• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II: ATURAN PERNIKAHAN DAN PENCATATAN

B. Rukun dan Syarat Pernikahan

Syarat sah dan tidaknya suatu perkawinan ditentukan oleh terpenuhinya atau tidak semua rukun dan syarat perkawinan. Syarat dan rukun dalam sebuah hukum fikih merupakan hasil ijtihad ulama yang diformulasikan dari dalil-dalil (nash) serta kondisi objektif masyarakat setempat.

Rukun berasal dari kata (rakana, yarkunu, ruknan, rukunan yang artinya tiang, sandaran, atau unsur). Yaitu suatu unsur yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dan ada atau tidak adanya sesuatu tersebut.22

Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkain pekerjaan itu, seperti menutup aurat untuk shalat atau menurut Islam calon pengantin laki-laki atau perempuan itu harus beragama Islam. Sah yaitu sesuatu pekerjaan (ibadah) yang memenuhi rukun dan syarat.23

Dalam Islam pernikahan tidaklah semata-mata sebagai hubungan atau kontrak keperdataan biasa, akan tetapi mempunyai nilai ibadah dan dalam

21Ma’ruf Amin, Fatwa-Fatwa masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta: Elsas, 2008), h. 3.

22

Dahlan Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ikrar Mandiri Abadi, 2000), Cet., Ke-4. h. 1510.

23

Chuzaimah Tahido yango dan Hafiz Anshary, Problematika Hukum Islam Kontemporer, h. 12.

31

Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 ditegaskan bahwa pernikahan merupakan akad yang sangat kuat, hal tersebut dilakuakan untuk mentaati perintah Allah Swt, dan dengan melaksanakanya merupakan suatu nilai ibadah kepada Allah Swt.24

Para ulama berbeda pandangan tentang penentuan rukun dan syarat nikah. Menurut Hanafiyah, rukun nikah hanya terdiri dari ijab dan kabul saja. Bagi

Syafi’iyah, rukun perkawinan terdiri dari calon suami isteri, wali, dua orang saksi,

dan sighat (ijab kabul). Sedangkan menurut Malikiyah berpendapat bahwa yang termasuk rukun nikah adalah wali, mahar calon suami isteri dan sighat.

Sementara yang dipakai oleh penduduk Indonesia yang mayoritas penduduk

mazhab Syafi’i. Yang menjadi rukun Perkawinan bagi Imam Syafi’i, menurut

Peunoh Daly dan Ahmad Rofiq ada lima.25

Dan dalam Bab IV diatur tentang rukun dan syarat Perkawinan sekalipun tidak tegas pembedaanya satu dengan yang lain. Pasal 14 menyebutkan apa yang biasa dalam kitab fiqh disebut dengan rukun nikah. dikatakan bahwa untuk melaksanakan Perkawinan harus ada.26

a. Calon Suami.

Dengan syarat: hendaklah calon suami bukanlah mahrom bagi calon isteri, calon suami haruslah ditentukan orangnya secara jelas dan

24

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, h. 69. 25

Yayan Sopyan, Islam Negara Tranformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, h. 125.

26

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, h. 69. Lihat Juga Luthfi Surkalam, Kawin Kontrak Dalam Hukum Nasional Kita, (Pamulang: CV Pamulang, 2005), Cet., Ke-1. h. 5.

calon suami dalam keadaan boleh dikawin, artinya tidak dalam keadaan ihram haji atau umrah.

b. Calon Isteri.

Dengan syarat: Tidak terdapatnya hal-hal yang dapat menghalangi Perkawinan terhadap calon istri berkaitan dengan halangan Perkawinan yang bersifat selamanya maupun temporer dan calon istri masih dalam peminangan orang lain, calon istri haruslah ditentukan orangnya secara jelas dan calon istri tidak dalam keadaan ihrom haji dan umrah.

Pada Kompilasi Hukum Islam, syarat-syarat yang berkaitan dengan calon mempelai (suami-isteri) diatur pada pasal 15 hingga 18. Pada pasal 15 nya, ada syarat tambahan mengenai calon suami, yakni minimal 19 tahun, sedangkan calon isteri minimal 19 tahun. Sedangkan pada pasal 16 dan 17 mensyaratkan adanya persetujuan dari kedua belah pihak untuk berlangsungnya Perkawinan.27

c. Wali Nikah.

Dengan syarat: Beragama Islam, baligh, berakal, tidak terganggu pendengaranya, bukan orang yang sedang pailit, tidak dalam keadaan haji dan umrah.

d. Dua Orang Saksi.

Dengan syarat: Muslim, balig, berakal, merdeka, laki-laki, adil, Pendengaran dan penglihatanya sempurna, Memahami bahasa yang

27

Luthfi Surkalam, Kawin Kontrak Dalam Hukum Nasional Kita, (Pamulang: CV Pamulang, 2005), Cet., Ke-1. h. 5.

33

diucapkan ijab qabul, Tidak sedang mengerjakan ihram haji atau umrah.28

e. Ijab dan Kabul.

Lafadz ijab dan kabul yang merupakan ikrar yang menyatakan kerelaan dan keinginan dari masing-masing dalam ikatan rumah tangga. Syarat-syarat Ijab dan kabul: adanya pernyataan mengawinkan dari wali, adanya pernyataan mengawinkan dari suami, memakai kata-kata nikah tazwij atau terjemahan dari kedua kata tersebut, antara Ijab dan kabul bersambung jelas maksudnya, orang yang berkaitan dengan Ijab kabul tidak dalam Ihram, haji, umrah dan majelis Ijab kabul itu harus dihadiri minimal 4 orang calon suami atau wakilnya, wali dan dua orang saksi.29

Kaitanya pada bidang Perkawinan adalah bahwa rukun perkawinan merupakan sebagian dari hakikat Perkawinan, seperti keharusan atau kewajiban ada kedua calon mempelai baik laki-laki dan perempuan, wali, ijab-kabul serta dua orang saksi.30

Dalam melangsungkan dan mengurus adminstrasi pernikahan di Kantor Urusan Agama mengacu kepada aturan hukum yakni berdasarkan Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang pelaksanaan Peradilan Agama ayat (4), dan hal-hal yang

28 Asrorun Ni’an Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta: Elsas, 2008), Cet., Ke-2. h. 31-32.

29

Yayan Sopyan, Islam Negara Tranformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, h. 126.

30

Slamet Abidin dan Aminudin, Fiqh Munakahat, (Jakarta: CV. Pustaka Setia, 1999), h. 24.

berkenaan dengan perkawinan dapat diatur di Peradilan Agama pada pasal 1 ayat (1) yang menegaskan bahwa Peradilan Agama adalah Peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam.31

Pada tanggal 2 Januari 1974 telah disahkan oleh presiden R.I. suatu Undang-undang Perkawinan Nasional, yaitu Undang-undang No. 1 tahun 1974 dengan peraturan pelaksanaanya PP. I No. 9 tahun 1975. Maka terhadap segenap warga negara Indonesia yang ingin melangsungkan suatu Perkawinan berlakulah Perkawinan yang telah diatur dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 dengan pelaksanaanya PP. No. 9 tahun 1975.32

Setelah ditetapkanya Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, maka dasar berlakunya hukum Islam di bidang Perkawinan, talak dan rujuk tentulah Undang-undang No. 1 tahun 1974, ini terutama pasal 2 ayat (1) dan pasal 2 ayat (2) yang menetapkan sebagai berikut:

Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu. Tiap-tiap Perkawinan dicatat menurut peraturan-peraturan, perundang-undangan yang berlaku.33

Sahnya suatu Perkawinan itu ditetapkan oleh ketentuan agama dan kepercayaan mereka yang melakukan Perkawinan, berarti apabila suatu Perkawinan yang dilakuakan bertentangan dengan ketentuan agama dan

31

Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum (Hukum Islam, Hukum Barat dan Hukum Adat), (Jakarta: Kencana, 2006), Cet., Ke-1. h. 185.

32

Djoko Prakoso dan I ketut Murtika, Azaz-azaz Hukum Perkawinan di Indonesia,h. 15. 33

M. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dari Segi Hukum Perkawinan Islam, h. 48-49.

35

kepercayaanya, dengan sendirinya menurut hukum Perkawinan belum sah dan tidak mampunyai akibat hukum sebagai ikatan perkawinan.34

Adapun syarat merupakan sesuatu hal yang mesti harus dijalani dalam Perkawinan. apabila syarat tidak dipenuhi maka bisa menimbulkan pencegahan terhadap Perkawinan, yakni keterangan terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 60 ayat 1 yaitu pencegahan Perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu Perkawinan yang dilarang hukum Islam dan peraturan perundang-undangan. Dan pada ayat 2 yaitu pencegahan Perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau isteri yang akan melangsungkan Perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan Perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan.35

Menurut ulama Hanafi’yah, mengatakan bahwa sebagian syarat-syarat pernikahan yakni berkaitan atau berhubungan dengan:

a. Akad, serta sebagian yang lainya berkaitan dengan saksi.36

1. Shihot, yaitu ibarat Ijab qabul, dengan syarat sebagai berikut:

a. Menggunakan lafad tertentu, baik dalam lafaz sarih. Misalnya

Tazwij atau Nikah.

b. Ijab-qabul dilakuakan didalam satu majelis;

c. Sighat didengar oleh orang-orang yang menyaksikan; d. Ijab-qabul tidak berbeda maksud dan tujuan;

34

Djoko Prakoso dan I ketut Murtika, Azaz-azaz Hukum Perkawinan di Indonesia, h. 20. 35

Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam: Hukum Perkawina: Hukum Kewarisan, Hukum Perwakafan, (Bandung: Nuansa Aulia, 2008), h. 19.

36

e. Lafaz sighat tidak disebutkan untuk waktu tertentu.

2. Akad, dapat dilaksanakan dengan syarat-syarat apabila kedua calon pengantin berakal, baligh dan merdeka.

3. Saksi, harus terdiri atas dua orang. Maka tidak sah apabila akad nikah hanya disaksikan oleh satu orang saksi. Dan syarat-syaratnya dalah:

a. Berakal; b. Baligh; c. Merdeka; d. Islam;

e. Kedua orang saksi mendengar.37

b. Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan syarat-syarat perkawinan disebutkan dalam pasal 6 sebagai berikut:

1. Perkawinan harus didasarkan pada persetujuan kedua calon mempelai. 2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur

21 tahun harus mendapat ijin orang tua.

3. Dalam hal orang tua yang telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya maka ijin yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

4. Dalam hal orang tua telah meninggal dunia atu dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka ijin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah

37

37

dalam garis keturunan keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

5. Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yan disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dalam memberikan ijin setelah leboh dahulu mendengat orang-orang tersebut dalam ayat dan pasal ini.

6. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.38

Syarat pernikahan secara global ada lima macam yaitu:

a. Ketentuan adanya masing-masing pasangan. Karena nikah merupakan

aqd yang dilakukan secara timbal balik. b. Keridhaan masing-masing pasangan.

c. Wali. Pernikahan tanpa wali tidak dianggap sah. Sedang syarat wali ada tujuh yaitu: merdeka, laki-laki, adanya kesamaan agama antara wali dengan orang yang di wali, baligh, berakal, adil dan benar.

d. Kesaksian. Pernikahan tidak dapat dilaksanakan kecuali ada dua orang saksi.

e. Masing-masing pasangan terbebas dari larangan untuk melaksanakan pernikahan karena suatu sebab atau karena masih ada keturunan.39

38

Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam: Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Perwakafan, h. 81.

Rukun dan syarat Perkawinan tersebut di atas wajib dipenuhi, apabila tidak terpenuhi maka Perkawinan yang dilangsungkan tidak sah. Disebutkan dalam Kitab al-Fiqh’ala al-Mazahib al-Arbaah: Nikah Fasid yaitu nikah yang tidak memenuhi syarat-syaratnya, sedang nikah batil adalah nikah yang tidak memenuhi rukunya. Dan hukum nikah fasid dan nikah batil adalah sama yaitu tidak sah.40

Dokumen terkait