• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. BIOGRAFI KH. ABDURRAHMAN WAHID

1. Riwayat Hidup

KH. Abdurrahman Wahid dilahirkan pada tanggal 4 Sya’ban atau bertepatan dengan 7 September 1940 di Denanyar Jombang, Jawa Timur.

Beliau adalah anak sulung dari enam bersaudara pasangan Wahid Hasyim dan Solichah. Meskipun beliau lahir pada tanggal 7 September, teman-teman dan keluarga beliau merayakan ulang tahun beliau pada tanggal 4 Agustus 2000. 66 Perbedaan persepsi ini karena tahun yang menjadi acuan pada masa itu yaitu Tahun Hijriah.

Gambar 4.1

Foto K.H Abdurrahman Wahid

KH. Abdurrahman Wahid yang akrab di sapa Gus Dur, kata Gus adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiyai laki-laki yang berarti mas. Beliau dihormati sebagai pangeran yakni cucu

66 Greg Barton, Biografi Gusdur: The Authorized Biography Of Abdurrahman Wahid, (LKis Yogyakarta, 2003), hlm. 1

29

dari Hadratus Syekh Kyai Hasyim Asy’ari pendiri organisasi islam terbesar berasaskan Ahlussunnah Wal Jama’ah NU dan Gusdur dinisbatkan sebagai pewaris kedua organisasi islam terbesar di dunia.67

Kedua kakek Gus Dur KH Bisri Syansuri dari pihak ibu dan dari pihak bapak KH hasyim Asy’ari beliau sangat dihormati dikalangan NU baik karena peran mereka dalam mendirikan NU pada tangal 31 Januari 1926/ 16 Rajab 1344, maupun karena posisi mereka sebagai ulama.

Sebagian besar pesantren menjadi bagian dari longgar NU. Nahdhatul Ulama, yang berarti Kebangkitan Para Ulama, adalah organisasi Islam tradisional yang terkuat, baik di Jawa maupun di luar Jawa, seperti Sumatra Selatan dan Kalimantan Tengah. Kekuatan terbesar NU terletak di Jawa Timur, khususnya di kota Jombang, yang merupakan kota kelahiran keluarga Gus Dur, baik dari pihak ayah maupun ibu. 68

KH. Wahid Hasyim ayah dari KH Abdurrahman Wahid yang menjadi Menteri Agama pada era pemerintahan Presiden Soekarno juga dihormati oleh masyarakat menengah kota karena kedekatannya dengan gerakan nasionalis yang memimpin perjuangan revolusioner melawan penjajah Belanda setelah akhir Perang Dunia II. 69

Selain lahir dari keluarga pendiri NU, Gus Dur adalah salah seorang tokoh intelektual Indonesia yang menonjol dan sangat disegani. Salah satu aspek yang fleksibel dipahami dari Gus Dur adalah bahwa beliau penyeru pluralisme dan toleransi, pembela kaum minoritas. Gus Dur dipahami sebagai muslim non-chauvinis, sebagai figur yang memperjuangkan diterimanya kenyataan sosial bahwa Indonesia itu beragam. Gus Dur adalah

67 M.Khoirul Hadi, Abdurrahman Wahid dan Pribumisasi Pendidikan Islam, Hunafa:

Jurnal Studia Islamika, Vol. 12, No. 1, Juni 2015, hlm. 186-187

68 Op.cit, Greg Barton, hlm. 26

69 Ibid

30

orang yang bangga sebagai seorang muslim, beliau sangat mencintai kebudayaan Islam tradisionalnya dan juga pesan umat Islam itu sendiri.70

Tidak mudah untuk di sangkal oleh siapapun, Gus Dur adalah ikon pembaharuan pemikiran dan kehidupan sosial dalam dunia Muslim, khususnya di Indonesia hari ini. Menurut beliau seluruh pengetahuan manusia sah untuk dipelajari dan diambil manfaatnya bagi kemanusiaan.71 Pada tahun 1984 Gus Dur dipilih secara aklamasi oleh K.H. As’ad Syamsul Arifin untuk menduduki jabatan ketua umum PBNU pada muktamar ke-27 di situbondo. mukhtamar tersebut di kukuhkan sampai ke 28 di Krapyak Yogyakarta, dan di cipasung Jawa Barat pada tahun 1994.72 Setelah dua priode, Jabatan ketua umum PBNU kemudian dilepas ketika Gus Dur menjabat sebagai Presiden ke-4.

Setalah mengucapkan sumpah Presiden, Gus Dur menyatakan, “Kita harus mempertahankan keutuhan negara kita dihadapan negara lain yang terkadang menganggap ringan perasaan dan harga diri kita. Ini bukan tugas ringan, ini tugas berat. Apalagi karena kita sedang didera oleh perbedaan paham yang besar oleh longgarnya ikatan-ikatan bangsa.73 20 Oktober 1998 Gus Dur terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia ke-4.74

Periode awal dalam kepimpinan Presiden Abdurrahman Wahid saat yang paling penuh kesibukan. Ia sendiri telah memiliki banyak rencana mengenai apa yang mesti dilakukan dalam rentang waktu jangka pendek, mulai dari melanjutkan economic recovery yang belum tuntas, penyelesaian konflik horizontal masyarakat dan ancaman disintegrasi yang melanda

70 Ibid, hlm xxii

71 Husein Muhammad, Samudra Kezuhudan Gus Dur, (Yogyakarta: DIVA Press, 2019), hlm. 24

72 Muhammad Zakki, Gus Dur Presiden Republik Akhirat, (Sidoarja: Masmedia Buana Pustaka, 2010), hlm 7

73 Virdika Rizky Utama, Menjerar Gus Dur, (Jakarta: PT. NUmedia Digital Indonesia, 2020), hlm. 107

74 M. Hamid, Gus Gerr Bapak Pluralisme dan Guru Bangsa, (Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2010), hlm. 53

31

beberapa wilayah domestikasi peranan militer, penegakkan HAM, sampai dengan membuka ruang partisipasi dan otonomi masyarakat secara lebih luas dengan meminimalisir keterlibatan negara.75 Sebulan pertama pemerintahannya ditandai dengan eskalasi masalah Aceh yang semakin meningkat. Belum lagi tuntutan otonomi khusus yang diminta oleh berbagai provinsi. Di Riau, sebagian Sulawesi dan irian jaya tuntutannya bukan lagi otonomi, melainkan kemerdekaan yang terlepas dari pemerintahan pusat di Jakarta.76

Setelah 2 tahun menjabat sebagai presiden. Pada tanggal 23 Juli 2001 MPR secara resmi mengundurkan Gus dur dan menggantikan wakilnya. Karena Gus dur mengeluarkan dekrit pembekuan terhadap MPR dan DPR untuk menghindarkan terjadinya pergantian presiden secara inkonstitusional.77

Pada tanggal 30 Desember 2009 tepat hari rabu beliau wafat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta pukul 18.45 WIB akibat komplikasi penyakit yang dideritanya sejak lama. Menurut Salahuddin Wahid adiknya Gus Dur beliau wafat akibat sumbatan pada arteri, seminggu sebelum dipindahkan ke Jakarta beliau sempat dirawat di Jombang seusai mengadakan perjalanan di Jawa Timur. K.H Salahudin Wahid yang akrab dipanggil Gus Sholah bertemu Gus Dur terakhir kali di Jombang sepekan sebelum wafatnya yaitu ketika Gus Dur sedang berziarah ke makam keluarganya. Gus Dur bilang kepada Gus Shalah “Dik, mengko tanggal 31 jemputen aku nang kene!” (Dik, nanti tanggal 31 jemput saya disini).78

75 Khamami Zada, Neraca Gus Dur Dipanggung Kekuasaan, (Jakarta: LAKPESDAM, 2002), hlm. 34

76 Hermawan Sulistio, Darah, Nasi, dan Kursi, (Jakarta:Pensil 324, 2011), hlm. 48-49

77 Angela Ervina, Rachmat Kriyantono, Maulina Pia Wulandari, Kontroversi Gaya Komunikasi Politik Presiden K.H Abdurrahman Wahid, Jurnal Ilmu Komunikasi MEDIAKOM Vol. 02 NO. 02 Tahun 2019, hlm. 95

78Muhammad Rifai, Gus Dur Biografi Singkat 1940-2009, (Jogjakarta: GARASI, 2017), hlm. 50

32

Dokumen terkait