BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanah Lempung
Tanah lempung dan mineral lempung adalah tanah yang memiliki partikel-partikel mineral tertentu yang “menghasilkan sifat-sifat plastis pada tanah bila dicampur dengna air” (Grim, 1953). Partikel-partikel tanah berukuran yang lebih kecil dari 2 mikron (=2µ), atau <5 mikron menurut sistem klasifikasi yang lain, disebut saja sebagai partikel berukuran lempung daripada disebut lempung saja. Partikel-partikel dari mineral lempung umumnya berukuran koloid (<1µ) dan ukuran 2µ merupakan batas atas (paling besar) dari ukuran partikel mineral lempung.
Untuk menentukan jenis lempung tidak cukup hanya dilihat dari ukuran butirannya saja tetapi perlu diketahui mineral yang terkandung didalamnya. ASTM D-653 memberikan batasan bahwa secara fisik ukuran lempung adalah partikel yang berukuran antara 0,002 mm samapi 0,005 mm.
Sifat-sifat yang dimiliki tanah lempung (Hardiyatmo, 1999) adalah sebagai berikut:
1. Ukuran butir halus, kurang dari 0,002 mm 2. Permeabilitas rendah
3. Kenaikan air kapiler tinggi 4. Bersifat sangat kohesif
Kebanyakan jenis tanah terdiri dari banyak campuran atau lebih dari satu macam ukuran partikel. Tanah lempung belum tentu terdiri dari partikel lempung saja, akan tetapi dapat bercampur butir-butiran ukuran lanau maupun pasir dan mungkin juga terdapat campuran bahan organik.
Guna menunjang pengkajian dan penelitian terhadap ”Pengaruh Penambahan Abu Caangkang sawit Terhadap Daya Dukung dan Kuat Tekan Pada Tanah Lempung Ditinjau Dari Uji UCT dan CBR Laboratorium“, maka dibutuhkan pengetahuan serta pemahaman yang baik tentang sifat-sifat tanah berdasarkan teori yang ada terdiri dari sifat fisik (Index Properties) dan sifat keteknikan (Enginering Properties), pemahaman kedua sifat ini sangatlah penting untuk diketahui sebagai dasar dalam mengambil suatu keputusan yang berkaitan dengan perekayasaan pondasi (jalan, jembatan, bendungan dan lainnya).
Sifat fisik dan sifat keteknikan tanah, lebih ditentukan oleh jenis dari klasifikasi tanah itu sendiri. Pengklasifikasian tanah dimaksudkan untuk mempermudah pengelompokkan berbagai jenis tanah ke dalam kelompok tanah yang sesuai dengan sifat teknik dan karakteristiknya. Pengelompokkan tanah menempatkan tanah dalam 3 kelompok, tanah berbutir kasar, tanah berbutir halus dan tanah organis.
Tanah berbutir halus dibagi dalam Lanau (M), Lempung (C) yang didasarkan pada batas cair dan indeks plastisitasnya. Tanah Organis juga termasuk dalam kelompok tanah berbutir halus.
Konsistensi dari tanah lempung dan tanah kohesif lainnya sangat dipengaruhi oleh kadar air. Indeks plastisitas dan batas cair dapat digunakan untuk menentukan karateristik pengembangan. Karakteristik pengembangan hanya dapat diperkirakan dengan menggunakan indeks plastisitas, ( Holtz dan Gibbs, 1962 ).
Dikarenakan sifat plastis dari suatu tanah adalah disebabkan oleh air yang terserap disekeliling permukaan partikel lempung, maka dapat diharapkan bahwa tipe dan jumlah mineral lempung yang dikandung didalam suatu tanah akan mempengaruhi batas plastis dan batas cair tanah yang bersangkutan.
2.2 Sistem Klasifikasi Tanah
butiran tanah dan plastisitas digunakan untuk identifikasi jenis tanah. Karakteristik tersebut digunakan untuk menentukan kelompok klasifikasinya. Sistem klasifikasi tanah yang umum digunakan untuk mengelompokan tanah adalah Unfied Soil Clasification System (USCS). Sistem ini didasarkan pada sifat-sifat indek tanah yang sederhana seperti distribusi ukuran butiran, batas cair dan indek plastisitasnya. Disamping itu, terdapat sistem lainnya yang juga dapat digunakan dalam identifikasi tanah seperti yang dibuat oleh American Association of State Highway and Transportation Officials Classfication (AASHTO), British Soil Classification System (BSCS), dan United State Department of Agriculture (USDA). Dalam penelitian ini digunakan klasifikasi tanah berdasarkan USCS dan AASHTO.
2.2.1 Sistem Klasifikasi Tanah Menurut USCS
Klasifikasi tanah sistem ini diajukan pertama kali oleh Casagrande dan selanjutnya dikembangkan oleh United State Bureau of Reclamation (USBR) dan United State Army Corps of Engineer (USACE). Kemudian American Society for Testing and Materials (ASTM) telah memakai USCS sebagai metode standar guna mengklasifikasikan tanah. Dalam bentuk yang sekarang, sistem ini banyak digunakan dalam berbagai pekerjaan geoteknik. Dalam USCS seperti pada Gambar 2.1 suatu tanah diklasifikasikan ke dalam dua kategori utama yaitu:
berkerikil (gravelly soil) atau S untuk pasir (sand) atau tanah berpasir (sa ndy .Simbol lain yang digunakan untuk klasifikasi adalah W untuk gradasi baik (well graded), P gradasi buruk (poorly graded), L plastisitas rendah (low plasticity) dan H plastisitas tinggi (high plasticity).
IN
Gambar.2.1 Grafik plastisitas untuk klasifikasi USCS (Das,194)
plastisitasnnya berada dibawah garis A. Lanau, lempung dan tanah organis dibagi lagi menjadi batas cair yang rendah (L) dan tinggi (H). Garis pembagi antara batas cair yang rendah dan tinggi ditentukan pada angka 50 seperti:
1. Kelompok ML dan MH adalah tanah yang diklasifikasikan sebagai lanau pasir, lanau lempung atau lanau organis dengan plastisitas relatif rendah. Juga termasuk tanah jenis butiran lepas, tanah yang mengandung mika juga beberapa jenis lempung kaolinite dan illite.
2. Kelompok CH dan CL terutama adalah lempung organik. Kelompok CH adalah lempung dengan plastisitas sedang sampai tinggi mencakup lempung gemuk. Lempung dengan plastisitas rendah yang dikalsifikasikan CL biasanya adalah lempung kurus, lempung kepasiran atau lempung lanau.
3. Kelompok OL dan OH adalah tanah yang ditunjukkan sifat-sifatnya dengan adanya bahan organik. Lempung dan lanau organik termasuk dalam kelompok ini dan mereka mempunyai plastisitas pada kelompok ML dan MH.
2.2.2 Sistem Klasifikasi Tanah AASHTO
memiliki partikel yang lolos saringan No. 200 kurang dari 35%. Tanah yang lolos saringan No. 200 lebih dari 35% diklasifikasikan dalam kelompok A-4, A-5, A-6, dan A-7. Tanah-tanah dalam kelompok ini biasanya merupakan jenis tanah lanau dan lempung. Sistem klasifikasi menurut AASHTO disajikan yang mana didasarkan pada kriteria sebagai berikut:
1. Ukuran partikel
a. Kerikil: fraksi yang lolos saringan ukuran 75 mm (3 in) dan tertahan pada saringan No. 10.
b. Pasir: fraksi yang lolos saringan No. 10 (2 mm) dan tertahan pada saringan No. 200 (0,075 mm).
c. Lanau dan lempung: fraksi yang lolos saringan No. 200.
2. Plastisitas: tanah berbutir halus digolongkan lanau bila memiliki indek plastisitas, PI ≤ 10 dan dikategorikan sebagai lempung bila mempunyai indek plastisitas, PI ≥ 11 Gambar 2.2 memberikan grafik plastisitas untuk klasifikasi tanah kelompok A-2, A-4, A-5, A-6, dan A-7.
2.3 Karakteristik Fisik Tanah Lempung Lunak
Menurut Bowles (1989), mineral-mineral pada tanah lempung umumnya memiliki sifat-sifat:
1. Hidrasi.
Partikel mineral lempung biasanya bermuatan negatif sehingga partikel lempung hampir selalu mengalami hidrasi, yaitu dikelilingi oleh lapisan-lapisan molekul air yang disebut sebagai air teradsorbsi. Lapisan ini pada umumnya mempunyai tebal dua molekul karena itu disebut sebagai lapisan difusi ganda atau lapisan ganda. Lapisan difusi ganda adalah lapisan yang dapat menarik molekul air atau kation disekitarnya. Lapisan ini akan hilang pada temperatur yang lebih tinggi dari 600 sampai 1000C dan akan mengurangi plasitisitas alamiah, tetapi sebagian air juga dapat menghilang cukup dengan pengeringan udara saja.
2. Aktivitas.
Hasil pengujian index properties dapat digunakan untuk mengidentifikasi tanah ekspansif. Hardiyatmo (2006) merujuk pada Skempton (1953) mendefinisikan aktivitas tanah lempung sebagai perbandingan antara Indeks Plastisitas (IP) dengan prosentase butiran yang lebih kecil dari 0,002 mm yang dinotasikan dengan huruf C, disederhanakan dalam persamaan:
Untuk nilai A>1,25 digolongkan aktif dan sifatnya ekspansif. Nilai A 1,25<A<A<0,75 digolongkan normal sedangkan nilai A<0,75 digolongkan tidak aktif. Aktivitas juga berhubungan dengan kadar air potensial relatif. Nilai-nilai khas dari aktivitas dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Aktivitas tanah lempung (Skempton, 1953) Minerologi tanah lempung Nilai Aktivitas
Kaolinite Illite montmorillonite
0,4 – 0,5 0,5 – 1,0 1,0 – 7,0
3. Flokulasi dan Dispersi.
flokulasi. Untuk menghindari flokulasi larutan air dapat ditambahkan zat asam.
4. Pengaruh Zat cair
Fase air yang berada di dalam struktur tanah lempung adalah air yang tidak murni secara kimiawi. Pada pengujian di laboratorium untuk batas Atterberg, ASTM menentukan bahwa air suling ditambahkan sesuai dengan keperluan. Pemakaian air suling yang relatif bebas ion dapat membuat hasil yang cukup berbeda dari apa yang didapatkan dari tanah di lapangan dengan air yang telah terkontaminasi.
Air yang berfungsi sebagai penentu sifat plastisitas dari lempung. Satu molekul air memiliki muatan positif dan muatan negative pada ujung yang berbeda (dipolar). Fenomena hanya terjadi pada air yang molekulnya dipolar dan tidak terjadi pada cairan yang tidak dipolar seperti karbon tetrakolrida (Ccl4) yang jika dicampur lempung tidak akan terjadi apapun.
5. Sifat kembang susut (swelling potensial)
negatif ini diseimbangkan oleh kation air tanah yang terikat pada permukaan pelat oleh suatu gaya listrik. Sistem gaya internal kimia-listrik ini harus dalam keadaan seimbang antara gaya luar dan hisapan matrik. Apabila susunan kimia air tanah berubah sebagai akibat adanya perubahan komposisi maupun keluar masuknya air tanah, keseimbangan gaya–gaya dan jarak antar partikel akan membentuk keseimbangna baru. Perubahan jarak antar partikel ini disebut sebagai proses kembang susut.
Tanah-tanah yang banyak mengandung lempung mengalami perubahan volume ketika kadar air berubah. Perubahan itulah yang membahayakan bagunan. Tingkat pengembangan secara umum bergantung pada beberapa faktor yaitu:
1. Tipe dan jumlah mineral yang ada di dalam tanah. 2. Kadar air.
3. Susunan tanah.
4. Konsentrasi garam dalam air pori. 5. Sementasi.
6. Adanya bahan organik, dll.
2.3.1 Identifikasi Tanah Lempung Lunak
Menurut Chen (1975), cara-cara yang bisa digunakan untuk mengidentifikasi tanah ekspansif dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu:
1. Identifikasi mineralogi
1. Identifikasi minerallogi
Analisa Minerologi sangat berguna untuk mengidentifikasi potensi kembang susut suatu tanah lempung. Identifikasi dilakukan dengan cara:
- Difraksi sinar X (X-Ra y Diffraction). - Difraksi sinar X (X-Ra y Fluorescence) - Analisi Kimia (Chemical Analysis)
- Mikroskop Elektron (Sca nning Electron Microscope).
2. Cara tidak langsung (single index method)
Hasil uji sejumlah indeks dasar tanah dapat digunakan untuk evaluasi berpotensi ekspansif atau tidak pada suatu contoh tanah. Uji indeks dasar adalah uji batas-batas Atterberg, linear shrinkage test (uji susut linear), uji mengembang bebas.
Untuk melengkapi data dari contoh tanah yang digunakan dalam penelitian ini, dilakukan beberapa pengujian pendahuluan. Pengujian tersebut meliputi uji sifat-sifat fisis tanah.
2.3.1.1 Specific Gravity ( Gs )
Tabel 2.2 Specific gravity mineral-mineral penting pada tanah (Das, 1994)
Sebagian dari mineral – mineral tersebut mempunyai specific gravity berkisar antara 2,6 sampai dengan 2,9. Specific gravity dari bagian padat tanah pasir yang berwarna terang, umumnya sebagian besar terdiri dari quartz, dapat diperkirakan sebesar 2,65 untuk tanah lempung atau berlanau, harga tersebut berkisar antara 2,6 – 2,9 dengan persamaan seperti dibawah ini:
Gs = (2.2)
Nilai-nilai specific grafity untuk berbagai jenis tanah dapat dilihat pada Tabel 2.3. Tabel 2.3 Specific gravity tanah (Hardiyatmo, 2006)
Macam tanah Specific Gravity
Berat isi dalam tanah didefenisikan sebagai rasio antara berat jenis zat pada partikel tanah dengan berat isi air seperti yang ditunjukkan pada persamaan:
Gs= (2.3) Dimana Gs = specific gravity
s = berat volume air pada temperatur 40C (gr/cm3) w = berat volume butiran padat (gr/cm3)
Wiqoyah (2006), telah melakukan penelitian tentang pengaruh kadar kapur, waktu perawatan dan perendaman terhadap kuat dukung tanah lempung. Hasil uji specific gravity (Gs) dengan penambahan 2,5% , 5% dan 7,5% kapur menunjukkan adanya kecenderungan penurunan nilai specific gravity seiring dengan bertambah besarnya persentase kapur. Besarnya penurunan maksimum adalah 0,03%.
2.3.1.2 Batas Konsistensi (Atterberg)
Kedudukan fisik tanah berbutir halus pada kadar air tertentu disebut konsistensi. Menurut Atterberg batas-batas konsistensi tanah berbutir halus tersebut adalah batas cair, batas plastis, batas susut. Batas konsistensi tanah ini didasarkan kepada kadar air yaitu:
a. Batas Cair (Liquid Limit)
Batas cair adalah kadar air tanah pada batas antara keadaan cair dan keadaan plastis. Alat uji batas cair dapat dilihat pada Gambar 2.3 dan kurva penentuan batas cair dapat dilihat pada Gambar 2.4.
kadar air yang bervariasi yang dinyatakan dalam batas cair, batas plastis, dan batas susut.
Gambar 2.4 Skema uji batas cair
b. Batas Plastis ( Plastic Limit )
Pengertian batas plastisitas adalah sifat tanah dalam keadaan konsistensi, yaitu cair, plastis, semi padat, atau padat bergantung pada kadar airnya. Kebanyakan dari tanah lempung atau tanah berbutir halus yang ada dialam dalam keadaan plastis. Secara umum semakin besar plastisitas tanah, yaitu semakin besar rentang kadar air daerah plastis maka tanah tersebut akan semakin berkurang kekuatan dan mempunyai kembang susut yang semakin besar.
Indeks plastisitas adalah selisih batas cair dan batas plastis ( Interval kadar air pada kondisi tanah masih bersifat plastis ), karena itu menunjukkan sifat keplastisan tanah.
PI = LL – PL (2.4) Dimana
PI = Plastis Indeks ( % ) LL = Liquid Limit ( % ) PL = Plastis Limit ( % )
Batasan mengenai indeks plastisitas, sifat, macam tanah, dapat dilihat pada Tabel 2.4 Tabel 2.4 Nilai indeks plastisitas dan macam tanah (Chen, 1975)
PI Sifat Macam tanah
0 <7 7– 17
>17
Non Plastis Plastisitas rendah Plastisitas sedang Plastisitas tinggi
Pasir Lanau Lempung berlanau
c. Batas Susut (Shrinkage Limit)
Suatu tanah akan mengalami penyusutan bila kadar air secara perlahan–lahan hilang dari dalam tanah. Dengan hilangnya air terus menerus akan mencapai suatu tingkat keseimbangan, dimana penambahan kehilangan air tidak akan menyebabkan perubahan volume tanah.
Batas susut dapat dinyatakan dalam persamaan:
SL = x100% Semakin besar kandungan mineral montmorillonite semakin besar batas cair dan indeks plastisitas serta semakin kecil nilai batas susut dan batas plastisnya (Hardiyatmo, 2006).
Angka-angka batasan Atterberg untuk bermacam-macam mineral lempung menurut Mitchell (1976) dapat dilihat pada Tabel 2.5.
Tabel 2.5 Harga-harga batasan atterberg untuk mineral lempung (Mitchell, 1976)
Mineral Batas Cair Batas Plastis Batas Susut
Gambar 2.5 Variasi volume dan kadar air pada kedudukan batas cair, batas plastis, dan batas susut
Kadar air dapat mempengaruhi perubahan volume tanah seperti yang terlihat dalam Gambar 2.5 diatas. Hal tersebut juga dapat mempengaruhi jenis tanahnya seperti tanah kohesif ataupun non kohesif. Kesimpulan adalah tanah kohesif seperti lempung memiliki perbedaan dengan tanah non kohesif seperti pasir. Perbedaan tersebut adalah:
1. Tahanan friksi tanah kohesif < tanah non kohesif. 2. Kohesi Lempung > tanah granular.
3. Permeability lempung < tanah berpasir.
4. Pengaliran air pada lempung lebih lambat dibandingkan pada tanah berpasir. 5. Perubahan volum pada lempung lebih lambat dibandingkan pada tanah
2.4 Struktur Komposisi Mineral Lempung
Mineral lempung merupakan pelapukan akibat reaksi kimia yang menghasilkan susunan kelompok partikel berukuran koloid dengan diameter butiran lebih kecil dari 0,002 mm. Menurut Holtz & Kovacs (1981) satuan struktur dasar dari mineral lempung terdiri dari Silica Tetrahedron dan Alumina Oktahedron. Satuan-satuan dasar tersebut bersatu membentuk struktur lembaran . Jenis-jenis mineral lempung tergantung dari kombinasi susunan satuan struktur dasar atau tumpukan lembaran serta macam ikatan antara masing-masing lembaran.
Susunan pada kebanyakan tanah lempung terdiri dari silika tetrahedra dan alumunium okthedra (Gambar 2-7). Silika Tetrahedron pada dasarnya merupakan kombinasi dari satuan Silika Tetrahedron yang terdiri dari satu atom silicon yang dikelilingi pada sudutnya oleh empat buah atom Oksigen. Sedangkan Aluminium Oktahedron merupakan kombinasi dari satuan yang terdiri dari satu atom Alumina yang dikelilingi oleh atom Hidroksil pada keenam sisinya.
Silika dan aluminium secara parsial dapat digantikan oleh elemen yang lain dalam kesatuannya, keadaan ini dikenal sebagai substansi isomorf. Kombinasi dari susunan kesatuan dalam bentuk susunan lempeng terbentuk oleh kombinasi tumpukan dari susunan lempeng dasarnya dengan bentuk yang berbeda-beda.
oktahedra membentuk sebuah lapisan tunggal. Dalam kombinasi lembaran silika dan aluminium, keduanya terikat oleh ikatan hidrogen (Gambar 2-7b). Pada keadaan tertentu, partikel kaolinite mungkin lebih dari seratus tumpukan yang sukar dipisahkan. Karena itu, mineral ini stabil dan air tidak dapat masuk di antara lempengannya untuk menghasilkan pengembangan atau penyusutan pada sel satuannya.
Gambar 2.6 Mineral - mineral lempung
7,2 A
Halloysite, hampir sama dengan kaolinite, tetapi kesatuan yang berturutan lebih acak ikatannya dan dapat dipisahkan oleh lapisan tunggal molekul air. Jika lapisan tunggal air menghilang oleh karena proses penguapan, mineral ini akan berkelakuan lain. Maka, sifat tanah berbutir halus yang mengandung halloysite akan berubah secara tajam jika tanah dipanasi sampai menghilangkan lapisan tunggal molekul airnya. Sifat khusus lainnya adalah bahwa bentuk partikelnya menyerupai silinder-silinder memanjang, tidak seperti kaolinite yang berbentuk pelat-pelat.
aluminium
Lapisan-lapisan nH2O dan kation-kation yang dapat bertukar
(b) (a)
Gambar 2.8 (a) Diagram skematik struktur montmorrilonite (Lambe, 1953) (b) Struktur atom montmorrilonite (Grim, 1959)
K
K
K
K 10 A
ion kalium aluminium
aluminium
aluminium silika
silika
silika
silika
silika
silika
silika
o
Gambar 2.9 Diagram skematik struktur illite (Lambe, 1953).
2.5 Interaksi Air dan Mineral Dalam Fenomena Tanah Lempung
Permukaan mineral lempung tanah biasanya mengandung muatan elektro negatif yang memungkinkan terjadinya reaksi pertukaran kation, muatan ini merupakan hasil satu atau beberapa lebih dari reaksi yang berbeda.
Tabel 2.6 Kisaran kapasitas tukar kation (Chen, 1975)
Kaolinite Illite Montmorillonite Particle thickness
Pada mineral lempung kering, muatan negatif pada permukaan akan dinegralkan oleh kation-kation lain yang mengelilingi partikel tersebut secara exchange able cation akibat adanya perbedaan kekuatan muatan dan gaya tarik-menarik elektrostatik Van der Waals. Karenanya perbedaan kekuatan muatan dimungkinkan antar yang ada di sekeliling partikel lempung bisa saling mendesak posisi atau bertukar.
Kemampuan mendesak dari kation-kation dapat dilihat dari besarnya potensi mendesak sesuai urutan berikut:
Al3+>Ca2+>Mg2+≥NH4+>K+>H+>Na+Li+
Molekul air merupakan molekul dipolar karena atom Hidrogen tidak tersusun simetris disekitar atom oksigen, melainkan membentuk sudut ikatan 105o akibatnya molekul-molekul air berperilaku seperti batang-batang kecil yang mempunyai muatan positif disatu sisi dan muatan negatif disisi lain.
Interaksi antara molekul-molekul air dengan partikel lempung dapat melalui tiga proses. Pertama, kutub positif molekul dipolar air akan saling menarik dengan muatan negatif permukaan partikel lempung. Kedua, molekul air diikat oleh partikel lempung melalui ikatan Hidrogen (Hidrogen air ditarik oksigen atau hidroksil lain yang ada pada permukaan partikel lempung). Proses ketiga, penarikan molekul air oleh muatan negatif permukaan lempung secara berantai melalui kation yang mengapung dalam larutan air. Faktor paling dominan adalah proses ikatan hidrogen.
2.6 Stabilisasi Tanah 2.6.1 Modifikasi Tanah
Istilah modifikasi digunakan untuk menggambarkan suatu proses stabilisasi yang hanya ditujukan untuk perbaikan sifat-sifat tanah, tapi tidak ditujukan untuk menambah kekuatan maupun keawetan tanah. Tujuan dilakukan modifikasi tanah dasar adalah untuk menciptakan landasan kerja bagi alat berat, dengan tanpa memperhatikan pengaruh modifikasi tanah tersebut terhadap hitungan perancangan perkerasan. Walaupun sebenarnya modifikasi tanah juga menunjukkan proses stabilisasi, namun tujuan utamanya lebih mengarah untuk perbaikan sifat-sifat teknis tanah, misalnya mereduksi plastisitas, mempertinggi kemudahan dikerjakan dan mengurangi potensi pengembangan.
2.6.2 Stabilisasi Tanah Lempung
Maksud dari stabilisasi tanah adalah untuk menambah kapasitas dukung tanah dan kenaikan kekuatan yang akan diperhitungkan pada proses perancangan tebal perkerasan. Karena itu, stabilisasi tanah membutuhkan metode perancangan dan pelaksanaan yang lebih teliti dibandingkan dengan modifikasi tanah.
mencampur dengan tanah lain, mencampur dengan semen, kapur atau belerang (secara kimiawi), pemanasan dengan temperatur tinggi, dan lain sebagainya.
Usaha-usaha stabilisasi tanah telah lama dilakukan penelitian dan pelaksanaan baik secara tradisional maupun dengan beberapa teknologi. Stabilisasi tanah biasanya dilakukan untuk perbaikan lapisan tanah lantai kerja, badan jalan, bendungan, konstruksi timbunan dan sebagainya.
Prinsip usaha stabilisasi tanah ialah menambah kekuatan lapisan tanah sehingga bahaya keruntuhan diperkecil. Peningkatan kekuatan ini dikaji dari perubahan tegangan. Menurut Ingels dan Metcalf (1972), sifat-sifat tanah yang diperbaiki dengan stabilisasi dapat meliputi : kestabilan volume, kekuatan/daya dukung, permeabilitas, dan kekekalan/keawetan. Dan menurut Ingles dan Metcalf (1972) stabilisasi kapur dapat mengubah tanah menjadi gumpalan-gumpalan partikel. Banyaknya kapur yang digunakan berkisar antara 5-10%, yang menghasilkan konsentrasi ion kalsium lebih besar dari yang diperlukan sebenarnya.
Sedangkan pada penelitian ini pada abu cangkang sawit terdapat unsur CaO yang kadar kapurnya sebesar 1,54%, sedangkan pencampuran lempung dan abu cangkang sawit memiliki kadar CaO sebesar 1,74% ini menunjukkan kenaikan yang hanya sedikit sekitar 20%.
melakukan stabilisasi tanah dengan menggunakan bahan aditif yaitu abu cangkang sawit dimana komposisi kimia yang terkandung dalam abu cangkang sawit salah satunya silika (SiO2) yang merupakan unsure pembentuk utama dalam pembuatan semen. Hasil penelitian unsur kimia yang terdapat didalam tanah lempung dapat dilihat pada Tabel 2.7.
Tabel 2.7 Komposisi unsur kimia pada tanah lempung (Lab kimia FMIPA USU,2011)
Unsur/senyawa Lempung (%)
Silica (SiO2)
Kalsium Oksida (CaO) Magnesium Oksida (MgO) Besi Oksida (Fe2O3)
Aluminium Karbonat (Al2O3)
75,40 0,70 0,71 0,01 14,10
2.7 Limbah Pengolahan Kelapa Sawit
Luas area kelapa sawit dan produksi minyak sawit mentah CPO (Crude Pa lm Oil), di Indonesia berkembang dengan sangat pesat. Data luas area kelapa sawit dan produksi CPO di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 2.10.
Pohon kelapa sawit menghasilkan buah sawit yang terkumpul di dalam satu tandan, oleh karena itu sering disebut dengan istilah TBS (Tandan Buah Segar). Sawit yang sudah berproduksi optimal dapat menghasilkan TBS dengan berat antara 15-30 kg/tandan. Tandan-tandan inilah yang kemudian diangkut ke pabrik untuk diolah lebih lanjut menghasilkan minyak sawit. Produksi utama pabrik sawit adalah CPO dan minyak inti sawit. CPO diekstrak dari sabutnya (fiber), yaitu bagian antara kulit dengan cangkangnya. Sedangkan dari daging buahnya akan menghasilkan minyak inti sawit. Varietas sawit dengan kulit tebal banyak dicari orang, karena buah sawit seperti ini yang rendaman minyaknya tinggi. Gambar pengolahan sawit di pabrik kelapa sawit kurang lebih seperti pada Gambar 2.11.
Gambar 2.11 Pengolahan kelapa sawit
samping, antara lain : limbah cair (POME = Palm Oil Mill Effluent), cangkang sawit, fiber/serat, dan tandan kosong kelapa sawit.
Perkembangan industri sawit yang terus meningkat akan berdampak pada limbah padat yang dihasilkan dari pengolahan tandan buah segar (TBS). Limbah ini adalah sisa produksi minyak sawit kasar berupa tandan kosong, sabut/serat dan cangkang sawit. Limbah padat berupa cangkang dan serat digunakan sebagai bahan bakar ketel (boiler) untuk menghasilkan energy mekanik dan panas. Uap dari boiler dimanfaatkan untuk menghasilkan energy listrik dan untuk merebus TBS sebelum diolah di dalam pabrik, seperti yang terlihat pada Gambar 2.12.
2.7.1. Pemanfaatan Abu Cangkang Sawit
Abu cangkang sawit merupakan bahan pozzolanic, yaitu material utama pembentuk semen, yang mengandung senyawa silika oksida (SiO2) aktif yang apabila bereaksi dengan kapur bebas atau kalsium hidroksida (Ca(OH2) dan air akan membentuk material semen yaitu kalsium silikat hidrat (C – S – H).
Gambar 2.13 Abu cangkang sawit yang menggunung di pabrik kelapa sawit sisa dari pembakaran cangkang dan serat kelapa sawit di dalam dapur atau tungku pembakaran (boiler).
(http://sipilholic.blogspot.com/abu%20sawit/abu-sawit-perekat-alternatif-dalam.html diakses pada 16/12/2010)
Aplikasi dalam ilmu teknik, abu cangkang sawit dimanfaatkan sebagai bahan tambahan pengeras semen dalam desain beton mutu tinggi, bahan pengisaph dalam lapisan perkerasan jalan raya, bahan stabilisator campuran tanah lempung dan tanah dasar pada lapisan jalan raya.
Hasil penelitian unsur kimia yang terdapat didalam abu cangkang sawit pada penelitian yang dilakukan di FMIPA Kimia USU dapat dilihat pada Tabel 2.8.
Tabel 2.8 Komposisi unsur kimia abu cangkang sawit (Labkimia FMIPA USU, 2011)
Unsur/Senyawa Abu Cangkang Sawit (%)
Silica (SiO2)
Kalsium Oksida (CaO) Magnesium Oksida (MgO) Besi Oksida (Fe2O3)
Aluminium Karbonat (Al2O3)
67,40 1,54 3,02 0,01 10,01
2.7.2 Material Alternatif Abu Cangkang Sawit
Pada penelitian ini stabilitator menggunakan abu cangkang sawit yang terdiri dari cangkang dan fiber yang digunakan sebagai bahan bakar ketel, sebagai limbah yang dihasilkannya berupa abu cangkang sawit, dapat kita lihat pada Tabel 2.9.
Tabel 2.9 Data pemakaian fiber dan cangkang (Kisaran Palm Oil Mill, 2010) TBS diolah Cangkang dan fiber yang
dihasilkan diketahui jumlah abu cangkang sawit setelah pembakaran yaitu:
% ACS = x 100% = 5%
Tabel diatas adalah hasil survey 1 Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit yang ada di Sumatera Utara tepatnya, pada Pabrik Pengolahan Kepala Sawit Bakrie Plantation yang terletak di Kisaran Sumatera Utara, ketersedian abu cangkang sawit sebagai berikut:
Untuk 1 hari produksi, dari 504 ton/hari dapat menghasilkan abu cangkang sawit ± 4.500 kg/hari atau 5% ACS dari 504 Ton TBS.
Untuk 30 hari ± 4.500 kg x 30 = 135.000 kg abu cangkang sawit/bulan atau 135 Ton/bulan.
Tabel 2.10 Jumlah pabrik dan kapasitas PKS di Indonesia pada Tahun 1998
No Propinsi Jumlah Pabrik Kapasitas TON TBS/jam
1
Sumber : Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2004
Berikut adalah tabulasi mengenai produksi TBS perkebunan kelapa sawit di Indonesia berdasarkan pengusahaannya pada kurun waktu 1998-2006 seperti pada Tabel 2.11.
Sumatera Utara merupakan salah satu pusat perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Luas perkebunan kelapa sawit rakyat di Sumatera Utara pada tahun 2007 sebesar 372.153 Ha dengan produksi 4.8951.830 ton TBS kelapa sawit. Kabupaten Labuhan Batu merupakan pusat perkebunan kelapa sawit rakyat di Sumatera Utara. Didaerah ini terdapat 132.670 Ha kebun sawit rakyat atau 35,65% dari seluruh perkebunan kelapa sawit rakyat di Sumatera Utara seperti disajikan dalam Tabel 2.12.
Dari data perkebunan dan pabrik pengolahan kelapa sawit dapat dilihat jumlah tandan buah segar (TBS) yang begitu besar maka dapat ditentukan pula jumlah abu cangkang sawit yang tersedia dari jumlah TBS yang diproduksi dimulai dari jumlah TBS yang akan diolah kemudian jumlah cangkang dan fiber hasil pengolahan TBS lalu dapat dilihat jumlah abu cangkang sawit hasil pembakaran cangkang dan fiber sebagai bahan bakar ketel perebusan tandan buah segar (TBS).
Ketersediaan material alternatif sebagai bahan stabilisasi yang ada saat ini dirasa cukup karena didalam penggunaannya juga akan dicampur dengan tanah lempung yang rusak, penggunaannya juga berdasarkan persentase berat tanah yang akan distabilisasi.
2.8 Stabilisasi Tanah Lempung Dengan Abu Cangkang Sawit
kelapa sawit tidak terpakai berupa abu cangkang sawit. Ketersediaan abu cangkang sawit memungkinkan untuk dimanfaatkan sebagai material konstruksi bangunan.
Pada prinsipnya yang dimaksudkan dengan stabilisasi cangkang sawit adalah mencampurkan secara langsung antara abu cangkang sawit dan tanah yang telah dihancurkan, kemudian menambahkannya dengan air dan kemudian dipadatkan. Dari hasil campuran tersebut diharapkan dapat menghasilkan tanah yang memiliki sifat atau karakteristik teknis yang lebih baik dibandingkan sebelumnya.
Hasil penelitian unsur kimia yang terdapat didalam tanah lempung dicampur dengan abu cangkang sawit dapat dilihat pada Tabel 2.13.
Tabel 2.13 Komposisi unsur kimia tanah lempung dicampur dengan abu cangkang sawit (Labkimia FMIPA USU, 2011)
Unsur/Senyawa Abu Cangkang Sawit (%)
Silica (SiO2)
Kalsium Oksida (CaO) Magnesium Oksida (MgO) Besi Oksida (Fe2O3)
Aluminium Karbonat (Al2O3)
87,60 1,75 3,14 0,02 17,10
2.8.1 Proses Kimia Pada Stabilisasi Tanah
Menurut Bowless (1984), dalam bukunya Sifat-sifat Fisis dan Geoteknis (Mekanika Tanah) stabilisasi tanah dalam realisasinya terdiri dari salah satu atau gabungan pekerjaan-pekerjaan sebagai berikut:
2. Bahan pencampur/tambahan (aditif) seperti: kerikil untuk kohesif (lempung), lempung untuk tanah berbutir kasar, pencampur kimiawi (semen portland, gamping/kapur, abu batu bara, semen aspal, dll).
Reaksi kimia yang terjadi pada stabilisasi tanah dengan abu cangkang sawit adalah: a. Absorbsi Air dan reaksi pertukaran ion
b. Reaksi pembentukan silikat c. Reaksi pozzolan.
a. Absorbsi air, reaksi eksotermis dan reaksi ekspansif. 1. Silika (SiO2).
Tahapan proses kimia pada stabilisasi tanah menggunakan Abu Cangkang sawit yang banyak mengandung silika adalah sebagai berikut:
SiO2 + H2O Adsorbsi
Reaksi antara SiO2 bukan merupakan reaksi kimia, SiO2 terhadap air menyebabkan adsorpsi fisika dimana molekul air akan terperangkap pada pori-pori SiO2. Dimana setelah molekul air terperangkap di dalam pori-pori SiO2, pori-pori SiO2 akan tertutup rapat dan molekul air akan terikat didalamnya, hal ini mengakibatkankan tanah lempung akan menjadi kering dan keras.
2. Alumunium Oksida (Al2O3).
unsur silika bahwa alumunium (Al2O3) tidak dapat bereaksi dengan air secara kimia karena tidak ada reaksi atau senyawa baru yang dihasilkan akibat alummunium bereaksi dengan air.
Al2O3 + H2O tidak ada reaksi Kimia 3. Besi (Fe2O3).
Tahapan proses kimia pada stabilisasi tanah menggunakan besi adalah sebagai berikut:
Bila Besi dicampurkan pada tanah yang ada kandungan airnya akan terjadi reaksi sebagai berikut:
Fe2O3 + H2O 2Fe(OH)3
Bereaksinya antara besi dan air akan terjadi pengendapan berupa karat besi dan larutan tersebut berwarna coklat kemerahan. Adanya karat besi didalam tanah akan mengakibatkankan rongga udara didalam tanah akan semakin kecil dan pori-pori didalam tanah lempung semakin padat sehingga kekuatan tanah akan meningkat.
4. Calsium Oksida (CaO)
Tahapan proses kimia pada stabilisasi tanah menggunakan besi adalah sebagai berikut:
Bila CaO dicampurkan pada tanah yang ada kandungan airnya akan terjadi reaksi sebagai berikut:
Bereaksinya antara air dengan kapur akan menimbulkan panas dan pada saat yang bersamaan, volume kapur menjadi lebih besar dari pada volume asalnya sehingga menyebabkan turunnya kandungan air didalam tanah.
5. Magnesium Oksida (MgO)
Tahapan proses kimia pada stabilisasi tanah menggunakan besi adalah sebagai berikut:
Bila Magnesium dicampurkan pada tanah yang ada kandungan airnya, akan terjadi reaksi sebagai berikut:
MgO + H2O Mg(OH)2 + Panas
Bereaksinya antara air dengan Magnesium akan menimbulkan panas dan pada saat yang bersamaan, volume kapur menjadi lebih besar dari pada volume asalnya sehingga menyebabkan turunnya kandungan air didalam tanah.
b. Reaksi pertukaran ion
(repulsion force), dan terjadilah kohesi pada butiran itu sehingga berakibat kenaikan kekuatan konsistensi tanah tersebut.
c. Reaksi Pozzolan
Apabila kapur dengan mineral lempung atau dengan mineral halus lainnya atau dengan komponen pozzolan seperti silika hidrat (hydrous silica) bereaksi, maka akan membentuk suatu gel yang kuat dan keras yaitu kalsium silikat yang mengikat butir-butir atau partikel tanah (Diamond & Kinter, 1965 dalam Ingles dan Metcalf, 1972). Gel silica bereaksi dengan segera melapisi dan mengikat partikel lempung dan menutup pori-pori tanah. Mekanisme reaksi yang terjadi Na2O.Al2O3(SiO2)4H2O+CaO.H2O Na2O.H2O+CaO.Al2O3(SiO2)4H2 (2.6) Na2OH2O+CaOAl2O3(SiO2)4H2O Na2O(SiO2)+2SiO2H2O+CaOAl2O3(2.7)
Reaksi pozzolanisasi menghasilkan kristal Ca(SiO3) yang bersifat mengikat butiran lempung dengan butiran lempung serta butiran lempung dengan Ca(SiO3). Untuk mencapai kekuatan penuh proses pozzolanisasi dapat terjadi dalam beberapa tahun. Reaksi pozzolanisasi (Wijaya, 1994 dalam Sujatmaka 1998) sebagai:
SiO2 + CaOH2+ H2O → Ca(SiO3) + 2 H2O (2.8)
2.8 Pengujian Pemadatan Tanah (Proctor Standar) ASTM D 689
a. Berkurangnya penurunan permukaan tanah (subsidence), yaitu gerakan vertikal di dalam massa tanah itu sendiri akibat berkurangnya angka pori. b. Bertambahnya kekuatan tanah.
c. Berkurangnya volume akibat berkurangnya kadar air pada saat pengeringan. Pada umumnya pemadatan tanah yang dilakukan di laboratorium terdiri dari 2 macam, yakni Standard Proctor AASHTO T 99 (ASTM D 689) dan Modified Proctor AASHTO T 180 (ASTM D 1557). Kedua cara pemadatan tersebut yaitu:
1. Pemadatan standart, menggunakan alat penumbuk 2,5 kg, tinggi jatuh 30 cm, dan jumlah lapisan 3 lapis dengan energy pemadatan sebesar 593 kJ/m3.
2. Pemadatan modified, dengan alat penumbuk 5,5 kg, tinggi jatuh 45,7 cm dan jumlah lapisan 5 lapis dengan energy pemadatan sebesar 2694 kJ/m3. Aplikasi
· Pemadatan standart digunakan untuk memeriksa kepadatan lapisan tanah dasar dan timbunan.
· Pemadatan modified digunakan untuk memeriksa kepadatan lapisan pondasi suatu jalan.
Spesifikasi alat:
Keterangan Standart Modified
Berat penumbuk 5,5 lb =2,5 kg 10 lb= 5,5 kg
Tinggi jatuh 12 inch=30,48 cm 18 inch=45,72 cm
Diameter cetakan 4 inch=10,16 cm 4 inch=10,16 cm
Jumlah tumbukan 25 kali 25 kali
Volume 1/30 ft³=9,44 cm³ 1/30 ft³=9,44 cm³
Pada penelitian ini digunakan Standard Proctor untuk mendapatkan kadar air dan kepadatan kering optimum yang akan digunakan dalam pengujian CBR.
Pemadatan merupakan usaha untuk mempertinggi kerapatan tanah yaitu dengan mengeluarkan udara pada pori-pori tanah yang biasanya mengunakan energi mekanis. Di lapangan, usaha pemadatan dihubungkan dengan jumlah gilasan dari mesin gilas, atau hal lain yang prinsipnya sama untuk suatu volume tanah tertentu. Di laboratorium menggunakan pengujian standar yang disebut uji proctor, dengan cara suatu palu dijatuhkan dari ketinggian tertentu beberapa lapis tanah di dalam sebuah mold. Dengan dilakukan pengujian pemadatan tanah ini maka akan menghasilkan hubungan antara kadar air dengan berat volume.. Tujuan pemadatan adalah memperkecil rongga-rongga udara, karena dalam tanah terdiri atas tiga bagian yaitu : butiran tanah, air dan udara. Compaction (pemadatan) juga bertujuan untuk mendapatkan kadar air optimum.
Tingkat kepadatan tanah diukur dari nilai berat volume keringnya (γd). Berat volume
(2.7)
Peristiwa bertambahnya berat volume kering oleh beban dinamis disebut pemadatan. Oleh akibat beban dinamis, butir-butir tanah merapat satu sama lain sebagai akibat berkurangnya rongga udara.
Tanah lempung yang dipadatkan dengan cara yang benar akan dapat memberikan kuat geser tinggi. Stabilitas terhadap sifat kembang- susut tergantung dari jenis kandungan mineralnya. Sebagai contoh, lempung montmorillonite akan mempunyai kecendurangan yang lebih besar terhadap perubahan volume dibanding dengan lempung kaolinite. Lempung padat mempunyai permeabilitas yang rendah dan tanah ini tidak dapat dipadatkan dengan baik pada waktu sangat basah (jenuh). Bekerja dengan tanah lempung yang sangat basah akan mengalami banyak kesulitan, karena pada saat lempung dipadatkan, air sulit mengalir ke luar dari rongga pori lempung. Air yang tidak mau ke luar dari rongga pori tanah ini menyebabkan butiran sulit merapat satu sama lain saat dipadatkan.
2.9.1 Penentuan Kadar Air Optimum
dipadatkan dengan 25 tumbukan yang ditentukan dengan penumbuk dengan massa 2,5 kg dan tinggi jatuh 30 cm. Energi pemadatan sebesar 592,57 kilo Joule/m3.
Kadar air yang memberikan berat kering yang maksimal disebut kadar air optimum. Untuk tanah berbutir halus dalam mendapatkan kadar air optimum digunakan batas plastisnya. Buat kurva hubungan antara kadar air (w) sebagai absis dan berat volume tanah kering sebagai ordinat, puncak kurva sebagai nilai (γd maks), kurva yang digunakan adalah kurva dari uji pemadatan tanah (proctor standart). Dari titik puncak ditarik garis vertikal memotong absis, pada titik ini adalah kadar air optimum seperti yang terlihat pada Gambar 2.14.
Gambar 2.14 Kurva hubungan kadar air dengan berat volume kering (Das, 1994)
2.10 CBR Laboratorium
tinggi. Walaupun demikian, tidak berarti bahwa sebaiknya tanah dasar dipadatkan dengan kadar air rendah supaya mendapat nilai CBR yang tinggi, karena kadar air kemungkinan tidak akan konstan pada kondisi ini.
Pemeriksaan CBR bertujuan untuk menentukan harga CBR tanah yang dipadatkan di laboratorium pada kadar air tertentu. Disamping itu, pemeriksaan ini juga dimaksudkan untuk menentukan hubungan antara kadar air dan kepadatan tanah.Pemeriksaan CBR Laboratorium mengacu pada AASHTO T-193-74 dan ASTM-1883-73.
Untuk perencanaan jalan baru, tebal perkerasan biasanya ditentukan dari nilai CBR dari tanah dasar yang dipadatkan. Nilai CBR yang digunakan untuk perencanaan ini disebut “design CBR“.
Cara yang dipakai untuk mendapat “design CBR“ ini ditentukan dengan perhitungan dua faktor (Wesley, 1977) yaitu:
a. Kadar air tanah serta berat isi kering pada waktu dipadatkan.
b. Perubahan pada kadar air yang mungkin akan terjadi setelah perkerasan selesai dibuat.
Faktor –faktor yang mempengaruhi kepadatan material subgrade adalah: 1. Karekteristik material tanah dasar.
2. Kadar air material tanah dasar. 3. Jenis alat pemadat yang digunakan.
4. Berat alat pemadat yang tergantung pada lebar roda dan pelat dasarnya. 5. Ketebalan lapisan material yang dipadatkan.
6). Jumlah lintasan alat pemadat yang diperlukan.
Kekuatan tanah dasar tentu banyak bergantung pada kadar airnya. Makin tinggi kadar airnya makin kecl kekuatan nilai CBR dari tanah tersebut. Walaupun demikian, hal itu tidak berarti bahwa sebaiknya tanah dipadatkan dengan kadar air rendah untuk mendapatkan nilai CBR yang tinggi, karena kadar air tidak tahan konstan pada nilai rendah itu. Setelah pembuatan jalan maka air akan meresap ke dalam tanah dasar, sehingga kekuatan dan CBR turun sampai kadar air mencapai nilai yang konstan. Kadar air konstan inilah yang disebut kadar air keseimbangan. Batas-batas kadar air dan berat isi kering dapat ditentukan dari hasil percobaan laboratorium yaitu percobaan pemadatan dan CBR.
Pemeriksaan CBR laboratorium dapat dilakukan dengan 2 cara: a. Percobaan terendam (soa ked)
Dalam penelitian ini yang digunakan adalah CBR unsoaked dan CBR Soaked karena penelitian ini hanya bertujuan untuk mendapatkan kuat dukung tanah lempung.
Untuk pengujian Swelling rendaman diperoleh persamaan:
(2.10)
Dimana S = Potensi Pengembangan (%) A = pembacaan Dial (mm) H = Tinggi Benda Uji (mm)
2.10 Uji Tekan Bebas (Unconfined Compression Test)
Yang dimaksud dengan kekuatan tekan bebas adalah besarnya beban aksial persatuan luas pada saat benda uji mengalami keruntuhan atau pada saat renggangan aksial mencapai 20%. Percobaan ini dimaksudkan untuk menentukan besarnya kekuatan tekan bebas contoh tanah dan batuan yang bersifat kohesif dalam keadaan asli maupun buatan (remoulded).
Gambar skematik dari prinsip pembebanan dalam percobaan ini dapat dilihat pada Gambar 2.15.
s1
s1
s = 03
s = 03
Contoh tanah
Gambar 2.15 Skema uji tekan bebas
Tegangan aksial yang diterapkan di atas benda uji berangsur-angsur ditambah sampai benda uji mengalami keruntuhan. Sedangkan untuk hubungan konsistensi dengan kuat tekan bebas tanah lempung diperlihatkan dalam Tabel 2.14.
Tabel 2.14 Hubungan kuat tekan bebas (qu) tanah lempung dengan konsistensinya (Holtz and Kovacs, 1981)
Konsistensi qu (kN/m2)
Lempung keras Lempung sangat kaku Lempung kaku Lempung sedang Lempung lunak Lempung sangat lunak
> 400 200 – 400 100 – 200 50 – 100
25 – 50 < 25
1. Benda uji harus 100% jebuh, kalau tidak, akan terjadi desakan udara di dalam ruang pori yang menyebabkan angka pori (e) berkurang sehingga kekuatan benda uji bertambah.
2. Benda uji tidak boleh mengandung retakan atau kerusakan yang lain. Dengan kata lain benda uji harus utuh dan merupakan lempung homogen. Dalam praktek, sangat jarang lempung overconsolidated dalam keadaan utuh, dan bahkan sering terjadi pula lempung normally consolidated mempunyai retakan-retakan.