BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
D. Rohaniwan dan Masa Tua
D. Rohaniwan dan Masa Tua
Sebagai seorang yang telah memilih corak hidup selibat dalam menanggapi panggilan Tuhan, rohaniwan sekiranya memiliki masalah-masalah tersendiri yang sekiranya tidak sama dengan orang-orang kebanyakan (awam) seperti yang diungkapkan oleh Collins di atas. Masalah-masalah tersebut akan diuraikan lebih lanjut dengan menggunakan tahap perkembangan ego atau tahapan perkembangan psikososial Erikson. Sesuai dengan konteks penelitian bahwa masalah-masalah yang disoroti di sini timbul ketika memasuki masa tua dan subyek penelitian di sini adalah rohaniwan selibater yang telah memasuki masa tua, maka tahapan yang digunakan untuk menguraikannya adalah tahapan ketika seseorang tersebut telah memasuki masa tua, yaitu: generativitas lawan stagnasi dan keutuhan atau integrasi ego lawan keputusasaan. Uraiannya adalah sebagai berikut:
a. Masalah pertama adalah kemunduran fisik. Sebagai seorang manusia biasa, rohaniwan pun pasti akan mengalami kemunduran di dalam fisiknya. Rambut yang semakin memutih, keriput, daya dan energi yang semakin menurun, dan menurunnya fungsi organ tubuh juga akan melanda seorang rohaniwan seiring dengan semakin tua usianya.
Kemunduran fisik dapat membawa rohaniwan pada masalah-masalah, seperti yang dijelaskan oleh Erikson di dalam tahapan perkembangan ego
manusia atau tahapan perkembangan psikosoisal. Masalah-masalah tersebut antara lain:
1. Generativitas lawan stagnasi
Kemunduran fisik yang terjadi jelas membuat rohaniwan tua sudah tidak optimal di dalam menunaikan tugas-tugasnya. Apabila rohaniwan tersebut masih bisa terus berkarya sesuai dengan tugasnya, maka tidak ada masalah di dalam dirinya. Namun apabila rohaniwan merasa tidak mampu dengan tugas-tugasnya, maka dirinya akan merasa stagnan, atau tidak menghasilkan apa-apa lagi.
2. Keutuhan atau integrasi ego lawan keputusasaan
Dengan berubahnya fisk dan fungsi organ-organ tubuh, rohaniwan tua membutuhkan usaha di dalam menerima semua perubahan itu. Apabila dirinya dapat menyadari hal tersebut maka dia dapat dikatakan telah mencapai keutuhan atau integrasi ego. Sebaliknya apabila dirinya masih merasa ada yang kurang; entah merasa tidak puas, ataupun ada yang belum sempat dia kerjakan sampai masa tua ini, keputusasaan dapat mewarnai dirinya.
b. Mental. Seperti halnya dalam hal fisik, mental seorang rohaniwan pun akan menurun sejalan dengan semakin senja usia mereka. Stereotipe mengenai lansia pun melekat pada diri rohaniwan yang sudah memasuki usia lanjut. Hal ini dapat dijumpai pada diri seorang pastor yang sudah memasuki usia tua sering disebut sebagai romo yang pelupa, cerewet, dan yang lainnya.
Masalah-masalah yang timbul menurut tahapan perkembangan Erikson adalah:
1. Generativitas lawan stagnasi
Permasalahannya hampir sama dengan hambatan-hambatan masa tua yang lain, yaitu bagaimana usaha para rohaniwan tua di dalam periode terakhir hidupnya tetap dapat menghasilkan, berkarya sesuai dengan kebutuhan umat di tempat dimana dia berkarya. Sehingga dengan begitu rohaniwan tersebut tidak merasa mandeg atau stagnan dalam berkarya.
2. Keutuhan atau integrasi ego lawan keputusasaan
Hal ini berhubungan erat dengan kehidupan rohani para rohaniwan. Dimana pengolahan-pengolahan yang selama ini dihayati dan digeluti sepanjang rentang menanggapi panggilan Tuhan akan dibuktikan ketika saat memasuki masa tua, dimana dirinya secara perlahan mengurangi aktivitas demi tugas karyanya sampai akhirnya benar-benar istirahat total. Apapun hasilnya dan perasaan dalam menerimanya seorang rohaniwan sepatutnya mengusahakan keutuhan atau integrasi ego daripada terjebak di dalam keputusasaan.
c. Masalah ekonomi para rohaniwan di sini tentu saja berbeda dengan awam yang harus berpikir untuk menghidupi keluarga batihnya. Para romo memang tidak terlalu dipusingkan dengan masalah ekonomi karena memang tidak dipungkiri lagi biasanya kehidupan para romo terjamin entah di paroki tempat romo itu berkarya atau oleh kongregasinya. Namun, perasaan tidak menghasilkan atau tidak produktif muncul ketika romo
tersebut sudah tua dan merasa dia sudah tidak dapat lagi menghasilkan karya yang dapat menghasilkan uang, misalnya: stependium, menulis buku, ataupun karya yang lain. Perasaan yang muncul adalah bahwa dirinya hanya menyusahkan kongergasinya saja dan terkesan menumpang hidup di masa tuanya.
Apabila diuraikan lebih lanjut berdasar tahapan perkembangan menurut Erikson dapat dilihat sebagai berikut:
1. Generativitas lawan stagnasi
Di dalam masalah ekonomi generativitas secara jelas terletak pada produktivitas rohaniwan tua tersebut. Pertanyaannya apakah di masa tua ini seorang rohaniwan masih mampu menghasilkan suatu karya ataupun pelayanan yang mampu menghasilkan imbalan tertentu, baik dalam bentuk uang ataupun barang. Apabila dirinya masih mampu, maka rohaniwan tersebut mampu mencapai generativitas. Namun, jika dirinya sama sekali sudah tidak bisa menghasilkan satu karya atau melakukan pelayanan sekalipun, maka dirinya merasa sudah stagnan.
2. Keutuhan atau integrasi ego lawan keputusasaan
Bagaimana pengalaman-pengalaman rohanwian dilihat dari segi ekonomi berpengaruh bagai dirinya. Apakah rohaniwan tersebut dapat bersyukur dan merasa cukup dengan kondisinya selama ini? Atau rohaniwan tua tersebut merasa kurang? Sebenarnya dirinya merasa dapat berbuat lebih dari situasinya saat ini, sehingga rasa putus asa dan tidak puas mewarnai rohanwian tua tersebut.
d. Harga Diri. Mengenai harga diri, hal yang sering terjadi di kalangan selibater adalah permasalahan mengenai post-power syndrome. Biasanya terkait mengenai tataran hierarki pada bidang karya mereka. Sebagai contoh: ketika seorang pastor yang sudah memasuki usia lanjut digantikan jabatannya sebagai pastor kepala, pada diri pastor tersebut dapat muncul suatu perasaan bahwa dirinya sudah tidak mempunyai kedudukan lagi, tidak mempunyai kewenangan apapun lagi, dan merasa sudah tidak terpakai lagi.
Hal senada dijelaskan juga di dalam tahap ke tujuh tahapan perkembangan Erikson. Dimana dapat dilihat tahap per tahapnya. Sebagai berikut:
1. Generativitas lawan stagnasi
Apabila setelah masa tugas selesai, seorang rohaniwan tua merasa tugas dan kewajibannya telah terpenuhi dan karya dan pelayanan yang diupayakan berguna bagi umatnya, maka rohaniwan tua tersebut merasa berguna bagi umat dan Gereja. Relasi yang dijalinnya dengan umat selama menggeluti panggilan sucinya dapat berjalan dengan baik. Namun, tidak demikian dengan rohaniwan tua yang merasa tidak menghasilkan karya dan pelayanan yang baik bagi umat dan Gerejanya. Dirinya akan merasa hampa, stagnan.
2. Keutuhan atau integrasi ego lawan keputusasaan
Harga diri seorang rohaniwan adalah panggilan sucinya yang selama hidupnya digeluti bersama dengan segala macam proses yang mewarnai sepanjang perjalanan menanggapi panggilan Tuhan tersebut. Apabila
rohaniwan tua dapat merasakan kepuasan dan bersyukur atas panggilannya selama ini, maka dirinya berada dimensi polarisasi yang positif. Rohaniwan tua tersebut akan mencapai integritas ego. Dirinya akan mengahdapi kehidupan masa tuanya dengan semangat dan optimisme. Berbeda dengan rohanwian tua yang masih merasa kurang dengan panggilannya selama ini. Dirinya merasa belum terpuaskan dengan kondisinya selama menanggapi panggilan Tuhan. Rohaniwan tersebut berada di dimensi negatif. Memandang masa tuanya penuh dengan keputusasaan.
e. Hubungan antar pribadi. Letak permasalahannya juga sama, yaitu ketika seorang rohaniwan yang sudah usia lanjut berkomunikasi dengan rohaniwan muda ataupun umat yang masih muda (kawula muda). Banyak gagasan-gagasan atau ide yang terlontar dari kaum muda yang tidak sepaham dengan pemikiran rohaniwan lansia. Ditambah lagi ketika rohaniwan lansia dituntut untuk memahami bahwa situasi dan kondisi lingkungan para kawula muda itu sudah sangat jauh berbeda dengan situasi yang dialaminya dahulu.
Jika dianalisa lebih lanjut dengan tahapan perkembangan menurut Erikson, maka penjabarannya menjadi:
1. Generativitas lawan stagnasi
Di dalam menjalin hubungan antar pribadi bagi para rohaniwan tua akan sangat banyak hambatan yang dihadapi, entah hambatan dari dalam diri ataupun hambatan dari luar. Memerlukan usaha tersendiri bagi diri
rohaniwan supaya di dalam masa tuanya tetap dapat melakukan sesuatu bagi orang lain lewat suatu proses komunikasi. Lewat bimbingan rohani, tulisan-tulisannya, atau ketika bercakap-cakap biasa. Bagi rohaniwan yang gagal melakukan hal semacam itu akan merasa hampa, stagnan ketika menjalin hubungan antar pribadi.
2. Keutuhan atau integrasi ego lawan keputusasaan
Tahap terakhir di dalam tahapan perkembangan menurut Erikson merupakan periode untuk mengevaluasi diri bagi diri rohaniwan apakah komunikasi, relasi antar pribadi yang dibangunnya dapat berjalan dengan baik. Apabila seorang rohaniwan tua merasa puas dan senang dengan relasi antar pribadi yang dibangunnya selama ini, maka dirinya berada di dalam dimensi polarisasi yang positif. Rohaniwan tua tersebut dapat mencapai integrasi ego. Demikian sebaliknya, seorang rohaniwan tua yang tidak dapat merasakan kepuasan atau kegembiraan dengan proses komunikasi yang dia bangun selama ini akan berada di dalam dimensi polarisasi negatif. Dimana dirinya tidak akan menemukan gairah untuk menjalani kelanjutan hidupnya. Perasaan putus asa mewarnai dirinya. f. Hidup rohani dan pandangan eksistensial. Hidup rohani di sini berkaitan
dengan iman ketika menyadari bahwa menurunnya fisik, mental, serta gangguan-gangguan yang lain pada akhirnya berujung ke kematian. Iman akan melandasi realitas kematian yang tidak akan terelakkan dalam kehidupan kematian. Seorang imam yang telah mendapatkan pengolahan rohani yang matang diharapkan memandang kematian sebagai hal yang
wajar akan dilalui dan akan mempersiapkan selama perjalanan hidupnya, namun bagi imam yang kurang mengendapkan perjalanan rohaninya tentu saja akan memandang kematian dari sudut pandang yang berbeda. pengolahan kehidupan rohani dapat juga menjadi salah satu sarana menciptakan intergritas ego di dalam diri rohaniwan. Apabila rohaniwan dapat merefleksikan dan dapat mengambil makna dari pilihan panggilan hidupnya, maka dirinya akan merasa bersyukur dan merasa hidupnya penuh makna. Dengan selibat, pelayanan terhadap Gereja dan umat, rohaniwan merasa hidupnya sangat berharga. Dengan keyakinan semacam itu rohaniwan tidak akan takut menghadapi saat kematian yang sudah pasti akan datang. Demikian sebaliknya, apabila seorang rohaniwan tidak dapat mengambil makna dari jalan hidup yang sudah dipilihnya maka dirinya akan merasa putus asa, merasa bahwa hidupnya selama ini sia-sia dan tidak berguna.
Dapat dijabarkan lebih lanjut, masalah apa saja yang sekiranya melanda para rohaniwan berdasar tahapan perkembangan Erikson di dalam menghadapi masalah mengenai hidup rohani dan pandangan eksistensial. 1. Generativitas lawan stagnasi
Produktivitas di dalam kehidupan rohani akan tampak jelas terlihat dari setiap permenungan keseharian seorang rohaniwan. Permenungan tersebut dapat diwujudnyatakan di dalam sikap keseharian, tulisan, dan yang lain. Sangat diharapkan permenungan yang dihasilkan rohaniwan tua semakin mendalam dan dapat menjadi pembimbing bagi rohaniwan muda. Sikap
hidupnya pun diharapkan dapat menjadi inspirasi yang bagus bagi rohaniwan muda di dalam menjalani hidup panggilan-Nya. Rohaniwan yang tidak dapat menunjukkan hal tersebut akan merasa dirinya tidak dapat menghasilkan apa-apa dan tidak dapat memberi sumbangan apapun bagi gereja, umat, ataupun rohaniwan muda lainnya. Perasaan hampa akan menyelimuti dirinya. Rohaniwan tersebut merasa dirinya tidak dapat menghasilkan apa-apa, stagnan.
2. Keutuhan atau integrasi ego lawan keputusasaan
Tahapan yang terakhir di dalam tahapan perkembangan Erikson berguna bagi para rohaniwan untuk melakukan evaluasi mengenai kehidupan rohani yang telah diolah selama ini. Apakah selama menjalani hidupnya sebagai seorang rohaniwan dirinya banyak mengalami pengalaman yang menyenangkan? Atau sebaliknya, rohaniwan tersebut merasakan banyak pengalaman yang tidak menyenangkan. Bagi rohaniwan yang merasakan pengalaman yang menyenangkan atau yang berada di dimensi polarisasi yang positif, akan tetap menghadapi masa tuanya dengan penuh semangat dan optimisme. Dirinya dapat mencapai suatu keutuhan ego. Sedangkan para rohaniwan yang berada di dimensi polarisasi negatif, egonya ditandai dengan sikap kekanak-kanakan. Rohaniwan itu seolah-olah ingin kembali pada masa-masa sebelumnya ketika banyak keinginan kehidupan emosinya belum terpuaskan. Timbul perasaan sengsara dan sedih karena waktu telah lewat dan dirinya tidak mencapai apa-apa. Rohaniwan ini mengahadapi masa tuanya dengan perasaan putus asa.
Gereja pun tidak tertutup terhadap masalah-masalah seperti ini. Bagi para selibater yang dirasa sudah lansia dan tidak cocok lagi ditempatkan untuk karya atau misi tertentu diistirahatkan di dalam wisma yang khusus bagi para selibater yang sudah lansia. Istirahat di dalam wisma adalah saat pensiun bagi para selibater. Mereka sudah dibebaskan dari karya, tugas ataupun misi-misi tertentu.
Dari uraian bab II ini akan dirangkai membentuk suatu kerangka dimana seorang rohaniwan yang telah memilih, telah menjawab panggilan untuk hidup selibat dengan alasan yang diyakininya menghadapi segala permasalahan pada masa tua. Bagaimana kemunduran-kemunduran yang ada, sumber permasalahan, konflik sosial di dalam dirinya mempengaruhi perilaku rohaniwan dalam menyiapkan diri menapaki masa tua. Dari bentuk-bentuk perilaku para rohaniwan tersebut, dapat memberi gambaran hal-hal mana saja yang menjadi masalah bagi para rohaniwan di masa tua, dan penulis dapat mendeskripsikan masalah-masalah masa tua yang dimiliki oleh para rohaniwan atau hal-hal apa sajakah yang menjadi masalah bagi para rohaniwan di masa tua.