• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masalah-masalah masa tua [hari tua] pada rohaniawan : sebuah studi deskriptif - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Masalah-masalah masa tua [hari tua] pada rohaniawan : sebuah studi deskriptif - USD Repository"

Copied!
164
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh:

Nama : Andreas Ari Kristiyanto NIM : 009114047

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

(2)

i SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh:

Nama : Andreas Ari Kristiyanto NIM : 009114047

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

(3)
(4)
(5)

Pabila keterbatasan-keterbatasanku diambil dariku, maka

hidupku akan sangat bahagia tetapi tanpa makna…………

Tuhan memang menciptakan sesuatu indah pada saatnya,

tetapi kadang kita harus belajar untuk membuatnya indah pada

saat ini……….

Kala gerimis membasuh bumiku,

Klaten, akhir April 2007

J. Ari Andreas Kristiyanto

(6)

v

Karya sederhana ini kupersembahkan untuk:

¾

Sang Khalik, Penguasa dan Empunya alam

beserta kehidupan yang ada

¾

Kedua orang tuaku dan saudara-saudaraku

(7)

vi

Yogyakarta, Mei 2007

(8)

Rohaniwan; Sebuah Studi Deskriptif. Jurusan Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas

Sanata Dharma, Yogyakarta.

Penelitian ini mendeskripsikan mengenai tahapan perkembangan pada rohaniwan di masa tua menurut Erikson, yaitu: generativitas lawan stagnasi dan integritas atau keutuhan ego lawan keputusasaan di dalam menghadapi masalah-masalah masa tua yang diungkapkan oleh Collins, yaitu: Masalah fisik, masalah mental, masalah ekonomi, masalah harga diri, masalah hubungan antar pribadi, dan masalah hidup rohani dan pandangan eksistensial, pada diri rohaniwan. Dilihat lebih lanjut apakah masalah-masalah masa tua yang dialami membuat para rohaniwan tetap dapat mencapai tahap generativitas dan integritas atau sebaliknya masalah-masalah masa tua yang ada membuat para rohaniwan merasa putus asa di dalam sisa hidupnya. Rohaniwan yang dipakai sebagai subyek di dalam penelitian ini adalah para rohaniwan yang menggunakan corak hidup selibat di dalam hidupnya dan sudah memasuki usia tua (>55 tahun). Mereka adalah: pastor, bruder, dan suster.

Dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap enam rohaniwan, mereka semua menyatakan mengalami masalah dengan fisik dan mental. Lima rohaniwan menyatakan mengalami masalah dengan harga dirinya dan dua rohaniwan menyatakan mengalami masalah dengan hidup rohaninya. Sedangkan untuk masalah ekonomi dan hubungan antar pribadi, keenam rohaniwan menyatakan tidak ada masalah dengan hal tersebut.

Para rohaniwan juga menyatakan dapat mencapai generativitas. Mereka menekankan bahwa di usia tua mereka masih dapat melakukan karya dan mengemban tugas perutusan tertentu. Di akhir wawancara, para rohaniwan juga menyatakan dapat mencapai suatu keutuhan atau integritas ego. Mereka menyatakan dapat menerima dirinya di usia tua dengan segala perubahan dan masalah yang ada.

Kata Kunci: Rohaniwan, selibat, masalah-masalah masa tua, generativitas, dan keutuhan atau integritas ego.

(9)

Yogyakarta

This research is describing about the growth step of the clergies in their old according to Erikson, that is: generativity versus the stagnation and integrity or ego perfection versus the desperation in facing the problems of aging which explained by Collins, that is: Problem of physical, problem of mental, problem of economics, problem of self-esteem, interpersonal problem, and problem of religious and the existential life of the clergies them self. Seen furthermore are the problems of aging made the clergies still reach the generativity and the integrity or ego perfection or the contrary the problems of aging made the clergies fell the desperation in the rest of their life. The clergies used as subject in this research are all clergies using pattern live the celibacy in their life and have entered the old age (> 55 year). They are: pastors, brothers, and sisters.

From the interview result from the six clergies, they were telling to experience of the problem with the physical and mental. Five clergies were telling to experience of the problem with self-esteem and two clergies were telling to experience of the problem with their religious. While to the problem of economics and interpersonal, all clergies were telling have no problem with the mentioned.

The clergies also told that they can reach the generativity. They emphasized that in the old period they still do something and have certain courier duty. In the final interview, all clergies also told they can reach perfection or ego integrity. They told that they can accept them self in old period with all existing problems and changes.

Keyword: Clergies, celibacy, problems of aging, generativity, and perfection or ego integrity.

(10)

menyelesaikan proses belajar di fakultas psikologi universitas Sanata Dharma dan selama penulis menyelesaikan skripsi ini. Pada kesempatan ini pula penulis akan menghaturkan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Allah Bapa di surga. Untuk segala rahmat dan mukjizat yang tidak dapat dijelaskan dengan akal sehat dan pikiranku.

2. Bunda “Mahadewi” Maria untuk keajaiban doa novena dan rosarionya. Terima kasih Bunda…

3. Pak Eddy Suhartanto, S.Psi. Msi. Selaku dekan fakultas psikologi, universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

4. Dr. A, Supratiknya. Matur nuwun untuk semua bimbingannya pak… 5. Pa Gi, mas Mudji “Rooney”, mas Gandung, mas Doni dan mbak Nanik

6. Pa’ Budi Haryono dan Ma’ Endang Lestari. Terima kasih untuk segala cinta kasih dan sayangnya selama ini. Maaf pabila Andre sering menyusahkan bapak dan mamah…

7. Mas Felix dan Mba Nina sekelurga…terima kasih untuk dukungan dan cintanya kepada adik kalian yang paling ragil dan nakal ini.

8. Bintang Adrian Arraya Putra Kristiyanto, terima kasih telah menjadi “bintang” dalam hatiku. Menunjukkan jalan yang benar diantara kesulitan dan rintangan yang ada. Yopie Arie Wahyuni, terima kasih masih mau menemani di dalam proses yang tidak menyenangkan ini. Maaf apabila aku belum bisa memberikan yang terbaik bagi kalian…

9. Simbah A. Partono (Alm) dan ibu Partono. Simbah Andik (Alm) dan bu Andik (Alm). Matur nuwun kung, matur nuwun buk…untuk semua kasih sayang dan doa-doanya.

10.Semua pak dhe dan bu dhe. Oom-oom dan tante beserta keluarga dan kakak-kakak, adik-adik, dan semua keponakan. Terima kasih untuk doa dan dukungannya.

(11)

12.Teman-teman angkatan 2000: Dion-Tiwuk, Reenee, Ita, Melanie, Monic, Ellen, Agung “Onthel”, Kenny. Widya, Thompson, Musda, Doni Maradona, Wiwied, Vicky “Kuda”, dan semua yang tidak dapat kusebut satu-persatu. Untuk semua kakak tingkat, Reni Wulansari dan Ninik Mediawati, dan semua adik-adik tingkat. 13.Pejabat 49A: Sura “Cmx” Dal, Ari Grandonk, Djarwo, dan semua pejabat lainnya.

Terima kasih untuk saat-saat cerianya.

14.Keluarga besar Paguyuban Keluarga Medan Utama Longewu. Terima kasih untuk saat-saat bersama di kawah candradimuka.

15.Felix “si Kucing yang Bodoh” Risada dan Monic, Brian, Didik “Hewan” Handoko, Benny Degleng, Turgidus “Adi” Zembronk, Guruh Pradito, dan Kiki serta semua kumpulan orang-orang Nyropho lainnya. Thanks untuk flash disknya Lix….Untuk semuanya, kapan kita kumpul-kumpul lagi dan berbagi KeNyrophoan?

16.Teman-teman crew Deket rumah, Movie Box Coffeeshop, Cheers, dan Zha-Zha Coffeeshop. Terima kasih untuk pengalaman yang ada meski hanya sejenak. 17.Temen-temen kelompok 4 KKN angkatan 27. Bagaimana kabar kalian semua? 18.Btp Tmt “Jejem” Black Toncong. Untuk keceriaan dan sebagai media katarsis

selama aku bosan mengetik skripsi.

19. Ade AE 5943 AG dan pendatang baru Jhony AB 3572 DY. Sudah menjadi “kaki-kakiku” mempermudah aku ke mana-mana.

20.The last but not least, para lajuners, khususnya Yogya-Klaten p.p. Membuat aku semangat dan tidak kesepian dalam perjalanan.

(12)

HALAMAN PERSETUJUAN……….. ii

HALAMAN PENGESAHAN………...iii

MOTTO………. iv

HALAMAN PERSEMBAHAN……… .v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………vi

ABSTRAK……….vii

ABSTRACT………. viii

KATA PENGANTAR………... .ix

DAFTAR ISI……….. xi

BAB I. PENDAHULUAN ……….1

A. Latar Belakang Masalah..………..………....1

B. Rumusan Masalah ……….………4

C. Tujuan Penelitian ………..………5

D. Manfaat Penelitian .………...5

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA………7

A. Rohaniwan..………..…..7

B. Selibat……….………...8

C. Masa Tua………. …...………...13

D. Rohaniwan dan Masa Tua..……….………....23

E. Kerangka Penelitian……….33

(13)

C Responden Penelitian...………...………...38

D. Metode Pengambilan Data...………...………...39

E. Pemeriksaan Keabsahan Data..………...41

1. Kredibilitas.………...41

2. Dependability ………...42

F. Analisis Data ……….………...43

1. Transkrip Verbatim……….44

2. Koding……….44

3. Analisis Isi………..45

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN …...………47

A. Pelaksanaan Penelitian.………..………...47

1. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian….……...………47

2. Waktu dan Tempat Penelitian..………..………48

B. Hasil Penelitian...……….49

C. Pembahasan………..73

BAB V. PENUTUP ……….………82

A. Kesimpulan ……….82

B. Saran ………...……….84

1. Bagi Peneliti Selanjutnya ……….……….84

2. Bagi Para Rohaniwan……... ……….………85

(14)
(15)

A. Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan ini banyak sekali pilihan yang dapat diambil untuk

mengaktualisasikan diri di dalam mewarnai lembaran hidup seorang manusia,

salah satunya adalah selibat. Selibater atau orang yang memilih corak hidup

selibat (tidak menikah) selama hidupnya, memilih corak hidup ini karena mereka

meyakini adanya suatu esensi atau makna yang dapat dicapai.

Hidup selibat secara umum sangat identik dengan kaum rohaniwan Katolik,

seperti biarawan ataupun biarawati. Namun, tidak tertutup kemungkinan bagi

orang awam untuk memilih jalan hidup sebagai seorang selibater, karena pada

dasarnya, pilihan hidup adalah bebas.

Dalam sejarah Gereja Katolik sendir, kehidupan selibat banyak sekali dikupas

seiring dengan perkembangan Gereja, dimulai dari jaman Gereja kuno,

dilanjutkan konsili Lateran, diikuti oleh konsili Trente, kemudian juga ada masa

pencerahan revolusi Yofisme, dan sampai pada akhirnya ketika konsili Vatikan II

diadakan pada tahun 1962-1965 (dalam Kristiyanto, 1999). Semua konsili yang

diselenggarakan oleh Gereja tersebut membahas mengenai pemaknaan kehidupan

selibat yang lebih mendalam, mulai hanya yang tidak menikah (hidup sendirian,

seorang diri) sampai pada kesadaran bahwa model hidup yang dipilih untuk

mengusahakan dirinya supaya tetap murni perawan (tidak melakukan hubungan

seksual sama sekali) untuk dipersembahkan kepada Tuhan sebagai bentuk

(16)

penyerahan diri secara total. Kaum rohaniwan tersebut percaya bahwa ada

nilai-nilai yang sangat berharga yang dapat dicapai dengan mengusahakan hidup murni

(dalam Kristiyanto, 1999).

Sebagaimana lazimnya seseorang pasti akan menjadi tua seiring dengan

bertambahnya usianya. Ada beberapa batasan usia yang dipakai untuk

menggolongkan seseorang termasuk dalam kategori usia lanjut. Monk (2001)

misalnya, mengatakan bahwa usia lanjut atau usia tua dimulai pada usia 65 tahun.

Hurlock (1980) menyebutkan usia 70 tahun sebagai awal dari usia lanjut.

Sedangkan Neugarten (dalam Tavipamartiwi, 2002) mengambil kesimpulan usia

60 tahun sampai dengan usia 70 tahun sebagai usia tua dari hasil penelitian yang

dia lakukan.

Proses menjadi tua atau senescence (dari bahasa latin senescere) biasanya

akan membawa beberapa kesulitan di dalam diri seseorang. Collins (dalam

Widjojo, 2000) menyebutkan ada 6 (enam) sumber gangguan pada masa usia

lanjut. Fisik merupakan salah satu tanda yang sangat jelas terlihat ketika

seseorang memasuki usia lanjut. Rambut yang semakin memutih dan berkurang,

gerakan yang melamban, dan energi yang menurun menjadi tanda yang

memperjelas. Selain menyebut faktor fisik Collins juga menyebut mental,

ekonomi, hubungan antar pribadi, harga diri serta hidup rohani dan pandangan

eksistensial sebagai sumber gangguan yang lain.

Ditinjau dari peran sosialnya, orang yang lanjut usia sudah tidak lagi terlibat

secara maksimal dalam sebuah organisasi, atau kegiatan kemasyarakatan.

(17)

dengan yang muda sebagai generasi penerus dan terkadang mereka juga tidak

diikut sertakan dalam perkara-perkara khusus. Menurut Hurlock (1980) hal ini

dapat menimbulkan suatu masalah pada diri lansia. Pergantian kaum tua oleh

kaum muda dapat menimbulkan kesalah pahaman. Para lansia dapat merasa

bahwa mereka tidak berarti lagi bagi orang lain. Akibatnya, para lansia tidak lagi

mempunyai ketertarikan terhadap kehidupan bermasyarakat. Peran mereka di

dalam masyarakat semakin berkurang dan secara emosional pun lansia sudah

tidak lagi terlibat.

Hal semacam ini tidak tertutup pula bagi para rohaniwan. Segala masalah

maupun kemunduran fisik dan psikis akan berpengaruh pada kemampuan mereka

dalam berkarya, menjalin relasi dengan rekan pastor lainnya, maupun dengan

umatnya. Dalam kehidupan sosialnya, post-power syndrome sekiranya dapat

menghantui para pator ketika dirinya hendak memasuki usia lanjut, yaitu

berkurangnya paranan dalam keluarga atau masyarakat (Rianto, 1982). Para pastor

merasa bahwa pelayanannya sudah tidak maksimal lagi ataupun juga sudah tidak

dibutuhkan lagi oleh umat (dalam Sudiarjo, 2005). Hal ini dapat terkait juga

dengan harga diri. Ketika pastor kepala akan digantikan oleh yuniornya, ketika

pastor idola sudah mulai ditinggalkan oleh umatnya, ataupun ketika seorang

pastor diminta untuk istirahat dari karyanya dan lain sebagainya.

Selain itu, di dalam diri seorang rohaniwan yang akan memasuki masa tua ada

konflik seperti yang diungkapkan oleh Erikson yaitu generativitas vs stagnasi

(dalam Santrock, 2002). Permasalahan yang ada pada diri rohaniwan selibat

(18)

merasa tidak dapat membentuk dan membimbing umat, anak didik dimana dia

selama ini berkarya. Dengan segala kemunduran fisik maupun mentalnya, seorang

pastor merasa bahwa dirinya memang sudah tidak berguna, tidak dapat berperan

dalam pengembangan Gereja. Hal ini berimbas terhadap pemenuhan eksistensi

diri dalam persiapannya menjalani usia tua.

Ada suatu alternatif yang ditawarkan oleh Hall dan Lindzey (dalam

Tavipamartiwi, 2002) dalam menghadapi masalah yang timbul pada usia lanjut,

yaitu dengan cara mencapai integritas. Untuk dapat mencapai integritas individu

harus dapat menerima semua kegagalan dan keberhasilan selama hidupnya serta

dapat memelihara dan mempertahankan gaya hidupnya tersebut dari berbagai

potensi ancaman.

Masalah di hari tua atau masa tua memang tidak dapat dihindari. Namun, yang

terpenting di sini adalah bagaimana mempersiapkan diri di dalam menerima

segala perubahan yang terjadi di masa tua termasuk masalah-masalah yang ada

supaya akhirnya masalah-masalah yang ada di masa tua tidak menghalangi di

dalam mencapai suatu integritas atau keutuhan ego.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, masalah yang akan dicari jawabnya dalam

penelitian ini adalah: Apakah masalah-masalah masa tua yang ada berpengaruh

terhadap rohaniwan selibater di dalam upayanya mengatasi krisis tahapan

perkembangan di usia tua menurut Erikson, yaitu mencapai generativitas dan

(19)

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan masalah-masalah masa tua

yang ada atau yang dialami oleh para rohaniwan atau hal-hal apa sajakah yang

menjadi masalah bagi para rohaniwan, yang nota bene selibat seumur hidupnya,

dalam menghadapi masa tua di dalam kesendiriannya (tanpa memiliki keluarga

yang dia bangun sendiri).

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Memberikan suatu tambahan wacana bagi dunia psikologi, khususnya

mengenai pemahaman tentang masalah-masalah yang dialami oleh para

rohaniwan ketika mereka sudah memasuki masa tua pada rentang waktu

kehidupan mereka.

2. Manfaat Praktis

Diharapkan dengan adanya penelitian ini, para rohaniwan menjadi lebih

terbuka terhadap segala bentuk masalah yang mungkin akan menimpa diri mereka

ketika memasuki masa tua. Selain itu, para rohaniwan juga diharapkan

mencermati hal-hal yang sekiranya dapat menjadi sumber permasalahan bagi

mereka ketika mereka sudah memasuki masa tua yang akan dibahas di dalam

penelitian ini.

Dengan mengerti dan memahami semua hal di atas, para rohaniwan

hendaknya lebih mencermati segala konsekuensi yang ada ketika mereka

(20)

persiapan diri dengan lebih matang guna menghadapi masa tua di dalam rentang

(21)

A. Rohaniwan

Rohaniwan diartikan sebagai orang yang mementingkan masalah kerohanian

daripada hal lain atau diartikan juga sebagai orang yang ahli dalam hal kerohanian

(Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1988). Berdasarkan pernyataan tersebut dapat

kita katakan bahwa setiap orang yang memiliki konsentrasi lebih mendalam dalam

bidang rohani, apapun agama dan kepercayaannya, dapat kita sebut sebagai

rohaniwan, seperti pastor, kyai, biksu, suster, ataupun juga bruder. Orang- orang

tersebut menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk belajar dan mendalami

ajaran agama yang mereka yakini.

Seorang rohaniwan tidak hanya unggul di dalam pengetahuan tentang

kehidupan spiritual saja. Ia juga selalu mengolah di dalam batinnya makna

kehidupan dan tingkah lakunya sehari-hari. Maka di dalam memaknai kehidupan

ataupun memandang setiap peristiwa yang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari,

mereka tidak hanya memandang secara permukaan dan apa adanya. Para

rohaniwan terbiasa untuk menyikapi segala sesuatu dengan pandangan reflektif,

melihat apa makna yang terkandung di dalam setiap peristiwa. Hal itu tampak di

dalam tingkah laku mereka yang selalu mengarah ke ketenangan batin dan selalu

mengusahakan kedamaian hati di dalam dirinya (dalam Kristiyanto, 1999).

(22)

B. Selibat

Kata selibat berasal dari bahasa Latin caelebs (caelobs), yang mempunyai arti

tidak kawin. Dalam bahasa Indonesia kata caelebs ini dapat disinonimkan dengan

kata wadat (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1988). Kata wadat sendiri dapat

diartikan sebagai suatu corak hidup, dimana seseorang dengan sukarela dan sadar

memutuskan untuk hidup membujang atau lajang sebagai cerminan dari

keyakinannya sebagai insan di dunia. Corak hidup di sini mengandung maksud

bahwa wadat mewarnai seluruh perjalanan hidup seseorang. Sedangkan seseorang

yang memilih corak hidup semacam ini dengan sadar dan sukarela disebut

selibater.

Dalam agama Katolik, istilah lain yang juga sering digunakan untuk

mendefinisikan selibat adalah keperawanan. Kata keperawanan berasal dari

bahasa Latin virginitas. Namun karena arti keperawanan lebih dekat dengan

makna seorang wanita yang tidak menikah, maka istilah ini secara sempit hanya

relevan bila digunakan untuk menyebut para biarawati (dalam Kristiyanto, 1999).

Pada dasarnya seseorang yang memutuskan untuk menjalani hidup selibat

bukan berarti karena takut untuk menjalani kehidupan berkeluarga atau karena ada

yang kurang lengkap didalam dirinya. Ada beberapa alasan yang mendasari

mengapa seseorang lebih memilih hidup secara selibat menurut ajaran agama

Katolik, yaitu (Van der Looy, 1996):

a. Selibat karena mengikuti Kristus

“Aku berkata kepadamu, sesungguhnya setiap orang yang karena kerajaan

(23)

anak-anaknya; akan menerima kembali lipat ganda pada masa ini juga, dan pada

zaman yang akan datang ia akan menerima hidup yang kekal.” (Luk 18: 29-30)

Sabda Yesus tersebut sangat memotivasi para selibater, walaupun dari sabda

tersebut tampak bahwa menjalani corak kehidupan selibat tidaklah mudah.

Konsekuensi yang harus dihadapi berat, namun para selibater tidak gentar dan

menyerah begitu saja. Mereka tetap mengusahakan corak kehidupan selibat yang

telah dijalani dengan mengikuti Yesus dan meniru cara hidup-Nya. Para selibater

sungguh-sungguh secara sadar dan rela menyerahkan hidup mereka seutuhnya

kepada Tuhan.

Para selibater tidak hanya meniru hidup Yesus yang tidak menikah, melainkan

kehidupan Yesus yang utuh. Yesus yang miskin, pengampun, sampai Yesus yang

taat sampai mati di kayu salib demi menebus dan menguduskan umat manusia.

Tujuan meniru Yesus tak lain supaya para selibater semakin bersatu dengan

Kristus, karena dengan semakin bersatu dengan Yesus maka mereka akan bersatu

dengan Allah sendiri.

b. Selibat demi Kerajaan Allah

“Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari

rahim ibunya dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain dan ada

orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena

Kerajaan Allah.” (Mat 19:12)

Motif ini selalu berhubungan dengan cara tertentu memandang Allah dan

dunia, sehingga seseorang yang memilih corak hidup selibat berdasarkan motif ini

(24)

Suasana Kerajaan Allah sungguh-sungguh hadir dan berada dalam diri Yesus

Kristus. Dengan corak hidup selibat, seseorang merasa mengabdi Tuhan dengan

seluruh hatinya tanpa terganggu hal-hal yang lain seperti jika dia memilih corak

hidup berkeluarga.

Perlu diperhatikan bahwa selibat tidak pernah boleh didasarkan atas

kurangnya penghargaan terhadap hidup berkeluarga, walaupun sering dipandang

bahwa cinta kepada manusia lebih rendah daripada cinta akan Tuhan. Tidak

jarang pula dipahami bahwa cinta kepada sesama manusia dianggap sebagai

penghambat cinta seseorang kepada Tuhan. Kendati demikian mereka yang

memilih jalan hidup berkeluarga tetap dapat menuju ke kesempurnaan hidup dan

tidak mustahil pula bahwa hidupnya lebih baik daripada mereka yang mengambil

corak hidup selibat.

c. Selibat demi ingkar diri

Dalam kehidupan berselibat, semangat ingkar diri perlu dikedepankan.

Apabila mereka sudah memutuskan untuk mempersembahkan seluruh jiwa

raganya bagi Tuhan, maka mereka jelas tidak dapat sekaligus terikat dalam suatu

ikatan hidup berkeluarga. Memang tidak dapat disangkal bahwa di dalam tubuh

mereka terdapat dimensi seksualitas. Tetapi dalam pengungkapannya para

selibater mempunyai pilihan lain, yaitu mengambil cinta dari sesama yang mereka

layani tanpa pandang bulu, bukan dari orang tertentu saja. Para selibater

merelakan kehangatan cinta yang dapat diperoleh lewat keintiman antara

pasangan pria dan wanita dalam perkawinan. Hal itu mereka persembahkan

(25)

sekali tidak meremehkan seksualitasnya dengan semangat ingkar diri ini. Sebagai

contoh: seorang suster pasti akan merelakan kerinduannya untuk mengatur

kehidupan rumah tangga. Ia juga merelakan derajat keibuannya, merelakan untuk

tidak menggunakan kelembutan dan kecantikan tubuhnya untuk suami tercinta

atau anak-anaknya. Tetapi semua yang ada pada dirinya dia persembahkan untuk

memuji Allah dalam pelayanannya bagi sesama tanpa pandang bulu. Begitu juga

perasaan semacam ini berlaku untuk para rohaniwan yang merindukan menjadi

seorang pemimpin keluarga maupun sebagai seorang pelindung bagi isteri dan

anak-anaknya.

d. Harapan akan kehidupan abadi atau kekal

Harapan akan kehidupan abadi ini didasari oleh janji Allah yang menyatakan

bahwa kelak umat Allah akan bersatu di dalam kehidupan yang kekal, dimana

tidak akan ada lagi penderitaan, melainkan kebahagiaan abadi. Persekutuan

dengan Allah tersebut dapat tercapai selama umat Allah masih hidup di dunia ini.

Namun selama hidup di dunia, umat Allah diharapkan selalu berusaha mencari

kehendak Allah sehingga dapat mencapai harapan akan kehidupan yang abadi

kelak di surga. Segala sikap dan tingkah laku mereka hendaknya mencerminkan

bahwa mereka adalah umat Allah. Kepenuhan kesempurnaan terletak di masa

kelak bila Allah datang sebagai raja dan memerintah sepenuh-penuhnya. Di sini

para selibater memilih jalan khusus di dalam penyerahan diri seutuhnya kepada

Tuhan dengan memilih dan menghayati corak hidup selibat selama hidupnya.

Hidup selibat tidak mewujudkan secara penuh apa yang akan terjadi pada

(26)

kehidupan kekal. Hidup selibat mendasarkan harapannya kepada benih Kerajaan

Allah yang sudah ditabur dan yang memberikan kepastian. Hidup selibat secara

terus-menerus merupakan perjalanan yang pasti dan jelas menuju ke hidup kekal

abadi bersama Allah.

Keempat alasan tersebut dipegang teguh oleh para rohaniwan. Keempatnya

bukan merupakan suatu tingkatan, namun lebih pada fokusnya masing-masing.

Selibat demi mengikuti Kristus dan selibat demi ingkar diri lebih berfokus pada

pengolahan diri dalam kehidupan sosialnya sehari-hari. Ketika para selibater

diharapkan dapat meniru perilaku seperti apa yang dicontohkan oleh Yesus dan

belajar untuk ingkar diri, dimana selibater diharapkan mampu mengupayakan

cinta kasih yang sejati terhadap semua orang daripada hanya mewujudkan cinta

dalam bentuk relasi antara pria dan wanita.

Sedangkan selibat demi Kerajaan Allah dan selibat demi kehidupan abadi

lebih berfokus pada kehidupan rohani para selibater. Para selibater meyakini

bahwa hidup tidak hanya berakhir ketika mereka mati, namun mereka yakin

bahwa kematian merupakan gerbang untuk menuju ke kehidupan yang kekal.

Kehidupan kekal diupayakan di dunia ini dalam tingkah laku sehari-hari. Selain

itu, dengan totalitas pelayanan yang diusahakan, para selibater meyakini bahwa

Kerajaan Allah akan semakin luas karena dengan semakin banyaknya pelayanan

yang dikerjakan, maka semakin banyak pula orang yang merasa sapaan kasih

(27)

C. Masa Tua

Usia lanjut atau yang lebih dikenal dengan istilah lansia menurut Hurlock

(1980) adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang yaitu suatu periode

ketika seseorang telah beranjak jauh dari periode terdahulu yang lebih

menyenangkan atau beranjak dari waktu yang penuh dengan manfaat.

Suardiman (dalam Tavipamartiwi, 2002) menyatakan bahwa secara biologis,

manusia lanjut usia adalah manusia yang telah menjalani proses penuaan dalam

arti menurunnya daya tahan fisik yang ditandai dengan semakin rentannya

terhadap serangan berbagai penyakit yang dapat mengakibatkan kematian. Hal

tersebut terjadi karena meningkatnya usia sehingga terjadi perubahan struktur dan

fungsi sel, jaringan, serta sistem organ.

Batasan usia lanjut memang menjadi suatu masalah karena sulit untuk

menentukan secara tepat kapan seseorang disebut memasuki usia lanjut. Hal ini

disebabkan karena tanda-tanda menjadi tua yang dialami oleh setiap orang

munculnya tidak dalam waktu yang sama. Monks dkk (2001) mengatakan bahwa

usia lanjut dimulai pada usia 65 tahun. Hurlock dkk (1980) menyebutkan usia 70

tahun sebagai awal dari usia lanjut. Neugarten (dalam Tavipamartiwi, 2002)

dalam penelitian yang dia lakukan menghasilkan kesimpulan usia 60 tahun sampai

dengan 70 tahun sebagai usia tua.

Sedangkan untuk tanda-tanda memasuki masa tua berdasarkan uraian Dep Kes

RI tahun 1998 (dalam Tavipamartiwi, 2002) menyatakan bahwa menjadi tua

ditandai dalam bentuk kemunduran biologis yang terlihat sebagai gejala

(28)

keriput serta garis-garis yang menetap, rambut mulai beruban, gigi mulai tanggal,

penglihatan dan pendengaran berkurang, mudah lelah, gerakan tubuh menjadi

lamban dan kurang lincah, ketrampilan tubuh menghilang, dan terjadi timbunan

lemak terutama di bagian perut.

Collins (dalam Widjojo, 2000) mengatakan ada 6 (enam) sumber gangguan

pada masa usia lanjut, yaitu:

1. Fisik. Semakin orang bertambah tua semakin kualitas tubuh jasmaninya

menurun, meskipun hal ini berbeda antara pribadi satu dengan pribadi yang

lain. Perubahan yang terjadi misalnya rambut memutih, daya gerak dan energi

menurun, pencernaan yang semakin menurun, dan peraba yang juga semakin

menurun. Selain itu di masa tua manusia mengalami perubahan seksual.

Kemampuan reproduksi yang dimiliki akan menurun. Dan gangguan fisik

yang terakhir di masa tua adalah penyakit. Banyak manusia lanjut usia setelah

diatas usia 65 tahun mengidap penyakit kronis, seperti penyakit jantung,

diabetes, kanker, dan lainnya. Semua penyakit tersebut menimbulkan rasa

cemas, mengurangi daya gerak, serta menimbulkan rasa enggan bertindak.

2. Mental. Stereotipe yang umum terhadap usia lanjut adalah terjadinya

penurunan dalam segi intelektual. Orang lanjut usia umumnya berpikir

lamban. Dalam menanggapi sesuatu membutuhkan waktu lama, daya ingat

menurun, sukar memahami gagasan baru sehingga membuat mereka

mempunyai perasaan bahwa masa kini tidak menyenangkan, masa depan tidak

(29)

3. Ekonomi. Gangguan bagi orang usia lanjut adalah ketika masa pensiun tiba.

Dengan adanya masa pensiun secara otomatis pendapatan yang dimiliki

berkurang drastis, gaya hidup berubah, dan menuntut usaha yang keras dalam

hal penyesuaian dengan kondisi yang sekarang. Masalah yang akan timbul

sebagai dampak dari perubahan yang terjadi adalah: bagaimana mendapatkan

tempat huni yang layak dan terjangkau, bagaimana memenuhi biaya penjagaan

kesehatan yang mungkin bertambah, biaya untuk komunikasi dan transportasi,

bagaimana tetap menjaga kelestarian hubungan relasi dengan teman dan

keluarga, serta dampak terakhir adalah masalah harga diri yangdulu didukung

sekali oleh gaya hidup.

4. Hubungan antar pribadi. Sebagai makhluk sosial, orang berusia lanjut tetap

membutuhkan pergaulan dan kontak sosial dengan sesama. Keterlibatan di

dalam kehidupan sosial dapat dijadikan sebagai salah satu sarana oleh orang

berusia lanjut untuk membuktikan bahwa dirinya masih berguna. Apabila hal

tersebut tidak tercapai, orang berusia lanjut mudah terisolasi diri dan kesepian.

Apalagi jika orang yang berusia lanjut itu mengidap suatu penyakit kronis

yang menyebabkan dirinya tidak dapat melakukan kontak atau relasi sosial,

maka perasaan kesepian dan tidak berguna akan mewarnai sisa hidupnya.

5. Harga diri. Stereotype mengenai orang yang berusia lanjut mengalami

kesulitan di dalam membuat keputusan, memecahkan suatu masalah,

melakukan pekerjaan yang berguna, menerima tanggung jawab, dan mencipta

atau memulai sesuatu yang baru ternyata sangat merongrong harga diri orang

(30)

orang-orang yang dekat dengannya, maupun keluarganya sendiri. Ini akan sangat

menganggu orang yang berusia lanjut. Sehingga di dalam dirinya akan muncul

perasaan tidak berguna dan dirinya merasa bahwa kehadirannya tidak penting.

Maka dari itu, tidak mengherankan apabila banyak orang usia lanjut memiliki

citra diri yang miskin.

6. Hidup rohani dan pandangan eksistensial. Menurunnya kesehatan dan

semakin berkurangnya teman akan membawa kesadaran bagi orang lanjut usia

akan realitas kematian yang tak terelakkan. Hal ini akan memunculkan rasa

takut yaitu takut akan rasa sakit, keadaan memburuk, takut akan kesepian, dan

takut akan kematian yang pada akhirnya memunculkan ketergantungan pada

orang lain dan ketidakberdayaan.

Selain 6 (enam) sumber gangguan seperti yang diungkap di atas, dalam

melewati rentang kehidupan, manusia mempunyai krisis-krisis tertentu yang

tingkatannya berbeda sesuai dengan usia dan kedewasaannya. Krisis

perkembangan tersebut coba diuraikan lebih lanjut oleh Erikson dalam tahapan

psikososialnya atau tahapan perkembangan ego manusia. Dalam setiap tahapan

ada tugas tertentu yang harus dilewati seseorang sebelum dirinya memasuki

tahapan berikutnya. Menurut Erikson, ada 8 (delapan) tahapan yang dilalui

manusia di dalam proses pembentukan egonya, yang setiap tahapan akan melewati

tugas-tugas perkembangan tersendiri. Apabila seseorang dapat melewati tugas

perkembangan tersebut, maka dirinya akan siap untuk masuk ke tahapan

berikutnya Namun, apabila seseorang tersebut gagal memenuhi tugas

(31)

yang berpengaruh terhadap perkembangan hidupnya. Semua tahapan tersebut

nantinya akan membantu manusia di dalam menerima dirinya dengan segala yang

ada pada dirinya ketika manusia tersebut telah sampai pada periode akhir di dalam

hidupnya (masa tua).

Delapan tahapan perkembangan psikososial Erikson adalah (Erikson, 1989):

1. Kepercayaan dasar lawan kecurigaan dasar

Keberadaan ibu yang senantiasa hadir terus menerus di dalam memenuhi

kebutuhan dasar, seperti memberikan air susu maupun belaian kasih sayang

yang lain bagi si anak akan menimbulkan kenyamanan. Selain rasa nyaman,

akan timbul juga relasi antar si ibu dengan anak yang kuat dan tak

terputuskan. Relasi seperti ini menimbulkan rasa percaya atau kepercayaan di

dalam diri anak dengan ibu atau orang lain yang mengasuh dan membantu

anak dalam memenuhi pemenuhan akan kebutuhan dasarnya. Seiring dengan

hal itu, pada diri si anak akan bagkit pula rasa percaya diri bahwa tubuhnya

dan organ-organ yang dimiliki sanggup menanggulangi segala kebutuhan yang

mendesaknya. Pada diri si anak berangsur-angsur bangkit suatu kepercayaan

dasar. Krisis mulai timbul apabila si ibu atau pengasuhnya tidak dapat dapat

hadir di saat dibutuhkan si anak. Ketidak hadiran si ibu, atau pengasuhnya

menimbulkan ketakutan dan kecemasan pada diri si anak. Mulai muncul

kebimbangan dalam diri si anak apakah si ibu atau pengasuh akan kembali dan

apakah kebutuhan dasar dapat dan akan dipenuhi. Krisis seperti ini dapat

diatasi dengan timbulnya rasio kepercayaan dasar yang lebih besar daripada

(32)

sebagai daya dan kekuatan ego untuk menjadi dasar bagi penanggulangan

hidup selanjutnya oleh ego itu. Tahapan ini terjadi dalam usia kira-kira 0-2

tahun.

2. Otonomi lawan rasa malu dan rasa bimbang

Setelah anak belajar mengikat diri pada pribadi yang dapat dipercaya,

sekarang anak dapat belajar melepaskan diri dari orang-orang yang tercinta,

karena anak mulai mengembangkan kesanggupannya untuk berdiri di atas kaki

sendiri dan untuk mengatur hal-hal sendiri. Sasaran pokok dari tahap ini

adalah mengembangkan rasa otonom dan kesadaran akan eksistensi yang tidak

bergantung. Konflik timbul apabila ada orang lain yang mencap keinginan dan

tingkah lakunya sebagai hal yang jelek dan buruk. Dengan demikian timbullah

keragu-raguan di dalam diri anak tentang apa yang dia sendiri alami sebagai

hal yang baik, namun oleh orang lain dianggap sebagai hal yang jelek. Pada

periode ini pengontrolan diri serta kekuatan kehendak diciptakan sebagai daya

ego yang baru. Tahapan ini terjadi di dalam rentang usia kira-kira 2-4 tahun.

3. Inisiatif lawan rasa bersalah (Guilt)

Dengan mempunyai kesanggupan-kesanggupan inderawi, motoris, dan yang

terpenting: kognitif, anak merasa diri cukup kuat untuk mengusahakan segala

yang mungkin, menyelidiki dan mencoba segala hal, termasuk yang ada di

dalam fantasinya. Anak ingin menerobos segala hal yang tidak dikenalnya di

dunia ini. Rasa berinisiatif akan kemampuan untuk bertindak secara efektif

(lewat gerakan badan, fantasi, dan bahasa) demikian berkembang dan

(33)

Konflik timbul bukan karena penilaian dari orang lain, namun ketika dinilai

jelek oleh “suara batin”. Dalam diri anak sekarang timbul hati nurani. “Suara

batin” inilah yang sekarang mengawasi dan menghukum diri. Penilaian dari

“suara batin” tersebut dapat mengakibatkan terhalangnya rasa sehat akan nilai

diri yang baik. Sehingga dalam diri anak timbul rasa salah (guilt). Tahapan ini

terjadi dalam kisaran usia kira-kira 4-6 tahun.

4. Kerajinan lawan perasaan rendah diri

Pada tahapan ini anak berada pada usia sekolah. Anak akan melatih dan

melakukan sejumlah kegiatan yang diakui umum sebagai ketrampilam dan

teknik dari kebudayaannya yang harus dipelajari. Dengan ketrampilannya

untuk menghasilkan dan mengerjakan hal-hal dengan rajin dan tekun, anak

dapat memperoleh pengakuan dari orang lain dengan memperlihatkan apa

yang telah sanggup dia lakukan. Dari situ anak akan terdorong untuk rajin

mempelajari hal-hal tersebut supaya dapat pengakuan dari orang lain. Konflik

muncul apabila anak tidak berhasil untuk melakukan sesuatu dengan baik.

Karena kegagalannya tersebut, anak akan membanding-bandingkan dirinya

dengan anak-anak lain yang lebih pintar. Akibatnya anak tersebut merasa

rendah diri. Perasaan rendah diri tersebut dapat menghalangi perkembangan

dari kemahiran dan ketrampilannya yang lain. Tahapan ini terjadi pada kisaran

usia kira-kira 6-12 tahun.

5. Identitas lawan kebingungan tentang peranan

Tahap ini biasa berkecamuk di dalam diri remaja. Remaja banyak dihadapkan

(34)

seksualnya. Pengalamannya yang dahulu dan sekarang ini dengan

kesanggupannya sendiri serta kemampuannya melakukan berbagai peran,

harus diintegrasikan menjadi identitasnya yang mantap. Apabila orang-orang

yang ada di sekitarnya dapat membantu menyelesaikan tantangan ini, maka

remaja tersebut dapat mengembangkan suatu rasa identitas pribadi yang kuat.

Remaja dapat mengetahui siapa dirinya, dapat menentukan apa yang akan dan

harus dilakukan dan tahu kapan dan bagaimana harus melakukan hal itu di

dalam masyarakat. Namun, apabila terjadi kondisi sebaliknya, remaja tersebut

akan mengalami kebingungan identitas diri yang akan dibangunnya.

Kepribadiannya menjadi rapuh. Dia merasa bingung bagaimana harus

mengambil peran dan merasa bingung apa peranannya di dalam masyarakat.

Tahapan ini terjadi pada usia kira-kira 12-23 tahun.

6. Keintiman lawan isolasi

Tugas perkembangan dalam tahapan ini berpusat pada usaha untuk

mengadakan suatu relasi afektif yang tetap dan mendalam, biasanya dengan

lawan jenis. Pada masa ini, individu dapat mengembangkan rasa tanggung

jawab yang kuat bagi keluarganya sendiri. Dengan catatan apabila individu

tersebut mempunyai identitas diri yang kuat. Sehingga dirinya dapat

membangun suatu relasi yang dekat, intim. Konflik terjadi apabila individu

tersebut tidak memiliki identitas diri yang kuat. Kecenderungannya mereka

tidak sanggup mengadakan relasi yang mendalam. Pola relasi yang mereka

bangun biasanya bersifat dangkal dan kaku. Mereka cenderung mengisolasi

(35)

justru melibatkan diri di dalam relasi sosial dengan orang yang senantiasa baru

dan tidak pernah menjadi akrab dengannya. Tahapan ini biasa terjadi pada usia

kira-kira 23-35 tahun.

7. Generativitas lawan stagnasi

Peran manusia tidak hanya terbatas pada keluarga inti mereka, namun mereka

juga berperan bagi masyarakat guna memberikan sumbangan yang berarti.

Perhatian pokok dalam tahap ini adalah produktivitas dalam arti luas. Bukan

hanya mempunyai keturunan banyak atau produktif di dalam karya, namun

juga meliputi minat orang tua atau pembimbing di dalam mendidik

anak-anaknya. Mereka dapat menurunkan nilai-nilai, memberi bimbingan yang

dapat memelihara generasi penerusnya. Sehingga kelak mereka akan ada

penerusnya. Apabila generativitas yang dibangun tidak dapat berkembang

baik, maka manusia itu akan merasa bahwa hidupnya telah berhenti. Dapat

dikatakan bahwa manusia tersebut mengalami stagnasi (penghentian).

Tahapan ini terjadi pada kisaran usia kira-kira 35-65 tahun.

8. Keutuhan atau integrasi ego lawan keputusasaan

Tahap ini menurut Erikson adalah masa akhir perkembangan psikososial

seseorang. Apabila dalam tahap-tahap sebelumnya seseorang banyak

mengalami pengalaman yang menyenangkan atau berada di dalam dimensi

polarisasi yang positif, melihat hidupnya sebagai salah satu langkah maju

yang bernilai dan bermakna, maka seseorang itu akan mencapai integritas ego.

(36)

diri orang itu. Ia akan menghadapi kehidupan selanjutnya dengan penuh

semangat dan optimisme.

Sebaliknya, bilamana seseorang berada dalam dimensi polarisasi yang negatif,

maka ia tidak bergairah dalam menghadapi kelanjutan hidupnya. Hidup dirasa

pahit dan tidak menyenangkan. Egonya ditandai dengan sikap

kekanak-kanakan, seolah-olah ia ingin kembali pada kehidupan anak-anak ketika

banyak keinginan kehidupan emosinya belum terpuaskan. Timbul perasaan

sengsara dan sedih karena waktu telah lewat dan ia tidak mencapai apa-apa.

Tahapan ini terjadi kira-kira pada usia di atas 65 tahun.

Dalam mencermati semua perilaku yang timbul dalam menghadapi

masalah-masalah masa tua, baik sekiranya mencermati pula setiap tahap perkembangan

kehidupan seseorang tersebut. Seperti yang diungkap di atas, bagaimana Erikson

memaparkan tahapan perkembangan manusia hingga akhirnya dirinya memasuki

masatua, masa akhir di dalam hidupnya. Setiap tahap menggambarkan tugas-tugas

perkembangannya masing-masing dan kebutuhan-kebutuhan yang sebaiknya

tercapai pada masa tersebut. Hal ini dapat berimbas ketika seseorang berada pada

masa tua dan harus berhadapan dengan masalah-masalah yang ada di masa tua.

Dari sikap dan pandangannya, dapat diketahui apakah seseorang telah merasa

terpenuhi segala kebutuhan hidupnya pada masa-masa sebelumnya.

Dari uraian di atas, dalam penelitian ini akan dilihat bagaimana para

rohaniwan menyikapi masalah-masalah yang ada di masa tua. Apakah di dalam

menyikapi segala masalah yang ada dan di dalam memasuki masa akhir di dalam

(37)

menjalani kehidupan selanjutnya? Hal inilah yang sekiranya menarik untuk digali

lebih lanjut.

D. Rohaniwan dan Masa Tua

Sebagai seorang yang telah memilih corak hidup selibat dalam menanggapi

panggilan Tuhan, rohaniwan sekiranya memiliki masalah-masalah tersendiri yang

sekiranya tidak sama dengan orang-orang kebanyakan (awam) seperti yang

diungkapkan oleh Collins di atas. Masalah-masalah tersebut akan diuraikan lebih

lanjut dengan menggunakan tahap perkembangan ego atau tahapan perkembangan

psikososial Erikson. Sesuai dengan konteks penelitian bahwa masalah-masalah

yang disoroti di sini timbul ketika memasuki masa tua dan subyek penelitian di

sini adalah rohaniwan selibater yang telah memasuki masa tua, maka tahapan

yang digunakan untuk menguraikannya adalah tahapan ketika seseorang tersebut

telah memasuki masa tua, yaitu: generativitas lawan stagnasi dan keutuhan atau

integrasi ego lawan keputusasaan. Uraiannya adalah sebagai berikut:

a. Masalah pertama adalah kemunduran fisik. Sebagai seorang manusia

biasa, rohaniwan pun pasti akan mengalami kemunduran di dalam

fisiknya. Rambut yang semakin memutih, keriput, daya dan energi yang

semakin menurun, dan menurunnya fungsi organ tubuh juga akan melanda

seorang rohaniwan seiring dengan semakin tua usianya.

Kemunduran fisik dapat membawa rohaniwan pada masalah-masalah,

(38)

manusia atau tahapan perkembangan psikosoisal. Masalah-masalah

tersebut antara lain:

1. Generativitas lawan stagnasi

Kemunduran fisik yang terjadi jelas membuat rohaniwan tua sudah tidak

optimal di dalam menunaikan tugas-tugasnya. Apabila rohaniwan tersebut

masih bisa terus berkarya sesuai dengan tugasnya, maka tidak ada masalah

di dalam dirinya. Namun apabila rohaniwan merasa tidak mampu dengan

tugas-tugasnya, maka dirinya akan merasa stagnan, atau tidak

menghasilkan apa-apa lagi.

2. Keutuhan atau integrasi ego lawan keputusasaan

Dengan berubahnya fisk dan fungsi organ-organ tubuh, rohaniwan tua

membutuhkan usaha di dalam menerima semua perubahan itu. Apabila

dirinya dapat menyadari hal tersebut maka dia dapat dikatakan telah

mencapai keutuhan atau integrasi ego. Sebaliknya apabila dirinya masih

merasa ada yang kurang; entah merasa tidak puas, ataupun ada yang belum

sempat dia kerjakan sampai masa tua ini, keputusasaan dapat mewarnai

dirinya.

b. Mental. Seperti halnya dalam hal fisik, mental seorang rohaniwan pun

akan menurun sejalan dengan semakin senja usia mereka. Stereotipe

mengenai lansia pun melekat pada diri rohaniwan yang sudah memasuki

usia lanjut. Hal ini dapat dijumpai pada diri seorang pastor yang sudah

memasuki usia tua sering disebut sebagai romo yang pelupa, cerewet, dan

(39)

Masalah-masalah yang timbul menurut tahapan perkembangan Erikson

adalah:

1. Generativitas lawan stagnasi

Permasalahannya hampir sama dengan hambatan-hambatan masa tua yang

lain, yaitu bagaimana usaha para rohaniwan tua di dalam periode terakhir

hidupnya tetap dapat menghasilkan, berkarya sesuai dengan kebutuhan

umat di tempat dimana dia berkarya. Sehingga dengan begitu rohaniwan

tersebut tidak merasa mandeg atau stagnan dalam berkarya.

2. Keutuhan atau integrasi ego lawan keputusasaan

Hal ini berhubungan erat dengan kehidupan rohani para rohaniwan.

Dimana pengolahan-pengolahan yang selama ini dihayati dan digeluti

sepanjang rentang menanggapi panggilan Tuhan akan dibuktikan ketika

saat memasuki masa tua, dimana dirinya secara perlahan mengurangi

aktivitas demi tugas karyanya sampai akhirnya benar-benar istirahat total.

Apapun hasilnya dan perasaan dalam menerimanya seorang rohaniwan

sepatutnya mengusahakan keutuhan atau integrasi ego daripada terjebak di

dalam keputusasaan.

c. Masalah ekonomi para rohaniwan di sini tentu saja berbeda dengan awam

yang harus berpikir untuk menghidupi keluarga batihnya. Para romo

memang tidak terlalu dipusingkan dengan masalah ekonomi karena

memang tidak dipungkiri lagi biasanya kehidupan para romo terjamin

entah di paroki tempat romo itu berkarya atau oleh kongregasinya. Namun,

(40)

tersebut sudah tua dan merasa dia sudah tidak dapat lagi menghasilkan

karya yang dapat menghasilkan uang, misalnya: stependium, menulis

buku, ataupun karya yang lain. Perasaan yang muncul adalah bahwa

dirinya hanya menyusahkan kongergasinya saja dan terkesan menumpang

hidup di masa tuanya.

Apabila diuraikan lebih lanjut berdasar tahapan perkembangan menurut

Erikson dapat dilihat sebagai berikut:

1. Generativitas lawan stagnasi

Di dalam masalah ekonomi generativitas secara jelas terletak pada

produktivitas rohaniwan tua tersebut. Pertanyaannya apakah di masa tua

ini seorang rohaniwan masih mampu menghasilkan suatu karya ataupun

pelayanan yang mampu menghasilkan imbalan tertentu, baik dalam bentuk

uang ataupun barang. Apabila dirinya masih mampu, maka rohaniwan

tersebut mampu mencapai generativitas. Namun, jika dirinya sama sekali

sudah tidak bisa menghasilkan satu karya atau melakukan pelayanan

sekalipun, maka dirinya merasa sudah stagnan.

2. Keutuhan atau integrasi ego lawan keputusasaan

Bagaimana pengalaman-pengalaman rohanwian dilihat dari segi ekonomi

berpengaruh bagai dirinya. Apakah rohaniwan tersebut dapat bersyukur

dan merasa cukup dengan kondisinya selama ini? Atau rohaniwan tua

tersebut merasa kurang? Sebenarnya dirinya merasa dapat berbuat lebih

dari situasinya saat ini, sehingga rasa putus asa dan tidak puas mewarnai

(41)

d. Harga Diri. Mengenai harga diri, hal yang sering terjadi di kalangan

selibater adalah permasalahan mengenai post-power syndrome. Biasanya

terkait mengenai tataran hierarki pada bidang karya mereka. Sebagai

contoh: ketika seorang pastor yang sudah memasuki usia lanjut digantikan

jabatannya sebagai pastor kepala, pada diri pastor tersebut dapat muncul

suatu perasaan bahwa dirinya sudah tidak mempunyai kedudukan lagi,

tidak mempunyai kewenangan apapun lagi, dan merasa sudah tidak

terpakai lagi.

Hal senada dijelaskan juga di dalam tahap ke tujuh tahapan perkembangan

Erikson. Dimana dapat dilihat tahap per tahapnya. Sebagai berikut:

1. Generativitas lawan stagnasi

Apabila setelah masa tugas selesai, seorang rohaniwan tua merasa tugas

dan kewajibannya telah terpenuhi dan karya dan pelayanan yang

diupayakan berguna bagi umatnya, maka rohaniwan tua tersebut merasa

berguna bagi umat dan Gereja. Relasi yang dijalinnya dengan umat selama

menggeluti panggilan sucinya dapat berjalan dengan baik. Namun, tidak

demikian dengan rohaniwan tua yang merasa tidak menghasilkan karya

dan pelayanan yang baik bagi umat dan Gerejanya. Dirinya akan merasa

hampa, stagnan.

2. Keutuhan atau integrasi ego lawan keputusasaan

Harga diri seorang rohaniwan adalah panggilan sucinya yang selama

hidupnya digeluti bersama dengan segala macam proses yang mewarnai

(42)

rohaniwan tua dapat merasakan kepuasan dan bersyukur atas panggilannya

selama ini, maka dirinya berada dimensi polarisasi yang positif.

Rohaniwan tua tersebut akan mencapai integritas ego. Dirinya akan

mengahdapi kehidupan masa tuanya dengan semangat dan optimisme.

Berbeda dengan rohanwian tua yang masih merasa kurang dengan

panggilannya selama ini. Dirinya merasa belum terpuaskan dengan

kondisinya selama menanggapi panggilan Tuhan. Rohaniwan tersebut

berada di dimensi negatif. Memandang masa tuanya penuh dengan

keputusasaan.

e. Hubungan antar pribadi. Letak permasalahannya juga sama, yaitu ketika

seorang rohaniwan yang sudah usia lanjut berkomunikasi dengan

rohaniwan muda ataupun umat yang masih muda (kawula muda). Banyak

gagasan-gagasan atau ide yang terlontar dari kaum muda yang tidak

sepaham dengan pemikiran rohaniwan lansia. Ditambah lagi ketika

rohaniwan lansia dituntut untuk memahami bahwa situasi dan kondisi

lingkungan para kawula muda itu sudah sangat jauh berbeda dengan

situasi yang dialaminya dahulu.

Jika dianalisa lebih lanjut dengan tahapan perkembangan menurut Erikson,

maka penjabarannya menjadi:

1. Generativitas lawan stagnasi

Di dalam menjalin hubungan antar pribadi bagi para rohaniwan tua akan

sangat banyak hambatan yang dihadapi, entah hambatan dari dalam diri

(43)

rohaniwan supaya di dalam masa tuanya tetap dapat melakukan sesuatu

bagi orang lain lewat suatu proses komunikasi. Lewat bimbingan rohani,

tulisan-tulisannya, atau ketika bercakap-cakap biasa. Bagi rohaniwan yang

gagal melakukan hal semacam itu akan merasa hampa, stagnan ketika

menjalin hubungan antar pribadi.

2. Keutuhan atau integrasi ego lawan keputusasaan

Tahap terakhir di dalam tahapan perkembangan menurut Erikson

merupakan periode untuk mengevaluasi diri bagi diri rohaniwan apakah

komunikasi, relasi antar pribadi yang dibangunnya dapat berjalan dengan

baik. Apabila seorang rohaniwan tua merasa puas dan senang dengan

relasi antar pribadi yang dibangunnya selama ini, maka dirinya berada di

dalam dimensi polarisasi yang positif. Rohaniwan tua tersebut dapat

mencapai integrasi ego. Demikian sebaliknya, seorang rohaniwan tua yang

tidak dapat merasakan kepuasan atau kegembiraan dengan proses

komunikasi yang dia bangun selama ini akan berada di dalam dimensi

polarisasi negatif. Dimana dirinya tidak akan menemukan gairah untuk

menjalani kelanjutan hidupnya. Perasaan putus asa mewarnai dirinya.

f. Hidup rohani dan pandangan eksistensial. Hidup rohani di sini berkaitan

dengan iman ketika menyadari bahwa menurunnya fisik, mental, serta

gangguan-gangguan yang lain pada akhirnya berujung ke kematian. Iman

akan melandasi realitas kematian yang tidak akan terelakkan dalam

kehidupan kematian. Seorang imam yang telah mendapatkan pengolahan

(44)

wajar akan dilalui dan akan mempersiapkan selama perjalanan hidupnya,

namun bagi imam yang kurang mengendapkan perjalanan rohaninya tentu

saja akan memandang kematian dari sudut pandang yang berbeda.

pengolahan kehidupan rohani dapat juga menjadi salah satu sarana

menciptakan intergritas ego di dalam diri rohaniwan. Apabila rohaniwan

dapat merefleksikan dan dapat mengambil makna dari pilihan panggilan

hidupnya, maka dirinya akan merasa bersyukur dan merasa hidupnya

penuh makna. Dengan selibat, pelayanan terhadap Gereja dan umat,

rohaniwan merasa hidupnya sangat berharga. Dengan keyakinan semacam

itu rohaniwan tidak akan takut menghadapi saat kematian yang sudah pasti

akan datang. Demikian sebaliknya, apabila seorang rohaniwan tidak dapat

mengambil makna dari jalan hidup yang sudah dipilihnya maka dirinya

akan merasa putus asa, merasa bahwa hidupnya selama ini sia-sia dan

tidak berguna.

Dapat dijabarkan lebih lanjut, masalah apa saja yang sekiranya melanda

para rohaniwan berdasar tahapan perkembangan Erikson di dalam

menghadapi masalah mengenai hidup rohani dan pandangan eksistensial.

1. Generativitas lawan stagnasi

Produktivitas di dalam kehidupan rohani akan tampak jelas terlihat dari

setiap permenungan keseharian seorang rohaniwan. Permenungan tersebut

dapat diwujudnyatakan di dalam sikap keseharian, tulisan, dan yang lain.

Sangat diharapkan permenungan yang dihasilkan rohaniwan tua semakin

(45)

hidupnya pun diharapkan dapat menjadi inspirasi yang bagus bagi

rohaniwan muda di dalam menjalani hidup panggilan-Nya. Rohaniwan

yang tidak dapat menunjukkan hal tersebut akan merasa dirinya tidak

dapat menghasilkan apa-apa dan tidak dapat memberi sumbangan apapun

bagi gereja, umat, ataupun rohaniwan muda lainnya. Perasaan hampa akan

menyelimuti dirinya. Rohaniwan tersebut merasa dirinya tidak dapat

menghasilkan apa-apa, stagnan.

2. Keutuhan atau integrasi ego lawan keputusasaan

Tahapan yang terakhir di dalam tahapan perkembangan Erikson berguna

bagi para rohaniwan untuk melakukan evaluasi mengenai kehidupan

rohani yang telah diolah selama ini. Apakah selama menjalani hidupnya

sebagai seorang rohaniwan dirinya banyak mengalami pengalaman yang

menyenangkan? Atau sebaliknya, rohaniwan tersebut merasakan banyak

pengalaman yang tidak menyenangkan. Bagi rohaniwan yang merasakan

pengalaman yang menyenangkan atau yang berada di dimensi polarisasi

yang positif, akan tetap menghadapi masa tuanya dengan penuh semangat

dan optimisme. Dirinya dapat mencapai suatu keutuhan ego. Sedangkan

para rohaniwan yang berada di dimensi polarisasi negatif, egonya ditandai

dengan sikap kekanak-kanakan. Rohaniwan itu seolah-olah ingin kembali

pada masa-masa sebelumnya ketika banyak keinginan kehidupan

emosinya belum terpuaskan. Timbul perasaan sengsara dan sedih karena

waktu telah lewat dan dirinya tidak mencapai apa-apa. Rohaniwan ini

(46)

Gereja pun tidak tertutup terhadap masalah-masalah seperti ini. Bagi para

selibater yang dirasa sudah lansia dan tidak cocok lagi ditempatkan untuk

karya atau misi tertentu diistirahatkan di dalam wisma yang khusus bagi

para selibater yang sudah lansia. Istirahat di dalam wisma adalah saat

pensiun bagi para selibater. Mereka sudah dibebaskan dari karya, tugas

ataupun misi-misi tertentu.

Dari uraian bab II ini akan dirangkai membentuk suatu kerangka dimana

seorang rohaniwan yang telah memilih, telah menjawab panggilan untuk hidup

selibat dengan alasan yang diyakininya menghadapi segala permasalahan pada

masa tua. Bagaimana kemunduran-kemunduran yang ada, sumber permasalahan,

konflik sosial di dalam dirinya mempengaruhi perilaku rohaniwan dalam

menyiapkan diri menapaki masa tua. Dari bentuk-bentuk perilaku para rohaniwan

tersebut, dapat memberi gambaran hal-hal mana saja yang menjadi masalah bagi

para rohaniwan di masa tua, dan penulis dapat mendeskripsikan masalah-masalah

masa tua yang dimiliki oleh para rohaniwan atau hal-hal apa sajakah yang menjadi

(47)

E. Kerangka Penelitian

1.

Selibat

- Demi kerajaan Allah - Karena mengikuti Kristus - Demi ingkar diri

- Harapan akan kehidupan abadi atau kekal

R O H A N I W A N

Tahapan perkembangan psikososial Erikson, ketika memasuki masa tua

1. Generativitas vs stagnasi

2. Keutuhan ego atau integrasi ego vs

keputusasaan

Masalah – masalah masa tua

1. Fisik 2. Mental 3. Ekonomi 4. Harga diri

5. Hubungan antar pribadi

(48)

Penelitian ini akan mendeskripsikan masalah-masalah yang dimiliki oleh para

rohaniwan selibater di masa tua, dimana rohaniwan selibater disini adalah

rohaniwan yang memilih corak hidup selibat berdasar ajaran Gereja Katholik;

yaitu demi Kerajaan Allah, karena mengikuti Kristus, demi ingkar diri, dan

harapan akan kehidupan abadi atau kekal, dalam menghadapi masalah-masalah

masa tua, seperti:

1. Fisik

2. Mental

3. Ekonomi

4. Harga diri

5. Hubungan antar pribadi

6. Hidup rohani dan pandangan hidup eksistensial

Dari permasalahan-permasalahan di atas akan dianalisis lebih lanjut dengan

tahapan perkembangan Erikson ketika sudah memasuki usia tua. Bagaimana

permasalahan-permasalahan tersebut berpengaruh terhadap:

1. Generalitas vs stagnasi

(49)

A. Desain Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dan tergolong etnografis.

Penelitian kualitatif adalah suatu proses penelitian, pemahaman dengan metode

tidak melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya untuk menggali

masalah-masalah sosial ataupun permasalahan manusia (Creswell, 1998),

misalnya dengan: analisis kata, wawancara, video, dan lain-lain. Sedangkan yang

dimaksud dengan etnografis adalah deskripsi mengenai kelompok manusia

tertentu, menekankan pada peran sentral budaya di dalam memahami cara hidup

kelompok yang diteliti. Budaya dalam hal ini dapat diartikan sebagai keseluruhan

tingkah laku sosial yang dipelajari anggota kelompok yang pada gilirannya

menyediakan:

a. Standar atau sistem untuk mempersepsi, meyakini, mengevaluasi, dan

bertindak.

b. Aturan-aturan dan simbol-simbol dalam pola hubungan dan

interpretasi.

Di dalam penelitian etnografis diyakini bahwa kata, tindakan, atau produk-produk

budaya merupakan tanda yang mempresentasikan makna tertentu. (Punch, 1998,

Boyle, 1994, dalam Poerwandari, 2001)

Di dalam penelitian ini, peneliti akan mencoba mendeskripsikan

masalah-masalah masa tua di dalam kalangan kelompok tertentu, yaitu para rohaniwan

(50)

yang memilih corak hidup selibat berdasarkan ajaran Gereja Katolik. Corak hidup

yang mereka yakini bercermin pada tokoh sentral yang mereka yakini, yaitu

Yesus Kristus sendiri yang tidak menikah seumur hidup-Nya. Disamping corak

hidup selibat, pengolahan spiritual para rohaniwan juga bersumber pada setiap

ajaran Yesus sebagai tokoh sentral. Ajaran-ajaran-Nya seperti yang tertulis di

dalam kitab suci adalah sebagai standar bagaimana para rohaniwan untuk

mengolah dan memperkuat keyakinan iman mereka, para rohaniwan juga

menggunakan sabda-sabda Yesus di dalam mempersepsi segala kejadian di dalam

hidup, mengevaluasi diri sendiri apakah pada diri masing-masing rohaniwan

sudah berjalan di jalan yang sesuai dengan ajaran Yesus dan akhirnya menentukan

langkah-langkah tindakan tertentu bagaimana harus bertingkah laku di dalam

hidup keseharian seperti yang disabdakan oleh Yesus supaya kelak para

rohaniwan layak masuk di dalam kerajaan Allah. Selain itu di dalam kehidupan

sosial di dalam komunitas, para rohaniwan juga menerapkan menerapkan adanya

suatu hierarki, bahwa di dalam suatu komunitas ada seorang pemimpin yang harus

dihormati dan setiap rohaniwan yang menjadi anggota ordo atau kongregasi

tersebut harus memiliki ketaatan tertentu. Seperti layaknya Yesus dengan para

rasul-Nya. Termasuk dengan aturan-aturan tertentu yang harus dipenuhi para

rohaniwan selama dirinya menjadi seorang rohaniwan. Para rohaniwan masih

mempertahankan tindakan Yesus yang terwujud dengan simbol-simbol, seperti:

bagaimana para rohaniwan setiap ditugaskan di tempat tugas pasti tidak sendiri

sebagaimana dahulu Yesus mengutus murid-muridnya berdua-dua tidak

(51)

merupkan simbol sebagai perwakilan dari makna tertentu yang dapat

diinterpretasikan maknanya

B. Fokus Penelitian

Fokus penelitian ini adalah masalah-masalah masa tua (hari tua) yang ada

pada rohaniwan selibater. Masalah yang akan disoroti di dalam penelitian ini

adalah permasalahan-permasalahan yang diungkapkan oleh Collins (dalam

Widjojo, 2000), meliputi: masalah fisik, mental, ekonomi, hubungan antar pribadi,

harga diri, dan hidup rohani dan pandangan eksistensial.

Sedangkan rohaniwan yang dimaksud di dalam penilitian ini adalah semua

rohaniwan yang memilih corak hidup selibat sesuai dengan ajaran Injil dan Gereja

Katolik. Mereka adalah para pastor, bruder, dan suster.

Permasalahan-permasalahan masa tua yang ada di dalam diri rohaniwan

tersebut akan diuraikan lebih lanjut dengan teori tentang tahapan perkembangan

psikososial atau perkembangan ego manusia milik Erikson (1989), disesuaikan

dengan konteks penelitian bahwa masalah-masalah yang disoroti di sini timbul

ketika memasuki masa tua dan subyek penelitian di sini adalah para rohaniwan

selibater yang telah memasuki masa tua. Maka tahapan yang digunakan untuk

menguraikannya adalah tahapan ketika seseorang tersebut telah memasuki masa

tua, yaitu: generativitas lawan stagnasi dan keutuhan atau integrasi ego lawan

keputusasaan. Penelitian ini diharapkan mampu menunjukkan apakah rohaniwan

mampu menerima segala masalah di masa tua dan tetap mampu berkarya terhadap

(52)

dalam dirinya atau sebaliknya, rohaniwan tersebut merasa masalah-masalah masa

tua membuat dirinya tidak bisa berkarya lagi dan merasa dirinya stagnan, tidak

mampu menghasilkan karya lagi sehingga keputusasaan mewarnai sisa hidupnya.

C. Responden Penelitian

Sarantakos (dalam Poerwandari, 2001) menyebut ada beberapa hal yang harus

diperhatikan di dalam menentukan responden untuk penelitian kualitatif, yaitu:

a. Diarahkan tidak pada jumlah sampel yang besar, melainkan pada

kasus-kasus tipikal sesuai kekhususan masalah penelitian.

b. Tidak ditentukan secara kaku sejak awal, tetapi dapat berubah baik

dalam hal jumlah maupun karakteristik sampelnya sesuai dengan

pemahaman konseptual yang berkembang dalam penelitian.

c. Tidak diarahkan pada keterwakilan dalam arti jumlah atau peristiwa

acak melainkan pada kecocokan konteks.

Prosedur penentuan responden penelitian ini dengan cara responden dipilih

dengan kriteria tertentu. Kriteria tersebut adalah sebagai berikut:

a. Semua rohaniwan yang memilih corak hidup selibat

b. Rohaniwan tersebut memiliki corak hidup selibat sesuai dengan ajaran

Injil dan Gereja Katolik. Mereka adalah para pastor atau imam, suster, dan

bruder.

c. Rohaniwan tersebut telah memasuki usia tua. (>55 tahun)

(53)

Di dalam penelitian ini penulis mengambil responden sebanyak 6 (enam)

orang. Pertimbangan yang dipakai adalah: untuk menghemat waktu dan biaya,

mengingat rumah tua para rohaniwan sangat berjauhan letaknya. Responden

terdiri dari 2 (dua) orang pastor atau imam, 2 (dua) orang suster, dan 2 (dua) orang

bruder. Prosedur penentuan subyek menggunakan pengambilan sampel bola salju

atau berantai (snowball/chain sampling). Pengambilan sampel dilakukan secara

berantai dengan meminta informasi pada rohaniwan yang telah diwawancarai

apakah dirinya mempunyai relasi rohaniwan lain yang sekiranya masuk dalam

kriteria yang telah ditentukan dan dapat diwawancarai. Selain itu juga perlu

ditekankan rohaniwan tersebut bersedia dan mempunyai waktu untuk melakukan

wawancara. Sehingga di dalam melakukan wawancara atau usaha menggambil

data tidak ada unsur paksaan terhadap para rohaniwan untuk memberikan jawaban

yang diharapkan. Murni dari kesediaan dan kerelaan para rohaniwan dan waktu

yang disediakan oleh para rohaniwan benar-benar waktu untuk wawancara

sehingga wawancara yang dilakukan tidak terburu-buru karena para rohaniwan

ada acara tertentu dan juga kegiatan wawancara yang dilakukan tidak

mengganggu acara yang sudah dijadwalkan oleh para rohaniwan.

D. Metode Pengambilan Data

Penelitian ini akan menggunakan tehnik wawancara semi terstruktur dalam

upaya memperoleh data yang dimaksudkan. Poerwandari (2001) mengemukakan

bahwa wawancara kualitatif dilakukan untuk memperoleh pengetahuan tentang

(54)

yang sedang diteliti, dimana ini merupakan suatu hal yang tidak dapat dilakukan

dengan menggunakan cara pendekatan lain. Wawancara dalam penelitian ini

disebut semi terstruktur karena dalam proses wawancara peneliti membuat

panduan atau kisi-kisi pertanyaan yang akan diajukan kepada responden, namun

selalu terbuka kesempatan untuk terjadinya improvisasi pertanyaan sesuai dengan

kebutuhan perkembangan proses wawancara.

Kisi – Kisi Wawancara

1. Identitas responden

Nama :

Tempat dan Tanggal Lahir :

Tugas :

Tempat Tinggal :

2. Apa yang dialami atau dirasakan sekarang?

1. Fisik?

2. Mental?

3. Ekonomi?

4. Harga diri?

5. Hubungan antar pribadi?

6. Hidup rohani dan pandangan eksistensial?

3. Dampak masalah-msalah terhadap pelaksanaan tugas perutusan?

4. Tanggapan pribadi terhadap masalah-masalah masa tua yang ada?

(55)

¾ Keutuhan ego atau integrasi ego lawan Keputusasaan

5. Hal-hal lain yang dirasakan saat ini?

E. Pemeriksaan Keabsahan Data

1. Kredibilitas (credibility)

Kredibilitas penelitian kualitatif terletak pada keberhasilannya mencapai

maksud mengeksplorasi masalah atau mendeskripsikan setting, proses, kelompok

sosial atau pola interaksi yang kompleks (Poerwandari, 2001). Deskripsi

mendalam yang menjelaskan kemajemukan (kompleksitas) aaspek-aspek yang

terkait (variabel) dan interaksi dari berbagai aspek menjadi salah satu ukuran

kredibilitas penelitian kualitatif. Konsep kredibilitas juga harus mampu

mendemonstrasikan bahwa untuk memotret kompleksitas hubungan antar aspek

tersebut, penelitian dilakukan dengan cara tertentu yang menjamin bahwa subyek

penelitian diidentifikasi dan dideskripsikan secara akurat.

Menurut Stangl dan Sarantakos (dalam Poerwandari, 2001) validitas

penelitian kualitatif dicoba dicapai tidak melalui manipulasi variabel, melainkan

melalui orientasinya, dan upayanya mendalami dunia empiris, dengan

menggunakan metode yang paling cocok untuk pengambilan dan analisis data

konsep yang dipakai, antara lain: validitas kumulatif, validitas komunikatif,

validitas argumentative, dan validitas ekologis.

Pertama adalah validitas kumulatif dicapai apabila hasil dari penelitian yang

lain mengenai topik yang sama menunjukkan hasil yang kurang lebih serupa. Di

Referensi

Dokumen terkait

Guru menjelaskan kepada siswa tentang tata cara dalam proses pelaksanaan pembelajaran yang akan dilakukan yaitu dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan

Harus diisi dan disampaikan apabila ada pemotongan/pemungutan PPh oleh pihak lain (tidak termasuk yang bersifat final) dan PPh ditanggung Pemerintah serta penghasilan neto dan

PEMERINTAH KABUPATEN LEBONG UNIT IAYANAN PENGADAAN (UtP). POKJA BARANG DAN JASA

Memberikan informasi dan pengetahuan tentang makna Imlek dan tata cara melakukan ritual sembahyang yang benar pada hari raya Imlek kepada. seluruh warga Tionghoa agar dapat

Penyusunan Rencana Program Investasi Jangka Menengah (RPIJM) Kabupaten Ponorogo Tahun 2014 – 2018..

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji pengaruh enzim lipase dari Neurospora intermedia N-1 serta mengkaji karotenogenosis dengan penambahan beberapa kofaktor ion logam yaitu

kinerja mengajar guru dapat meningkat secara berkesinambungan. Pada variabel mutu madrasah, secara keseluruhan berada pada kategori tinggi. Namun pada dimensi proses masih

tempat lain dimana sesuai Pasal 84 Ayat (2) KUHAP Pengadilan Negeri Tanjungbalai berwenang untuk mengadili dan memeriksa perkaranya oleh karena terdakwa ditahan di