Penulis dilahirkan di Kota Sukabumi Jawa Barat pada tanggal 9 November 1977 sebagai anak keempat dari empat bersaudara dari pasangan Drs. M. Rachmat Kartaatmadja dan Rita Syulianti. Penulis mengawali pendidikan tinggi pada tahun 1997 di Sekolah Tinggi Teknologi Telkom (STT Telkom) Bandung. Penulis mengambil program Diploma 3 jurusan Teknik Informatika, dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun 2007 penulis melanjutkan pendidikan tingginya ke tingkat Sarjana di STMIK Nusa Mandiri. Penulis mengambil program studi Teknologi Informatika dan berhasil menyelesaikan pendidikannya pada tahun 2009 dengan gelar Sarjana Komputer (S.Kom).
Penulis sempat bekerja sebagai karyawan BPR swasta dan sistem analis di Konsultan IT, kemudian pada tahun 2005 penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) Pemerintah Kota Sukabumi. Saat ini penulis ditempatkan di Bagian Perlengkapan Setda dan Rumah Jabatan, Sekretariat Daerah Kota Sukabumi.
Pada tahun 2012, penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan tingginya ke jenjang S2 mealui program beasiswa Pusbindiklatren Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Penulis diterima di Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah pada Sekolah Pascasarjan Institut Pertanian Bogor (IPB).
1
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Proses pembangunan dapat diartikan sebagai upaya sistematis dan berkesinambungan untuk mencapai keadaan yang dapat memberikan beberapa alternatif bagi pencapaian aspirasi dan tujuan setiap warga negara yang humanistik (Rustiadi et al. 2011). Pembangunan harus mencerminkan perubahan dalam masyarakat, baik itu ekonomi, sosial, politik dan lain-lain.
Pembangunan daerah merupakan bagian dari Pembangunan Nasional, akan tetapi arah pembangunan daerah harus disesuaikan dengan kepentingan daerah itu sendiri. Dalam Undang–undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa Pemerintah Daerah baik tingkat provinsi maupun kabupaten memiliki peranan yang penting dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Pembangunan daerah perlu diarahkan untuk mendorong wilayah agar tumbuh secara mandiri berdasarkan potensi sosial ekonomi dan karakteristik spesifik wilayah yang dimilikinya. Ada tiga sasaran pengembangan wilayah dalam kerangka pembangunan daerah yang dicanangkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yaitu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, memperluas kesempatan berusaha, serta menjaga pembangunan agar tetap berjalan secara berkesinambungan (sustainable development).
Pendekatan pembangunan ini memang telah berhasil mempercepat perkembangan pusat pertumbuhan, namun tidak dapat diikuti oleh perkembangan wilayah hinterland. Pendekatan pembangunan yang selama ini lebih menekankan pada pertumbuhan ekonomi ternyata menimbulkan banyak masalah, karena cenderung mengabaikan kesenjangan-kesenjangan pembangunan antar wilayah. Investasi dan sumber daya lebih banyak terserap oleh perkotaan atau pusat pertumbuhan, sementara wilayah hinterland mengalami pengurasan sumber daya yang berlebihan sehingga menimbulkan kesenjangan pembangunan yang mengakibatkan proses perkembangan suatu wilayah tidak dapat berlangsung secara merata yang pada akhirnya menimbulkan disparitas atau ketimpangan pembangunan antar wilayah.
Posisi geografis Kota Sukabumi yang berjarak ± 120 Km dengan Kota Jakarta sebagai ibu kota negara dan Kota Bandung sebagai ibu kota propinsi ± 90 Km, menjadikan Kota Sukabumi berada pada posisi strategis karena berada diantara pusat pertumbuhan megaurban Jabodetabek dan Bandung Raya. Posisi strategis tersebut telah mendorong tingginya investasi sektor tersier terutama di bidang perdagangan dan jasa yang berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Perekonomian Kota Sukabumi yang ditunjukan oleh Laju Pertumbuhan Ekonomi meningkat cukup signifikan di tahun 2011 yaitu sebesar 6,31% (Tabel 1), meskipun masih berada di bawah laju pertumbuhan ekonomi Propinsi Jawa Barat yang tumbuh sebesar 6,48% (Lampiran1). Ini menunjukan bahwa Kota Sukabumi memiliki pertumbuhan ekonomi yang cukup baik dan berada di peringkat ke 6 dari 26 kabupaten/ kota yang ada di Provinsi Jawa Barat.
2
Tabel 1 Laju Pertumbuhan PDRB Kota Sukabumi Menurut Kelompok Sektor Tahun 2007-2011
Kelompok Sektor Tahun
2007 2008 2009 2010 2011
Atas Dasar Harga Berlaku (%)
1. Sektor Primer 3,79 19,05 9,56 13,14 7,5
2. Sektor Sekunder 15,04 19,66 15,3 18,04 10,92
3. Sektor Tersier 10,64 17,65 18,18 17,96 15,26
PDRB Kota Sukabumi 10,81 17,95 17,42 17,76 14,41 Atas Dasar Harga Konstan (%)
1. Sektor Primer 3,34 5,88 -8,5 1,87 1,8
2. Sektor Sekunder 7,92 8 3,89 7,23 5,96
3. Sektor Tersier 6,49 5,83 7,28 6,13 6,65
PDRB Kota Sukabumi 6,51 6,11 6,14 6,12 6,31
Pada Tabel 1 memperlihatkan bahwa berdasarkan harga konstan pada tahun 2011, adanya kekuatan kelompok tersier yang mendominasi pertumbuhan tertinggi sebesar 6,65%, diikuti kelompok sekunder 5,96% dan yang terendah adalah sektor primer sebesar 1,8%. Kondisi tersebut mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi Kota Sukabumi sebesar 6,31%. Tingginya kontribusi sektor tersier menunjukan bahwa perkembangan wilayah Kota Sukabumi telah didominasi oleh aktifitas perdagangan, jasa dan pelayanan.
Sesuai dengan kondisi obyektif yang terus berkembang, pertumbuhan kota mengarah kepada kegiatan perekonomian yang berbasis pada jasa meliputi perdagangan, perhotelan, perbankan, kesehatan, pendidikan dan pertanian. Hal inilah yang mendasari penetapan visi kedepan keberadaan Kota Sukabumi ” Terwujudnya Kota Sukabumi sebagai Pusat Pelayanan Berkualitas Bidang Pendidikan, Kesehatan dan Perdagangan di Jawa Barat Berlandaskan Iman dan Takwa ” yang kemudian ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kota Sukabumi No.7 Tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kota Sukabumi 2005 – 2025.
Pada proses pengembangan wilayah, Kota Sukabumi yang cukup berhasil meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi menghadapi masalah dalam hal pemerataan pembangunan antar kecamatan. Dimana masih adanya wilayah- wilayah dengan pertumbuhan ekonomi yang rendah dan ada wilayah yang maju dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Ketidakmerataan pembangunan antar kecamatan diduga karena adanya perubahan batas wilayah administratif dimana daerah yang baru bergabung tidak memiliki perkembangan yang sama dengan daerah lama. Kawasan Kota Sukabumi yang terletak di bagian selatan didominasi oleh wilayah hasil pemekaran yang berasal dari wilayah Kabupaten Sukabumi dan masih bercirikan daerah rural, sedangkan yang terletak di daerah utara sudah bercirikan urban.
Berdasarkan PP No.3 Tahun 1995 tentang Perubahan Batas Wilayah Kotamadya DT. II Sukabumi dan Kabupaten DT. II Sukabumi, terjadi perubahan/ perluasan wilayah Kota Sukabumi menjadi 48 Km2. Sebagian wilayah Kabupaten
3 Sukabumi menjadi bagian wilayah administratif Kotamadya Sukabumi, sehingga Kotamadya Sukabumi mengalami perluasan wilayah administratif dan penambahan jumlah desa/ kelurahan. Pada tahun 2000 berdasarkan Perda No.15 tahun 2000 tentang pembentukan kecamatan dan kelurahan di Kota Sukabumi, ditetapkan perubahan wilayah adminstratif menjadi 7 (tujuh) kecamatan dan 33 (tigapuluh tiga) kelurahan. Pemekaran wilayah dan perubahan wilayah administrasi Kota Sukabumi tersebut berdampak terhadap pengembangan wilayah dan permasalahannya dalam hal pemerataan pembangunan antar kecamatan.
Salah satu indikator untuk mengetahui terjadinya ketimpangan dalam pemerataan pembangunan antar kecamatan dapat dilihat dari kontribusi PDRB perkecamatan. Perkembangan PDRB setiap kecamatan di Kota Sukabumi diketahui memiliki perbedaan yang cukup besar (Tabel 2), dimana nilai PDRB kecamatan yang berada di bagian selatan jauh lebih kecil dibandingkan dengan PDRB kecamatan bagian utara. PDRB diyakini dapat memberikan Gambaran keberhasilan pembangunan wilayah melaui pertumbuhan ekonomi, struktur ekonomi, dan peranan sektor ekonomi yang diukur dari perbedaan PDRB tahun tertentu dengan tahun sebelumnya.
Tabel tersebut menggambarkan bahwa kegiatan ekonomi di Kota Sukabumi terkonsentrasi di Kecamatan Cikole yang memberikan kontribusi ekonomi sebesar 28,36%, diikuti oleh kecamatan-kecamatan disekitarnya yang berada di kawasan Kota Sukabumi Utara dengan besarnya kontribusi diatas 14%. Sementara kecamatan-kecamatan lain yang berada di kawasan Kota Sukabumi Selatan hanya memberikan kontribusi yang besarnya tidak mencapai 8%. Besarnya perbedaan kontribusi PDRB kecamatan dapat terlihat jelas dengan grafik yang terdapat pada Gambar 1.
Berdasarkan Gambar 1 dapat diketahui bahwa dari tahun 2007 hingga 2011 kawasan Kota Sukabumi Utara yang terdiri dari 4 kecamatan memiliki kontribusi yang jauh berbeda dengan kawasan Kota Sukabumi Selatan yang terdiri dari 3 kecamatan. Kondisi ini memperlihatkan adanya ketimpangan pembangunan ekonomi antar wilayah di Kota Sukabumi.
Tabel 2 PDRB Kecamatan Atas Dasar Harga Konstan di Kota Sukabumi Tahun 2009-2011
Kecamatan
Tahun
2009 2010 2011
PDRB Kontribusi PDRB Kontribusi PDRB Kontribusi (juta rupiah) (%) (juta rupiah) (%) (juta rupiah) (%) Cikole 479.033,84 26,47 518.954,00 27,02 553.328,63 27,10 Citamiang 342.088,99 18,90 358.531,21 18,67 381.957,99 18,71 Gunungpuyuh 270.569,74 14,95 284.493,24 14,81 302.238,47 14,80 Warudoyong 385.102,94 21,28 409.341,66 21,31 435.978,20 21,35 Baros 108.462,36 5,99 113.552,20 5,91 119.690,62 5,86 Cibeureum 95.608,81 5,28 99.662,32 5,19 104.823,26 5,13 Lembursitu 128.964,55 7,13 136.192,42 7,09 143.952,57 7,05 Jumlah 1.809.831,23 100,00 1.920.727,05 100,00 2.041.969,74 100,00
4
Menurut Rustiadi et al. (2011), ketidakmerataan pembangunan antar wilayah dapat menimbulkan urban bias yang mendorong percepatan urbanisasi dan pada akhirnya dapat menimbulkan biaya-biaya sosial yang tinggi dan berdampak pada tidak meratanya jumlah dan kepadatan penduduk. Proses migrasi akan terjadi sebagai respon dari masyarakat karena adanya ekpektasi meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang bermigrasi. Hal ini disebabkan wilayah yang lebih maju akan menarik SDM dari wilayah lain, sehingga perkembangan daerah yang ditinggalkan menjadi tidak optimal.
Perkembangan kawasan Kota Sukabumi Utara yang dilengkapi sarana dan prasarana dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik telah membuat kepadatan penduduk perkecamatan di wilayah ini memiliki tingkat kepadatan penduduk diatas rata-rata, sementara kawasan Kota Sukabumi Selatan tingkat kepadatan penduduknya masih dibawah rata-rata. Jika ditinjau dari Luas wilayah Kota Sukabumi yang hanya 4.800 Ha atau 48 Km2, dan Jumlah Penduduk pada tahun 2011 sebanyak 356.085 jiwa, maka kepadatan penduduk rata-rata per Km2 adalah 7.418,08 jiwa/Km2.
Perumusan Masalah
Ketimpangan pembangunan akan melahirkan beberapa masalah, diantaranya terjadi urbanisasi masyarakat dari wilayah yang tertinggal ke wilayah perkotaan, yang menambah permasalahan di pusat pertumbuhan sekaligus memperlemah daerah yang tertinggal. Wilayah hinterland menjadi lemah karena pengurasan sumber daya (backwash), sementara nilai tambah mengalir dan terakumulasi di pusat-pusat pertumbuhan. Disparitas pembangunan antar wilayah ini dapat menyebabkan timbulnya daerah tertinggal atau terbelakang yang apabila tidak ditangani secara tepat melalui kebijakan pemerintah, dapat menimbulkan berbagai masalah yang dapat menghambat pembangunan wilayah itu sendiri. Oleh karenanya diperlukan kajian dan identifikasi mengenai arahan kebijakan
Gambar 1 Grafik PDRB Kecamatan tahun 2007-2011 di Kota Sukabumi
.0 100000.0 200000.0 300000.0 400000.0 500000.0 600000.0 2007 2008 2009 2010 2011 Cikole Citamiang Gunungpuyuh Warudoyong Baros Cibereum Lembursitu
5 pengembangan wilayah. Hal ini penting pada perumusan kebijakan daerah untuk menciptakan pemerataan pembangunan dalam rangka pengembangan wilayah Kota Sukabumi.
Dari beberapa uraian di atas, maka yang menjadi pertanyaan dan perlu dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Berapa besaran tingkat dan dekomposisi disparitas pembangunan antar wilayah?
2. Apa saja potensi sektor ekonomi yang dimiliki tiap kecamatan?
3. Bagaimana tingkat perkembangan ekonomi dan hirarki masing-masing kecamatan?
4. Bagaimana persepsi stakeholders terhadap prioritas pembangunan wilayah? 5. Apa arahan kebijakan yang tepat untuk pengembangan wilayah Kota
Sukabumi?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah tersebut di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis tingkat dan dekomposisi disparitas pembangunan wilayah di Kota Sukabumi.
2. Mengidentifikasi potensi sektor ekonomi yang dimiliki tiap kecamatan di Kota Sukabumi.
3. Mengetahui tingkat perkembangan ekonomi dan hirarki masing-masing kecamatan di Kota Sukabumi.
4. Mengetahui persepsi stakeholder terhadap prioritas pembangunan wilayah di Kota Sukabumi
5. Mengkaji arahan kebijakan pengembangan wilayah Kota Sukabumi. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai:
1. Bahan informasi dan pemikiran bagi pemerintah daerah tentang arahan pengembangan wilayah Kota Skabumi.
2. Bahan masukan dalam perumusan kebijakan pembangunan daerah.
3. Bahan pembelajaran dan pengembangan perencanaan wilayah dengan isu sentralnya adalah pengembangan wilayah untuk mengatasi disparitas pembangunan antar wilayah.
Kerangka Pemikiran
Paradigma lama yang lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi dengan kebijakan pembangunan yang sentralistik pada dasarnya telah membuat pertumbuhan ekonomi di Kota Sukabumi secara agregat mengalami perkembangan yang cukup baik. Namun apakah keberhasilan ini juga telah mampu menciptakan pemerataan pembangunan diseluruh wilayah Kota Sukabumi yang mengalami pemekaran wilayah pada tahun 1995.
6
Kondisi eksisting di Kota Sukabumi berdasarkan kontribusi PDRB dan data Podes mengenai ketersediaan sarana prasarana antar wilayah dapat diketahui apakah program pengembangan wilayah telah berhasil menciptakan pemerataan pembangunan antar wilayah atau sebaliknya. Dengan analisis disparitas akan diketahui tingkat keberhasilan pengembangan wilayah Kota Sukabumi dalam mengatasi ketimpangan antar wilayah. Hal tersebut diperlukan untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan/ efektifitas program pembangunan Kota Sukabumi yang telah dilakukan.
Jika ternyata masih terdapat ketimpangan antar wilayah di Kota Sukabumi maka perlu diketahui wilayah-wilayah mana saja yang memiliki perkembangan ekonomi dan hirarki yang cukup baik dan mana yang kurang berkembang. Ini penting diketahui untuk menentukan prioritas wilayah untuk dikembangkan. Selain itu untuk pengembangan wilayah Kota Sukabumi perlu juga diperhatikan potensi-potensi sektor ekonomi yang dimiliki masing-masing wilayah dan persepsi stakeholder untuk menentukan arahan kebijakan yang tepat dalam menciptakan pembangunan Kota Sukabumi yang merata.
Secara umum, kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.
PENGEMBANGAN WILAYAH
KOTA SUKABUMI KONDISI EKSISTING
DISPARITAS? TINGKAT PERKEMBANGAN WILAYAH PERSEPSI STAKEHOLDER
ARAHAN PENGEMBANGAN WILAYAH KOTA SUKABUMI Tidak Ya PEMEKARAN WILAYAH PARADIGMA LAMA PEMBANGUNAN · Pertumbuhan Ekonomi · Sentralistik POTENSI SEKTOR EKONOMI
7
2
TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Pengembangan Wilayah
Dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional. Menurut Rustiadi et al. (2011) wilayah dapat didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik tertentu dimana komponen-komponen wilayah tersebut satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional. Komponen-komponen wilayah mencakup komponen biofisik alam, sumber daya buatan (infrastruktur), manusia serta bentuk-bentuk kelembagaan. Dengan demikian istilah wilayah menekankan interaksi antar manusia dengan sumber daya-sumber daya lainnya yang ada di dalam suatu batasan unit geografis tertentu.
Dalam Peraturan Daerah Kota Sukabumi No. 11 tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Sukabumi tahun 2011-2031 disebutkan bahwa Wilayah Kota adalah seluruh wilayah Kota Sukabumi yang meliputi ruang darat dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi berdasarkan ketentuan peraturan perundangan-undangan. Dalam proses pengembangannya, wilayah Kota Sukabumi diarahkan pada kawasan budi daya untuk mendorong pertumbuhan wilayah. Kawasan budi daya merupakan wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya buatan.
Konsep wilayah yang paling klasik (Hagget et al., 1977 dalam Rustiadi et al., 2011) mengenai tipologi wilayah, mengklasifikasikan konsep wilayah ke dalam tiga kategori, yaitu: 1) wilayah homogen (uniform/homogenous region), 2) wilayah nodal (nodal region), dan 3) wilayah perencanaan (planning region atau programming region). Sejalan dengan konsep wilayah nodal, maka suatu wilayah dipandang secara dikotomis (tebagi menjadi dua bagian), yaitu wilayah inti (pusat wilayah/ pertumbuhan) dan wilayah hinterland (daerah belakang) yang memiliki hubungan fungsional.
Wilayah inti berfungsi sebagai: (1) tempat terkonsentrasinya penduduk (pemukiman); (2) pusat pelayanan terhadap daerah hinterland; (3) pasar bagi komoditas-komoditas pertanian maupun industri dan (4) lokasi pemusatan industri manufaktur. Sementara wilayah hinterland berfungsi sebagai: (1) pemasok (produsen) bahan mentah; (2) pemasok tenaga kerja; (3) daerah pemasaran barang dan jasa industri manufaktur dan (4) penjaga keseimbangan ekologis.
Pengembangan wilayah merupakan program menyeluruh dan terpadu dari semua kegiatan dengan memperhitungkan sumber daya yang ada dan memberikan kontribusi pada pembangunan suatu wilayah. Konsep pengembangan wilayah adalah suatu upaya dalam mewujudkan keterpaduan penggunaan sumber daya dengan penyeimbangan dan penyerasian pembangunan antar daerah, antar sektor serta pelaku pembangunan dalam mewujudkan tujuan pembangunan daerah. Strategi pengembangan suatu wilayah sangat ditentukan oleh karakteristik dan potensi yang terdapat di wilayah tersebut. Oleh karena itu, sebelum melakukan suatu perumusan tentang kebijakan yang akan dilaksanakan perlu untuk
8
mengetahui tipe/jenis kebijakan yang tepat dilakukan dalam pengembangan wilayah. Menurut Anwar (2005) dalam suatu wilayah akan terdapat beberapa macam karakteristik wilayah yaitu:
1. Wilayah maju
2. Wilayah sedang berkembang 3. Wilayah belum berkembang, dan 4. Wilayah tidak berkembang
Wilayah maju adalah wilayah yang telah berkembang yang biasanya dicirikan sebagai pusat pertumbuhan. Di wilayah ini terdapat pemusatan penduduk, industri, pemerintahan dan sekaligus pasar yang potensial. Wilayah yang sedang berkembang biasanya dicirikan oleh pertumbuhan yang cepat dan biasanya merupakan wilayah penyangga dari wilayah maju, karena itu mempunyai aksesibilitas yang sangat baik terhadap wilayah maju, juga dicirikan oleh potensi sumber daya alam yang tinggi, pendapatan dan kesempatan kerja yang tinggi, namun belum terjadi kesesakan dan tekanan biaya sosial. Sedangkan wilayah yang belum berkembang tingkat pertumbuhannya masih rendah baik secara absolut, maupun secara relatif, namun memiliki potensi sumber daya alam yang belum dikelola atau dimanfaatkan, tingkat kepadatan penduduk yang masih rendah, pendapatan dan pendidikan yang juga relatif rendah. Wilayah yang tidak berkembang dicirikan oleh dua hal yaitu : (a) wilayah tersebut memang tidak memiliki potensi baik potensi sumber daya alam maupun potensi lokasi, sehingga secara alamiah sulit sekali berkembang dan mengalami pertumbuhan dan (b) wilayah tersebut sebenarnya memiliki potensi, baik sumber daya alam atau lokasi maupun memiliki keduanya, tetapi tidak dapat berkembang dan bertumbuh karena tidak memiliki kesempatan dan cenderung dieksploitasi oleh wilayah lain.
Setelah tipe/ jenis wilayah diketahui, maka dapat dirumuskan kebijakan yang tepat dalam kerangka pengembangan wilayah. Salah satu aspek dalam pengembangan wilayah yang perlu diperhatikan adalah kegiatan perencanaan wilayah. Menurut Tarigan (2008) perencanaan wilayah adalah perencanaan penggunaan ruang wilayah dan perencanaan kegiatan pada ruang wilayah tersebut. Perencanaan penggunaan ruang wilayah diatur dalam bentuk perencanaan tata ruang wilayah, sedangkan perencanaan kegiatan dalam wilayah diatur dalam perencanaan pembangunan wilayah. Salah satu pendekatan dalam perencanaan pembangunan menurut Tarigan (2008) adalah pendekatan sektoral. Pendekatan sektoral dilakukan dengan mengelompokkan kegiatan pembangunan kedalam sektor-sektor, selanjutnya masing-masing sektor dianalisis satu persatu untuk menetapkan apa yang dapat dikembangkan atau ditingkatkan dari sektor-sektor tersebut guna mengembangkan wilayah.
Alkadri et al. (2001) mengatakan bahwa pengembangan wilayah pada umumnya mencakup berbagai dimensi pembangunan yang dilaksanakan secara bertahap. Pada tahap awal, kegiatan pengembangan wilayah biasanya ditekankan pada pembangunan fisik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, kemudian diikuti dengan pembangunan sistem sosial dan politik. Namun begitu, tahapan ini bukanlah merupakan suatu ketentuan yang baku, karena setiap wilayah mempunyai potensi pertumbuhan yang berbeda dengan wilayah lain. Potensi sumber daya alam, kondisi sosial, budaya, ekonomi masyarakat, ketersediaan infrastruktur dan lain-lain sangat berpengaruh pada penerapan konsep pengembangan wilayah yang digunakan.
9 Kesenjangan Pembangunan antar Wilayah
Pendekatan pembangunan daerah yang selama ini dilaksanakan, terlalu menekankan pada batas-batas administratif yang sering tidak mengakomodasikan keragaman potensi, permasalahan dan keterkaitan antar daerah. Wilayah-wilayah yang memerlukan penanganan atau intervensi pemerintah untuk dapat dikembangkan meliputi kawasan yang sangat luas, sementara sumber daya yang dimiliki untuk mengelolanya relatif terbatas.
Pembangunan berbasis pengembangan wilayah memandang pentingnya keterpaduan antar sektor, spasial, serta pelaku pembangunan di dalam maupun antar daerah, sehingga tujuan dari pembangunan berupa pertumbuhan (growth), pemerataan (equity), dan keberlanjutan (sustainability) dapat dicapai. Namun demikian pembangunan wilayah yang dilaksanakan seringkali dihadapkan pada pilihan yang bersifat trade off sehingga salah satu dari ketiga tujuan tersebut tidak dapat dicapai. Pembangunan yang dilaksanakan seringkali tidak bisa merata baik antar sektor maupun antar wilayah sehingga menyebabkan terjadinya kesenjangan pembangunan atau disparitas pembangunan antar wilayah.
Menurut Chaniago et al. (2000) kesenjangan diartikan sebagai suatu kondisi yang tidak seimbang atau ketidakberimbangan atau ketidaksimetrisan. Dihubungkan dengan pembangunan sektoral atau wilayah, kesenjangan pembangunan adalah suatu kondisi ketidakberimbangan pembangunan antar sektor dan antar wilayah yang ditunjukkan oleh perbedaan pertumbuhan antar wilayah. Kesenjangan pertumbuhan antar wilayah tergantung pada perkembangan struktur sektor-sektor ekonomi dan struktur wilayah (perkembangan sarana dan prasarana sosial-ekonomi, seperti sarana pendidikan, kesehatan, perumahan, transportasi, sanitasi dan lain-lain). Kesenjangan pembangunan yang terjadi dapat menyebabkan munculnya berbagai permasalahan baik masalah sosial, politik, ekonomi dan lingkungan.
Penyebab dari kesenjangan pembangunan antar wilayah sebagaimana diungkapkan Rustiadi et al. (2011) antara lain :
1) Faktor Geografis
Suatu wilayah atau daerah yang sangat luas akan terjadi variasi pada keadaan fisik alam berupa topografi, iklim, curah hujan, sumber daya mineral dan variasi spasial lainnya. Apabila faktor-faktor lainnya sama, maka wilayah dengan kondisi geografis yang lebih baik akan berkembang dengan lebih baik. 2) Faktor Historis
Perkembangan masyarakat dalam suatu wilayah tergantung dari kegiatan atau budaya hidup yang telah dilakukan masa lalu. Bentuk kelembagaan atau budaya dan kehidupan perekonomian pada masa lalu merupakan penyebab yang cukup penting terutama yang terkait dengan sistem insentif terhadap kapasitas kerja. Wilayah yang memiliki sejarah kelembagaan dan kehidupan perekonomian yang maju akan berkembang lebih baik.
3) Faktor Politis
Tidak stabilnya suhu politik sangat mempengaruhi perkembangan dan pembangunan di suatu wilayah. Instabilitas politik akan menyebabkan orang ragu untuk berusaha atau melakukan investasi sehingga kegiatan ekonomi di suatu wilayah tidak akan berkembang, bahkan terjadi pelarian modal ke luar
10
wilayah, untuk diinvestasikan ke wilayah yang lebih stabil. Wilayah dengan stabilitas politik yang terjaga akan berkembang lebih baik.
4) Faktor Kebijakan
Terjadinya kesenjangan antar wilayah bisa diakibatkan oleh kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah yang sentralistik hampir di semua sektor, dan lebih menekan pertumbuhan dan membangun pusat-pusat pembangunan di wilayah tertentu menyebabkan kesenjangan yang luar biasa antar daerah. Menurut Lessmann (2006) negara dengan tingkat desentralisasi fiskal yang tinggi memiliki kesenjangan wilayah yang rendah. Kewenangan dan otonomi lokal terhadap kapasitas fiskal wilayah yang besar akan dapat mengurangi kesenjangan.
5) Faktor Administratif
Kesenjangan wilayah dapat terjadi karena perbedaan kemampuan pengelolaan administrasi. Wilayah yang dikelola dengan administrasi yang baik cenderung lebih maju. Wilayah yang ingin maju harus mempunyai administrator yang jujur, terpelajar, terlatih, dengan sistem administrasi yang efisien.
6) Faktor Sosial
Masyarakat yang tertinggal cenderung memiliki kepercayaan-kepercayaan yang primitif, kepercayaan tradisional dan nilai-nilai sosial yang cenderung