KONSEP PENDIDIKAN PERDAMAIAN
KH. ABDURRAHMAN WAHID DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Disusun oleh:
Ahmad Rifki Fuada NIM. 11170110000103
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1443 H/2022
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
KONSEP PENDIDIKAN PERDAMAIAN KH. ABDURRAHMAN WAHID DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
oleh:
Ahmad Rifki Fuada NIM. 11170110000103
Menyetujui,
Dosen Pembimbing Skripsi
Dr. Akhmad Sodiq, M.Ag.
NIP. 197107091998031001
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1443 H/2022
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI
Skripsi berjudul KONSEP PENDIDIKAN PERDAMAIAN KH.
ABDURRAHMAN WAHID DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM disusun Ahmad Rifki Fuada NIM. 11170110000103, Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta . telah melalui bimbingan dan dinyatakan sah sebagai karya ilmiah yang berhak untuk diujikan pada sidang munaqosah sesuai ketetapan yang ditetapkan oleh fakultas.
Jakarta, 30 Desember 2021 Yang Mengesahkan,
Dr. Akhmad Sodiq, M.Ag.
NIP. 197107091998031001.
UJI REFERENSI
Seluruh referensi yang digunakan dalam penelitian skripsi yang berjudul
“Konsep Pendidikan Perdamaian Kh. Abdurrahman Wahid Dalam Perspektif Pendidikan Islam” disusun oleh Ahmad Rifki Fuada NIM. 11170110000103, Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta telah diuji kebenarannya oleh dosen pembimbing skripsi pada tanggal 30 Desember 2021.
Pembimbing
Dr. Akhmad Sodiq, M.Ag.
NIP. 197107091998031001.
i
ABSTRAK
Ahmad Rifki Fuada (11170110000103). KONSEP PENDIDIKAN PERDAMAIAN KH. ABDURRAHMAN WAHID DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM.
Penelitian ini dilakukan berdasarkan masalah mengenai perlunya peningkatan kualitas peserta didik secara implisit kemanusiaan, keberagaman baik agama, budaya etnis serta besikap toleran untuk menciptakan perdamaian. Sehingga peneliti bertujuan untuk mengetahui konsep pendidikan perdamaian KH Abdurrahman Wahid dalam Perspektif pendidikan Islam.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah riset pustaka (Library research). Penulis menggunakan teknik dokumentasi untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian ini. Sesuai dengan tujuan dari penelitian ini, maka penulis ingin melihat bagaimana penggambaran seseorang yang mempunyai keterkaitan dengan masalah ini yaitu key informan. Penulis berusaha untuk mencari informan dan menjadikan sebagai data sekunder dalam penelitian.
KH. Abdurrahman Wahid menekankan pada prinsip terpenting yang seharusnya dipupuk sebagai cara hidup generasi muda, bahkan cara hidup manusia, adalah keterbukaan, kejujuran, dan kesiapaan bertindak demi kepentingan umum.
Gus Dur berpegang teguh pada prinsip tersebut. Harapan KH. Abdurrahman Wahid sejak lama adalah setiap orang diberlakukan setara dalam hukum, tanpa diskriminasi oleh perbedaan warna kulit, etnis, agama, atau ideologinya, dan membuka cakrawala masyarakat agar lebih toleran terhadap ajaran, atau paham politik manapun. Generasi muda harus memikul Indonesia baru yang damai tanpa prasangka, dan bebas dari kebencian. Dengan menggunakan prinsip tersebut seseorang akan bersih dari penyakit hati, dan memiliki kepekaan batin.
Kata kunci: Pendidikan; Perdamaian; Islam; KH. Abdurrahman Wahid
ii
ABSTRACK
Ahmad Rifki Fuada (11170110000103). THE CONCEPT OF PEACE EDUCATION KH. ABDURRAHMAN WAHID IN ISLAMIC EDUCATION PERSPECTIVE.
This research was conducted based on the problem of the need to improve the quality of students implicitly in humanity, diversity in religion, ethnic culture and being tolerant to create peace. So that the researcher aims to find out the concept of peace education by KH Abdurrahman Wahid in the perspective of Islamic education.
The method used in this research is library research. The author uses documentation techniques to obtain the data needed in this study. In accordance with the purpose of this study, the authors want to see how the description of someone who has a relationship with this problem is a key informant. The author tries to find informants and use them as secondary data in the study.
KH. Abdurrahman Wahid emphasized that the most important principles that should be fostered as a way of life for the younger generation, even a way of life for humans, are openness, honesty, and readiness to act in the public interest. Gus Dur adhered to this principle. Hope KH. Abdurrahman Wahid has long stated that everyone is treated equally under the law, without discrimination by differences in skin color, ethnicity, religion, or ideology, and opens the horizons of society to be more tolerant of any teachings or political views. The younger generation must shoulder a new Indonesia that is peaceful without prejudice, and free from hatred.
By using this principle a person will be clean from heart disease, and have inner sensitivity.
Keywords: Education; Peace; Islam; KH. Abdurrahman Wahid
iii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim, Assalamualaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah, Pertama dan yang paling utama, penulis panjatkan puji dan syukur kepada Allah SWT Dzat yang Maha setia, Dzat yang Maha pengasih dan Dzat yang Maha penyayang karena berkat rahmat dan kasih sayang-Nya kepada penulis sehingga penyusunan penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
Shalawat dan salam penulis panjatkan kepada manusia citra Ilahi insan al- Kamil, habib Allah, Rasulullah Muhammad saw., yang tidak ada satu makhluk pun yang dapat menandingi kesempurnaan kejadiannya, dan tak ada seorang atau pun suatu makhluk pun yang dapat menandingi rasa kasih-sayang dan setianya kepada umatnya.
Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis banyak menemui banyak kesulitan dan hambatan, namun berkat bantuan dan dorongan serta penghargaan dari berbagai pihak, pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dapat tersusun dengan baik.
Penulis teramat sadar akan penelitian yang telah penulis susun ini masih banyak kekurangan dan sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis nantikan. Atas semua itu penulis hanya dapat memanjatkan do’a kepada Allah swt., semoga amal baiknya diterima oleh Allah dan mendapatkan balasan yang setimpal. Maka atas tersusunnya skripsi ini, dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, bimbingan, petunjuk serta dukungan terutama kepada:
1. Orang tua kandung penulis, Bapak Hj. Tamriyanto dan Mamah Eny Suryani dan kakak Dayu Inna Santri, Citra Savitri, dan Alm Ahmad Fauki berserta keluarga dan anak yang telah berjasa dalam kehidupan penulis
iv
2. Allah SWT yang selalu memberikan kesehatan, kemudahan, serta nikmat yang luar biasa kepada penulis.
3. Ibu Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, MA, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Ibu Dr. Sururin, M.Ag, Selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang membimbing penulis belajar di Fakultas Tarbiyah.
5. Bapak Drs, Abdul Haris, M.Ag dan Bapak Drs. Rusdi Jamil, M.Ag selaku ketua dan sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam yang telah membantu proses perkuliahan dan administrasi.
6. Abinda KH. Akhmad Sodiq M, Ag yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing dan pengarahan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi.
7. Segenap bapak dan ibu Dosen di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak memberi ilmu nya kepada penulis.
8. Sahabat-sahabat PMII Komfaktar 2017 (kimel, mufid, feby, rama, imam).
PMII Rayon Pai ( Ramadhan, Aul, Masitoh, Mia, Dina, Nabil, Eki, Fakih, dkk). Keluarga besar PMII Rayon Pai. Keluarga besar Bani al-Buloghiah (Aufa, Amar, Ziyan, Zaki, Zaenal, Mu’min, Dawam, Luthfi, Ramadhan Halimah, Maya, Sainul, Alwi dkk). Teman-teman Pemalas dan IKDAR 37 yang telah mewarnai carawala penulis.
Penulis teramat sadar akan penelitian yang telah penulis susun ini masih banyak kekurangan dan sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat penulis nantikan. Atas semua itu penulis hanya dapat memanjatkan do’a kepada Allah swt., semoga amal baiknya diterima oleh Allah dan mendapatkan balasan yang setimpal.
Akhirnya penulis mengharapkan semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis, dan pembaca pada umumnya.
v Wallahul Muwafiq Ila Aqwamith Thariq, Wassalamualaikum Wr. Wb.
Jakarta, 30 Desember 2021
Penulis
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
ABSTRACK ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI...vi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. LATAR BELAKANG ... 1
B. IDENTIFIKASI MASALAH ... 10
C. PEMBATASAN MASALAH ... 10
D. RUMUSAN MASALAH ... 10
E. TUJUAN PENELITIAN ... 11
F. KEGUNAAN PENELITIAN ... 11
BAB II KAJIAN TEORI ... 12
A. PENDIDIKAN ISLAM ... 12
1. Definisi Pendidikan Islam ... 12
2. Tujuan Pendidikan Islam ... 16
B. PERDAMAIAN ... 18
1. Definisi Perdamaian ... 18
2. Tujuan Perdamaian ... 20
C. HASIL PENELITIAN YANG RELEVAN ... 23
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 25
A. OBJEK DAN WAKTU PENELITIAN ... 25
B. METODE PENELITIAN ... 25
C. FOKUS PENELITIAN ... 26
D. SUMBER DATA ... 26
E. TEKNIS ANALISIS DATA ... 27
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 28
A. BIOGRAFI KH. ABDURRAHMAN WAHID ... 28
1. Riwayat Hidup ... 28
2. Latar Belakang Pendidikan ... 32
vii
3. Karya Tulis ... 33
4. Pilar Utama ... 35
B. PENDIDIKAN PERDAMAIAN DALAM PERSPEKTIF KH. ABDURRAHMAN WAHID ... 38
C. PENDIDIKAN PERDAMAIAN PERSPEKTIF KH. ABDURRAHMAN WAHID DALAM PERSPEKTIF ISLAM ... 50
D. ANALISIS KONSEP PENDIDIKAN PERDAMAIAN KH. ABDURRAHMAN WAHID DI TINJAU DARI PENDIDIKAN ISLAM ... 55
E. ANALISIS KONSEP PENDIDIKAN ISLAM PERDAMAIAN DALAM PERSPEKTIF KH. ABDURRAHMAN WAHID ... 58
BAB V PENUTUP ... 62
A. Kesimpulan ... 62
A. Saran ... 63
DAFTAR PUSTAKA ... 64
1
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Allah sebagai sumber dari segala ilmu pengetahuan sebagaimana Allah SWT berfirman dalam surat Al-‘Alaq ayat 1-5, yaitu:
َمَّ
لَع ْي ِذَّ
لا ُۙ م َرْ كَ
اْ
لا َكُّب َر َو ْ أ َرْ
ق ِا َۚ قَ
لَع ْن ِم نا َسَ ْ ن ِاْ
لا َقَ ل َخ َۚ َقَ
ل َخ ْي ِذَّ
لا َكِ ب َر ِم ْساِب ْ أ َرْ
ق ِا ْمَ
ل ْعَي ْمَ
ل ا َم نا َسَ ْ ن ِاْ
لا َمَّ
لَع ُِۙمَ لقَ ْ
لاِب
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan!
Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah!
Tuhanmulah Yang Mahamulia, yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.”(Q.S. Al-‘Alaq [96]: 1-5)1
Dengan membaca minimal dua kali itulah “
م َراكَ الْا َكُّب َر َو
” ‘Tuhanmuamat pemurah’, yaitu Allah memantapkan dan menambah ilmu yang membaca. Allah dengan demikian adalah sumber ilmu pengetahuan yang dapat memuliakan dan membahagiakan pemilik ilmu itu dan umat manusia.
Dengan itulah manusia menjadi mulia. Allah dengan demikian perlu didekati, dan ilmu pengetahuan seharusnya dapat mendekatkan diri manusia kepada Allah dan memuliakan manusia.2
Berbagai keuntungan yang diperoleh manusia berkat ilmu pengetahuan yang dilandasi iman dan takwa kepada Allah SWT, sebagaimana dinyatakan dalam firmannya: Allah akan mengangkat derajat orang yang beriman dan ilmu pengetahuan beberapa derajat (QS. Al- Mujaadilah [58]: 11). Pernyataan dan janji Tuhan ini pasti benar dan dalam
1 Al-Qur’an surat Al-‘Alaq ayat 1-5, Al-Qur’an dan Terjemahan, (Departemen Agama RI, Jakarta, 2012). hlm. 96
2 Salman Harun, Tafsir Tarbawi Nilai-Nilai Pendidikan Dalam Al-Qur’an, (Ciputat Tanggerang Selatan: UIN Jakarta Press, 2013). hlm. 5
2
realita dapat disaksikan dan dirasakan, bahwa orang yang berilmu lebih merasakan keberkahan dibanding dengan yang tidak berilmu. Orang yang berilmu tampak lebih berbudaya dan beradab dibandingkan dengan yang tidak berilmu.3
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi akan menampilkan suasana industrialitas yang akan membentuk budaya-budaya baru dalam masyarakat, dan menimbulkan perbedaan-perbedaan sikap serta pandangan hidup yang cenderung pada kehidupan materialitas, individualitas, dan pragmatis.4
Karena perkembangan ilmu pengetahuan, pendidikan hadir secara umum diyakini menyimpan kekuatan untuk menciptakan secara keseluruhan visi kehidupan dalam menciptakan peradaban manusia.
Pendidikan dalam kehidupan sosial kemanusiaan, merupakan satu upaya yang dapat melahirkan proses pembelajaran yang dapat membawa manusia menjadi sosok yang potensial secara intelektual melalui proses transfer of knowledge dan transfer of values. Pendidikan merupakan proses panjang yang berlangsung secara terus menerus, tidak terbatas pada tempat dan waktu dalam rangka mengantarkan manusia untuk menjadi seseorang yang memiliki kekuatan spiritual dan intelektual.5
Adapun pendidikan dari segi istilah, bahwa pendidikan adalah usaha atau proses yang ditunjukan untuk membina kualitas sumber daya manusia seutuhnya agar ia dapat melakukan peranannya dalam kehidupan secara fungsional dan optimal. Dengan demikian pendidikan pada intinya menolong manusia agar dapat menunjukan eksistensinya secara fungsional
3 Abuddin Nata, Islam dan Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP, 2018), hlm. 31
4 Fathul Jannah, Pendidikan Seumur Hidup dan Implikasinya, Jurnal Dinamika Ilmu, Vol.
13. No. 1, Juni 2013, hlm. 3
5 Ibid
3
di tengah-tengah kehidupan manusia. Pendidikan demikian akan dapat dirasakan manfaatnya bagi manusia.6
Pelaksanaan pendidikan di Indonesia, tidak dapat dilepaskan dari tujuan pendidikan yang hendak dicapai. Dalam mukaddimah Undang- undang Dasar 1945, jelas termaktub, satu tujuan yaitu “Mencerdaskan kehidupan bangsa”. Merupakan suatu ungkapan yang padat dengan makna filosofis. Suatu rumusan tujuan yang tidak hanya menjangkau aspek-aspek lahiriah, tetapi juga meliputi seluruh aspek batiniah dan ranah-ranah lain yang terkait dengan seluruh kehidupan manusia.7
Ki Hajar Dewantara menegaskan bahwa pendidik harus memiliki konsep tiga kesatuan sikap yang utuh, yakni ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani. Pengertiannya bahwa sebagai pendidik harus mampu menjadi tauladan bagi peserta didiknya, pendidik juga mampu menjaga keseimbangan juga dapat mendorong dan memberikan motivasi bagi peserta didiknya. Trilogy pendidikan ini di serap sebagai konsep “Kepemimpinan Pancasila”.8
Dalam pelaksanaan pendidikan tentu saja tidak hanya mengedepankan penanaman semata melainkan penanaman karakter bangsa yang dimaksud juga telah diatur dalam Undang-Undang Negara Indonesia.
Hal ini dilakukan guna memberikan arah terhadap pelaksanaan dan perkembangan pendidikan di Indonesia untuk masa yang akan datang.
Dengan demikian pendidikan di Indonesia dapat memberikan kontribusi yang jelas terhadap masyarakat dan negara Indonesia.9 Menurut Undang- Undang No. 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS (Sistem Pendidikan Nasional) Bab I mengatakan, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
6 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2014), hlm.
338
7 Munir Yusuf, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Palopo: Lembaga Penerbit Kampus IAIN Palopo, 2018). hlm 29-30
8 Ibid., hal.2
9 I Wayan Cong Sujana, Fungsi dan Tujuan Pendidikan Indonesia, Adi Widaya Jurnal Pendidikan Dasar, Vol.4, No.1 April 2019, hlm. 30.
4
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.10
Al-Ghazali secara eksplisit menempatkan dua hal penting sebagai orientasi pendidikan; pertama, mencapai kesempurnaan manusia untuk secara kualitatif mendekatkan diri kepada Allah SWT; kedua, mencapai kesempurnaan manusia untuk meraih kebahagiaan didunia dan akhirat.11
Seiring dengan semangat demi Negara dalam menyelenggarakan sistem pendidikan berorientasi pada kepentingan dan bukan untuk kepentingan anak didik, pasar dan pengguna jasa pendidikan atau masyarakat dengan dalih bahwa strategi pendidikan nasional adalah untuk membekali generasi muda agar mampu membawa bangsa dan negeri ini cepat sejajar dengan bangsa dan Negara lain yang lebih maju. Namun dalam implikasi perkembangannya tidak diperoleh sesuai dengan apa yang dicita- citakan. Keahlian dan penguasaan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) yang diperoleh sesuai menamatkan studinya berada dalam posisi dimiliki secara individual dan siap dijual melalui kontrak kerja demi uang, dan bukan menjadikan diri sebagai ilmuwan yang dipedulikan dengan nilai- nilai kemanusiaan, bangsa, dan Negara, maka kerja pendidikan dilaksanakan di bawah otorita kekuasaan, padahal kerja pendidikan adalah kerja akademik dalam pengelolaan lembaga-lembaga pendidikan, sekolah- sekolah dan perguruan tinggi dikenal dengan adanya eselonisasi jabatan atau kepegawaian.12
10 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2015), hlm. 32.
11 Syahraini Tambak, Pemikiran Pendidikan al-Ghazali, Jurnal Al-hikmah, Vol. 8, No.1 April 2011, hlm. 77
12 Munirah, Sistem Pendidikan Di Indonesia, Jurnal AULADUNA, Vol.2, No.2, Desember, 2015, hlm. 236.
5
Pendidikan islam merupakan pengembangan pemikiran, penataan sosial, prilaku, pengaturan emosional, hubungan peranan manusia dengan dunia ini, serta bagaimana manusia mampu memanfaatkan dunia, sehingga mampu meraih tujuan hidup sekaligus mengupayakan perwujudannya.
Seluruh ide tersebut telah tergambar secara integratif (utuh) dalam sebuah konsep akidah yang wajib diimani agar dalam diri manusia tertanam perasaan yang mendorongnya pada prilaku normatif, yang mengacu pada Syari’at Islam yang murni. Prilaku itu adalah penghambaan manusia berdasarkan pemahaman atas tujuan penciptaan manusia itu sendiri, baik yang dilakukan secara individu ataupun kolektif.13
Ketika situasi masyarakat yang penuh dengan kekacauan, konflik, dan tidak ada perdamaian, pendidikan dipandang sebagai pihak yang ikut berdosa karena gagal mewujudkan warga negara yang baik. Sekolah idealnya menjadi sarana yang tepat dalam menanamkan nilai-nilai moral yang mendukung terciptanya perdamaian dalam masyarakat. Alasan ini sejalan dengan peran lembaga pendidikan sebagai institusi yang bertugas menumbuhkan dan memperdalam cinta pada tanah air, mempertebal semangat kebangsaan, dan rasa kesetiakawanan sosial.14
Damai bukanlah semata-mata ketiadaan perang, karena perdamaian yang sejati adalah damai yang dinamis, partisipatif, dan berjangka waktu panjang. Damai sejati dapat terwujud manakalah nilai-nilai kemanusiaan universal telah mengakar disegala ini mulai dari kehidupan keluarga, sekolah, komunitas, masyarakat hingga negara.15 Rasa damai dan aman merupakan nilai yang melekat dalam kehidupan manusia. Dengan kedamaian akan tercipta tatanan kehidupan yang sehat, harmonis dan dinamis dalam setiap interaksi manusia, tanpa ada rasa takut dan tekanan
13 M. Ali Hasan dan Mukti Ali, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2003), hlm. 69
14 Ibid
15 Imam Taufiq, Al-Quran Bukan Kitab Teror: Membangun Perdamaian Berbasis Al- Qur’an, (Yogyakarta: PT. Bentang Pustaka, 2016), hlm. 31-32
6
dari pihak-pihak lain.16 pusat istilah damai harus di lapis oleh pendidikan yang mempuni sebagai visi kehidupan, pendidikan perdamaian sebagai tombak terciptanya kehidupan yang plural, harmonisasi dan moderat dalam segala hal.
Seperti dinyatakan dalam Pembukaan Konstitusi UNESCO bahwa ketidaktahuan terhadap masing-masing cara hidup telah menjadi penyebab umum munculnya kecurigaan dan ketidakpercayaan di mana perbedaan-perbedaan yang ada seringkali berakhir dengan peperangan di sepanjang sejarah manusia. Karena peperangan dimulai dalam pikiran manusia, maka dalam pikiran manusialah pemeliharaan perdamaian harus dibangun dan pembangunan tersebut hanya bisa dilakukan melalui pendidikan.17 Pada detik ini, eksistensi pendidikan sebagai juru damai untuk membantu mengatasi segala macam konflik terlebih konflik ideologi dan konflik sejarah.
Lebih jauh lagi, dalam Mukadimah PBB (Perserikatan Bangsa- Bangsa) ditekankan bahwa “peace educationhas developed as means to achieve the goals...it promotes understanding, tolerance and friendship among all nations, racial or religious groups”. Yang artinya, pendidikan damai dikembangkan untuk mencpai tujuan menegakkan pemahaman, toleransi, dan persahabatan di antara negara-negara,ras,maupun kelompok agama-agama.18
K.H Abdurrahman Wahid sebagai pelopor perdamaian, serta dalam dirinya terangkum multi-talenta: guru bangsa, intelektual, budayawan, ulama, aktivis sosial, pejuang demokrasi, pejuang pluraisme, dan sebagainya.
16 Eka Hendry, Sosiologi Konflik: Telaah Teoritis Seputar Konflik Dan Perdamaian, (Pontianak: STAIN Pontianak Press, 2009), hlm. 151
17 Kartadinata, dkk, Pendidikan Kedamaian, (Yogyakarta: Remaja Rosdakarya, 2015), hlm. 4-5
18 Saleh, M.N.I, Peace Education Kajian Sejarah Konsep, Dan Relevansinya Dengan Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ar-ruzz Media), hlm. 40
7
Kata perdamaian menurut K.h Abdurrahman Wahid dalam ranah pergaulan antar bangsa berarti, tidak adanya peperangan atau penggunaan kekerasan oleh suatu pihak oleh pihak yang lain, dengan persyaratan dan pengertian dari pihak yang menang.19 Islam juga menolak penggunaan kekerasan semaunya saja oleh siapapun, dan kekerasan hanya dapat dilakukan oleh kaum muslimin, jika mereka diusir dari rumah-rumah kediaman mereka (idzaa ukhrijuu min diyarihim).20
Gagasan tentang kerukunan dan kebersamaan, yang menjadi prasyarat bagi terwujudnya kehidupan damai, telah menjadi perhatiannya sejak 1975, saat ia baru berusia 35 tahun. Dalam salah satu artikelnya yang berjudul “Menjadikan Hukum Islam sebagai Penunjang Pembangunan”, Gus Dur mengatakan bahwa Islam bukanlah sesuatu yang statis. Ajaran Islam bukan sesuatu yang sekali jadi sehingga tidak membutuhkan reformulasi maupun reaplikasi. Dengan kata lain, pengembangan hukum Islam pada dasarnya harus selalu diterjemahkan secara kontekstual.21
Makalah inilah yang kemudian dijadikan panduan bagi reinterpretasi hukum Islam dimasa kini dan masa yang akan datang. Prinsip- prinsip universalitas Islam yang berpijak pada asas kerukunan, kebersamaan, memperjuangkan keadilan, serta menolak berbagai atribut tindakan diskriminatif dan kekerasan menjadi pertimbangan dasar dalam pengambilan keputusan hukum. Pijakan inilah yang kelak menjadi prinsip bagi pergumulan mendasar Gus Dur tentang respons Islam terhadap modernitas dan pentingnya dialog peradaban dalam rangka membangun perdamaian.22
19 Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita, (Jakarta: Democracy Project Yayasan Demokrasi, 2011), hlm. 398
20 Ibid, hlm 400
21 Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia & Transformasi Kebudayaan, (Jakarta: The Wahid Institute, 2007), hlm. 44-62
22 Ibid
8
Pendidikan menurut Gus Dur dalam hal ini tentu saja bukan hanya pendidikan formal, melainkan pendidikan yang hidup dan berkembang bersama di tengah-tengah masyarakat, menyatu dalam kebudayaan dan menjadi landasan moral prilaku sehari-hari. Gerakan pendidikan adalah gerakan kultural yang dalam pandangan Gus Dur selalu berkaitan dengan ajaran Islam dengan beragam aturannya dan kebudayaan sebagai realitas kehidupan masyarakat yang selalu mengalami perubahan. Gus Dur mewacanakan pribumisasi Islam dan menempatkan Islam sebagai etika social, sebagai bentuk pendidikan bagi di Indonesia.
Dalam salah satu orasi budaya yang disampaikan saat peringatan tiga tahun The Wahid Institute (sekarang menjadi Wahid Foundation) pada 8 September 2007, Gus Dur secara tersirat mengatakan bahwa pendidikan itu harus mampu membebaskan manusia dari kebodohan dan keterbelakangan. Artinya, pendidikan bagaimana pun bentuknya harus mempunyai semangat pembebasan, yang dalam konteks ini adalah terbebas dari kebodohan dan keterbelakangan. Ini sesuai dengan prinsip yang telah disebutkan di atas, yakni prinsip pembebasan yang merupakan prinsip turunan dari kemanusiaan. 23
Salah satu upaya untuk transformasi studi perdamaian adalah melalui pendidikan. Proses pendidikan menjadi sebuah ikhtiar pembentukan peserta didik yang dapat mengembangkan diri pada dimensi intelektual, moral, psikologis mereka. Pendidikan yang dimaksudkan adalah sekolah sebagai institusi yang dibutuhkan oleh masyarakat modern pada saat sekarang ini. Sekolah sebagai lembaga pendidikan memberi arti bagi peserta didik karena merupakan internalisasi dalam melakukan hubungan dengan sesama, sekaligus untuk belajar, berinteraksi, bekerja sama, hidup perdampingan secara damai, saling memahami, saling menghormati, dan
23 Mahfud M. D, Gus Dur: Islam, Politik Dan Kebangsaan, (LkiS Pelangi Aksara, 2010), hlm. 205
9
menambah pengalaman hidup (learning together) dalam konteks kemajemukan atau kebhinekaan.24
Pendidikan perdamaian menggabungkan ketiga elemen, seperti tradisi pengajaran, teori-teori pendidikan, dan gagasan internasional untuk memajukan perkembangan manusia dengan belajar. Membangun prinsip- prinsip dan praktek perdamaian, pendidikan perdamaian ditunjukkan untuk mengembangkan pengetahuan, kemampuan, dan sikap yang dibutuhkan untuk mencapai dan memelihara kebudayaan perdamaian global. Oleh karena itu sangatlah penting untuk mengerti dan mentransformasi kekerasan dan hubungannya terhadap perdamaian.25
Seperti pernyataan di atas bahwa pendidikan perdamaian mengkrucut pada anak-anak dan remaja. Sebagaimana bekal penentu masa depan dunia ialah generasi muda, untuk berpartisipasi dengan baik dalam mengubah dunia kearah yang lebih baik maka pendidikan perdamaian merupakan salah satu bekalnya.
Selain peran anak-anak dan remaja. Peran orang tua dan guru sangatlah signifikan dalam mendorong pelaksanaan karakter pendidikan perdamaian, tanpa peran orang tua dan guru dalam merealisasikan pelaksanaannya, pendidikan perdamaian hanyalah angan-angan.
Di Indonesia yang penduduknya sangat plural, baik ras, agama, bahasa, adat-istiadatnya, dan lain sebagainya memang rentan sekali untuk terjadi konflik. Jika mencermati isi kurikulum, nampak bahwa kurikulum di Indonesia belum memperhatikan aspek keberagaman tersebut. Mungkin hal ini masih dibingungkan dengan pencarian format yang tepat seperti apa jika pendidikan untuk menciptakan perdamaian diberikan di sekolah-sekolah atau lembaga pendidikan lainnya. Sehingga jika berbicara tentang sistem pendidikan maka yang harus diubah adalah semua yang terkait dalam sistem
24 Johan Galtung, Studi Perdamaian: Perdamaian Dan Konflik, Pembangunan Dan Peradaban , tsrj, Asnawi dan Safruddin, (Surabaya: Pustaka Eureka, 2003), hlm. 22-26
25 Ibid, Frisca Alexandra
10
itu; kurikulumnya, gurunya, muridnya, sarana dan prasarananya, dan sebagainya. Kerukunan, moral, perdamaian, dan konflik merupakan hal yang saling berkaitan. Nampaknya memang pendidikan kita belum berkontribusi nyata dalam upaya mewujudkan kehidupan yang rukun dan damai. Maka dari itu, penulis akan membangun sebuah penelitian kepustakaan (library research) berjudul “Konsep Pendidikan Perdamaian KH. Abdurrahman Wahid Dalam Perspektif Pendidikan Islam”.
B. IDENTIFIKASI MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis mengidentifikasikan masalah sebagai berikut:
1. Kehidupan modern yang tidak dibatasi dengan tradisi sebagai alat transformasi menjadi penghambat tujuan pendidikan perdamaian 2. Pendidikan Islam sebagai institusi dalam menciptakan perdamaian 3. Ideologi KH. Abdurrahman Wahid dalam pendidikan islam perdamaian
untuk mencegah konflik ideology dan konflik sejarah C. PEMBATASAN MASALAH
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, agar pembahasan tidak sampai keluar jalur dan dapat mencapai tujuan yang di inginkan, maka penelitian ini di batasi hanya pada pembahasan “Konsep Pendidikan Perdamaian KH Abdurrahman Wahid dalam Perspektif Pendidikan Islam”.
D. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, permasalahan yang terjadi adalah menelaah dan menjelaskan konsep pendidikan perdamaian dalam perspektif KH. Abdurrrahman Wahid untuk memberi batasan pada fokus dari penelitian ini, maka penulis merumuskan sebuah pertanyaan yang mewakili permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini yaitu:
11
1. Bagaimana konsep pendidikan perdamaian perspektif KH.
Abdurrahman Wahid?
2. Bagaimana konsep pendidikan perdamaian KH. Abdurrahman Wahid dalam perspektif pendidikan Islam?
E. TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui:
1. Konsep pendidikan perdamaian menurut KH. Abdurrahman Wahid 2. Konsep pendidikan perdamaian KH. Abdurrahman Wahid dalam
perspektif Pendidikan Islam.
F. KEGUNAAN PENELITIAN
1. Secara Teoritis
a. menambah wawasan terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dalam hal ini terkait dengan konsep pendidikan perdamaian dalam perspektif KH. Abdurrahman Wahid.
b. menambah dan memperkaya khazanah keilmuan khususnya tentang pendidikan perdamaian KH. Abdurrahman Wahid dalam perspektif pendidikan Islam.
2. Secara Praktis
a. hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan bagi upaya konsep pendidikan efektif dan humanis serta damai yang relevan dengan kondisi sekarang.
b. sebagai bahan pertimbangan bagi para pemegang kebijakan dan para stakeholder dalam pengembangan pendidikan di masa sekarang dan masa yang akan datang.
12 BAB II KAJIAN TEORI A. PENDIDIKAN ISLAM
1. Definisi Pendidikan Islam
Pendidikan adalah suatu hal yang penting bagi manusia, pendidikan mampu menjamin kesejahteraan seseorang, meskipun banyak orang yang sejahtera tidak dengan pendidikan yang tinggi. Dalam buku psikologi pendidikan karya Muhibbin Syah “pendidikan” berasal dari kata “didik”, lalu kata ini mendapat awalan “me” sehingga menjadi “mendidik”, artinya memelihara dan memberi latihan. Memelihara dan memberi latihan diperlukan adanya ajaran, tuntunan, dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran”. Selanjutnya pengertian “pendidikan” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam mendewasakan manusia melalui pengajaran.26
Menurut Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS Bab I mengatakan, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.27
Ahmad D. Marimba, Pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani menuju terbentuknya kepribadian yang utama, untuk mewujudkan
26Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2016), Cet. ke-20, hlm. 10.
27 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), hlm. 204
13
kesempurnaan tersebut dibutuhkan bimbingan yang serius dan sistematis dari pendidik.28
Definisi pendidikan sangat beragam. Al-Ghazali mendefinisikan pendidikan sebagai sebuah proses pembiasaan (riyadhah). Pembiasaan yang dimaksud oleh Al-Ghazali adalah upaya menimbulkan resposn pada siswa melalui bimbingan secara emosi dan fisik. Dalam hal ini, menurut Al-Ghazali, proses pembiasaan (riyadhah) adalah membantu siswa menuju tujuan tertinggi (aqshal al-ghayah). Kata membantu siswa berarti menaklukkan dan menundukkan anak kuda serta mengajarinya berlari.
Istilah ini pula yang sering digunakan oleh Ibnu Sina dalam menyebut pendidikan. Dalam konsep pembiasaannya, Ibnu Sina menggunakan kata riyadhah sebagai pengertian pelaziman atau conditioning yang baru ditemukan oleh Ivan Pavlop setelah 800 tahun Ibnu Sina menemukannya.29
Pada perkembangan berikutnya, kata ini memiliki arti yang beragam. Dunia tasawuf memakainya untuk menyebut sebuah proses latihan rohani (riyadha) dalam rangka menundukan raga manusia pada raga batin manusia. Dengan pendidikan yang diselimuti oleh proses latihan rohani maka pendidikan dapat berjalan sesuai norma-norma tuntutan aspek keimanan, keagamaan dan akhlakul karimah.
Dalam istilah di Indonesia, kata pendidikan dan pengajaran hampir-hampir menjadi kata majemuk untuk menunjukkan pada sebuah kegiatan atau proses transformasi, baik ilmu maupun nilai, dan dalam Al- Qur’an sendiri juga tidak membedakannya. Jika telusuri secara mendalam di dalam Al Qur’an terdapat beberapa istilah yang mengacu pada terminologi pendidikan dan pengajaran, diantaranya adalah tarbiyah, ta’lim, ta’dib, dan tazkiyah. 30
28 Op. cit. Muhibbin Syah, Pendidikan Dengan Pendekatan Baru
29 H. Mahmud, Psikologi Pendidikan, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2012), Cet. ke-2, hlm. 7.
30 Wawan Wahyudin, Pendidikan Sepanjang Hayat Menurut Perspektif Islam (Kajian Tafsir Tarbawi), Jurnal Kajian Keislaman, Vol. 3, No. 2, 2016. Hlm. 197
14
Kata Tarbiyah berasal dari bahasa arab, yaitu rabba-yurabbi- tarbiyah yang berarti penguasa, tuan, pengatur, penanggung jawab, pemberi nikmat. Istilah tarbiyah dapat diartikan sebagai proses penyampaian atau pendampingan terhadap anak yang diempu sehingga dapat mengantarkan masa kanak-kanak tersebut kearah yang lebih baik, dengan beberapa prinsip yang menjadi dasar pandangan Islam terhadap hubungan manusia, baik antara manusia dengan sang maha pencipta, maupun manusia dengan alam raya.31
Pendidikan adalah hidup. Pendidikan adalah segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup.
Pendidikan adalah segala situasi hidup yang mempengaruhi pertumbuhan individu. Karakteristik Khusus32:
a. Masa Pendidikan.
Pendidikan berlangsung seumur hidup dalam setiap saat dan pengaruh lingkungan. Sebagaimana syair Bahasa arab berbunyi:
ِداهَّللا َىلِا ِداهَمالا َنِم َمالِعالا او ب لاط أ
Artinya: “Carilah ilmu sejak dari lubang buayan (lahir) sampai masuk ke liang lahat (meninggal).
b. Lingkungan Pendidikan.
Pendidikan berlangsung dalam segala lingkungan hidup, baik yang khusus diciptakan untuk kepentingan Pendidikan seperti bangku sekolah yang di dalamnya tenaga kependidikan, pengalaman baru di sekolah, maupun yang ada di lingkungan teman sebaya maupun di dalam keluarga dengan sendirinya. Dalam pengertian yang maha luas, pendidikan berlangsung sepanjang hidup (lifelong) sejak lahir (bahkan sejak awal hidup dalam kandungan) hingga mati. Dengan demikian
31 Ibid
32 Redja Mudyaharjo, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012), Cet. ke-12, hlm. 3-41
15
tidak ada batas waktu berlangsungnya pendidikan. Pendidikan berlangsung pada usia balita, usia anak, usia remaja, usia remaja, dan usia dewasa, atau seumur hidup setiap manusia itu sendiri.33
c. Bentuk Kegiatan.
Terentang dari bentuk-bentuk yang misterius misalnya pengalaman belajar berlangsung sewaktu berjalan sendiri disuatu tempat, pengalaman belajar sewaktu mendapat musibah, pengalaman belajar sewaktu bertemu dengan seseorang dan tak disengaja sampai dengan terprogram, misalnya paket-paket belajar dalam bentuk kursus, modul, atau multimedia, kurikulum sekolah dalam semua tingkatan, model-model pembelajaran, individual seperti system yang berorientasi pada pertumbuhan pribadi, pengajaran dengan bantuan computer, Lembar Kerja Siswa (LKS), berbagai mata pelajaran, atau yang lain sebagainya. Pendidikan berbentuk segala macam pengalaman belajar dalam hidup, pengalaman yang teraplikasi pada lingkungannya maupun dengan mencari pengalaman itu sendiri.
Pendidikan berlangsung dalam beraneka ragam bentuk, pola, dan Lembaga. Pendidikan dapat terjadi sembarang, kapan dan dimanapun dalam hidup. Pendidikan pun lebih berorientasi pada peserta didik di setiap ranahnya.
Pendidikan islam adalah segala usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya manusia yang ada padanya menuju terbrntuknya manusia seutuhnya sesuai dengan norma-norma Islam.34 Dapat di pahami bahwa segala bentuk kegiatan yang dilakukan dalam kehidupan sebagai upaya untuk mengembangkan potensi yang ada serta di gunakan dan dimanfaatkan dalam kehidupan sesuai dengan aturan-aturan dalam Islam. Peserta didik dalam hal ini adalah sebagai individu yang sedang mengikuti
33 Ibid, hlm. 6
34Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, (Cet. ke-1: Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 29
16
proses pendidikan islam dengan tujuan seluruh potensi fitrah yang ada dapat di gunakan dalam kehidupan sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.35
Sedangkan Pengertian pendidikan Islam yaitu sebuah proses yang dilakukan untuk menciptakan manusia-manusia seutuhnya;
beriman dan bertaqwa kepada Allah serta mampu mewujudkan eksistensinya sebagai khalifah Allah dimuka bumi ini, tujuannya dalam konteks ini terciptanya insan kamil setelah proses pendidikan berakhir.36
Sebagai dasar Pendidikan Islam bukan hanya dipandang sebagai kebenaran yang didasarkan pada keimanan semata. Tetapi kebenaran yang terdapat pada keduanya dapat diterima oleh nalar manusia dan dapat dibuktikan dalam sejarah atau pengalaman manusia. 37 Aspek-aspek pembinaan dalam pendidikan Islam ialah aspek jasmani, akal, akidah, akhlak, kejiwaan, keindahan, dan kebudayaan.38
2. Tujuan Pendidikan Islam
Dari pandangan tersebut, dapat dipahami bahwa pendidikan dikembangkan demi peningkatan nilai-nilai keimanan dan moralitas bangsa yang didukung sepenuhnya oleh pendidikan yang tinggi dan ilmu pengetahuan yang memberikan manfaat pada masa depan kehidupan bangsa dan negara. Dengan demikian, pendidikan berprinsip pada
“pendidikan seumur hidup” yang di dasarkan pada kedudukan hukumnya yang wajib.39
35 Ibid
36Armai Arif, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat press, 2002), hlm. 16
37Al-Rasyidin dan Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), Cet. ke-5, hlm. 34
38Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1992), hlm. 50
39Ibid
17
Tujuan pendidikan adalah memuliakan manusia atau memanusiakan manusia sebab bagi orang yang berpendidikan, artinya orang yang berilmu, yang mengerti dan memahami nilai-nilai kemanusiaan yang hakiki, ilmu pengetahuan yang dimilikinya dapat menjadi bekal untuk meningkatkan harkat dan martabat. Harkat dan martabat tersebut dibangun oleh keimanan dan keluhuran budi pekertinya.
Ukuran budi pekerti yang baik adalah yang serasi dengan tuntunan agama, peraturan yang berlaku, dan norma-norma dalam masyarakat.40
Tujuan pendidikan tiada lain menjadikan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah Swt, berakhlak mulia, sehat, cerdas, berperasaan, berkemauan, dan mampu berkarya, mampu memenuhi berbagai kebutuhan secara wajar, mampu mengendalikan hawa nafsunya, berkeprbadian, bermasyarakat, dan berbudaya.41 Dengan demikian pendidikan di Indonesia cenderung mengutamakan pembangunan sikap sosial dan religius dalam pelaksanaan pendidikan di Indonesia.
Dari tujuan terselenggaranya pendidikan memerlukan perhatian khusus dari keluarga maupun lingkungan pendidikan terhadap peserta didik dalam aspek keagamaan, aspek moralitas dan budi pekerti sebagaimana aspek dalam tujuan hidup yakni bertumbuh yang tak terbatas, tujuan pendidikan sama halnya harus seperti itu.
Pendidikan Islam mempunya tujuan yang sesuai dengan falsafah dan pandangan hidup yang digariskan dengan Alqur’an menurut Ibnu Khaldun tujuan pendidikan Islam itu ada dua, yaitu: pertama, tujuan keagamaan ialah beramal didunia untuk akhirat sehingga ia menemui tuhannya dan telah menunaikan hak-hak Allah yang di wajibkan. Kedua, tujuan ilmiah yang bersifat keduniaan, yaitu apa yang di ungkapkan oleh pendidikan modern dengan tujua kemanfaatan atau persiapan untuk
40Hamdani, Dasar-Dasar Kependidikan, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), hlm. 68
41 Adi Widya, Fungsi Dan Tujuan Pendidikan Indonesia, Jurnal Pendidikan Dasar, Vol. 4, No. 1, April 2019, hlm 31
18
kehidupan. 42
Sebagai penutup tujuan pendidikan Islam, Imam Ghazali menyimpulkan dalam kata yang amat simpel dan mudah dipahami, yaitu:
“Keutamaan dan pendekatan diri kepada Allah SWT”. Biar bagaimanapun beragam ilmu yang dipelajarinya, beragam pula metode yang dituruti dan bertahun-tahun belajar, bila tujuan itu tidak tercapai dan tak dapat diwujudkan oleh sang guru dan pelajar, maka Al ghazali menghukum bahwa pendidikan itu gagal total. 43
B. PERDAMAIAN
1. Definisi Perdamaian
Pada tataran ontologis, agama manapun pada hakikatnya tidak mengajarkan kekerasan, dan kekerasan itu sendiri bukan bagian integral dari agama. Agama mengajarkan sikap cinta-kasih dan keharmonisan dalam hidup. Agama memprioritaskan cara-cara damai dan kemanusiaan dalam bersikap sebagaimana diamanatkan oleh nilai-nilai universal agama itu sendiri. Islam, misalnya, merupakan penegasian atas sikap kekerasan.
Islam disatu sisi, berarti kepatuhan/ketundukan diri (submission) kepada kehendak Tuhan dan pada sisi lain, mewujudkan perdamaian melalui aksi dan perbuatannya. Begitu pula keimanan yang merupakan wujud dari sebuah keyakinan pada Tuhan yang nantinya juga akan berdampak secara sosial berupa pemberian rasa aman dan nyaman bagi orang lain. 44
Rasulullah SAW pernah berkata:
،َمَّلَس َو ِهايَلَع الله يَّلَص ِالله ل او س َر َلاَق ،َلاَق َة َراي َر ه ايِبَأ انَع هَنِمَا انَم نِم اؤ ملاا َو ِهِدَي َو ِهِن اَسِل انِم َن او مِلاس ملاا َمِلَس انَم مِلاس مالَا
42 Op.cit, Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, hlm. 25-26
43 Op.cit Wawan Wahyudin, Jurnal Keislaman. hlm. 204
44 Ahmad Nurcholish, Islam Dan Pendidikan Perdamaian, Jurnal Al-Ibrah, Vol. 3, No. 2, Desember 2018, hlm. 116
19
ـامِهِلا َوامَأ َو امِهِإ اَمِد ىَلَع ساَّنلا
“Muslim sejati ialah muslim yang dapat memberikan keselamatan bagi orang lain dari lisan dan tangannya, dan mukmin sejati ialah mukmin yang bisa memberi rasa aman pada yang lain atas jiwa dan harta mereka”
Kata damai adalah antonim dari kata konflik, permusuhan, perseteruan, sengketa, pertengkaran, perselisihan, dan pertikaian. Damai adalah cermin dari terkelolanya konflik. Damai bukanlah semata-mata ketiadaan perang, karena perdamaian yang sejati adalah damai yang dinamis, partisipatif, dan berjangka waktu panjang. Damai sejati dapat terwujud manakala nilai-nilai kemanusiaan universal telah mengakar di segala lini, mulai dari kehidupan keluarga, sekolah, komunitas, masyarakat, hingga negara.45
Menurut Ahmad Nurkholis perdamaian yang sejati ialah damai yang termanivestasi melalui nilai-nilai kemanusiaan universal dan nilai- nilai keadilan sosial.46 Hal ini menunjukkan betapa pentingnya mewujudkan perdamain, dengan adanya tekad perdamaian maka akan meminimalisir terjadinya konflik-konflik yang berlandaskan dengan perbedaan suku, dan budaya. Sehingga sikap kebhinekaan, rukun, menerima perbedaan menjadi fundamentalis untuk bersosial sesama manusia di seluruh penjuru dunia.
Disamping dorongan intrinsik dalam diri manusia, nilai-nilai perdamaian juga dapat ditemukan dalam dan diinspirasi dalam pandangan- pandangan keagamaan dan kebijaksanaan masyarakat (local wisdom).
Islam, misalnya, adalah agama perdamaian. Banyak alasan untuk menyatakan bahwa islam adalah agama perdamaian. Setidaknya ada tiga alasan, yakni: pertama, Islam itu sendiri berarti kepatuhan diri (submission)
45 Op. cit, h. 106.
46 Ahmad Nurcholish, Peace Education & Pendidikan Perdamaian Gusdur, (Jakarta:
PT Gramedia, 2015), hlm. 21.
20
kepada Tuhan dan perdamaian (peace). Kedua, salah satu dari nama Tuhan dalam al’asma’ al-husna adalah yang maha damai (al-salam). Ketiga, perdamaian dan kasih sayang merupakan keteladanan yang di praktikkan oleh Nabi Muhammad SAW. Lebih lanjut, Zuhairi Misrawi menambahkan bahwa perdamaian merupakan jantung dan denyut nadi agama. Menolak perdamaian merupakan sikap yang bisa di kategorikan sebagai menolak esensi agama dan kemanusiaan.47
Fakta lain yang merupakan arti kunci bagi terwujudnya tradisi damai dan nirkekerasan adalah mengikuti dan meneladani yang Rasulullah SAW lakukan.48 Jadi konsekuensinya sebagaimana yang di tulis oleh Schimmel: “Dalam perang dan damai, di rumah dan di dunia luar, dalam bidang keagamaan seperti dalam setiap bentuk pekerjaan dan tindakan/amalan, Nabi Muhammad saw merupakan contoh teladan dari kesempurnaan moral (akhlak). Apa saja yang beliau lakukan menyisakan /memberikan contoh bagi para sahabatnya”.49
Oleh karena hal ini tidak dapat di pisahkan dari segi prilaku, tindakan dan budi pekerti maka pengertian perdamaian hendaklah mengkerucut pada Nabi Muhammad saw melakukan dakwah dengan cara-cara damai serta penuh dengan cinta kasih.
2. Tujuan Perdamaian
Disamping bersumber dari nilai-nilai Qurani, diskursus mengenai perdamaian juga banyak ditemukan dalam Sunnah Nabawiyah. Ada sekitar 20 ribu hadist Nabi dan diantaranya hadis yang mendukung etika antikekerasan atau etika perdamaian. Hadis-hadis ini mempunyai signifikansi ganda untuk mengkaji tradisi perdamaian dalam Islam.
Pertama, menawarkan fakta-fakta tambahan tentang antikekerasan dalam
47 Zuhairi Misrawi, Al-Qu’ran Kitab Toleransi: Tafsir Tematik Rahmatan Lil’Alamin, (Jakarta: Pustaka Oasis, 2010), hlm. 329.
48 Op.cit, Ahmad Nurcholish, Peace Education Dan Pendidikan Perdamaian Gus Dur, hlm. 20.
49 Ibid, hlm. 21.
21
budaya Islam; kedua, mencakup penjelasan yang lebih menarik tentang berbagai tradisi Islam sebagaimana disampaikan melalui Al-Quran.50
Fakta lain yang merupakan arti kunci bagi terwujudnya tradisi damai dan nirkekerasan adalah mengikuti dan meneladani yang Rasulullah SAW lakukan. Al-Quran merekomendasikan Nabi Muhammad kepada kita sebagai suriteladan yang baik sebagaimana Allah berfirman:
َم ْوَي ْ
لا َو َ للّٰا او ج ْرَي ه نا َ َ
ك ْن َمِ ل ٌةَن َس َح ٌة َو ْس ا ِ ه
للّٰا ِل ْو س َر ْيِف ْم ك َ ل نا َ َ
ك ْد ق َ َ ل اًرْيِث َ
ك َ للّٰا َر ه َ
كَذ َو َر ِخ ٰ ا ْ
لا
21. Sungguh, pada (diri) Rasulullah benar-benar ada suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat serta yang banyak mengingat Allah.51 Dan memerintahkannya (Nabi) untuk berkata kepada umatnya:
“Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.”
(QS. Ali Imran: 31).
Jadi, konsekuensinya sebagaimana yang ditulis oleh Schimmel:
“Dalam perang dan damai, dirumah dan didunia (luar), dalam bidang keagamaan seperti dalam setiap bentuk pekerjaan dan tindakan/amalan, Nabi Muhammad SAW merupakan contoh teladan dari kesempurnaan moral (akhlak). Apa saja yang beliau lakukan menyisakan/memberikan contoh bagi para sahabatnya.52
Maulana Wahiduddin Khan menyatakan bahwa perdamaian secara
50 Nagendra Kr. Singh, Etika Kekerasan Dalam Tradisi Islam, terj. Ali Afandi, (Yogyakarta: Pustaka Alief, 2003), hlm 39
51 Terjemah Kemenag 2019. Surah Al Ahzab ayat 21.
52 Op.cit, Ahmad Nurcholish. Peace Education Dan Pendidikan Perdamaian Gusdur
22
umum adalah antitesis dari ketiadaan perang. Namun, definisi ini hanya dalam lingkup yang kecil. Perdamaian sejati adalah perdamaian yang berhubungan dengan segala urusan kehidupan manusia. Perdamaian merupakan ideologi yang menjadi pintu utama menuju kesuksesan dalam hidup.53
Demikian, Tujuan perdamaian untuk membentuk jalinan antar sesama manusia yang di sebut hablu min annas dalam berbagai aspek kehidupan, baik pendidikan di luar kelas maupun di dalam kelas, serta dalam kehidupan dengan berbagai keanekaragaman agama, budaya, suku dan Bahasa yang menuntut manusia untuk bersifat sosial mikro seperti di rumah, sekolah dan makro seperti bangsa dan Negara, juga terbentuknya manusia yang memanusiakan manusia.
3. Tokoh Islam tentang Pendidikan Perdamaian
Munculnya isu mengenai kekerasan dalam Islam (radikalisme Islam) merupakan tantangan baru bagi umat Islam untuk memberikan solusi dan jawaban yang tepat. Isu ini sebenarnya sudah ada sejak lama, terutama di tingkat Internasional. Radikalisme Islam merupakan masalah yang banyak dibicarakan dalam wacana politik dan peradaban global akibat kekuatan media yang memiliki potensi besar dalam menciptakan persepsi masyarakat nasional dan dunia.
Kategori perdamaian dalam pandangan Quṯhb meliputi tiga kategori, yakni: Perdamaian Batin, Keharmonian Rumah Tangga, dan Kedamaian Masyarakat. Dalam tiga kategori tersebut, Quthb menjelaskan tentang Watak Perdamaian. Watak perdmaian ini merupakan bagian pengantar untuk menuntun pembaca memahami karakter dari perdamaian, dan setelah itu baru disajikan tiga kategori tersebut. Namun sebelum memasuki pembahasan tentang Watak perdamaian, perlunya untuk memahami
53 Maulana Wahiduddin Khan, The Ideology Of Peace, (New Delhi: Goodword Books, 2010), hlm. 20
23
tentang Aqidah dan Kehidupan.54
Dalam pandangan Quṯhb, watak perdamaian sangat melekat dalam konsep ajaran Islam yakni di dalam al-Qurʻan dan as-Sunnah. Quṯhb menjadikan Islam sebagai pondasi untuk menyusun konsep Perdamaian.
Perdamaian merupakan visi global yang belum mampu tercapai. Konflik berskala nasional maupun internasional masih kerap terjadi. Sebagai negara multikultural, Indonesia juga merupakan daerah yang rawan konflik.
Gesekan sosial sering terjadi atas dasar pertentangan antar agama, ras, etnis, maupun suku budaya.55 Sayyid Quṯhb menyatakan bahwa kemunculan konflik dipicu oleh sempitnya pemikiran manusia dalam memaknai perbedaan.56
C. HASIL PENELITIAN YANG RELEVAN
1. Resdhia Maula Pracahya (108011000083, Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2013) dalam skripsinya yang berjudul “Konsep K.H. Abdurrahman Wahid Tentang Pendidikan Islam Multikultural”.57 Adapun persamaan dan perbedaannya sebagai berikut Persamaan, menggunakan penelitian kualitatif dengan metode deskriptif Perbedaannya, hanya sebatas judul 2. A. Ruspandi (D01206156, Institute Agama Islam Negeri Sunan Ampel
Surabaya, 2010) dalam skripsinya yang berjudul “Pendidikan Multikultural Dalam Perspektif KH. Abdurrahman Wahid”.58 Adapun persamaan dan perbedaannya sebagai berikut : Persamaannya, menggunakan penelitian kualitatif dengan metode deskriptif Perbedaannya, hanya sebatas judul dan tidak terlalu banyak mendeskripsikan pendidikan islam nya.
54Sayyid Qutub, Islam Dan Perdamaian Dunia, (Pustaka Firdaus: Jakarta, 1987), hlm. 1
55Toha Andiko, Melacak Akar Konflik Dalam Islam Dan Solusi Bagi Kerukunan Umat Beragama Di Indonesia, MADANIA, XVII, no. 1, 2013. hlm. 39
56Op.cit, Sayyid Qutub, Islam Dan Perdamaian Dunia
57 Resdhia Maula Pracahya, Konsep K.H. Abdurrahman Wahid Tentang Pendidikan Islam Multikultural, Skripsi, (Jakarta: FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013)
58 A. Ruspandi, Pendidikan Multikultural Dalam Perspektif KH. Abdurrahman Wahid, Skripsi, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2010)
24
3. Liana Khoerunisa (1423301098, Institute Agama Islam Negeri Purwokerto Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, 2019) dalam skripsinya yang berjudul “Konsep Perdamaian Perspektif K.H. Abdurrahman Wahid Dan Penerapannya Dalam Pendidikan”.59 Adapun persamaan dan perbedaannya sebagai berikut : Persamaan, menggunakan penelitian kulitatif metode deskriptif Perbedaannya, pembahasan tidak terlalu banyak mendeskripsikan, penulisan judul.
4. Moh. Ishamuddin (05370033, Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010) dalam skripsinya yang berjudul “K.H Abdurrahman Wahid (Gusdur) Sebagai Political Man (Studi Ketokohan Gusdur Tahun 1999-2000)”.60 Adapun persamaan dan pebedaannya sebagai berikut: Persamaan, menggunakan penelitian kualitatif dengan metode deskriptif, Perbedaannya, hanya sebatas judul dan sedikit banyak pembahasannya.
5. Alfiyyah Nur Lailiyya (D91215047, Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2019) dalam skripsinya yang berjudul “Konsep Toleransi Dalam Pendidikan Islam Perspektif KH. Abdurrahman Wahid”.61 Adapun persamaan dan perbedaannya sebagai berikut: Persamaan, menggunakan penelitian kulitatif dengan metode deskriptif Perbedaannya, hanya sebatas judul dan sedikit pembahasannya.
59 Liana Khoerunisa, Konsep Perdamaian Perspektif K.H Abdurrahman Wahid Dan Penerapannya Dalam Pendidikan, Skripsi, (Purwokerto, FITK IAIN Purwokerto, 2019)
60 Moh. Ishamuddin, K.H Abdurrahman Wahid (Gusdur) Sebagai Political Man (Studi Ketokohan Gusdur Tahun 1999-2000, Skripsi, (Yogyakarta, FITK UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010)
61 Alfiyyah Nur Lailiyya, Konsep Toleransi Dalam Pendidikan Islam Perspektif KH.
Abdurrahman Wahid, Skripsi, (Surabaya, FITK UIN Sunan Ampel Surabaya, 2019)
25 BAB III
METODOLOGI PENELITIAN A. OBJEK DAN WAKTU PENELITIAN
Objek yang dibahas dalam penelitian ini adalah Konsep Pendidikan Perdamaian KH. Abdurrahman Wahid dalam Perspektif Pendidikan Islam.
Penelitian ini dilakukan dalam beberapa bulan, yakni terhitung dari bulan Juni 2021 sampai dengan bulan Desember 2021.
B. METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. “Penelitian kualitatif adalah suatu penelitian yang di tujukan untuk mendeskripsikan dan menganilisis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individual maupun kelompok.”62
Dalam skripsi ini penulis menggunakan metode deskriprif analisis yang menggunakan tehnik analisis kajian melalui studi kepustakaan (Library Research) karena mengulas terkait tokoh yang sudah wafat, penulis mengutip dari karya ilmiah yang beliau tulis juga wawancara terkait komunitas The Wahid Institute dan Gusdurian dengan dalih melengkapi Judul yang penulis pakai yaitu Pendidikan Perdamaian KH. Abdurrahman Wahid dalam Perspektif Pendidikan Islam.
Karena penelitian ini merupakan library research, maka sumber data pada penelitian ini adalah berbagai literatur yang berkaitan dengan subjek serta sumber terkait baik fiksi maupun non fiksi. Sebagaimana yang dikatakan oleh Maman,
“Sumber data penelitian kualitatif ialah tindakan dan perkataan manusia dalam suatu latar yang bersifat alamiah. Sumber data lainnya ialah bahan-bahan pustaka, seperti: dokumen, arsip, koran, majalah, jurnal ilmiah, buku, laporan tahunan dan lain sebagainya”.63
62 Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), Cet. ke-31, hlm. 60
63 U. Maman Kh, dkk., Metodologi Penelitian Agama Teori dan Praktek, (Jakarta: Raja Grafindo Persada Press, 2006), hlm. 80
26
C. FOKUS PENELITIAN
Menurut Sugiyono, “Batasan masalah dalam penelitian kualitatif disebut dengan fokus, yang berisi fokus masalah yang masih bersifat umum.”64
Dengan melihat pendapat Sugiyono, maka penulis mencantumkan apa yang ada dalam batasan masalah menjadi fokus penelitian dalam penulisan ini, yaitu mengenai konsep pendidikan perdamaian KH.
Abdurrahman Wahid dalam perspektif pendidikan Islam.
Dengan demikian dalam penelitian ini penulis bermaksud mengkaji tentang konsep pendidikan perdamaian KH. Abdurrahman Wahid dalam perspektif pendidikan Islam.
D. SUMBER DATA
Penulis akan memadukan data yang diperoleh dari sumber primer dan sekunder untuk memperkaya pemabahasan pada kajian teori dan hasil dari penelitian ini.
a. Data dari sumber primer diperoleh dari buku Dialog Peradaban Untuk Toleransi dan Perdamaian karya Kh Abdurrahman Wahid
& Daisaku Ikeda: mengurai pokok-pokok perdamaian dunia.
b. Sedangkan data yang diperoleh dari sumber sekunder ialah wawancara oleh salah satu pendiri The Wahid Institute mas Ahmad Suaedy, berbagai literatur yang berkaitan dengan masalah penelitian, jurnal-jurnal terkait, serta buku- buku tentang pendidikan perdamaian dalam perspektif pendidikan Islam.
64 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Kombinasi (Mixed Methods), (Bandung: Alfabeta, 2011), hlm.287.
27
E. TEKNIS ANALISIS DATA
Analisis data adalah sebuah kegiatan untuk mengatur, mengurutkan, mengelompokkan, memberi kode/tanda, dan mengkatagorikannya, sehingga diperoleh suatu temuan berdasarkan fokus atau masalah yang ingin dijawab.65
Dari data-data yang terkumpul akan dibahas dengan metode deskriptif analisis, yaitu metode pembahasan masalah dengan cara memaparkan atau menguraikan masalah secara teoritis, untuk kemudian menganalisisnya dalam rangka mendapatkan kesimpulan yang tepat.
Metode penarikan kesimpulan dipakai pola deduktif maupun induktif. Metode deduktif adalah cara penarikan kesimpulan yang dimulai dari masalah yang bersifat khusus, sedangkan induktif adalah metode penarikan kesimpulan yang dimulai dari fakta-fakta yang bersifat khusus ditarik pada kesimpulan yang bersifat umum.
65 Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif: Teori dan Praktik, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2013), hlm. 209
28
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. BIOGRAFI KH. ABDURRAHMAN WAHID
1. Riwayat Hidup
KH. Abdurrahman Wahid dilahirkan pada tanggal 4 Sya’ban atau bertepatan dengan 7 September 1940 di Denanyar Jombang, Jawa Timur.
Beliau adalah anak sulung dari enam bersaudara pasangan Wahid Hasyim dan Solichah. Meskipun beliau lahir pada tanggal 7 September, teman- teman dan keluarga beliau merayakan ulang tahun beliau pada tanggal 4 Agustus 2000. 66 Perbedaan persepsi ini karena tahun yang menjadi acuan pada masa itu yaitu Tahun Hijriah.
Gambar 4.1
Foto K.H Abdurrahman Wahid
KH. Abdurrahman Wahid yang akrab di sapa Gus Dur, kata Gus adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiyai laki-laki yang berarti mas. Beliau dihormati sebagai pangeran yakni cucu
66 Greg Barton, Biografi Gusdur: The Authorized Biography Of Abdurrahman Wahid, (LKis Yogyakarta, 2003), hlm. 1