• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP PENDIDIKAN PLURALISME MENURUT ABDURRAHMAN WAHID DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KONSEP PENDIDIKAN PLURALISME MENURUT ABDURRAHMAN WAHID DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM"

Copied!
128
0
0

Teks penuh

(1)

KONSEP PENDIDIKAN PLURALISME

MENURUT ABDURRAHMAN WAHID DALAM

PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Tugas dan Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam

Ilmu Pendidikan Islam

Oleh:

Achmad Mustholih NIM: 063111064

FAKULTAS TARBIYAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG

(2)
(3)
(4)
(5)

ABSTRAK

Judul : Konsep Pendidikan Pluralisme Menurut Abdurrahman Wahid

dalam Perspektif Pendidikan Islam

Nama : Achmad Mustholih NIM : 063111064

Skripsi ini membahas konsep pendidikan pluralisme menurut seorang tokoh pejuang pluralisme bernama Abdurrahman Wahid ditinjau dari sudut pandang Pendidikan Islam. Studi ini dimaksudkan untuk menjawab permasalahan: (1) Bagaimana Pemikiran Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tentang Konsep Pendidikan Pluralisme? (2) Bagaimana Konsep Pendidikan Pluralisme menurut Abdurrahman Wahid dalam Perspektif Pendidikan Islam? Permasalahan tersebut dibahas melalui studi kepustakaan yang datanya diperoleh dari berbagai karya tulisan Abdurrahman Wahid terkait pendidikan pluralisme. Semua data penelitian dianalisis menggunakan pendekatan studi pemikiran tokoh yaitu dengan pendekatan sosio histories dan factual histories, penulis juga menekankan pada metode hermeneutika.

Kajian ini menunjukkan bahwa: (1) Menurut Abdurrahman Wahid Konsep Pendidikan pluralisme merupakan suatu pendidikan untuk menerima perbedaan sebagai sunnatullah agar saling mengenal, menghindari perpecahan, mengembangkan kerjasama dengan menanamkan rasa saling pengertian, saling memiliki dan bersikap inklusif, tidak membatasi pergaulan dengan siapapun, namun tetap meyakini kebenaran agama sendiri dengan tidak mempersamakan keyakinan secara total. (2) Dalam perspektif pendidikan Islam, pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Pendidikan pluralisme memiliki keserasian yaitu berorientasi pada terbentuknya kepribadian serta akhlak yang luhur dengan berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits, serta mengupayakan untuk menanamkan nilai-nilai toleransi pada peserta didik sejak dini yang berkelanjutan dengan mengembangkan rasa saling pengertian dan memiliki terhadap umat agama lain.

(6)

TRANSLITERASI

Penulisan transliterasi huruf-huruf Arab Latin dalam skripsi ini berpedoman pada SKB Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI. Nomor: 158/1987 dan Nomor 0543b/U/1987. Penyimpangan penulisan kata sandang (al-) disengaja secara konsisten supaya sesuai teks Arabnya.

ا a ط t ب b ظ z ت t ع ث s غ g ج j ف f ح h ق q خ kh ك k د d ل l ذ z م m ر r ن n ز z و w س s < h ش sy ء , ص s ي y ض d

Bacaan Madd: Bacaan Diftong

ā = a panjang ْوَا = au

i = i panjang ْيَا = ai

(7)

MOTTO

$$$$ppppκκκκšššš‰‰‰‰rrrr''''‾‾‾‾≈≈≈≈ttttƒƒƒƒ

ââââ¨

¨

¨

¨$$$$¨¨¨¨ΖΖΖΖ9999$$$$####

$$$$‾‾‾‾ΡΡΡΡÎÎÎÎ))))

////

ääää3333≈≈≈≈ooooΨΨΨΨøøøø))))nnnn====yyyyz

z

z

z

ÏÏÏÏiiiiΒΒΒΒ

9999xxxx....ssssŒŒŒŒ

4444ssss\\\\ΡΡΡΡéééé&&&&uuuuρρρρ

ööööΝΝΝΝääää3333≈≈≈≈ooooΨΨΨΨùùùù====yyyyèèèèyyyy_

_

_uuuuρρρρ

_

$$$$\\\\////θθθθããããèèèèääää©©©©

ŸŸŸŸ≅≅≅≅ÍÍÍÍ←←←←!!!!$$$$tttt7777ssss%%%%uuuuρρρρ

((((####þþþþθθθθèèèèùùùùuuuu‘‘‘‘$$$$yyyyèèèèttttGGGGÏÏÏÏ9999

4444

¨¨¨¨ββββÎÎÎÎ))))

öööö////ääää3333ttttΒΒΒΒttttòòòò2

2

2

2rrrr&

&&&

yyyy‰‰‰‰ΨΨΨΨÏÏÏÏãããã

««««!

!

!

!$$$$####

ööööΝΝΝΝääää33339999ssss))))øøøø????rrrr&&&&

4444

¨¨¨¨ββββÎÎÎÎ))))

©©©©!

!

!

!$$$$####

îîîîΛΛΛΛÎÎÎÎ====ttttãããã

×××׎ŽŽŽÎÎÎÎ7777yyyyz

z

z

z

∩∩∩∩⊇⊇⊇⊇⊂⊂⊂⊂∪∪∪∪

“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari

seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan

kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu

saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di

Sesungguhnya orang yang paling mulia di

Sesungguhnya orang yang paling mulia di

Sesungguhnya orang yang paling mulia di

antara kamu di sisi Allah ialah orang

antara kamu di sisi Allah ialah orang

antara kamu di sisi Allah ialah orang

antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di

yang paling taqwa di

yang paling taqwa di

yang paling taqwa di

antara kamu.

antara kamu.

antara kamu.

antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi

Maha Mengenal.”

1

Indahnya Perbedaan sebagai Rahmat Tuhan

1

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Al Huda Kelompok Gema Insani,2005), hlm. 518

(8)

PERSEMBAHAN

Skripsi ini khusus Ku persembahkan kepada

Sang Guru Bangsa KH. Abdurrahman Wahid (alm.).

Allâhummaghfir lahu warhamhu wa ‘âfîhi wa’fu’anhu

serta

(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadlirat Allah SWT. Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Pembimbing manusia menuju jalan yang lurus. atas segala limpahan

rahmat, taufiq, hidayah serta inayahnya. shalawat serta salam semoga senantiasa

terlimpahkan kepada beliau Nabi besar Muhammad SAW., keluarga dan para sahabatnya.

Hanya dengan ridla dan pertolongan Allah-lah penulisan skripsi ini bisa terselesaikan. Akan tetapi penulis sadar bahwa pada seluruh pembahasannya masih terdapat kekurangan, baik yang menyangkut segi metodologi maupun analisisnya, hal ini penulis harapkan agar dapat dimaklumi sebagai akibat keterbatasan kemampuan penulis. Maka demi kesempurnaannya, kritik membangun dari pembaca senantiasa penulis harapkan.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah memberikan pengarahan, bimbingan dan bantuan apapun yang sangat besar artinya bagi penulis. Ucapan terima kasih ini terutama penulis sampaikan kepada : 1. Bapak Dr. Suja’i, M. Ag. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo

Semarang,

2. Bapak Dr. H. Abdul Wahib, M. Ag. dan Bapak Syamsul Ma’arif, M. Ag. selaku dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.

3. Bapak dan Ibu dosen beserta karyawan di lingkungan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang yang telah membekali berbagai pengetahuan, sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini.

4. Bapak dan Ibuku yang tak hentinya mendo’akanku, pengorbananmu yang penuh keikhlasan sungguh berdampak luar biasa pada jiwaku. Kasih sayangmu semoga berbuah kebaikan di sisi Tuhanku.

5. Para Kiai dan Guruku yang telah membimbing, mengarahkan, mendidik dan mendo’akanku, menuntun ruhaniku ke jalan yang lurus menuju Tuhanku. Berkah ilmu darimu semoga berbuah kemanfa’atan bagi ummat.

(10)

6. Adik-adikku, simbahku, serta paman-pamanku yang selalu memberi semangat serta dorongan moril-materiil. Semoga Allah membalas dengan yang lebih baik

7. Keluarga besar santri Ponpes. Raudlatut Thalibin (PPRT) Tugurejo, Tugu, Kota Semarang, segenap jajaran pengurus tahun 2009/2010, teman seangkatan, seperjuangan, serta seluruh santri PPRT. Kalian semua adalah keluarga baru bagiku, orang-orang istimewa yang akan berkenang selalu dalam hidupku. Terima kasih atas semuanya.

8. Teman-teman seperjuangan di “Desa tercinta”, motivator yang tak pernah surut ditelan zaman.

9. Teman-teman seangkatan PAI B 2006, kebersamaan dalam kuliah, senda gurau, diskusi, serta jatuh bangun sampai proses skripsi semoga akan selalu terkenang manis dalam ikatan persaudaraan.

10. Teman-teman PPL, KKN, serta organisasi Nafilah, terima kasih atas segala bimbingan yang kau berikan.

11. Teman-teman di MTs dan SMU Robin yang akan terus tersambung tali silaturrahmi kita sampai kapanpun.

12. Gadis yang singgah di hatiku, terima kasih atas senyumanmu. Engkaulah inspirasiku.

13. Saudara-saudara yang belum kusebutkan namanya satu persatu, semoga Allah membalas jasa baikmu. Amiin...

Hanya untaian rasa terima kasih yang tulus dengan diiringi do’a semoga Allah SWT membalas semua amal kebaikan mereka dengan sebaik-baik balasan. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin

Semarang, 01 Juni 2011 Penulis,

Achmad Mustholih NIM: 063111064

(11)

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL ... i PERNYATAN KEASLIAN ... ii PENGESAHAN ... iii NOTA PEMBIMBING ... iv ABSTRAK ... v TRANSLITERASI ... vi MOTTO ... vii PERSEMBAHAN... viii KATA PENGANTAR ... ix DAFTAR ISI ... xi BAB I: PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Penegasan Istilah ... 9

E. Tinjauan Pustaka ... 10

F. Metode Penelitian ... 13

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian ... 13

2. Sumber-Sumber Data ... 14

3. Metode Analisis Data ... 15

G. Sistematika Pembahasan Skripsi ... 15

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PENDIDIKAN PLURALISME DAN PENDIDIKAN ISLAM ... 18

A. Pendidikan Pluralisme ... 18

1. Pengertian dan Sejarah Munculnya Pluralisme ... 18

2. Pengertian dan Sejarah Munculnya Pendidikan Pluralisme ... 22

(12)

B. Pendidikan Islam ... 40

1. Pengertian Pendidikan Islam ... 40

2. Sumber atau Dasar Pendidikan Islam ... 44

3. Tugas dan Fungsi Pendidikan Islam ... 48

4. Tujuan Pendidikan Islam ... 50

BAB III : PEMIKIRAN ABDURRAHMAN WAHID TENTANG KONSEP PENDIDIKAN PLURALISME ... 52

A. Biografi Abdurrahman Wahid ... 52

1. Biografi ... 52

2. Karya-Karya Abdurrahman Wahid ... 60

3. Penghargaan-Penghargaan yang Diperoleh Abdurrahman Wahid ... 63

B. Pemikiran Abdurrahman Wahid Mengenai Konsep Pendidikan Pluralisme ... 65

1. Dasar Pemikiran Pluralisme Abdurrahman Wahid ... 65

2. Pandangan Pluralisme Abdurrahman Wahid ... 67

3. Cara Menyikapi Pluralisme ... 68

4. Pluralisme Dalam Konteks Keindonesiaan ... 70

5. Aktualisasi Pemikiran Pluralisme Abdurrahman Wahid.. 73

BAB IV: ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN ABDURRAHMAN WAHID TENTANG KONSEP PENDIDIKAN PLURALISME DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM ... 81

A. Analisis Tentang Konsep Pendidikan Pluralisme Menurut Abdurrahman Wahid ... 83

1. Terbentuknya Watak Pluralisme Abdurrahman Wahid .. 83

2. Konsep Pendidikan Pluralisme Abdurrahman Wahid .... 85

B. Konsep Pendidikan Pluralisme Menurut Abdurrahman Wahid Ditinjau dari Pendidikan Islam ... 89

1. Maqashid al-Syari’ah Sebagai Prinsip Pendidikan Pluralisme ... 89

(13)

2. Konsep Pendidikan Pluralisme Menurut Abdurrahman

Wahid Ditinjau dari Pendidikan Islam ... 92

C. Relevansi Pemikiran Abdurrahman Wahid dalam Konteks Keindonesiaan ... 97

1. Indonesia adalah Negara Pancasila, Bukan Negara Islam ... 97

2. Memperjuangkan Penegakan Demokrasi, HAM, dan Pluralisme di Indonesia ... 100

3. Solusi bagi Permasalahan Kemajemukan di Indonesia ... 105

BAB V: PENUTUP... 108

A. Simpulan ... 108

B. Saran dan Penutup ... 109

DAFTAR PUSTAKA DAFTAR LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut para ahli, masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk atau plural society,2 dari segi etnis, misalnya ada suku melayu dan ada suku Melanesia yang selanjutnya membentuk seratus suku besar dan 1.072 suku-suku derivative besar dan kecil. Dari segi bahasa, terdapat ratusan bahasa yang digunakan di seluruh wilayah Nusantara. Dari segi pulau yang dihuni, terdapat sekitar 13.000 lingkungan kehidupan kepulauan. Dari segi sejarah politik lokal, terdapat puluhan bahkan ratusan sistem kerajaan kesukuan lama yang berpengaruh terhadap sistem stratifikasi sosial dan adat istiadat setempat sekarang. Dari segi mata pencaharian, terdapat keragaman antara kehidupan pedesaan dan perkotaan. Dari segi agama, terdapat sejumlah agama besar dunia dan sejumlah sistem kepercayaan lokal yang tersebar diseluruh wilayah Nusantara.3

Masyarakat semacam itu merupakan suatu fenomena unik dan menarik, tetapi juga bisa menjadi pangkal konflik seperti yang banyak terjadi sejak dahulu hingga kini. Di satu sisi keragaman dapat diterima oleh masyarakat sebagai sebuah keniscayaan yang disikapi dengan arif, namun di sisi lain ternyata menimbulkan masalah yang cukup kompleks.

Pada hakikatnya, bangsa kita sebagai sebuah masyarakat heterogen yang sedang tumbuh, tentu sulit untuk mengembangkan saling pengertian yang mendalam antara beraneka ragam unsur-unsur etnis, budaya daerah, bahasa ibu, dan kebudayaannya. Paling tidak tentu saling pengertian tercapai

2

Setelah Indonesia merdeka, kemajemukan masyarakat Indonesia disebabkan oleh keadaan intern tanah air dan bangsa Indonesia sendiri. Golongan Eropa yang sebelum itu mempunyai kedudukan sangat penting di dalam masyarakat Indonesia kemudian terlempar keluar dari sistem sosial masyarakat Indonesia. Lihat Dr. Ichtijanto, “Masyarakat Majemuk dan Kerukunan Hidup Beragama”, dalam Prof. Atho Mudzhar, Meretas Wawasan dan Praksis

Kerukunan Umat Beragama di Indonesia dalam Bingkai Masyarakat Multikultural, (Jakarta:

Puslitbang Kehidupan Beragama, 2005), Cet. I, hlm. 47 3

Atho Mudzhar, Pengembangan Masyarakat Multikultural Indonesia dan Tantangan ke

Depan (Tinjauan dari Aspek Keagamaan) dalam Atho Mudzhar, Meretas Wawasan dan Praksis Kerukunan Umat Beragama di Indonesia dalam Bingkai Masyarakat Multikultural, (Jakarta:

(15)

barulah bersifat nominal belaka. Pola hubungan seperti itu dengan sendirinya tidak memiliki daya tahan yang ampuh terhadap berbagai tekanan yang datang dari perkembangan politik, ekonomi, dan budaya, sehingga kerukunan yang ada hanyalah kondisi yang rapuh. 4

Sering kali perbenturan dalam pluralisme yang mendapat sorotan tajam adalah mengenai pluralisme agama. Karena secara historis, di negara ini agama-agama besar berkembang dengan suburnya. Dan secara sosiologis, hubungan masing-masing agama sarat dengan berbagai dinamika, terkadang akomodatif dan terkadang konfrontatif. Pola hubungan akomodatif terjadi karena masing-masing umat dapat mengaktualisasikan ajaran agamanya dengan benar sekaligus para pemeluk agama menaati dan mengakomodir nilai-nilai budaya lokal. Sedangkan mencuatnya hubungan konfrontatif disebabkan oleh sifat dan watak umat beragama, termasuk pemahaman agama yang sempit serta adanya pengaruh provokasi dari luar. Yang selanjutnya menyebabkan kerusuhan yang bernuansa agama.

Perbedaan sikap dan pandangan, apalagi perbenturan kepentingan dapat membuat ketenangan suasana sewaktu-waktu berubah menjadi kebalauan. Mereka yang tadinya saling menghormati, tiba-tiba dapat bersikap saling menyalahkan.

Dua dasawarsa terakhir ini, Indonesia sedang ditandai oleh friksi dan tensi krusial dengan warna keagamaan, misalnya konflik Kristen-Islam di Poso, Maluku sampai Paling mutakhir dan paling menonjol dalam kurun tahun 2008 hingga awal 2011 adalah pada 1 Juni 2008 terjadi penyerangan oleh FPI (Front Pembela Islam) terhadap anggota AKKBB (Aliansi Kebebasan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan) yang tengah melakukan aksi di Monas, Jakarta. Pada 27 Juli 2010 masjid Syekh Ali Martaib di desa Lumban Lobu, Kec. Tapanuli Utara-Sumatera Utara dibakar oleh orang tak dikenal menjelang subuh, 06 Februari 2011 terjadi tragedi di Cikeusik, Pandeglang-Banten yaitu penyerangan terhadap Jama’ah Ahmadiyah yang menewaskan

4

Abdurrahman Wahid, Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, Kumpulan Pemikiran

(16)

empat orang dan melukai lima orang, 08 Februari terjadi perusakan tiga Gereja di Temanggung Jawa Tengah oleh massa yang tidak puas karena terdakwa kasus penistaan agama Antonius Richmon hanya divonis lima tahun penjara, serta yang terakhir adalah penyerangan pesantren di Pasuruan oleh gerombolan bermotor pada 15 Februari 2011.5

Sebenarnya, konflik-konflik tersebut tidak selalu berdasarkan pertimbangan keagamaan, tetapi juga karena faktor kebangsaan, kesejarahan, kesenjangan sosial-ekonomi dan politik, hegemoni kultural, kekuasaan teritorial, dan sebagainya. Meskipun demikian, tampak bahwa pertimbangan religiusitas sedikit banyak mengandung semangat kebencian pemeluk suatu agama vis a vis pemeluk agama lainnya.6

Menurut Yenni Wahid7, kekerasan berbau SARA terjadi karena ada pihak-pihak yang ingin memecah belah bangsa Indonesia yang majemuk. Mereka membenturkan hal-hal yang berbeda, juga ada keinginan untuk memimpin ruang-ruang tertentu namun rela mengacaukan hubungan yang telah harmonis. Serta ada pula penyebab lain, terutama faktor ekonomi yang bisa menyebabkan seseorang menjadi frustasi lalu mudah ditawari untuk menjadi mujahid dengan mengikuti kelompok yang menjanjikan surga dan kemuliaan.8

Agama dewasa ini ditantang dan diuji oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedemikian pesatnya,9 agama-agama besar

5

Fauzan Dj, “Kekalahan Negara atas Kekerasan Berlatar Agama”, Suara Merdeka, Semarang, 20 Februari 2011, hlm 4

6

Abdul Dubbun Hakim, “Islam, Inklusivisme, Dan Kosmopolitanisme”, dalam Abdul Dubbun Hakim, Menembus Batas Tradisi, Menuju Masa Depan yang Membebaskan, Refleksi atas

Pemikiran Nurcholis Madjid (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2006), hlm. 3-4

7

Yenni Wahid bernama asli Zannuba Arrifah Chafsoh, putri ke-2 KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah Direktur The Wahid Institut 2004-sekarang.

8

Zannuba Arrifah Chafsoh, “Perangi Ahmadiyah Dengan Dakwah”, Suara Merdeka, Semarang, 20 Februari 2011, hlm. 2

9 Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berasal dari munculnya revolusi industri yang berlangsung di beberapa masyarakat Barat terutama pada abad ke- 19 dan awal abad ke- 20. Revolusi industri bukanlah peristiwa tunggal, melainkan terdiri dari beberapa perkembangan yang saling terkait dan berpuncak pada transformasi dunia Barat dari sistem pertanian menuju sistem industri besar-besaran. Dengan munculnya pabrik-pabrik sebagai buah dari kemajuan teknologi. Lihat George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2009), cet. II, hlm. 7

(17)

dunia, Yahudi, Kristen, dan Islam disadari ataupun tidak telah memasuki periode krisis yang akut dan berlangsung secara kontinyu. Krisis tersebut karena agama-agama sudah tidak mampu memberikan solusi-solusi alternatif bagi manusia modern dalam ragam masalah kehidupan mereka.

Adanya keanekaragaman corak beragama adalah fenomena empiris historis yang tidak mungkin kita hindari. Berhadapan dengan realitas tersebut setiap umat beragama disapa untuk menyikapi adanya pluralitas tersebut tanpa mengambil sikap yang eksklusif, partikularis, dan intoleran dalam hidup di tengah-tengah kemajemukan. Sebenarnya, pluralitas keagamaan adalah sebuah kehendak Tuhan yang tidak akan berubah sehingga keberadaannya tidak mungkin ditolak atau ditawar.10 Sikap mental yang apresiatif dan inklusif terhadap adanya keanekaragaman agama tersebut sejalan dengan semangat nash al-Qur’an surat al-Hujurat: 13

$pκš‰r'‾≈tƒ

â¨$¨Ζ9$#

$‾ΡÎ)

/

ä3≈oΨø)n=yz

ÏiΒ

9x.sŒ

4s\Ρé&uρ

öΝä3≈oΨù=yèy_uρ

$\/θãèä©

Ÿ≅Í←!$t7s%uρ

(#þθèùu‘$yètGÏ9

4

¨βÎ)

ö/ä3tΒtò2r&

y‰ΨÏã

«!$#

öΝä39s)ø?r&

4

¨βÎ)

©!$#

îΛÎ=tã

׎Î7yz

∩⊇⊂∪

Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.11

Jika dicermati secara mendalam, Allah SWT. Secara tegas menyatakan melalui firman-Nya tersebut bahwa terdapat kemajemukan di muka bumi ini. Adanya laki-laki dan perempuan serta perbedaan suku bangsa harus diterima sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin atas dasar keniscayaan tersebut. Bahkan kita disuruh untuk menjadikan pluralitas tersebut dengan berinteraksi sosial sebagai instrumen untuk menggapai kemuliaan di sisi Allah SWT.

10

Abdul Dubbun Hakim, op. cit. hlm. 9-10 11

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Al Huda Kelompok Gema Insani,2005), hlm. 518

(18)

Sejalan dengan firman tersebut, maka pluralitas umat meningkat menjadi pluralisme. Yaitu sistem nilai yang memandang optimis-positif terhadap keanekaragaman dan berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu.

Dalam sejarah perkembangan agama Islam, diketahui bahwa hijrahnya Nabi ke Madinah bukan bertujuan untuk membentuk negara Islam, melainkan hanya untuk menjamin keamanan masyarakat agamanya serta demi kondisi-kondisi yang dibutuhkan bagi penyiaran agama Islam. Selain itu Nabi juga ingin mengimplementasikan perintah-perintah Allah SWT. di Makkah untuk diterapkan di Madinah. Di Madinah12, Nabi mengeluarkan sebuah Piagam13 yang menjamin kebebasan beragama orang-orang Yahudi sebagai suatu komunitas, dengan menekankan kerjasama seerat mungkin dengan sesama kaum Muslimin dan menyerukan kepada orang-orang Muslim dan Yahudi untuk bekerjasama demi keamanan mereka bersama.14

Pluralisme merupakan kenyataan bahwa dalam suatu kehidupan manusia terdapat keragaman suku, ras, budaya, dan agama. Keragaman itu bisa terjadi karena adanya faktor lingkungan tempat manusia hidup yang berbeda-beda. Lingkungan empat musim bagi seseorang akan membuat orang tersebut memiliki karakter dan pembawaan yang berbeda dengan orang yang hidup dalam lingkungan dua musim.

Menurut Nurcholis Madjid, Pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama15, yang justru hanya menggambarkan kesan

12

Masyarakat Madinah terkenal sebagai masyarakat plural, terdiri dari berbagai macam suku yang sering berselisih, bermacam agama dan kepercayaan, serta beraneka profesi penduduknya.

13

Teks Piagam Madinah ditetapkan bersama Sahabat Anshar dan beberapa Kepala Keluarga dari Makkah, teks tersebut terdiri dari 47 pasal.

14

Fazlur Rahman, Islam, (Bandung: Pustaka, 2000), hlm.13

15 Para ahli ilmu perbandingan agama membagi agama secara garis besar ke dalam dua bagian. Pertama, kelompok agama yang diturunkan oleh Tuhan melalui wahyu-Nya yang disebut sebagai agama samawi atau agama langit (antara lain; Islam, Yahudi dan Nashrani). Kedua, kelompok agama yang didasarkan pada hasil renungan mendalam dari tokoh yang membawanya sebagaimana terdokumentasikan dalam Kitab Suci yang disusunnya, agama demikian disebut sebagai agama ardli atau agama bumi (seperti; Hindu, Budha, Majusi, Konghucu, dsb.), lihat Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 119

(19)

fragmentasi, bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekedar

sebagai “kebaikan negatif” (negative good), hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme.

Pluralisme harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban. Bahkan juga suatu keharusan bagi keselamatan ummat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya.16 Dengan demikian, hal tersebut menegaskan adanya masalah besar dalam kehidupan beragama yang ditandai oleh kenyataan pluralisme dewasa ini. Salah satu masalah besar dari paham pluralisme yang telah menyulut perdebatan abadi sepanjang masa menyangkut masalah keselamatan adalah bagaimana suatu teologi dari suatu agama mendefinisikan dirinya di tengah agama-agama lain.17

Dari uraian tersebut, menjadi nyata bagi kita bahwa masalah pokok dalam hal hubungan antarumat beragama adalah pengembangan rasa saling pengertian yang tulus dan berkelanjutan. Kita akan menjadi bangsa yang kukuh, kalau umat agama-agama yang berbeda dapat saling mengerti satu sama lain, bukan hanya sekedar saling menghormati. Yang diperlukan adalah rasa saling memiliki (sense of belonging), bukannya hanya saling bertenggang rasa satu terhadap yang lain.18

Sikap mental ini kemudian berubah menjadi eksklusivisme, sektarianisme, dan intoleransi antarumat beragama sehingga terjadilah konflik-konflik dan perang atas nama agama. Realitas empirik inilah yang memprihatinkan kita semua. Namun, justru karena itulah dialog antaragama menjadi sangat penting.19

Kecenderungan sekelompok kecil umat Islam yang sering bersikap keras terhadap penganut agama lain menurut Abdurrahman Wahid merupakan proses pendangkalan agama. Pendangkalan ini muncul karena pengaruh

16

Budhi Munawwar-Rachman, Islam Pluralis, Wacana Kesetaran Kaum Beriman, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 39

17

Ibid, hlm. 40 18

Abdurrahman Wahid, op. cit, hlm. 16 19

(20)

politik Islam di Timur Tengah di mana Islam sudah dijadikan ideologi atau komoditas politik. Proses pendidikan dan dakwah Islam yang cenderung bersifat memusuhi, mencurigai, dan tidak mau mengerti agama lain merupakan faktor lain yang memperburuk hubungan antarumat beragama di Indonesia. Hal ini dilakukan baik oleh mubalig maupun guru-guru di sekolah. Padahal tidak ada ayat atau hadis nabi yang memerintahkan kaum Muslim bersikap keras demikian, apalagi terhadap agama-agama samawi.20

Pluralisme yang ditekankan Abdurrahman Wahid adalah pluralisme dalam bertindak dan berpikir. Pluralisme dalam bertindak mensyaratkan seseorang untuk tidak membatasi pergaulan dengan orang lain (eksklusif) meskipun berbeda keyakinan. Pluralisme dalam berpikir adalah kesediaan untuk menerima atau mengambil gagasan atau pemikiran dari kalangan lain.

Sikap hidup yang demikian merupakan realisasi dari pandangan demokratis, toleran dan pluralistik Abdurrahman Wahid. Sikap itu pula yang bisa menjelaskan keluasan pergaulan dan wawasan Abdurrahman Wahid yang ternyata bersumber dari banyak sekali ajaran, nilai moral, dan budaya yang ada di dunia termasuk faktor pendidikan yang diterima di dalam keluarga dan pendidikan formal yang ditekuninya bahkan sampai kepada keaktifannya di berbagai organisasi kemasyarakatan.

Oleh sebab itu, pendidikan yang sampai sekarang masih diyakini mempunyai peran besar dalam membentuk karakter generasi muda penerus bangsa, maka melalui sistem pendidikannya, sebuah pendidikan pluralisme akan sangat dibutuhkan serta dapat memelihara dan berupaya menumbuhkan pemahaman yang inklusif pada anak bangsa. Dengan suatu orientasi untuk memberikan penyadaran akan pentingnya sikap saling menghargai, menghormati dan bekerja sama dengan agama-agama lain.

Mencermati realitas tersebut, pemikiran mengenai pentingnya pendidikan pluralisme terutama bagi bangsa Indonesia yang majemuk menurut pandangan seorang tokoh yang sangat mengedepankan pluralisme, baik

20

Abdurrahman Wahid, “Dialog Agama dan Masalah Pendangkalan Agama,” dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus (ed), Passing Over: Melintas Batas Agama, (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 51-54

(21)

pemikirannya yang diaktualisasikan dalam bentuk tulisan di berbagai media, maupun bentuk sikap dan tindakan riil yang dilakukannya, entah itu ketika menjabat sebagai presiden, sebelum maupun sesudah menjabat, sangatlah menarik untuk dikaji. Dan untuk penelitian ini, pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Pendidikan Pluralisme akan ditinjau dalam perspektif Pendidikan Islam, sehingga penelitian ini diberi judul KONSEP PENDIDIKAN PLURALISME MENURUT ABDURRAHMAN WAHID DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah dan kerangka pemikiran di atas, terdapat beberapa permasalahan yang akan dikaji:

1. Bagaimana Pemikiran Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tentang Konsep Pendidikan Pluralisme?

2. Bagaimana Konsep Pendidikan Pluralisme menurut Abdurrahman Wahid dalam Perspektif Pendidikan Islam?

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian

Dari beberapa permasalahan di atas, maka tujuan penulisan skripsi ini adalah:

a. Mengetahui pemikiran Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tentang Konsep Pendidikan Pluralisme

b. Mengetahui bagaimana Pemikiran Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tentang Konsep Pendidikan Pluralisme jika dilihat dalam Perspektif Pendidikan Islam

2. Manfaat penelitian

Harapan dari penulisan skripsi ini adalah agar bermanfaat dalam memberikan gambaran tentang Konsep Pendidikan Pluralisme untuk dijadikan pegangan sesama praktisi pendidikan yang sekiranya dapat memberikan sumbangsih dan kontribusi nyata dalam memecahkan

(22)

berbagai masalah berbau SARA yang bisa menimbulkan dampak ketegangan di antara kelompok, suku, serta pemeluk agama yang dihadapi oleh masyarakat plural, seperti di Indonesia.

D. Penegasan Istilah

Untuk menghindari kesalahan dalam mengartikan dan memahami pokok kajian penelitian ini, maka dirasa perlu untuk mengemukakan makna dan batasan-batasan istilah dalam judul tersebut agar mudah dipahami secara konkret dan lebih operasional. Adapun penjelasan tersebut adalah:

1. Konsep

Istilah Konsep dalam Kamus Ilmiah Populer diartikan sebagai ide umum, pengertian, pemikiran, rancangan, serta rencana dasar21

2. Pendidikan Pluralisme

Pluralisme berasal dari kata plural (Inggris) yang berarti jamak, dalam arti terdapat keanekaragaman dalam masyarakat. Dalam Oxford

Advanced Learner’s Dictionary, Pluralisme diartikan sebagai keberadaan

atau toleransi keragaman etnik atau kelompok-kelompok kultural dalam suatu masyarakat atau negara serta keragaman kepercayaan atau sikap dalam suatu badan, kelembagaan, dan sebagainya.22

Pendidikan Pluralisme merupakan pendidikan yang mengandaikan kita untuk membuka visi pada cakrawala yang semakin luas, mampu melintas batas kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama sehingga kita mampu melihat kemanusiaan sebagai sebuah keluarga yang memiliki perbedaan maupun kesamaan cita-cita.23

3. Pendidikan Islam

Pendidikan Islam mengandung arti upaya membimbing, mengarahkan, dan membina peserta didik yang dilakukan secara sadar dan

21

Pius A. Partanto dan M. Dahlan al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), hlm. 362

22

Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia, (Jogjakarta: Logung Pustaka, 2005), hlm. 13

23

(23)

terencana agar terbina suatu kepribadian yang utama sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.24

E. Tinjauan Pustaka

Sejak menjabat sebagai Ketua PBNU, ketika Almarhum Abdurrahman Wahid diangkat menjadi Presiden, bahkan setelah wafatnya Beliau pada 30 Desember 2010 yang lalu, banyak pakar yang melakukan penelitian, pengumpulan berbagai tulisan-tulisan Beliau yang tercecer di surat kabar dan makalah-makalah, serta melakukan analisa tentang sikap, langkah kebijakan maupun pemikiran mantan Presiden RI ke-4 ini, baik itu pemikiran-pemikiran Beliau tentang politik, ekonomi, budaya, agama, pesantren, dan sebagainya.

Penelitian tentang Beliau memang sudah banyak dilakukan oleh beberapa pakar, misalnya; Al-Zastrouw Ng, karyanya berjudul “Gus Dur, Siapa sih Sampeyan? Tafsir Teoritik atas Tindakan dan Pernyataan Gus Dur”,25 mengungkapkan bahwa Gus Dur sebagai tokoh besar yang memiliki gagasan besar pula, tidak jarang gagasan-gagasan tersebut menimbulkan salah pengertian yang berujung pada terjadinya perdebatan, ketika gagasan tersebut disosialisasikan ke tengah-tengah kehidupan masyarakat.

Pandangan Gus Dur tentang agama juga dengan gamblang dipaparkan dalam buku ini bahwa sekalipun agama itu mengandung ajaran tunggal, namun karena dia dipahami oleh umat yang memiliki latar belakang pengetahuan, pengalaman, dan kepentingan yang berbeda, maka dalam prakteknya menjadi berbeda dan plural.

Sebenarnya umat beragama memiliki kebebasan untuk mengubah simbol dan ritus yang menjadi bagian dari dimensi kebudayaan agama. Inilah yang dilakukan Gus Dur selama ini, yaitu langkah untuk membawa agama dalam nilai-nilai yang tetap relevan dengan realitas zamannya, dan agar agama memiliki fungsi yang maksimal dalam menjawab problem kehidupan, salah

24

Abudin Nata, op. cit. hlm. 339-340 25

Zastrouw Ng, Gus Dur, Siapa sih Sampeyan? Tafsir Teoritik atas Tindakan dan

(24)

satunya adalah membela pluralisme dalam beragama. Atas sikapnya yang demikian, Gus Dur banyak mendapat tudingan dan hujatan. Dia dituduh sekuler, pengkhianat umat, dan tidak membela umat Islam. Padahal, kalau dilacak secara cermat, sebenarnya Gus Dur justru berusaha memfungsikan agama secara maksimal.

”Neo-Modernisme Islam di Indonesia Gagasan Sentral Nurcholis Madjid dan Abdurrahman Wahid”, karya Ahmad Amir Aziz, yang memberikan pencerahan bagaimana Abdurrahman Wahid membela kalangan minoritas dalam keberatannya terhadap pembentukan ICMI yang didasarkan atas kuatnya semangat membentuk “Masyarakat Islam” pada sejumlah aktifitas organisasi itu. Jika perkembangannya tidak direm, maka yang akan terjadi adalah pengabaian semangat toleransi keagamaan.26 Pandangannya yang mengedepankan Universalisme Islam semakin terlihat nyata ketika Ia dalam kancah sosial dalam perpolitikan nasional, menunjukkan perhatian besar pada hak-hak kelompok minoritas.

Salah satu manifestasi dari komitmen atas pluralisme, adalah ketika menjadi presiden, Gus Dur mempelopori penghapusan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa dengan mengeluarkan Inpres No 6/2000 tanggal 17 Januari 2000, mencabut Inpres 14/1967 tentang agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina. Gus Dur juga mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 29/1998 tentang Bakorstanas dan Keppres No. 16/1990 tentang Litsus. Kedua lembaga itu dinilainya lebih banyak menimbulkan kesulitan dari pada manfaat dan secara jelas merugikan nilai-nilai hak asasi manusia.

Perjuangan membela kaum tertindas dan termarjinalkan tanpa membedakan agama dan keyakinan seseorang atau kelompok, misalnya pembelaannya terhadapa Jama’ah Ahmadiyah dan sebagainya semakin menunjukkan jiwa pluralis Gus Dur. Sikap semacam itu dibentuk melalui proses panjang, di mana Ia pernah berorganisasi dan belajar di Mesir, Irak, serta beberapa negara Eropa.

26

Ahmad, Amir, Aziz, Neo-Modernisme Islam di Indonesia Gagasan Sentral Nurcholish

(25)

Douglas E. Ramage27 juga mengatakan bahwa strategi Pancasila Gus Dur tidak hanya ditujukan untuk mengoreksi perilaku kekuasaan elit negara, tetapi juga untuk mangatakan bahwa Pancasila pada dasarnya adalah sebuah kompromi politik untuk tidak menjadikan Islam sebagai dasar negara. Sebagai suatu bangsa yang terdiri atas berbagai suku dan agama, bangsa Indonesia menerima Pancasila sebagai pernyataan ideologis tentang toleransi dan komitmen untuk menghindari lahirnya perilaku-perilaku politik yang sifatnya ”eksklusif”. Faktor toleransi di antara umat beragama inilah yang menurut Gus Dur harus menjadi dasar bagi pengembangan demokrasi di Indonesia.

Gejala menurunkan kemampuan masyarakat untuk memelihara sikap toleransi yang demikian itu, mendorongnya pada 1992 lewat rapat akbar untuk memperingatkan betapa bahayanya jika hal itu terus dibiarkan sejalan dengan kuatnya kecenderungan ke arah apa yang disebutnya sebagai rekonfensionalisasi politik di kalangan umat beragama. Sebab, seperti yang sudah sering kali ia katakan, tanpa toleransi di antara umat beragama maka demokrasi tidak akan pernah bisa dikembangkan.

Buku karya A. Nur Alam Bakhtiar28 juga memberikan gambaran untuk mengenal Gus Dur secara dekat, baik konsep dan tindakannya. Sekalipun buku ini sedikit subjektif dalam memberikan penilaian terhadap Gus Dur, tetapi cukup menggelitik pembacanya untuk semakin mengaguminya.

Menurut Gus Dur, Prinsip pluralisme harus dilihat dalam konteks manifestasi universalisme dan kosmopolitanisme peradaban Islam, ajaran moralitas Islam yang secara teoritik bertumpu pada adanya lima buah jaminan dasar yang diberikan Islam kepada warga masyarakat, meliputi; keselamatan fisik warga masyarakat (hifdzu al-nafs), keselamatan keyakinan agama masing-masing (hifdzu al-din), keselamatan keluarga dan keturunan (hifdzu

al-nasl), keselamatan harta benda dan milik pribadi (hifdzu al-mal), dan

27

Douglas E. Ramage, Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil, (Yogyakarta: LKiS, 2010), Cet. III, hlm. 115

28

(26)

keselamatan hak milik dan profesi (hifdzu al-milk). Kesemuanya itu merupakan konsep yang dijadikan Gus Dur sebagai prinsip Universal Islam.29

Namun, sejauh ini semua jaminan dasar itu hanya menyajikan kerangka teoritik yang tidak berfungsi tanpa didukung oleh kosmopolitanisme peradaban Islam, yang muncul dalam sejumlah unsur dominan, seperti hilangnya batasan etnik, kuatnya pluralitas budaya, dan heterogenitas politik.30

Berbagai karya penelitian yang telah dipaparkan di atas memiliki keistimewaan dan corak tersendiri dalam mengkaji pemikiran serta sikap seorang tokoh besar bernama Abdurrahman Wahid, karena kajian dan cara pandang yang digunakan berbeda-beda. Begitu juga dalam penelitian ini, pencarian sebuah konsep Pendidikan Pluralisme dalam pandangan Beliau dilihat dari perspektif Pendidikan Islam.

F. Metode Penelitian

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Penelitian ini merupakan Penelitian Kepustakaan (library

research). Artinya penelitian yang bersifat kepustakaan murni yang

data-datanya didasarkan/diambil dari bahan-bahan tertulis, baik yang berupa buku atau lainnya yang berkaitan dengan topik/tema pembahasan skripsi ini.31

Adapun pendekatan penelitian yang digunakan adalah studi pemikiran tokoh yaitu dengan pendekatan sosio histories dan factual

histories, pendekatan sosio histories yaitu penelitian yang berupaya

memeriksa secara kritis peristiwa, perkembangan masa lalu, kemudian mengadakan interpretasi terhadap sumber-sumber informasi.32 Sedangkan

29

Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan, Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi

Kebudayaan, (Jakarta: The Wahid Institute: 2007), hlm. 4-5

30

Ibid, hlm. 9 31

Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), hlm. 63 32

(27)

factual histories yaitu suatu pendekatan dengan mengemukakan sejarah

fakta mengenai tokoh.33 2. Sumber-Sumber Data

a. Sumber Primer

Sumber Primer dalam hal ini adalah hasil-hasil penelitian atau tulisan-tulisan karya peneliti atau teoritisi yang orisinil.34 Sumber primer ini berupa buku-buku dan karya ilmiah yang digunakan sebagai referensi utama, dan sebagian besar penulis gunakan sebagai rujukan dalam penulisan skripsi ini. Adapun sumber primer tersebut adalah buku-buku karya Abdurrahman Wahid, di antaranya; Islam Kosmopolitan Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan, Islamku Islam Anda Islam Kita, Gus Dur Bertutur, Prisma Pemikiran Gus Dur, Dialog kritik dan Identitas Agama, dan lain sebagainya. b. Sumber Sekunder

Sumber sekunder adalah bahan pustaka yang ditulis dan dipublikasikan oleh seorang penulis yang tidak secara langsung melakukan pengamatan atau berpartisipasi dalam kenyataan yang ia deskripsikan. Dengan kata lain penulis tersebut bukan penemu teori.35 Sumber sekunder ini digunakan sebagai bahan referensi tambahan untuk lebih memperkaya isi skripsi, dan sebagai bahan pelengkap dalam pembuatan skripsi ini. Sumber ini terdiri dari buku-buku atau karya ilmiah lain yang masih ada hubungannya dengan isi skripsi. Misalnya; Biografi Gus Dur, Dialog Kritik dan Identitas Agama, Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil, 41 Kebesaran Gus Dur, The Beauty of Islam, Pendidikan Pluralisme di Indonesia, karya ilmiah Islam dan Pendidikan Pluralisme, dan sebagainya.

33

Anton Bekker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 61

34

Ibnu Hadjar, Dasar-Dasar Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 83

35

(28)

3. Metode Analisis Data

Dalam metode analisis data, ditekankan pada metode hermeneutika, yang secara etimologis berarti penafsiran atau interpretasi. Menurut istilah, Hermeneutik diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti.36 Dengan Metode tersebut, bisa ditafsirkan tulisan KH. Abdurrahman Wahid dengan menggunakan bahasa sendiri.

G. Sistematika Pembahasan Skripsi

Untuk mempermudah penjelasan, pembahasan, penelaahan pokok-pokok masalah yang dikaji, maka disusunlah sistematika sebagai berikut: 1. Bagian muka, pada bagian ini termuat halaman judul, kata pengantar dan

daftar isi.

2. Bagian isi, pada bagian ini termuat:

BAB I : Bab ini merupakan bab pendahuluan, dalam bab ini dijelaskan tentang latar belakang masalah, mengapa topik ini diambil. Dalam menghindari meluasnya pembahasan skripsi ini, maka dijelaskan penegasan istilah dan rumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian skripsi yang meliputi: jenis dan pendekatan penelitian, sumber-sumber data, metode analisis data, serta dijelaskan juga mengenai sistematika pembahasan skripsi. BAB II : Bab ini merupakan landasan teori yang menguraikan tinjauan

umum tentang pendidikan pluralisme dan pendidikan Islam. Yaitu pendidikan pluralisme yang meliputi: pengertian dan sejarah munculnya pluralisme, pengertian dan sejarah munculnya pendidikan pluralisme, dasar dan tujuan pendidikan pluralisme. Juga diuraikan tentang pendidikan Islam yang meliputi: pengertian pendidikan Islam, sumber atau dasar pendidikan Islam, tugas dan fungsi pendidikan Islam, tujuan pendidikan Islam.

BAB III : Pada bab ini diuraikan tentang pemikiran Abdurrahman Wahid mengenai konsep pendidikan pluralisme. Yaitu biografi Abdurrahman Wahid yang meliputi: biografi, karya-karya

36

E. Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hlm. 23

(29)

Abdurrahman Wahid, penghargaan-penghargaan yang diperoleh Abdurrahman Wahid. Serta diuraikan tentang pemikiran Abdurrahman Wahid mengenai konsep pendidikan pluralisme yang meliputi: dasar pemikiran pluralisme abdurrahman wahid, pandangan pluralisme Abdurrahman Wahid, cara menyikapi pluralisme, pluralisme dalam konteks keindonesiaan.

BAB IV: Bab ini merupakan bab pembahasan dari pokok masalah yang diajukan. Dalam hal ini merupakan analisis terhadap pemikiran abdurrahman wahid tentang konsep pendidikan pluralisme dalam perspektif pendidikan Islam. Yaitu termuat analisis tentang konsep pendidikan pluralisme menurut Abdurrahman Wahid yang meliputi: terbentuknya watak pluralisme Abdurrahman Wahid, konsep pendidikan pluralisme Abdurrahman Wahid. Dijelaskan pula tentang konsep pendidikan pluralisme menurut Abdurrahman Wahid ditinjau dari pendidikan Islam yang meliputi: maqashid al-syari’ah sebagai prinsip pendidikan pluralisme, konsep pendidikan pluralisme menurut Abdurrahman Wahid ditinjau dari pendidikan Islam. Serta dijelaskan mengenai relevansi pemikiran Abdurrahman Wahid dalam konteks keindonesiaan yang meliputi: Indonesia adalah negara Pancasila, bukan negara Islam, memperjuangkan penegakan demokrasi, HAM, dan pluralisme di Indonesia serta solusi bagi permasalahan kemajemukan di Indonesia.

BAB V : Pada bagian ini termuat simpulan serta saran dan penutup. 3. Bagian akhir, pada bagian ini termuat: kepustakaan, lampiran-lampiran

(30)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PENDIDIKAN PLURALISME

DAN PENDIDIKAN ISLAM

A. Pendidikan Pluralisme

1. Pengertian dan Sejarah Munculnya Pluralisme a. Pengertian Pluralisme

Pluralisme yang dalam bahasa arabnya diterjemahkan

al-ta’addudiyyah37, secara lughawi berasal dari kata plural (Inggris) yang

berarti jamak, dalam arti ada keanekaragaman dalam masyarakat, ada banyak hal lain di luar kelompok kita yang harus diakui. Pluralisme adalah sebuah “ism” atau aliran tentang pluralitas.38

Pluralisme yang berarti jamak atau lebih dari satu, dalam kamus bahasa Inggris mempunyai tiga pengertian. Pertama, pengertian kegerejaan: (i) sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, (ii) memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat kegerejaan maupun non-kegerejaan. Kedua, pengertian filosofis, berarti sistem pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasar yang lebih dari satu. Sedangkan ketiga, pengertian sosio-politis: adalah suatu sistem yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat karakteristik diantara kelompok-kelompok tersebut. Ketiga pengertian tersebut sebenarnya bisa disederhanakan dalam satu makna, yaitu koeksistensinya berbagai kelompok atau keyakinan di satu waktu dengan tetap terpeliharanya perbedaan-perbedaan dan karakteristik masing-masing.39

37

Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, (Jakarta: Gema Insani, 2007), Cet. III, hlm. 11

38

Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia, (Jogjakarta: Logung Pustaka, 2005), hlm. 11

39

(31)

Nurcholis Madjid menyatakan bahwa pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi, bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekedar sebagai “kebaikan negatif” (negative good), hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme.

Pluralisme harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban. Bahkan juga suatu keharusan bagi keselamatan ummat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya. Dalam kitab suci justru disebutkan bahwa Allah menciptakan mekanisme pengawasan dan pengimbangan antara sesama manusia guna memelihara keutuhan bumi, dan merupakan salah satu wujud kemurahan Tuhan yang melimpah kepada ummat manusia40.

Menurut Alwi Shihab, pengertian konsep pluralisme dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama, pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan. Namun yang dimaksud dengan pluralisme adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Pluralisme agama dan budaya dapat dijumpai di mana-mana, tapi seseorang dapat dikatakan menyandang sifat tersebut apabila ia dapat berinteraksi secara positif dalam lingkungan kemajemukan tersebut.

Kedua, pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme,

kosmopolitanisme menunjuk suatu realitas di mana aneka ragam, ras, bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi. Ambil contoh kota New York, kota ini adalah kota kosmopolitan, yang terdapat orang Yahudi,

40

Seperti dijelaskan dalam QS. al-Baqarah: 251, yang artinya: Seandainya Allah tidak

mengimbangi segolongan manusia dengan segolongan yang lain, maka pastilah bumi hancur; namun Allah mempunyai kemurahan yang melimpah kepada seluruh alam. Lihat Budhi

Munawwar-Rachman, Islam Pluralis, Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 31

(32)

Kristen, Muslim, Hindu, Buddha, bahkan orang-orang tanpa agama. Namun interaksi positif antar penduduk ini, khususnya di bidang agama, sangat sedikit, kalaupun ada.

Ketiga, konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan

relativisme. Seorang relativisme akan berasumsi bahwa hal-hal yang menyangkut kebenaran atau nilai-nilai ditentukan oleh pandangan hidup serta kerangka berfikir seorang atau masyarakatnya. Sebagai konsekuensi dari paham ini adalah agama apapun harus dinyatakan benar, atau tegasnya, semua agama adalah sama.

Keempat, pluralisme agama bukanlah sinkretisme, yakni

menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama tersebut.41

Atau dapat diartikan bahwa pluralisme merupakan suatu sikap saling mengerti, memahami, dan menghormati adanya perbedaan-perbedaan demi tercapainya kerukunan antarumat beragama. Dan dalam berinteraksi dengan aneka ragam agama tersebut, umat beragama diharapkan masih memiliki komitmen yang kokoh terhadap agama masing-masing.42

b. Sejarah Munculnya Pluralisme

Pemikiran Pluralisme muncul pada masa yang disebut dengan pencerahan (Enlightenment) Eropa, tepatnya pada abad ke-18 M, masa yang sering disebut sebagai titik permulaan bangkitnya gerakan pemikiran modern. Yaitu masa yang diwarnai dengan wacana-wacana baru pergolakan pemikiran manusia yang berorientasi pada superioritas akal (rasionalisme) dan pembebasan akal dari kungkungan-kungkungan agama. Di tengah hiruk pikuk pergolakan pemikiran di Eropa yang timbul dari konflik-konflik yang terjadi antara gereja dan kehidupan nyata di luar Gereja, muncullah suatu paham yang dikenal dengan “liberalisme”, yang komposisi utamanya adalah kebebasan,

41

Alwi Shihab, Islam Inklusif, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 41-42 42

(33)

toleransi, persamaan dan keragaman atau pluralisme. Oleh karena paham liberalisme pada awalnya muncul sebagai madzhab sosial politis, maka wacana pluralisme yang lahir dari rahimnya, termasuk gagasan pluralisme agama juga lebih kental dengan nuansa dan aroma politik.43

Secara umum sebab-sebab lahirnya teori pluralisme dapat di klasifikasikan dalam dua faktor utama yaitu faktor internal (ideologis) dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang timbul akibat tuntunan akan kebenaran yang mutlak (absolute truth claims) dari agama-agama itu sendiri, baik dalam masalah akidah, sejarah maupun dalam masalah keyakinan atau doktrin.

1) Faktor ideologis (internal)

Keyakinan seseorang yang serba mutlak dan absolut dalam apa yang diyakini dan diimaninya itu paling benar adalah alami belaka. Keyakinan akan absolutisme dan kemutlakan ini berlaku dalam hal akidah dan ideologi (baik yang berasal dari wahyu Allah dan sumber lainnya). Kenyataan ini hampir tak satupun yang mempertanyakannya, hingga datangnya era modern di mana faham relativitas agama mulai dikenal dan menyebar secara luas di kalangan para pemikir dan intelektual, khususnya pada dekade terakhir abad ke-20 ini.

2) Faktor Eksternal a) Faktor Sosio-Politis

Faktor yang mendorong munculnya teori pluralisme agama adalah berkembangnya wacana-wacana sosio politis, demokratis dan nasionalisme yang telah melahirkan sistem negara-bangsa dan kemudian mengarah pada apa yang dewasa ini dikenal dengan globalisasi, yang merupakan hasil praktis dari sebuah proses sosial dan politis yang berlangsung selama kurang lebih tiga abad. Proses ini bermula semenjak pemikiran

43

(34)

manusia mengenal liberalisme yang menerompetkan irama-irama kebebasan, toleransi, kesamaan dan pluralisme sebagaimana telah di singgung di atas.

b) Faktor Keilmuan atau Ilmiah

Pada hakikatnya terdapat banyak faktor keilmuan yang berkaitan dengan pembahasan ini. Namun yang memiliki kaitan langsung dengan timbulnya teori-teori pluralisme agama adalah maraknya studi-studi ilmiah modern terhadap agama-agama dunia, atau yang sering juga dikenal dengan studi perbandingan agama.

Dengan kata lain peran penting studi agama modern adalah sebagai supplier para filosof agama dan teolog dengan pengetahuan–pengetahuan dan data–data lengkap yang dapat membantu peran dan tugas utama mereka, yakni memahami hakikat agama.44

2. Pengertian dan Sejarah Munculnya Pendidikan Pluralisme a. Pengertian Pendidikan Pluralisme

Definisi tentang pendidikan pluralisme menurut Frans Magnez Suseno adalah suatu pendidikan yang mengandaikan kita untuk membuka visi pada cakrawala yang semakin luas, mampu melintas batas kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama sehingga kita mampu melihat “kemanusiaan” sebagai sebuah keluarga yang memiliki baik perbedaan maupun kesamaan cita-cita. Inilah pendidikan akan nilai-nilai dasar kemanusiaan untuk perdamaian, kemerdekaan, dan solidaritas.45

Pendidikan Pluralisme sering dikenal orang dengan sebutan “Pendidikan Multikultural”. Ainurrofiq Dawam menjelaskan definisi pendidikan multikultural sebagai proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya

44 Ibid 45

(35)

sebagai konsekuensi keragaman budaya, etnis, suku, dan aliran (agama). 46

Muhammad Ali menyebut pendidikan multikultural sebagai pendidikan yang berorientasi pada proses penyadaran yang berwawasan pluralis secara agama sekaligus berwawasan multikultural, seperti itu, dengan sebutan “Pendidikan Pluralis Multikultural”. Menurutnya, pendidikan semacam itu harus dilihat sebagai bagian dari upaya komprehensif mencegah dan menanggulangi konflik etnis agama, radikalisme agama, separatisme, dan integrasi bangsa, sedangkan nilai dasar dari konsep pendidikan ini adalah toleransi. 47

Memperhatikan beberapa definisi tentang pendidikan pluralisme tersebut di atas, secara sederhana pendidikan pluralisme dapatlah didefinisikan sebagai pendidikan untuk/tentang keragaman keagamaan dan kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan. Pendidikan di sini, dituntut untuk dapat merespon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok.

Melalui sistem pendidikannya, sebuah pendidikan yang berbasis pluralisme akan berusaha memelihara dan berupaya menumbuhkan pemahaman yang inklusif pada peserta didik. Dengan suatu orientasi untuk memberikan penyadaran terhadap para peserta didiknya akan pentingnya saling menghargai, menghormati dan bekerja sama dengan agama-agama lain.48

46

Ainurrofiq Dawam, Emoh Sekolah; Menolak Komersialisasi Pendidikan dan

Kanibalisme Intelektual, Menuju Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Inspeal Ahimsa Karya

Press, 2003), hlm. 100 47

Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia, loc. cit 48

Syamsul Ma’arif, The Beauty of Islam dalam Cinta dan Pendidikan Pluralisme, (Semarang: Nedd’s Press, 2008), hlm. 100

(36)

b. Sejarah Munculnya Pendidikan Pluralisme

Menurut sejarahnya, di negara-negara yang menganut konsep demokrasi seperti Amerika Serikat dan Kanada, Pendidikan Pluralisme bukanlah barang baru lagi. Karena mereka telah melaksanakannya khususnya dalam upaya melenyapkan diskriminasi rasial antara orang kulit putih dan kulit hitam yang bertujuan memajukan dan memelihara integrasi nasional. Sedangkan di Indonesia, pendidikan pluralisme relatif baru dikenal sebagai suatu pendekatan yang dianggap lebih sesuai bagi masyarakat Indonesia yang heterogen.

Memang terdapat sejumlah kekuatan di dunia ini yang ikut melahirkan Pendidikan Pluralisme-Multikulturalisme. Yang menurut H.A.R Tilaar, kekuatan-kekuatan tersebut adalah:

a. Proses demokratisasi dalam masyarakat dunia, yang dipicu oleh pengakuan terhadap Hak Asasi Manusia yang tidak membedakan atas warna kulit, agama, dan gender.

b. Pembangunan kembali Eropa sesudah Perang Dunia II (marshal

plan), yang telah menarik pekerja-pekerja di luar Eropa memasuki

negara-negara Eropa Barat. Akhirnya banyak yang menetap dan menjadi warga setempat sehingga mereka meminta perlakuan adil, terutama pendidikan bagi generasi mudanya agar bisa mengakomodir kultur asal mereka.

c. Lahirnya paham nasionalisme kultur, sejalan dengan berkembangnya paham demokrasi dan HAM. Sehingga pendidikan pun mulai terbuka untuk memenuhi kebutuhan serta mempersiapkan paradigma baru bagi kelompok-kelompok etnis baru dengan kebudayaan mainstream-nya.49

49

Syamsul Ma’arif, The Beauty of Islam dalam Cinta dan Pendidikan Pluralisme , op.

(37)

3. Dasar dan Tujuan Pendidikan Pluralisme a. Dasar Pendidikan Pluralisme

1) Dasar Historis

Ada banyak bukti historis bahwa Nabi Muhammad SAW. Sangat proeksistensi terhadap pemeluk agama lain dan memberikan kebebasan kepada mereka untuk melakukan ritual di masjid milik umat Islam. Dikisahkan oleh Ibnu Hisyam dalam al

Sirah al-Nabawiyyah, bahwa Nabi pernah menerima kunjungan

para tokoh Kristen Najran berjumlah 60 orang. Menurut Muhammad ibnu Ja’far ibnu al-Zubair, ketika rombongan itu sampai di Madinah, mereka langsung menuju masjid. Saat itu Nabi sedang melaksanakan shalat ashar bersama para sahabatnya. Mereka datang dengan memakai jubah dan surban, pakaian yang juga lazim digunakan oleh Nabi Muhammad SAW. Dan para sahabatnya. Ketika waktu Kebaktian tiba, mereka pun tak harus mencari gereja. Nabi memperkenankan mereka untuk melakukan sembahyang di masjid.50

Sikap yang sama juga ditunjukkan oleh kalangan Kristen. Ketika umat Islam dikejar-kejar oleh Kafir-Quraisy Mekkah, yang memberikan perlindungan adalah Najasy, raja Abesinia yang Kristen. Ia berpendirian bahwa pengikut Muhammad haruslah dilindungi hak-haknya, termasuk hak memeluk agama.51

Begitu pula ketika Nabi hijrah ke Madinah, Beliau mengadakan pertemuan secara besar-besaran bersama sahabat Anshar dan beberapa keluarga (Naqib) dari Mekkah. Dalam pertemuan itu, 23 artikel dari Piagam Madinah telah ditetapkan. Juga tercantum dalam piagam itu, untuk membentuk masyarakat dan hubungan-hubungan legal bagi kelompok Muslim yang baru.

50

Moh. Shofan, Menegakkan Pluralisme; Fundamentalisme-Konservatif di Tubuh

Muhammadiyah, (Jogjakarta: LSAF, 2008), hlm. 54-55

51 Ibid

(38)

Selanjutnya Beliau berkonsultasi dengan perwakilan dari non-Muslim. Akhirnya seluruh dari mereka menyepakati dasar-dasar pembentukan sebuah “city-state” yang baru. Inilah yang kemudian diabadikan dengan sebutan “Piagam Madinah”.52 Seperti yang telah dikatakan oleh Muhammad Husain Haekal bahwa:

Antara kaum Muhajirin dan Anshar dengan masyarakat Yahudi, Muhammad membuat perjanjian tertulis yang berisi pengakuan atas agama mereka dan harta benda mereka, dengan syarat-syarat timbal balik. Sehingga setiap warga Madinah tanpa membedakan agama maupun suku, mereka berkewajiban mempertahankan kota itu. Mereka harus bekerja sama antar sesama.53

Piagam Madinah adalah piagam pertama dalam sejarah peradaban Islam yang menyepakati soal-soal hubungan atau interaksi sosial antara kelompok-kelompok yang memiliki perbedaan agama dan budaya, yakni antara kelompok Yahudi, Nasrani dan Muslim. Di sini, Nabi Muhammad SAW bertindak sebagai pencetus dan mediator dalam gerakan ishlah ini. Hal-hal penting yang dapat dijadikan sebagai dasar interaksi sosial di tengah komunitas yang plural antara lain: 54

a) Seluruh suku yang ada di Madinah disebut dalam pasal-pasal piagam dengan maksud menghormati identitas kolektivitas keagamaan dan etnik yang ada dalam masyarakat tersebut. b) Tiap-tiap kelompok etnik dan keagamaan dijamin otonomi

hukum dan budayanya secara total.

c) Secara garis besar Piagam Madinah memuat kesepakatan antara Muhammad, kaum Musyrik, dan Yahudi. Dari 47 pasal yang

52

Syamsul Ma’arif, The Beauty of Islam dalam Cinta dan Pendidikan Pluralisme, op. cit., hlm. 67

53

Muhammad Husain Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah (Jakarta: Litera Antar Nusa, 2008), cet. Ke-30, hlm. 202

54

MukhsinAbdurrahman,PendidikanPluralisme-Multikultural

(39)

termuat dalam piagam itu meliputi masalah monoteisme, persatuan-kesatuan, persamaan hak, keadilan, kebebasan beragama, bela negara, pelestarian adat, perdamaian dan proteksi.

d) Masing-masing berkewajiban menjaga keamanan dan stabilitas Madinah.

e) Piagam Madinah menunjukkan bahwa Islam memiliki kepedulian tinggi terhadap kesetaraan antaretnis dan ras. Dari sudut tinjauan modern, ia diterima sebagai sumber inspirasi untuk membangun masyarakat yang majemuk.

f) Piagam Madinah menjadi bukti bagi kerja sama kaum Muslimin dengan kelompok beragama lain, sekaligus menunjukkan bahwa Muhammad telah melembagakan asas toleransi beragama yang dinyatakan dalam Qur’an (Q.S al-Baqarah: 156, al-Maidah: 48, dan al-Kafirun: 6)

g) Piagam Madinah menjadi piagam pertama yang mengakui kebebasan hati nurani yang ditemui dalam sejarah umat manusia.

Juga dikisahkan oleh al Qushairi dalam al-Risalah; saya mendengar seorang ulama mengabarkan, “seorang Majusi mengundang Nabi Ibrahim as. untuk makan. Ibrahim menjawab: ‘aku mau menerima undanganmu dengan satu syarat, yaitu bahwa engkau memeluk Islam.’ Mendengar jawaban Ibrahim itu, orang Majusi itu langsung pergi. Kemudian Allah SWT menurunkan wahyu kepada Ibrahim, ‘selama lima puluh tahun Kami (Allah) telah memberinya makan sekalipun ia kafir. (apa salahnya) jika engkau menerima seporsi makanan darinya tanpa menuntutnya mengganti agama?’ Ibrahim kemudian mengejar si Majusi itu lalu meminta maaf kepadanya. Ketika si Majusi bertanya mengapa ia minta maaf, Ibrahim menceritakan apa yang telah terjadi, dan orang Majusi itu kemudian masuk Islam.”

(40)

2) Dasar Normatif

Al-Qur’an secara jelas menyatakan bahwa pluralitas adalah salah satu kenyataan objektif komunitas umat manusia, sejenis hukum Allah atau sunnah Allah, dan bahwa hanya Allah yang tahu dan dapat menjelaskan di hari akhir nanti, mengapa manusia berbeda satu dari yang lain. Hal tersebut tercantum dalam QS. al-Hujurat: 13.

$pκš‰r'‾≈tƒ

â¨$¨Ζ9$#

$‾ΡÎ)

/

ä3≈oΨø)n=yz

ÏiΒ

9x.sŒ

4s\Ρé&uρ

öΝä3≈oΨù=yèy_uρ

$\/θãèä©

Ÿ≅Í←!$t7s%uρ

(#þθèùu‘$yètGÏ9

4

¨βÎ)

ö/ä3tΒtò2r&

y‰ΨÏã

«!$#

öΝä39s)ø?r&

4

¨βÎ)

©!$#

îΛÎ=tã

׎Î7yz

∩⊇⊂∪

Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.55

Asbabun nuzul ayat tersebut menegaskan kesatuan asal usul

manusia dengan menunjukkan kesamaan derajat kemanusiaan manusia. Tidak wajar seseorang berbangga dan merasa diri lebih tinggi dari yang lain, bukan saja antar satu bangsa, suku atau warna kulit dengan selainnya, tetapi juga antara jenis kelamin mereka.

Kata ta’ārafū terambil dari kata ‘arafa yang berarti mengenal. yakni mengandung makna timbal balik, dengan demikian ia berarti saling mengenal. Semakin kuat pengenalan suatu pihak kepada selainnya, semakin terbuka peluang untuk saling memberi manfaat. Karena itu ayat di atas menekankan perlunya saling mengenal. Perkenalan itu dibutuhkan untuk saling menarik pelajaran dan pengalaman pihak lain, guna meningkatkan

55

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Al Huda Kelompok Gema Insani,2005), hlm. 518

(41)

ketakwaan kepada Allah swt. yang dampaknya tercermin pada kedamaian dan kesejahteraan hidup duniawi dan kebahagiaan ukhrawi.56

Islam juga memerintahkan umatnya untuk berinteraksi terutama dengan agama Kristen dan Yahudi, dan dapat menggali nilai-nilai keagamaan melalui diskusi dan debat intelektual dan teologis secara bersama-sama dengan cara yang sebaik-baiknya. Hal tersebut terdapat pada QS. al-Ankabut: 46

Ÿωuρ

(#þθä9ω≈pgéB

Ÿ≅÷δr&

É=≈tGÅ6ø9$#

āωÎ)

ÉL©9$$Î/

}‘Ïδ

ß|¡ômr&

āωÎ)

tÏ%©!$#

(#θßϑn=sß

óΟßγ÷ΨÏΒ

(

(#þθä9θè%uρ

$¨ΖtΒ#u

ü“Ï%©!$$Î/

tΑÌ“Ρé&

$uΖøŠs9Î)

tΑÌ“Ρé&uρ

öΝà6ö‹s9Î)

$oΨßγ≈s9Î)uρ

öΝä3ßγ≈s9Î)uρ

Ó‰Ïn≡uρ

ßøtwΥuρ

…çµs9

tβθßϑÎ=ó¡ãΒ

∩⊆∉∪

Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang dzalim di antara mereka, dan katakanlah: "Kami Telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan hanya kepada-Nya kami berserah diri.57 Dalam ayat ini, Allah memberi petunjuk kepada Nabi Muhammad dan kaum Muslimin tentang materi dakwah dan cara menghadapi Ahli Kitab karena sebagian besar mereka ini tidak menerima seruannya. Ketika Rasulullah menyampaikan ajaran Islam, kebanyakan mereka mendustakannya. Hanya sedikit sekali di antara mereka yang menerimanya. Padahal mereka telah mengetahui Muhammad dan ajaran yang dibawanya, sebagaimana

56

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), Vol. 13, hlm. 261-262.

57

Gambar

Tabel Bentuk-Bentuk Tulisan Gus Dur
Tabel Tema-Tema Tulisan Gus Dur

Referensi

Dokumen terkait

1) Pada pelaksanaan diskusi, perhatian guru belum menyeluruh tetapi lebih fokus pada kelompok yang aktif sehingga perhatian guru pada kelompok yang pasif cenderung kurang. 2)

Dengan memasukkan seluruh aset perusahaan berarti perusahaan berarti perusahaan tidak hanya terfokus pada suatu tipe investor saja yaitu investor dalam bentuk saham namun

Struktur batuan ini massif sebab batuan ini terdiri dari susunan yang kompak dari setiap mineral-mineral dalam batuan, tidak menunjukkan adanya pori-pori, penjajaran mineral

Pada evaluasi produk ditemukan hasil penelitian tentang penerapan SNL dan Efektifitas penerapan SNL berbasis sistem teknologi informasi di Rumah Sakit

Hasil analisis menunjukkan bahwa wilayah penelitian Karawang bagian utara memiliki kelas kesesuaian lahan yang dominan sesuai untuk padi sawah, dengan tingkat

Sektor pariwisata merupakan salah satu sektor yang sangat berpotensi untuk dikembangkan sebagai salah satu sumber pendapatan daerah (Winanda, 2010).Untuk melihat keuntungan

Penghapusan pajak untuk lahan teba merupakan salah satu cara agar lahan teba dapat dipertahankan, disamping penyuluhan tentang vegetasi yang cocok untuk mendukung

Catatan: Probabilita yang lebih kecil yang ditunjukkan pada judul tiap kolom adalah luas daerah dalam satu ujung, sedangkan probabilitas yang lebih besar adalah luas daerah dalam