• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penulis dilahirkan di Surabaya pada tanggal 20 Maret 1964 dari ayah Lazarus Marisan dan ibu Mariana Rawar. Penulis merupakan putra pertama dari empat bersaudara.

Tahun 1985 penulis lulus dari SMA Negeri I/414 Abepura di Jayapura Papua, dan pada tahun yang sama lulus seleksi Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru (SIPENMARU) masuk Universitas Cenderawasih Papua. Penulis memilih Program Studi Manajemen Hutan Fakultas Pertanian di Manokwari Papua, dan lulus pada tahun 1992.

Tahun 1992 sampai 1994 penulis bekerja di PT. Henrison Iriana Bintuni (Hak Pengusahaan Hutan/HPH) Manokwari, tahun 1994 sampai 1996 bekerja di PT. Damai Setiatama Timber (Hak Pengusahaan Hutan/HPH) di Merauke Papua.

Pada Tahun 1996 penulis lulus seleksi Pegawai Negeri Sipil di Kabupaten Merauke Papua dan terpilih menjadi pegawai peserta Magang yang merupakan proyek dari Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Republik Indonesia dari tahun 1996 sampai 1998 yang ditempatkan di Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Jabatan terakhir yang diperoleh adalah Kepala Sub Bidang Pencemaran Air pada Kantor Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Kabupaten Merauke Papua.

Pada tahun 2003 saat melaksanakan pendidikan Program Pascasarjana (S2) di Program Studi Perencanaan Wilayah Institut Pertanian Bogor penulis dipindahtugaskan sebagai staf di lingkungan Setda Kabupaten Asmat Papua.

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Tujuan Penelitian ... 2 Manfaat Penelitian ... 2 Kerangka Penelitian ... 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5 Ruang ... 5 Konsep Kewilayahan ... 5 Wilayah Homogen ... 6 Wilayah Nodal ... 6 Wilayah Administrasi ... 7 Wilayah Perencanaan ... 7 Rencana Tata Ruang ... 7 Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional ... 8 Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi ... 9 Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota ... 10 Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor (1999-2009) ... 10

Arahan Pemanfaatan Ruang Kawasan Lindung

Kabupaten Bogor ... 11 Arahan Pemanfaatan Ruang Kawasan Budidaya

Kabupaten Bogor ... 12 Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bogor (1999-2009) ... 12 Rencana Penggunaan Lahan Kota Bogor ... 13 Land Rent ... 14 Penutupan dan Penggunaan Lahan ... 15 Perubahan Penggunaan Lahan ... 16

Klasifikasi Penutupan Lahan ... 17 Sistem Informasi Geografi (SIG) ... 18 Komponen SIG ... 18 Fungsi Analisis ... 19

BAHAN DAN METODE ... 22 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 22 Jenis Data dan Alat ... 22 Metode Penelitian ... 22 Editing Peta ... 22 Overlay (Intersect) ... 23 Analisis Konsistensi RTRW ... 24 Analisis Faktor -faktor yang Mempengaruhi Inkonsistensi

RTRW ... 26 Analisis Perubahan Penutupan Lahan ... 28 Identifikasi Pusat-pusat Perubahan Penutupan Lahan ... 28

HASIL dan PEMBAHASAN ... 35 Wilayah Kabupaten Bogor ... 35 Kelerengan Wilayah Kabupaten Bogor ... 35 Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor

(1999– 2009) ... 35 Penutupan Lahan Tahun 2002 di Kabupaten Bogor ... 40 Analisis Konsistensi RTRW Kabupaten Bogor ... 42 Analisis Faktor -faktor yang Mempengaruhi Inkonsistensi RTRW

Kabupaten Bogor ... 46 Analisis Perubahan Penutupan Lahan (1997–2002)

di Kabupaten Bogor ... 49 Identifikasi Pusat-pusat Perubahan Penutupan Lahan

di Kabupaten Bogor ... 51 Wilayah Administrasi Kota Bogor ... 52 Kondisi Kelerengan Kota Bogor ... 52 Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bogor (1999–2009) ... 57 Penutupan Lahan Kota Bogor Tahun 2002 ... 59 Analisis Konsistensi RTRW Kota Bogor ... 61

Analisis Faktor -faktor yang Mempengaruhi Inkonsistensi

RTRW di Kota Bogor ... 61 Analisis Perubahan Penutupan Lahan (1997–2002) di Kota Bogor ... 65 Identifikasi Pusat-pusat Perubahan Penutupan Lahan ... 67

SIMPULAN DAN SARAN ... 71

DAFTAR PUSTAKA ... 73

DAFTAR TABEL

Teks

Nomor Halaman

1. Matriks Konsistensi antara Arahan Pemanfaatan Ruang (RTRW) dengan Penutupan Lahan Tahun 2002 di Kabupaten Bogor ... 25 2. Matriks Konsistensi antara Arahan Pemanfaatan Ruang (RTRW) dengan Penutupan Lahan Tahun 2002 di Kota Bogor ... 25 3. Variabel penduga faktor-faktor yang mempengaruhi Inkonsistensi RTRW Kabupaten Bogor ... 28 4. Variabel penduga faktor-faktor yang mempengaruhi Inkonsistensi RTRW Kota Bogor ... 29

5. Luas (Ha) dan Proporsi (%) Arahan Pemanfaatan Ruang

Menurut RTRW di Kabupaten Bogor ... 39 6. Proporsi RTRW Terhadap Penutupan Lahan Tahun 2002

Kabupaten Bogor ... 42 7. Proporsi Inkonsistensi RTRW Menurut Kelas Kelerengan

di Kabupaten Bogor ... 43 8. Koefisien Korelasi antara Peubah Asal Penduga Penentu

Konsistensi RTRW Kabupaten Bogor ... 48 9. Luas dan Proporsi Rencana Tata Ruang Wilayah

Kota Bogor (1999-2009) ... 57 10. Luas Inkonsistensi RTRW Kota Bogor ... 61

11. Koefisien Korelasi antara Peubah Asal Penentu Inkonsistensi

RTRW Kota Bogor ... 63

DAFTAR GAMBAR

Teks

Nomor Halaman

1. Diagram Alur Pembentukan Basis Data SIG ... 30 2. Diagram Alur Analisis Konsistensi RTRW ... 31 3. Diagram Alur Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Inkonsistensi RTRW ... 32 4. Diagram Alur Analisis Perubaha n Penutupan Lahan ... 33 5. Peta Wilayah Administrasi Kabupaten Bogor ... 36 6. Peta Kelas Kelerengan Kabupaten Bogor ... 37 7. Peta RTRW Kabupaten Bogor ... 38 8. Grafik Luas dan Proporsi Penutupan Lahan Tahun 2002

di Kabupaten Bogor ... 40 9. Peta Penutupan Lahan Tahun 2002 Kabupaten Bogor ... 41 10. Peta Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Terhadap RTRW

Kabupaten Bogor ... 45 11. Grafik Luas dan Proporsi Penutupan Lahan Tahun 1997

di Kabupaten Bogor ... 49 12. Peta Penutupan Lahan Tahun 1997 Kabupaten Bogor ... 50 13. Grafik Luas Perubahan Penutupan Lahan (1997– 2002)

di Kabupaten Bogor ... 51 14. Peta Perubahan Penutupan Lahan (1997-2002)

di Kabupaten Bogor ... 53 15. Peta Pusat-pusat Perubahan Penutupan Lahan (1997-2002)

di Kabupaten Bogor ... 54 16. Peta Administrasi Wilayah Kota Bogor ... 55 17. Peta Kelas Kelerengan Kota Bogor ... 56 18. Peta RTRW Kota Bogor ... 58 19. Grafik Luas dan Proporsi Penutupan Lahan Tahun 2002

di Kota Bogor ... 59 20. Peta Penutupan Lahan Tahun 2002 Kota Bogor ... 60 21. Peta Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Terhadap RTRW

22. Grafik Luas dan Proporsi Penutupan Lahan Tahun 1997 Kota Bogor ... 66 23. Grafik PerubahanPenutupan Lahan (1997–2002) Kota Bogor ... 66 24. Peta Penutupan Lahan Tahun 1997 Kota Bogor ... 68 25. Peta Perubahan Penutupan Lahan Kota Bogor ... 69 26. Peta Pusat-pusat Perubahan Penutupan Lahan Kota Bogor ... 70

DAFTAR LAMPIRAN

Teks

Nomor Halaman

1. Tabel Luas Penutupan Lahan Tahun 1997 Menurut Kecamatan

di Kabupaten Bogor ... 76 2. Tabel Luas Penutupan Lahan Tahun 2002 Menururt Kecamatan

di Kabupaten Bogor ... 77 3. Tabel Kelas Kelerengan Menurut Kecamatan di Kabupaten Bogor ... 78 4. Tabel Luas Inkonsistensi RTRW Menurut Desa

di Kabupaten Bogor ... 79 5. Tabel Variabel Data Te rkoleksi dari Data Potensi Desa Tahun 2002 Kabupaten Bogor ... 91 6. Tabel Set Data Baru Peubah Penentu Konsistensi RTRW

Kabupaten Bogor ... 93 7. Tabel Analisis Regresi Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Kawasan

Hutan Produksi Menjadi Ruang Terbangun di Kabupaten Bogor ... 101 8. Tabel Analisis Regresi Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Kawasan

Hutan Produksi Menjadi TPLB di Kabupaten Bogor ... 101 9. Tabel Analisis Regresi Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Kawasan

Hutan Produksi Menjadi TPLK di Kabupaten Bogor ... 102 10. Tabel Analisis Regresi Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Kawasan

Hutan Lindung Menjadi Ruang Terbangun di Kabupaten Bogor ... 102 11. Tabel Analisis Regresi Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Kawasan

Hutan Lindung Menjadi TPLB di Kabupaten Bogor ... 103 12. Tabel Analisis Regresi Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Kawasan

Hutan Lindung Menjadi TPLK di Kabupaten Bogor ... 103 13. Tabel Analisis Regr esi Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Kawasan

Pertanian Menjadi Ruang Terbangun di Kabupaten Bogor ... 104 14. Tabel Luas Perubahan Penutupan Lahan (1997-2002) per Kecamatan

di Kabupaten Bogor ... 105 15. Tabel Luas Penutupan Lahan per Kecamatan Tahun 1997

di Kota Bogor ... 107 16. Tabel Luas Penutupan Lahan per Kecamatan Ta hun 2002

17. Tabel Luas Kecamatan Menurut Kelas Kelerengan

Kota Bogor ...….. 107 18. Tabel Luas Inkonsistensi RTRW per Desa

di Kota Bogor ... 108 19. Tabel Variabel Data Terkoleksi dari Data Potensi Desa Tahun 2002

Kota Bogor ... 110 20. Tabel Analisis Regresi Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Kawasan

Lahan Konservasi Menjadi Ruang Terbangun di Kota Bogor ... 113 21. Tabel Analisis Regresi Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Kawasan

Lahan Konservasi Menjadi TPLB di Kota Bogor ... 113 22. Tabel Analisis Regresi Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Kawasan

Lahan Konservasi Menjadi TPLK di Kota Bogor ... 114 23. Tabel Set Data Baru Peubah Penentu Konsistensi RTRW

Kota Bogor ... 115 24. Tabel Luas Perubahan Penutupan Lahan (1997-2002) per Kecamatan

PENDAHULUAN Latar Belakang

Wilayah Bogor (Kabupaten dan Kota) memiliki arti penting bagi wilayah Jakarta. Sebagai salah satu hinterland wilayah Jakarta, Bogor telah menjadi daerah limpahan perluasan kawasan perkotaan untuk sektor permukiman, industri, maupun pariwisata. Selain itu, berdasarkan letak geografisnya Bogor merupakan daerah hulu dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung yang mengalir ke wilayah Jakarta.

Pertambahan jumlah penduduk di wilayah Bogor baik karena proses alami maupun urbanisasi telah menimbulkan kebutuhan akan lahan (ruang) meningkat. Semakin bertambah jumlah penduduk, maka kebutuhan akan fasilitas pelayanan sosial terutama permukiman semakin meningkat. Potensi sumberdaya lahan tersedia dalam jumlah tetap (fixed), sementara kebutuha n akan ruang terus meningkat sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk. Untuk dapat memenuhi kebutuhan akan ruang (terutama permukiman) sebagai konsekuensi dari pertambahan jumlah penduduk, maka konversi lahan telah menjadi alternatifnya.

Konversi lahan umumnya dilakukan berdasarkan pertimbangan aspek fisik lahan dan aspek sosial ekonomi. Aspek fisik lahan (jenis tanah, ketinggian, kelerengan, iklim, geologi, dan lain-lain) merupakan aspek dasar yang sangat penting karena menyangkut kualitas lahan. Aspe k sosial ekonomi (pertumbuhan penduduk, pergeseran mata pencaharian, tingkat pendidikan, ketersediaan sarana dan prasarana) merupakan aspek penting lainnya yang menentukan terjadinya konversi lahan.

Pertimbangan-pertimbangan aspek fisik lahan dan aspek sosial ekonomi seringkali memiliki prespektif kepentingan yang berbeda. Aspek fisik lahan lebih mengarah pada kepentingan kelestarian alam sedangkan aspek sosial ekonomi lebih mengarah pada kesejahteraan sosial masyarakat. Namun demikian, dalam melakukan konversi lahan kedua kepentingan tersebut perlu diselaraskan guna dapat memberikan manfaat yang berkesinambungan.

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) merupakan wujud dari upaya pemerintah untuk menyelaraskan aspek fisik lahan dengan aspek sosial ekonomi. Namun demikian, kompleksitas permasalahan sosial ekonomi masyarakat dan upaya meningkatan Pendapat Asli Daerah (PAD) seringkali melahirkan kebijakan-kebijakan baru yang kurang memperhatikan aspek fisik lahan sehingga dapat mengganggu

keseimbangan ekosistem. Hal ini dapat mengakibatkan timbulnya bencana seperti degradasi lahan, banjir, tanah longsor dan sebagainya yang dapat merugikan generasi sekarang maupun yang akan datang.

Bencana banjir yang menggenangi hampir 60% wilayah Jakarta di tahun 2002 dan 2003 telah menjadi isu yang cukup menarik perhatian baik nasional maupun internasional (Direktorat Jendral Penataan Ruang 2003). Beberapa pendapat menyatakan bahwa bencana banjir tersebut merupakan kiriman dari daerah hulu (Bogor) sebagai akibat dari perubahan penutupan lahan, sebagian lagi berpendapat bahwa tidak semata-mata kiriman dari daerah hulu (Bogor) tetapi disebabkan juga oleh faktor-faktor lain di daerah bencana seperti: curah hujan yang relatif tinggi, pasang air laut, perubahan penutupan lahan dan vegetasi. Menurut Direktorat Jendral Penataan Ruang (2003), terdapat beberapa permasalahan penting yang diduga mempengaruhi terjadinya bencana banjir tersebut, antara lain: berkurangnya fungsi kawasan-kawasan lindung di wilayah Bogor sebagai kawasan resapan air, dan berbagai inkonsistensi antara rencana dan pemanfaatan ruang. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka terdapat dua permasalahan pokok yang menarik untuk dikaji yakni: sejauh manakah pemanfaatan ruang wilayah Bogor konsisten denga n RTRW. Kedua, bagaimana kondisi perubahan penutupan lahan yang telah terjadi di wilayah Bogor.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk: 1) Menganalisis konsistensi RTRW dan faktor-faktor yang mempengaruhi inkonsistensi RTRW, dan 2) Menganalisis perubahan penutupan lahan dari tahun 1997 ke 2002 dan mengidentifikasi pusat-pusat perubahan penutupan lahan.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi penting untuk menentukan langkah-langkah perbaikan apa yang perlu dilakukan guna mengantisipasi terjadinya bencana yang lebih besar.

Kerangka Pemikiran

Arahan pemanfaatan ruang secara umum (pertanian/non pertanian) pada dasarnya telah diatur dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Berdasarkan peta RTRW diketahui, ba hwa setiap ruang dalam suatu wilayah dengan batasan administrasi

pemerintahan (Nasional, Propinsi, Kabupaten/Kota) telah dialokasikan penggunaannya dalam kawasan-kawasan tertentu. Hal tersebut dimaksudkan agar penggunaan lahan dapat memberikan manfaat yang optimal dan berkesinambungan. Peta RTRW pada tingkat Kabupaten atau Kota merupakan gambaran mengenai kondisi atau bentuk tata ruang pada 10 tahun mendatang sejak RTRW ditetapkan dengan asumsi bahwa pertambahan penduduk dan kebutuhan infrasturktur wilayah sesuai dengan prediksi yang dibuat.

Pesatnya pertambahan jumlah penduduk cenderung diikuti dengan meningkatnya aktifitas sosial ekonomi masyarakat. Dengan meningkatnya aktifitas tersebut maka kebutuhan akan lahan (ruang) menjadi meningkat pula baik pada lahan pertanian maupun non pertanian. Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan/kesesuaian lahan dapat mengakibatkan terjadinya bencana seperti degradasi lahan, tanah longsor dan banjir.

Jenis penutupan lahan dan kondisi kelerengan suatu wilayah merupakan dua faktor fisik dari beberapa faktor fisik lainnya yang dapat berpengaruh terhadap laju aliran air hujan yang jatuh di permukaan bumi. Jenis penutupan lahan berupa ruang terbangun (permukiman, perkantoran, dan fasilitas sosial lainnya yang merupakan bangunan fisik) hampir tidak memiliki kemampuan dalam peresapan air hujan sehingga dapat mengakibatkan meningkatnya aliran permukaan. Sedangkan jenis penutupan lahan yang berbentuk vegetasi terutama vegetasi lebat/hutan memiliki kemampuan peresapan air hujan yang baik. Kecuraman lereng, panjang dan bentuk lereng (konvek atau konkaf) semuanya mempengaruhi besarnya erosi dan aliran permukaan (Arsyad 2000). Kondisi kelerengan suatu wilayah dapat berpengaruh terhadap laju aliran permukaan. Semakin curam lereng suatu wilayah semakin besar laju aliran permukaan.

Kondisi penutupan lahan yang merupakan gambaran dari pemanfaatan ruang suatu wilayah dapat dipantau secara cepat dan mudah melalui data penginderaan jauh. Sistem Informasi Geografi (SIG) merupakan salah satu teknologi yang dikembangkan untuk berbagai analisis yang menyangkut aspek spasial. Pada pengertian yang lebih luas SIG mencakup juga pengertian sebagai suatu sistem yang berorientasi operasi secara manual, yang berkaitan dengan operasi pengumpulan, penyimpanan dan manipulasi data yang bereferensi geografi secara konvensional (Barus dan Wiradisastra 2000).

Pengolahan data penginderaan jauh berupa peta-peta digital dilakukan secara komputerisasi dengan menggunakan perangkat lunak ArcView Ver. 3.2. Overlay merupakan salah satu fungsi analisis dari SIG. Dari hasil overlay tersebut diperoleh poligon-poligon baru yang memiliki informasi tentang kondisi fisik wilayah berupa peta dan atribut. Informasi tersebut kemudian dijadikan sebagai data basis untuk berbagai analisis yang diperlukan seperti inkonsistensi pemanfaatan ruang terhadap RTRW, perubahan penutupan lahan.

Data atribut dari hasil overlay berupa luas perubahan penutupan lahan dan luas inkonsistensi pemanfaatan ruang ter hadap RTRW kemudian dijadikan sebagai data dalam melakukan analisis selanjutnya untuk mengidentifikasi pusat-pusat perubahan penutupan lahan dalam unit kecamatan dengan menggunakan metode Location Quotient (LQ). Selain itu, data tersebut juga dipakai dalam analisis regresi guna mengetahui keeratan hubungan antara luas area inkonsistensi pemanfaatan ruang terhadap RTRW dengan faktor-faktor yang mempengaruhi inkonsistensi RTRW dalam unit desa. Faktor -faktor yang mempengaruhi inkonsistensi diperoleh dari hasil pengolahan data potensi desa dengan menggunakan analisis Principal Component Analysis (PCA).

TINJAUAN PUSTAKA

Ruang

Menurut Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya.

Ruang (space) menurut istilah geografi secara umum adalah seluruh permukaan bumi yang merupakan biosfer, tempat hidup tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia. Ruang menurut istilah geografi regional sering diartikan sebagai suatu wilayah yang mempunyai batas geografi, yaitu batas menurut keadaan fisik, sosial, atau pemerintahan, yang terjadi dari sebagian permukaan bumi dan lapisan tanah di bawahnya serta lapisan udara di atasnya (Jayadinata 1999).

Konsep Kewilayahan

Rustiadi et al. (2005) mengemukakan, beberapa istilah seperti ruang, wilayah, dan kawasan seringkali di dalam penggunaannya tidak memiliki batasan yang jelas sehingga dapat saling dipertukarkan pengertiannya. Dari sisi teoritik sebenarnya tidak ada perbedaan nomenklatur antara istilah ruang, wilayah, dan kawasan, secara umum semuanya dapat diistilahkan wilayah (region). Penggunaan istilah kawasan digunakan karena adanya penekanan-penekanan fungsional dari suatu unit wilayah. Istilah mengenai ruang pada dasarnya merupakan unit geografis, karena merupakan peristilahan tentang bagian di atas permukaan bumi. Dengan demikian wilaya h dapat didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas yang spesifik (tertentu) dimana komponen-komponen dari wilayah tersebut (sub wilayah) satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional. Batasan wilayah lebih bersifat “meaningful” baik untuk perencanaan, pelaksanaan, monitoring, pengendalian, maupun evaluasi. Berdasarkan pengertian tersebut, maka batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti, tetapi seringkali bersifat dinamis (berubah-ubah). Lebih lanjut dikemukakan, bahwa kerangka klasifikasi konsep wilayah yang dinilai lebih mampu menjelaskan berbagai konsep wilayah yang dikenal selama ini, yaitu: (1) wilayah homogen (uniform), (2) wilayah sistem, dan (3) wilayah perencanaan/pengelolaan (planning region/programming

region). Dalam pendekatan klasifikasi konsep wilayah ini, wilayah nodal hanya dipandang sebagai salah satu dari konsep wilayah sistem.

1. Wilayah Homogen

Wilayah homogen adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan pada kenyataan bahwa faktor-faktor dominan pada wilayah tersebut bersifat homogen, sedangkan faktor-faktor yang tidak dominan bisa saja beragam (heterogen). Homogenitas suatu wilayah secara umum disebabkan oleh faktor alamiah dan faktor artificial. Faktor alamiah yang dapat menyebabkan homogenitas suatu wilayah adalah kemampuan lahan, sedangkan faktor artific ial adalah homogenitas yang didasarkan pada pengklasifikasian atas hal yang didasarkan faktor manusia, contohnya: kemiskinan

Faktor dominan suatu wilayah pada dasarnya ditentukan oleh sistem penggunaan lahan yang didukung oleh potensi sumberdaya lahan (kemampuan dan kesesuaian) lahan tersebut. Penggunaan lahan yang sesuai dengan potensi sumberdaya lahan cenderung memberikan output yang lebih baik dibandingkan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan potensi sumberdaya lahannya. Sebagai contoh, penggunaan lahan didaerah Pantura Jawa didominasi oleh pertanian sawah, hal ini karena didukung oleh potensi sumberdaya lahannya. Dengan adaya dukungan potensi sumberdaya lahan maka dapat terjadi penghemata n-penghematan biaya proses produksi (input) sehingga budidaya padi lebih menguntungkan. Kondisi ini yang mencirikan daerah Pantura Jawa sebagai Wilayah homogen (produsen padi).

Berdasarkan definisi di atas maka wilayah dapat diartikan sebagai suatu unit geografi memiliki batas -batas tertentu yang spesifik dimana komponen-komponen penyusunnya saling berinteraksi satu sama lain. Komponen-komponen dimaksud mencakup sumberdaya alam (natural resources), sumberdaya buatan (man-made resources) dan sumbedaya manusia (human resources). Interaksi yang terjadi diantara komponen-komponen tersebut membentuk suatu sistem yang sangat kompleks dan memiliki ketergantungan satu dengan lainnya. Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa batas wilayah tidak selalu bersifat fisik tetapi seringkali bersifat dinamis.

2. Wilayah Nodal

Wilayah nodal (nodal region) adalah wilayah yang secara fungsional mempunyai ketergantungan antara pusat (inti) dan daerah. Konsep wilayah sebagai

suatu sistem dilandasi atas pemikiran bahw a komponen-komponen di suatu wilayah memiliki keterkaitan dan ketergantungan satu sama lain dan tidak terpisahkan.

Berdasarkan komponen-komponen yang membentuknya maka wilayah sebagai sistem dapat dibagi menjadi wilayah sistem sederhana (dikotomis) dan wilayah sistem kompleks (non dikotomis). Sistem sederhana adalah sistem yang bertumpu atas konsep ketergantungan dua komponen wilayah (urban-rural, budidaya-non budidaya).

3. Wilayah Administratif

Wilayah administratif adalah wilayah yang batas-batas nya ditentukan berdasarkan kepentingan administrasi pemerintahan atau politik, seperti Propinsi, Kabupaten, Kecamatan, Desa/Kelurahan, RT/RW.

Seringkali pengertian wilayah dalam konteks pembangunan lebih mengarah kepada wilayah administratif. Menurut Soekirno (1976) hal tersebut disebabkan oleh 2 faktor yakni: (a) Dalam melaksanakan kebijaksanaan dan rencana pembangunan wilayah diperlukan tindakan-tindakan dari berbagai badan pemerintahan. Dengan demikian lebih praktis apabila berbagai wilayah didasarka n pada satu wilayah administrasi yang telah ada, (b) wilayah yang batasnya ditentukan berdasarkan atas satuan administrasi pemerintahan lebih mudah di analisis, karena sejak lama pengumpulan data diberbagai bagian wilayah berdasarkan pada satuan wilayah administratisi tersebut.

4. Wilayah Perencanaan

Wilayah perencanaan adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan terdapat sifat-sifat tertentu pada wilayah tersebut yang pada umumnya bersifat alamiah sehingga perlu perencanaan secara integral, misalnya Daerah Aliran Sungai (DAS). DAS sebagai kesatuan hidroorologis harus dikelola secara terpadu mulai dari hulu sampai hilir, karena perlakuan di hulu akan berakibat pada bagian hilir. Seringkali suatu DAS mencakup lebih dari satu wilayah administratif, oleh sebab itu perlu adanya koordinasi antar wilayah yang termasuk di dalam DAS tersebut dalam pengelolaannya.

Rencana Tata Ruang

Rustiadi et al. (2005) mengemukakan, Perencanaan Tata Ruang sering disalahartikan sebagai suatu proses dimana perencanaan mengarahkan masyarakat untuk melakukan aktifitasnya (top–down process). Dalam paradigma perencanaan tata

ruang yang modern, perencanaan ruang diartikan sebagai bentuk pengkajian yang sistematis dari aspek fisik, sosial dan ekonomi untuk mendukung dan me ngarahkan pemanfaatan ruang didalam memilih cara yang terbaik untuk meningkatkan produktifitas agar memenuhi kebutuhan masyarakat (publik) secara berkelanjutan. Sasaran utama perencanaan tata ruang dapat dikelompokkan atas tiga sasaran umum: (1) efisien, (2) keadilan dan akseptabilitas masyarakat, dan (3) keberlanjutan. Sasaran efisien merujuk pada manfaat ekonomi, dimana dalam konteks kepentingan publik pemanfaatan ruang diarahkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (publik). Tata ruang harus merupakan perwujudan keadilan dan melibatkan partisipasi masyarakat, oleh karenanya perencanaan yang disusun harus dapat diterima oleh masyarakat. Perencanaan tata ruang juga harus berorientasi pada keseimbangan fisik lingkungan dan sosial sehingga menjamin peningkatan kesejahteraan secara berkelanjutan (sustainable).

Rencana tata ruang digambarkan dalam peta wilayah negara Indonesia, peta wilayah Propinsi, peta wilayah Kabupaten, dan peta wilayah Kota, yang tingkat ketelitiannya diatur dalam peraturan per undang-undangan. Dalam konteks pembangunan wilayah, perencanaan penataan ruang dapat dipandang sebagai salah satu bentuk intervensi atau upaya pemerintah untuk menuju keterpaduan pembangunan melalui kegiatan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang guna menstimulasi sekaligus mengendalikan pertumbuhan dan perkembangan pemanfaatan ruang suatu wilayah (Maryudi dan Napitupulu 2001).

Menurut Undang Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, rencana tata ruang dibedakan atas:

a. Rencana Tata Ruang wilayah Nasional untuk jangka waktu 25 tahun. b. Rencana Tata Ruang wilayah Proponsi untuk jangka waktu 15 tahun.

c. Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kota jangka waktu 10 tahun. (saat ini sedang direvisi akibat berbagai perkembangan dan diberlakukannya undang- undang no. 22/1999 tentang Otonomi Daerah yang kemudian direvisi dengan undang-undang 32/2004 mengenai Pemerintah Daerah).

Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional

Dokumen terkait