• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Regional Development Study of Sukabumi City

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The Regional Development Study of Sukabumi City"

Copied!
192
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH

KOTA SUKABUMI

NOVIAR PAHLEVI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Studi Pengembangan Wilayah Kota Sukabumi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

NOVIAR PAHLEVI. Studi Pengembangan Wilayah Kota Sukabumi. Dibimbing oleh SETIA HADI dan SOEKMANA SOMA.

Pada proses pengembangan wilayah, Kota Sukabumi yang cukup berhasil meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi menghadapi masalah dalam hal pemerataan pembangunan antar kecamatan. Ketidakmerataan pembangunan antar kecamatan diduga karena adanya perubahan batas wilayah administratif dimana daerah yang baru bergabung tidak memiliki perkembangan yang sama dengan daerah lama. Disparitas pembangunan antar wilayah ini dapat menyebabkan timbulnya daerah tertinggal atau terbelakang yang apabila tidak ditangani secara tepat melalui kebijakan pemerintah, dapat menimbulkan berbagai masalah yang dapat menghambat pembangunan wilayah itu sendiri. Oleh karenanya diperlukan kajian dan identifikasi mengenai arahan kebijakan pengembangan wilayah. Hal ini penting pada perumusan kebijakan daerah untuk menciptakan pemerataan pembangunan dalam rangka pengembangan wilayah Kota Sukabumi.

Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk: (1) Menganalisis besaran tingkat dan dekomposisi disparitas pembangunan wilayah, (2) Mengidentifikasi potensi sektor ekonomi yang dimiliki tiap kecamatan, (3) Mengetahui tingkat perkembangan ekonomi dan hirarki masing-masing kecamatan, (4) Mengetahui persepsi stakeholder terhadap prioritas pembangunan wilayah, dan (5) Mengkaji arahan kebijakan pengembangan wilayah Kota Sukabumi.

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dan kuisioner terhadap para responden/ stakeholder. Sedangkan data sekunder meliputi: (1) Data Potensi Desa (PODES) Tahun 2011; (2) Data PDRB; dan (3) Data Peta Administratif Wilayah. Data direncanakan diperoleh dari Bappeda Kota Sukabumi, Badan Pusat Statistik (BPS), dan dinas/badan/instansi terkait lainnya. Sementara metode analisis yang digunakan adalah Indeks Williamson dan Indeks Theil untuk mengetahu tingkat dan dekomposisi disparitas, LQ dan SSA untuk mengidentifikasi potensi sektor ekonomi, Entropi dan skalogram untuk mengetahui tingkat perkembangan wilayah, AHP untuk mengetahui prioritas pengembangan wilayah dan metode deskriptif untuk menentukan arahan kebijakan pengembangan wilayah Kota Sukabumi.

Berdasarkan hasil analisis disparitas wilayah ternyata terdapat kesenjangan wilayah di Kota Sukabumi pada tingkat sedang/ tidak merata. Bahkan dalam kurun waktu 2007 sampai 2011 tingkat disparitas di Kota Sukabumi mengalami kenaikan. Ini berarti bahwa pembangunan yang telah dilakukan selama ini belum efektif menciptakan pemerataan antar wilayah di Kota Sukabumi.

(5)

bahwa Kecamatan Baros, Kecamatan Cibeureum dan Kecamatan Lembursitu merupakan wilayah yang perlu diprioritaskan untuk dikembangkan karena ketiga wilayah tersebut merupakan wilayah dengan tingkat perkembangan yang paling rendah dan kurang berkembang.

Arahan kebijakan pengembangan wilayah Kota Sukabumi yang perlu dilakukan diantaranya pengembangan menurut tingkat perkembangan wilayah yang dibagi kedalam wilayah inti dan wilayah hinterland. Dimana kedua wilayah ini harus diarahkan pada interaksi yang saling menguntungkan sehingga mampu meningkatkan perkembangan antar wilayah di Kota Sukabumi. Sementara hasil sintesis analisis LQ dan SSA dipergunakan untuk menentukan potensi sektor ekonomi unggulan yang diarahkan pada pengembangan sektor pertanian agar pembangunan yang terjadi di Kota Sukabumi tetap menjaga adanya keseimbangan ekologis/ pembangunan berkelanjutan.

(6)

SUMMARY

NOVIAR PAHLEVI. The Regional Development Study of Sukabumi City. Supervised by SETIA HADI and SOEKMANA SOMA.

In regional development process, Sukabumi city is quite successful in increasing the rate of economic growth, but get problem in the distribution of development between sub-districts. Disparity of sub-districts allegedly due to the changed of administrative boundaries that the new districts which are joined recently have not similar development with the old districts. Disparity between regions can cause lagging or underdeveloped areas which if not properly handled through government policy, can cause various problems that can obstruct the development of the area itself. Therefore need a study and identification of the policy directives of regional development. It is important in the formulation of regional policies to create equitable development in order to develop Sukabumi City.

Based on the issue formulation, the study aims to: (1) analyze the level and the decomposition of regional development disparities in Sukabumi City, (2) identify potential economic sectors in each sub-district in Sukabumi, (3) determine the level of economic development and their hierarchy in each sub-district in Sukabumi, (4) Find out the stakeholder’s perception on regional development priorities of Sukabumi, and (5) reviewing regional development policy directives in Sukabumi.

Data used in this study are primary data and secondary data. The primary data obtained through interviews and questionnaires to the respondents/stakeholder, while secondary data include: (1) Potency of villages (PODES) in 2011, (2) GDP, and (3) Administrative of Region Map. Data obtained from Bappeda Sukabumi, the Central Statistics Agency (BPS), and other relevant department/agency/authorities. Analyzing methods used are the Williamson index and Theil index for decomposition and determines the level of disparity, LQ and SSA to identify potential sectors of the economy, Entropy and schallogram to determine the level of development of the region, the AHP to determine priorities for regional development and descriptive method to determine the regional development policy directives of Sukabumi.

Based on the disparity analysis, there are regional disparities in Sukabumi at a medium level/uneven. Even, in the period 2007 to 2011 the level of disparity in Sukabumi has increased. This means that the development has been done so far has not been effectively create equity between regions in Sukabumi. To overcome this problem, it is necessary to arrange regional development directives based on the potential of economic sector and level of development of each region.

(7)

Directions of regional development policy of Sukabumi should be done according to the level of regional development which are divided into a node and its hinterland. Both of these two regions should be directed to the mutual interaction, which enhances the development between regions in Sukabumi. The results of the analysis and synthesis of LQ and SSA are used to determine the potential of leading economic sectors aimed to the development of the agricultural sector so that the development in Sukabumi maintaining a balance of ecological / sustainable development.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH

KOTA SUKABUMI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(10)
(11)

Judul Tesis : Studi Pengembangan Wilayah Kota Sukabumi Nama : Noviar Pahlevi

NIM : A156120464

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Setia Hadi, MS Ketua

Dr. Ir. Soekmana Soma, MSP, MEng Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

Prof Dr Ir Santun R.P. Sitorus

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 27 Desember 2013

(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2013 ini adalah Studi Pengembangan Wilayah Kota Sukabumi.

Penelitian ini tidak terlepas dari peran dan dukungan berbagai pihak. Ucapan terima kasih penulis ucapkan sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Dr Ir Setia Hadi, MS dan Bapak Dr. Ir. Soekmana Soma, MSP, M.Eng selaku komisi pembimbing, serta Bapak Dr. Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc selaku penguji luar komisi yang telah banyak memberi arahan dan saran. 2. Pimpinan/staf Pusbindiklatren Bappenas yang telah memberikan kesempatan

beasiswa dan Pemerintah Kota Sukabumi yang telah memberikan ijin pelaksanaan tugas belajar kepada penulis.

3. Segenap pengajar dan manajeman Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah Pasca Sarjana IPB yang telah memberikan ilmu, pengetahuan dan membantu penulis dalam pelaksanaan studi.

4. Orang-orang terkasih yaitu kedua orang tua, mertua, istriku tercinta Tria Selfiyanti, anakku tersayang Maheswari Indyra Pahlevi serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya.

5. Rekan-rekan PWL 2012 dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas bantuan baik moril maupun materiil selama studi dan penulisan tesis ini.

Akhirnya penulis berharap semoga karya ilmiah yang masih jauh dari sempurna ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN viii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 5

Kerangka Pemikiran 5

2 TINJAUAN PUSTAKA 7

Konsep Pengembangan Wilayah 7

Kesenjangan Pembangunan antar Wilayah 9

Potensi Sektor Ekonomi 11

Penelitian Sebelumnya Mengenai Pengembangan Wilayah 12

3 METODE 14

Lokasi dan Waktu Penelitian 14

Jenis dan Metode Pengumpulan Data 14

Bagan Alir Penelitian 16

Teknik Analisis Data 17

Analisis Kesenjangan Wilayah 17

Analisis Potensi Sektor Ekonomi 19

Analisis Tingkat Perkembangan Wilayah 20

Analisis Isu Utama Kebijakan Pengembangan Wilayah 23

4 KONDISI UMUM WILAYAH 25

Kondisi Fisik 25

Geografi dan Administrasi 25

Iklim dan Curah Hujan 27

Hidrologi 27

Topografi dan Kemiringan Lereng 28

Penggunaan Lahan 28

Kondisi Sosial 29

Penduduk 29

Tenaga kerja 30

Pendidikan 31

Kondisi Ekonomi 33

Keuangan Daerah 33

(14)

Pendapatan Perkapita 34

Pendapatan antar Wilayah 35

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 36

Disparitas Pembangunan Wilayah di Kota Sukabumi 36 Identifikasi Potensi Ekonomi Setiap Wilayah di Kota Sukabumi 41

Potensi Sektor Komparatif 41

Potensi Sektor Kompetitif 45

Tingkat Perkembangan antar Wilayah di Kota Sukabumi 48 Perkembangan Diversitas Aktifitas Perekonomian 48

Hirarki Wilayah 51

Prioritas Pembangunan Wilayah berdasarkan Persepsi Stakeholders di Kota

Sukabumi 55

Arahan Kebijakan dalam Pengembangan Wilayah Kota Sukabumi 58

Arahan Pengembangan Wilayah Kelurahan 58

Prioritas Kecamatan dalam Pengembangan Wilayah Kota Sukabumi61 Pengembangan Potensi Ekonomi Kecamatan dan Pertanian Pangan

Berkelanjutan 62

Pengembangan Sumber Daya Manusia 66

6 KESIMPULAN DAN SARAN 69

Kesimpulan 69

Saran 70

DAFTAR PUSTAKA 71

LAMPIRAN 75

(15)

DAFTAR TABEL

1 Laju Pertumbuhan PDRB Kota Sukabumi Menurut Kelompok

Sektor Tahun 2007-2011 2

2 PDRB Kecamatan Atas Dasar Harga Konstan di Kota Sukabumi

Tahun 2009-2011 3

3 Jenis, Sumber, cara Pengumpulan dan Analisis Data 15

4 Penentuan Nilai Selang Hirarki 22

5 Rincian Data Calon Responden 23

6 Kecamatan dan Kelurahan dalam Wilayah administrasi Kota

Sukabumi 26

7 Luas Tanah per Kecamatan dan Penggunaannya tahun 2011 (Ha) 28 8 Luas Lahan Kering/Bukan Sawah dan Penggunaannya tahun 2011

(Ha) 29

9 Jumlah Penduduk, Luas dan Kepadatan Kota Sukabumi, tahun 2011 29 10 Jumlah Penduduk menurut mata pencaharian tahun 2011 31 11 Jumlah Pelajar menurut jenjang pendidikan TA 2010/ 2011 32 12 Ringkasan Laporan Realisasi APBD Tahun Anggaran 2011 33 13 Struktur Ekonomi Kota Sukabumi menurut Kelompok Sektor Atas

Dasar Harga Berlaku tahun 2007-2011 (persen) 34 14 Kontribusi PDRB Kecamatan tahun 2007 – 2011 (persen) 35 15 Indeks Williamson Kota Sukabumi pada tahun 2011 36

16 Indeks Theil Kota Sukabumi pada tahun 2011 39

17 Nilai LQ berdasarkan nilai PDRB kecamatan persektor di Kota

Sukabumi Tahun 2011 42

18 Identifikasi sektor basis persektor di Kota Sukabumi tahun 2011 42 19 Hasil SSA berdasarkan Data PDRB per sektor di Kota Sukabumi

tahun 2007 dan 2011 45

20 Hubungan antara nilai differential shift dengan nilai proportional

shift 47

21 Identifikasi sektor kompetitif di Kota Sukabumi tahun 2011 47 22 Indeks Entropi Kecamatan di Kota Sukabumi tahun 2011 49 23 Indeks Entropi per Sektor di Kota Sukabumi tahun 2007-2011 51 24 Hirarki Wilayah Kecamatan berdasarkan Nilai IPK tahun 2011 52

25 Arahan pengembangan wilayah kelurahan 59

DAFTAR GAMBAR

1 Grafik PDRB Kecamatan tahun 2007-2011 di Kota Sukabumi 4

2 Kerangka Pemikiran Penelitian 6

3 Bagan alir Penelitian 16

4 Struktur AHP 24

(16)

6 Jumlah pencari kerja menurut tingkat pendidikan dan jenis kelamin

pada tahun 2011 30

7 Persentase penduduk 10 tahun ke atas menurut ijasah tertinggi yang

dimiliki 32

8 Perkembangan Indeks Williamson tahun 2007 – 2011 di Kota

Sukabumi 37

9 Perkembangan Indeks Williamson tahun 2007 – 2011 di kawasan

Kota Sukabumi Utara (Kota Lama) 38

10 Dekomposisi Disparitas Wilayah tahun 2007 – 2011 di Kota

Sukabumi 40

11 Peta wilayah berdasarkan identifikasi sektor basis di Kota Sukabumi 43 12 Nilai Entropi per Kecamatan di Kota Sukabumi tahun 2007 – 2011 50 13 Peta hirarki kecamatan di Kota Sukabumi tahun 2011 Beserta

Kondisi Jalan yang Melintasinya 53

14 Peta hirarki kelurahan di Kota Sukabumi tahun 2011 55 15 Komposisi jumlah kelurahan di tiap kecamatan berdasarkan hirarki

wilayah tahun 2011 55

16 Persepsi Stakeholders dalam penentuan prioritas pembangunan

wilayah Kota Sukabumi yang merata 56

17 Persepsi Stakeholders dalam penentuan alternatif prioritas untuk pemerataan pembangunan infrastruktur antar wilayah 57 18 Matriks Analisis berdasarkan nilai LQ dan Differential Shift pada

SSA menurut Kecamatan di Kota Sukabumi 63

DAFTAR LAMPIRAN

1 Laju Pertumbuhan PDRB ADHK 2000 menurut Kab/ Kota di

Provinisi Jawa Barat (Persen) 75

2 Hirarki Wilayah Kelurahan berdasarkan Nilai IPD tahun 2011 76 3 Analisis Indeks Theil Kota Sukabumi tahun 2011 77 4 Jenis data yang digunakan dalam Analisis Skalogram 79 5 Data asli fasilitas yang dipergunakan dalam penentuan hirarki

wilayah kecamatan di Kota Sukabumi tahun 2011 80

6 Sintesis hasil analisis ekonomi 82

(17)

1

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Proses pembangunan dapat diartikan sebagai upaya sistematis dan berkesinambungan untuk mencapai keadaan yang dapat memberikan beberapa alternatif bagi pencapaian aspirasi dan tujuan setiap warga negara yang humanistik (Rustiadi et al. 2011). Pembangunan harus mencerminkan perubahan dalam masyarakat, baik itu ekonomi, sosial, politik dan lain-lain.

Pembangunan daerah merupakan bagian dari Pembangunan Nasional, akan tetapi arah pembangunan daerah harus disesuaikan dengan kepentingan daerah itu sendiri. Dalam Undang–undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa Pemerintah Daerah baik tingkat provinsi maupun kabupaten memiliki peranan yang penting dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Pembangunan daerah perlu diarahkan untuk mendorong wilayah agar tumbuh secara mandiri berdasarkan potensi sosial ekonomi dan karakteristik spesifik wilayah yang dimilikinya. Ada tiga sasaran pengembangan wilayah dalam kerangka pembangunan daerah yang dicanangkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yaitu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, memperluas kesempatan berusaha, serta menjaga pembangunan agar tetap berjalan secara berkesinambungan (sustainable development).

Pendekatan pembangunan ini memang telah berhasil mempercepat perkembangan pusat pertumbuhan, namun tidak dapat diikuti oleh perkembangan wilayah hinterland. Pendekatan pembangunan yang selama ini lebih menekankan pada pertumbuhan ekonomi ternyata menimbulkan banyak masalah, karena cenderung mengabaikan kesenjangan-kesenjangan pembangunan antar wilayah. Investasi dan sumber daya lebih banyak terserap oleh perkotaan atau pusat pertumbuhan, sementara wilayah hinterland mengalami pengurasan sumber daya yang berlebihan sehingga menimbulkan kesenjangan pembangunan yang mengakibatkan proses perkembangan suatu wilayah tidak dapat berlangsung secara merata yang pada akhirnya menimbulkan disparitas atau ketimpangan pembangunan antar wilayah.

Posisi geografis Kota Sukabumi yang berjarak ± 120 Km dengan Kota Jakarta sebagai ibu kota negara dan Kota Bandung sebagai ibu kota propinsi ± 90 Km, menjadikan Kota Sukabumi berada pada posisi strategis karena berada diantara pusat pertumbuhan megaurban Jabodetabek dan Bandung Raya. Posisi strategis tersebut telah mendorong tingginya investasi sektor tersier terutama di bidang perdagangan dan jasa yang berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi.

Perekonomian Kota Sukabumi yang ditunjukan oleh Laju Pertumbuhan Ekonomi meningkat cukup signifikan di tahun 2011 yaitu sebesar 6,31% (Tabel 1), meskipun masih berada di bawah laju pertumbuhan ekonomi Propinsi Jawa Barat yang tumbuh sebesar 6,48% (Lampiran1). Ini menunjukan bahwa Kota Sukabumi memiliki pertumbuhan ekonomi yang cukup baik dan berada di peringkat ke 6 dari 26 kabupaten/ kota yang ada di Provinsi Jawa Barat.

(18)

2

Tabel 1 Laju Pertumbuhan PDRB Kota Sukabumi Menurut Kelompok Sektor Tahun 2007-2011

Kelompok Sektor Tahun

2007 2008 2009 2010 2011

Atas Dasar Harga Berlaku (%)

1. Sektor Primer 3,79 19,05 9,56 13,14 7,5

2. Sektor Sekunder 15,04 19,66 15,3 18,04 10,92

3. Sektor Tersier 10,64 17,65 18,18 17,96 15,26

PDRB Kota Sukabumi 10,81 17,95 17,42 17,76 14,41 Atas Dasar Harga Konstan (%)

1. Sektor Primer 3,34 5,88 -8,5 1,87 1,8

2. Sektor Sekunder 7,92 8 3,89 7,23 5,96

3. Sektor Tersier 6,49 5,83 7,28 6,13 6,65

PDRB Kota Sukabumi 6,51 6,11 6,14 6,12 6,31

Pada Tabel 1 memperlihatkan bahwa berdasarkan harga konstan pada tahun 2011, adanya kekuatan kelompok tersier yang mendominasi pertumbuhan tertinggi sebesar 6,65%, diikuti kelompok sekunder 5,96% dan yang terendah adalah sektor primer sebesar 1,8%. Kondisi tersebut mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi Kota Sukabumi sebesar 6,31%. Tingginya kontribusi sektor tersier menunjukan bahwa perkembangan wilayah Kota Sukabumi telah didominasi oleh aktifitas perdagangan, jasa dan pelayanan.

Sesuai dengan kondisi obyektif yang terus berkembang, pertumbuhan kota mengarah kepada kegiatan perekonomian yang berbasis pada jasa meliputi perdagangan, perhotelan, perbankan, kesehatan, pendidikan dan pertanian. Hal inilah yang mendasari penetapan visi kedepan keberadaan Kota Sukabumi ” Terwujudnya Kota Sukabumi sebagai Pusat Pelayanan Berkualitas Bidang Pendidikan, Kesehatan dan Perdagangan di Jawa Barat Berlandaskan Iman dan Takwa ” yang kemudian ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kota Sukabumi No.7 Tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kota Sukabumi 2005 – 2025.

Pada proses pengembangan wilayah, Kota Sukabumi yang cukup berhasil meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi menghadapi masalah dalam hal pemerataan pembangunan antar kecamatan. Dimana masih adanya wilayah-wilayah dengan pertumbuhan ekonomi yang rendah dan ada wilayah-wilayah yang maju dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Ketidakmerataan pembangunan antar kecamatan diduga karena adanya perubahan batas wilayah administratif dimana daerah yang baru bergabung tidak memiliki perkembangan yang sama dengan daerah lama. Kawasan Kota Sukabumi yang terletak di bagian selatan didominasi oleh wilayah hasil pemekaran yang berasal dari wilayah Kabupaten Sukabumi dan masih bercirikan daerah rural, sedangkan yang terletak di daerah utara sudah bercirikan urban.

(19)

3 Sukabumi menjadi bagian wilayah administratif Kotamadya Sukabumi, sehingga Kotamadya Sukabumi mengalami perluasan wilayah administratif dan penambahan jumlah desa/ kelurahan. Pada tahun 2000 berdasarkan Perda No.15 tahun 2000 tentang pembentukan kecamatan dan kelurahan di Kota Sukabumi, ditetapkan perubahan wilayah adminstratif menjadi 7 (tujuh) kecamatan dan 33 (tigapuluh tiga) kelurahan. Pemekaran wilayah dan perubahan wilayah administrasi Kota Sukabumi tersebut berdampak terhadap pengembangan wilayah dan permasalahannya dalam hal pemerataan pembangunan antar kecamatan.

Salah satu indikator untuk mengetahui terjadinya ketimpangan dalam pemerataan pembangunan antar kecamatan dapat dilihat dari kontribusi PDRB perkecamatan. Perkembangan PDRB setiap kecamatan di Kota Sukabumi diketahui memiliki perbedaan yang cukup besar (Tabel 2), dimana nilai PDRB kecamatan yang berada di bagian selatan jauh lebih kecil dibandingkan dengan PDRB kecamatan bagian utara. PDRB diyakini dapat memberikan Gambaran keberhasilan pembangunan wilayah melaui pertumbuhan ekonomi, struktur ekonomi, dan peranan sektor ekonomi yang diukur dari perbedaan PDRB tahun tertentu dengan tahun sebelumnya.

Tabel tersebut menggambarkan bahwa kegiatan ekonomi di Kota Sukabumi terkonsentrasi di Kecamatan Cikole yang memberikan kontribusi ekonomi sebesar 28,36%, diikuti oleh kecamatan-kecamatan disekitarnya yang berada di kawasan Kota Sukabumi Utara dengan besarnya kontribusi diatas 14%. Sementara kecamatan-kecamatan lain yang berada di kawasan Kota Sukabumi Selatan hanya memberikan kontribusi yang besarnya tidak mencapai 8%. Besarnya perbedaan kontribusi PDRB kecamatan dapat terlihat jelas dengan grafik yang terdapat pada Gambar 1.

Berdasarkan Gambar 1 dapat diketahui bahwa dari tahun 2007 hingga 2011 kawasan Kota Sukabumi Utara yang terdiri dari 4 kecamatan memiliki kontribusi yang jauh berbeda dengan kawasan Kota Sukabumi Selatan yang terdiri dari 3 kecamatan. Kondisi ini memperlihatkan adanya ketimpangan pembangunan ekonomi antar wilayah di Kota Sukabumi.

Tabel 2 PDRB Kecamatan Atas Dasar Harga Konstan di Kota Sukabumi Tahun 2009-2011

Kecamatan

Tahun

2009 2010 2011

PDRB Kontribusi PDRB Kontribusi PDRB Kontribusi (juta rupiah) (%) (juta rupiah) (%) (juta rupiah) (%)

Cikole 479.033,84 26,47 518.954,00 27,02 553.328,63 27,10 Citamiang 342.088,99 18,90 358.531,21 18,67 381.957,99 18,71 Gunungpuyuh 270.569,74 14,95 284.493,24 14,81 302.238,47 14,80 Warudoyong 385.102,94 21,28 409.341,66 21,31 435.978,20 21,35 Baros 108.462,36 5,99 113.552,20 5,91 119.690,62 5,86 Cibeureum 95.608,81 5,28 99.662,32 5,19 104.823,26 5,13 Lembursitu 128.964,55 7,13 136.192,42 7,09 143.952,57 7,05

(20)

4

Menurut Rustiadi et al. (2011), ketidakmerataan pembangunan antar wilayah dapat menimbulkan urban bias yang mendorong percepatan urbanisasi dan pada akhirnya dapat menimbulkan biaya-biaya sosial yang tinggi dan berdampak pada tidak meratanya jumlah dan kepadatan penduduk. Proses migrasi akan terjadi sebagai respon dari masyarakat karena adanya ekpektasi meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang bermigrasi. Hal ini disebabkan wilayah yang lebih maju akan menarik SDM dari wilayah lain, sehingga perkembangan daerah yang ditinggalkan menjadi tidak optimal.

Perkembangan kawasan Kota Sukabumi Utara yang dilengkapi sarana dan prasarana dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik telah membuat kepadatan penduduk perkecamatan di wilayah ini memiliki tingkat kepadatan penduduk diatas rata-rata, sementara kawasan Kota Sukabumi Selatan tingkat kepadatan penduduknya masih dibawah rata-rata. Jika ditinjau dari Luas wilayah Kota Sukabumi yang hanya 4.800 Ha atau 48 Km2, dan Jumlah Penduduk pada tahun 2011 sebanyak 356.085 jiwa, maka kepadatan penduduk rata-rata per Km2 adalah 7.418,08 jiwa/Km2.

Perumusan Masalah

Ketimpangan pembangunan akan melahirkan beberapa masalah, diantaranya terjadi urbanisasi masyarakat dari wilayah yang tertinggal ke wilayah perkotaan, yang menambah permasalahan di pusat pertumbuhan sekaligus memperlemah daerah yang tertinggal. Wilayah hinterland menjadi lemah karena pengurasan sumber daya (backwash), sementara nilai tambah mengalir dan terakumulasi di pusat-pusat pertumbuhan. Disparitas pembangunan antar wilayah ini dapat menyebabkan timbulnya daerah tertinggal atau terbelakang yang apabila tidak ditangani secara tepat melalui kebijakan pemerintah, dapat menimbulkan berbagai masalah yang dapat menghambat pembangunan wilayah itu sendiri. Oleh karenanya diperlukan kajian dan identifikasi mengenai arahan kebijakan

Gambar 1 Grafik PDRB Kecamatan tahun 2007-2011 di Kota Sukabumi

.0 100000.0 200000.0 300000.0 400000.0 500000.0 600000.0

2007 2008 2009 2010 2011

Cikole

Citamiang

Gunungpuyuh

Warudoyong

Baros

Cibereum

(21)

5 pengembangan wilayah. Hal ini penting pada perumusan kebijakan daerah untuk menciptakan pemerataan pembangunan dalam rangka pengembangan wilayah Kota Sukabumi.

Dari beberapa uraian di atas, maka yang menjadi pertanyaan dan perlu dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Berapa besaran tingkat dan dekomposisi disparitas pembangunan antar wilayah?

2. Apa saja potensi sektor ekonomi yang dimiliki tiap kecamatan?

3. Bagaimana tingkat perkembangan ekonomi dan hirarki masing-masing kecamatan?

4. Bagaimana persepsi stakeholders terhadap prioritas pembangunan wilayah? 5. Apa arahan kebijakan yang tepat untuk pengembangan wilayah Kota

Sukabumi?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah tersebut di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis tingkat dan dekomposisi disparitas pembangunan wilayah di Kota Sukabumi.

2. Mengidentifikasi potensi sektor ekonomi yang dimiliki tiap kecamatan di Kota Sukabumi.

3. Mengetahui tingkat perkembangan ekonomi dan hirarki masing-masing kecamatan di Kota Sukabumi.

4. Mengetahui persepsi stakeholder terhadap prioritas pembangunan wilayah di Kota Sukabumi

5. Mengkaji arahan kebijakan pengembangan wilayah Kota Sukabumi.

Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai:

1. Bahan informasi dan pemikiran bagi pemerintah daerah tentang arahan pengembangan wilayah Kota Skabumi.

2. Bahan masukan dalam perumusan kebijakan pembangunan daerah.

3. Bahan pembelajaran dan pengembangan perencanaan wilayah dengan isu sentralnya adalah pengembangan wilayah untuk mengatasi disparitas pembangunan antar wilayah.

Kerangka Pemikiran

(22)

6

Kondisi eksisting di Kota Sukabumi berdasarkan kontribusi PDRB dan data Podes mengenai ketersediaan sarana prasarana antar wilayah dapat diketahui apakah program pengembangan wilayah telah berhasil menciptakan pemerataan pembangunan antar wilayah atau sebaliknya. Dengan analisis disparitas akan diketahui tingkat keberhasilan pengembangan wilayah Kota Sukabumi dalam mengatasi ketimpangan antar wilayah. Hal tersebut diperlukan untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan/ efektifitas program pembangunan Kota Sukabumi yang telah dilakukan.

Jika ternyata masih terdapat ketimpangan antar wilayah di Kota Sukabumi maka perlu diketahui wilayah-wilayah mana saja yang memiliki perkembangan ekonomi dan hirarki yang cukup baik dan mana yang kurang berkembang. Ini penting diketahui untuk menentukan prioritas wilayah untuk dikembangkan. Selain itu untuk pengembangan wilayah Kota Sukabumi perlu juga diperhatikan potensi-potensi sektor ekonomi yang dimiliki masing-masing wilayah dan persepsi stakeholder untuk menentukan arahan kebijakan yang tepat dalam menciptakan pembangunan Kota Sukabumi yang merata.

Secara umum, kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.

PENGEMBANGAN WILAYAH

KOTA SUKABUMI KONDISI EKSISTING

DISPARITAS?

TINGKAT PERKEMBANGAN

WILAYAH

PERSEPSI

STAKEHOLDER

ARAHAN PENGEMBANGAN WILAYAH KOTA SUKABUMI

Tidak

Ya PEMEKARAN WILAYAH

PARADIGMA LAMA PEMBANGUNAN

· Pertumbuhan Ekonomi

· Sentralistik

POTENSI SEKTOR EKONOMI

(23)

7

2

TINJAUAN PUSTAKA

Konsep Pengembangan Wilayah

Dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional. Menurut Rustiadi et al. (2011) wilayah dapat didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik tertentu dimana komponen-komponen wilayah tersebut satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional. Komponen-komponen wilayah mencakup komponen biofisik alam, sumber daya buatan (infrastruktur), manusia serta bentuk-bentuk kelembagaan. Dengan demikian istilah wilayah menekankan interaksi antar manusia dengan sumber daya-sumber daya lainnya yang ada di dalam suatu batasan unit geografis tertentu.

Dalam Peraturan Daerah Kota Sukabumi No. 11 tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Sukabumi tahun 2011-2031 disebutkan bahwa Wilayah Kota adalah seluruh wilayah Kota Sukabumi yang meliputi ruang darat dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi berdasarkan ketentuan peraturan perundangan-undangan. Dalam proses pengembangannya, wilayah Kota Sukabumi diarahkan pada kawasan budi daya untuk mendorong pertumbuhan wilayah. Kawasan budi daya merupakan wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya buatan.

Konsep wilayah yang paling klasik (Hagget et al., 1977 dalam Rustiadi et al., 2011) mengenai tipologi wilayah, mengklasifikasikan konsep wilayah ke dalam tiga kategori, yaitu: 1) wilayah homogen (uniform/homogenous region), 2) wilayah nodal (nodal region), dan 3) wilayah perencanaan (planning region atau programming region). Sejalan dengan konsep wilayah nodal, maka suatu wilayah dipandang secara dikotomis (tebagi menjadi dua bagian), yaitu wilayah inti (pusat wilayah/ pertumbuhan) dan wilayah hinterland (daerah belakang) yang memiliki hubungan fungsional.

Wilayah inti berfungsi sebagai: (1) tempat terkonsentrasinya penduduk (pemukiman); (2) pusat pelayanan terhadap daerah hinterland; (3) pasar bagi komoditas-komoditas pertanian maupun industri dan (4) lokasi pemusatan industri manufaktur. Sementara wilayah hinterland berfungsi sebagai: (1) pemasok (produsen) bahan mentah; (2) pemasok tenaga kerja; (3) daerah pemasaran barang dan jasa industri manufaktur dan (4) penjaga keseimbangan ekologis.

(24)

8

mengetahui tipe/jenis kebijakan yang tepat dilakukan dalam pengembangan wilayah. Menurut Anwar (2005) dalam suatu wilayah akan terdapat beberapa macam karakteristik wilayah yaitu:

1. Wilayah maju

2. Wilayah sedang berkembang 3. Wilayah belum berkembang, dan 4. Wilayah tidak berkembang

Wilayah maju adalah wilayah yang telah berkembang yang biasanya dicirikan sebagai pusat pertumbuhan. Di wilayah ini terdapat pemusatan penduduk, industri, pemerintahan dan sekaligus pasar yang potensial. Wilayah yang sedang berkembang biasanya dicirikan oleh pertumbuhan yang cepat dan biasanya merupakan wilayah penyangga dari wilayah maju, karena itu mempunyai aksesibilitas yang sangat baik terhadap wilayah maju, juga dicirikan oleh potensi sumber daya alam yang tinggi, pendapatan dan kesempatan kerja yang tinggi, namun belum terjadi kesesakan dan tekanan biaya sosial. Sedangkan wilayah yang belum berkembang tingkat pertumbuhannya masih rendah baik secara absolut, maupun secara relatif, namun memiliki potensi sumber daya alam yang belum dikelola atau dimanfaatkan, tingkat kepadatan penduduk yang masih rendah, pendapatan dan pendidikan yang juga relatif rendah. Wilayah yang tidak berkembang dicirikan oleh dua hal yaitu : (a) wilayah tersebut memang tidak memiliki potensi baik potensi sumber daya alam maupun potensi lokasi, sehingga secara alamiah sulit sekali berkembang dan mengalami pertumbuhan dan (b) wilayah tersebut sebenarnya memiliki potensi, baik sumber daya alam atau lokasi maupun memiliki keduanya, tetapi tidak dapat berkembang dan bertumbuh karena tidak memiliki kesempatan dan cenderung dieksploitasi oleh wilayah lain.

Setelah tipe/ jenis wilayah diketahui, maka dapat dirumuskan kebijakan yang tepat dalam kerangka pengembangan wilayah. Salah satu aspek dalam pengembangan wilayah yang perlu diperhatikan adalah kegiatan perencanaan wilayah. Menurut Tarigan (2008) perencanaan wilayah adalah perencanaan penggunaan ruang wilayah dan perencanaan kegiatan pada ruang wilayah tersebut. Perencanaan penggunaan ruang wilayah diatur dalam bentuk perencanaan tata ruang wilayah, sedangkan perencanaan kegiatan dalam wilayah diatur dalam perencanaan pembangunan wilayah. Salah satu pendekatan dalam perencanaan pembangunan menurut Tarigan (2008) adalah pendekatan sektoral. Pendekatan sektoral dilakukan dengan mengelompokkan kegiatan pembangunan kedalam sektor-sektor, selanjutnya masing-masing sektor dianalisis satu persatu untuk menetapkan apa yang dapat dikembangkan atau ditingkatkan dari sektor-sektor tersebut guna mengembangkan wilayah.

(25)

9

Kesenjangan Pembangunan antar Wilayah

Pendekatan pembangunan daerah yang selama ini dilaksanakan, terlalu menekankan pada batas-batas administratif yang sering tidak mengakomodasikan keragaman potensi, permasalahan dan keterkaitan antar daerah. Wilayah-wilayah yang memerlukan penanganan atau intervensi pemerintah untuk dapat dikembangkan meliputi kawasan yang sangat luas, sementara sumber daya yang dimiliki untuk mengelolanya relatif terbatas.

Pembangunan berbasis pengembangan wilayah memandang pentingnya keterpaduan antar sektor, spasial, serta pelaku pembangunan di dalam maupun antar daerah, sehingga tujuan dari pembangunan berupa pertumbuhan (growth), pemerataan (equity), dan keberlanjutan (sustainability) dapat dicapai. Namun demikian pembangunan wilayah yang dilaksanakan seringkali dihadapkan pada pilihan yang bersifat trade off sehingga salah satu dari ketiga tujuan tersebut tidak dapat dicapai. Pembangunan yang dilaksanakan seringkali tidak bisa merata baik antar sektor maupun antar wilayah sehingga menyebabkan terjadinya kesenjangan pembangunan atau disparitas pembangunan antar wilayah.

Menurut Chaniago et al. (2000) kesenjangan diartikan sebagai suatu kondisi yang tidak seimbang atau ketidakberimbangan atau ketidaksimetrisan. Dihubungkan dengan pembangunan sektoral atau wilayah, kesenjangan pembangunan adalah suatu kondisi ketidakberimbangan pembangunan antar sektor dan antar wilayah yang ditunjukkan oleh perbedaan pertumbuhan antar wilayah. Kesenjangan pertumbuhan antar wilayah tergantung pada perkembangan struktur sektor-sektor ekonomi dan struktur wilayah (perkembangan sarana dan prasarana sosial-ekonomi, seperti sarana pendidikan, kesehatan, perumahan, transportasi, sanitasi dan lain-lain). Kesenjangan pembangunan yang terjadi dapat menyebabkan munculnya berbagai permasalahan baik masalah sosial, politik, ekonomi dan lingkungan.

Penyebab dari kesenjangan pembangunan antar wilayah sebagaimana diungkapkan Rustiadi et al. (2011) antara lain :

1) Faktor Geografis

Suatu wilayah atau daerah yang sangat luas akan terjadi variasi pada keadaan fisik alam berupa topografi, iklim, curah hujan, sumber daya mineral dan variasi spasial lainnya. Apabila faktor-faktor lainnya sama, maka wilayah dengan kondisi geografis yang lebih baik akan berkembang dengan lebih baik. 2) Faktor Historis

Perkembangan masyarakat dalam suatu wilayah tergantung dari kegiatan atau budaya hidup yang telah dilakukan masa lalu. Bentuk kelembagaan atau budaya dan kehidupan perekonomian pada masa lalu merupakan penyebab yang cukup penting terutama yang terkait dengan sistem insentif terhadap kapasitas kerja. Wilayah yang memiliki sejarah kelembagaan dan kehidupan perekonomian yang maju akan berkembang lebih baik.

3) Faktor Politis

(26)

10

wilayah, untuk diinvestasikan ke wilayah yang lebih stabil. Wilayah dengan stabilitas politik yang terjaga akan berkembang lebih baik.

4) Faktor Kebijakan

Terjadinya kesenjangan antar wilayah bisa diakibatkan oleh kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah yang sentralistik hampir di semua sektor, dan lebih menekan pertumbuhan dan membangun pusat-pusat pembangunan di wilayah tertentu menyebabkan kesenjangan yang luar biasa antar daerah. Menurut Lessmann (2006) negara dengan tingkat desentralisasi fiskal yang tinggi memiliki kesenjangan wilayah yang rendah. Kewenangan dan otonomi lokal terhadap kapasitas fiskal wilayah yang besar akan dapat mengurangi kesenjangan.

5) Faktor Administratif

Kesenjangan wilayah dapat terjadi karena perbedaan kemampuan pengelolaan administrasi. Wilayah yang dikelola dengan administrasi yang baik cenderung lebih maju. Wilayah yang ingin maju harus mempunyai administrator yang jujur, terpelajar, terlatih, dengan sistem administrasi yang efisien.

6) Faktor Sosial

Masyarakat yang tertinggal cenderung memiliki kepercayaan-kepercayaan yang primitif, kepercayaan tradisional dan nilai-nilai sosial yang cenderung konservatif dan menghambat perkembangan ekonomi. Sebaliknya masyarakat yang relatif maju umumnya memiliki institusi dan perilaku yang kondusif untuk berkembang. Perbedaan ini merupakan salah satu penyebab kesenjangan wilayah.

7) Faktor Ekonomi

Faktor ekonomi yang menyebabkan kesenjangan antar wilayah yaitu

a) Perbedaan kuantitas dan kualitas dari faktor produksi yang dimiliki seperti: lahan, infrastruktur, tenaga kerja, modal, organisasi dan perusahaan;

b) Terkait akumulasi dari berbagai faktor. Salah satunya lingkaran kemiskinan, konsumsi rendah, tabungan rendah, investasi rendah, standar hidup rendah, efisiensi yang rendah pengangguran meningkat. Sebaliknya diwilayah yang maju, masyarakat maju, standar hidup tinggi, pendapatan semakin tinggi, tabungan semakin banyak yang pada akhirnya masyarakat semakin maju;

c) Kekuatan pasar bebas telah mengakibatkan faktor-faktor ekonomi seperti tenaga kerja, modal, perusahaan dan aktifitas ekonomi seperti industri, perdagangan, perbankan, dan asuransi yang dalam ekonomi maju memberikan hasil yang lebih besar, cenderung terkosentrasi di wilayah maju.

(27)

11

Potensi Sektor Ekonomi

Di Indonesia pembangunan ekonomi secara umum dibagi kedalam sembilan sektor dan untuk mengembangkan semua sektor tesebut secara bersamaan, diperlukan investasi yang sangat besar. Jika modal (investasi) tidak cukup, maka perlu ada penetapan prioritas pembangunan. Biasanya sektor yang mendapat prioritas tersebut adalah sektor unggulan yang diharapkan dapat mendorong (push factor) sektor-sektor lain untuk berkembang menjadi pendorong utama (prime mover) pertumbuhan ekonomi wilayah (Rustiadi et al. 2011).

Secara garis besar, menurut Rustiadi et al. (2011); Widodo (2006); Tarigan (2005), sektor ekonomi suatu wilayah dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu sektor basis (leading sector) dimana kelebihan dan kekurangan yang terjadi dalam proses pemenuhan kebutuhan tersebut menyebabkan terjadinya mekanisme ekspor dan impor antar wilayah. Artinya industri basis ini akan menghasilkan barang dan jasa, baik untuk pasar domestik daerah maupun pasar luar wilayah/daerah. Sedangkan sektor non-basis adalah sektor dengan kegiatan ekonomi yang hanya melayani pasar di daerahnya sendiri dan kapasitas ekspor daerah belum berkembang. Rustiadi et al. (2011), lebih lanjut mengatakan bahwa pembangunan terhadap sektor basis (leading sector) didasarkan pada dua kerangka konseptual pembangunan wilayah yang dipergunakan secara luas. Pertama, konsep basis ekonomi; konsep ini terutama dipengaruhi oleh kepemilikan masa depan terhadap pembangunan daerah (dalam konteks nasional adalah merkantilisme). Teori basis ekonomi beranggapan bahwa permintaan terhadap input hanya dapat meningkat melalui perluasan permintaan terhadap output yang diproduksi oleh sektor basis (ekspor) dan sektor non basis (lokal). Permintaan terhadap produksi sektor lokal hanya dapat meningkat bila pendapatan lokal meningkat. Tetapi peningkatan pendapatan ini hanya terjadi bila sektor basis (ekspor) meningkat. Oleh karena itu, menurut teori basis ekonomi, ekspor daerah merupakan faktor penentu dalam pembangunan ekonomi.

Kedua, konsep beranggapan bahwa perbedaan tingkat imbalan (rate of return) adalah lebih dibawakan oleh perbedaan dalam lingkungan dari atau prasarana, dari pada ketidakseimbangan rasio modal-tenaga. Dalam kerangka pemikiran ini, daerah terbelakang bukan karena tidak beruntung atau karena kegagalan pasar, tetapi karena produktifitasnya yang rendah. Oleh karena itu investasi dalam prasarana adalah penting sebagai sarana pembangunan daerah. Namun demikian, tidak seperti pendekatan basis ekonomi, tidak banyak terdapat studi empirik dengan menggunakan konsep kedua ini. Hal ini disebabkan karena kelangkaan data (terutama mengenai stok barang modal).

(28)

12

Berbagai dasar ukuran pemakaian LQ harus harus disesuaikan dengan kepentingan penelitian dan sumber data yang tersedia. Jika penelitian dimaksudkan untuk mencari sektor yang kegiatan ekonominya dapat memberikan kesempatan kerja sebanyak-banyaknya maka yang dipakai sebagai dasar ukuran adalah jumlah tenaga kerja sedangkan bila keperluannya untuk menaikan pendapatan daerah, maka pendapatan merupakan dasar ukuran yang tepat dan bila hasil produksi maka jumlah hasil produksi yang dipilih.

LQ juga menunjukan efisiensi relatif wilayah, serta terfokus pada subtitusi impor yang potensial atau produk dengan potensi ekspansi ekspor. Hal ini akan memberikan Gambaran tentang industri mana yang terkonsentrasi dan industri mana yang tersebar (Rustiadi et al. 2011; Bendavil-Val, 1991). Secara operasional, LQ didefinisikan sebagai rasio persentase dari total aktifitas sub wilayah ke-i terhadap persentase aktifitas wilayah yang diamati. Asumsi yang digunakan dalam analisis ini adalah : (1) kondisi geografis relatif homogen; (2) pola-pola aktifitas bersifat seragam, dan; (3) setiap aktifitas menghasilkan produk yang sama.

Shift Share Analysis (SSA) merupakan salah satu dari sekian bayak teknik analisis untuk memahami pergeseran struktur aktifitas di suatu lokasi tertentu, dibandingkan dengan suatu referensi cakupan wilayah yang lebih luas dalam dua titik waktu. Pemahaman struktur aktifitas dari hasil SSA juga menjelaskan kemampuan berkompetisi (competitiveness) aktifitas tertentu di suatu wilayah secara dinamis atau perubahan aktifitas dalam cakupan wilayah yang lebih luas.

SSA mampu memberikan Gambaran sebab-sebab terjadinya pertumbuhan suatu aktifitas di suatu wilayah. Sebab-sebab yang dimaksud dibagi kedalam tiga bagian yaitu sebab yang berasal dari dinamika lokal (sub wilayah), sebab dari dinamika aktifitas atau sektor total wilayah dan sebab dari dinamika wilayah secara umum.

Hasil SSA juga mampu menjelaskan kinerja (performance) suatu aktifitas di suatu sub wilayah dan membandingkannya dengan kinerjanya di dalam wilayah total. Gambaran kinerja tersebut dapat dijelaskan dari tiga (3) komponen hasil analisis, yaitu : (a) komponen laju pertumbuhan total (regional share) yang merupakan pertumbuhan total wilayah pada dua titik waktu yang menunjukan dinamika total wilayah; (b) komponen pergeseran proposional (proportional shift) yang merupakan pertumbuhan total aktifitas tertentu secara relatif dibandingkan dengan pertumbuhan secara umum dalam total wilayah yang menunjukan dinamika sektor/aktifitas total dalam wilayah; (c) komponen pergeseran diferensial (differential shift) yang menjelaskan bagaimana tingkat kompetisi (competitiveness) suatu aktifitas tertentu dibandingkan dengan pertumbuhan total sektor/aktifitas tersebut dalam wilayah. Komponen ini menggambarkan dinamika keunggulan atau ketidakunggulan suatu sektor/aktifitas tertentu di subwilayah tertentu terhadap aktifitas tersebut di subwilayah lain.

Penelitian Sebelumnya Mengenai Pengembangan Wilayah

(29)

13 tingkat keuntungan yang rendah tidak akan berkembang sehingga terjadi kesenjangan. Teori efek polarisasi menjelaskan kesenjangan antarwilayah yang meningkat karena berpindahnya faktor produksi dari wilayah yang terbelakang ke wilayah yang lebih maju. Sebaliknya terdapat teori yang menjelaskan proses yang berlawan arah, yaitu teori efek penetesan yang menjelaskan penyebaran faktor produksi dari suatu wilayah yang telah maju ke wilayah yang belum maju karena di wilayah yang telah maju terjadi eksternalitas negatif yang makin besar.

Pembangunan wilayah pada kenyataannya menimbulkan permasalahan yang tidak dapat dihindari, terjadinya ketimpangan/ ketidakmerataan pembangunan antar wilayah merupakan salah satu masalah serius bagi pemerintah. Kesenjangan wilayah di Indonesia merupakan kasus yang hingga saat ini belum terlihat secara maksimal penyelesaiannya. Kebijakan pembangunan di beberapa daerah di Indonesia dalam perkembangannya telah terjadi polarasi pembangunan di Kawasan Timur Indonesia (KTI) dan Kawasan Barat Indonesia (KBI). Williamson (1966) melakukan penelitian tentang disparitas antar wilayah di dalam Negara dengan menghubungkan disparitas pendapatan rata-rata antar wilayah dengan berbagai faktor termasuk tingkat urbanisasi suatu wilayah. Disamping pola dan faktor penentu disparitas, Williamson juga mengamati proses terjadinya disparitas.

Situmorang (2011) dalam penelitiannya melihat perkembangan wilayah Kota Depok berdasarkan penentuan prioritas pembangunan dan tingkat perkembangan kecamatan-kecamatannya. Gumilar (2009) juga melakukan hal yang sama dengan memfokuskan penelitiannya terhadap penentuan sektor basis yang potensial di wilayah pengembangan Garut Selatan, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat.

(30)

14

3

METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di wilayah Kota Sukabumi yang merupakan wilayah yang berada di Provinsi Jawa Barat dengan letak titik koordinat pada 1060 45’ 50” Bujur Timur dan 1060 45’ 10” Bujur Timur, 60 49’

29” Lintang Selatan dan 60 50’ 44” Lintang Selatan. Dengan batas

-batas wilayah seluruhnya berbatasan dengan wilayah Kabupaten Sukabumi, memiliki luas wilayah 48 Km2 atau 4.800 ha, dan jumlah penduduk pada tahun 2011 sebanyak 356.085 jiwa

Lokasi penelitian meliputi seluruh wilayah yang ada di Kota Sukabumi yaitu (1) Kecamatan Cikole, (2) Kecamatan Citamiang, (3) Kecamatan Gunungpuyuh, (4) Kecamatan Warudoyong, (5) Kecamatan Baros, (6) Kecamatan Cibeureum dan (7) Kecamatan Lembursitu.

Waktu yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah selama 7 bulan, yaitu dari bulan Mei sampai dengan bulan November 2013.

Jenis dan Metode Pengumpulan Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer berupa data langsung dari narasumber yang ditentukan berdasarkan keterwakilannya yang memiliki pemahaman yang baik tentang perkembangan pembangunan di Kota Sukabumi. Metode yang dilakukan adalah dengan wawancara dan kuisioner sehingga diperoleh informasi prioritas pengembangan wilayah Kota Sukabumi menurut para responden/stakeholder. Data sekunder berupa data maupun informasi yang dikumpulkan melalui kutipan pustaka dari instansi terkait atau dari berbagai sumber lainnya, seperti publikasi data-data statistik oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Peraturan Daerah/ dokumen-dokumen perencanaan oleh Pemerintah Kota Sukabumi dan sumber lainnya yang memiliki relevansi dengan topik penelitian. Data sekunder tersebut meliputi: (1) Data Potensi Desa (PODES) Tahun 2011; (2) Data PDRB; dan (3) Data Peta Administratif Wilayah. Data direncanakan diperoleh dari Bappeda Kota Sukabumi, Badan Pusat Statistik (BPS), dan dinas/badan/instansi terkait lainnya

(31)
[image:31.842.65.751.131.472.2]

15

Tabel 3 Jenis, Sumber, cara Pengumpulan dan Analisis Data

Tujuan Jenis Data Sumber Data Teknik Analisis Output

1 Menganalisis tingkat dan dekomposisi disparitas pembangunan wilayah di Kota Sukabumi

Mengetahui tingkat/besaran disparitas di Kota Sukabumi

PDRB BPS (Sekunder) Indeks

Wiliamson

Indeks disparitas di Kota Sukabumi

Mengetahui dekomposisi disparitas antar wilayah

PDRB BPS (Sekunder) Indeks Theil Dekomposisi sumber disparitas wilayah

2 Mengidentifikasi potensi sektor ekonomi yang dimiliki tiap kecamatan di Kota Sukabumi

Identifikasi potensi sektor komparatif/ basis PDRB BPS (Sekunder) LQ Informasi sektor komparataif/ basis Identifikasi potensi sektor kompetitif/

pertumbuhan sektoral

PDRB BPS (Sekunder) SSA Informasi sektor kompetitif/

pertumbuhan sektoral

3 Menganalisis tingkat perkembangan ekonomi dan hirarki tiap kecamatan di Kota Sukabumi

Mengetahui perkembangan ekonomi wilayah kecamatan

PDRB BPS (Sekunder) Entropi Informasi diversitas/ tingkat

perkembangan ekonomi wilayah Mengetahui tingkat perkembangan/ hirarki

wilayah

Podes BPS (Sekunder) Skalogram Informasi tingkat perkembangan/ hirarki wilayah

4 Mengetahui persepsi stakeholder

Mengetahui prioritas pembangunan wilayah Wawancara (quisioner)

Responden (primer)

A H P Informasi prioritas pembangunan wilayah

5 Mengkaji arahan kebijakan pengembangan wilayah di Kota Sukabumi

Melakukan kajian arahan kebijakan

pengembangan wilayah Sintesis hasil

analis sebelumnya Primer & Sekunder

Deskriptif Arahan kebijakan pengembangan wilayah (kelurahan dan Kecamatan) di Kota Sukabumi

(32)

16

Bagan Alir Penelitian

Alur proses dan dan analisis-analisis yang dipergunakan dalam penelitian ini disajikan oleh Gambar 3.

PENGEMBANGAN WILAYAH KOTA SUKABUMI

DISPARITAS? (Indeks Williamson, Indeks Theil, Deskriptif)

HIRARKI WILAYAH IDENTIFIKASI

POTENSI SEKTOR EKONOMI

ARAHAN PENGEMBANGAN WILAYAH KOTA SUKABUMI

PERSEPSI STAKEHOLDER INFRASTRUKTUR WILAYAH

(Podes)

PERTUMBUHAN EKONOMI (PDRB) KONDISI EKSISTING

Skalogram

A H P

Tidak

Ya

POTENSI SEKTOR KOMPARATIF

LQ

POTENSI SEKTOR KOMPETITIF

SSA

DIVERSITAS AKTIFITAS EKONOMI

Entropi

IDENTIFIKASI PERKEMBANGAN

[image:32.595.88.480.143.509.2]

WILAYAH

Gambar 3 Bagan alir Penelitian

Langkah awal dalam penelitian ini adalah melihat sejauh mana tingkat keberhasilan pembangunan di Kota Sukabumi yang dilihat dari sisi disparitas antar wilayah kecamatan. Analisis indeks Williamsons dipergunakan untuk mengetahui besaran tingkat ketimpangan suatu wilayah berdasarkan data PDRB. Sementara indeks Theil digunakan untuk melihat dekomposisi disparitas.

Setelah ditemukan adanya disparitas, ditetapkan langkah-langkah yang harus dilakukan sebagai arahan pengembangan wilayah, diantaranya Identifikasi potensi sektor ekonomi yang terdiri dari potensi sektor komparatif dan sektor kompetitif yang dapat dikembangkan masing-masing kecamatan. Analisis menggunakan LQ diharapkan dapat menentukan sektor-sektor yang komparatif dari masing-masing wilayah kecamatan, sementara analisis dengan SSA dimaksudkan untuk melihat sektor yang kompetitif dari tiap kecamatan di Kota Sukabumi.

(33)

17 diketahui tingkatan hirarki perkembangan wilayah, dilihat dari data sarana dan prasarana yang ada pada data Podes Kota Sukabumi. Indeks entropi dipergunakan untuk mengetahui tingkat perkembangan ekonomi wilayah berdasarkan keragaman aktifitas ekonomi yang dimiliki oleh tiap wilayah kecamatan.

Persepsi aparatur dari berbagai responden dalam menanggapi kebijakan pemerintah perlu diketahui melalui pengumpulan data primer berupa wawancara. Hal ini dilakukan untuk mengetahui isu yang mengemuka sebagai suatu prioritas kebijakan pembangunan wilayah dan kaitannya dengan mengurangi tingkat kesenjangan dalam rangka pengembangan wilayah. Analisis yang dipergunakan adalah metode Analytical Hierarchy Process (AHP) agar dapat mengethaui prioritas utama yang perlu dilakukan dalam kebijakan pengembangan wilayah Kota Sukabumi.

Hasil dari analisis-analisis diatas disintesiskan untuk mendapatkan arahan kebijakan yang tepat dalam rangka pengembangan wilayah Kota Sukabumi.

Teknik Analisis Data

Penelitian ini akan menganalisis data menggunakan beberapa metode analisis diantaranya Indeks Williamson & Theil, Regresi Berganda, Analisa Deskriptif, LQ & SSA, Entropi, Skalogram, dan AHP. Adapun bagan alir tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.

Analisis Kesenjangan Wilayah

Untuk melihat tingkat disparitas wilayah digunakan indeks Wiliamson dan untuk mendekompisisi disparitas wilayah digunakan Indeks Theill.

Indeks Williamson

Indeks Williamson merupakan salah satu indeks yang paling sering digunakan untuk melihat disparitas antar wilayah secara horisontal. Williamson pada tahun 1975 mengembangkan indeks kesenjangan wilayah yang diformulasikan sebagai berikut (Rustiadi et al., 2011):

√∑ ̅

̅

dimana:

= Indeks kesenjangan Williamson (Iw)

= PDRB per kapita wilayah kecamatan ke-i

̅ = Rata-rata PDRB per kapita Kota Sukabumi

= , dimana fi jumlah penduduk kecamatan ke-i dan n adalah total penduduk Kota Sukabumi

= kecamatan yang ada di Kota Sukabumi

(34)

18

Kriteria nilai Iw adalah 0 sampai dengan 1. Apabila nilai: = 0: kesenjangan sangat rendah (merata sempurna);

≤ 0,3 : Kesenjangan rendah. = 0,3 – 0,5 : Kesenjangan sedang;

= 0,5 -1 : Kesenjangan sangat tinggi (tidak merata sempurna);

Indeks Theil

Selain indeks Wiliamson, untuk mendekomposisi total disparitas menjadi kontribusi disparitas oleh wilayah kecamatan atau untuk melihat kontribusi disparitas oleh sektor perekonomian (disparitas parsial), Fujita dan Hu (2001) menggunakan Indeks Theil yang dijelaskan dengan persamaan :

( )

dimana :

= Total Disparitas (Indeks Theil)

= PDRB kecamatan i/ PDRB Kota Sukabumi

= Penduduk kecamatan i/ penduduk kabupaten/kota atau jumlah tenaga kerja sektor ke-i/ jumlah tenaga kerja sektor ke-i kabupaten/ kota. = kecamatan di Kota Sukabumi

Selain itu, untuk mendekomposisi total disparitas wilayah menjadi disparitas antar kawasan atau disparitas antar kecamatan dalam kawasan di Kota Sukabumi, dengan menggunakan persamaan:

dimana :

= disparitas antar kawasan

= Jumlah PDRB antar kecamatan dalam kawasan

= disparitas antar kecamatan dalam kawasan

(35)

19

Analisis Potensi Sektor Ekonomi

Penetapan potensi sektor ekonomi tiap kecamatan di wilayah Kota Sukabumi didasarkan pada kemampuan sektor untuk berpotensi kompetitif dan komparatif sebagai berikut :

1. Nilai Location Quotient (LQ) : Suatu sektor dikatakan berpotensi komparatif apabila memiliki nilai LQ > 1 artinya sektor tersebut merupakan sektor basis. 2. Nilai differential shift : Suatu sektor dikatakan berpotensi kompetitif apabila

memiliki nilai differential shift > 0, artinya sektor tersebut mengalami pertumbuhan yang cepat dan memiliki kemampuan untuk berkompetisi dalam wilayah yang lebih besar.

Location Quotient (LQ)

Location Quotient (LQ) merupakan metode analisis yang digunakan untuk menunjukkan lokasi pemusatan/basis (aktifitas). Disamping itu, LQ juga bisa digunakan untuk mengetahui kapasitas ekspor perekonomian suatu wilayah serta tingkat kecukupan barang/jasa dari produksi lokal suatu wilayah.

Location Quotient merupakan suatu indeks untuk membandingkan pangsa sub wilayah dalam aktifitas tertentu dengan pangsa total aktifitas tersebut dalam total aktifitas wilayah. Secara lebih operasional, LQ didefinisikan sebagai rasio persentase dari total aktifitas pada sub wilayah ke-i terhadap persentase aktifitas total terhadap wilayah yang diamati. Persamaan dari LQ ini adalah :

Dimana:

: derajat aktifitas sektor ke-j di wilayah ke-i . : total aktifitas sektor di wilayah ke-i : total aktifitas sektor ke-j di semua wilayah

: derajat aktifitas sektor total wilayah

Hasil analisis LQ diinterpretasikan sebagai berikut :

· Jika nilai > 1, maka hal ini menunjukkan terjadinya konsentrasi suatu aktifitas di sub wilayah ke-i secara relatif dibandingkan dengan total wilayah atau terjadi pemusatan aktifitas di sub wilayah ke-i.

· Jika nilai = 1, maka sub wilayah ke-i tersebut mempunyai pangsa aktifitas setara dengan pangsa total atau konsentrasai aktifitas di wilayah ke-i sama dengan rata-rata total wilayah.

· Jika nilai < 1, maka sub wilayah ke-I tersebut mempunyai pangsa relatif lebih kecil dibandingkan dengan aktifitas yang secara umum ditemukan diseluruh wilayah.

Shift-share analysis (SSA)

(36)

20

kemampuan berkompetisi (competitiveness) aktifitas tertentu di suatu wilayah secara dinamis atau perubahan aktifitas dalam cakupan wilayah lebih luas.

Hasil analisis shift-share menjelaskan kinerja (performance) suatu aktifitas di suatu sub wilayah dan membandingkannya dengan kinerjanya di dalam wilayah total. Analisis shift-share mampu memberikan Gambaran sebab-sebab terjadinya pertumbuhan suatu aktifitas di suatu wilayah. Sebab-sebab yang dimaksud dibagi menjadi tiga bagian yaitu : sebab yang berasal dari dinamika lokal (sub wilayah), sebab dari dinamika aktifitas/sektor (total wilayah) dan sebab dari dinamika wilayah secara umum.

Dari hasil analisis shift share diperoleh Gambaran kinerja aktifitas di suatu wilayah. Gambaran kinerja ini dapat dijelaskan dari 3 komponen hasil analisis, yaitu :

1. Komponen Laju Pertumbuhan Total (Komponen share). Komponen ini menyatakan pertumbuhan total wilayah pada dua titik waktu yang menunjukkan dinamika total wilayah.

2. Komponen Pergeseran Proporsional (Komponen proportional shift). Komponen ini menyatakan pertumbuhan total aktifitas tertentu secara relatif, dibandingkan dengan pertumbuhan secara umum dalam total wilayah yang menunjukkan dinamika sektor/aktifitas total dalam wilayah.

3. Komponen Pergeseran Diferensial (Komponen differential shift). Ukuran ini menjelaskan bagaimana tingkat kompetisi (competitiveness) suatu aktifitas tertentu dibandingkan dengan pertumbuhan total sektor/aktifitas tersebut dalam suatu wilayah. Komponen ini menggambarkan dinamika (keunggulan/ ketakunggulan) suatu sektor/aktifitas tertentu di sub wilayah tertentu terhadap aktifitas tersebut di sub wilayah lain.

Persamaan analisis shift-share ini adalah sebagai berikut :

a b c

dimana :

a = komponen share

b = komponen proportional shift c = komponen differential shift

= titik tahun akhir

= titik tahun awal

i = aktifitas sektor

j = kecamatan di Kota Sukabumi

= Nilai total aktifitas sektor tertentu dalam total wilayah

= Nilai aktifitas sektor tertentu

dalam unit wilayah tertentu

= Nilai total aktifitas sektor dalam

total wilayah

Analisis Tingkat Perkembangan Wilayah

Indeks Entropi

(37)

21 sektor-sektor perekonomian yang dominan dan berkembang pada wilayah tersebut. Data yang digunakan untuk menghitung Indeks Entropi adalah nilai PDRB setiap kecamatan terhadap PDRB Kota Sukabumi tahun 2007-2011. Prinsip Indeks Entropi ini adalah semakin beragam aktifitas atau semakin luas jangkauan spasial, maka semakin tinggi entropi wilayah. Artinya wilayah tersebut semakin berkembang. Persamaan umum entropi ini adalah sebagai berikut :

∑ ∑

Dimana:

tingkat perkembangan

= ∑ atau proporsi sektor ke-i di kecamatan ke-j

> 0 (untuk mengidentifikasi tingkat perkembangan terdapat ketentuan bahwa jika indeks S semakin tinggi maka tingkat perkembangan semakin tinggi); dengan = ln (banyaknya aktivitas x banyaknya wilayah).

Indeks Entropi diperoleh dengan membagi nilai entropi (S) dengan nilai entropi maksimumnya (IE = S) dengan nilai IE berkisar antara 0 (nol) sampai dengan 1 (satu) yang mengindikasikan tingkat keragaman suatu komponen aktivitas semakin berkembang (merata) dan begitu pula sebaliknya.

Analisis model entropi, menurut Saefulhakim (2006) merupakan salah satu konsep analisa yang dapat menghitung Diversitas komponen aktivitas yang berguna untuk : (1) Memahami perkembangan suatu wilayah; (2) Memahami perkembangan atau kepunahan keanekaragaman hayati; (3) Memahami perkembangan aktifitas industri; (4) Memahami perkembangan aktifitas suatu sistem produksi pertanian dan lain-lain. Untuk mengetahui klasifikasi indeks entropi tiap kabupaten/kota dilakukan berdasarkan nilai hasil standar deviasi indeks entropi dan nilai rataannya. Nilai yang diperoleh digunakan untuk menentukan jumlah kelas, yakni rendah, sedang atau tinggi.

Skalogram

Secara umum, untuk melihat tingkat perkembangan hirarki di suatu wilayah terhadap wilayah lain yang dibatasi oleh administrasi kabupaten/kota, terutama dalam hal sarana infrastruktur yaitu dengan menggunakan analisis skalogram. Penelitian ini menggunakan data Potensi Desa tahun 2011 dengan parameter yang diukur meliputi bidang sarana perekonomian, sarana komunikasi dan informasi, sarana kesehatan, sarana pendidikan terhadap jumlah penduduk tiap kecamatan di Provinsi Kota Sukabumi.

Secara terinci prosedur kerja penyusunan hirarki relatif suatu wilayah menggunakan Skalogram berbobot adalah sebagai berikut:

(38)

22

b. Dilakukan agregasi/penjumlahan terhadap kelurahan-kelurahan yang terdapat dalam satu kecamatan yang sama, sehingga yang didapat adalah hirarki relatif kecamatan;

c. Memisahkan antara data jarak dengan data jumlah fasilitas, hal ini karena antara data jarak dengan jumlah fasilitas bersifat berbanding terbalik.

d. Rasionalisasi data dilakukan terhadap data jarak dan fasilitas. Data jarak diinverskan dengan rumus: y= 1/x

ij, dimana y adalah variabel baru dan x

ij adalah data jarak j di wilayah i. Untuk nilai y yang tidak

terdefinisikan (x

ij= 0), maka nilai y dicari dengan persamaan: y =

x

ij(max) + simpangan baku jarak j. Selanjutnya data fasilitas diubah

menjadi data kapasitas dengan cara jumlah fasilitas j di wilayah i dibagi dengan jumlah penduduk di wilayah i.

e. Pembobotan dilakukan terhadap data kapasitas dengan cara data kapasitas j dibagi dengan bobot fasilitas j, dimana bobot fasilitas j = jumlah total kapasitas j dibagi dengan jumlah wilayah yang memiliki fasilitas j.

f. Standardisasi data dilakukan terhadap variabel-variabel baru dari data jarak dan fasilitas (berbobot) dengan menggunakan rumus:

Dimana:

= variabel baru untuk wilayah ke-i dan jenis fasilitas atau jarak ke-j. = jumlah sarana untuk wilayah ke-i dan jenis sarana atau jarak ke-j.

= nilai minimum untuk jenis sarana atau jarak ke-j. = simpangan baku untuk jenis sarana atau jarak ke-j.

g. Indeks Perkembangan Kecamatan (IPK) ditentukan dengan cara menghitung jumlah hasil standarisasi sarana dan aksesibilitas pada suatu wilayah.

Pada penelitian ini, IPK dikelompokkan ke dalam tiga kelas hirarki, yang didasarkan pada nilai standar deviasi (St Dev) IPK dan nilai rataannya (Tabel 4).

Menurut Budharsono (2001), metode ini mempunyai beberapa keunggulan, antara lain : (1) Memperlihatkan dasar diantara jumlah penduduk dan tersedianya fasilitas pelayanan; (2) Secara cepat dapat mengorganisasikan data dan mengenal wilayah; (3) Membandingkan pemukiman-pemukiman dan wilayah-wilayah berdasarkan ketersediaan fasilitas pelayaanan; (4) Memperlihatkan hirarki pemukiman atau wilayah;

Tabel 4 Penentuan Nilai Selang Hirarki

No Kelas Nilai Selang Tingkat Hirarki

1 Hirarki I X > [rataan + (St Dev.IPW)] Tinggi 2 Hirarki II rataan < X < (St Dev.IPW) Sedang

(39)

23 (5) Secara potensial dapat digunakan untuk merancang fasilitas baru dan memantaunya.

Analisis Isu Utama Kebijakan Pengembangan Wilayah

Analysis Hierarchy Process (AHP)

Untuk mengetahui isu yang mengemuka sebagai suatu prioritas kebijakan pembangunan wilayah dan kaitannya pemerataan, penelitian ini melakukan analisis dengan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) guna mendapatkan nilai skor yang diperlukan melalui proses wawancara dengan stakeholder.

Responden yang dilibatkan meliputi unsur pemerintah dan non pemerintah dengan jumlah keseluruhan 15 (lima belas) orang (Tabel 5), yang memiliki pemahaman baik tentang perkembangan pembangunan di Kota Sukabumi dengan menggunakan teknik pengambilan sampel responden secara purposive sampling.

Tujuan utama yang ingin dicapai dari metode AHP ini adalah untuk menjaring persepsi tentang prioritas utama yang perlu dilakukan dalam kebijakan pengembangan wilayah Kota Sukabumi. Sementara tujuan, kriteria dan alternatif yang akan digunakan dalam menjaring pendapat stakeholders digambarkan dengan Struktur AHP seperti pada Gambar 4.

Tabel 5 Rincian Data Calon Responden

No Asal Responden Jumlah (orang)

I Unsur Pemerintah (Aparatur) 10

Bappeda 2

Unit Layanan Pengadaan 1

Administrasi Pembangunan 1

Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi 1

Dinas Perhubungan 1

Dinas Tata Ruang dan Pemukiman 1

Dinas Pendidikan 1

Kecamatan 2

II Unsur Non Pemerintah 5

Akademisi 2

Organisasi Masyarakat 1

Tokoh Masyarakat 1

Pengusaha 1

(40)

24

PEMBANGUNAN WILAYAH KOTA SUKABUMI YANG MERATA

Pengembangan Kawasan Ekonomi

Peningkatan Investasi Swasta Peningkatan

Pembangunan Sektor Unggulan Pemerataan Anggaran

Pembangunan

Pembangunan Akses Jalan

Pembangunan Sarana & Moda Transportasi

Pemerataan Kesempatan Kerja Pelatihan

Keterampilan Kerja & Kewirausahaan Pengembangan

Usaha Kecil Mikro PEMERATAAN PERTUMBUHAN EKONOMI

PEMERATAAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR ANTAR WILAYAH

[image:40.842.71.765.105.440.2]

PEMERATAAN PENDAPATAN ANTAR GOLONGAN MASYARAKAT

Gambar 4 Struktur AHP

(41)

25

4

KONDISI UMUM WILAYAH

Kondisi Fisik

Geografi dan Administrasi

Kota Sukabumi secara Geografis terletak di bagian selatan Jawa Barat pada

koordinat 106˚45’50” Bujur Timur dan 106˚45’10” Bujur Timur, 6˚50’44”

Lintang Selatan, di kaki Gunung Gede dan Gunung Pangrango yang ketingiannya 584 meter di atas permukaan laut, dengan batas wilayahnya sebagai berikut:

· Sebelah Utara Kecamatan Sukabumi, Kabupaten Sukabumi

· Sebelah Selatan Kecamatan Nyalindung, Kabupaten Sukabumi

· Sebelah Barat Kecamatan Cisaat, Kabupaten Sukabumi

· Sebelah Timur Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi

[image:41.595.107.519.146.773.2]

Peta wilayah administrasi Kota Sukabumi ditampilkan pada Gambar 5 sedangkan kecamatan dan kelurahan yang berada dalam wilayah administrasi Kota Sukabumi tertera pada Tabel 6.

Gambar

Tabel 3 Jenis, Sumber, cara Pengumpulan dan Analisis Data
Gambar 3 Bagan alir Penelitian
Gambar 4 Struktur AHP
Gambar 5 Peta Wilayah Administrasi Kota Sukabumi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian Iftari (2013) menunjukkan bahwa penghambatan mRNA gtfC S. mutans paling optimal terjadi pada masa inkubasi 4 jam. Komponen volatil pada flavor cajuputs candy

Outlook: South East Asia port EBITDA margins*. South East Asia port EBITDA margins are generally positive

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) Ada hubungan yang signifikan antara variabel kecepatan lari terhadap kemampuan lompat jauh pada siswa putra kelas X SMA N

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh tempo musik cepat dan lambat terhadap tekanan darah (TD) sistol dan frekuensi denyut jantung (FDJ) pada musician

Dari percobaan yang telah dilakukan dengan menggunakan alat seperti tersebut di atas dengan batasan-batasan yang ada maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: klorinasi

The critical question in 2014will be tapped to runthe entire program and controversies that will make the website. Critics will yell about

Atas dasar pemahaman ini, maka daya saing pada dasarnya tidak selalu merupakan sesuatu yang bersifat “besar” dan rumit, sehingga daya saing bangsa merupakan himpunan dari

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia Merdeka yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk