Penulis dilahirkan di Tasikmalaya, 11 Juni 1985 sebagai putri pertama pasangan Bapak Ishak Kusnandar dan Ibunda Iis Lisnawati. Pendidikan dasar dan menengah diselesaikan pada tahun 1991 – 2003 di SDN Cilolohan I, MTs Al- Furqon Tasikmalaya-Jawa Barat dan SMU Insan Cendekia Serpong Tangerang- Banten. Pada tahun 2003 penulis melanjutkan pendidikan tinggi di S1 Agronomi, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan lulus pada tahun 2008.
Sejak tahun 2009, penulis bekerja sebagai staf pengajar di Program Diploma IPB. Pada tahun 2011, penulis diterima di Program Studi Agronomi dan Hortikultura Sekolah Pascasarjana IPB.
Penulis merupakan anggota Perhimpunan Agronomi Indonesia (PERAGI) dan instruktur pertanian bagi pendidikan anak-anak dan pemberdayaan perempuan di Yayasan Sadamekar Sukapura, Karawang-Jawa Barat sejak tahun 2012. Penulis menjadi peserta Summer School 2012 “Urban Food and Nutrition Security” kerjasama DAAD Jerman, Universitas Giessen dan Universitas Kasetsart di Bangkok, Thailand selama bulan November 2012. Selain itu, penulis menjadi peserta pelatihan “Estimation of Leaf Area Index (LAI) Through Digital Hemispherical Photography” kerja sama Pusat Penelitian dan Kerjasama Pendidikan Tinggi Thailand-Perancis (DORAS Center) di Universitas Kasetsart dan Pusat Penelitian Karet Chachoengsao, Thailand pada tanggal 24-26 Juni 2013.
PENDAHULUAN
Latar BelakangKelapa sawit merupakan salah satu komoditas perkebunan andalan ekspor dalam perekonomian Indonesia sehingga menjadi penghasil devisa negara di luar minyak dan gas bumi. Pasar yang banyak menyerap produk utama yaitu minyak sawit (crude palm oil) dan minyak inti sawit (palm kernel oil) adalah industri fraksinasi (minyak goreng), lemak khusus, margarin, kosmetik, oleochemical, sabun mandi dan biodiesel. Produk-produk sampingan seperti tandan kosong, pelepah, batang, serta limbah padat dan cair dimanfaatkan sebagai pupuk organik, pakan ternak, arang, kayu, pulp dan lain-lain (IPOB 2007).
Indonesia merupakan negara produsen minyak sawit utama di dunia dengan volume ekspor mencapai 21 151 127 ton, sedangkan nilai ekspor mencapai US $ 11 605 431 pada tahun 2009 (Ditjenbun 2012). Importir utama minyak sawit di dunia antara lain : China, India, Uni Eropa, Pakistan, Jerman, USA, Jepang, Meksiko dan negara lainnya (FAOSTAT 2012).
Pengusahaan tanaman kelapa sawit sampai dengan tahun 2010 sebagian besar dilakukan oleh Perkebunan Besar Swasta (PBS) sebanyak 52.07%, Perkebunan Rakyat (PR) sebesar 40.39% dan Perkebunan Besar Negara (PBN) sebesar 7.53%. Luas perkebunan PR didominasi oleh kebun swadaya dibandingkan kebun plasma (Ditjenbun 2012).
Pekebun swadaya umumnya menggunakan bibit berkualitas rendah yang berasal dari pembibitan lokal bahkan brondolan lepas di kebun serta pengelolaan pupuk yang rendah. Hal tersebut disebabkan oleh kurangnya informasi mengenai pengelolaan pembibitan yang baik, dosis pemupukan yang tepat serta biaya pemupukan yang cukup tinggi. Berbeda dengan pekebun plasma yang menjalin kemitraan dengan perusahaan kelapa sawit (inti), bibit yang digunakan bermutu tinggi dan pemupukan dikelola dengan baik (Lee et al. 2012)
Salah satu faktor penentu produktivitas tanaman kelapa sawit adalah dengan menggunakan bibit yang berkualitas. Bibit berkualitas didapatkan dengan menggunakan benih unggul dan pemeliharaan yang baik. Titik kritis pemeliharaan bibit terletak pada keakuratan pemupukan karena bibit kelapa sawit di dalam polybag memiliki keterbatasan sumber hara sehingga penggunaan dosis yang tepat dapat memenuhi kebutuhan bibit dengan keefektifan tinggi.
Gerendas dan Heng (2010) menyatakan kualitas pupuk harus baik secara fisik maupun kimia sehingga dapat menjamin ketersediaan hara dalam tanah dan dapat diserap tanaman. Selain itu, tidak menyebabkan ketidakseimbangan hara dan efek antagonistik. Menurut ARAB (2000), rekomendasi pemupukan harus mempertimbangkan keterbatasan faktor lingkungan (tanah dan iklim) serta faktor ekonomi (harga pupuk).
Pupuk majemuk umumnya digunakan pada pembibitan kelapa sawit karena kandungan hara makro yang lengkap sehingga efisien dalam aplikasi, transportasi, penyimpanan, biaya dan tenaga kerja. Menurut Uexkull (1992), rekomendasi pupuk majemuk pada pembibitan kelapa sawit yaitu NPKMg 15:15:6:4 atau 12:12:17:2 dengan total dosis 158 g bibit-1 selama 8 bulan. Pemupukan dilakukan setiap 2 minggu.
Selain hara makro nitrogen, fosfor dan kalium, kalsium berperan penting dalam pertumbuhan bibit kelapa sawit. Kalsium berperan sebagai pembangun dinding sel dan ko-faktor enzim. Menurut Bah dan Rahman (2004) gipsum dan Rock Phosphate (Ca3PO4) digunakan sebagai sumber Ca di perkebunan.
Baik pupuk majemuk NPKMg 15:15:6:4 atau 12:12:17:2 maupun Rock Phosphate memiliki kelemahan yaitu biaya yang cukup tinggi dan tidak mudah didapatkan di pasaran. Oleh karena itu, diperlukan alternatif sumber pupuk yang lebih terjangkau dan mudah didapatkan oleh pekebun swadaya. Salah satunya adalah pupuk majemuk NPK 15-15-15 dan kalsium yang berasal dari kapur pertanian (CaCO3).
Pemupukan NPK berimbang dan kapur dapat mengurangi perkolasi dan evaporasi tanah serta meningkatkan aliran transpirasi produktif sehingga meningkatkan efisiensi penggunaan air. Selain itu, aplikasi NPK dan kapur secara nyata dapat meningkatkan perkembangan akar, produksi biomassa dan hasil tanaman (Barros et al. 2007). Pemberian pupuk anorganik (N, P, K, dan S) yang dikombinasikan dengan kapur dapat meningkatkan bahan organik tanah dan kadar hara jaringan. Pemberian kapur dapat mengurangi kemasaman tanah akibat pemberian pupuk anorganik (Costa 2012) sehingga meningkatkan keseimbangan hara-hara di dalam tanah menjadi tersedia bagi tanaman (Goh dan Härdter 2003).
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk :
1. Menentukan dosis optimum pupuk majemuk NPK pada bibit kelapa sawit. 2. Menentukan dosis optimum pupuk kalsium pada bibit kelapa sawit.
3. Mengetahui interaksi pupuk majemuk dan kalsium pada bibit kelapa sawit. 4. Menghasilkan bibit kelapa sawit berkualitas.
Manfaat Penelitian
Informasi mengenai dosis optimum pupuk majemuk NPK (15:15:15) dan kalsium pada bibit kelapa sawit yang dirancang dalam penelitian ini akan sangat bermanfaat untuk mendukung perkebunan kelapa sawit rakyat.
TINJAUAN PUSTAKA
Morfologi TanamanAkar kelapa sawit terdiri atas akar serabut primer yang tumbuh vertikal ke dalam tanah dan horizontal ke samping. Akar serabut primer akan bercabang menjadi akar sekunder, kemudian bercabang menjadi akar tersier. Kedalaman perakaran kelapa sawit dapat mencapai 8 meter (Sunarko 2009).
Batang kelapa sawit tidak bercabang dengan diameter 25-75 cm dan ketinggian 25 m dengan satu titik tumbuh kelapa sawit yang berada di batang. Batang tanaman kelapa sawit memiliki pangkal pelepah-pelepah daun yang
melekat kuat dan sulit terlepas meskipun daun kering dan mati. Tanaman kelapa sawit pada fase tanaman menghasilkan (TM) menghasilkan 20-25 pelepah per tahun. Bunga tumbuh di pangkal daun (Corley dan Tinker 2003).
Bunga kelapa sawit termasuk bunga berumah satu (monoecious) yaitu bunga jantan dan bunga betina terletak pada satu tanaman, tetapi terpisah. Bunga kelapa sawit merupakan bunga majemuk yang terdiri atas kumpulan spikelet dan tersusun dalam infloresen spiral. Tandan bunga mulai tumbuh pada saat tanaman berumur 12-14 bulan. Bunga jantan atau bunga betina terbuka 3-5 hari pada satu tandan. Viabilitas polen berlangsung selama selama 2-3 hari. Penyerbukan kelapa sawit dibantu angin dan serangga (Corley dan Tinker 2003).
Buah kelapa sawit terdiri atas perikarp yang terbungkus eksokarp (kulit), mesokarp dan endokarp (cangkang) yang membungkus 1-4 inti/kernel. Inti memiliki testa (kulit), endosperm yang padat dan embrio. Proses pembentukan buah dari penyerbukan sampai dengan matang memerlukan waktu 5-6 bulan. Warna buah bergantung pada varietas dan umurnya. Panen pertama buah kelapa sawit dilakukan pada umur 3 tahun setelah tanam (Mangoensoekardjo dan Semangun 2005).
Syarat Tumbuh Iklim
Kelapa sawit termasuk tanaman daerah tropis yang tumbuh baik antara garis lintang 130 Lintang Utara dan 120 Lintang Selatan, terutama di kawasan Afrika, Asia dan Amerika Latin (Sastrosayono 2003). Daerah pertanaman yang baik untuk penanaman kelapa sawit terletak pada elevasi 200-400 m di atas permukaan laut (dpl). Elevasi di atas 500 m dpl akan menghambat pertumbuhan dan menurunkan produksi tanaman (BCI 1999).
Curah hujan yang diperlukan oleh kelapa sawit berkisar 1 500-4 000 mm per tahun. Curah hujan optimal berkisar 2 000-3 000 mm per tahun, dengan distribusi merata sepanjang tahun tanpa bulan kering yang panjang. Distribusi hujan yang tidak merata dalam satu tahun dapat menyebabkan bunga atau buah yang terbentuk relatif sedikit. Kelapa sawit dapat toleran pada curah hujan tinggi 5 000 mm per tahun, apabila tanah dapat meloloskan air hujan dengan baik. Akan tetapi, curah hujan tinggi dapat menyulitkan kegiatan budidaya dan transportasi serta mengakibatkan erosi. Curah hujan kurang dari 2 000 mm dapat mendukung pertumbuhan tanaman apabila tidak terjadi kekurangan air. Kelembaban optimum bagi pertumbuhan kelapa sawit berkisar sekitar 75% (BCI 1999).
Sinar matahari diperlukan untuk memproduksi karbohidrat dan memacu pembentukan bunga dan buah. Lama penyinaran matahari yang baik untuk kelapa sawit adalah 5-7 jam dan lama penyinaran minimum 1 600 jam per tahun. Kelapa sawit yang tidak mendapatkan sinar matahari cukup akan menyebabkan pertumbuhan lambat, produksi bunga betina menurun, serta gangguan hama dan penyakit meningkat (Sunarko 2009).
Suhu optimum yang diperlukan tanaman kelapa sawit berkisar 27-29 0C. Suhu dingin dapat membuat tandan bunga mengalami aborsi serta pembungaan tidak merata sepanjang tahun (Corley dan Tinker 2003).
Tanah
Jenis tanah yang baik untuk kelapa sawit adalah tanah Latosol, Podsolik Merah Kuning, Hidromorf Kelabu dan Aluvial. Pengusahaan budidaya kelapa sawit di Indonsia selain dilakukan di lahan mineral, juga dapat dilakukan pada areal gambut dan lahan berpasir. Akan tetapi, berdasarkan Permentan no : 14/permentan/pl.110/2/2009 pengusahaan kelapa sawit di lahan gambut dibatasi untuk melindungi kelestarian ekosistem gambut.
Pembibitan
Pembibitan bertujuan menyediakan bibit yang berkualitas tinggi. Bibit yang berkualitas merupakan investasi utama dalam menentukan produktivitas tanaman. Menurut Pro Forest (2005) bibit kelapa sawit yang digunakan harus bermutu tinggi dengan benih sumber yang jelas. Pengelolaan pembibitan harus termasuk pengendalian hama terpadu (PHT), penggunaan air yang berwawasan lingkungan serta mencegah degradasi tanah.
Terdapat dua metode pembibitan yaitu single-stage main nursery dan double stage, dengan pre nursery (pembibitan pendahuluan) dan main nursery (pembibitan utama). Metode single stage merupakan metode penanaman kecambah yang langsung di polybag besar tanpa pembibitan pendahuluan. Keuntungan metode ini memiliki waktu pembibitan yang lebih pendek, tetapi beresiko besar karena kecambah yang langsung ditanam di pembibitan utama. Metode double stage akan menghasilkan bibit siap tanam pada umur 12-14 bulan karena melalui pembibitan pendahuluan selama tiga bulan dan pembibitan utama berlangsung selama 9-11 bulan (Corley dan Tinker 2003).
Lokasi pembibitan utama diutamakan bebas genangan, dekat dengan sumber air, rata (kemiringan maksimum 5%), dekat area penanaman, bebas hama penyakit dan terdapat jaringan irigasi sebagai sumber pengairan. Polybag yang digunakan berwarna hitam, berukuran 33 cm x 42 cm atau 40 cm x 50 cm dengan ketebalan 0.02 mm. Media tanam berupa top soil berstruktur remah dapat dicampur pasir atau pupuk kandang. Bibit kelapa sawit dari pre nursery yang berdaun 2-3 helai dan berumur 3 bulan dapat dipindahkan ke polybag dengan jarak antar polybag 90 cm x 90 cm x 90 cm (Sunarko 2009).
Pemupukan
Menurut Harahap et al. (2005) pemupukan di pembibitan kelapa sawit, selain bertujuan untuk mencukupi kebutuhan hara untuk pertumbuhan, juga merupakan tindakan untuk mengendalikan serangan patogen. Bibit sehat yang memiliki hara yang cukup dan seimbang akan lebih tahan serangan patogen.
Pemupukan yang tepat mutlak diperlukan dalam pengelolaan kelapa sawit sehingga secara nyata dapat meningkatkan produksi tanaman. Menurut Gerendas dan Heng (2010), pupuk yang disarankan harus memiliki karakteristik berikut:
(1) Kualitas pupuk baik secara fisik maupun kimia.
(2) Pupuk yang diberikan dapat menjamin ketersediaan hara dalam tanah sehingga dapat diserap tanaman.
(4) Frekuensi pemupukan ditingkatkan pada lahan berpasir untuk mengurangi kehilangan akibat pencucian.
(5) Pupuk yang berbentuk butiran dapat diaplikasikan secara mekanis untuk meningkatkan efisiensi pemupukan.
Salah satu keterbatasan penggunaan pupuk tunggal dibandingkan pupuk majemuk antara lain tidak efisien dalam transportasi, tenaga kerja dan biaya pemupukan. Menurut Bah dan Rahman (2004) nitrogen pupuk majemuk sangat berpotensi untuk digunakan karena dikombinasikan dengan K, Ca dan Mg untuk mengurangi penguapan nitrogen.
Pupuk Majemuk
Pupuk majemuk merupakan pupuk yang mengandung lebih dari satu unsur hara dalam satu jenis pupuk. Wu et al. (2008) menyatakan bahwa pupuk majemuk NPK bersifat slow release melepaskan hara N, P dan K perlahan dengan baik, memiliki kapasitas menahan air yang baik, tidak beracun pada tanah dan berwawasan lingkungan.
Keunggulan pupuk majemuk antara lain : lebih mudah transportasi, penyimpanan dan aplikasi di lapangan. Pada tanaman kelapa sawit, pupuk majemuk digunakan pada tahapan pembibitan dan tanaman belum menghasilkan (TBM) serta sedikit pada fase tanaman menghasilkan (TM) karena memerlukan kebutuhan hara yang lebih bervariasi sehingga aplikasi pupuk majemuk akan lebih sulit (Sutarta et al. 2005).
Ketersediaan hara dalam tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu pH tanah, KTK tanah dan komposisi kation baik yang sinergis maupun antagonis. Sutarta et al. (2005) menyatakan komposisi ideal kation dalam komplek pertukaran adalah 10% K, 60% Ca dan 30% Mg berdasarkan pada berbagai pengamatan kondisi tanah di Indonesia.
Rekomendasi pemupukan dibangun berdasarkan hasil analisis jaringan dan hasil analisis tanah. Selain itu, rekomendasi pemupukan harus mempertimbangan keterbatasan faktor lingkungan serta faktor ekonomi (ARAB 2000).
Penggunaan NPK 15:15:15 memberikan pengaruh terbaik terhadap tinggi tanaman, jumlah daun dan diameter batang bibit kelapa sawit umur 4, 5 dan 6 bulan di main nursery. Dosis pupuk majemuk 3.5 g tanaman-1 berpengaruh nyata terhadap peningkatan pertumbuhan tanaman selama 3 bulan di main nursery (Jannah et al. 2012)
Pupuk Kalsium
Kalsium merupakan hara makro sekunder yang berperan penting sebagai pembangun dinding sel, pembelahan sel pada benang-benang miosis, translokasi karbohidrat dan hara, perkecambahan biji dan ko-faktor enzim. Ion Ca2+ terangkut tanaman melalui aliran transpirasi di dalam xilem. Ketika sudah berada di dalam daun hanya sedikit translokasi Ca2+ di dalam floem. Defisiensi Ca menunjukkan ketidakmampuan tanaman memindahkan Ca cukup ke bagian tanaman sehingga diperlukan pasokan Ca melalui pemupukan (Munawar 2011).
Nilai kritis Ca baik pada daun ke-9 atau ke-17 berkisar 0.60% (Ochs dan Olvin 1977 cit. Fairhurst dan Mutert 1999). Defisiensi Ca pada kelapa sawit ditunjukkan melalui jaringan daun yang bening dan tulang daun yang sempit. Hal tersebut disebabkan konsentrasi Ca-pektat dalam dinding sel sangat rendah.
Defisiensi Ca dapat dicegah dengan pemberian dolomit atau kapur pertanian (ARAB 2000). Kapur pertanian dapat meningkatkan pH tanah. Konsentrasi Ca berlebihan dapat menekan penyerapan Mg dan K terlihat pada tanah yang memiliki kadar Ca-dd sangat tinggi (Goh dan Härdter 2003). Kapur pertanian yang diberikan pada tanaman yellow birch dapat meningkatkan pH tanah dari 4.7 ke 6.3, tetapi tidak memiliki efek nyata pada pertumbuhan tanaman fase juvenil serta perkembangan selama 6 musim (Bouman et al. 2012)
Pemberian pupuk majemuk NPK (15:15:15) dan bulk blend urea menghasilkan kadar P, K, Ca dan Mg yang hampir sama baiknya di bagian tajuk maupun akar bibit kelapa sawit, sedangkan perlakuan Urea-gipsum menghasilkan kadar Ca dan Mg yang lebih tinggi di tajuk dengan konsentasi P dan K lebih rendah baik di tajuk maupun akar. Hal ini disebabkan sifat antagonis Ca dan Mg yang mempengaruhi ketersediaan K. Penyerapan K menurun dengan meningkatnya Ca dan Mg di dalam tanah. Dosis rendah pupuk majemuk disarankan untuk pembibitan kelapa sawit. Urea-gipsum merupakan formula terbaik karena dapat meningkatkan ketersediaan N tanah dan berpotensi sebagai sumber Ca bagi tanaman (Bah dan Rahman 2004).
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu PercobaanPercobaan dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB Cikabayan, Darmaga Bogor, yang terletak pada elevasi 250 m di atas permukaan laut (dpl). Percobaan di lapangan dilakukan selama sembilan bulan mulai Desember 2011 sampai dengan Agustus 2012, sedangkan analisis tanah dan jaringan dilakukan selama dua bulan pada bulan September sampai dengan November 2012.
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah bibit kelapa sawit Tenera umur 4 bulan hasil persilangan Dura dan Pisifera (D x P) varietas Dami Mas, top soil, pupuk organik, polybag 50 cm x 40 cm dengan ketebalan 0.02 mm, insektisida delthametrin 25 g l-1, fungisida mancozeb 80%, kapur pertanian (CaCO3), pupuk majemuk NPK (15:15:15), cat kuku bening dan selotip. Bahan kimia untuk destruksi jaringan tanaman yaitu H2SO4 dan H2O2 diperoleh dari Merck, Darmstadt, Jerman.
Alat-alat yang digunakan terdiri atas timbangan digital, meteran aluminium, kamera, mikroskop, SPAD-502 plus chloropyll meter jangka sorong, gelas objek, portable leaf area meter, sprayer, grinder dan peralatan destruksi (tabung dan block digestion, pengocok tabung, dispenser, tabung reaksi dan Atomic Absorption Spectrometry) –PERKIN ELMER 3110- yang menggunakan nyala asetilen udara sebagai sumber energi.
Metode Percobaan
Percobaan ini menggunakan Rancangan Faktorial dalam lingkungan Acak Kelompok Lengkap dengan perlakuan terdiri atas dua faktor yaitu dosis pupuk majemuk NPK dan dosis pupuk kalsium. Dosis pupuk majemuk NPK terdiri atas empat taraf yaitu 0 g bibit-1 (M0), 115 g bibit-1 (M1), 230 g bibit-1 (M2) dan 460 g bibit-1 (M3). Dosis pupuk kalsium terdiri atas empat taraf yaitu 0 g bibit-1 (C0), 5 g bibit-1 (C1), 10 g bibit-1 (C2) dan 20 g bibit-1 (C3). Penetapan dosis pupuk majemuk dilakukan berdasarkan Uexkull (1992) yang dapat dilihat pada Lampiran 1 dan rincian dosis perlakuan disajikan pada Lampiran 2.
Secara keseluruhan diperoleh 16 kombinasi perlakuan dengan tiga ulangan. Setiap unit percobaan terdiri atas 5 bibit kelapa sawit sehingga terdapat 240 polybag. Model linier aditif dari rancangan yang digunakan sebagai berikut :
Yijk = µ + αi + βj + τk + (αβ)jk + εijk
Keterangan :
i = 1, 2, 3; j = 1, 2, 3, 4; k = 1, 2, 3, 4
Yijk = respon pengamatan pada unit percobaan yang mendapat perlakuan dosis pupuk majemuk NPK kalsium taraf ke-j dan dosis pupuk kalsium taraf ke-k pada kelompok ke-i.
µ = rataan umum
αi = pengaruh kelompok ke-i
βj = pengaruh perlakuan dosis pupuk majemuk NPK ke-j
τk = pengaruh perlakuan dosis pupuk kalsium ke-k
(αβ)jk = pengaruh interaksi perlakuan dosis majemuk NPK ke-j dan dosis pupuk kalsium ke-k
εijk = pengaruh acak dari kelompok ke-i, perlakuan dosis pupuk majemuk NPK ke-j dan perlakuan dosis pupuk kalsium ke-j
Pelaksanaan Percobaan Persiapan Areal Percobaan
Areal pembibitan dibersihkan dari gulma dan sisa tanaman lain yang dapat menjadi sumber organisme pengganggu tanaman. Pembersihan gulma dilakukan secara manual dengan cangkul sekaligus meratakan permukaan tanah.
Persiapan Media Tanam
Media yang digunakan untuk mengisi polybag adalah campuran top soil jenis Latosol dengan kedalaman 0-20 cm dan pupuk organik dengan perbandingan 7 : 1. Media dimasukkan ke dalam polybag sedikit demi sedikit, kemudian dipadatkan sehingga tidak terdapat rongga udara.
Penanaman Bibit
Bibit kelapa sawit yang normal dan seragam dipilih dari pre nursery. Pada media tumbuh dalam polybag berukuran 50 cm x 40 cm dibuat lubang tanam dengan ponjo. Kemudian, polybag bibit dibuka dengan dengan hati-hati agar perakaran bibit tidak terganggu. Bibit ditanam bersama media tanamnya. Polybag disusun sesuai pengacakan dengan jarak antar polybag 90 cm x 90 cm x 90 cm.
Pemupukan
Pupuk ditimbang sesuai dosis perlakuan dengan timbangan digital. Penetapan dosis pemupukan berdasarkan rekomendasi pemupukan pembibitan kelapa sawit (Uexkull 1992). Pemberian pupuk dilakukan setiap bulan dengan cara dibenamkan secara melingkar dengan jarak ± 10 cm dari tanaman. Pemberian pupuk kalsium dilakukan satu kali yaitu pada saat dua minggu setelah pindah tanam dari pre nursery ke main nursery. Dua minggu kemudian, diberikan pupuk majemuk NPK yang ditetapkan sebagai umur 0 bulan setelah perlakuan (BSP).
Penetapan dosis pupuk majemuk dilakukan berdasarkan Uexkull (1992) yang dapat dilihat pada Lampiran 1. Pemberian pupuk majemuk NPK dilakukan setiap bulan dengan dosis berikut : umur 0-2 BSP 0 g/bibit (M0), 5 g/bibit (M1), 10 g/bibit (M2) dan 20 g/bibit (M3); umur 3-7 BSP 0 g/bibit (M0), 20 g/bibit (M1), 40 g/bibit (M2) dan 80 g/bibit (M3) yang dapat dilihat pada Lampiran 2.
Pemeliharaan
Penyiraman dilakukan setiap hari sebanyak dua kali pada pagi dan sore hari masing-masing sebanyak 2 liter per polybag. Apabila turun hujan, tidak dilakukan penyiraman.
Gulma yang tumbuh di polybag dibersihkan secara manual, sekaligus menggemburkan tanah apabila terdapat pengerasan tanah. Selain itu, dilakukan penyiangan gulma di sekitar polybag.
Pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan penyemprotan insektisida delthametrin dan fungisida mancozeb setiap minggu. Konsentrasi yang digunakan adalah 2 ml l-1 dan 2 g l-1 air.
Pengamatan Tanggap Morfologi
Pengamatan tanggap morfologi dilakukan terhadap peubah berikut ini :
1. Tinggi Bibit. Tinggi bibit diukur dari batas leher akar sampai ke ujung daun yang tertinggi. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan pita meter setiap bulan.
2. Luas Daun Ke-empat. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan portable leaf area meter pada umur empat bulan. Daun yang diukur adalah daun yang ke-empat dari daun pertama setelah daun tombak.
3. Jumlah Daun. Jumlah daun yang dihitung merupakan daun yang telah membuka sempurna. Daun tombak yang belum membuka sempurna dihitung sebagai daun ke-nol Pengamatan dilakukan setiap bulan.
4. Diameter Batang. Diameter batang kelapa sawit merupakan kumpulan pelepah daun. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan jangka sorong dan diukur 5 cm di atas permukaan tanah setiap bulan.
Tanggap Fisiologi
Pengamatan tanggap fisiologi dilakukan terhadap peubah berikut ini :
1. Kerapatan Stomata. Pengamatan dilakukan sebanyak dua kali yaitu umur empat dan dua belas . Pengamatan sampel stomata dilakukan dengan cara mengoleskan selulosa asetat (cat kuku bening) di
permukaan atas dan bawah daun sekitar 2 cm x 2 cm dan dibiarkan mengering. Kemudian ditempelkan selotip bening pada permukaan daun yang telah diolesi dan ditekan agar pola stomata menempel sempurna. Selotip kemudian dilepaskan dan ditempelkan pada gelas objek. Stomata dapat diamati di bawah mikroskop elektron pada perbesaran 40 x 10. Jumlah stomata dihitung dengan rumus :
a) Kerapatan stomata
Kerapatan stomata = n/luas bidang pandang = x/1 cm2 Keterangan :
n = jumlah stomata/luas bidang pandang x = jumlah stomata/mm2
b) Luas bidang pandang mikroskop (L) L = πr2
Keterangan :
π = 3.14
R = jari-jari bidang pandang (0.5 mm dengan pembesaran 40 x 10)
2. Kandungan Klorofil. Kandungan klorofil diukur melalui pengamatan tingkat kehijauan daun dengan alat SPAD-502 plus chloropyll meter setiap bulan. Alat ini secara digital mengukur kehijauan dan jumlah relatif molekul klorofil yang terdapat di dalam daun dalam satu nilai berdasarkan jumlah cahaya yang ditransmisikan oleh daun. Pengukuran dilakukan pada umur 3-8 BSP pada daun ke-4. Sampel daun diletakkan pada titik alat pembaca, kemudian tombol pembaca tersebut ditekan. Pengukuran dilakukan pada tiga titik (pangkal, tengah dan ujung) yang berjarak ± 5 cm dari tepi leaflet. Berdasarkan Farhana et al. (2007) nilai