• Tidak ada hasil yang ditemukan

Spatial Planning Inconsistency Analysis Viewed from Regional Physical Aspect; A Case Study Kabupaten and Kota Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Spatial Planning Inconsistency Analysis Viewed from Regional Physical Aspect; A Case Study Kabupaten and Kota Bogor"

Copied!
262
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS INKONSISTENSI TATA RUANG

DILIHAT DARI ASPEK FISIK WILAYAH:

KASUS KABUPATEN DAN KOTA BOGOR

MARTHEN MARISAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Inkonsistensi Tata Ruang dilihat dari Aspek Fisik Wilayah: Kasus Kabupaten Dan Kota Bogor adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Maret 2006

(3)

ABSTRAK

MARTHEN MARISAN. Analisis Inkonsistensi Tata Ruang Dilihat dari Aspek Fisik Wilayah: Kasus Kabupaten dan Kota Bogor. Dibimbing oleh UUP S WIRADISASTRA, BUDI MULYANTO, dan ERNAN RUSTIADI.

(4)

ABSTRACT

MARTHEN MARISAN. Spatial Planning Inconsistency Analysis Viewed from Regional Physica l Aspect; A Case Study Kabupaten and Kota Bogor. Under the direction of UUP S WIRADISASTRA, BUDI MULYANTO, and ERNAN RUSTIADI.

(5)

© Hak Cipta milik Marthen Marisan, tahun 2006

Hak cipta dilindungi

(6)

ANALISIS INKONSISTENSI TATA RUANG

DILIHAT DARI ASPEK FISIK WILAYAH:

KASUS KABUPATEN DAN KOTA BOGOR

MARTHEN MARISAN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Judul Tesis : Analisis Inkonsistensi Tata Ruang Dilihat dari Aspek Fisik Wilayah: Kasus Kabupaten dan Kota Bogor

Nama : Marthen Marisan

NIM : A. 225010054

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Uup S. Wiradisastra, M.Sc. Ketua

Dr. Ir. Budi Mulyanto, M.Sc. Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi PWL Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Pebruari sampai dengan Agustus 2005.

Terima kasih penulis uca pkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Uup S. Wiradisastra, M.Sc., Dr. Ir. Budi Mulyanto, M.Sc. selaku pembimbing dan Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. selaku pembimbing dan Ketua Program Studi Perencanaan Wilayah, serta Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS. sela ku ketua Departemen Tanah atas segala bantuan dan dukungan yang telah dilakukan selama proses penyelesaian studi.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. atas ijin perolehan data penelitian di Laboratorium Perencanaa n Pengembangan Wilayah Institut Pertanian Bogor, dan Ir. Ita Carolita, M.Si atas bantuan pemberian data kelerengan.

Pada kesempatan ini juga penulis ucapkan terima kasih kepada Ayah, Ibu, Adik-adik, Istri, dan Anak-anak serta seluruh keluarga yang tercinta atas segala Doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Surabaya pada tanggal 20 Maret 1964 dari ayah Lazarus Marisan dan ibu Mariana Rawar. Penulis merupakan putra pertama dari empat bersaudara.

Tahun 1985 penulis lulus dari SMA Negeri I/414 Abepura di Jayapura Papua, dan pada tahun yang sama lulus seleksi Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru (SIPENMARU) masuk Universitas Cenderawasih Papua. Penulis memilih Program Studi Manajemen Hutan Fakultas Pertanian di Manokwari Papua, dan lulus pada tahun 1992.

Tahun 1992 sampai 1994 penulis bekerja di PT. Henrison Iriana Bintuni (Hak Pengusahaan Hutan/HPH) Manokwari, tahun 1994 sampai 1996 bekerja di PT. Damai Setiatama Timber (Hak Pengusahaan Hutan/HPH) di Merauke Papua.

Pada Tahun 1996 penulis lulus seleksi Pegawai Negeri Sipil di Kabupaten Merauke Papua dan terpilih menjadi pegawai peserta Magang yang merupakan proyek dari Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Republik Indonesia dari tahun 1996 sampai 1998 yang ditempatkan di Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Jabatan terakhir yang diperoleh adalah Kepala Sub Bidang Pencemaran Air pada Kantor Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Kabupaten Merauke Papua.

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 2

Manfaat Penelitian ... 2

Kerangka Penelitian ... 2

TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Ruang ... 5

Konsep Kewilayahan ... 5

Wilayah Homogen ... 6

Wilayah Nodal ... 6

Wilayah Administrasi ... 7

Wilayah Perencanaan ... 7

Rencana Tata Ruang ... 7

Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional ... 8

Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi ... 9

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota ... 10

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor (1999-2009) ... 10

Arahan Pemanfaatan Ruang Kawasan Lindung Kabupaten Bogor ... 11

Arahan Pemanfaatan Ruang Kawasan Budidaya Kabupaten Bogor ... 12

Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bogor (1999-2009) ... 12

Rencana Penggunaan Lahan Kota Bogor ... 13

Land Rent ... 14

Penutupan dan Penggunaan Lahan ... 15

(11)

ANALISIS INKONSISTENSI TATA RUANG

DILIHAT DARI ASPEK FISIK WILAYAH:

KASUS KABUPATEN DAN KOTA BOGOR

MARTHEN MARISAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Inkonsistensi Tata Ruang dilihat dari Aspek Fisik Wilayah: Kasus Kabupaten Dan Kota Bogor adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Maret 2006

(13)

ABSTRAK

MARTHEN MARISAN. Analisis Inkonsistensi Tata Ruang Dilihat dari Aspek Fisik Wilayah: Kasus Kabupaten dan Kota Bogor. Dibimbing oleh UUP S WIRADISASTRA, BUDI MULYANTO, dan ERNAN RUSTIADI.

(14)

ABSTRACT

MARTHEN MARISAN. Spatial Planning Inconsistency Analysis Viewed from Regional Physica l Aspect; A Case Study Kabupaten and Kota Bogor. Under the direction of UUP S WIRADISASTRA, BUDI MULYANTO, and ERNAN RUSTIADI.

(15)

© Hak Cipta milik Marthen Marisan, tahun 2006

Hak cipta dilindungi

(16)

ANALISIS INKONSISTENSI TATA RUANG

DILIHAT DARI ASPEK FISIK WILAYAH:

KASUS KABUPATEN DAN KOTA BOGOR

MARTHEN MARISAN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(17)

Judul Tesis : Analisis Inkonsistensi Tata Ruang Dilihat dari Aspek Fisik Wilayah: Kasus Kabupaten dan Kota Bogor

Nama : Marthen Marisan

NIM : A. 225010054

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Uup S. Wiradisastra, M.Sc. Ketua

Dr. Ir. Budi Mulyanto, M.Sc. Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi PWL Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.

(18)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Pebruari sampai dengan Agustus 2005.

Terima kasih penulis uca pkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Uup S. Wiradisastra, M.Sc., Dr. Ir. Budi Mulyanto, M.Sc. selaku pembimbing dan Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. selaku pembimbing dan Ketua Program Studi Perencanaan Wilayah, serta Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS. sela ku ketua Departemen Tanah atas segala bantuan dan dukungan yang telah dilakukan selama proses penyelesaian studi.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. atas ijin perolehan data penelitian di Laboratorium Perencanaa n Pengembangan Wilayah Institut Pertanian Bogor, dan Ir. Ita Carolita, M.Si atas bantuan pemberian data kelerengan.

Pada kesempatan ini juga penulis ucapkan terima kasih kepada Ayah, Ibu, Adik-adik, Istri, dan Anak-anak serta seluruh keluarga yang tercinta atas segala Doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(19)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Surabaya pada tanggal 20 Maret 1964 dari ayah Lazarus Marisan dan ibu Mariana Rawar. Penulis merupakan putra pertama dari empat bersaudara.

Tahun 1985 penulis lulus dari SMA Negeri I/414 Abepura di Jayapura Papua, dan pada tahun yang sama lulus seleksi Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru (SIPENMARU) masuk Universitas Cenderawasih Papua. Penulis memilih Program Studi Manajemen Hutan Fakultas Pertanian di Manokwari Papua, dan lulus pada tahun 1992.

Tahun 1992 sampai 1994 penulis bekerja di PT. Henrison Iriana Bintuni (Hak Pengusahaan Hutan/HPH) Manokwari, tahun 1994 sampai 1996 bekerja di PT. Damai Setiatama Timber (Hak Pengusahaan Hutan/HPH) di Merauke Papua.

Pada Tahun 1996 penulis lulus seleksi Pegawai Negeri Sipil di Kabupaten Merauke Papua dan terpilih menjadi pegawai peserta Magang yang merupakan proyek dari Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Republik Indonesia dari tahun 1996 sampai 1998 yang ditempatkan di Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Jabatan terakhir yang diperoleh adalah Kepala Sub Bidang Pencemaran Air pada Kantor Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Kabupaten Merauke Papua.

(20)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 2

Manfaat Penelitian ... 2

Kerangka Penelitian ... 2

TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Ruang ... 5

Konsep Kewilayahan ... 5

Wilayah Homogen ... 6

Wilayah Nodal ... 6

Wilayah Administrasi ... 7

Wilayah Perencanaan ... 7

Rencana Tata Ruang ... 7

Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional ... 8

Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi ... 9

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota ... 10

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor (1999-2009) ... 10

Arahan Pemanfaatan Ruang Kawasan Lindung Kabupaten Bogor ... 11

Arahan Pemanfaatan Ruang Kawasan Budidaya Kabupaten Bogor ... 12

Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bogor (1999-2009) ... 12

Rencana Penggunaan Lahan Kota Bogor ... 13

Land Rent ... 14

Penutupan dan Penggunaan Lahan ... 15

(21)

Klasifikasi Penutupan Lahan ... 17

Sistem Informasi Geografi (SIG) ... 18

Komponen SIG ... 18

Fungsi Analisis ... 19

BAHAN DAN METODE ... 22

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 22

Jenis Data dan Alat ... 22

Metode Penelitian ... 22

Editing Peta ... 22

Overlay (Intersect) ... 23

Analisis Konsistensi RTRW ... 24

Analisis Faktor -faktor yang Mempengaruhi Inkonsistensi RTRW ... 26

Analisis Perubahan Penutupan Lahan ... 28

Identifikasi Pusat-pusat Perubahan Penutupan Lahan ... 28

HASIL dan PEMBAHASAN ... 35

Wilayah Kabupaten Bogor ... 35

Kelerengan Wilayah Kabupaten Bogor ... 35

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor (1999– 2009) ... 35

Penutupan Lahan Tahun 2002 di Kabupaten Bogor ... 40

Analisis Konsistensi RTRW Kabupaten Bogor ... 42

Analisis Faktor -faktor yang Mempengaruhi Inkonsistensi RTRW Kabupaten Bogor ... 46

Analisis Perubahan Penutupan Lahan (1997–2002) di Kabupaten Bogor ... 49

Identifikasi Pusat-pusat Perubahan Penutupan Lahan di Kabupaten Bogor ... 51

Wilayah Administrasi Kota Bogor ... 52

Kondisi Kelerengan Kota Bogor ... 52

Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bogor (1999–2009) ... 57

Penutupan Lahan Kota Bogor Tahun 2002 ... 59

(22)

Analisis Faktor -faktor yang Mempengaruhi Inkonsistensi

RTRW di Kota Bogor ... 61 Analisis Perubahan Penutupan Lahan (1997–2002) di Kota Bogor ... 65 Identifikasi Pusat-pusat Perubahan Penutupan Lahan ... 67

SIMPULAN DAN SARAN ... 71

DAFTAR PUSTAKA ... 73

(23)

DAFTAR TABEL

Teks

Nomor Halaman

1. Matriks Konsistensi antara Arahan Pemanfaatan Ruang (RTRW) dengan Penutupan Lahan Tahun 2002 di Kabupaten Bogor ... 25 2. Matriks Konsistensi antara Arahan Pemanfaatan Ruang (RTRW) dengan Penutupan Lahan Tahun 2002 di Kota Bogor ... 25 3. Variabel penduga faktor-faktor yang mempengaruhi Inkonsistensi RTRW Kabupaten Bogor ... 28 4. Variabel penduga faktor-faktor yang mempengaruhi Inkonsistensi RTRW Kota Bogor ... 29

5. Luas (Ha) dan Proporsi (%) Arahan Pemanfaatan Ruang

Menurut RTRW di Kabupaten Bogor ... 39 6. Proporsi RTRW Terhadap Penutupan Lahan Tahun 2002

Kabupaten Bogor ... 42 7. Proporsi Inkonsistensi RTRW Menurut Kelas Kelerengan

di Kabupaten Bogor ... 43 8. Koefisien Korelasi antara Peubah Asal Penduga Penentu

Konsistensi RTRW Kabupaten Bogor ... 48 9. Luas dan Proporsi Rencana Tata Ruang Wilayah

Kota Bogor (1999-2009) ... 57 10. Luas Inkonsistensi RTRW Kota Bogor ... 61

11. Koefisien Korelasi antara Peubah Asal Penentu Inkonsistensi

(24)

DAFTAR GAMBAR

Teks

Nomor Halaman

1. Diagram Alur Pembentukan Basis Data SIG ... 30 2. Diagram Alur Analisis Konsistensi RTRW ... 31 3. Diagram Alur Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Inkonsistensi RTRW ... 32 4. Diagram Alur Analisis Perubaha n Penutupan Lahan ... 33 5. Peta Wilayah Administrasi Kabupaten Bogor ... 36 6. Peta Kelas Kelerengan Kabupaten Bogor ... 37 7. Peta RTRW Kabupaten Bogor ... 38 8. Grafik Luas dan Proporsi Penutupan Lahan Tahun 2002

di Kabupaten Bogor ... 40 9. Peta Penutupan Lahan Tahun 2002 Kabupaten Bogor ... 41 10. Peta Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Terhadap RTRW

Kabupaten Bogor ... 45 11. Grafik Luas dan Proporsi Penutupan Lahan Tahun 1997

di Kabupaten Bogor ... 49 12. Peta Penutupan Lahan Tahun 1997 Kabupaten Bogor ... 50 13. Grafik Luas Perubahan Penutupan Lahan (1997– 2002)

di Kabupaten Bogor ... 51 14. Peta Perubahan Penutupan Lahan (1997-2002)

di Kabupaten Bogor ... 53 15. Peta Pusat-pusat Perubahan Penutupan Lahan (1997-2002)

di Kabupaten Bogor ... 54 16. Peta Administrasi Wilayah Kota Bogor ... 55 17. Peta Kelas Kelerengan Kota Bogor ... 56 18. Peta RTRW Kota Bogor ... 58 19. Grafik Luas dan Proporsi Penutupan Lahan Tahun 2002

(25)
(26)

DAFTAR LAMPIRAN

Teks

Nomor Halaman

1. Tabel Luas Penutupan Lahan Tahun 1997 Menurut Kecamatan

di Kabupaten Bogor ... 76 2. Tabel Luas Penutupan Lahan Tahun 2002 Menururt Kecamatan

di Kabupaten Bogor ... 77 3. Tabel Kelas Kelerengan Menurut Kecamatan di Kabupaten Bogor ... 78 4. Tabel Luas Inkonsistensi RTRW Menurut Desa

di Kabupaten Bogor ... 79 5. Tabel Variabel Data Te rkoleksi dari Data Potensi Desa Tahun 2002 Kabupaten Bogor ... 91 6. Tabel Set Data Baru Peubah Penentu Konsistensi RTRW

Kabupaten Bogor ... 93 7. Tabel Analisis Regresi Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Kawasan

Hutan Produksi Menjadi Ruang Terbangun di Kabupaten Bogor ... 101 8. Tabel Analisis Regresi Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Kawasan

Hutan Produksi Menjadi TPLB di Kabupaten Bogor ... 101 9. Tabel Analisis Regresi Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Kawasan

Hutan Produksi Menjadi TPLK di Kabupaten Bogor ... 102 10. Tabel Analisis Regresi Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Kawasan

Hutan Lindung Menjadi Ruang Terbangun di Kabupaten Bogor ... 102 11. Tabel Analisis Regresi Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Kawasan

Hutan Lindung Menjadi TPLB di Kabupaten Bogor ... 103 12. Tabel Analisis Regresi Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Kawasan

Hutan Lindung Menjadi TPLK di Kabupaten Bogor ... 103 13. Tabel Analisis Regr esi Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Kawasan

Pertanian Menjadi Ruang Terbangun di Kabupaten Bogor ... 104 14. Tabel Luas Perubahan Penutupan Lahan (1997-2002) per Kecamatan

di Kabupaten Bogor ... 105 15. Tabel Luas Penutupan Lahan per Kecamatan Tahun 1997

di Kota Bogor ... 107 16. Tabel Luas Penutupan Lahan per Kecamatan Ta hun 2002

(27)

17. Tabel Luas Kecamatan Menurut Kelas Kelerengan

Kota Bogor ...….. 107 18. Tabel Luas Inkonsistensi RTRW per Desa

di Kota Bogor ... 108 19. Tabel Variabel Data Terkoleksi dari Data Potensi Desa Tahun 2002

Kota Bogor ... 110 20. Tabel Analisis Regresi Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Kawasan

Lahan Konservasi Menjadi Ruang Terbangun di Kota Bogor ... 113 21. Tabel Analisis Regresi Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Kawasan

Lahan Konservasi Menjadi TPLB di Kota Bogor ... 113 22. Tabel Analisis Regresi Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Kawasan

Lahan Konservasi Menjadi TPLK di Kota Bogor ... 114 23. Tabel Set Data Baru Peubah Penentu Konsistensi RTRW

Kota Bogor ... 115 24. Tabel Luas Perubahan Penutupan Lahan (1997-2002) per Kecamatan

(28)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Wilayah Bogor (Kabupaten dan Kota) memiliki arti penting bagi wilayah Jakarta. Sebagai salah satu hinterland wilayah Jakarta, Bogor telah menjadi daerah limpahan perluasan kawasan perkotaan untuk sektor permukiman, industri, maupun pariwisata. Selain itu, berdasarkan letak geografisnya Bogor merupakan daerah hulu dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung yang mengalir ke wilayah Jakarta.

Pertambahan jumlah penduduk di wilayah Bogor baik karena proses alami maupun urbanisasi telah menimbulkan kebutuhan akan lahan (ruang) meningkat. Semakin bertambah jumlah penduduk, maka kebutuhan akan fasilitas pelayanan sosial terutama permukiman semakin meningkat. Potensi sumberdaya lahan tersedia dalam jumlah tetap (fixed), sementara kebutuha n akan ruang terus meningkat sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk. Untuk dapat memenuhi kebutuhan akan ruang (terutama permukiman) sebagai konsekuensi dari pertambahan jumlah penduduk, maka konversi lahan telah menjadi alternatifnya.

Konversi lahan umumnya dilakukan berdasarkan pertimbangan aspek fisik lahan dan aspek sosial ekonomi. Aspek fisik lahan (jenis tanah, ketinggian, kelerengan, iklim, geologi, dan lain-lain) merupakan aspek dasar yang sangat penting karena menyangkut kualitas lahan. Aspe k sosial ekonomi (pertumbuhan penduduk, pergeseran mata pencaharian, tingkat pendidikan, ketersediaan sarana dan prasarana) merupakan aspek penting lainnya yang menentukan terjadinya konversi lahan.

Pertimbangan-pertimbangan aspek fisik lahan dan aspek sosial ekonomi seringkali memiliki prespektif kepentingan yang berbeda. Aspek fisik lahan lebih mengarah pada kepentingan kelestarian alam sedangkan aspek sosial ekonomi lebih mengarah pada kesejahteraan sosial masyarakat. Namun demikian, dalam melakukan konversi lahan kedua kepentingan tersebut perlu diselaraskan guna dapat memberikan manfaat yang berkesinambungan.

(29)

keseimbangan ekosistem. Hal ini dapat mengakibatkan timbulnya bencana seperti degradasi lahan, banjir, tanah longsor dan sebagainya yang dapat merugikan generasi sekarang maupun yang akan datang.

Bencana banjir yang menggenangi hampir 60% wilayah Jakarta di tahun 2002 dan 2003 telah menjadi isu yang cukup menarik perhatian baik nasional maupun internasional (Direktorat Jendral Penataan Ruang 2003). Beberapa pendapat menyatakan bahwa bencana banjir tersebut merupakan kiriman dari daerah hulu (Bogor) sebagai akibat dari perubahan penutupan lahan, sebagian lagi berpendapat bahwa tidak semata-mata kiriman dari daerah hulu (Bogor) tetapi disebabkan juga oleh faktor-faktor lain di daerah bencana seperti: curah hujan yang relatif tinggi, pasang air laut, perubahan penutupan lahan dan vegetasi. Menurut Direktorat Jendral Penataan Ruang (2003), terdapat beberapa permasalahan penting yang diduga mempengaruhi terjadinya bencana banjir tersebut, antara lain: berkurangnya fungsi kawasan-kawasan lindung di wilayah Bogor sebagai kawasan resapan air, dan berbagai inkonsistensi antara rencana dan pemanfaatan ruang. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka terdapat dua permasalahan pokok yang menarik untuk dikaji yakni: sejauh manakah pemanfaatan ruang wilayah Bogor konsisten denga n RTRW. Kedua, bagaimana kondisi perubahan penutupan lahan yang telah terjadi di wilayah Bogor.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk: 1) Menganalisis konsistensi RTRW dan faktor-faktor yang mempengaruhi inkonsistensi RTRW, dan 2) Menganalisis perubahan penutupan lahan dari tahun 1997 ke 2002 dan mengidentifikasi pusat-pusat perubahan penutupan lahan.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi penting untuk menentukan langkah-langkah perbaikan apa yang perlu dilakukan guna mengantisipasi terjadinya bencana yang lebih besar.

Kerangka Pemikiran

(30)

pemerintahan (Nasional, Propinsi, Kabupaten/Kota) telah dialokasikan penggunaannya dalam kawasan-kawasan tertentu. Hal tersebut dimaksudkan agar penggunaan lahan dapat memberikan manfaat yang optimal dan berkesinambungan. Peta RTRW pada tingkat Kabupaten atau Kota merupakan gambaran mengenai kondisi atau bentuk tata ruang pada 10 tahun mendatang sejak RTRW ditetapkan dengan asumsi bahwa pertambahan penduduk dan kebutuhan infrasturktur wilayah sesuai dengan prediksi yang dibuat.

Pesatnya pertambahan jumlah penduduk cenderung diikuti dengan meningkatnya aktifitas sosial ekonomi masyarakat. Dengan meningkatnya aktifitas tersebut maka kebutuhan akan lahan (ruang) menjadi meningkat pula baik pada lahan pertanian maupun non pertanian. Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan/kesesuaian lahan dapat mengakibatkan terjadinya bencana seperti degradasi lahan, tanah longsor dan banjir.

Jenis penutupan lahan dan kondisi kelerengan suatu wilayah merupakan dua faktor fisik dari beberapa faktor fisik lainnya yang dapat berpengaruh terhadap laju aliran air hujan yang jatuh di permukaan bumi. Jenis penutupan lahan berupa ruang terbangun (permukiman, perkantoran, dan fasilitas sosial lainnya yang merupakan bangunan fisik) hampir tidak memiliki kemampuan dalam peresapan air hujan sehingga dapat mengakibatkan meningkatnya aliran permukaan. Sedangkan jenis penutupan lahan yang berbentuk vegetasi terutama vegetasi lebat/hutan memiliki kemampuan peresapan air hujan yang baik. Kecuraman lereng, panjang dan bentuk lereng (konvek atau konkaf) semuanya mempengaruhi besarnya erosi dan aliran permukaan (Arsyad 2000). Kondisi kelerengan suatu wilayah dapat berpengaruh terhadap laju aliran permukaan. Semakin curam lereng suatu wilayah semakin besar laju aliran permukaan.

(31)

Pengolahan data penginderaan jauh berupa peta-peta digital dilakukan secara komputerisasi dengan menggunakan perangkat lunak ArcView Ver. 3.2. Overlay merupakan salah satu fungsi analisis dari SIG. Dari hasil overlay tersebut diperoleh poligon-poligon baru yang memiliki informasi tentang kondisi fisik wilayah berupa peta dan atribut. Informasi tersebut kemudian dijadikan sebagai data basis untuk berbagai analisis yang diperlukan seperti inkonsistensi pemanfaatan ruang terhadap RTRW, perubahan penutupan lahan.

(32)

TINJAUAN PUSTAKA

Ruang

Menurut Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya.

Ruang (space) menurut istilah geografi secara umum adalah seluruh permukaan bumi yang merupakan biosfer, tempat hidup tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia. Ruang menurut istilah geografi regional sering diartikan sebagai suatu wilayah yang mempunyai batas geografi, yaitu batas menurut keadaan fisik, sosial, atau pemerintahan, yang terjadi dari sebagian permukaan bumi dan lapisan tanah di bawahnya serta lapisan udara di atasnya (Jayadinata 1999).

Konsep Kewilayahan

(33)

region). Dalam pendekatan klasifikasi konsep wilayah ini, wilayah nodal hanya dipandang sebagai salah satu dari konsep wilayah sistem.

1. Wilayah Homogen

Wilayah homogen adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan pada kenyataan bahwa faktor-faktor dominan pada wilayah tersebut bersifat homogen, sedangkan faktor-faktor yang tidak dominan bisa saja beragam (heterogen). Homogenitas suatu wilayah secara umum disebabkan oleh faktor alamiah dan faktor artificial. Faktor alamiah yang dapat menyebabkan homogenitas suatu wilayah adalah kemampuan lahan, sedangkan faktor artific ial adalah homogenitas yang didasarkan pada pengklasifikasian atas hal yang didasarkan faktor manusia, contohnya: kemiskinan

Faktor dominan suatu wilayah pada dasarnya ditentukan oleh sistem penggunaan lahan yang didukung oleh potensi sumberdaya lahan (kemampuan dan kesesuaian) lahan tersebut. Penggunaan lahan yang sesuai dengan potensi sumberdaya lahan cenderung memberikan output yang lebih baik dibandingkan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan potensi sumberdaya lahannya. Sebagai contoh, penggunaan lahan didaerah Pantura Jawa didominasi oleh pertanian sawah, hal ini karena didukung oleh potensi sumberdaya lahannya. Dengan adaya dukungan potensi sumberdaya lahan maka dapat terjadi penghemata n-penghematan biaya proses produksi (input) sehingga budidaya padi lebih menguntungkan. Kondisi ini yang mencirikan daerah Pantura Jawa sebagai Wilayah homogen (produsen padi).

Berdasarkan definisi di atas maka wilayah dapat diartikan sebagai suatu unit geografi memiliki batas -batas tertentu yang spesifik dimana komponen-komponen penyusunnya saling berinteraksi satu sama lain. Komponen-komponen dimaksud mencakup sumberdaya alam (natural resources), sumberdaya buatan (man-made resources) dan sumbedaya manusia (human resources). Interaksi yang terjadi diantara komponen-komponen tersebut membentuk suatu sistem yang sangat kompleks dan memiliki ketergantungan satu dengan lainnya. Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa batas wilayah tidak selalu bersifat fisik tetapi seringkali bersifat dinamis.

2. Wilayah Nodal

(34)

suatu sistem dilandasi atas pemikiran bahw a komponen-komponen di suatu wilayah memiliki keterkaitan dan ketergantungan satu sama lain dan tidak terpisahkan.

Berdasarkan komponen-komponen yang membentuknya maka wilayah sebagai sistem dapat dibagi menjadi wilayah sistem sederhana (dikotomis) dan wilayah sistem kompleks (non dikotomis). Sistem sederhana adalah sistem yang bertumpu atas konsep ketergantungan dua komponen wilayah (urban-rural, budidaya-non budidaya).

3. Wilayah Administratif

Wilayah administratif adalah wilayah yang batas-batas nya ditentukan berdasarkan kepentingan administrasi pemerintahan atau politik, seperti Propinsi, Kabupaten, Kecamatan, Desa/Kelurahan, RT/RW.

Seringkali pengertian wilayah dalam konteks pembangunan lebih mengarah kepada wilayah administratif. Menurut Soekirno (1976) hal tersebut disebabkan oleh 2 faktor yakni: (a) Dalam melaksanakan kebijaksanaan dan rencana pembangunan wilayah diperlukan tindakan-tindakan dari berbagai badan pemerintahan. Dengan demikian lebih praktis apabila berbagai wilayah didasarka n pada satu wilayah administrasi yang telah ada, (b) wilayah yang batasnya ditentukan berdasarkan atas satuan administrasi pemerintahan lebih mudah di analisis, karena sejak lama pengumpulan data diberbagai bagian wilayah berdasarkan pada satuan wilayah administratisi tersebut.

4. Wilayah Perencanaan

Wilayah perencanaan adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan terdapat sifat-sifat tertentu pada wilayah tersebut yang pada umumnya bersifat alamiah sehingga perlu perencanaan secara integral, misalnya Daerah Aliran Sungai (DAS). DAS sebagai kesatuan hidroorologis harus dikelola secara terpadu mulai dari hulu sampai hilir, karena perlakuan di hulu akan berakibat pada bagian hilir. Seringkali suatu DAS mencakup lebih dari satu wilayah administratif, oleh sebab itu perlu adanya koordinasi antar wilayah yang termasuk di dalam DAS tersebut dalam pengelolaannya.

Rencana Tata Ruang

(35)

ruang yang modern, perencanaan ruang diartikan sebagai bentuk pengkajian yang sistematis dari aspek fisik, sosial dan ekonomi untuk mendukung dan me ngarahkan pemanfaatan ruang didalam memilih cara yang terbaik untuk meningkatkan produktifitas agar memenuhi kebutuhan masyarakat (publik) secara berkelanjutan. Sasaran utama perencanaan tata ruang dapat dikelompokkan atas tiga sasaran umum: (1) efisien, (2) keadilan dan akseptabilitas masyarakat, dan (3) keberlanjutan. Sasaran efisien merujuk pada manfaat ekonomi, dimana dalam konteks kepentingan publik pemanfaatan ruang diarahkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (publik). Tata ruang harus merupakan perwujudan keadilan dan melibatkan partisipasi masyarakat, oleh karenanya perencanaan yang disusun harus dapat diterima oleh masyarakat. Perencanaan tata ruang juga harus berorientasi pada keseimbangan fisik lingkungan dan sosial sehingga menjamin peningkatan kesejahteraan secara berkelanjutan (sustainable).

Rencana tata ruang digambarkan dalam peta wilayah negara Indonesia, peta wilayah Propinsi, peta wilayah Kabupaten, dan peta wilayah Kota, yang tingkat ketelitiannya diatur dalam peraturan per undang-undangan. Dalam konteks pembangunan wilayah, perencanaan penataan ruang dapat dipandang sebagai salah satu bentuk intervensi atau upaya pemerintah untuk menuju keterpaduan pembangunan melalui kegiatan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang guna menstimulasi sekaligus mengendalikan pertumbuhan dan perkembangan pemanfaatan ruang suatu wilayah (Maryudi dan Napitupulu 2001).

Menurut Undang Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, rencana tata ruang dibedakan atas:

a. Rencana Tata Ruang wilayah Nasional untuk jangka waktu 25 tahun. b. Rencana Tata Ruang wilayah Proponsi untuk jangka waktu 15 tahun.

c. Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kota jangka waktu 10 tahun. (saat ini sedang direvisi akibat berbagai perkembangan dan diberlakukannya undang-undang no. 22/1999 tentang Otonomi Daerah yang kemudian direvisi dengan undang-undang 32/2004 mengenai Pemerintah Daerah).

Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional

(36)

a. Penetapan kawasan lindung, kawasan budidaya, dan kawasan tertentu yang ditetapkan secara nasional.

b. Norma dan kriteria pemanfaatan ruang. c. Pedoman pengendalian pemanfaatan ruang.

RTRW Nasional menjadi pedoman untuk:

a. Perumusan kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang di wilayah nasional.

b. Mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antar wilayah serta keserasian antar sektor.

c. Pengarahan lokasi investasi yang dilaksanakan Pemerintah dan atau masyarakat. d. Penataan ruang wilayah Propinsi dan wilayah Kabupaten/Kota.

Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi

Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi merupakan penjabaran strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang wilayah nasional ke dalam strategi dan struktur pemanfaatan ruang wilayah Propinsi. RTRW Propinsi berisi:

a. Pengelolaan kawasan lindung dan kawasan budidaya.

b. Pengelolaan kawasan perdesaan, kawasan perkotaan, dan kawasan tertentu. c. Pengembangan kawasan permukiman, kehutanan, pertanian, pertambangan,

perindustrian, pariwisata dan kawasan lainnya.

d. Pengembangan sistem pusat permukiman, perdesaan dan perkotaan.

e. Pengembangan sistem prasarana wilayah, meliputi transportasi, telekomunikasi, energi, pengairan, dan prasarana pengelolaan lingkungan.

f. Pengembagan kawasan yang dipropritaskan.

g. Kebijakan tataguna tanah, tata guna air, tata guna udara, dan tata guna sumber daya alam lainnya, serta memperhatikan keterpaduan sumber daya manusia dan sumber daya buatan.

RTRW Propinsi menjadi pedoman untuk:

a. Perumusan kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang di wilayah Propinsi.

b. Mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antar wilayah Propinsi serta keserasian antar sektor.

(37)

d. Penataan ruang wilayah Kabupaten/Kota yang merupakan dasar dalam pengawasan terhadap perizinan lokasi pembangunan.

Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kota

Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kota merupakan penjabaran Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi ke dalam strategi pelaksanaan manfaat ruang wilayah Kabupaten/Kota. RTRW Kabupaten/Kota berisi:

a. Pengelolaan kawasan lindung dan kawasan budidaya.

b. Pengelolaan kawasan perdesaan, perkotaan, dan kawasan tertentu.

c. Sistem kegiatan pembangunan dan sistem permukiman perdesaan dan perkotaan.

d. Sistem prasarana transportasi, telekomunikasi, energi, pengairan, dan prasarana pengelolaan lingkungan.

e. Penatagunaan sumber daya alam lainnya, serta memperhatikan keterpaduan dengan sumber daya manusia dan sumber daya buatan.

RTRW Kabupaten/Kota menjadi pedoman untuk:

a. Perumusan kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang di wilayah Kabupaten/ Kota.

b. Mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antar wilayah Kabupaten/Kota serta keserasian antar sektor.

c. Penetapan lokasi investasi, yang dilaksanakan Pemerintah dan atau masyarakat di Kabupaten/Kota.

d. Penyusunan rencana rinci tata ruang di Kabupaten/Kota.

e. Pelaksanaan pembangunan dalam memanfaatkan ruang bagi kegiatan pembangunan.

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor (1999-2009)

Tujuan penyusunan RTRW Kabupaten Bogor (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bogor 2000) adalah:

(38)

2. Terselenggaranya pengaturan pemanfaatan kawasan lindung dan kawasan budidaya di perkotaan, kawasan perdesaan, dan kawasan tertentu yang ada di daerah.

3. Terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan dengan memperhatikan sumberdaya manusia.

4. Terwujudnya masyarakat yang sejahtera.

5. Terwujudnya rencana pemanfaatan ruang Kabupaten Bogor yang serasi dan optimal sesuai dengan kebutuhan dan daya dukung lingkungan serta sesuai pula dengan kebijaksanaan pembangunan nasional dan daerah.

Sehubungan dengan pengembangan wilayah JABOTABEK (Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi) maka RTRW Kabupaten Bogor memiliki kebijaksanaan Tiga fungsi, yakni: 1) Penyangga bagi DKI Jakarta, berupa pengembangan permukiman perkotaan sebagai bagian dalam sistem Metropolitan Jabotabek, 2) Konservasi, berkenaan dengan posisi geografisnya di bagian hulu dalam tata air untuk Metropolitan Jabotabek, 3) Pengembangan pertanian khususnya hortikultura, sehubungan dengan perkembangan dan keunggulan yang telah ada, yang selanjutnya makin dipacu.

Arahan Pemanfaatan Ruang Kawasan Lindung Kabupaten Bogor (Badan

Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bogor 2000)

(39)

Arahan Pemanfaatan Ruang Kawasan Budidaya Kabupaten Bogor (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bogor 2000)

1. Kawasan Hutan Produksi

Kawasan hutan produksi selain mempunyai fungsi produksi juga berperan sebagai pendukung untuk konservasi.

2. Kawasan Pertanian

a. Kawasan pertanian lahan basah (sawah dan tambak).

b. Kawasan pertanian lahan kering (kebun campuran dan tegalan).

c. Kawasan tanaman tahunan/perkebunan (selain berfungsi produksi diharapkan juga sebagai pendukung konservasi).

3. Kawasan Pertambangan

Kawasan ini sangat terkait dengan deposit bahan tambang yang dieksploitasi. Bentuknya mencakup bahan galian C, dan Emas (di Gunung Pongkor).

4. Kawasan Peruntukan Industri

Secara umum peruntukan industri mencakup industri mengelompok (konsentrasi) dan menyebar (sporadis). Arahan konsentrasi industri adalah mengikuti konsentrasi industri yang telah ada, seperti di Kecamatan Citeureup, Cileungsi, dan Gunung Putri. Sementara yang tersebar tapi cenderung agak berdekatan terdapat di Kecamatan Cibinong dan Sukaraja.

5. Kawasan Pariwisata

Arahan pengembangan kawasan pariwisata terkait dengan pengembangan kegiatan periwisata yang ada dewasa ini dan pengembangan kawasan yang baru. Kawasan ini diarahkan pada wilayah Kecamatan Cisarua, Megamendung, Sukaraja, Pamijahan, Ciomas, Cibungbulang, dan Ciampea.

6. Kawasan Permukiman

Kawasan permukiman terdiri atas permukiman perkotaan dan perdesaan. Secara prinsip permukiman perkotaan dominan non pertanian, sementara kawasan perdesaan dominan kegiatan pertanian.

Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bogor (Tahun 1999-2009)

(40)

1. Meningkatkan fungsi dan peranan Kota Bogor dalam konteks dan konstelasi regional serta mampu berfungsi sebagai sub pusat dalam sistem pengembangan regional (Tingkat Provinsi dan Jabotabek).

2. Menciptakan kelestarian lingkungan permukiman dan kegiatan kota yang merupakan usaha menciptakan hubungan yang serasi antar manusia dan lingkungannya, yang tercermin dari pola intensitas penggunaan ruang kota. 3. Meningkatkan daya guna dan hasil guna pelayanan, dengan mengembangkan

fasilitas, sarana maupun prasarana yang merupakan upaya pemanfaatan ruang secara optimal. Hal ini tercermin dalam penentuan jenjang pelayanan kegiatan-kegiatan kota dan sistem jaringan jalan kota.

4. Memberikan kepastian hukum dalam hal pemanfaatan ruang yang merangsang partisipasi investor dalam mengembangkan potensi yang ada.

5. Mengarahkan pembangunan kota yang lebih tegas dalam rangka upaya pengendalian, pengawasan perencanaan pembangunan fisik kota baik kualitas maupun kuantitasnya.

6. Membantu penetapan prioritas pengembangan kota dan memudahkan penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Kota disetiap kecamatan untuk dijadikan pedoman bagi tertib pengaturan ruang.

Sebagai bagian yang integral dalam wilayah Jabotabek maka Kota Bogor diarahkan sebagai: (1) Kota yang difungsikan sebagai Counter Magnet bagi perkembangan DKI Jakarta, (2) Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) dengan kegiatan utama perdagangan regional, jasa, permukiman dan industri dengan kapasitas tampung mencapai 1.5 juta jiwa pada tahun 2005, dan (3) Kota yang dapat membantu DKI Jakarta dalam pengendalian banjir melalui pembangunan sodetan Ciliwung–Cisadane.

Rencana Penggunaan Lahan Kota Bogor (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah

Kota Bogor 2000)

Secara umum rencana penggunaan lahan Kota Bogor diklasifikasikan menjadi Kawasan Lahan Terbangun, Kawasan Belum Terbangun dan Kawasan Lahan yang Tidak Boleh Dibangun atau Lahan Konservasi.

1. Kawasan Lahan Terbangun

(41)

perkantoran/pemerintahan, rumah potong hewan/pasar hewan, Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), terminal/sub-terminal dan stasiun kereta api serta jalan.

2. Kawasan Lahan Belum Terbangun

Kawasan lahan belum terbangun terdiri dari jenis pemanfaatan lahan pertanian dan kebun campuran.

3. Kawasan Lahan Tidak Boleh Dibangun/Lahan Konservasi

Kawasan konservasi terdiri dari kebun raya, hutan kota, taman dan jalur hijau, kawasan hijau, lapangan olah raga, daerah aliran sungai serta situ-situ alami maupun buatan.

Land Rent

Land rent dapat diartikan sebagai pendapatan bersih yang diterima suatu bidang lahan per satuan luas dalam waktu tertentu sebagai akibat dilakukannya kegiatan ekonomi pada lahan tersebut. Land rent umumnya bervariasi menurut kondisi fisik dan aktivitas sosial ekonomi pada lahan tersebut. Kondisi fisik lahan seperti topografi, jenis tanah, vegetasi, iklim dan lain-lain merupakan faktor -faktor pembatas dalam menentukan aktivitas pemanfaatan suatu lahan untuk tujuan produksi. Sedangkan tingkat kepadatan penduduk dan tingginya interaksi spasial antar wilayah merupakan bagian dari faktor sosial ekonomi yang berpengaruh terhadap land rent.

(42)

Penutupan dan Penggunaan Lahan

Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaannya. Termasuk di dalamnya akibat-akibat kegiatan manusia, baik pada masa lalu maupun sekarang, seperti reklamasi daerah-daerah pantai, penebangan hutan, dan akibat-akibat yang merugikan seperti erosi dan akumulasi garam. Faktor-faktor sosial ekonomi secara murni tidak termasuk dalam konsep lahan ini. Penggunaan lahan secara umum (major kinds of land use) adalah penggolongan penggunaan lahan secara umum seperti pertanian tadah hujan, pertanian beririgasi, padang rumput, kehutanan, atau daerah rekreasi. Penggunaan lahan secara umum biasanya digunakan untuk evaluasi lahan secara kualitatif atau dalam survai tinjau (reconnaissance) (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2001).

Saefulhakim (1994) mengemukakan, bahwa lahan terkait dengan karakteristik fisik lahan seperti kemiringan (slope), pola drainase, resiko banjir, bencana erosi, lokasi, dan tempat tumbuh tanaman. Lahan dalam pengertian yang lebih luas termasuk yang telah dipengaruhi oleh berbagai aktivitas flora, fauna, dan manusia di masa lalu maupun di masa kini.

Penutupan lahan (land cover) dan penggunaan lahan (land use) merupakan dua istilah yang digunakan untuk memberikan gambaran tentang kondisi permukaan bumi. Menurut Marsh (1991) diacu dalam Saefulhakim (1994), penutupan lahan diartikan sebagai bahan-bahan dari vegetasi dan fondasi yang menutup tanah, sedangkan penggunaan lahan (land use) dianalogkan dengan aktivitas manusia di atas lahan dalam upaya memenuhi kebutuhannya. Disamping itu, penggunaan lahan dapat pula diartikan sebagai aktivitas manusia yang mencirikan suatu daerah sebagai daerah pertanian, industri dan permukiman.

(43)

seperti tegalan, sawah, kebun kopi, kebun karet, padang rumput, hutan produksi, hutan lindung, padang alang-alang, dan sebagainya.

Menurut Saefulhakim dan Nasoetion (1995), penggunaan lahan merupakan suatu proses yang dinamis, perubahan yang terus menerus sebagai hasil dari perubahan pola dan besarnya aktivitas manusia sepanjang waktu, sehingga masalah yang berkaitan dengan lahan merupakan masalah yang kompleks.

Rustiadi et al. (2005) mengemukakan bahwa penutupan lahan dan penggunaan lahan dapat memiliki pengertian yang sama untuk hal-hal tertentu, namun sebenarnya mengandung penekanan yang berbeda. Penutupan lahan (land cover) lebih bernuansa fisik, sedangkan penggunaan lahan (land use) menyangkut aspek aktivitas pemanfaatan oleh manusia.

Istilah pemanfaatan lahan (ruang) dan penggunaan lahan sering juga memiliki pengertian yang saling dipertukarkan. Istilah penggunaan lahan didasarkan atas pertimbangan efektifitas atau kemampuan/kesesuaian lahan. Sedangkan istilah pemanfaatan ruang le bih didasarkan atas pertimbangan efisiensi atau berhubungan dengan keuntungan, jadi pemanfaatan ruang bisa dilakukan untuk suatu aktifitas produksi yang sesuai dengan kemampuan/kesesuaian lahan dan bisa juga tidak sesuai dengan kemampuan/kesesuaian lahan.

Perubahan Penggunaan Lahan

Perubahan penggunaan lahan dapat di artikan sebagai suatu proses pilihan pemanfaatan ruang guna memperoleh manfaat yang optimum, baik untuk pertanian maupun non pertanian. Menurut Saefulhakim (1999) secara umum struktur yang berkaitan dengan perubahan penggunaan lahan dapat dikelompokkan menjadi tiga, yakni: (1) struktur permintaan atau kebutuhan lahan, (2) struktur penawaran atau ketersediaan lahan, dan (3) struktur penguasaan teknologi yang berdampak pada produktifitas sumber daya alam.

(44)

Penawaran sumberdaya lahan/ketersediaan lahan memiliki keterbatasan yakni luasan permukaan yang tetap dan kualitas lahan yang bervariasi serta penyebarannya secara spasial tidak merata, hal tersebut menyebabkan penawaran penggunaan lahan bersifat inelastik terhadap besarnya permintaan akan lahan. Hal lain yang juga berpengaruh terhadap penawaran sumberdaya lahan adalah penggunaan lahan saat ini. Penggunaan lahan untuk permukiman, industri dan fasilitas sosial ekonomi memiliki elastisitas yang rendah untuk berubah. Sedangkan penggunaan lahan untuk pertanian, kehutanan dan perkebunan memiliki elastisitas yang lebih tinggi untuk berubah ke penggunaan lainnya. Hal ini disebabkan perbedaan efisiensi dalam penggunaan lahan, dimana penggunaan lahan untuk permukiman dan fasilitas sosial memiliki efisiensi lebih tinggi dibandingkan penggunaan lahan pertanian dan kehutanan.

Struktur penguasaan teknologi berkaitan langsung dengan produktivitas lahan. Penggunaan teknologi yang tepat dan benar akan memberikan manfaat atau produksi yang maksimum. Produktivitas lahan dengan teknologi yang tepat akan mampu menurunkan ketergantungan terhadap ekstensifikasi usahatani dan upaya meningkatkan produksi pertanian.

Alih fungsi lahan berskala luas maupun kecil seringkali memiliki permasalahan klasik berupa: (1) efisiensi alokasi dan distribusi sumberdaya dari sudut ekonomi, (2) keterkaitannya dengan masalah pemerataan dan penguasaan sumberdaya, serta (3) keterkaitannya dengan proses degradasi dan kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Ketiga masalah di atas memiliki keterkaitan yang sangat erat antara satu dengan yang lainnya, sehingga permasalahan-permasalahan tersebut tidak bersifat independen dan tidak dapat dipecahkan dengan pendekatan-pendekatan yang parsial namun memerlukan pendekatan-pendekatan yang integratif (Rustiadi et al. 2005).

Klasifikasi Penutupan Lahan

Kondisi penutupan lahan dapat berbeda dari satu lokasi ke lokasi yang lain dan dapat berubah dari waktu ke waktu. Salah satu upaya untuk mengenali/membedakan kondisi te rsebut guna mengetahui perubahan yang terjadi adalah dengan melakukan klasifikasi yang umumnya disesuaikan dengan kebutuhan.

(45)

Lahan Kering (TPLK). Badan Air merupakan area penutupan lahan berupa air yang memiliki fungsi utama konservasi. Hutan dan vegetasi lebat merupakan area penutupan lahan berupa vegetasi dengan tajuk rapat, dan memiliki kemampuan daya resap air hujan serta tidak memiliki bentuk/pola tertentu. TPLB merupakan penutupan lahan berupa vegetasi/air yang memiliki fungsi utama budidaya dan memiliki bentuk dengan pola tertentu serta teridentifikasi sebagai sawah/tambak. TPLK merupakan area penutupan lahan berupa vegetasi tidak rapat yang memiliki fungsi utama budidaya dan memiliki bentuk/pola tertentu serta teridentifikasi sebagai tegal, kebun campuran, rumput semak, belukar.

Sistem Informasi Geografi (SIG)

SIG adalah suatu sistem berdasarkan komputer yang mempunyai kemampuan untuk menangani data yang bereferensi geografi yang mencakup (a) pemasukan, (b) manajemen data (penyimpanan data dan pemanggilan lagi), (c) manipulasi dan analisis, (d) pengembangan produk dan pencetakan (Aronof 1989 diacu dalam Barus dan Wiradisastra 2000). Definisi lain mengatakan, SIG adalah sistem komputer yang digunakan untuk mengumpulkan, memeriksa, mengintegrasikan, dan menganalisa informasi-informasi yang berhubungan dengan permukaan bumi (Demers 1997 diacu dalam Prahasta 2002).

Komponen SIG

SIG di dalam prosesnya memiliki beberapa komponen utama (Prahasta 2002), yakni:

a. Data Input

Subsistem ini bertugas untuk mengumpulkan dan mempersiapkan data spasial dan atribut dar i berbagai sumber. Subsistem ini pula yang bertanggungjawab dalam mengkonversi atau mentransformasikan format-format data-data aslinya ke dalam format yang dapat digunakan oleh SIG.

b. Data Output

(46)

c. Data Management

Subsistem ini mengorganisasikan ba ik data spasial maupun atribut ke dalam sebuah basisdata sedemikian rupa sehingga mudah dipanggil, di-update, dan di-edit.

d. Data Manipulation dan Analysis

Subsistem ini menentukan informasi-informasi yang dapat dihasilkan oleh SIG. Selain itu, subsistem ini juga melakukan manipulasi dan pemodelan data untuk menghasilkan informasi yang diharapkan.

Fungsi Analisis

Kemampuan SIG dapat juga dikenali dari fungsi-fungsi analisis yang dapat dilakukannya. Secara umum, terdapat dua jenis fungsi analisis, yakni: fungsi analisis spasial dan fungsi analisis atribut (Prahasta 2002).

1. Fungsi analisis spasial

a. Klasifikasi dan Reklasifikasi (classify and reclassify)

Fungsi ini mengklasifikasikan atau mengklasifikasikan kembali suatu data spasial (atau atribut) menjadi data spasial yang baru dengan menggunakan kriteria tertentu. Misalnya, dengan menggunakan data spasial ketinggian permukaan bumi (topografi), dapat diturunkan data spasial kemiringan atau gradien permukaan bumi yang dinyatakan dalam persentase nilai-nilai kemiringan. Nilai-nilai persentase kemiringan ini dapat diklasifikasikan hingga menjadi data spasial baru yang dapat digunakan untuk merancang perencanaan pengembangan suatu wilayah. Adapun contoh kriteria yang digunakan adalah 0-14% untuk pemukiman, 15-29% untuk pertanian dan perkebunan, 30-44% untuk hutan produksi, dan 45% ke atas untuk hutan lindung dan taman nasional. Contoh lain dari manfaat analisis spasial ini adalah untuk mendapatkan data spasial kesuburan tanah dar i data spasial kadar air atau kedalaman air tanah, kedalaman efektif, dan sebagainya.

b. Network

(47)

menggunakan selisih absis dan ordinal titik awal dan titik akhirnya , teta pi menggunakan cara lain yang terdapat di dalam lingkup network , yakni cari seluruh kombinasi jalan-jalan (segmen-segmen) yang menghubungkan titik awal dan titik akhir yang dimaksud. Pada setiap kombinasi, hitung jarak titik awal dan akhir dengan mengakumulasikan jarak-jarak segmen-segmen yang membentuknya. Pilih jarak terpendek (terkecil) dari kombinasi-kombinasi yang ada (Prahasta 2002).

c. Overlay (Tumpang susun)

Fungsi ini menghasilkan data spasial baru dari minimal dua data spasial yang menjadi masukkannya. Sebagai contoh, bila untuk menghasilkan wilayah-wilayah yang sesua i untuk budidaya tanaman tertentu (misalnya padi) diperlukan data ketinggian permukaan bumi, kadar air tanah, dan jenis tanah, maka fungsi analisis spasial overlay akan dikenakan terhada p ketiga data spasial (dan atribut) tersebut.

d. Buffering

Fungsi ini akan menghasilkan data spasial baru yang berbentuk poligon atau zone dengan jarak tertentu dari data spasial yang menjadi masukannya. Data spasial titik akan menghasilkan data spasial baru yang berupa lingkaran-lingkaran yang mengelilingi titik -titik pusatnya. Untuk data spasial garis akan menghasilkan data spasial baru yang berupa poligon-poligon yang melingkupi garis-garis. Demikian pula untuk data spasial poligon, akan menghasilkan data spasial baru yang berupa poligon-poligon yang lebih besar dan konsentris.

e. 3D analysis

Fungsi ini terdiri dari sub-sub fungsi yang berhubungan dengan presentasi data spasial dalam ruang 3 dimensi. Fungsi analisis spasial ini banyak menggunakan fungsi interpolasi. Sebagai contoh, untuk mena mpilkan data spasial ketinggian, tataguna tanah, jaringan jalan dan utility dalam bentuk model 3 dimensi, fungsi analisis ini banyak digunakan.

f. Fungsi Pengolahan Citra Digital (Digital Image Processing)

(48)

filtering, clustering dan sebagainya. Dan masih banyak fungsi-fungsi analisis spasial lainnya yang umum dan secara rutin digunakan di dalam SIG .

2. Fungsi analisis atribut terdiri dari:

a. Operasi dasar basisdata mencakup:

• Membuat basisdata baru (create database).

• Menghapus basisdata (drop database).

• Membuat tabel basisdata (create table).

• Menghapus tabel basisdata (drop table).

• Mengisi dan menyis ipkan data (record) ke dala m tabel (insert).

• Membaca dan mencari data (field atau record) dari tabel basisdata (seek, find, search, retrieve).

• Mengubah dan meng-e dit data yang terdapat di dalam tabel basisdata (update)

• Menghapus data dari tabel basisdata (delete, zap, pack).

• Membuat indeks untuk setiap tabel basisdata.

b. Perluasan operasi basisdata mencakup:

• Membaca dan menulis basisdata dalam sistem basisdata yang lain (export dan import).

• Dapat berkomunikasi dengan sistem basisdata yang lain.

• Dapat menggunakan bahasa basisdata standard SQL (structured query language).

• Operasi-operasi atau fungsi analisis lain yang sudah rutin digunakan di dalam sistem basisdata.

(49)

BAHAN DAN METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian adalah Kabupaten dan Kota Bogor. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Perencanaan Pengembangan Wilayah Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Waktu pelaksanaan penelitian dimulai bulan Pebruari sampai dengan Agustus 2005.

Jenis Data dan Alat

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa data spasial digital dan data Potensi Desa (PODES) tahun 2002. Data spasial digital yang digunakan meliputi: Penutupan Lahan Tahun 1997 dan Tahun 2002 skala 1: 250.000, Wilayah Administrasi Tahun 2002 skala 1: 250.000, Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor (1999–2009) dan Kota Bogor (1999– 2009) skala 1: 250.000, serta Data Potensi Desa tahun 2002 yang meliputi data kependudukan, sarana dan prasarana, sosial ekonomi, dan lain-lain (Laboratorium Perencanaan Pengembangan Wilayah (personal Comunication) seijin Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr). Data Kelas Lereng skala 1: 250.000 diperoleh dari Ir. Ita Carolita, M.Si (personal Comunication). Alat yang digunakan adalah seperangkat komputer, dengan perangkat lunak ArcView 3.2., Statistica 6.0., dan Microsoft Excel.

Metode Penelitian

Metode penelitian ini terdiri dari enam tahapan utama yakni: 1) Editing peta 2) Overlay peta, 3) Analisis konsistensi RTRW, 4) Analsisis faktor-faktor yang mempengaruhi inkonsistensi RTRW, 5) analsisis perubahan penutupan lahan, 6) identifikasi pusat-pusat perubahan penutupan lahan. Tahapan analisis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Editing peta (lihat Gambar 1 halaman 30)

(50)

(TPLK). Untuk mempermudah dalam melakukan analisis perubahan penutupan lahan (sesuai dengan tujuan penelitian), maka dilakukan editing/pengelompokkan jenis penutupan lahan tahun 2002 yang disesuaikan dengan jumlah dan jenis penutupan lahan tahun 1997. Pengelompokkan/penggambungan beberapa jenis penutupan lahan lebih mudah dan lebih dapat dipertanggungjawabkan dibanding dengan melakukan pemisahan/memilah-milah polygon yang telah terbentuk menjadi jenis penutupan lahan yang berbeda.

Hasil pengelompokkan jenis penutupan lahan tahun 2002 dapat dijelaskan sebagai berikut: Badan Air merupakan kelompok jenis penutupan lahan alami atau buatan berupa air yang memiliki fungsi utama sebagai penampung/resapan air dan tempat mengalirkan air guna pengendalian aliran permukaan (terdiri dari sungai, rawa, dan situ). Hutan dan vegetasi lebat merupakan jenis penutupan lahan alami maupun buatan yang terdeteksi memiliki vegetasi lebat baik pada kawasan resapan air maupun kawasan lainnya dan yang dapat berfungsi untuk pengendalian aliran permukaan. Ruang Terbangun merupakan jenis penutupan lahan yang terdeteksi tidak memiliki vegetasi (Urban, Suburban, Lahan Terbuka). Tanaman Pertanian Lahan Basah (TPLB) merupakan jenis penutupan lahan yang teridiri sawah dan tambak untuk tujuan budidaya. Tanaman Pertanian Lahan Kering (TPLK) merupakan jenis penutupan lahan yang terdiri dari kebun campuran, serta belukar dan rumput/semak yang berada pa da kawasan pertanian lahan kering untuk tujuan budidaya.

Proses pengelompokan penutupan lahan di atas berbeda dengan yang dilakukan oleh Tim Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor (LP IPB) tahun 2002. Klasifikasi penutupan lahan yang dilakukan ole h Tim LP IPB menggunakan Citra Landsat TM, dengan identifikasi path: 122, row: 064 dan 065 untuk mengkaji wilayah seluas Jabodetabek. Metode yang digunakan adalah unsupervised clasification dan membagi penutupan lahan menjadi 5 klasifikasi yaitu: Tanaman Pertanian Lahan Kering (TPLK), Ruang Terbangun, Hutan, Tanaman Pertanian Lahan Basah (TPLB), dan Badan Air.

2) Overlay/Intersect(lihat Gambar 1 halaman 30)

(51)

Peta-peta digital yang terdiri dari peta penutupan lahan tahun 1997 dan 2002, peta RTRW, Peta Kelas Kelerengan, peta Administrasi wilayah (Kecamatan dan Desa) di overlay/tumpangtindih. Overlay tersebut menghasilkan sebuah peta dimana setiap poligonnya memiliki data dari semua peta yang menjadi masukkannya. Selanjutnya, peta tersebut dijadikan sebagai basis data dalam analsis SIG selanjutnya yakni untuk analisis Konsistensi RTRW dan Perubahan Penutupan Lahan.

3) Analisis Konsistensi RTRW (lihat Gambar 2 halaman 31)

Tujuan analisis ini adalah untuk melihat seberapa jauh tingkat konsistensi dan inkonsistensi pemanfaatan ruang terhadap RTRW. Analisis ini dilakukan dengan cara membandingkan peta RTRW dengan peta penutupan lahan (land cover) tahun 2002.

Basis data SIG (pada poin 2) yang menyangkut data atribut RTRW dan penutupan lahan tahun 2002 dieksport ke microsoft excel dan diolah. Pengolahan dilakukan dengan cara membuat kolom baru yang memberikan informasi mengenai jenis penutupan lahan yang berada pada kawasan-kawasan yang telah ditetapkan dalam RTRW (RTRW à Land Cover). Selanjutnya, hasil olahan data tersebut dikembalikan kedalam basis data SIG dalam bentuk. Dengan demikian, dari basis data SIG tersebut dapat dimanipulasi untuk menampilkan data spasial yang konsisten atau inkonsisten terhadap RTRW.

Istilah “Konsistensi/Inkonsistensi” RTRW digunakan karena memiliki pengertian yang lebih longgar dalam hubungannya dengan tenggang waktu. Jangka waktu RTRW Kabupaten dan Kota Bogor adalah sepuluh tahun, yakni dari tahun 1999 sampai 2009 sedangkan data spasial pembanding dalam penelitian ini adalah penutupan lahan tahun 2002, hal ini berarti bahwa RTRW baru berjalan kurang lebih 3 tahun. Sehingga istilah lain seperti “penyimpangan” RTRW cukup riskan untuk digunakan, mengingat masa pelaksanaan RTRW baik Kabupaten Bogor maupun Kota Bogor masih berjalan sampai tujuh tahun lagi. Hal ini menunjukkan bahwa upaya-upaya pencapaian target yang ditetapkan dalam RTRW masih dalam proses dan belum final.

(52)
[image:52.612.110.509.468.689.2]

dikembalikan kepada pemanfaatan ruang sebelumnya (kawasan lindung, kawasan pertanian). Selain itu, bahwa jenis penutupan lahan dapat berpengaruh terhadap kemampuan penyerapan air.

Tabel 1 Matriks Konsistensi antara Arahan Pemanfaatan Ruang (RTRW) dengan Penutupan Lahan Tahun 2002 di Kabupaten Bogor

Penutupan Lahan Tahun 2002 Klasifikasi Umum Arahan Pemanfaatan Ruang Klasifikasi Pemanfaatan Ruang Menurut RTRW **

Badan Air Ht & Veg lebat Ruang Ter bangun

TPLB TPLK

KAWASAN LINDUNG

Kawasan Lindung/ Resapan Air, Sempadan /Terbuka Hijau

# # * * *

Kawasan Hutan Produksi # # * * *

Kawasan Pertanian # # * # #

Kawasan Pertambangan # # # # #

Kawasan Industri # # # # #

Kawasan Pariwisata # # # # #

KAWASAN BUDIDAYA

Kawasan Permukiman # # # # #

Sumber: Modifikasi dari Lembaga Penelitian IPB (2002) Keterangan: # = Konsisten

* = Inkonsisten ** = Klasifikasi PP 10/2000

TPLB = Tanaman Pertanian L ahan Basah TPLK = Tanaman Pertanian Lahan Kering

Tabel 2 Matriks Konsistensi antara Arahan Pemanfaatan Ruang (RTRW) dengan Penutupan Lahan Tahun 2002 di Kota Bogor

Penutupan Lahan Tahun 2002 Klasifikasi Umum Arahan Pemanfaatan Ruang Klasifikasi Pemanfaatan Ruang

Menurut RTRW **

Badan Air Ht & Veg Lebat Ruang Ter bangun

TPLB TPLK

Kawasan yang Tidak Boleh Dibangun/Lahan

Konservasi

Sungai/Danau/Situ, Hutan Kota, Kebun Raya, Taman dan Jalur Hijau

# # * * *

Kawasan Lahan Terbangun

Permukiman dan Sarana

dan Prasarana Lainnya. # # # # #

Kawasan Lahan Belum Terbangun

Pertanian dan Kebun

Campuran # # # # #

Sumber: Modifikasi dari Lembaga Penelitian IPB (2002) Keterangan: # = Konsisten

* = Inkonsisten ** = Klasifikasi PP 10/2000

(53)

Keterbatasan dari metode ini adalah, bahwa pengelompokkan pemanfaatan ruang menjadi konsisten dan inkonsisten masih tergolong kasar dikarenakan data spasial yang digunakan memiliki skala tinjau yakni 1: 250.000 dalam bentuk raster sehingga memiliki akurasi yang relatif rendah dalam memberikan informasi baik luasan maupun batasan ruang yang dianalisis.

Selanjutnya, hasil analisis yang menunjukkan bahwa pemanfaatan ruang inkonsisten terhadap RTRW dikaitkan dengan kondisi kelerengan wilayah. Hal ini dilakukan untuk mengetahui inkonsistensi pemanfaatan ruang pada setiap tingkat kelas kelerengan. Data luas inkonisitensi RTRW kemudian dijadikan sebagai variabel bebas dalam analisis regresi berganda untuk mengetahui keeratan hubungan antara luas inkonsistensi dengan faktor -faktor yang mempengaruhi inkonsistensi RTRW pada tahap selanjutnya.

4) Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Inkonsistensi RTRW (lihat Gambar

3 halaman 32)

Data yang digunakan adalah Potensi Desa (PODES) Bogor tahun 2002, meliputi: struktur penutupan lahan, struktur aktifitas perekonomian masyarakat, struktur pendidikan dan ketersediaan fasilitas umum. Sebelum data tersebut diolah dengan metode Principal Component Analysis (PCA), terlebih dahulu dilakukan seleksi dan standarisasi data. Seleksi data dilakukan untuk memperoleh data kuantitatif yang terkait dengan aktifitas penggunaan lahan. Selanjutnya, data hasil seleksi tersebut dilakukan standarisasi untuk memperoleh keseragaman satuan data, misalnya: data luas lahan sawah dibagi dengan total luas desa tersebut. Sedangkan untuk data jarak dilakukan invers data (1/km), misalnya: data jarak dari desa ke rumah sakit bersalin adalah 2 km, maka data tersebut menjadi ½ km. Hal ini dilakukan untuk menghindari kesalahan dalam menginterpretasikan hasil analisis data. Dasar pemikirannya adalah, bahwa semakin besar nilai data jarak maka semakin jauh jarak tersebut dari obyeknya atau dengan kata lain aksesibilitas semakin rendah. Sebaliknya, semakin kecil nilai data jarak maka semakin dekat jarak tersebut dari obyeknya atau dengan kata lain aksesibilitas semakin tinggi.

(54)

banyak menjadi set data baru yang lebih sederhana dengan jumlah data/peubah lebih sedikit dan saling orthogonal (tidak saling berkorelasi) (Rustiadi et al. 2002). Format data untuk analisis PCA disusun membentuk matriks ukuran n x p, dimana n: unit sampel dan p: jumlah peubah (jumlah kolom).

Hasil analisis PCA antara lain: Akar Ciri (Eigenvalues), Factor Loading, dan Factor Scores. Eigenvalue merupakan suatu nilai yang menunjukkan keragaman dari peubah komponen utama yang dihasilkan dari analisis, semakin besar total kumulatif eigenvalue maka semakin besar pula keragaman data awal yang dapat di terangkan. Factor Loadings merupakan parameter yang menggambarkan hubungan/besarnya korelasi antara peubah penduga penentu konsistensi RTRW dengan komponen utama ke-i. Factor Scores adalah nilai yang menggambarkan besarnya titik-titik data baru dari hasil analisis komponen utama, nilai ini yang akan digunakan dalam analisis selanjutnya (Analisis Regresi Berganda/Multiple Regression Analysis).

Analisis regresi berganda (Multiple Regression Analysis) dilakukan untuk mengetahui keeratan hubungan antara faktor-faktor penduga penentu konsistensi RTRW dengan luas inkonsistensi RTRW dengan unit analisis desa. Factor Scores dijadikan sebagai variabel bebas (x), sedangka n luas inkonsistensi RTRW dijadikan sebagai variabel tak bebas (y).

Secara umum hubungan antara variabel-variabel tersebut dapat dirumuskan dalam bentuk persamaan sebagai berikut:

Y i = a + b1X1i + b2X2i + …+ bjXji + … + bnXni

dimana: Y i = Luas Area Inkonsistensi pada Desa ke – i (%)

a = Intercept

b = Koefisien variabel j (Xj)

Xji = Variabel penduga faktor-faktor yang mempengaruhi Inkonsistensi

(55)

Tabel 3 Variabel penduga faktor-faktor yang mempengaruhi Inkonsistensi RTRW Kabupaten Bogor.

NO. Bebas (Variabel Xi) Variabel Asal *

1 X1 Kepadatan Penduduk (Jiwa/Ha)

2 X2 Jarak ke Kecamatan yang Membawahi (1/km)

3 X3 Jarak ke Kabupaten yang Membawahi (1/km)

4 X4 Jarak ke Kabupaten/Kota Lain yang Terdekat (1/km)

5 X5 Keluarga Pertanian (% KK)

6 X6 Pelanggan Listrik PLN (% KK)

7 X7 Rumah Permanen (unit/total)

8 X8 Keluarga di Bantaran/Tepi Sungai (% KK)

9 X9 Rumah di Bantaran/Tepi Sungai (unit/total)

10 X10 SLTP /1000 jiwa

11 X11 SMU /1000 jiwa

12 X12 Rumah Sakit/Rumah Bersalin (unit)

13 X13 Jarak ke Rumah Sakit/Rumah Bersalin (1/km)

14 X14 Puskesmas (unit)

15 X15 Jarak ke Puskesmas (1/km)

16 X16 Luas Sawah berpengairan yang diusahakan (Ha)

17 X17 Luas Lahan bukan sawah (Ha)

18 X18 Luas tegal/kebun/tambak/padang rumput (Ha)

19 X19 Luas Perumahan dan pemukiman (Ha)

20 X20 Industri Kerajinan dari Kayu (unit)

Sumber: Hasil Analisis Podes 2002 * Diukur dalam unit analisis desa

5) Analisis Perubahan Penutupan lahan (lihat Gambar 4 halaman 33)

Data atribut dari hasil overlay (point 2) diolah dengan menggunakan perangkat lunak excel. Tujuannya adalah untuk mengetahui perubahan penutupan lahan yang terjadi dari tahun 1997 ke tahun 2002 (Penutupan Lahan 1997 à Penutupan lahan 2002). Hasil pengolahan data tersebut kemudian dimasukkan lagi kedalam basis data dalam field baru. Output dari analisis ini berupa peta perubahan penutupan lahan dan data luas perubahan penutupan lahan (1997-2002).

6) Identifikasi Pusat-pusat Perubahan Penutupan lahan

(56)
[image:56.612.109.473.270.636.2]

Menurut Warpani (1984), analisis LQ merupakan cara permulaan untuk mengetahui kemampuan suatu daerah dalam sektor kegiatan tertentu. Kesimpulan yang diberikan masih merupakan kesimpulan sementara yang masih perlu dikaji dan ditilik kembali melalui teknik analisis lainyang dapat menjawab apakah kesimpulan sementara di atas terbukti kebenarannya. Walaupun teknik ini tidak memberikan kesimpulan akhir, namun dalam tahap pertama sudah cukup memberikan gambaran akan kemampuan daerah yang bersangkutan dalam sektor yang diamati.

Tabel 4 Variabel penduga faktor-faktor yang mempengaruhi Inkonsistensi RTRW Kota Bogor.

Sumber: Hasil Analisis Podes 2002 *: Diukur dalam unit analisis desa

No. Variabel

Bebas (Xi) Variabel *

1 X1 Kepadatan Penduduk (jiwa/Ha)

2 X2 Jarak ke Kecamatan yang Membawahi (1/km)

3 X3 Jarak ke Kota yang Membawahi (1/km)

4 X4 Keluarga Pertanian (KK)

5 X5 Pelanggan Listrik PLN (KK)

6 X6 Rumah Permanen (unit)

7 X7 Keluarga di Bantaran/Tepi Sungai (KK)

8 X8 Rumah di Bantaran/Tepi Sungai (unit)

9 X9 Rumah Kumuh (unit)

10 X10 Keluarga Permukiman Kumuh (KK)

11 X11 Jarak ke SLTP Terdekat (1/km)

12 X12 SMU Negeri dan yang Sederajat/1000 jiwa

13 X13 Rumah Sakit Bersalin/Rumah Bersalin (unit)

14 X14 Jarak ke Rumah Sakit/Rumah Bersalin (1/km)

15 X15 Puskesmas (unit)

16 X16 Jarak Desa ke Puskesmas (1/km)

17 X17 Tempat Praktek Dokter (unit)

18 X18 Jarak Desa ke Tempat Praktek Dokter (1/km)

19 X19 Sawah berpengairan yang diusahakan (Ha)

20 X20 Lahan bukan sawah (Ha)

21 X21 Kebun/ empang/ penggembalaan (Ha)

22 X22 Luas Perumahan dan pemukiman (Ha)

23 X23 Industri (unit)

24 X24 Industri Kerajinan dari Kayu (unit)

(57)
[image:57.792.125.680.154.459.2]

Gambar 1 Diagram Alur Pembentukan Basis Data SIG.

Peta

Rencana Tata Ruang Wilayah Periode 1999 – 2009

Peta Penutupan Lahan Tahun 1997 (5 kelas)

Peta Batas Administrasi (Desa, Kecamatan) Peta

Penutupan Lahan Tahun 2002

(10 kelas)

Peta Kelas Kelerengan

Edit Klasifikasi Jenis Penutupan Lahan yang disesuaikan dengan Data 1997

Overlay Peta

Basis Data Analisis Sisitem Informasi

Geografi (SIG)

Basis Data SIG (Spasial dan Atribut) Analisis Konsistensi

RTRW

Basis Data SIG (Spasial dan Atribut)

(58)

Gambar 2 Diagram Alur Analisis Konsistensi RTRW.

A

B

C

D Pengolahan Data Atribut

(RTRW à LC 2002)

Peta Inkonsistensi RTRW Data Basis SIG

(Spasial dan Atribut ) Analisis Konsistensi

[image:58.792.159.584.130.420.2]

RTRW

Tabel Matriks Konsistensi

RTRW

Inkonsisten Terhadap RTRW Konsisten

Terhadap RTRW

(59)

Gambar

Tabel 1   Matriks Konsistensi antara Arahan Pemanfaatan Ruang (RTRW) dengan                 Penutupan Lahan Tahun 2002 di Kabupaten Bogor
Tabel 4  Variabel penduga faktor-faktor yang mempengaruhi Inkonsistensi                          RTRW Kota Bogor
Gambar 1  Diagram Alur Pembentukan Basis Data SIG.
Tabel Matriks
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan pada sumber yang di dapatkan pH optimum untuk bakteri tumbuh adalah pada pH 7, dan jika pH di atas 8 bakteri akan mati.. Berarti hasil

Soil mineral N at end of season, seasonal mean values of net N mineralization, total soil N content, C/N ratio, and specific N mineralization rate (a-value) in different

Mengidentifikasi bentuk Emoticon yang paling sering digunakan oleh mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP USU ketika menggunakan Instant Messaging. Mengetahui aplikasi yang

(6) Penyediaan akomodasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf f, merupakan usaha yang menyediakan pelayanan penginapan yang dapat dilengkapi dengan

Dalam penghentian pengakuan aset keuangan terhadap satu bagian saja (misalnya ketika Perusahaan masih memiliki hak untuk membeli kembali bagian aset yang ditransfer),

menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “ Kualitas Semen Segar Sapi Bali (Bos javanicus) pada Kelompok Umur yang Berbeda ”.. Penulis menyadari dalam penyusunan

Hal menarik dari metode probabilistik adalah representasi yang eksplisit dari ketidakpastian dalam kajian stabilitas lereng.Nilai faktor keamanan disain lereng

Mengingat magang sebagai jembatan anta- ra pendidikan dan dunia kerja serta terdapat ma- salah yaitu tiga soft skills yang masih dirasa ku- rang oleh para pembimbing magang, maka