SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh:
Nama : Andreas Ari Kristiyanto NIM : 009114047
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
i SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh:
Nama : Andreas Ari Kristiyanto NIM : 009114047
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
Pabila keterbatasan-keterbatasanku diambil dariku, maka
hidupku akan sangat bahagia tetapi tanpa makna…………
Tuhan memang menciptakan sesuatu indah pada saatnya,
tetapi kadang kita harus belajar untuk membuatnya indah pada
saat ini……….
Kala gerimis membasuh bumiku,
Klaten, akhir April 2007
J. Ari Andreas Kristiyanto
v
Karya sederhana ini kupersembahkan untuk:
¾
Sang Khalik, Penguasa dan Empunya alam
beserta kehidupan yang ada
¾
Kedua orang tuaku dan saudara-saudaraku
vi
Yogyakarta, Mei 2007
Rohaniwan; Sebuah Studi Deskriptif. Jurusan Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas
Sanata Dharma, Yogyakarta.
Penelitian ini mendeskripsikan mengenai tahapan perkembangan pada rohaniwan di masa tua menurut Erikson, yaitu: generativitas lawan stagnasi dan integritas atau keutuhan ego lawan keputusasaan di dalam menghadapi masalah-masalah masa tua yang diungkapkan oleh Collins, yaitu: Masalah fisik, masalah mental, masalah ekonomi, masalah harga diri, masalah hubungan antar pribadi, dan masalah hidup rohani dan pandangan eksistensial, pada diri rohaniwan. Dilihat lebih lanjut apakah masalah-masalah masa tua yang dialami membuat para rohaniwan tetap dapat mencapai tahap generativitas dan integritas atau sebaliknya masalah-masalah masa tua yang ada membuat para rohaniwan merasa putus asa di dalam sisa hidupnya. Rohaniwan yang dipakai sebagai subyek di dalam penelitian ini adalah para rohaniwan yang menggunakan corak hidup selibat di dalam hidupnya dan sudah memasuki usia tua (>55 tahun). Mereka adalah: pastor, bruder, dan suster.
Dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap enam rohaniwan, mereka semua menyatakan mengalami masalah dengan fisik dan mental. Lima rohaniwan menyatakan mengalami masalah dengan harga dirinya dan dua rohaniwan menyatakan mengalami masalah dengan hidup rohaninya. Sedangkan untuk masalah ekonomi dan hubungan antar pribadi, keenam rohaniwan menyatakan tidak ada masalah dengan hal tersebut.
Para rohaniwan juga menyatakan dapat mencapai generativitas. Mereka menekankan bahwa di usia tua mereka masih dapat melakukan karya dan mengemban tugas perutusan tertentu. Di akhir wawancara, para rohaniwan juga menyatakan dapat mencapai suatu keutuhan atau integritas ego. Mereka menyatakan dapat menerima dirinya di usia tua dengan segala perubahan dan masalah yang ada.
Kata Kunci: Rohaniwan, selibat, masalah-masalah masa tua, generativitas, dan keutuhan atau integritas ego.
Yogyakarta
This research is describing about the growth step of the clergies in their old according to Erikson, that is: generativity versus the stagnation and integrity or ego perfection versus the desperation in facing the problems of aging which explained by Collins, that is: Problem of physical, problem of mental, problem of economics, problem of self-esteem, interpersonal problem, and problem of religious and the existential life of the clergies them self. Seen furthermore are the problems of aging made the clergies still reach the generativity and the integrity or ego perfection or the contrary the problems of aging made the clergies fell the desperation in the rest of their life. The clergies used as subject in this research are all clergies using pattern live the celibacy in their life and have entered the old age (> 55 year). They are: pastors, brothers, and sisters.
From the interview result from the six clergies, they were telling to experience of the problem with the physical and mental. Five clergies were telling to experience of the problem with self-esteem and two clergies were telling to experience of the problem with their religious. While to the problem of economics and interpersonal, all clergies were telling have no problem with the mentioned.
The clergies also told that they can reach the generativity. They emphasized that in the old period they still do something and have certain courier duty. In the final interview, all clergies also told they can reach perfection or ego integrity. They told that they can accept them self in old period with all existing problems and changes.
Keyword: Clergies, celibacy, problems of aging, generativity, and perfection or ego integrity.
menyelesaikan proses belajar di fakultas psikologi universitas Sanata Dharma dan selama penulis menyelesaikan skripsi ini. Pada kesempatan ini pula penulis akan menghaturkan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Allah Bapa di surga. Untuk segala rahmat dan mukjizat yang tidak dapat dijelaskan dengan akal sehat dan pikiranku.
2. Bunda “Mahadewi” Maria untuk keajaiban doa novena dan rosarionya. Terima kasih Bunda…
3. Pak Eddy Suhartanto, S.Psi. Msi. Selaku dekan fakultas psikologi, universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
4. Dr. A, Supratiknya. Matur nuwun untuk semua bimbingannya pak… 5. Pa Gi, mas Mudji “Rooney”, mas Gandung, mas Doni dan mbak Nanik
6. Pa’ Budi Haryono dan Ma’ Endang Lestari. Terima kasih untuk segala cinta kasih dan sayangnya selama ini. Maaf pabila Andre sering menyusahkan bapak dan mamah…
7. Mas Felix dan Mba Nina sekelurga…terima kasih untuk dukungan dan cintanya kepada adik kalian yang paling ragil dan nakal ini.
8. Bintang Adrian Arraya Putra Kristiyanto, terima kasih telah menjadi “bintang” dalam hatiku. Menunjukkan jalan yang benar diantara kesulitan dan rintangan yang ada. Yopie Arie Wahyuni, terima kasih masih mau menemani di dalam proses yang tidak menyenangkan ini. Maaf apabila aku belum bisa memberikan yang terbaik bagi kalian…
9. Simbah A. Partono (Alm) dan ibu Partono. Simbah Andik (Alm) dan bu Andik (Alm). Matur nuwun kung, matur nuwun buk…untuk semua kasih sayang dan doa-doanya.
10.Semua pak dhe dan bu dhe. Oom-oom dan tante beserta keluarga dan kakak-kakak, adik-adik, dan semua keponakan. Terima kasih untuk doa dan dukungannya.
12.Teman-teman angkatan 2000: Dion-Tiwuk, Reenee, Ita, Melanie, Monic, Ellen, Agung “Onthel”, Kenny. Widya, Thompson, Musda, Doni Maradona, Wiwied, Vicky “Kuda”, dan semua yang tidak dapat kusebut satu-persatu. Untuk semua kakak tingkat, Reni Wulansari dan Ninik Mediawati, dan semua adik-adik tingkat. 13.Pejabat 49A: Sura “Cmx” Dal, Ari Grandonk, Djarwo, dan semua pejabat lainnya.
Terima kasih untuk saat-saat cerianya.
14.Keluarga besar Paguyuban Keluarga Medan Utama Longewu. Terima kasih untuk saat-saat bersama di kawah candradimuka.
15.Felix “si Kucing yang Bodoh” Risada dan Monic, Brian, Didik “Hewan” Handoko, Benny Degleng, Turgidus “Adi” Zembronk, Guruh Pradito, dan Kiki serta semua kumpulan orang-orang Nyropho lainnya. Thanks untuk flash disknya Lix….Untuk semuanya, kapan kita kumpul-kumpul lagi dan berbagi KeNyrophoan?
16.Teman-teman crew Deket rumah, Movie Box Coffeeshop, Cheers, dan Zha-Zha Coffeeshop. Terima kasih untuk pengalaman yang ada meski hanya sejenak. 17.Temen-temen kelompok 4 KKN angkatan 27. Bagaimana kabar kalian semua? 18.Btp Tmt “Jejem” Black Toncong. Untuk keceriaan dan sebagai media katarsis
selama aku bosan mengetik skripsi.
19. Ade AE 5943 AG dan pendatang baru Jhony AB 3572 DY. Sudah menjadi “kaki-kakiku” mempermudah aku ke mana-mana.
20.The last but not least, para lajuners, khususnya Yogya-Klaten p.p. Membuat aku semangat dan tidak kesepian dalam perjalanan.
HALAMAN PERSETUJUAN……….. ii
HALAMAN PENGESAHAN………...iii
MOTTO………. iv
HALAMAN PERSEMBAHAN……… .v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………vi
ABSTRAK……….vii
ABSTRACT………. viii
KATA PENGANTAR………... .ix
DAFTAR ISI……….. xi
BAB I. PENDAHULUAN ……….1
A. Latar Belakang Masalah..………..………....1
B. Rumusan Masalah ……….………4
C. Tujuan Penelitian ………..………5
D. Manfaat Penelitian .………...5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA………7
A. Rohaniwan..………..…..7
B. Selibat……….………...8
C. Masa Tua………. …...………...13
D. Rohaniwan dan Masa Tua..……….………....23
E. Kerangka Penelitian……….33
C Responden Penelitian...………...………...38
D. Metode Pengambilan Data...………...………...39
E. Pemeriksaan Keabsahan Data..………...41
1. Kredibilitas.………...41
2. Dependability ………...42
F. Analisis Data ……….………...43
1. Transkrip Verbatim……….44
2. Koding……….44
3. Analisis Isi………..45
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN …...………47
A. Pelaksanaan Penelitian.………..………...47
1. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian….……...………47
2. Waktu dan Tempat Penelitian..………..………48
B. Hasil Penelitian...……….49
C. Pembahasan………..73
BAB V. PENUTUP ……….………82
A. Kesimpulan ……….82
B. Saran ………...……….84
1. Bagi Peneliti Selanjutnya ……….……….84
2. Bagi Para Rohaniwan……... ……….………85
A. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan ini banyak sekali pilihan yang dapat diambil untuk
mengaktualisasikan diri di dalam mewarnai lembaran hidup seorang manusia,
salah satunya adalah selibat. Selibater atau orang yang memilih corak hidup
selibat (tidak menikah) selama hidupnya, memilih corak hidup ini karena mereka
meyakini adanya suatu esensi atau makna yang dapat dicapai.
Hidup selibat secara umum sangat identik dengan kaum rohaniwan Katolik,
seperti biarawan ataupun biarawati. Namun, tidak tertutup kemungkinan bagi
orang awam untuk memilih jalan hidup sebagai seorang selibater, karena pada
dasarnya, pilihan hidup adalah bebas.
Dalam sejarah Gereja Katolik sendir, kehidupan selibat banyak sekali dikupas
seiring dengan perkembangan Gereja, dimulai dari jaman Gereja kuno,
dilanjutkan konsili Lateran, diikuti oleh konsili Trente, kemudian juga ada masa
pencerahan revolusi Yofisme, dan sampai pada akhirnya ketika konsili Vatikan II
diadakan pada tahun 1962-1965 (dalam Kristiyanto, 1999). Semua konsili yang
diselenggarakan oleh Gereja tersebut membahas mengenai pemaknaan kehidupan
selibat yang lebih mendalam, mulai hanya yang tidak menikah (hidup sendirian,
seorang diri) sampai pada kesadaran bahwa model hidup yang dipilih untuk
mengusahakan dirinya supaya tetap murni perawan (tidak melakukan hubungan
seksual sama sekali) untuk dipersembahkan kepada Tuhan sebagai bentuk
penyerahan diri secara total. Kaum rohaniwan tersebut percaya bahwa ada
nilai-nilai yang sangat berharga yang dapat dicapai dengan mengusahakan hidup murni
(dalam Kristiyanto, 1999).
Sebagaimana lazimnya seseorang pasti akan menjadi tua seiring dengan
bertambahnya usianya. Ada beberapa batasan usia yang dipakai untuk
menggolongkan seseorang termasuk dalam kategori usia lanjut. Monk (2001)
misalnya, mengatakan bahwa usia lanjut atau usia tua dimulai pada usia 65 tahun.
Hurlock (1980) menyebutkan usia 70 tahun sebagai awal dari usia lanjut.
Sedangkan Neugarten (dalam Tavipamartiwi, 2002) mengambil kesimpulan usia
60 tahun sampai dengan usia 70 tahun sebagai usia tua dari hasil penelitian yang
dia lakukan.
Proses menjadi tua atau senescence (dari bahasa latin senescere) biasanya
akan membawa beberapa kesulitan di dalam diri seseorang. Collins (dalam
Widjojo, 2000) menyebutkan ada 6 (enam) sumber gangguan pada masa usia
lanjut. Fisik merupakan salah satu tanda yang sangat jelas terlihat ketika
seseorang memasuki usia lanjut. Rambut yang semakin memutih dan berkurang,
gerakan yang melamban, dan energi yang menurun menjadi tanda yang
memperjelas. Selain menyebut faktor fisik Collins juga menyebut mental,
ekonomi, hubungan antar pribadi, harga diri serta hidup rohani dan pandangan
eksistensial sebagai sumber gangguan yang lain.
Ditinjau dari peran sosialnya, orang yang lanjut usia sudah tidak lagi terlibat
secara maksimal dalam sebuah organisasi, atau kegiatan kemasyarakatan.
dengan yang muda sebagai generasi penerus dan terkadang mereka juga tidak
diikut sertakan dalam perkara-perkara khusus. Menurut Hurlock (1980) hal ini
dapat menimbulkan suatu masalah pada diri lansia. Pergantian kaum tua oleh
kaum muda dapat menimbulkan kesalah pahaman. Para lansia dapat merasa
bahwa mereka tidak berarti lagi bagi orang lain. Akibatnya, para lansia tidak lagi
mempunyai ketertarikan terhadap kehidupan bermasyarakat. Peran mereka di
dalam masyarakat semakin berkurang dan secara emosional pun lansia sudah
tidak lagi terlibat.
Hal semacam ini tidak tertutup pula bagi para rohaniwan. Segala masalah
maupun kemunduran fisik dan psikis akan berpengaruh pada kemampuan mereka
dalam berkarya, menjalin relasi dengan rekan pastor lainnya, maupun dengan
umatnya. Dalam kehidupan sosialnya, post-power syndrome sekiranya dapat
menghantui para pator ketika dirinya hendak memasuki usia lanjut, yaitu
berkurangnya paranan dalam keluarga atau masyarakat (Rianto, 1982). Para pastor
merasa bahwa pelayanannya sudah tidak maksimal lagi ataupun juga sudah tidak
dibutuhkan lagi oleh umat (dalam Sudiarjo, 2005). Hal ini dapat terkait juga
dengan harga diri. Ketika pastor kepala akan digantikan oleh yuniornya, ketika
pastor idola sudah mulai ditinggalkan oleh umatnya, ataupun ketika seorang
pastor diminta untuk istirahat dari karyanya dan lain sebagainya.
Selain itu, di dalam diri seorang rohaniwan yang akan memasuki masa tua ada
konflik seperti yang diungkapkan oleh Erikson yaitu generativitas vs stagnasi
(dalam Santrock, 2002). Permasalahan yang ada pada diri rohaniwan selibat
merasa tidak dapat membentuk dan membimbing umat, anak didik dimana dia
selama ini berkarya. Dengan segala kemunduran fisik maupun mentalnya, seorang
pastor merasa bahwa dirinya memang sudah tidak berguna, tidak dapat berperan
dalam pengembangan Gereja. Hal ini berimbas terhadap pemenuhan eksistensi
diri dalam persiapannya menjalani usia tua.
Ada suatu alternatif yang ditawarkan oleh Hall dan Lindzey (dalam
Tavipamartiwi, 2002) dalam menghadapi masalah yang timbul pada usia lanjut,
yaitu dengan cara mencapai integritas. Untuk dapat mencapai integritas individu
harus dapat menerima semua kegagalan dan keberhasilan selama hidupnya serta
dapat memelihara dan mempertahankan gaya hidupnya tersebut dari berbagai
potensi ancaman.
Masalah di hari tua atau masa tua memang tidak dapat dihindari. Namun, yang
terpenting di sini adalah bagaimana mempersiapkan diri di dalam menerima
segala perubahan yang terjadi di masa tua termasuk masalah-masalah yang ada
supaya akhirnya masalah-masalah yang ada di masa tua tidak menghalangi di
dalam mencapai suatu integritas atau keutuhan ego.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, masalah yang akan dicari jawabnya dalam
penelitian ini adalah: Apakah masalah-masalah masa tua yang ada berpengaruh
terhadap rohaniwan selibater di dalam upayanya mengatasi krisis tahapan
perkembangan di usia tua menurut Erikson, yaitu mencapai generativitas dan
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan masalah-masalah masa tua
yang ada atau yang dialami oleh para rohaniwan atau hal-hal apa sajakah yang
menjadi masalah bagi para rohaniwan, yang nota bene selibat seumur hidupnya,
dalam menghadapi masa tua di dalam kesendiriannya (tanpa memiliki keluarga
yang dia bangun sendiri).
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Memberikan suatu tambahan wacana bagi dunia psikologi, khususnya
mengenai pemahaman tentang masalah-masalah yang dialami oleh para
rohaniwan ketika mereka sudah memasuki masa tua pada rentang waktu
kehidupan mereka.
2. Manfaat Praktis
Diharapkan dengan adanya penelitian ini, para rohaniwan menjadi lebih
terbuka terhadap segala bentuk masalah yang mungkin akan menimpa diri mereka
ketika memasuki masa tua. Selain itu, para rohaniwan juga diharapkan
mencermati hal-hal yang sekiranya dapat menjadi sumber permasalahan bagi
mereka ketika mereka sudah memasuki masa tua yang akan dibahas di dalam
penelitian ini.
Dengan mengerti dan memahami semua hal di atas, para rohaniwan
hendaknya lebih mencermati segala konsekuensi yang ada ketika mereka
persiapan diri dengan lebih matang guna menghadapi masa tua di dalam rentang
A. Rohaniwan
Rohaniwan diartikan sebagai orang yang mementingkan masalah kerohanian
daripada hal lain atau diartikan juga sebagai orang yang ahli dalam hal kerohanian
(Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1988). Berdasarkan pernyataan tersebut dapat
kita katakan bahwa setiap orang yang memiliki konsentrasi lebih mendalam dalam
bidang rohani, apapun agama dan kepercayaannya, dapat kita sebut sebagai
rohaniwan, seperti pastor, kyai, biksu, suster, ataupun juga bruder. Orang- orang
tersebut menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk belajar dan mendalami
ajaran agama yang mereka yakini.
Seorang rohaniwan tidak hanya unggul di dalam pengetahuan tentang
kehidupan spiritual saja. Ia juga selalu mengolah di dalam batinnya makna
kehidupan dan tingkah lakunya sehari-hari. Maka di dalam memaknai kehidupan
ataupun memandang setiap peristiwa yang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari,
mereka tidak hanya memandang secara permukaan dan apa adanya. Para
rohaniwan terbiasa untuk menyikapi segala sesuatu dengan pandangan reflektif,
melihat apa makna yang terkandung di dalam setiap peristiwa. Hal itu tampak di
dalam tingkah laku mereka yang selalu mengarah ke ketenangan batin dan selalu
mengusahakan kedamaian hati di dalam dirinya (dalam Kristiyanto, 1999).
B. Selibat
Kata selibat berasal dari bahasa Latin caelebs (caelobs), yang mempunyai arti
tidak kawin. Dalam bahasa Indonesia kata caelebs ini dapat disinonimkan dengan
kata wadat (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1988). Kata wadat sendiri dapat
diartikan sebagai suatu corak hidup, dimana seseorang dengan sukarela dan sadar
memutuskan untuk hidup membujang atau lajang sebagai cerminan dari
keyakinannya sebagai insan di dunia. Corak hidup di sini mengandung maksud
bahwa wadat mewarnai seluruh perjalanan hidup seseorang. Sedangkan seseorang
yang memilih corak hidup semacam ini dengan sadar dan sukarela disebut
selibater.
Dalam agama Katolik, istilah lain yang juga sering digunakan untuk
mendefinisikan selibat adalah keperawanan. Kata keperawanan berasal dari
bahasa Latin virginitas. Namun karena arti keperawanan lebih dekat dengan
makna seorang wanita yang tidak menikah, maka istilah ini secara sempit hanya
relevan bila digunakan untuk menyebut para biarawati (dalam Kristiyanto, 1999).
Pada dasarnya seseorang yang memutuskan untuk menjalani hidup selibat
bukan berarti karena takut untuk menjalani kehidupan berkeluarga atau karena ada
yang kurang lengkap didalam dirinya. Ada beberapa alasan yang mendasari
mengapa seseorang lebih memilih hidup secara selibat menurut ajaran agama
Katolik, yaitu (Van der Looy, 1996):
a. Selibat karena mengikuti Kristus
“Aku berkata kepadamu, sesungguhnya setiap orang yang karena kerajaan
anak-anaknya; akan menerima kembali lipat ganda pada masa ini juga, dan pada
zaman yang akan datang ia akan menerima hidup yang kekal.” (Luk 18: 29-30)
Sabda Yesus tersebut sangat memotivasi para selibater, walaupun dari sabda
tersebut tampak bahwa menjalani corak kehidupan selibat tidaklah mudah.
Konsekuensi yang harus dihadapi berat, namun para selibater tidak gentar dan
menyerah begitu saja. Mereka tetap mengusahakan corak kehidupan selibat yang
telah dijalani dengan mengikuti Yesus dan meniru cara hidup-Nya. Para selibater
sungguh-sungguh secara sadar dan rela menyerahkan hidup mereka seutuhnya
kepada Tuhan.
Para selibater tidak hanya meniru hidup Yesus yang tidak menikah, melainkan
kehidupan Yesus yang utuh. Yesus yang miskin, pengampun, sampai Yesus yang
taat sampai mati di kayu salib demi menebus dan menguduskan umat manusia.
Tujuan meniru Yesus tak lain supaya para selibater semakin bersatu dengan
Kristus, karena dengan semakin bersatu dengan Yesus maka mereka akan bersatu
dengan Allah sendiri.
b. Selibat demi Kerajaan Allah
“Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari
rahim ibunya dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain dan ada
orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena
Kerajaan Allah.” (Mat 19:12)
Motif ini selalu berhubungan dengan cara tertentu memandang Allah dan
dunia, sehingga seseorang yang memilih corak hidup selibat berdasarkan motif ini
Suasana Kerajaan Allah sungguh-sungguh hadir dan berada dalam diri Yesus
Kristus. Dengan corak hidup selibat, seseorang merasa mengabdi Tuhan dengan
seluruh hatinya tanpa terganggu hal-hal yang lain seperti jika dia memilih corak
hidup berkeluarga.
Perlu diperhatikan bahwa selibat tidak pernah boleh didasarkan atas
kurangnya penghargaan terhadap hidup berkeluarga, walaupun sering dipandang
bahwa cinta kepada manusia lebih rendah daripada cinta akan Tuhan. Tidak
jarang pula dipahami bahwa cinta kepada sesama manusia dianggap sebagai
penghambat cinta seseorang kepada Tuhan. Kendati demikian mereka yang
memilih jalan hidup berkeluarga tetap dapat menuju ke kesempurnaan hidup dan
tidak mustahil pula bahwa hidupnya lebih baik daripada mereka yang mengambil
corak hidup selibat.
c. Selibat demi ingkar diri
Dalam kehidupan berselibat, semangat ingkar diri perlu dikedepankan.
Apabila mereka sudah memutuskan untuk mempersembahkan seluruh jiwa
raganya bagi Tuhan, maka mereka jelas tidak dapat sekaligus terikat dalam suatu
ikatan hidup berkeluarga. Memang tidak dapat disangkal bahwa di dalam tubuh
mereka terdapat dimensi seksualitas. Tetapi dalam pengungkapannya para
selibater mempunyai pilihan lain, yaitu mengambil cinta dari sesama yang mereka
layani tanpa pandang bulu, bukan dari orang tertentu saja. Para selibater
merelakan kehangatan cinta yang dapat diperoleh lewat keintiman antara
pasangan pria dan wanita dalam perkawinan. Hal itu mereka persembahkan
sekali tidak meremehkan seksualitasnya dengan semangat ingkar diri ini. Sebagai
contoh: seorang suster pasti akan merelakan kerinduannya untuk mengatur
kehidupan rumah tangga. Ia juga merelakan derajat keibuannya, merelakan untuk
tidak menggunakan kelembutan dan kecantikan tubuhnya untuk suami tercinta
atau anak-anaknya. Tetapi semua yang ada pada dirinya dia persembahkan untuk
memuji Allah dalam pelayanannya bagi sesama tanpa pandang bulu. Begitu juga
perasaan semacam ini berlaku untuk para rohaniwan yang merindukan menjadi
seorang pemimpin keluarga maupun sebagai seorang pelindung bagi isteri dan
anak-anaknya.
d. Harapan akan kehidupan abadi atau kekal
Harapan akan kehidupan abadi ini didasari oleh janji Allah yang menyatakan
bahwa kelak umat Allah akan bersatu di dalam kehidupan yang kekal, dimana
tidak akan ada lagi penderitaan, melainkan kebahagiaan abadi. Persekutuan
dengan Allah tersebut dapat tercapai selama umat Allah masih hidup di dunia ini.
Namun selama hidup di dunia, umat Allah diharapkan selalu berusaha mencari
kehendak Allah sehingga dapat mencapai harapan akan kehidupan yang abadi
kelak di surga. Segala sikap dan tingkah laku mereka hendaknya mencerminkan
bahwa mereka adalah umat Allah. Kepenuhan kesempurnaan terletak di masa
kelak bila Allah datang sebagai raja dan memerintah sepenuh-penuhnya. Di sini
para selibater memilih jalan khusus di dalam penyerahan diri seutuhnya kepada
Tuhan dengan memilih dan menghayati corak hidup selibat selama hidupnya.
Hidup selibat tidak mewujudkan secara penuh apa yang akan terjadi pada
kehidupan kekal. Hidup selibat mendasarkan harapannya kepada benih Kerajaan
Allah yang sudah ditabur dan yang memberikan kepastian. Hidup selibat secara
terus-menerus merupakan perjalanan yang pasti dan jelas menuju ke hidup kekal
abadi bersama Allah.
Keempat alasan tersebut dipegang teguh oleh para rohaniwan. Keempatnya
bukan merupakan suatu tingkatan, namun lebih pada fokusnya masing-masing.
Selibat demi mengikuti Kristus dan selibat demi ingkar diri lebih berfokus pada
pengolahan diri dalam kehidupan sosialnya sehari-hari. Ketika para selibater
diharapkan dapat meniru perilaku seperti apa yang dicontohkan oleh Yesus dan
belajar untuk ingkar diri, dimana selibater diharapkan mampu mengupayakan
cinta kasih yang sejati terhadap semua orang daripada hanya mewujudkan cinta
dalam bentuk relasi antara pria dan wanita.
Sedangkan selibat demi Kerajaan Allah dan selibat demi kehidupan abadi
lebih berfokus pada kehidupan rohani para selibater. Para selibater meyakini
bahwa hidup tidak hanya berakhir ketika mereka mati, namun mereka yakin
bahwa kematian merupakan gerbang untuk menuju ke kehidupan yang kekal.
Kehidupan kekal diupayakan di dunia ini dalam tingkah laku sehari-hari. Selain
itu, dengan totalitas pelayanan yang diusahakan, para selibater meyakini bahwa
Kerajaan Allah akan semakin luas karena dengan semakin banyaknya pelayanan
yang dikerjakan, maka semakin banyak pula orang yang merasa sapaan kasih
C. Masa Tua
Usia lanjut atau yang lebih dikenal dengan istilah lansia menurut Hurlock
(1980) adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang yaitu suatu periode
ketika seseorang telah beranjak jauh dari periode terdahulu yang lebih
menyenangkan atau beranjak dari waktu yang penuh dengan manfaat.
Suardiman (dalam Tavipamartiwi, 2002) menyatakan bahwa secara biologis,
manusia lanjut usia adalah manusia yang telah menjalani proses penuaan dalam
arti menurunnya daya tahan fisik yang ditandai dengan semakin rentannya
terhadap serangan berbagai penyakit yang dapat mengakibatkan kematian. Hal
tersebut terjadi karena meningkatnya usia sehingga terjadi perubahan struktur dan
fungsi sel, jaringan, serta sistem organ.
Batasan usia lanjut memang menjadi suatu masalah karena sulit untuk
menentukan secara tepat kapan seseorang disebut memasuki usia lanjut. Hal ini
disebabkan karena tanda-tanda menjadi tua yang dialami oleh setiap orang
munculnya tidak dalam waktu yang sama. Monks dkk (2001) mengatakan bahwa
usia lanjut dimulai pada usia 65 tahun. Hurlock dkk (1980) menyebutkan usia 70
tahun sebagai awal dari usia lanjut. Neugarten (dalam Tavipamartiwi, 2002)
dalam penelitian yang dia lakukan menghasilkan kesimpulan usia 60 tahun sampai
dengan 70 tahun sebagai usia tua.
Sedangkan untuk tanda-tanda memasuki masa tua berdasarkan uraian Dep Kes
RI tahun 1998 (dalam Tavipamartiwi, 2002) menyatakan bahwa menjadi tua
ditandai dalam bentuk kemunduran biologis yang terlihat sebagai gejala
keriput serta garis-garis yang menetap, rambut mulai beruban, gigi mulai tanggal,
penglihatan dan pendengaran berkurang, mudah lelah, gerakan tubuh menjadi
lamban dan kurang lincah, ketrampilan tubuh menghilang, dan terjadi timbunan
lemak terutama di bagian perut.
Collins (dalam Widjojo, 2000) mengatakan ada 6 (enam) sumber gangguan
pada masa usia lanjut, yaitu:
1. Fisik. Semakin orang bertambah tua semakin kualitas tubuh jasmaninya
menurun, meskipun hal ini berbeda antara pribadi satu dengan pribadi yang
lain. Perubahan yang terjadi misalnya rambut memutih, daya gerak dan energi
menurun, pencernaan yang semakin menurun, dan peraba yang juga semakin
menurun. Selain itu di masa tua manusia mengalami perubahan seksual.
Kemampuan reproduksi yang dimiliki akan menurun. Dan gangguan fisik
yang terakhir di masa tua adalah penyakit. Banyak manusia lanjut usia setelah
diatas usia 65 tahun mengidap penyakit kronis, seperti penyakit jantung,
diabetes, kanker, dan lainnya. Semua penyakit tersebut menimbulkan rasa
cemas, mengurangi daya gerak, serta menimbulkan rasa enggan bertindak.
2. Mental. Stereotipe yang umum terhadap usia lanjut adalah terjadinya
penurunan dalam segi intelektual. Orang lanjut usia umumnya berpikir
lamban. Dalam menanggapi sesuatu membutuhkan waktu lama, daya ingat
menurun, sukar memahami gagasan baru sehingga membuat mereka
mempunyai perasaan bahwa masa kini tidak menyenangkan, masa depan tidak
3. Ekonomi. Gangguan bagi orang usia lanjut adalah ketika masa pensiun tiba.
Dengan adanya masa pensiun secara otomatis pendapatan yang dimiliki
berkurang drastis, gaya hidup berubah, dan menuntut usaha yang keras dalam
hal penyesuaian dengan kondisi yang sekarang. Masalah yang akan timbul
sebagai dampak dari perubahan yang terjadi adalah: bagaimana mendapatkan
tempat huni yang layak dan terjangkau, bagaimana memenuhi biaya penjagaan
kesehatan yang mungkin bertambah, biaya untuk komunikasi dan transportasi,
bagaimana tetap menjaga kelestarian hubungan relasi dengan teman dan
keluarga, serta dampak terakhir adalah masalah harga diri yangdulu didukung
sekali oleh gaya hidup.
4. Hubungan antar pribadi. Sebagai makhluk sosial, orang berusia lanjut tetap
membutuhkan pergaulan dan kontak sosial dengan sesama. Keterlibatan di
dalam kehidupan sosial dapat dijadikan sebagai salah satu sarana oleh orang
berusia lanjut untuk membuktikan bahwa dirinya masih berguna. Apabila hal
tersebut tidak tercapai, orang berusia lanjut mudah terisolasi diri dan kesepian.
Apalagi jika orang yang berusia lanjut itu mengidap suatu penyakit kronis
yang menyebabkan dirinya tidak dapat melakukan kontak atau relasi sosial,
maka perasaan kesepian dan tidak berguna akan mewarnai sisa hidupnya.
5. Harga diri. Stereotype mengenai orang yang berusia lanjut mengalami
kesulitan di dalam membuat keputusan, memecahkan suatu masalah,
melakukan pekerjaan yang berguna, menerima tanggung jawab, dan mencipta
atau memulai sesuatu yang baru ternyata sangat merongrong harga diri orang
orang-orang yang dekat dengannya, maupun keluarganya sendiri. Ini akan sangat
menganggu orang yang berusia lanjut. Sehingga di dalam dirinya akan muncul
perasaan tidak berguna dan dirinya merasa bahwa kehadirannya tidak penting.
Maka dari itu, tidak mengherankan apabila banyak orang usia lanjut memiliki
citra diri yang miskin.
6. Hidup rohani dan pandangan eksistensial. Menurunnya kesehatan dan
semakin berkurangnya teman akan membawa kesadaran bagi orang lanjut usia
akan realitas kematian yang tak terelakkan. Hal ini akan memunculkan rasa
takut yaitu takut akan rasa sakit, keadaan memburuk, takut akan kesepian, dan
takut akan kematian yang pada akhirnya memunculkan ketergantungan pada
orang lain dan ketidakberdayaan.
Selain 6 (enam) sumber gangguan seperti yang diungkap di atas, dalam
melewati rentang kehidupan, manusia mempunyai krisis-krisis tertentu yang
tingkatannya berbeda sesuai dengan usia dan kedewasaannya. Krisis
perkembangan tersebut coba diuraikan lebih lanjut oleh Erikson dalam tahapan
psikososialnya atau tahapan perkembangan ego manusia. Dalam setiap tahapan
ada tugas tertentu yang harus dilewati seseorang sebelum dirinya memasuki
tahapan berikutnya. Menurut Erikson, ada 8 (delapan) tahapan yang dilalui
manusia di dalam proses pembentukan egonya, yang setiap tahapan akan melewati
tugas-tugas perkembangan tersendiri. Apabila seseorang dapat melewati tugas
perkembangan tersebut, maka dirinya akan siap untuk masuk ke tahapan
berikutnya Namun, apabila seseorang tersebut gagal memenuhi tugas
yang berpengaruh terhadap perkembangan hidupnya. Semua tahapan tersebut
nantinya akan membantu manusia di dalam menerima dirinya dengan segala yang
ada pada dirinya ketika manusia tersebut telah sampai pada periode akhir di dalam
hidupnya (masa tua).
Delapan tahapan perkembangan psikososial Erikson adalah (Erikson, 1989):
1. Kepercayaan dasar lawan kecurigaan dasar
Keberadaan ibu yang senantiasa hadir terus menerus di dalam memenuhi
kebutuhan dasar, seperti memberikan air susu maupun belaian kasih sayang
yang lain bagi si anak akan menimbulkan kenyamanan. Selain rasa nyaman,
akan timbul juga relasi antar si ibu dengan anak yang kuat dan tak
terputuskan. Relasi seperti ini menimbulkan rasa percaya atau kepercayaan di
dalam diri anak dengan ibu atau orang lain yang mengasuh dan membantu
anak dalam memenuhi pemenuhan akan kebutuhan dasarnya. Seiring dengan
hal itu, pada diri si anak akan bagkit pula rasa percaya diri bahwa tubuhnya
dan organ-organ yang dimiliki sanggup menanggulangi segala kebutuhan yang
mendesaknya. Pada diri si anak berangsur-angsur bangkit suatu kepercayaan
dasar. Krisis mulai timbul apabila si ibu atau pengasuhnya tidak dapat dapat
hadir di saat dibutuhkan si anak. Ketidak hadiran si ibu, atau pengasuhnya
menimbulkan ketakutan dan kecemasan pada diri si anak. Mulai muncul
kebimbangan dalam diri si anak apakah si ibu atau pengasuh akan kembali dan
apakah kebutuhan dasar dapat dan akan dipenuhi. Krisis seperti ini dapat
diatasi dengan timbulnya rasio kepercayaan dasar yang lebih besar daripada
sebagai daya dan kekuatan ego untuk menjadi dasar bagi penanggulangan
hidup selanjutnya oleh ego itu. Tahapan ini terjadi dalam usia kira-kira 0-2
tahun.
2. Otonomi lawan rasa malu dan rasa bimbang
Setelah anak belajar mengikat diri pada pribadi yang dapat dipercaya,
sekarang anak dapat belajar melepaskan diri dari orang-orang yang tercinta,
karena anak mulai mengembangkan kesanggupannya untuk berdiri di atas kaki
sendiri dan untuk mengatur hal-hal sendiri. Sasaran pokok dari tahap ini
adalah mengembangkan rasa otonom dan kesadaran akan eksistensi yang tidak
bergantung. Konflik timbul apabila ada orang lain yang mencap keinginan dan
tingkah lakunya sebagai hal yang jelek dan buruk. Dengan demikian timbullah
keragu-raguan di dalam diri anak tentang apa yang dia sendiri alami sebagai
hal yang baik, namun oleh orang lain dianggap sebagai hal yang jelek. Pada
periode ini pengontrolan diri serta kekuatan kehendak diciptakan sebagai daya
ego yang baru. Tahapan ini terjadi di dalam rentang usia kira-kira 2-4 tahun.
3. Inisiatif lawan rasa bersalah (Guilt)
Dengan mempunyai kesanggupan-kesanggupan inderawi, motoris, dan yang
terpenting: kognitif, anak merasa diri cukup kuat untuk mengusahakan segala
yang mungkin, menyelidiki dan mencoba segala hal, termasuk yang ada di
dalam fantasinya. Anak ingin menerobos segala hal yang tidak dikenalnya di
dunia ini. Rasa berinisiatif akan kemampuan untuk bertindak secara efektif
(lewat gerakan badan, fantasi, dan bahasa) demikian berkembang dan
Konflik timbul bukan karena penilaian dari orang lain, namun ketika dinilai
jelek oleh “suara batin”. Dalam diri anak sekarang timbul hati nurani. “Suara
batin” inilah yang sekarang mengawasi dan menghukum diri. Penilaian dari
“suara batin” tersebut dapat mengakibatkan terhalangnya rasa sehat akan nilai
diri yang baik. Sehingga dalam diri anak timbul rasa salah (guilt). Tahapan ini
terjadi dalam kisaran usia kira-kira 4-6 tahun.
4. Kerajinan lawan perasaan rendah diri
Pada tahapan ini anak berada pada usia sekolah. Anak akan melatih dan
melakukan sejumlah kegiatan yang diakui umum sebagai ketrampilam dan
teknik dari kebudayaannya yang harus dipelajari. Dengan ketrampilannya
untuk menghasilkan dan mengerjakan hal-hal dengan rajin dan tekun, anak
dapat memperoleh pengakuan dari orang lain dengan memperlihatkan apa
yang telah sanggup dia lakukan. Dari situ anak akan terdorong untuk rajin
mempelajari hal-hal tersebut supaya dapat pengakuan dari orang lain. Konflik
muncul apabila anak tidak berhasil untuk melakukan sesuatu dengan baik.
Karena kegagalannya tersebut, anak akan membanding-bandingkan dirinya
dengan anak-anak lain yang lebih pintar. Akibatnya anak tersebut merasa
rendah diri. Perasaan rendah diri tersebut dapat menghalangi perkembangan
dari kemahiran dan ketrampilannya yang lain. Tahapan ini terjadi pada kisaran
usia kira-kira 6-12 tahun.
5. Identitas lawan kebingungan tentang peranan
Tahap ini biasa berkecamuk di dalam diri remaja. Remaja banyak dihadapkan
seksualnya. Pengalamannya yang dahulu dan sekarang ini dengan
kesanggupannya sendiri serta kemampuannya melakukan berbagai peran,
harus diintegrasikan menjadi identitasnya yang mantap. Apabila orang-orang
yang ada di sekitarnya dapat membantu menyelesaikan tantangan ini, maka
remaja tersebut dapat mengembangkan suatu rasa identitas pribadi yang kuat.
Remaja dapat mengetahui siapa dirinya, dapat menentukan apa yang akan dan
harus dilakukan dan tahu kapan dan bagaimana harus melakukan hal itu di
dalam masyarakat. Namun, apabila terjadi kondisi sebaliknya, remaja tersebut
akan mengalami kebingungan identitas diri yang akan dibangunnya.
Kepribadiannya menjadi rapuh. Dia merasa bingung bagaimana harus
mengambil peran dan merasa bingung apa peranannya di dalam masyarakat.
Tahapan ini terjadi pada usia kira-kira 12-23 tahun.
6. Keintiman lawan isolasi
Tugas perkembangan dalam tahapan ini berpusat pada usaha untuk
mengadakan suatu relasi afektif yang tetap dan mendalam, biasanya dengan
lawan jenis. Pada masa ini, individu dapat mengembangkan rasa tanggung
jawab yang kuat bagi keluarganya sendiri. Dengan catatan apabila individu
tersebut mempunyai identitas diri yang kuat. Sehingga dirinya dapat
membangun suatu relasi yang dekat, intim. Konflik terjadi apabila individu
tersebut tidak memiliki identitas diri yang kuat. Kecenderungannya mereka
tidak sanggup mengadakan relasi yang mendalam. Pola relasi yang mereka
bangun biasanya bersifat dangkal dan kaku. Mereka cenderung mengisolasi
justru melibatkan diri di dalam relasi sosial dengan orang yang senantiasa baru
dan tidak pernah menjadi akrab dengannya. Tahapan ini biasa terjadi pada usia
kira-kira 23-35 tahun.
7. Generativitas lawan stagnasi
Peran manusia tidak hanya terbatas pada keluarga inti mereka, namun mereka
juga berperan bagi masyarakat guna memberikan sumbangan yang berarti.
Perhatian pokok dalam tahap ini adalah produktivitas dalam arti luas. Bukan
hanya mempunyai keturunan banyak atau produktif di dalam karya, namun
juga meliputi minat orang tua atau pembimbing di dalam mendidik
anak-anaknya. Mereka dapat menurunkan nilai-nilai, memberi bimbingan yang
dapat memelihara generasi penerusnya. Sehingga kelak mereka akan ada
penerusnya. Apabila generativitas yang dibangun tidak dapat berkembang
baik, maka manusia itu akan merasa bahwa hidupnya telah berhenti. Dapat
dikatakan bahwa manusia tersebut mengalami stagnasi (penghentian).
Tahapan ini terjadi pada kisaran usia kira-kira 35-65 tahun.
8. Keutuhan atau integrasi ego lawan keputusasaan
Tahap ini menurut Erikson adalah masa akhir perkembangan psikososial
seseorang. Apabila dalam tahap-tahap sebelumnya seseorang banyak
mengalami pengalaman yang menyenangkan atau berada di dalam dimensi
polarisasi yang positif, melihat hidupnya sebagai salah satu langkah maju
yang bernilai dan bermakna, maka seseorang itu akan mencapai integritas ego.
diri orang itu. Ia akan menghadapi kehidupan selanjutnya dengan penuh
semangat dan optimisme.
Sebaliknya, bilamana seseorang berada dalam dimensi polarisasi yang negatif,
maka ia tidak bergairah dalam menghadapi kelanjutan hidupnya. Hidup dirasa
pahit dan tidak menyenangkan. Egonya ditandai dengan sikap
kekanak-kanakan, seolah-olah ia ingin kembali pada kehidupan anak-anak ketika
banyak keinginan kehidupan emosinya belum terpuaskan. Timbul perasaan
sengsara dan sedih karena waktu telah lewat dan ia tidak mencapai apa-apa.
Tahapan ini terjadi kira-kira pada usia di atas 65 tahun.
Dalam mencermati semua perilaku yang timbul dalam menghadapi
masalah-masalah masa tua, baik sekiranya mencermati pula setiap tahap perkembangan
kehidupan seseorang tersebut. Seperti yang diungkap di atas, bagaimana Erikson
memaparkan tahapan perkembangan manusia hingga akhirnya dirinya memasuki
masatua, masa akhir di dalam hidupnya. Setiap tahap menggambarkan tugas-tugas
perkembangannya masing-masing dan kebutuhan-kebutuhan yang sebaiknya
tercapai pada masa tersebut. Hal ini dapat berimbas ketika seseorang berada pada
masa tua dan harus berhadapan dengan masalah-masalah yang ada di masa tua.
Dari sikap dan pandangannya, dapat diketahui apakah seseorang telah merasa
terpenuhi segala kebutuhan hidupnya pada masa-masa sebelumnya.
Dari uraian di atas, dalam penelitian ini akan dilihat bagaimana para
rohaniwan menyikapi masalah-masalah yang ada di masa tua. Apakah di dalam
menyikapi segala masalah yang ada dan di dalam memasuki masa akhir di dalam
menjalani kehidupan selanjutnya? Hal inilah yang sekiranya menarik untuk digali
lebih lanjut.
D. Rohaniwan dan Masa Tua
Sebagai seorang yang telah memilih corak hidup selibat dalam menanggapi
panggilan Tuhan, rohaniwan sekiranya memiliki masalah-masalah tersendiri yang
sekiranya tidak sama dengan orang-orang kebanyakan (awam) seperti yang
diungkapkan oleh Collins di atas. Masalah-masalah tersebut akan diuraikan lebih
lanjut dengan menggunakan tahap perkembangan ego atau tahapan perkembangan
psikososial Erikson. Sesuai dengan konteks penelitian bahwa masalah-masalah
yang disoroti di sini timbul ketika memasuki masa tua dan subyek penelitian di
sini adalah rohaniwan selibater yang telah memasuki masa tua, maka tahapan
yang digunakan untuk menguraikannya adalah tahapan ketika seseorang tersebut
telah memasuki masa tua, yaitu: generativitas lawan stagnasi dan keutuhan atau
integrasi ego lawan keputusasaan. Uraiannya adalah sebagai berikut:
a. Masalah pertama adalah kemunduran fisik. Sebagai seorang manusia
biasa, rohaniwan pun pasti akan mengalami kemunduran di dalam
fisiknya. Rambut yang semakin memutih, keriput, daya dan energi yang
semakin menurun, dan menurunnya fungsi organ tubuh juga akan melanda
seorang rohaniwan seiring dengan semakin tua usianya.
Kemunduran fisik dapat membawa rohaniwan pada masalah-masalah,
manusia atau tahapan perkembangan psikosoisal. Masalah-masalah
tersebut antara lain:
1. Generativitas lawan stagnasi
Kemunduran fisik yang terjadi jelas membuat rohaniwan tua sudah tidak
optimal di dalam menunaikan tugas-tugasnya. Apabila rohaniwan tersebut
masih bisa terus berkarya sesuai dengan tugasnya, maka tidak ada masalah
di dalam dirinya. Namun apabila rohaniwan merasa tidak mampu dengan
tugas-tugasnya, maka dirinya akan merasa stagnan, atau tidak
menghasilkan apa-apa lagi.
2. Keutuhan atau integrasi ego lawan keputusasaan
Dengan berubahnya fisk dan fungsi organ-organ tubuh, rohaniwan tua
membutuhkan usaha di dalam menerima semua perubahan itu. Apabila
dirinya dapat menyadari hal tersebut maka dia dapat dikatakan telah
mencapai keutuhan atau integrasi ego. Sebaliknya apabila dirinya masih
merasa ada yang kurang; entah merasa tidak puas, ataupun ada yang belum
sempat dia kerjakan sampai masa tua ini, keputusasaan dapat mewarnai
dirinya.
b. Mental. Seperti halnya dalam hal fisik, mental seorang rohaniwan pun
akan menurun sejalan dengan semakin senja usia mereka. Stereotipe
mengenai lansia pun melekat pada diri rohaniwan yang sudah memasuki
usia lanjut. Hal ini dapat dijumpai pada diri seorang pastor yang sudah
memasuki usia tua sering disebut sebagai romo yang pelupa, cerewet, dan
Masalah-masalah yang timbul menurut tahapan perkembangan Erikson
adalah:
1. Generativitas lawan stagnasi
Permasalahannya hampir sama dengan hambatan-hambatan masa tua yang
lain, yaitu bagaimana usaha para rohaniwan tua di dalam periode terakhir
hidupnya tetap dapat menghasilkan, berkarya sesuai dengan kebutuhan
umat di tempat dimana dia berkarya. Sehingga dengan begitu rohaniwan
tersebut tidak merasa mandeg atau stagnan dalam berkarya.
2. Keutuhan atau integrasi ego lawan keputusasaan
Hal ini berhubungan erat dengan kehidupan rohani para rohaniwan.
Dimana pengolahan-pengolahan yang selama ini dihayati dan digeluti
sepanjang rentang menanggapi panggilan Tuhan akan dibuktikan ketika
saat memasuki masa tua, dimana dirinya secara perlahan mengurangi
aktivitas demi tugas karyanya sampai akhirnya benar-benar istirahat total.
Apapun hasilnya dan perasaan dalam menerimanya seorang rohaniwan
sepatutnya mengusahakan keutuhan atau integrasi ego daripada terjebak di
dalam keputusasaan.
c. Masalah ekonomi para rohaniwan di sini tentu saja berbeda dengan awam
yang harus berpikir untuk menghidupi keluarga batihnya. Para romo
memang tidak terlalu dipusingkan dengan masalah ekonomi karena
memang tidak dipungkiri lagi biasanya kehidupan para romo terjamin
entah di paroki tempat romo itu berkarya atau oleh kongregasinya. Namun,
tersebut sudah tua dan merasa dia sudah tidak dapat lagi menghasilkan
karya yang dapat menghasilkan uang, misalnya: stependium, menulis
buku, ataupun karya yang lain. Perasaan yang muncul adalah bahwa
dirinya hanya menyusahkan kongergasinya saja dan terkesan menumpang
hidup di masa tuanya.
Apabila diuraikan lebih lanjut berdasar tahapan perkembangan menurut
Erikson dapat dilihat sebagai berikut:
1. Generativitas lawan stagnasi
Di dalam masalah ekonomi generativitas secara jelas terletak pada
produktivitas rohaniwan tua tersebut. Pertanyaannya apakah di masa tua
ini seorang rohaniwan masih mampu menghasilkan suatu karya ataupun
pelayanan yang mampu menghasilkan imbalan tertentu, baik dalam bentuk
uang ataupun barang. Apabila dirinya masih mampu, maka rohaniwan
tersebut mampu mencapai generativitas. Namun, jika dirinya sama sekali
sudah tidak bisa menghasilkan satu karya atau melakukan pelayanan
sekalipun, maka dirinya merasa sudah stagnan.
2. Keutuhan atau integrasi ego lawan keputusasaan
Bagaimana pengalaman-pengalaman rohanwian dilihat dari segi ekonomi
berpengaruh bagai dirinya. Apakah rohaniwan tersebut dapat bersyukur
dan merasa cukup dengan kondisinya selama ini? Atau rohaniwan tua
tersebut merasa kurang? Sebenarnya dirinya merasa dapat berbuat lebih
dari situasinya saat ini, sehingga rasa putus asa dan tidak puas mewarnai
d. Harga Diri. Mengenai harga diri, hal yang sering terjadi di kalangan
selibater adalah permasalahan mengenai post-power syndrome. Biasanya
terkait mengenai tataran hierarki pada bidang karya mereka. Sebagai
contoh: ketika seorang pastor yang sudah memasuki usia lanjut digantikan
jabatannya sebagai pastor kepala, pada diri pastor tersebut dapat muncul
suatu perasaan bahwa dirinya sudah tidak mempunyai kedudukan lagi,
tidak mempunyai kewenangan apapun lagi, dan merasa sudah tidak
terpakai lagi.
Hal senada dijelaskan juga di dalam tahap ke tujuh tahapan perkembangan
Erikson. Dimana dapat dilihat tahap per tahapnya. Sebagai berikut:
1. Generativitas lawan stagnasi
Apabila setelah masa tugas selesai, seorang rohaniwan tua merasa tugas
dan kewajibannya telah terpenuhi dan karya dan pelayanan yang
diupayakan berguna bagi umatnya, maka rohaniwan tua tersebut merasa
berguna bagi umat dan Gereja. Relasi yang dijalinnya dengan umat selama
menggeluti panggilan sucinya dapat berjalan dengan baik. Namun, tidak
demikian dengan rohaniwan tua yang merasa tidak menghasilkan karya
dan pelayanan yang baik bagi umat dan Gerejanya. Dirinya akan merasa
hampa, stagnan.
2. Keutuhan atau integrasi ego lawan keputusasaan
Harga diri seorang rohaniwan adalah panggilan sucinya yang selama
hidupnya digeluti bersama dengan segala macam proses yang mewarnai
rohaniwan tua dapat merasakan kepuasan dan bersyukur atas panggilannya
selama ini, maka dirinya berada dimensi polarisasi yang positif.
Rohaniwan tua tersebut akan mencapai integritas ego. Dirinya akan
mengahdapi kehidupan masa tuanya dengan semangat dan optimisme.
Berbeda dengan rohanwian tua yang masih merasa kurang dengan
panggilannya selama ini. Dirinya merasa belum terpuaskan dengan
kondisinya selama menanggapi panggilan Tuhan. Rohaniwan tersebut
berada di dimensi negatif. Memandang masa tuanya penuh dengan
keputusasaan.
e. Hubungan antar pribadi. Letak permasalahannya juga sama, yaitu ketika
seorang rohaniwan yang sudah usia lanjut berkomunikasi dengan
rohaniwan muda ataupun umat yang masih muda (kawula muda). Banyak
gagasan-gagasan atau ide yang terlontar dari kaum muda yang tidak
sepaham dengan pemikiran rohaniwan lansia. Ditambah lagi ketika
rohaniwan lansia dituntut untuk memahami bahwa situasi dan kondisi
lingkungan para kawula muda itu sudah sangat jauh berbeda dengan
situasi yang dialaminya dahulu.
Jika dianalisa lebih lanjut dengan tahapan perkembangan menurut Erikson,
maka penjabarannya menjadi:
1. Generativitas lawan stagnasi
Di dalam menjalin hubungan antar pribadi bagi para rohaniwan tua akan
sangat banyak hambatan yang dihadapi, entah hambatan dari dalam diri
rohaniwan supaya di dalam masa tuanya tetap dapat melakukan sesuatu
bagi orang lain lewat suatu proses komunikasi. Lewat bimbingan rohani,
tulisan-tulisannya, atau ketika bercakap-cakap biasa. Bagi rohaniwan yang
gagal melakukan hal semacam itu akan merasa hampa, stagnan ketika
menjalin hubungan antar pribadi.
2. Keutuhan atau integrasi ego lawan keputusasaan
Tahap terakhir di dalam tahapan perkembangan menurut Erikson
merupakan periode untuk mengevaluasi diri bagi diri rohaniwan apakah
komunikasi, relasi antar pribadi yang dibangunnya dapat berjalan dengan
baik. Apabila seorang rohaniwan tua merasa puas dan senang dengan
relasi antar pribadi yang dibangunnya selama ini, maka dirinya berada di
dalam dimensi polarisasi yang positif. Rohaniwan tua tersebut dapat
mencapai integrasi ego. Demikian sebaliknya, seorang rohaniwan tua yang
tidak dapat merasakan kepuasan atau kegembiraan dengan proses
komunikasi yang dia bangun selama ini akan berada di dalam dimensi
polarisasi negatif. Dimana dirinya tidak akan menemukan gairah untuk
menjalani kelanjutan hidupnya. Perasaan putus asa mewarnai dirinya.
f. Hidup rohani dan pandangan eksistensial. Hidup rohani di sini berkaitan
dengan iman ketika menyadari bahwa menurunnya fisik, mental, serta
gangguan-gangguan yang lain pada akhirnya berujung ke kematian. Iman
akan melandasi realitas kematian yang tidak akan terelakkan dalam
kehidupan kematian. Seorang imam yang telah mendapatkan pengolahan
wajar akan dilalui dan akan mempersiapkan selama perjalanan hidupnya,
namun bagi imam yang kurang mengendapkan perjalanan rohaninya tentu
saja akan memandang kematian dari sudut pandang yang berbeda.
pengolahan kehidupan rohani dapat juga menjadi salah satu sarana
menciptakan intergritas ego di dalam diri rohaniwan. Apabila rohaniwan
dapat merefleksikan dan dapat mengambil makna dari pilihan panggilan
hidupnya, maka dirinya akan merasa bersyukur dan merasa hidupnya
penuh makna. Dengan selibat, pelayanan terhadap Gereja dan umat,
rohaniwan merasa hidupnya sangat berharga. Dengan keyakinan semacam
itu rohaniwan tidak akan takut menghadapi saat kematian yang sudah pasti
akan datang. Demikian sebaliknya, apabila seorang rohaniwan tidak dapat
mengambil makna dari jalan hidup yang sudah dipilihnya maka dirinya
akan merasa putus asa, merasa bahwa hidupnya selama ini sia-sia dan
tidak berguna.
Dapat dijabarkan lebih lanjut, masalah apa saja yang sekiranya melanda
para rohaniwan berdasar tahapan perkembangan Erikson di dalam
menghadapi masalah mengenai hidup rohani dan pandangan eksistensial.
1. Generativitas lawan stagnasi
Produktivitas di dalam kehidupan rohani akan tampak jelas terlihat dari
setiap permenungan keseharian seorang rohaniwan. Permenungan tersebut
dapat diwujudnyatakan di dalam sikap keseharian, tulisan, dan yang lain.
Sangat diharapkan permenungan yang dihasilkan rohaniwan tua semakin
hidupnya pun diharapkan dapat menjadi inspirasi yang bagus bagi
rohaniwan muda di dalam menjalani hidup panggilan-Nya. Rohaniwan
yang tidak dapat menunjukkan hal tersebut akan merasa dirinya tidak
dapat menghasilkan apa-apa dan tidak dapat memberi sumbangan apapun
bagi gereja, umat, ataupun rohaniwan muda lainnya. Perasaan hampa akan
menyelimuti dirinya. Rohaniwan tersebut merasa dirinya tidak dapat
menghasilkan apa-apa, stagnan.
2. Keutuhan atau integrasi ego lawan keputusasaan
Tahapan yang terakhir di dalam tahapan perkembangan Erikson berguna
bagi para rohaniwan untuk melakukan evaluasi mengenai kehidupan
rohani yang telah diolah selama ini. Apakah selama menjalani hidupnya
sebagai seorang rohaniwan dirinya banyak mengalami pengalaman yang
menyenangkan? Atau sebaliknya, rohaniwan tersebut merasakan banyak
pengalaman yang tidak menyenangkan. Bagi rohaniwan yang merasakan
pengalaman yang menyenangkan atau yang berada di dimensi polarisasi
yang positif, akan tetap menghadapi masa tuanya dengan penuh semangat
dan optimisme. Dirinya dapat mencapai suatu keutuhan ego. Sedangkan
para rohaniwan yang berada di dimensi polarisasi negatif, egonya ditandai
dengan sikap kekanak-kanakan. Rohaniwan itu seolah-olah ingin kembali
pada masa-masa sebelumnya ketika banyak keinginan kehidupan
emosinya belum terpuaskan. Timbul perasaan sengsara dan sedih karena
waktu telah lewat dan dirinya tidak mencapai apa-apa. Rohaniwan ini
Gereja pun tidak tertutup terhadap masalah-masalah seperti ini. Bagi para
selibater yang dirasa sudah lansia dan tidak cocok lagi ditempatkan untuk
karya atau misi tertentu diistirahatkan di dalam wisma yang khusus bagi
para selibater yang sudah lansia. Istirahat di dalam wisma adalah saat
pensiun bagi para selibater. Mereka sudah dibebaskan dari karya, tugas
ataupun misi-misi tertentu.
Dari uraian bab II ini akan dirangkai membentuk suatu kerangka dimana
seorang rohaniwan yang telah memilih, telah menjawab panggilan untuk hidup
selibat dengan alasan yang diyakininya menghadapi segala permasalahan pada
masa tua. Bagaimana kemunduran-kemunduran yang ada, sumber permasalahan,
konflik sosial di dalam dirinya mempengaruhi perilaku rohaniwan dalam
menyiapkan diri menapaki masa tua. Dari bentuk-bentuk perilaku para rohaniwan
tersebut, dapat memberi gambaran hal-hal mana saja yang menjadi masalah bagi
para rohaniwan di masa tua, dan penulis dapat mendeskripsikan masalah-masalah
masa tua yang dimiliki oleh para rohaniwan atau hal-hal apa sajakah yang menjadi
E. Kerangka Penelitian
1.
Selibat
- Demi kerajaan Allah - Karena mengikuti Kristus - Demi ingkar diri
- Harapan akan kehidupan abadi atau kekal
R O H A N I W A N
Tahapan perkembangan psikososial Erikson, ketika memasuki masa tua
1. Generativitas vs stagnasi
2. Keutuhan ego atau integrasi ego vs
keputusasaan
Masalah – masalah masa tua
1. Fisik 2. Mental 3. Ekonomi 4. Harga diri
5. Hubungan antar pribadi
Penelitian ini akan mendeskripsikan masalah-masalah yang dimiliki oleh para
rohaniwan selibater di masa tua, dimana rohaniwan selibater disini adalah
rohaniwan yang memilih corak hidup selibat berdasar ajaran Gereja Katholik;
yaitu demi Kerajaan Allah, karena mengikuti Kristus, demi ingkar diri, dan
harapan akan kehidupan abadi atau kekal, dalam menghadapi masalah-masalah
masa tua, seperti:
1. Fisik
2. Mental
3. Ekonomi
4. Harga diri
5. Hubungan antar pribadi
6. Hidup rohani dan pandangan hidup eksistensial
Dari permasalahan-permasalahan di atas akan dianalisis lebih lanjut dengan
tahapan perkembangan Erikson ketika sudah memasuki usia tua. Bagaimana
permasalahan-permasalahan tersebut berpengaruh terhadap:
1. Generalitas vs stagnasi
A. Desain Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dan tergolong etnografis.
Penelitian kualitatif adalah suatu proses penelitian, pemahaman dengan metode
tidak melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya untuk menggali
masalah-masalah sosial ataupun permasalahan manusia (Creswell, 1998),
misalnya dengan: analisis kata, wawancara, video, dan lain-lain. Sedangkan yang
dimaksud dengan etnografis adalah deskripsi mengenai kelompok manusia
tertentu, menekankan pada peran sentral budaya di dalam memahami cara hidup
kelompok yang diteliti. Budaya dalam hal ini dapat diartikan sebagai keseluruhan
tingkah laku sosial yang dipelajari anggota kelompok yang pada gilirannya
menyediakan:
a. Standar atau sistem untuk mempersepsi, meyakini, mengevaluasi, dan
bertindak.
b. Aturan-aturan dan simbol-simbol dalam pola hubungan dan
interpretasi.
Di dalam penelitian etnografis diyakini bahwa kata, tindakan, atau produk-produk
budaya merupakan tanda yang mempresentasikan makna tertentu. (Punch, 1998,
Boyle, 1994, dalam Poerwandari, 2001)
Di dalam penelitian ini, peneliti akan mencoba mendeskripsikan
masalah-masalah masa tua di dalam kalangan kelompok tertentu, yaitu para rohaniwan
yang memilih corak hidup selibat berdasarkan ajaran Gereja Katolik. Corak hidup
yang mereka yakini bercermin pada tokoh sentral yang mereka yakini, yaitu
Yesus Kristus sendiri yang tidak menikah seumur hidup-Nya. Disamping corak
hidup selibat, pengolahan spiritual para rohaniwan juga bersumber pada setiap
ajaran Yesus sebagai tokoh sentral. Ajaran-ajaran-Nya seperti yang tertulis di
dalam kitab suci adalah sebagai standar bagaimana para rohaniwan untuk
mengolah dan memperkuat keyakinan iman mereka, para rohaniwan juga
menggunakan sabda-sabda Yesus di dalam mempersepsi segala kejadian di dalam
hidup, mengevaluasi diri sendiri apakah pada diri masing-masing rohaniwan
sudah berjalan di jalan yang sesuai dengan ajaran Yesus dan akhirnya menentukan
langkah-langkah tindakan tertentu bagaimana harus bertingkah laku di dalam
hidup keseharian seperti yang disabdakan oleh Yesus supaya kelak para
rohaniwan layak masuk di dalam kerajaan Allah. Selain itu di dalam kehidupan
sosial di dalam komunitas, para rohaniwan juga menerapkan menerapkan adanya
suatu hierarki, bahwa di dalam suatu komunitas ada seorang pemimpin yang harus
dihormati dan setiap rohaniwan yang menjadi anggota ordo atau kongregasi
tersebut harus memiliki ketaatan tertentu. Seperti layaknya Yesus dengan para
rasul-Nya. Termasuk dengan aturan-aturan tertentu yang harus dipenuhi para
rohaniwan selama dirinya menjadi seorang rohaniwan. Para rohaniwan masih
mempertahankan tindakan Yesus yang terwujud dengan simbol-simbol, seperti:
bagaimana para rohaniwan setiap ditugaskan di tempat tugas pasti tidak sendiri
sebagaimana dahulu Yesus mengutus murid-muridnya berdua-dua tidak
merupkan simbol sebagai perwakilan dari makna tertentu yang dapat
diinterpretasikan maknanya
B. Fokus Penelitian
Fokus penelitian ini adalah masalah-masalah masa tua (hari tua) yang ada
pada rohaniwan selibater. Masalah yang akan disoroti di dalam penelitian ini
adalah permasalahan-permasalahan yang diungkapkan oleh Collins (dalam
Widjojo, 2000), meliputi: masalah fisik, mental, ekonomi, hubungan antar pribadi,
harga diri, dan hidup rohani dan pandangan eksistensial.
Sedangkan rohaniwan yang dimaksud di dalam penilitian ini adalah semua
rohaniwan yang memilih corak hidup selibat sesuai dengan ajaran Injil dan Gereja
Katolik. Mereka adalah para pastor, bruder, dan suster.
Permasalahan-permasalahan masa tua yang ada di dalam diri rohaniwan
tersebut akan diuraikan lebih lanjut dengan teori tentang tahapan perkembangan
psikososial atau perkembangan ego manusia milik Erikson (1989), disesuaikan
dengan konteks penelitian bahwa masalah-masalah yang disoroti di sini timbul
ketika memasuki masa tua dan subyek penelitian di sini adalah para rohaniwan
selibater yang telah memasuki masa tua. Maka tahapan yang digunakan untuk
menguraikannya adalah tahapan ketika seseorang tersebut telah memasuki masa
tua, yaitu: generativitas lawan stagnasi dan keutuhan atau integrasi ego lawan
keputusasaan. Penelitian ini diharapkan mampu menunjukkan apakah rohaniwan
mampu menerima segala masalah di masa tua dan tetap mampu berkarya terhadap
dalam dirinya atau sebaliknya, rohaniwan tersebut merasa masalah-masalah masa
tua membuat dirinya tidak bisa berkarya lagi dan merasa dirinya stagnan, tidak
mampu menghasilkan karya lagi sehingga keputusasaan mewarnai sisa hidupnya.
C. Responden Penelitian
Sarantakos (dalam Poerwandari, 2001) menyebut ada beberapa hal yang harus
diperhatikan di dalam menentukan responden untuk penelitian kualitatif, yaitu:
a. Diarahkan tidak pada jumlah sampel yang besar, melainkan pada
kasus-kasus tipikal sesuai kekhususan masalah penelitian.
b. Tidak ditentukan secara kaku sejak awal, tetapi dapat berubah baik
dalam hal jumlah maupun karakteristik sampelnya sesuai dengan
pemahaman konseptual yang berkembang dalam penelitian.
c. Tidak diarahkan pada keterwakilan dalam arti jumlah atau peristiwa
acak melainkan pada kecocokan konteks.
Prosedur penentuan responden penelitian ini dengan cara responden dipilih
dengan kriteria tertentu. Kriteria tersebut adalah sebagai berikut:
a. Semua rohaniwan yang memilih corak hidup selibat
b. Rohaniwan tersebut memiliki corak hidup selibat sesuai dengan ajaran
Injil dan Gereja Katolik. Mereka adalah para pastor atau imam, suster, dan
bruder.
c. Rohaniwan tersebut telah memasuki usia tua. (>55 tahun)
Di dalam penelitian ini penulis mengambil responden sebanyak 6 (enam)
orang. Pertimbangan yang dipakai adalah: untuk menghemat waktu dan biaya,
mengingat rumah tua para rohaniwan sangat berjauhan letaknya. Responden
terdiri dari 2 (dua) orang pastor atau imam, 2 (dua) orang suster, dan 2 (dua) orang
bruder. Prosedur penentuan subyek menggunakan pengambilan sampel bola salju
atau berantai (snowball/chain sampling). Pengambilan sampel dilakukan secara
berantai dengan meminta informasi pada rohaniwan yang telah diwawancarai
apakah dirinya mempunyai relasi rohaniwan lain yang sekiranya masuk dalam
kriteria yang telah ditentukan dan dapat diwawancarai. Selain itu juga perlu
ditekankan rohaniwan tersebut bersedia dan mempunyai waktu untuk melakukan
wawancara. Sehingga di dalam melakukan wawancara atau usaha menggambil
data tidak ada unsur paksaan terhadap para rohaniwan untuk memberikan jawaban
yang diharapkan. Murni dari kesediaan dan kerelaan para rohaniwan dan waktu
yang disediakan oleh para rohaniwan benar-benar waktu untuk wawancara
sehingga wawancara yang dilakukan tidak terburu-buru karena para rohaniwan
ada acara tertentu dan juga kegiatan wawancara yang dilakukan tidak
mengganggu acara yang sudah dijadwalkan oleh para rohaniwan.
D. Metode Pengambilan Data
Penelitian ini akan menggunakan tehnik wawancara semi terstruktur dalam
upaya memperoleh data yang dimaksudkan. Poerwandari (2001) mengemukakan
bahwa wawancara kualitatif dilakukan untuk memperoleh pengetahuan tentang
yang sedang diteliti, dimana ini merupakan suatu hal yang tidak dapat dilakukan
dengan menggunakan cara pendekatan lain. Wawancara dalam penelitian ini
disebut semi terstruktur karena dalam proses wawancara peneliti membuat
panduan atau kisi-kisi pertanyaan yang akan diajukan kepada responden, namun
selalu terbuka kesempatan untuk terjadinya improvisasi pertanyaan sesuai dengan
kebutuhan perkembangan proses wawancara.
Kisi – Kisi Wawancara
1. Identitas responden
Nama :
Tempat dan Tanggal Lahir :
Tugas :
Tempat Tinggal :
2. Apa yang dialami atau dirasakan sekarang?
1. Fisik?
2. Mental?
3. Ekonomi?
4. Harga diri?
5. Hubungan antar pribadi?
6. Hidup rohani dan pandangan eksistensial?
3. Dampak masalah-msalah terhadap pelaksanaan tugas perutusan?
4. Tanggapan pribadi terhadap masalah-masalah masa tua yang ada?
¾ Keutuhan ego atau integrasi ego lawan Keputusasaan
5. Hal-hal lain yang dirasakan saat ini?
E. Pemeriksaan Keabsahan Data
1. Kredibilitas (credibility)
Kredibilitas penelitian kualitatif terletak pada keberhasilannya mencapai
maksud mengeksplorasi masalah atau mendeskripsikan setting, proses, kelompok
sosial atau pola interaksi yang kompleks (Poerwandari, 2001). Deskripsi
mendalam yang menjelaskan kemajemukan (kompleksitas) aaspek-aspek yang
terkait (variabel) dan interaksi dari berbagai aspek menjadi salah satu ukuran
kredibilitas penelitian kualitatif. Konsep kredibilitas juga harus mampu
mendemonstrasikan bahwa untuk memotret kompleksitas hubungan antar aspek
tersebut, penelitian dilakukan dengan cara tertentu yang menjamin bahwa subyek
penelitian diidentifikasi dan dideskripsikan secara akurat.
Menurut Stangl dan Sarantakos (dalam Poerwandari, 2001) validitas
penelitian kualitatif dicoba dicapai tidak melalui manipulasi variabel, melainkan
melalui orientasinya, dan upayanya mendalami dunia empiris, dengan
menggunakan metode yang paling cocok untuk pengambilan dan analisis data
konsep yang dipakai, antara lain: validitas kumulatif, validitas komunikatif,
validitas argumentative, dan validitas ekologis.
Pertama adalah validitas kumulatif dicapai apabila hasil dari penelitian yang
lain mengenai topik yang sama menunjukkan hasil yang kurang lebih serupa. Di