• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II BIOGRAFI TOKOH

2. Riwayat Pendidikan KH Abdurrahman Wahid

Gus Dur kecil belajar pada sang kakek, K.H Hasyim Asy‟ari. Saat serumah dengan kakeknya, ia diajari mengaji dan membaca Al-

Qur‟an. Dalam usia lima tahun ia telah lancar membaca Al-Qur‟an.

Pada saat sang ayah pindah ke Jakarta, di samping belajar formal di sekolah, Gus Dur juga mengikuti les privat Bahasa Belanda. Guru lesnya bernama Willem Buhl, berkebangsaan Jerman yang telah masuk Islam, dan telah mengganti namanya dengan Iskandar.

Untuk menambah pelajaran Bahasa Belanda tersebut, Buhl selalu menyajikan musik klasik yang biasa dinikmati oleh orang dewasa. Inilah pertama kali persentuhan Gus Dur dengan dunia Barat dan dari sini pula Gus Dur mulai tertarik dan mencintai musik klasik (Hamid, 2010:30-31).

32

Gus Dur memulai pendidikan dasarnya di Sekolah Dasar KRIS di Jakarta Pusat. Ia mengikuti pelajaran di kelas tiga dan kemudian di kelas empat. Akan tetapi ia kemudian pindah ke Sekolah Dasar Matraman Perwari, yang terletak di dekat rumah keluarga mereka yang baru di Matraman, Jakarta Pusat. Pada tahap ini, pendidikan Gus Dur sepenuhnya bersifat sekuler. Namun, tentu saja ia telah mempelajari bahasa Arab ketika kecil dan mempunyai cukup pengetahuan untuk dapat membaca Al-Qur‟an dengan suara keras. Akan tetapi, baru setelah beranjak remaja, ia mulai belajar bahasa Arab secara sistematik. Selain itu, Gus Dur dan saudaranya dianjurkan ayahnya untuk membaca apa saja yang disukai dan kemudian secara terbuka membicarakan ide-ide yang mereka temukan, agar anak-anaknya tumbuh besar dengan cakrawala pikiran yang luas (Barton, 2016:42).

Setahun setelah wafatnya sang ayah, yaitu pada tahun 1954, setelah lulus SD, Gus Dur melanjutkan sekolah tingkat menengah pertama ke SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) di Yogyakarta. Meski tergolong sangat cerdas, entah karena masih terguncang oleh wafatnya sang ayah, atau karena sebab lain, di SMEP ini Gus Dur sempat mengalami kegagalan, sehingga harus mengulang kelas. Gus Dur sendiri beralasan kegagalannya tersebut karena ia terlalu sering menonoton pertandingan sepakbola dan menonton film.

33

Di Yogyakarta, Gus Dur tinggal di rumah teman ayahnya yang bernama Kiai Haji Junaidi. Yang menarik adalah bahwa Haji Junaidi bukanlah orang NU, melainkan anggota Muhammadiyah, yang saat itu menjabat sebagai anggota Majelis Tarjih atau Dewan Penasehat Agama Muhammadiyah (Mandan dkk, 2010:40). Hal ini sebenarya mungkin biasa-biasa saja. Akan tetapi saat itu, dan bahkan dalam beberapa dasawarsa kemudian, secara relatif hampir tidak terdapat pertautan antara kaum modernis Muhammadiyah dan kaum tradisionalis NU. Sebagaiman NU, dulu dan juga sekarang, merupakan organisasi ulama yang mewakili Islam tradisional di Indonesia, sementara hampir semua kaum muslim modernis tergabung dalam Muhammadiyah. Kaum modernis dan kaum tradisionalis berbeda dalam pendekatan mereka ketika menafsirkan

Al-Qur‟an; juga dalam sikap mereka terhadap praktik-praktik dan

kepercayaan mistik serta dalam integrasi budaya mereka ke dalam kehidupan urban modern (Barton, 2016:49-50).

Proses belajar atau masa pendidikan Gus Dur di masa sekolah dasar dan lanjutan pertamanya adalah di sekolah-sekolah sekuler. Inilah yang membedakan dirinya dengan kakek dan ayahnya yang tidak pernah mencicipi pendidikan sekuler, dan Gus Dur merupakan penanda generasi santri yang menerima pendidikan modern sejak awal.

34

Ketika Gus Dur sekolah di SMEP di Yogyakarta, diusahakan pula dan diatur bagaimana ia dapat pergi ke pesantren Al Munawwir di Krapyak sebanyak tiga kali. Disini ia belajar bahasa Arab dengan KH. Ali Ma‟shum (Rifa‟i, 2016:31).

Selain belajar dengan membaca buku-buku berbahasa Inggris, untuk meningkatkan kemampuan bahasa Inggrisnya sekaligus menggali informasi, Gus Dur aktif mendengarkan siaran lewat radio Voice of America dan BBC London. Ketika mengetahui bahwa Gus Dur pandai dalam bahasa Inggris, Sumantri, seorang guru SMEP

yang juga anggota Partai Komunis, memberi buku karya Lenin „What

is To Be Done‟. Pada saat yang sama, anak yang memasuki masa remaja ini telah mengenal Das Kapital karya Karl Marx, filsafat Plato, Thales, dan sebagainya. Dari paparan ini tergambar dengan jelas kekayaan informasi dan keluasan wawasan Gus Dur (Hamid, 2010:32). Ia juga membaca buku Lenin yang lain Infantile Communism dan buku Mao, Little Red Book-Mao. Namun bagi Gus Dur saat itu, yang merupakan topik paling menarik dari semua karya itu adalah aspek sifat kemanusiannya. Dan yang paling menyita perhatiannya adalah karya-karya sastra dan kebudayaan. Karena semua bahan pelajaran di pesantren terasa sangat mudah baginya untuk dikuasai, maka Gus Dur memiliki waktu yang leluasa untuk memenuhi hasratnya membaca karya-karya warisan ilmuwan dunia tersebut. Tetapi minat Gus Dur tidak berhenti sebatas itu. Sebagai

35

muslim yang masih dalam proses pencarian identitas diri, Gus Dur juga ingin mengetahui pikiran-pikiran para tokoh Islam, seperti Sayyid Qutb, Said Ramadhan, Hasan Al-Bana, dan tokoh-tokoh lain penggerak Ikhwanul Muslimin. Semua itu ia baca dengan sungguh- sungguh, sehingga ia dapat memahami pikiran para tokoh gerakan Islam tersebut (Mandan dkk, 2010:42).

Ketika berdiam di Yogyakarta, ia mulai menyukai film secara serius. Hampir sebagian besar dari waktunya selama tinggal di kota ini ia habiskan dengan menonton film, apresiasi Gus Dur terhadap film jauh lebih serius daripada yang ditunjukkan oleh kebanyakan teman-teman sebayanya.

Di Yogyakarta juga Gus Dur pertama-tama mulai tertarik pada wayang kulit, yang merupakan pertunjukkan wayang tradisional. Pertunjukkan wayang kulit ini sering diadakan di sekitar Yogyakarta, tetapi jarang dipentaskan di ibu kota. Ketika berdiam di Yogyakarta dan Magelang ia selalu mencari-cari pertunjukkan wayang kulit dan umumnya ia bisa menonton pertunjukkan ini setiap dua atau tiga minggu sekali, walaupun untuk itu ia harus menmepuh jarak yang cukup jauh.

Sebagaimana juga remaja lainnya, Gus Dur juga menyukai sastra picisan. Baginya, bacaan ini sering mengandung unsur penting dalam hidupnya. Ia sangat menyenangi cerita silat, yaitu cerita-cerita mengenai pendekar silat Cina yang ditulis oleh penulis-penulis

36

Indonesia keturunan Cina ataupun terjemahan dari tulisan-tulisan asli dalam bahasa Cina. Cerita silat biasanya berbentuk novel pendek dalam lima belas jilid atau lebih. Cerita silat memang tak dapat dianggap sebagai sastra serius. Akan tetapi yang menarik bagi Gus Dur, ketika ia mengingat-ingat kembali masa awal kegandrungannya akan cerita silat, terdapat banyak unsur falsafah Cina yang terdapat dalam cerita-cerita itu yang kemudian mempengaruhi cara berfikirnya (Barton, 2016:54-55).

Setelah tamat dari SMEP di Yogyakarta pada tahun 1957, Gus Dur pindah ke Magelang, tepatnya pindah ke Pesantren Tegalrejo di bawah asuhan kiai kharismatik, Kian Khudori. Di sinilah, Gus Dur belajar secara penuh dengan dunia pesantren berikut segala

keilmuannya (Rifa‟i, 2016:33). Dari Kiai Khudori inilah, Gus Dur

dikenalkan dengan ritus-ritus sufi dan menanamkan praktik-praktik ritual mistik. Di bawah bimbingan kiai ini pula, Gus Dur mulai mengadakan ziarah ke kuburan-kuburan keramat para wali di Jawa. Pada saat ini pula Gus Dur telah mampu menunjukkan kemampuannya dalam berhumor dan berbicara (Hamid, 2010:32).

Pelajaran-pelajaran yang diberikan di pesantren Tegalrejo, yang umumnya selesai diberikan dalam waktu enam tahun, oleh Gus Dur dapat diselesaikan hanya dalam tempo dua tahun, sampai tahun 1959 (Mandan dkk, 2010:43). Pada saat yang sama ia juga belajar paro

37

waktu di Pesantren Denanyar Jombang di bawah bimbingan kakeknya dari pihak ibu, Kiai Wahab Hasbullah (Rifa‟i, 2016:33).

Selain terus menuntut ilmu, ia juga mulai mengabdi sebagai pengajar. Kemudian berlanjut menjadi kepala sekolah madrasah. Di samping itu, ia juga mulai memperlihatkan kemampuan menulisnya. Tercacat ia mulai menulis sebagai jurnalis di harian Majalah Budaya Jaya dan Horizon (Al-Madyuni, 2013:98).

b. Belajar di Luar Negeri

1. Universitas Al-Azhar, Kairo

Pada tahun 1963, Wahid menerima beasiswa dari Kementrian Agama untuk belajar di Universitas Al Azhar di Kairo. Ia pergi ke Mesir pada November 1963 (Hadi, Tanpa Tahun:16). Saat ia tiba di Al-Azhar ia diberitahu oleh pejabat-pejabat universitas itu bahwa dirinya harus mengikuti kelas khusus untuk memperbaiki pengetahuan mengenai bahasa Arab. Gus Dur sebenarnya telah mempunyai sertifikat yang menunjukkan bahwa ia telah lulus studi yurisprudendi Islam yang kesemuanya memerlukan pengetahuan bahasa Arab yang sangat baik, namun sayangnya ia tidak mempunyai ijasah yang menunjukkan bahwa ia telah lulus kelas dasar bahasa Arab. Sebagai akibatnya, ia dimasukkan ke kelas yang benar-benar pemula (Barton, 2016:88).

Sepanjang tahun 1964, Gus Dur hampir tidak pernah masuk kelas. Ia malah menghabiskan waktunya untuk menonton

38

pertandingan sepakbola, membaca di perputakaan, menonton film Perancis dan ikut dalam diskusi-diskusi. Begitulah Gus Dur menikmati kota Kairo dengan caranya sendiri (Mandan dkk, 2010:47).

Di Kairo, Gus Dur mendapati bahwa ia dapat menonton film- film terbaik Perancis, Eropa, Inggris, dan Amerika. Selain itu, Gus Dur banyak menghabiskan waktunya di perpustakaan Universitas Amerika di Kairo. Perpustakaan-perpustakaan yang ada di Kairo penuh dengan buku, jauh lebih banyak daripada yang pernah dilihatnya sebelum ia ke kota ini. Jika tidak membaca di perpustakaan Universitas Amerika, ia sering berada di perpustakaan Universitas Kairo atau di perpustakaan Prancis. Di situ pula Gus Dur membaca hampir semua karya William Faulkner, selain itu ia membaca dan menikmati novel-novel Ernest Hemingway. Ia juga suka dengan sastra Eropa, terutama prosanya. Meski demikian, ia juga membaca prosa dan puisi karya Edgar Allan Poe dan puisi-puisi John Donne. Dihafalnya sebagian besar dari puisi Donne yang berjudul No Man Is an Island. Ia juga mulai membaca karya-karya Andre Gide, Kafka dan Tolstoy, yang sebelumnya tak bisa ia peroleh, karya-karya Pushkin serta novelis-novelis Eropa.

Adapun buku yang dibawanya ke Kairo yang dianggapnya berharga yaitu karya Mark dan Lenin, yang ia baca kembali dan

39

kemudian ia diskusikan bersama mahasiswa dan kaum cendikiawan di kedai-kedai kopi. Ia juga berkenalan dengan pemikiran Eropa . Bagi Gus Dur, Kairo merupakan kota dengan kehidupan sastra, pencaharian pengetahuan, dan ide-ide baru. Karena di bawah pemerintahan Nasser terdapat lingkungan intelektual yang penuh optimisme dan relatif terbuka.

Pada tahun 1964, Gus Dur dan seorang teman, Mustofa Bisri, membuat majalah bagi Perhimpunan Pelajar Indonesia yang diketahui oleh Gus Dur sendiri. Ia juga secara teratur menyampaikan pidato dalam pertemuan-pertemuan mahasiswa Indonesia dan dengan cepat ia dikenal sebagai pembicara dan penulis esai yang jenaka dan provokatif. Topik esai yang paling disenanginya adalah politik Indonesia, masa depan Indonesia, serta Islam dan modernitas.

Di Al-Azhar Gus Dur mengalami kekecewaan karena pendekatan yang digunakan adalah menghafal. Karena semua itu sudah ditempuhnya selama belajar di Pesantren. Al-Azhar memang murni sebuah universitas Islam dan sangat bangga akan sejarahnya yang panjang. Universitas ini tidak mau menggabungkan unsusr-unsur pendidikan modern Barat dalam program pengajarannya, lebih memprioritaskan hafalan dibandingkan dengan analisis (Barton, 2016:90-94) .

40

Di Mesir, Gus Dur dipekerjakan di Kedutaan Besar Indonesia. Saat itulah, peristiwa Gerakan 30 September terjadi. Soeharto, yang saat itu berstatus sebagai Mayor Jenderal, menangani situasi di Jakarta dan upaya pemberantasan komunis dilakukan. Sebagai bagian dari upaya tersebut, Kedutaan Besar Indonesia di Mesir diperintahkan untuk melakukan investigasi terhadap pelajar universitas dan memberikan laporan kedudukan politik mereka. Perintah ini diberikan pada Gus Dur, yang ditugaskan menulis laporan (Hamid, 2010:34-35).

Bagi Gus Dur, Al-Azhar tampaknya terbenam dalam masa lampau. Sayyid Qutb dan kaum Islamis lainnya terobsesi oleh ekstrimisme agama, sedangkan pemerintahan Nasser terobsesi dengan ekstrimisme nasionalis. Sementara itu, di Jawa, NU ikut serta dalam melampiaskan kebencian dan histeria yang mengubah manusia beradab menjadi pembunuh-pembunuh berdarah dingin. Gus Dur masih ingat bahwa untuk beberapa saat ia berfikir untuk kembali ke Jawa dan menjadi aktivis hak azasi manusia. Namun demikian, ia tahu bahwa tanpa gelar universitas maka geraknya akan terbatas hanya di Indonesia dan bahwa ia telah cukup mengenal Kairo dan ia sangat sadar bahwa masih banyak yang dapat dipelajarinya di Timur Tengah (Barton, 2016:100-101).

41 2. Universitas Baghdad, Irak

Walaupun Gus Dur merasa kecewa dengan studi formalnya di Kairo, namun ia menarik banyak manfaat dari lingkungan sosial dan intelektual di sana (Barton, 2016:103). Untungnya, kondisi yang membosankan di Kairo tersebut, segera terobati ketika ia mendapat tawaran beasiswa di Universitas Baghdad. Pada 1960-an, Universitas Baghdad mulai berubah menjadi universitas bergaya Eropa (Rifa‟i, 2016:34).

Pada tahun pertamanya di universitas ini ia berkenalan dengan Mahfudz Ridwan, yang berasal dari Salatiga, Jawa Tengah. Mahfudz menjadi teman Gus Dur yang terpercaya dan berharga. Catatan kuliah Mahfudz juga sangat berguna baginya untuk mengikuti ujian.

Di Baghdad, Gus Dur memiliki jadwal yang lebih padat dan lebih ketat daripada saat di Kairo. Tetapi kebiasaan membaca dan menonton film masih dilakukan. Di Baghdad, Gus Dur bekerja di kantor Ar-Rahmadani mulai pukul 11 sampai dua siang. Ar- Rahmadani adalah perusahaan kecil yang mengkhususkan diri dalam impor tekstil dari Eropa dan Amerika, selama tiga setengah tahun. Setiap sore ia sibuk membaca di perpustakaan universitas untuk membuat tugas makalah secara teratur dan sering kali cukup panjang. Karena, tugas yang diberikan ditentukan buku

42

acuan yang harus dibaca untuk menulis satu makalah (Barton, 2016:104-105).

Di Baghdad pula, Gus Dur belajar bahasa Prancis di pusat kebudayaan Prancis. Karena jadwal belajar Gus Dur lebih ketat daripada di Kairo, ia tidak mengikuti diskusi-diskusi di kedai kopi sesering yang dilakukan di Kairo (Rifa‟i, 2016:35).

Gus Dur sendiri di Baghdad belajar banyak hal. Salah satunya tentang agama Yahudi, akibat persahabatannya dengan seorang pemuda Yahudi Irak bernama Ramin. Di perpustakaan Irak Gus Dur membaca banyak sekali buku dan bahan bacaan lain. Dan dua tahun terakhirnya di Baghdad, Gus Dur memfokuskan diri pada riset mengenai sejarah Islam di Indonesia, sesuai dengan arahan dari para dosennya. Dibacanya semua sumber dari kaum orientalis dan tulisan-tulisan orang Indonesia mengenai hal tersebut. Ia tak menduga bahwa universitas di Baghdad memiliki sumber informasi yang sangat luas mengenai topik yang ditelitinya tersebut. Dan di akhir tahun 1970, setelah menempuh studi sekitar empat tahun, Gus Dur menyelesaikan studinya (Mandan dkk, 2010:52-53).

3. Eropa

Setelah menyelesaikan pendidikan di Universitas Baghdad, Gus Dur pergi ke Belanda untuk meneruskan pendidikannya. Gus Dur ingin belajar di Universitas Leiden, tetapi kecewa karena

43

pendidikannya di Universitas Baghdad kurang diakui (Hadi, Tanpa Tahun:17). Utamanya dalam bahasa, misalnya untuk masuk dalam kajian klasik di Kohln, Gus Dur harus menguasai bahasa Hebraw, Yunani, atau Latin dengan baik di samping bahasa Jerman. Gus Dur tidak memenuhi persyaratan itu. Akhirnya, Gus Dur melakukan kunjungan dan menjadi pelajar keliling, dari satu universitas ke universitas lainnya (Hamid, 2010:36).

Gus Dur akhirnya tinggal selama enam bulan di Belanda. Ia menghabiskan banyak waktunya untuk mencari tahu mengenai kesempatan untuk bisa belajar di Leiden dan di universitas- universitas di kota-kota yang berdekatan dengan Belanda dan Jerman. Selama waktu ini, ia mencari uang dengan bekerja di tempat binatu milik orang Cina. Dari Belanda ia pindah ke Jerman dan tinggal di sini selama empat bulan dan kemudian ia tinggal di Prancis selama dua bulan. Setelah itu, ia kembali ke Tanah Air (Barton, 2016:112).

Dokumen terkait