Kalaupun ada perbedaan Gus Dur dengan anak-anak seumurannya,

maka perbedaan itu adalah pendidikan dan pengajaran ayah, ibu, dan

kakeknya. Solichah, sang ibu, sejak mengandung sudah terbiasa

bertirakat dan berpuasa. Ia terbiasa menjalani laku mengurangi tidur dan

mencegah hal-hal buruk yang dapat mengeruhkan batinnya. Ia terbiasa

berpuasa untuk melatih kepasrahan, keikhlasan, dan kesabaran, demi

menggapai ridha-Nya. Dari batin sang ibu, Gus Dur mulai tampak

berbeda dengan anak kebanyakan. Badannya yang mulai sedikit gemuk

justru berbanding terbalik dengan sedikitnya makan. Ia adalah bocah yang

(36)

23

Akan halnya dengan sang ayah, Wahid Hasyim, kecintaannya pada

buku dan ilmu pengetahuan rupanya sudah mulai menunjukkan

tanda-tanda menurun pada putranya. Gus Dur diajarinya membaca, menulis, dan

mencintai buku dan kitab. Dan melalui sentuhan lembut hati sang kakek,

ia diperkenalkan dengan dasar-dasar agama (Irawan, 2015:39-40).

Sejak kecil Gus Dur dikenal dengan sebagai anak yang sangat aktif

aktif dan cenderung nakal. Ia pernah diikat dengan tambang ke tiang

bendera di halaman depan sekolah sebagai hukuman bagi leluconnya

yang terlalu jauh atau sikapnya yang kurang sopan. Ketika belum genap

dua belas tahun, ia pernah mengalami patang tulang lengan akibat

kegemarannya memanjat pohon. Pertama-tama, lengannya patah karena

dahan yang diinjaknya patah. Yang kedua, saat ia mengambil makanan di

dapur, ia lalu memakannya di atas dahan sebuah pohon besar. Keenakan

di atas pohon, ia tertidur dan kemudian menggelinding jatuh. Dalam

ingatan Gus Dur, kala itu ia mengalamani patah tulang yang serius,

hingga lengannya menonjol ke luar. Namun akhirnya dokter yang

menanganinya dapat memperbaiki tulang tersebut. Tetapi pengalaman

tersebut tak membuat Gus Dur menjadi anak yang pendiam. Ia tetap aktif

dan bertindak sesuka hatinya (Mandan dkk, 2010:31-32).

Pada akhir tahun 1944, ketika Gus Dur baru berusia empat tahun, ia

diajak ayahnya ke Jakarta. Wahid Hasyim memilih untuk meninggalkan

keluarganya di Jombang, dan ia sendiri bersama putra tertuanya pergi

(37)

24

daerah Menteng, Jakarta Pusat, yang saat itu merupakan daerah yang

diminati oleh pengusaha terkemuka, yang profesional, dan politikus.

Dengan berdiam di daerah Menteng, Wahid Hasyim dan putranya

tertuanya ini berada di pusat kegiatan. Misalnya ketika mereka

melaksanakan ibadah shalat di masjid Matraman yang letaknya tak begitu

jauh, mereka secara teratur bertemu dengan pemimpin-pemimpin

nasionalis, yaitu Mohammad Hatta. Menurut ingatan Gus Dur, saat itu ia

sering membukakan pintu pada sekitar pukul delapan malam. Seorang

laki-laki asing yang berpakaian petani berwarna hitam datang berkunjung

untuk menemui ayahnya. Keduanya kemudian sering bercakap-cakap

selama berjam-jam. Atas permintaan tamu itu, Gus Dur memanggilnya

Paman Hussein. Baru beberapa tahun kemudian ia tahu bahwa orang itu

adalah Tan Malaka, seorang pemimpin komunis yang terkanal. Walaupun

Wahid Hasyim secara efektif memimpin organisasi Islam terbesar di

negeri ini, namun ia juga menjalin hubungan baik dengan

komponen-komponen masyarakat lainnya, termasuk Tan Malaka dan orang-orang

komunis lainnya (Barton, 2016:37).

Pada akhir perang tahun 1949, keluarga Gus Dur pindah ke Jakarta

karena ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama pertama. Dengan

demikian suasana baru telah dimasukinya. Tamu-tamu,yang terdiri dari

para tokoh dengan berbagai bidang profesi yang sebelumnya telah

dijumpai di rumah kakeknya, terus berlanjut ketika ayahnya menjadi

(38)

25

Dur. Karena secara tidak langsung, Gus Dur juga dapat berkenalan

dengan dunia politik (Hamid, 2010:15-16).

Sejak kecil di Jakarta, Gus Dur terbiasa bergaul dan bercanda dengan

sekelompok aktivis muda teman-teman ayahnya, yang suka berkumpul

dikediamannya. Salah satunya adalah Munawird Sjadzali, yang kemudian

hari menjadi Menteri Agama pada pemerintahan Soeharto. Sang ayah

terkadang menyuruh Gus Dur untuk menyajikan minuman teh dan

sekedar makanan kecil untuk sahabat-sahabatnya. Kadang Gus Dur iseng

mengikat tali-tali sepatu teman-teman ayahnya yang jatuh tertidur.

Di Jakarta Wahid Hasyim memiliki teman yang banyak. Salah

satunya adalah seorang Jerman yang sudah menjadi Islam bernama

Williem Iskandar Bueller yang suka memutar lagu-lagu klasik Eropa di

rumahnya. Gus Dur sering menghabiskan waktu sepulang sekolah di

rumah Bueller ini, untuk menikmati lagu-lagu klasik. Di sinilah Gus Dur

untuk pertama kalinya mendengar karya-karya Beethoven yang kemudian

sangat ia sukai. Sebelumnya Gus Dur sudah menyenangi musik-musik

Arab tradisional yang sering ia dengar di kampung kelahirannya,

Jombang. Banyaknya buku dan majalah di rumah Wahid Hayim,

membuat Gus Dur ikut suka membaca. Tradisi gemar membaca ini telah

membuat Gus Dur memiliki wawasan yang luas, melampaui ukuran anak

seusianya saat itu (Mandan dkk, 2010:33-34).

Selama bertahun-tahun tinggal di Jakarta ini, Gus Dur sering berada

(39)

pertemuan-26

pertemuan. Dengan demikian, ia dapat menyaksikan dunia ayahnya yang

penuh dengan berbagai macam orang dan peristiwa. Ia juga dapat

menyaksikan bagaimana ayahnya ini hidup dalam dunianya tersebut

dengan cara yang sederhana dan gampangan. Wahid Hasyim selalu

berusaha untuk sedapat mungkin mengajak putranya ini bersamanya. Ini

semua karena sang ayah merasa senang ditemani oleh putranya, dan juga

karena hal ini dianggapnya merupakan bagain penting dari pendidikan

anak sulungnya ini (Barton, 2016:43-44).

Pada Sabtu 18 April 1953, Gus Dur bepergian menemani ayahnya

untuk suatu pertemuan NU di Sumedang, Jawa Barat. Di dalam

perjalanan menuju Bandung yang berliku-liku, Wahid Hasyim duduk di

jok bagian belakang bersama sabahatnya, Argo Sutjipto. Sementara Gus

Dur duduk di kursi depan bersama sopir. Mobil yang mereka tumpangi

adalah jenis sedan Chevrolet. Ketika sampai di jalan antara Cimahi dan

Bandung, suasana hujan membuat jalanan menjadi licin. Sopir saat itu

mencoba mempercepat laju kendaraan agar tidak terlambat sampai di

tujuan. Namun ketika melalui sebuah kelokan, sopir kehilangan kontrol

atas laju kendaraan tersebut. Pada saat yang sama dari arah depan melaju

sebuah truk. Pengemudi truk yang melihat bahwa sopir sedan yang ada di

depannya kesulitan mengendalikan kendaraannya, lantas menepi dan

menghentikan laju kendaraannya. Tetapi sedan yang dikendarai Gus Dur

sulit dihentikan, ia malah memutar dan akhirnya menubruk truk yang

(40)

27

Sutjipto terlempar keluar dan mendarat di aspal yang cadas, sementara

sopir dan Gus Dur yang duduk di bagian depan tidak terluka (Mandan

dkk, 2010:35-36).

Kecelakaan itu terjadi sekitar pukul 01.00 siang, tetapi celakanya

mobil ambulan dari Bandung baru tiba di tempat kejadian sekitar pukul

04.00 sore. Gus Dur duduk di tepi jalan menunggu ayahnya yang tak

berdaya hingga ambulan datang. Akhirnya, mereka diangkut ke rumah

sakit di Bandung. Gus Dur tidak tidur menunggui ayahnya. Malam itu,

istri Whaid Hasyim itu tiba di rumah sakit dan menunggui suaminya

bersama Gus Dur. Pada pukul 10.30 pagi keesokan harinya, Wahid

Hasyim tak lagi dapat bertahan dan akhirnya meninggal dunia. beberapa

jam kemudian Argo Sutjipto juga meninggal dunia. Wahid Hasyim, yang

merupakan tokoh harapan banyak orang Indonesia, telah menghembuskan

nafasnya yang terakhir. Ia meninggal dalam usia 38 tahun. Sementara Gus

Dur baru berusia 12 tahun.

Anehnya, walaupun terguncang oleh kecelakaan maut itu, Gus Dur

tetap berfikir tenang. Gus Dur ingat bahwa ketika ia duduk menunggui

ayahnya yang tergolek tak sadarkan diri di tepi jalan, ia mendadak

teringat akan pesan ayahnya bahwa terdapat sejumlah besra uang yang

disimpan di bantalan kecil di tempat duduk bagian belakang. Ia pun

mengambil bantalan itu dan memegangnya erat-erat. Ketika ia berada di

rumah sakit, ia tetap tidak mau menyerahkan bantalan itu kepada orang

(41)

erta-28

erat karena rasa sedihnya yang dalam. Baru ketika sang ibu tiba ia

menyerahkan bantalan itu kepadanya.

Ketika beranjak dewasa, Gus Dur baru tahu bahwa ayahnya adalah

seorang tokoh yang populer dan berpengaruh. Namun sukar bagi seorang

anak untuk benar-benar memahami hal ini. Barulah ketika ia membawa

pulang jenazah ayahnya ke Jakarta ia baru tahu betapa besar rasa hormat

dan cinta orang kepada ayahnya. Pada saat rombongan melewati

jalan-jalan di Bandung dan kemudian ke jalan-jalan raya, Gus Dur tercekam melihat

demikian banyaknya orang yang berbaris di tepi jalan untuk memberikan

penghormatanterakhir kepada ayahnya, Wahid Hasyim. Di setiap kota

dan desa, jalan-jalan dipenuhi oleh orang-orang yang berduka. Mereka

menunggu dengan sabar di tengah terik matahari untuk dapat

menyaksikan perjalanan terakhir seorang tokoh yang sangat mereka

cintai.

Hal yang sama terjadi keesokan harinya ketika iring-iringan jenazah

berangkat dari rumah duka di Matraman ke lapangan udara Halim. Masih

jelas dalam ingatan Gus Dur betapa jalan-jalan di Jakarta dipadati oleh

orang-orang yang ingin menyaksikan perjalanan terakhir ayahnya, Wahid

Hasyim, ke Jawa Timur. Di Surabaya, demikian kenang Gus Dur, lebih

banyak orang lagi berkerumun di jalan-jalan daripada di Jakarta.

Demikian juga kerumunan orang terlihat di setiap desa kecil dan di setiap

kediaman yang dilewati oleh iring-iringan jenazah sepanjang perjalanan

(42)

29

Bagi seorang anak yang baru berusia dua belas tahun, kesabaran yang

ditunjukkan oleh orang-orang ini ketika menunggu di tepi sepanjang jalan

memperlihatkan dengan jelas besarnya cinta mereka terhadap ayahnya.

Hampir setengah abad kemudian, Gus Dur menceritakan bagaimana ia

sangat dipengaruhi oleh kesadaran bahwa orang sangat mencintai

almarhum ayahnya itu. Diingatnya bagaimana ia berusaha memecahkan

arti semuanya ini sambil berfikir: “Apa yang mungkin dapat dilakukan

oleh seorang manusia sehingga rakyat sangat mencintainya? Apakah ada

prestasi yang lebih baik daripada hal ini dalam hidup?” Kenangan yang

pahit namun manis ini tetap tak terlupakan oleh Gus Dur (Barton,

2016:44-46).

Dalam urusan asmara, Gus Dur muda memiliki gaya yang berbeda

dari remaja pada umumnya. Gus Dur muda dikenal sebagai pria pemalu.

Ia lebih memilih buku dan bola sebagai teman daripada harus berpacaran

(Hamid, 2010:17).

Hingga akhir tahun 1966, perjalanan studi Gus Dur di Kairo tidak

menemukan jalan terang. Dan pada saat itu Gus Dur juga menjalin

korespondensi dengan seorang gadis, mantan muridnya di Tambakberas,

Nuriyah, yang sedikit dikenalnya beberapa saat sebelum ia meninggalkan

tanah air. Nuriyah, yang konon merupakan „kembang pesantren‟ sehingga

banyak pria yang meminatinya, pada awalnya tak merespon Gus Dur.

(43)

30

Meski terpisah oleh jarak yang jauh, Gus Dur mencoba mendekati

Nuriyah melalui surat.

Pada suatu ketika, pada akhir tahun1966, di tengah kegalauan karena

kegagalan studinya di Kairo, Gus Dur mengirimkan surat yang berisi

kesedihan hati sekaligus kesungguhannya untuk meminang gadis

pujaannya itu. Tetapi kenapa untuk kali itu Nuriyah memberikan jawaban

yang tegas kepada Gus Dur melalui suratnya; “Mengapa orang harus

gagal dalam segala hal? Anda boleh gagal dalam studi Anda, paling tidak

berhasil dalam kisah cinta.” Gus Dur tentu bersuka cinta mendapatkan

jawaban ini. Ia pun segera menulis surat kepada ibunya di Jombang untuk

meminang Nuriyah (Mandan dkk, 2010:50-51).

Pernikah ini berlangsung pada tanggal 11 Juli 1968, Gus Dur

melangsungkan pernikahan jarak jauh. Inilah kejadian heboh pertama dari

Gus Dur untuk keluarga istrinya. Karena Gus Dur masih berada di Mesir,

terpaksa pernikahan dilakukan tanpa menghadirkan mempelai pria (in

absentia). Sehingga pihak keluarga meminta kakek Gus Dur dari garis

ibu, KH. Bisri Syamsuri, yang berusia 68 tahun, untuk mewakili

mempelai pria.

Pernikahan ini smepat membuat geger tamu yang menyaksikan acara

ijab kabul. Namun kesalahpahaman itu hilang setelah pada 11 September

1971, pasangan Gus Dur- Nuriyah melangsungkan pesta pernikahan.

Pernikahan Gus Dur dengan Nuriyah dianugerahi emapat putri.

(44)

31

Chafsoh (Yenny), Anita Hayatunnufus (Anita), dan Inayah Wulandari

(Inayah) (Hamid, 2010: 19-20).

Keluarga Gus Dur tampaknya tidak jauh dengan model keluarga

lainnya. Konsepnya tentang suami istri misalnya pernah ia ungkapkan,

Menurut Tiara dalam buku Gus Dur Guru Bangsa Bapak Pluralisme (Hadi, Tanpa Tahun:21), Istri itu yang terbaik kalau „nggak‟ ikut

campur urusan suami. Dan suami yang baik adalah „nggak‟ mau tahu

-urusan istrinya. Yang penting menghormati hak masing-masing. Saya nggak pernah cerita-cerita. Zaman saya susah, pulang dari Mesir, saya kan mengajar di pondok Pesantren. Untuk tambah-tambah penghasilan istri saya tiap malam menggoreng kacang dan bikin es lilin, kadang-kadang sampai pukul 02.00 pagi. Esok harinya dijual di warung-warung. Dan dia tidak guncang. Sampai hari ini. Saya selalu ingat saat saya menderita dulu.

2. Riwayat Pendidikan KH. Abdurrahman Wahid a. Pendidikan di Jawa

Gus Dur kecil belajar pada sang kakek, K.H Hasyim Asy‟ari.

Saat serumah dengan kakeknya, ia diajari mengaji dan membaca

Al-Qur‟an. Dalam usia lima tahun ia telah lancar membaca Al-Qur‟an.

Pada saat sang ayah pindah ke Jakarta, di samping belajar formal

di sekolah, Gus Dur juga mengikuti les privat Bahasa Belanda. Guru

lesnya bernama Willem Buhl, berkebangsaan Jerman yang telah

masuk Islam, dan telah mengganti namanya dengan Iskandar.

Untuk menambah pelajaran Bahasa Belanda tersebut, Buhl selalu

menyajikan musik klasik yang biasa dinikmati oleh orang dewasa.

Inilah pertama kali persentuhan Gus Dur dengan dunia Barat dan dari

sini pula Gus Dur mulai tertarik dan mencintai musik klasik (Hamid,

(45)

32

Gus Dur memulai pendidikan dasarnya di Sekolah Dasar KRIS di

Jakarta Pusat. Ia mengikuti pelajaran di kelas tiga dan kemudian di

kelas empat. Akan tetapi ia kemudian pindah ke Sekolah Dasar

Matraman Perwari, yang terletak di dekat rumah keluarga mereka

yang baru di Matraman, Jakarta Pusat. Pada tahap ini, pendidikan Gus

Dur sepenuhnya bersifat sekuler. Namun, tentu saja ia telah

mempelajari bahasa Arab ketika kecil dan mempunyai cukup

pengetahuan untuk dapat membaca Al-Qur‟an dengan suara keras.

Akan tetapi, baru setelah beranjak remaja, ia mulai belajar bahasa

Arab secara sistematik. Selain itu, Gus Dur dan saudaranya

dianjurkan ayahnya untuk membaca apa saja yang disukai dan

kemudian secara terbuka membicarakan ide-ide yang mereka

temukan, agar anak-anaknya tumbuh besar dengan cakrawala pikiran

yang luas (Barton, 2016:42).

Setahun setelah wafatnya sang ayah, yaitu pada tahun 1954,

setelah lulus SD, Gus Dur melanjutkan sekolah tingkat menengah

pertama ke SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) di

Yogyakarta. Meski tergolong sangat cerdas, entah karena masih

terguncang oleh wafatnya sang ayah, atau karena sebab lain, di SMEP

ini Gus Dur sempat mengalami kegagalan, sehingga harus mengulang

kelas. Gus Dur sendiri beralasan kegagalannya tersebut karena ia

(46)

33

Di Yogyakarta, Gus Dur tinggal di rumah teman ayahnya yang

bernama Kiai Haji Junaidi. Yang menarik adalah bahwa Haji Junaidi

bukanlah orang NU, melainkan anggota Muhammadiyah, yang saat

itu menjabat sebagai anggota Majelis Tarjih atau Dewan Penasehat

Agama Muhammadiyah (Mandan dkk, 2010:40). Hal ini sebenarya

mungkin biasa-biasa saja. Akan tetapi saat itu, dan bahkan dalam

beberapa dasawarsa kemudian, secara relatif hampir tidak terdapat

pertautan antara kaum modernis Muhammadiyah dan kaum

tradisionalis NU. Sebagaiman NU, dulu dan juga sekarang,

merupakan organisasi ulama yang mewakili Islam tradisional di

Indonesia, sementara hampir semua kaum muslim modernis

tergabung dalam Muhammadiyah. Kaum modernis dan kaum

tradisionalis berbeda dalam pendekatan mereka ketika menafsirkan

Al-Qur‟an; juga dalam sikap mereka terhadap praktik-praktik dan

kepercayaan mistik serta dalam integrasi budaya mereka ke dalam

kehidupan urban modern (Barton, 2016:49-50).

Proses belajar atau masa pendidikan Gus Dur di masa sekolah

dasar dan lanjutan pertamanya adalah di sekolah-sekolah sekuler.

Inilah yang membedakan dirinya dengan kakek dan ayahnya yang

tidak pernah mencicipi pendidikan sekuler, dan Gus Dur merupakan

penanda generasi santri yang menerima pendidikan modern sejak

(47)

34

Ketika Gus Dur sekolah di SMEP di Yogyakarta, diusahakan pula

dan diatur bagaimana ia dapat pergi ke pesantren Al Munawwir di

Krapyak sebanyak tiga kali. Disini ia belajar bahasa Arab dengan KH.

Ali Ma‟shum (Rifa‟i, 2016:31).

Selain belajar dengan membaca buku-buku berbahasa Inggris,

untuk meningkatkan kemampuan bahasa Inggrisnya sekaligus

menggali informasi, Gus Dur aktif mendengarkan siaran lewat radio

Voice of America dan BBC London. Ketika mengetahui bahwa Gus

Dur pandai dalam bahasa Inggris, Sumantri, seorang guru SMEP

yang juga anggota Partai Komunis, memberi buku karya Lenin „What

is To Be Done‟. Pada saat yang sama, anak yang memasuki masa

remaja ini telah mengenal Das Kapital karya Karl Marx, filsafat

Plato, Thales, dan sebagainya. Dari paparan ini tergambar dengan

jelas kekayaan informasi dan keluasan wawasan Gus Dur (Hamid,

2010:32). Ia juga membaca buku Lenin yang lain Infantile

Communism dan buku Mao, Little Red Book-Mao. Namun bagi Gus

Dur saat itu, yang merupakan topik paling menarik dari semua karya

itu adalah aspek sifat kemanusiannya. Dan yang paling menyita

perhatiannya adalah karya-karya sastra dan kebudayaan. Karena

semua bahan pelajaran di pesantren terasa sangat mudah baginya

untuk dikuasai, maka Gus Dur memiliki waktu yang leluasa untuk

memenuhi hasratnya membaca karya-karya warisan ilmuwan dunia

(48)

35

muslim yang masih dalam proses pencarian identitas diri, Gus Dur

juga ingin mengetahui pikiran-pikiran para tokoh Islam, seperti

Sayyid Qutb, Said Ramadhan, Hasan Al-Bana, dan tokoh-tokoh lain

penggerak Ikhwanul Muslimin. Semua itu ia baca dengan

sungguh-sungguh, sehingga ia dapat memahami pikiran para tokoh gerakan

Islam tersebut (Mandan dkk, 2010:42).

Ketika berdiam di Yogyakarta, ia mulai menyukai film secara

serius. Hampir sebagian besar dari waktunya selama tinggal di kota

ini ia habiskan dengan menonton film, apresiasi Gus Dur terhadap

film jauh lebih serius daripada yang ditunjukkan oleh kebanyakan

teman-teman sebayanya.

Di Yogyakarta juga Gus Dur pertama-tama mulai tertarik pada

wayang kulit, yang merupakan pertunjukkan wayang tradisional.

Pertunjukkan wayang kulit ini sering diadakan di sekitar Yogyakarta,

tetapi jarang dipentaskan di ibu kota. Ketika berdiam di Yogyakarta

dan Magelang ia selalu mencari-cari pertunjukkan wayang kulit dan

umumnya ia bisa menonton pertunjukkan ini setiap dua atau tiga

minggu sekali, walaupun untuk itu ia harus menmepuh jarak yang

cukup jauh.

Sebagaimana juga remaja lainnya, Gus Dur juga menyukai sastra

picisan. Baginya, bacaan ini sering mengandung unsur penting dalam

hidupnya. Ia sangat menyenangi cerita silat, yaitu cerita-cerita

(49)

36

Indonesia keturunan Cina ataupun terjemahan dari tulisan-tulisan asli

dalam bahasa Cina. Cerita silat biasanya berbentuk novel pendek

dalam lima belas jilid atau lebih. Cerita silat memang tak dapat

dianggap sebagai sastra serius. Akan tetapi yang menarik bagi Gus

Dur, ketika ia mengingat-ingat kembali masa awal kegandrungannya

akan cerita silat, terdapat banyak unsur falsafah Cina yang terdapat

dalam cerita-cerita itu yang kemudian mempengaruhi cara berfikirnya

(Barton, 2016:54-55).

Setelah tamat dari SMEP di Yogyakarta pada tahun 1957, Gus

Dur pindah ke Magelang, tepatnya pindah ke Pesantren Tegalrejo di

bawah asuhan kiai kharismatik, Kian Khudori. Di sinilah, Gus Dur

belajar secara penuh dengan dunia pesantren berikut segala

keilmuannya (Rifa‟i, 2016:33). Dari Kiai Khudori inilah, Gus Dur

dikenalkan dengan ritus-ritus sufi dan menanamkan praktik-praktik

ritual mistik. Di bawah bimbingan kiai ini pula, Gus Dur mulai

mengadakan ziarah ke kuburan-kuburan keramat para wali di Jawa.

Pada saat ini pula Gus Dur telah mampu menunjukkan

kemampuannya dalam berhumor dan berbicara (Hamid, 2010:32).

Pelajaran-pelajaran yang diberikan di pesantren Tegalrejo, yang

umumnya selesai diberikan dalam waktu enam tahun, oleh Gus Dur

dapat diselesaikan hanya dalam tempo dua tahun, sampai tahun 1959

(50)

37

waktu di Pesantren Denanyar Jombang di bawah bimbingan kakeknya

dari pihak ibu, Kiai Wahab Hasbullah (Rifa‟i, 2016:33).

Selain terus menuntut ilmu, ia juga mulai mengabdi sebagai

pengajar. Kemudian berlanjut menjadi kepala sekolah madrasah. Di

samping itu, ia juga mulai memperlihatkan kemampuan menulisnya.

Tercacat ia mulai menulis sebagai jurnalis di harian Majalah Budaya

Jaya dan Horizon (Al-Madyuni, 2013:98).

b. Belajar di Luar Negeri

1. Universitas Al-Azhar, Kairo

Pada tahun 1963, Wahid menerima beasiswa dari Kementrian

Agama untuk belajar di Universitas Al Azhar di Kairo. Ia pergi

ke Mesir pada November 1963 (Hadi, Tanpa Tahun:16). Saat ia

tiba di Al-Azhar ia diberitahu oleh pejabat-pejabat universitas itu

bahwa dirinya harus mengikuti kelas khusus untuk memperbaiki

pengetahuan mengenai bahasa Arab. Gus Dur sebenarnya telah

mempunyai sertifikat yang menunjukkan bahwa ia telah lulus

studi yurisprudendi Islam yang kesemuanya memerlukan

pengetahuan bahasa Arab yang sangat baik, namun sayangnya ia

tidak mempunyai ijasah yang menunjukkan bahwa ia telah lulus

kelas dasar bahasa Arab. Sebagai akibatnya, ia dimasukkan ke

kelas yang benar-benar pemula (Barton, 2016:88).

Sepanjang tahun 1964, Gus Dur hampir tidak pernah masuk

(51)

38

pertandingan sepakbola, membaca di perputakaan, menonton film

Perancis dan ikut dalam diskusi-diskusi. Begitulah Gus Dur

menikmati kota Kairo dengan caranya sendiri (Mandan dkk,

2010:47).

Di Kairo, Gus Dur mendapati bahwa ia dapat menonton

film-film terbaik Perancis, Eropa, Inggris, dan Amerika. Selain itu,

Gus Dur banyak menghabiskan waktunya di perpustakaan

Universitas Amerika di Kairo. Perpustakaan-perpustakaan yang

ada di Kairo penuh dengan buku, jauh lebih banyak daripada

yang pernah dilihatnya sebelum ia ke kota ini. Jika tidak

membaca di perpustakaan Universitas Amerika, ia sering berada

di perpustakaan Universitas Kairo atau di perpustakaan Prancis.

Di situ pula Gus Dur membaca hampir semua karya William

Faulkner, selain itu ia membaca dan menikmati novel-novel

Ernest Hemingway. Ia juga suka dengan sastra Eropa, terutama

prosanya. Meski demikian, ia juga membaca prosa dan puisi

karya Edgar Allan Poe dan puisi-puisi John Donne. Dihafalnya

sebagian besar dari puisi Donne yang berjudul No Man Is an

Island. Ia juga mulai membaca karya-karya Andre Gide, Kafka

dan Tolstoy, yang sebelumnya tak bisa ia peroleh, karya-karya

Pushkin serta novelis-novelis Eropa.

Adapun buku yang dibawanya ke Kairo yang dianggapnya

(52)

39

kemudian ia diskusikan bersama mahasiswa dan kaum

cendikiawan di kedai-kedai kopi. Ia juga berkenalan dengan

pemikiran Eropa . Bagi Gus Dur, Kairo merupakan kota dengan

kehidupan sastra, pencaharian pengetahuan, dan ide-ide baru.

Karena di bawah pemerintahan Nasser terdapat lingkungan

intelektual yang penuh optimisme dan relatif terbuka.

Pada tahun 1964, Gus Dur dan seorang teman, Mustofa Bisri,

membuat majalah bagi Perhimpunan Pelajar Indonesia yang

diketahui oleh Gus Dur sendiri. Ia juga secara teratur

menyampaikan pidato dalam pertemuan-pertemuan mahasiswa

Indonesia dan dengan cepat ia dikenal sebagai pembicara dan

penulis esai yang jenaka dan provokatif. Topik esai yang paling

disenanginya adalah politik Indonesia, masa depan Indonesia,

serta Islam dan modernitas.

Di Al-Azhar Gus Dur mengalami kekecewaan karena

pendekatan yang digunakan adalah menghafal. Karena semua itu

sudah ditempuhnya selama belajar di Pesantren. Al-Azhar

memang murni sebuah universitas Islam dan sangat bangga akan

sejarahnya yang panjang. Universitas ini tidak mau

menggabungkan unsusr-unsur pendidikan modern Barat dalam

program pengajarannya, lebih memprioritaskan hafalan

(53)

40

Di Mesir, Gus Dur dipekerjakan di Kedutaan Besar

Indonesia. Saat itulah, peristiwa Gerakan 30 September terjadi.

Soeharto, yang saat itu berstatus sebagai Mayor Jenderal,

menangani situasi di Jakarta dan upaya pemberantasan komunis

dilakukan. Sebagai bagian dari upaya tersebut, Kedutaan Besar

Indonesia di Mesir diperintahkan untuk melakukan investigasi

terhadap pelajar universitas dan memberikan laporan kedudukan

politik mereka. Perintah ini diberikan pada Gus Dur, yang

ditugaskan menulis laporan (Hamid, 2010:34-35).

Bagi Gus Dur, Al-Azhar tampaknya terbenam dalam masa

lampau. Sayyid Qutb dan kaum Islamis lainnya terobsesi oleh

ekstrimisme agama, sedangkan pemerintahan Nasser terobsesi

dengan ekstrimisme nasionalis. Sementara itu, di Jawa, NU ikut

serta dalam melampiaskan kebencian dan histeria yang mengubah

manusia beradab menjadi pembunuh-pembunuh berdarah dingin.

Gus Dur masih ingat bahwa untuk beberapa saat ia berfikir untuk

kembali ke Jawa dan menjadi aktivis hak azasi manusia. Namun

demikian, ia tahu bahwa tanpa gelar universitas maka geraknya

akan terbatas hanya di Indonesia dan bahwa ia telah cukup

mengenal Kairo dan ia sangat sadar bahwa masih banyak yang

(54)

41 2. Universitas Baghdad, Irak

Walaupun Gus Dur merasa kecewa dengan studi formalnya

di Kairo, namun ia menarik banyak manfaat dari lingkungan

sosial dan intelektual di sana (Barton, 2016:103). Untungnya,

kondisi yang membosankan di Kairo tersebut, segera terobati

ketika ia mendapat tawaran beasiswa di Universitas Baghdad.

Pada 1960-an, Universitas Baghdad mulai berubah menjadi

universitas bergaya Eropa (Rifa‟i, 2016:34).

Pada tahun pertamanya di universitas ini ia berkenalan

dengan Mahfudz Ridwan, yang berasal dari Salatiga, Jawa

Tengah. Mahfudz menjadi teman Gus Dur yang terpercaya dan

berharga. Catatan kuliah Mahfudz juga sangat berguna baginya

untuk mengikuti ujian.

Di Baghdad, Gus Dur memiliki jadwal yang lebih padat dan

lebih ketat daripada saat di Kairo. Tetapi kebiasaan membaca dan

menonton film masih dilakukan. Di Baghdad, Gus Dur bekerja di

kantor Rahmadani mulai pukul 11 sampai dua siang.

Ar-Rahmadani adalah perusahaan kecil yang mengkhususkan diri

dalam impor tekstil dari Eropa dan Amerika, selama tiga setengah

tahun. Setiap sore ia sibuk membaca di perpustakaan universitas

untuk membuat tugas makalah secara teratur dan sering kali

Referensi

Dokumen terkait

“Upaya beliau dalam pembinaan guru guna meningkatka n profesionalitas guru pendididkan agama Islam SMA Wahid Hasyim Pati yakni dengan memberikan arahan dan bimbingan,

Penulisan tesis ini diajukan untuk memenuhi sebagian syarat untuk memperoleh gelar magister Program Studi pedagogik, di Universitas Pendidikan Indonesia.Penulis menyadari bahwa

Telah diujikan dalam sidang Munaqasyah oleh Dewan Penguji Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Walisongo Semarang dan dapat diterima sebagai salah satu syarat

dirumuskan permasalahan yang akan dijadikan fokus kajian dalam tesis ini. Bagaimana pendidikan Islam berbasis Karakter perspektif Abdurrahman Wahid?.. 2. Bagaimana pendidikan

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah sistem pendidikan yang dapat memberikan kemampuan seseorang memimpin kehidupannya sesuai dengan

Temuan penelitian ini, menunjukkan bahwa nilai-nilai pendidikan akhlak yang ada dalam kitab Minhajul Muslim karya Abu Bakar Jabir Al-Jazairi sangat relevan apa

Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk ritual tingkepan yang ada di masyarakat Dusun Krajansari Desa Kebumen, Kec. Semarang dan untuk mengetahui nilai-nilai