• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDIDIKAN PERDAMAIAN PERSPEKTIF KH. ABDURRAHMAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

C. PENDIDIKAN PERDAMAIAN PERSPEKTIF KH. ABDURRAHMAN

ABDURRAHMAN WAHID DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Islam berasal dari kata “salima yuslimu istislaam”, dari akar kata ini juga terbentuk kata salm, slim dan seterusnya yang mengandung pengertian tunduk, kedamaian, kesejahteraan, keselamatan, penyerahan diri dan kepatuhan. Menurut bahasa Arab, pecahan kata Islam mengandung

110 Op.cit, Abdurrahman Wahid, Islamku Islam anda Islam Kita, hlm. 295-296

111 Ibid, hlm. 298

51

pengertian Islamul wajh (ikhlas menyerahkan diri kepada Allah), istislama (tunduk secara total kepada Allah), salamaah atau saliim (suci dan bersih), salaam (selamat sejahtera), silm (tenang dan damai).112 Dari penjelasan di atas, maka sangat terang dan jelas bahwa Islam adalah agama damai.

Konsep kedamaian dalam Islam lebih spesifik diartikan dengan menjalin hubungan baik dengan orang lain. baik yang berbeda agama dengan kita. Perdamaian akan tercipta jika ada perjanjian atau konsensus untuk saling memahami, menghargai dan menghormati dari kedua pihak maupun multi pihak.113 Dalam Alquran juga ditegaskan bahwa Rasulullah SAW di utus oleh Allah untuk menebarkan kasih sayang, sebagai mana dalam surah Al-Anbiya ayat 107 yang berbunyi:

ايِمَل عالِ ل ًةَماح َر َّلِْا َك نالَس ارَا ٰٓاَم َو َن

Artinya: Kami tidak mengutus engkau (Nabi Muhammad), kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.

Hal ini mengacu pada ayat terdahulu yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW di utus untuk seluruh umat manusia. Sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam muslim menyebutkan pula bahwa “sesungguhnya saya tidak diutus sebagai pemberi laknat, tapi saya di utus untuk memberi rahmat”.114 Relevansi kedamaian dalam Islam harusnya merujuk pada Rasulullah SAW dalam menyiarkan agama Islam, salah satu contoh dakwah Nabi dengan cara damai, kasih sayang terhadap sesama manusia. Selain peran Nabi Muhammad SAW, cerita putra Nabi Adam a.s Qabil dan Habil juga menjadi contoh bagi kita sebagai berikut:

“Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan

112 Sahari, Merajut Perdamaian Melalui Pendidikan Islam, Jurnal Iqra’ Vol. 3. No. 1, Januari –Juni 2009. hlm. 69

113 ibid

114 Op.cit, Ahmad Nurcholish. Peace Education Dan Pendidikan Perdamaian Gusdur, hlm. 18

52

tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): “Aku pasti membunuhmu!” berkata Habil: “sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertaqwa. “sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepada ku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu.

Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam.

Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa) dosa (membunuh) ku dan dosa mu sendiri, maka kamu akan menjadi penghuni neraka, dan yang demikian itulah pembalasan bagi orang-orang yang dzolim. Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah. Maka jadilah ia seorang di antara orang-orang yang merugi. Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya, berkata Qabil: “Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?”

karena itu jadilah dia seorang diantara orang-orang yang menyesal.” (QS.

Al-Maidah: 27-31).

Menurut Jawdat Sa’id dalam kisah di atas memberi makna yang dalam. Pertama, ada aspek kepasrahan total kepada Tuhan. Kedua, ada kemampuan untuk berkorban dengan jiwa sekalipun agar orang lain menemukan jalan kebenaran. Ketiga, teladan bagaimana memutus siklus kekerasan. Habil sebagai simbol kebaikan dan keshalehan menolak mengotori tangannya dengan darah. Sementara Qabil mewakili kekerasan, kebuasan, serta ringan tangan untuk membunuh atas dalih apa saja. 115

Dalam sejarah awal kemunculan pendidikan Islam yang bertalian dengan kemunculan Islam masa awal, Nabi Muhammad sebagai pembawa risalah Islam memberikan pengajaran kepada para sahabat untuk menghormati pemeluk agama lain. peristiwa ini terlihat ketika Rasulullah

115 Jaudat Sa’id, Mazhab Ibn Adam al-Awal: Musykilat al-U’nf al-Amal al-Islamy, (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), hlm. 23

53

SAW tiba di kota Madinah dan resmi menjadi pemimpin penduduk kota.

Nabi Muhammad meletakkan dasar-dasar kehidupan masyarakat. Dasar pertama membangun masjid, selain sebagai tempat shalat, juga sebagai sarana penting untuk mempersatukan kaum muslimin, disamping sebagai tempat musyawarah. Nabi Muhammad mempersaudarakan antara golongan-golongan yang hijrah dari Makkah ke Madinah dan penduduk Madinah yang sudah masuk Islam dan turut membantu kaum Muhajirin.116

Dengan begitu, kaum muslim terikat dalam satu persaudaraan dan kekeluargaan. Apa yang dilakukan Nabi, telah menciptakan suatu bentuk persaudaraan baru, yaitu persaudaraan berdasarkan agama. Dengan demikian, pendidikan Islam di masa awal telah berada dalam perjuangan dan usaha untuk mencapai perdamaian. Di tandaskan pula pada salah satu nama pada Asmaul Husna yakni Al-salam bahwa Allah itu Mahadamai. Dan masih 98 nama lagi pada Asmaul Husna yang bisa menjadi pondasi bagi kehidupan. 117

Bagi Gus Dur golongan formalis menurut pendidikan Islam itu sebagai system, maksudnya adalah system Islami dan disini hanya memiliki sedikit penganut. Sedangkan para ulama Indonesia tidak setuju, mereka mengartikan bahwa pendidikan itu sebagai pengayom. Dimana pendidikan Islam adalah pelindung bagi semua orang walaupun non-muslim. 118

Pandangan Gus Dur terkait dalam pendidikan Islam ada dua, yaitu pembaharuan pendidikan Islam dan modernisasi pendidikan Islam.

Pembaharuan pendidikan Islam adalah ajaran formal Islam harus diutamakan dan kaum muslimin harus dididik mengenai ajaran agama mereka. Semangat menjalankan agama, Pendidikan Islam datangnya lebih banyak dari komunikasi di luar sekolah, antara berbagai komponen masyarakat Islam.

116 Op.cit, Ahmad Nurcholish, Jurnal Al Ibrah, hlm 123

117 Ibid, hlm 124

118 Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, Agama Masyarakat Negara Demokrasi Cetakan 1, (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), hlm. 78

54

Sedangkan tantangan modernisasi adalah tantangan seperti pengentasan kemiskinan, pelestarian lingkungan hidup adalah respon yang tak kalah bermanfaat bagi pendidikan Islam, yang perlu kita renungkan secara mendalam. Pendidikan Islam tentu saja harus sanggup meluruskan responsi terhadap tantangan modernisasi itu, namun kesadaran kepada hal itu justru belum ada dalam pendidikan Islam dimana-mana.119

Pendidikan Islam yang dinafasi oleh ajaran dan nilai-nilai Islam, semestinya mampu untuk mengambil ajaran-jaran Islam sebagai corevaleus yang dimasukkan dalam pembelajaran. Dalam hal ini, tentu ajaran Islam yangdisuguhkan dalam proses pembelajaran adalah bentuk nilai yang bisa menunjang terciptanya tujuan pendidikan Islam. Sementara tujuan pendidikan Islam menurutkebanyakan pakar adalah untuk mencapai suatu akhlak yang sempurna.120

salah satu term licin dalam Al-Qur`an yang masih diasumsikan oleh kebanyakansarjana Islam dalam ranah interpretasi yang berbau radikal ialah term “jihad”. Hal ini bias dilacak dalam berbagai karya tulis yang dilahirkan dari pena kesarjanaan Islam, misalnya karya Hasan bin Muhammad Irsyad al-‘Ibad fi Fadhl al-Jihad, dalam karya ini jihad masih di gambarkan dengan wajah pertempuran dan kelompok mana yang layak diperangi serta motivasi teologis tentang balasan orang-orang yang berjuang mengangkat senjata.121

Nilai-nilai pendidikan Islam Menurut Sayyid Qutub terdiri dari tiga pokok pendidikan yaitu, pendidikan aqidah, pendidikan ibadah, pendidikan akhlak.122

1. Pendidikan Aqidah

Pendidikan yang berusaha mengantarkan peserta didik untuk mengenal dan memahami bentuk serta membantu

119 Ibid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, hlm. 225

120 Suheri Sahputra Rangkuti, Nilai-Nilai Pendidikan Islam Dalam Tafsir Ayat Jihad, POTENSIA, Jurnal Kependidikan Islam, Vol. 4, No. 2, 2018, hlm. 185

121Ibid

122Ibid, hlm. 198

55

peserta didik memperkuat keyakinannya terhadap rukun iman dan lain sejenisnya. Secara implisit, penafsiran Sayyid Quthb yang menyangkut seputarpendidikan aqidah hampir menyentuh seluruh penafsirannya terkait jihad.

2. Pendidikan Syariah

Pendidikan syariah yang dimaksud oleh penulis ialah upaya mengenalkan dan menanamkan nilai-nilai aturan Allah terkait tata cara baik yang berhubungan dengan ibadah vertikal maupun ibadah sosial. Di dalam tafsiran ayat jihad versi Quthb yang terkait dengan nilai syariat yaitu jihad itu sendiri. Jihad merupakan ibadah vertikal kepada Allah sekaligus ibadah sosial karena dalam pelaksanaannya melibatkan manusia lain.

3. Pendidikan Akhlak

Pendidikan akhlak yang penulis maksud adalah pendidikan yang mengenalkan dan menanamkan serta menghayati akan adanya sistem nilai yang diatur oleh agama, mencakup pola-pola hubungan dengan Allah, masyarakat dan lingkungan. Adapun pemikiran Quthb yang terpancar di dalam tafsirnya mengenai pendidikan akhlak antara lain: akhlak kepada Allah dan akhlak kepada sesama D. ANALISIS KONSEP PENDIDIKAN PERDAMAIAN KH.

ABDURRAHMAN WAHID DI TINJAU DARI PENDIDIKAN ISLAM

Dalam hal ini, pendidikan Islam menjelaskan posisi peserta didik sebagai manusia di antara makhluk Allah lainnya dan tanggung jawabnya dalam kehidupan ini, hubungan sebagai makhluk sosial dan tanggung jawabnya dalam tatanan kehidupan masyarakat, hubungan manusia dengan alam, dan tugasnya untuk memahami hikmah penciptaan dengan cara menjaga harmonisasi alam. Pendidikan Islam diperuntukan kepada dua dimensi dialektika, yakni dimensi vertikal dan horizontal. Pendidikan Islam

56

menjadi jembatan untuk memahami fenomena dan misteri kehidupan serta upayanya mencapai hubungan dengan Tuhan.123 Secara eksplisit menempatkan dua hal penting sebagai orientasi pendidikan. Pertama, mencapai kesempurnaan manusia untuk secara kualitatif mendekatkan diri kepada Allah Swt. Kedua, mencapai kesempurnaan manusia untuk meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat.124

Dalam penjelasan diatas diketahui bahwa pendidikan Islam perdamaian Gus Dur yang mengupayakan untuk menanamkan nilai-nilai toleransi, modernisasi didasari oleh tradisi serta kearifan secara pada peserta didik sejak dini dan makro dalam keseluruhan kehidupan. Kemudian mengembangkan rasa saling mengerti dan saling memiliki terhadap umat beragama lain itu sesuai dengan Konsep Pendidikan Perdamaian yang berorientasi pada terbentuknya kepribadian yang berakhlak mulia.

Dasar yang menjadi acuan Pendidikan Islam merupakan sumber nilai kebenaran dan kekuatan yang dapat mengantarkan peserta didik ke arah pencapaian pendidikan. Dasar yang terpenting dari pendidikan Islam adalah al Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW.125 Itulah yang juga dilakukan dilakukan oleh Gus Dur tokoh yang dikenal sebagai salah satu pembaharu Islam di Indonesia ini telah membangun paradigma klasik menuju paradigma modern dengan tujuan menyatukan umat yang berbeda keyakinan, agama, ras, suku, etnis, dan kultur.

Hal tersbut menjadi landasan pemikiran dan tindakannya. Dalam mencapai taraf hidup sejahtera, Pendidikan Islam mengajarkan umatnya agar bermuamalat kepada seluruh manusia. Juga mengakui adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan, bersuku-suku, berbangsa, hal itu sebagai keniscayaan bahwa Allah menciptakan perbedaan agar saling mengenal dan menghindari perpecahan.

123 Fathiyyah Hasan Sulaiman, Konsep Pendidikan al-Ghazali, terj. Ahmad Hakim dan Imam Aziz, (Jakarta: P3M, 1990), hlm. 20

124 Ibid

125 Op.cit, Al-Rasyidin dan Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, hlm. 34

57

Pendidikan Islam dalam pandangan Gus Dur tidak lepas dari peranan pesantren sebagai salah satu institusi pendidikan Islam yang menjadi wahana resistensi moral dan budaya atau pewaris tradisi intelektual Islam Tradisional. Dalam perjalanan historisnya, pesantren lahir sejak awal abad Hijriah, hingga masa-masa paling akhir dari imperium Usmaniyah di Turki pada awal abad ke-20 hingga kini, keberadaan pesantren masih dipandang penting dalam pemberdayaan masyarakat.126 Oleh karena itu, bagi presiden RI keempat ini pendidikan Islam haruslah memadukan sesuatu yang tradisional dan modern. Gus Dur berusaha menyintesiskan kedua pendidikan ini, yakni pendidikan Islam klasik dengan pendidikan Barat modern dengan tidak melupakan esensi ajaran Islam. 127

Gus Dur berusaha konsisten mempertahankan nilai-nilai lama yang baik, tetapi tetap melihat ke depan dan mengadopsi pemikiran Barat modern yang sangat relevan dengan Islam sehingga dari sintesis tersebut menghasilkan neomodernisme untuk melihat pesan utuh Alqur’an.128 Prinsip tersebut selaras dengan ciri khas dari sesepuh, ulama-ulama NU ketika melakukan ijtihad dengan memegang prinsip Al-muhafazhah bil qadimish-shalih wal-akhdzhu bil-jadidil ashlah, mempertahankan tradisi yang lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik. Prinsip ini pula yang dipegang Gus Dur untuk merekonstruksi Pendidikan Islam.

Ditinjau dari tugas pendidikan Islam yaitu membimbing dan mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik dari tahap ke tahap kehidupannya sampai mencapai titik kemampuan optimal.

Hendaknya menjadi pelopor pendidikan Islam dengan mempererat persaudaraan antar umat, toleransi, cara pandang yang inklusif, rasa empati kepada sesama manusia ciptaan Tuhan. 129

126 Khamami Zada dan Fawaid Sjadzali, Nahdhatul Ulama, Dinamika Ideologi Politik Kenegaraan, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2010), hlm. 86

127 Op.cit, Greg Barton, Biografi Gus Dur, hlm. 138

128 Op.cit, Faisol, Gus Dur dan Pendidikan Islam, hlm. 82

129 Op.cit, Al-Rasyidin dan Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, hlm. 34

58

Implementasi pendidikan erat kaitannya dengan kurikulum yang telah dirancang sebelumnya. Kurikulum pendidikan juga harus mampu mengantarkan generasi muda tidak hanya pandai secara intelektual, tetapi juga memiliki integritas, moral, etis, serta dapat hidup dalam suasana demokratis antara satu dengan yang lain, juga menghormati hak orang lain.130 Oleh karena itu, paling tidak ada empat yang perlu digaris bawahi oleh guru dalam mengembangkan kurikulum sebagai proses, yaitu:

1. Posisi peserta didik sebagai subjek dalam belajar.

2. Cara belajar peserta didik yang ditentukan oleh latar belakang budayanya.

3. Lingkungan budaya mayoritas masyarakat dan pribadi peserta didik adalah entry behavior kultur peserta didik.

4. Menjadikan lingkungan budaya peserta didik sebagai sumber belajar.

Poin di atas merupakan subjek-subjek yang terdapat dalam pendidikan perdamaian baik yang ada dalam pendidikan Islam maupun yang dirumuskan Gus Dur.

E. ANALISIS KONSEP PENDIDIKAN ISLAM PERDAMAIAN DALAM PERSPEKTIF KH. ABDURRAHMAN WAHID

1. Terbentuknya Watak Perdamaian KH. Abdurrahman Wahid

Gus Dur seorang agamawan dan percaya pada konsep wahyu dan di gabungkan dengan pemikiran modern. Ditegaskan bahwa Tuhan sebagai sang pencipta, ada wahyu, dan kitab suci. Tetapi ada juga yaitu pengetahuan yang objektif. Artinya gagasan beliau terkait perdamaia dapat dipahami secara konstektual.

Gus Dur terlahir dari keluarga berlatar belakang yang menjunjung tinggi nilai perdamaian, dari bapak KH. Wahid Hasyim pada tahun 1951

130 Syamsul Ma’rif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2005), hlm. 9

59

saat menjabat Menteri Agama melakukan upaya-upaya mendukung kebijakan persamaan hak wanita, untuk memberi kesempatan dan peluang untuk mengenyam pendidikan di sekolah Guru dan Hakim Agama Islam131, dan kakek Gus Dur dari pihak bapak yaitu KH Hasyim Asy’ari sebagai muassis NU, beliau memiliki rasa toleran yang tinggi kepada orang lain, berdedikasi untuk kemerdekaan Indonesia dan dihormati sebagai pahlawan Nasional dan sebagai pendidik yang agung.

Hal ini mempengaruhi Gus Dur dalam seluruh aspek hidupnya132 Pemikiran Gus Dur mengenai agama diperoleh dari dunia pesantren, lembaga inilah yang membentuk karakter keagamaan yang penuh etik, formal dan struktural. Sementara pengembangan di Timur Tengah telah mempertemukan Gus Dur dengan berbagai corak pemikiran agama, dari yang konservatif, simbolik-fundamentalis sampai pada corak liberal-radikal.

Karena sosok ayah beliau memiliki minat yang kuat pada peristiwa di seluruh dunia. beliau menguasai bahasa Inggris dan Belanda. Oleh karena itu, Pemikiran Gus Dur banyak di pengaruhi oleh pemikiran barat dengan filsafat humanismeya. Sebagai seorang remaja, Gus Dur mulai mencoba memahami tulisan Plato dan Aristoteles, serta pada saat yang sama ia bergulat memahami Des Kapital karya Marx dan What is To be Done karya Lenin sehingga beliau tertarik pada idenya terkait keterlibatan secara radikal. Gus Dur di besarkan dalam lingkungan tersebut kemudiana akrab dengan banyak buku dan membaca karya sastra dunia.133

Akar pemikiran Gus Dur sesungguhnya didasarkan pada komitmen kemanusiaan (humanisme-insaniyah) dalam ajaran Islam. Dalam pandangan Gus Dur, komitmen kemanusiaan itu dapat digunakan

131 Op.cit, Abdurrahman Wahid dan Daisaku Ikeda, Dialog Peradaban Untuk Toleransi dan Perdmaian, hlm 54

132 Iibd, hlm. 12

133 Op.cit, Abdurrahman Wahid & Daisaku Ikeda, Dialog Peradaban Untuk Toleransi Dan Perdamaian, hlm. 54

60

sebagai dasar untuk menyelesaikan tuntutan persoalan utama kiprah umat islam dalam masyarakat modern dan plurlistik di Indonesia. Pada intinya adalah menghargai sikap toleransi dan memiliki kepedulian yang kuat terhadap keharmonisan sosial. Kedua asas tersebut dapat menjadi dasar ideal keberadaan komuitas Indonesia. 134 sebagaimana yang beliau pelajari dalam Wayang Kulit yang berisi kisah-kisah menghargai ambivalensi, maka dalam sastra-sastra besar Eropa beliau juga menghargai segala bentuk sifat manusia. Cinta akan kemanusiaan di pelajari lewat sastra klasik, kegemaran menonton film.

Terlihat bahwa fokus utama Gus Dur bertumpu pada terciptanya kehidupan damai sesuai dengan cita-cita pendidikan Islam. Memberi ruang demokrasi, mengembangkan sikap pluralisme, seluruhnya itu terkandung pada prinsip universal Islam pada maqashid al-syariah.

2. Konsep Pendidikan Islam Perdamaian Perspektif KH.

Abdurrahman Wahid

Jika ditelusuri secara mendalam, konsep pendidikan pderdamaian Gus Dur yang kemudian mengantatrkannya menjadi seorang humanis adalah pengaruh para kiai yang mendidik dan membimbingnya sejak beliau remaja hingga dewasa. Beliau meneladani kisah tentang Kiai Fatah dan Tembak Beras, Kh. Ali Ma’sum dari Krapyak dan Kiai Chudhori dari Tegalrejo telah membuat pribadi Gus Dur menjadi sosok yang sangat peka pada persoalan-persoalan kemanusiaan.135 Gus Dur juga di pengaruhi oleh apa yang dibaca dan di pelajarinya, keduanya memberikan kesempatan untuk mencoba mensistensikan pemikiran barat modern dengan Islam.

Greg Barton menyatakan terdapat lima elemen yang dapat di simpulkan dari pemikiran Gus Dur, yaitu Pertama, pemikirannya progresif dan bervisi jauh kedepan. Baginya dari pada terlena dengan kemenangan masa lalu. Gus Dur melihat masa depan dengan harapan

134 Ali Masykur Musa, Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur, (Jakarta: Erlangga, 2010), hlm. 87

135 Op.cit, Ahmad Nurcholish, Peace Education dan Pendidikan Perdamaian Gus Dur, hlm. 183

61

yang pasti, bahwa bagi Islam dan masyarakat muslim sesuatu yang terbaik pasti akan datang. Kedua, pemikiran Gus Dur sebagian besar merupakan respons terhadap modernitas, respons dengan penuh percaya diri dan cerdas, kritis terhadap kegagalan-kegagalan masyarakat Barat modern. Gus Dur secara umum bersikap positif terhadap nilai-nilai inti pemikiran liberal pasca pencerahan, walaupun hal ini perlu dikaitkan pada dasar-dasar teistik. Ketiga, Pancasila merupakan dasar yang paling mungkin dan terbaik bagi terbentuknya negara Indonesia modern untuk mewujudkan kesejahteraan dan kejayaan bangsa.136

Keempat, Gus Dur mengartikulasikan pemahaman Islam liberal dan terbuka yang toleran terhadap perbedaan dan sangat peduli untuk menjaga harmoni dalam masyarakat. Kelima, pemikiran Gus Dur merepresentasikan pemikiran tradional, elemen modernisme Islam dan kesarjanaan Barat modern, yang berusaha menghadapi tantang modernitas baik dengan kejujuran intelektual yang kuat maupun keimanan yang mendalam terhadap kebenraran utama Islam.137

136 Greg Barton, Abdurrahman Wahid dan Toleransi Keberagaman dalam Ahmad Suaedy, Gila Gus Dur, (Yogyakarta: LKiS, 2000), hlm. 89

137 Ibid, hlm. 90

62

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah penulis menguraikan hasil penelitian mengenai Konsep Pendidikan Perdamaian KH. AbdurrahmanWahid Dalam Perspektif Pendidikan Islam maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut.

KH. Abdurrahman Wahid terlahir dari keluarga yang menjunjung tinggi nilai-nilai perdamaian. Pemikiran mendasar terkait pendidikan dan perdamaian Kh Abdurrahman Wahid di peroleh melalui kultur yang besarkannya yaitu, NU dan pesantren. Salah satu aspek yang bisa di dipahami beliau adalah penyeru pluraisme dan toleransi, tema yang penting dalam tulisannya adalah kecintaan yang mendalam terhadap budaya Islam tradisional.

Dalam pendidikan perdamaian islam, doktirin dasar konsep pendidikan perdamaian Islam pengaruh para kiai yang mendidik dan membimbing hingga dewasa. Seperti kisah Kiai Fatah dari Tambak Beras, Kiai Ali Ma’sum dari Krapyak, Kiai Chudhori dari Tegalrejo yang membuat pribadi Kh Abdurrahman Wahid menjadi sosok yang sangat peka pada persoalan kemanusiaan, juga di pengaruhi oleh apa yang di baca dan dipelajarinya untuk mensistesiskan pemikiran Barat modern dengan Islam.

Tidak hanya menyeru nilai-nilai perdamaian Islam, tetapi beliau mengimplementasikan di dalam keseluruhan kehidupannya. Dengan konsep beliau, beliau berhasil menciptakan gagasan kepada generasi muda mengenai pluraisme, keberagaman, toleransi dan kecintaan kepada Tanah Air. Demikian adalah konsep pendidikan perdamaian Islam yang di jelaskan oleh KH. Abdurrahman Wahid bagi para pejuang kemanusiaan.

63

A. Saran

Kita ketahui bahwa yang menciptakan perpecahan antar umat, fanatisme, kekerasan adalah bukan pendidikan yang bersifat fisik saja, melainkan keseluruhan pendidikan baik formal maupun non formal yang berasas pada pendidikan perdamaian Islam. Bagi para pegiat kemanusiaan, pertama, proses pemikiran progresif dan visioner. Kedua, pemikiran yang mengacu pada respons terhadap modernitas, respons dengan penuh percaya diri dan cerdas, kritis, bersikap positif. Ketiga, pancasila sebagai asas terwujudnya kesejahteraan dan kejayaan bangsa. Keempat, keterbukaan yang toleran terhadap perbedaan. Kelima, pemikiran tradisional, modernisme Islam, dan kejayaan Barat modern menjadi prinsip menghadapi tantangan modernitas dengan kejujuran dan keimanan yang mendalam terhadap kebenaran utama Islam. Sangat di butuhkan dalam proses pendidikan perdamaian Islam harus melakukannya secara masif tanpa diskriminatif agar sampai pada tujuan bangsa dan negar yaitu kesejahteraan dan kenyamanan.

Perlunya lima elemen tersebut dalam diri seseorang, untuk

Perlunya lima elemen tersebut dalam diri seseorang, untuk

Dokumen terkait