FAKTOR PENYEBAB BIAYA ADMINISTRASI PENCATATAN PERNIKAHAN MENJADI TINGGI
(Studi Pada Kantor Urusan Agama Kec. Bumijawa Kab. Tegal Tahun 2009-2013)
Skripsi
Diajukan kepada fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh
IMAM ZAKIYUDIN Nim: 1110044100059
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
i ABSTRAK
Imam Zakiyudin, 1110044100059, Faktor Penyebab Biaya Administrasi Pencatatan Pernikahan Menjadi Tinggi (Studi pada Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Bumijawa Kabupaten Tegal Tahun 2009-2013)
Pernikahan merupakan kebutuhan hidup setiap manusia sejak jaman dulu. Memang pada masa awal Islam tidak dikenal adanya pencatatan pernikahan, dan dengan berbagai pertimbangan kemaslahatan muncullah tuntutan pencatatan pernikahan. Apabila terdapat pernikahan tidak dicatatkan maka akan terjadi berbagai masalah kerancuan hukum. Setelah diundangkanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang pernikahan dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa tiap-tiap pernikahan selain harus dilakukan menurut ketentuan agama juga harus dicatatkan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2004 tentang tarif atas penerimaan negara bukan pajak yang berlaku di Kementrian Agama disebutkan bahwa biaya nikah Rp 30.000,00. Tetapi pada praktiknya biaya tersebut lebih besar dari biaya yang telah ditetapkan oleh pemerintah sebagaimana yang terjadi di Kantor Urusan Agama Kecamatan Bumijawa
Penelitian skripsi ini bertujuan untuk mengetahui Faktor Penyebab Biaya Administrasi Pencatatan Pernikahan menjadi tinggi di wilayah Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Bumijawa Kabupaten Tegal. Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kualitatif yaitu melalui wawancara dengan para responden pelaku pernikahan baik pernikahan yang dilaksanakan di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Bumijawa ataupun pelaku pernikahan yang dilaksanakan di rumah (masjid atau mushola) dan para pemegang kebijakan yaitu Kepala Kantor Urusan Agama beserta staf-stafnya.
ii
.دعﺑ ﺍ ، يقﻟﺍ ﻳ ىﻟﺍ هﺍده ع ت هﺑ ﺤصأ هﻟﺍ ى ع ي ﺳر ﻟﺍ
Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang senantiasa
memberikan karunia-Nya bagi seluruh umat di dunia dalam memberikan kesehatan,
kekuatan dan ketabahan sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dan
merampungkan skripsi ini. Dengan rasa yang menjadi satu lelah dan kemalasan,
namun semuanya berakhir dengan kelegaan dan keharuan sehingga timbul semangat
luar biasa. Tidak lupa salam serta shalawat dihaturkan atas baginda besar Nabi
Muhammad SAW, beserta keluarga para sahabat dan para pengikut mereka sampai
hari akhir tiba, (Yaumil Qiyamat).
Penulis menyadari bahwasanya manusia tidak ada yang sempurna dan
tidaklah mungkin hidup tanpa bantuan orang lain dan tidaklah mungkin terwujud
semua usaha tanpa bantuan sesama. Dengan ini penulis dalam rangka menyelesaikan
tugas, dalam kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. H. JM. Muslimin, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA., Ketua Jurusan Peradilan Agama dan
iii
3. Nur Rohim Yunus LLM,. Yang telah memberikan waktu luang, motifasi
serta pikiran untuk memberikan ilmu dan bimbingan kepada penulis
selama penyusunan skripsi ini, semoga Allah membalas kebaikan bapak.
4. Prof. Dr. H. M. Amin Suma., SH., MA., MM Penguji I dan Dr. H.
Mesraini, MA Penguji II.
5. Pimpinan Perpustakaan fakultas Syariah dan Hukum, Perpustakaan Utama
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta seluruh staf yang selalu
memberikan penulis fasilitas dalam keperluan perkuliahan.
6. H. A. Wakhidin, SHi., Agus Salam, SAg., Umi Hayati., SHi dan seluruh
staf Kantor Urusan Agama Kecamatan Bumijawa serta masyarakat di
wilayah Kecamatan Bumijawa tempat penulis mengadakan penelitian,
mendapatkan data, informasi dan wawancara.
7. Yang tercinta kedua orang tua Ibunda Zahro dan Ayahanda Ust Slamet
Toibin, adik-adiku (Puad Hasan, Millata Humaida, Muhammad Gus
Fahmi dan Ismi atul Ma’rifah) dan keluarga khususnya mama yang terhebat yang senantiasa selalu ada dalam memberikan doa dan
semangatnya. Serta seluruh sahabat seperjuanganku yakni Peradilan
Agama angkatan 2010.
8. Prof. Dr. H. Hamdan Yasun Msi., beserta isteri Ibu H. Suwaidah
(Almarhum) Bapak H. Masrun Beserta Istri Ibu Chuzmijatun, Bapak
iv
Mahasiswa Tegal (IMT), Keluarga besar PMII Komfaksyahum dan
Keluarga Besar Pengurus Lembaga Bantuan Hukum Fakultas Syariah dan
Hukum yang selalu mengarahkan dan penulis naungi.
10.Keluarga Besar Gria Hijau (Pa Edi, Pa Arifin, Pa Caca, mas Mukhlis, mas
Brian, mas Fiky, mas Khan khan, mas Heri, mas Yanto) yang penulis
naungi dalam keadaan susah maupun senang dan penulis berbagi dalam
canda tawa.
11.Seluruh sahabatku yang tidak dapat penulis sebutkan dan semua pihak
yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung yang
tidak mungkin penulis sebutkan namanya satu persatu.
Akhirnya, kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini, saya mengucapkan terima kasih banyak atas bantuanya
baik yang berupa doa maupun materil yang tidak dapat penulis balas dengan baik,
semoga Allah SWT yang akan membalas kebaikan kalian semuanya. Amin
Jakarta, Juli 2014
v DAFTAR ISI
ABSTRAKSI ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR LAMPIRAN ... vii
BAB I: PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan Masalah ... 9
C. Perumusan Masalah ... 12
D. Tujuan Penelitian ... 13
E. Manfaat Penelitian ... 13
F. Metode Penelitian... 14
G. Review Studi Terdahulu ... 18
H. Sistematika Penulisan... 20
BAB II: ATURAN PERNIKAHAN DAN PENCATATAN ... 23
A. Pengertian Pernikahan ... 23
B. Rukun dan Syarat Pernikahan ... 30
C. Pencatatan Pernikahan ... 38
D. Lembaga Administrasi Pencatatan Pernikahan ... 42
vi
B. Kedudukan Kantor Urusan Agama Kecamatan Bumijawa ... 64
C. Tugas dan wewenang Kantor Urusan AgamaKecamatan Bumijawa ... 65
D. Struktur Organisasi Kantor Urusan AgamaKecamatan Bumijawa ... 70
E. Biaya Administrasi Pencatatan Pernikahan di Kantor Urusan Agama Kecamatan Bumijawa ... 71
BAB IV: ANALISA BIAYA PENCATATAN PERNIKAHAN ... 73
A. Tingginya Biaya Administrasi Pencatatan Pernikahan di Kecamatan Bumijawa ... 73
B. Faktor yang menyebabkan Tingginya Biaya Administrasi Pencatatan Pernikahan di Kecamatan Bumijawa ... 78
C. Sosialisasi biaya administrasi pencatatan pernikahan di Kantor Urusan Agama pada masyarakat kecamatan bumijawa ... 81
D. Analisis Penulis ... 86
BAB V: PENUTUP ... 90
A. Kesimpulan ... 90
B. Saran-saran ... 93
vii LAMPIRAN
Pertama : Surat Pengajuan Judul Skripsi
Kedua : Lembar Pengesahan Tim Penguji
Ketiga : Surat Permohonan Kesediaan menjadi Dosen Pembimbing Skripsi
Keempat : Surat blanko bimbingan Skripsi
Kelima :Surat Permohonan data/Wawancara
Keenam : Pedoman wawancara/Instrumen Penelitian
Ketujuh : Hasi wawancara dengan kepala KUA dan Penghulu KUA
Kedelapan : Hasil wawancara dengan masyarakat kecamatan bumijawa
Kesembilan : Surat Keterangan Penelitian dari Kelurahan Sokatengah
Kesepuluh : Surat Keterangan Penelitian dari Kelurahan Jejeg
Kesebelas : Surat Keterangan Penelitian dari Kelurahan Cintamanik
Keduabelas : Surat Keterangan Penelitian dari Kelurahan Begawat
Ketigabelas : Surat Keterangan Penelitian dari Kelurahan Cawitali
Keempatbelas : Surat Keterangan Penelitian dari Kelurahan Dukuh Benda
Kelimabelas : Surat Keterangan Penelitian dari Kelurahan Guci
Keenambelas : Surat Keterangan Penelitian dari Kelurahan Pagerkasih
Ketujuhbelas : Surat Keterangan Penelitian dari Kelurahan Bumijawa
Kedelapanbelas : Surat Keterangan Penelitian dari Kantor Urusan Agama (KUA)
Kecamatan Bumijawa
Kesembilanbelas : Surat Pernyataan wawancara dari Kepala Kantor Urusan Agama
viii
Keduapuluh dua:Peta Wilayah Kecamatan Bumijawa dan Peta Gambar objek
Penelitian
Keduapuluh tiga : Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2004
1
BAB I PENDAHULIAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah SWT menciptakan makhluknya berpasang-pasangan. baik itu hewan
tumbuhan maupun manusia. Adapun hikmah agar diciptakan oleh Tuhan segala
jenis alam atau makhluk itu berpasang-pasangan yang berlainan bentuk dan sifat,
adalah agar masing-masing jenis saling butuh membutuhkan, saling memerlukan,
sehingga dapat berkembang selanjutnya.1
Dalam kehidupan manusia di dunia ini, yang berlainan jenis kelaminya
(laki-laki dan perempuan) secara alamiah mempunyai daya tarik menarik antara
satu dengan yang lainya untuk dapat hidup bersama, atau secara logis dapat
dikatakan untuk membentuk suatu ikatan lahir dan batin dengan tujuan
menciptakan suatu keluarga atau rumah tangga yang rukun, bahagia, sejahtera dan
abadi.
Hal ini bukanlah merupakan suatu keharusan, agar orang berpendapat atau
menitikberatkan kepada persetubuhan belaka, walaupun hal persetubuhan adalah
faktor yang juga penting sebagai penunjang atau pendorong dalam rangka
merealisir keinginan dapat hidup bersama, baik untuk mendapatkan keturunan,
1
maupun sekedar memenuhi kebutuhan biologis atau keinginan hawa nafsu
belaka.2
Suatu perkawinan mempunyai arti dan kedudukan yang sangat penting
dalam tata kehidupan manusia. Sebab dengan perkawinan, dapat dibentuk ikatan
hubungan pergaulan antara dua insan yang berlainan jenis secara resmi dalam
suatu ikatan suami istri menjadi satu keluarga.3
Sudah menjadi kodrat alam, bahwa dua manusia dengan jenis kelamin
yang berlainan yaitu seorang perempuan dan seorang laki-laki, diantara keduanya
ada daya yang saling menarik satu sama lain untuk hidup bersama dalam ikatan
perkawinan sebagai salah satu tujuan yaitu meneruskan keturunan.4
Pencatatan pernikahan atau pembuatan akta penikahan, secara syariat,
bukanlah rukun atau syarat yang menentukan sahnya pernikahan. Namun adanya
bukti otentik yang tertulis dapat menjadi salah satu alatmemperkuat komitmen
yang dibangun oleh pasangan suami istri tersebut. Walaupun memperkuat
komitmen tidak terbatas pada aktanya, karena akta sendiri bisa dibatalkan melalui
gugatan perceraian.5
Pencatatan perkawinan adalah suatu pencatatan yang dilakukan oleh
pejabat negara terhadap peristiwa perkawinan.6 Adapun yang berhak mencatatkan
2
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Asas-Asas Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), h.1.
3
Muhammad Nabil Kazim, Buku Pintar Nikah : Strategi Jitu Menuju Pernikahan Sukses, (Solo: Samudra, 2007), h. 24.
4
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Sumur Bandung, 1960), h. 7.
5
3
perkawinan adalah pembantu pegawai pencatat nikah (PPPN) yang berkedudukan
disetiap desa atau pegawai pencatat nikah yang berkedudukan di setiap kecamatan
yang berada di bawah struktur Kantor Urusan Agama (KUA).7
Pencatatan perkawinan bertujuan untuk menjadikan peristiwa perkawinan
itu menjadi jelas, baik bagi yang bersangkutan maupun bagi orang lain dan
masyarakat, karena dapat dibaca dalam suatu surat yang bersifat resmi dan
termuat pula dalam suatu daftar yang khusus disediakan untuk itu, sehingga
sewaktu-waktu dapat digunakan di manapun, terutama sebagai alat bukti tertulis
yang otentik. Dengan adanya surat bukti itu, dapatlah dibenarkan atau dicegah
suatu perbuatan yang lain.8
Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, yang
masing-masing suami istri mendapat salinannya, apabila terjadi perselisihan atau
percekcokan di antara mereka, atau salah satu tidak bertanggung jawab, maka
yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh
hak masing-masing.9
Meskipun perkawinan yang tidak dicatat adalah sah, baik menurut
pandangan agama maupun adat istiadat, namun di mata hukum tidak memiliki
kekuatan hukum karena:
6
Muhammad Zain dan Mukhtar Alshodiq, Membangun Keluarga Humanis (Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam yang Kontroversial itu), (Jakarta: Graha Cipta, 2005) Cet., Ke-1, h. 38.
7
Muhammad Zain dan Mukhtar Alshodiq, Membangun Keluarga Humanis (Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam yang Kontroversial itu), h. 38.
8
K Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1978), Cet., Ke-4. h. 17.
9
a. Posisi mereka sangat lemah di depan hukum. Bagi istri, tidak
dianggap sebagi istri, karena tidak memiliki akta nikah. ia juga tidak
berhak atas nafkah dan waris jika terjadi perceraian atau suaminya
meninggal. Tragisnya anak yang dilahirkan juga dianggap tidak sah.
b. Menurut QS Al-Baqarah ayat 282 memerintahkan kita untuk
mencatatkan utang piutang. Bagaimana dengan perkawinan yang jauh
lebih penting dari utang-piutang.
c. Pada masa Nabi Muhammad, masyarakat masih banyak yang ummy
(tidak melek huruf), sehingga kesaksian dan sumpah masih diterima
sebagai alat bukti hukum di pengadilan. Sekarang kondisinya berbeda,
alat bukti tertulis lebih kuat dari sekedar kesaksian dan sumpah.
karena itu, pencatatan nikah menjadi sangat penting.10
Pencatatan nikah sangat penting dilaksanakan oleh pasangan mempelai,
sebab buku nikah yang mereka peroleh merupakan bukti otentik tentang
keabsahan pernikahan itu baik secara agama maupun negara. Dengan buku nikah
itu, mereka dapat membuktikan pula keturunan sah yang dihasilkan dari
perkawinan tersebut dan memperoleh hak-haknya sebagai ahli waris.11
Pentingnya sebuah pencatatan dalam suatu masalah yang berkaitan dengan
individual yang lain atau dalam masalah mu’amalah, Islam sebagai agama yang
10
Muhammad Zain dan Mukhtar Alshodiq, Membangun Keluarga Humanis, (Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam yang Kontroversial itu), h. 39-40.
11
5
sempurna telah terlebih dahulu memerintahkan kepada para pemeluknya untuk
mencatatkan setiap peristiwa yang berkenaan dengan individu yang lain.
Kehidupan modern yang sangat kompleks seperti ini menuntut adanya
ketertiban dalam berbagai hal, antara lain masalah pencatatan perkawinan, apabila
hal ini tidak mendapat perhatian. Kemungkinan besar akan timbul kekacauan
dalam kehidupan masyarakat, mengingat jumlah manusia sudah sangat banyak
dan permasalahan hiduppun sudah sangat kompleks.12
Pelaksanaan pencatatan suatu perkawinan, telah diatur sebagaimana
dinyatakan dalam PP. No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU. No. 1 tahun
1974 tentang perkawinan, di mana pasal 2 nya berbunyi:
a. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan
menurut agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatatan sebagaimana
dimaksud dalam UU No. 32 tahun 1954 tentang pencatatan nikah, talak
dan rujuk.
b. Pencatatan perkawinan dan mereka yang melangsungkan
perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaanya itu selain agama
Islam, dilakukan oleh pegawai pencatatan perkawinan pada kantor
catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai
perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan.
c. Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku
bagi tatacara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan
yang berlaku, tatacara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana
12
ditentukan dalam pasal 3 sampai dengan pasal 9 peraturan pemerintah
ini.
Selanjutnya pada penjelasan atas PP. No. 9 tahun 1975 tentang
pelaksanaan UU. No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, dijelaskan bahwa
pencatatan perkawinan dilakukan hanya oleh dua instansi, yakni pegawai pencatat
nikah, talak, rujuk dan kantor catatan sipil atau instansi pejabat yang
membantunya.13
Pada saat melangsungkan perkawinan, suami istri mendaftarkan dan
mencatatkan perkawinan tersebut pada lembaga resmi pemerintahan yaitu ke
Kantor Urusan Agama (KUA) bagi warga negara yang beragama Islam dan ke
Kantor Catatan Sipil bagi warga negara yang selain beragama Islam,14 maka
akibat yang ditimbulkan dari perceraian itu tidak menimbulkan masalah yang
rumit untuk saling mendapatkan hak-haknya setelah menikah maupun ketika
terjadi perceraian karena bisa dibuktikan dengan adanya akta nikah yang mereka
miliki sebagai bukti bahwasanya mereka telah melangsungkan perkawinan dan
pernah membina rumah tangga, Hal itu menunjukan betapa urgenya masalah
pencatatan nikah dan akta nikah, karena dengan adanya akta nikah, perkawinan
yang dilangsungkan oleh pipihak yang bersangkutan akan terjamin
hak-haknya sebagai suami istri.
13
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Asas-Asas Hukum Perkawinan di Indonesia, h. 22-23.
14
7
Selain itu, dengan adanya bukti pencatatan perkawinan, perkawinan yang
dilangsungkan oleh seseorang akan mempunyai kekuatan yuridis. Sebagaimana
disebutkan pada pasal 7 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam (KHI), perkawinan
”hanya” dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat
Nikah. Dengan demikian, mencatatkan perkawinan adalah merupakan kewajiban
bagi mereka yang akan melangsungkan perkawinan.15
Dalam praktik realita yang terjadi sekarang ini, pencatatan pernikahan
yang terjadi di pedesaan khususnya di Kecamatan Bumijawa begitu beragam Tarif
administrasi pencatatan pernikahan bagi mereka yang ingin dicatatkan
pernikahanya sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh negara melalui
lembaga yang ditunjuk untuk menangani masalah administrasi pencatatan
pernikahan yaitu Kantor Urusan Agama (KUA), Tarif tersebut berkisar antara Rp
500.000,- sampai Rp 600.000,- sedang tarif yang ditetapkan pemerintah untuk
mengurus administrasi pencatatan pernikahan guna memperoleh bukti yang
otentik berupa akta nikah yang dikeluarkan pihak Kantor Urusan Agama hanya
sebesar Rp 30.000,- Mengapa bisa terjadi demikian padahal lembaga pemerintah
seharusnya bekerja sesuai dengan peraturan undang-undang dan peraturan
pemerintah yang berlaku. Hal ini dapat dimungkinkan dalam masalah proses
administrasi pencatatan pernikahan dalam instansi terkait telah terjadi adanya
penguatan-penguatan liar yang sudah sangat jelas telah melanggar hukum.
Tingginnya biaya administrasi pencatatan pernikahan yang marak
belakangan ini jelas-jelas sangat memberatkan warga pedesaan masyarakat
15
Kecamatan Bumijawa yang kehidupan ekonominya pas-pasan apalagi sebagian
besar mereka bermata pencaharian seorang buruh tani dan buruh pemetik daun teh
di perkebunan. Apabila mereka ingin mencatatkan pernikahanya di Kantor Urusan
Agama (KUA) di wilayah tempat mereka tinggal khususnya di Kecamatan
Bumijawa. Masalah ini akan berdampak terhadap keengganan masyarakat untuk
mencatatakan pernikahanya pada lembaga yang ditunjuk pemerintah yaitu Kantor
Urusan Agama (KUA) dan bisa beralih untuk melaksanakan pernikahanya secara
sirri karena dipandang lebih murah, padahal sudah dapat diketahui resikonya jika
sebuah pasangan melangsungkan pernikahan secara sirri, maka pernikahan
mereka selain tidak di akui oleh negara, juga mengakibatkan kerancuan hukum.
Penulis mengamati tingginnya biaya proses administrasi pencatatan
pernikahan di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Bumijawa amat sangat
membebani warga desa masyarakat khususnya di daerah pedesaan Kecamatan
Bumijawa yang notabenya sebesar 80% masyarakat di Kecamatan Bumijawa
bermata pencaharian seorang buruh petani dan buruh di perkebunan pemetik daun
teh. Sebagian masyarakat yang tingkat pekerjaanya sebagai buruh kehidupanya
pas-pasan dan amat sangat keberatan dengan tarif biaya administrasi pencatatan
pernikahan yang sangat mahal.
Melalui berbagai wawancara yang penulis lakukan yang kebetulan penulis
berdomisili tepatnya di desa Sokatengah Krajan Kecamatan Bumijawa terhadap
masyarakat khususnya pada daerah pedesaan Kecamatan Bumijawa. Bahwa
dengan adanya biaya administrasi pencatatan pernikahan yang mahal seakan
9
berdampak pada pernikahan yang tidak dicatatkan seperti pernikahan sirri dan
pernikahan dibawah tangan.
Berdasarkan uraian di atas, penulis membatasi skripsi ini dengan mengkaji
mengapa biaya administrasi pencatatan pernikahan di Kantor Urusan Agama
Kecamatan bumijawa sangat mahal. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa di
daerah pedesaan khususnya di Kecamatan Bumijawa yang mayoritas warganya
bekerja sebagai buruh petani, buruh di perkebunan sayuran dan buruh di
perkebunan sebagai pemetik daun teh biaya administrasi pencatatan pernikahan
sangat mahal dan membebani masyarakat. Agar lebih terarah materi yang akan
penulis paparkan, maka dalam skripsi ini penulis merumuskan dengan judul,
“Faktor Penyebab Biaya Administrasi Pencatatan Pernikahan Menjadi
Tinggi (Studi Pada Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Bumijawa Kabupaten Tegal Tahun 2009-2013 )”.
B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah a. Identifikasi Masalah
Pencatatan perkawinan adalah kegiatan menulis yang dilakukan oleh
seseorang mengenai suatu peristiwa yang terjadi.16 Menurut undang-undang
perkawinan No. 1 tahun 1974 pada pasal 2, bahwa perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut masing-masing agama dan kepercayaan itu.
Undang Undang perkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 2 ayat (2)
menentukan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
16
undangan yang berlaku.17Walaupun demikian, pencatatan bukanlah sesuatu hal
yang menentukan sah atau tidak sahnya suatu perkawinan. Perkawinan adalah sah
jika telah dilakukan menurut ketentuan agamanya masing-masing, walaupun tidak
atau belum didaftar. Dalam Surat Keputusan Mahkamah Islam Tinggi, pada tahun
1953 No. 23/19 menegaskan bahwa bila rukun nikah telah lengkap, tetapi tidak
didaftar, maka nikah tersebut adalah sah, sedangkan yang bersangkutan dikenakan
denda karena tidak didaftarkanya nikah tersebut.18
Menurut pasal 11 bahwa perkawinan dianggap telah tercatat secara resmi
apabila akta perkawinan telah ditandatangani oleh kedua mempelai, dua orang
saksi, pegawai pencatat dan khusus untuk yang beragama Islam, juga wali nikah
atau yang mewakilinya.19Sedangkan sahnya perkawinan menurut UU No. 1 tahun
1974 pasal 2 berbunyi bahwa: Pertama, perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu. Kedua,
tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku20.
Adapun Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban dalam
masyarakat.21
17
Djoko Prakoso dan I Ketu Murtika, Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia, h. 22.
18
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia Berlaku Bagi Umat Islam, (Jakarta: UI Press, 1986), Cet., Ke-5. h. 71.
19
K Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1978), Cet., Ke-5. h. 20.
20
Djoko Prakoso dan I Ketu Murtika, Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia, Ke-1. h. 20.
21
11
Dalam pembentukan administrasi pencatatan perkawinan yang sesuai
dengan peraturan dan kenyataanya tidaklah mudah. Untuk melaksanakan
pencatatan, pasal 2 peraturan pelaksanaan menyatakan bahwa bagi yang bragama
Islam dilakukan oleh pegawai pencatat sebagai dimaksud dalam undang-undang
nomor 32 tahun 1954 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk, sedangkan bagi
mereka yang tidak beragama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan
pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai
perundang-undangan mengenai pencatatan.22
Kantor Urusan Agama (KUA) merupakan lembaga pemerintah yang diberi
kewenangan dan tugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat terkait
dengan masalah-masalah keagamaan. Lembaga ini diselenggarakan di setiap
kecamatan di Indonesia.23
Adapun tugas pokok Kantor Urusan Agama (KUA) adalah
menyelenggarakan statistik dan dokumentasi, menyelenggarakan surat menyurat,
pengurusan surat, kearsipan, rumah tangga Kantor Urusan Agama Kecamatan,
melaksanakan pencatatan nikah dan rujuk. Dalam melaksanakan tugas dan
fungsinya kepala Kantor Urusan Agama kecamatan Bumijawa dibantu oleh staf
penghulu atau pelaksana tata usaha, keuangan, administrasi nikah dan rujuk,
administrasi pernikahan dan badan penasehat pembinaan pelestarian perkawinan
(BP4).
22
K Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, h. 17.
23
b. Pembatasan Masalah
Agar dalam penelitian ini tidak menyimpang dari judul yang telah dibuat,
maka penulis perlu melakukan pembatasan ini untuk mempermudah permasalahan
dan mempersempit ruang lingkup yang dalam hal ini penulis akan membahas
Tingginya Biaya Administrasi Pencatatan Pernikahan (Studi Pada Kantor Urusan
Agama (KUA) Kecamatan Bumijawa Kabupaten Tegal Tahun 2009-2013).
C. Rumusan Masalah
Menurut Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2004 tentang tarif atas
penerimaan negara bukan pajak yang berlaku di Kementrian Agama disebutkan
bahwa biaya nikah Rp 30.000,00. Tetapi pada praktiknya biaya tersebut lebih
besar dari biaya yang telah ditetapkan oleh pemerintah sebagaimana yang terjadi
di Kantor Urusan Agama Kecamatan Bumijawa. Bahkan pernikahan yang
dilaksanakan di Kantor Urusan Agama Kecamatan Bumijawa dikenai tarif biaya
administrasi pencatatan pernikahan lebih besar dari biaya yang sebenarnya.
Berdasarkan rumusan tersebut di atas penulis rinci dalam bentuk
pertanyaan sebagai berikut:
1. Mengapa biaya administrasi pencatatan pernikahan di Kantor Urusan
Agama (KUA) Kecamatan Bumijawa tinggi?
2. Apa faktor yang menyebabkan tingginya pencatatan pernikahan di
Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Bumijawa?
3. Apakah sosialisasi biaya administrasi pencatatan pernikahan Kantor
Urusan Agama (KUA) Kecamatan Bumijawa terhadap masyarakat
13
D. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan latar belakang masalah dan rumusan yang telah disebutkan
di atas maka tujuan sebuah penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui Mengapa biaya administrasi pencatatan pernikahan
di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Bumijawa tinggi.
2. Untuk mengetahui apa faktor yang menyebabkan tingginya pencatatan
pernikahan di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Bumijawa.
3. Untuk mengetahui apakah sosialisasi biaya administrasi pencatatan
pernikahan Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Bumijawa
terhadap masyarakat Kecamatan Bumijawa telah di lakukan.
E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi kontribusi pemikiran bagi
kalangan masyarakat Islam terkait dengan Administrasi Pencatatan Pernikahan
yang terjadi di Kantor Urusan Agama Kecamatan Bumijawa.
Adapun manfaat penelitian dalam pelaksanaan penelitian ini adalah:
a. Bagi Kalangan KUA
Untuk memenuhi kewajiban dan tuntutan sebagai pelaksana bimbingan
dan penyuluhan serta memberikan bimbingan konsultasi hukum
kepada masyarakat terkait dengan Adimistrasi Pencatatan Perkawinan.
b. Bagi Kalangan Akademisi
Penelitian ini diharapkan bermanfaat menambah wawasan dan
pengtahuan dalam ilmu.
d. Bagi masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran
yang bermanfaat dalam praktik adminstrasi pencatatan pernikahan
yang terjadi di masyarakat.
e. Bagi Pemerintah
Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pemerintah dan menentukan
kebijakan yang berkaitan dengan permasalahan Administrasi
Pencatatan Pernikahan.
f. Bagi Peneliti
Dapat menambah pengetahuan dan wawasan sehingga dapat dilakukan
penelitian lanjutan.
F. Metode Penelitian
Penelitian berhubungan dengan usaha untuk mengetahui sesuatu yang
dipahami sebagai ilmu tentang metode penelitian. Metode sendiri berarti tata cara,
yang di dalam penelitian meliputi, antara lain, tata cara atau prosedur untuk
memilih topik dan judul penelitian, melakukan identifikasi dan merumuskan
masalah pokok penelitian, pengumpulan, pengolahan, dan analisis data,
pembahasan hasil analisis data, serta tata cara atau prosedur untuk melakukan
penelitian, pelaksanaan penelitian, pembuatan dan penyampaian laporan hasil
penelitian.24
24
15
Tujuan suatu penelitian adalah untuk memecahkan atau menemukan
jawaban terhadap suatu masalah25. Suatu tujuan penelitian harus dinyatakan
dengan jelas dan ringkas. Tujuan penelitian seyogyanya dirumuskan sebagai
kalimat pertanyaan yang konkret dan jelas tentang apa yang akan diuji.26
Untuk penelitian skripsi ini, penulis menggunakan metode kualitatif
dengan pendekatan deduktif analisis, yakni suatu metode dalam penelitian
sekelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu pemikiran pada masa
sekarang27. Tujuan dari deskripsi ini adalah untuk membuat gambaran secara
sistematis, faktual dan akurat tentang fenomena yang diselidiki.
1. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, maka teknik yang
digunakan dalam mengumpulkan data adalah wawancara. Adapun Jenis
wawancara yang digunakan adalah wawancara bebas, Hal tersebut agar dalam
penelitian didapatkan hasil yang alami dan mendalam, tetapi tetap memakai
pedoman sebagai petunjuk wawancara untuk menjadikan wawancara lebih teratur
dan terarah. Wawancara dilakukan agar penelitian ini mendapatkan data yang
benar-benar akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Adapun teknik pengumpulan data yang penulis gunakan adalah sebagai
berikut:
25
Syamsir Syam dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Sosial (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), h. 132.
26
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), h. 109.
27
1. Penelitian kepustakaan yaitu dengan membaca literatur-literatur yang ada
di perpustakaan yang ada hubunganya dengan pencatatan pernikahan.
2. Penelitian lapangan, peneliti langsung terjun ke lapangan untuk
memperoleh data-data yang berkaitan dengan pokok permasalahan.
Adapun data-data lapangan diperoleh melalui wawancara dilakukan
dengan pihak Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Bumijawa
diantaranya adalah Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan
Bumijawa, Penghulu, Pegawai Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan
Bumijawa dan warga masyarakat khususnya pada daerah pedesaan
Kecamatan Bumijawa yang bersangkutan. Dengan metode wawancara ini
diharapkan penulis dapat mengetahui secara mendalam prosedur ataupun
birokrasi suatu pencatatan pernikahan yang berlaku pada Kantor Urusan
Agama (KUA) Kecamatan Bumijawa.
Selain itu, pada penelitian ini penulis juga menggunakan teknik studi
dokumenter dan studi pustaka untuk mendapatkan data yang lebih lengkap.
Teknik ini sangat penting dilakukan, karena beberapa bahan materi terdapat dalam
dokumen, jurnal ataupun buku-buku yang terkait dengan penulisan skripsi.
2. Jenis dan Instrumen Pengumpulan Data
Terkait dengan penelitian ini menggunakan metode dan pendekatan
kualitatif, maka data yang digunakan adalah wawancara. Data kualitatif
memerlukan data-data yang diperoleh dari hasil wawancara lapangan kepada
pihak-pihak yang terkait dengan permasalahan yang sudah ditentukan, data yang
17
Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Bumijawa yang merupakan data primer
yang nantinya diolah dan dianalisa secara deskriptif. Dalam metode wawancara
ini maka instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah sebagai
berikut:
a. Pedoman Wawancara, yaitu berlaku sebagai pegangan peneliti
dalam melakukan proses wawancara agar tidak menyimpang dari
tujuan penelitian.
b. Alat Perekam, yaitu, dengan alat peneliti ini akan mudah
melakukan wawancara, hasil rekaman tersebut dianalisis secara
deskriptif.
Kemudian terkait dengan data primer, data skunder yang diperoleh dari
buku, dokumen, arsip atau jurnal, yang kesemuanya adalah sebagai pelengkap
dalam suatu landasan teoritis.
3. Analisis Data
Setelah seluruhnya data yang diperoleh dari hasil wawancara, maka data
tersebut akan dianalisa secara konten analogis, yang mana seluruh hasil
wawancara itu akan dianalisa dan disimpulkan sehingga jawaban dalam penelitian
ini dapat diketahui. Konten analogis, merupakan teknik penelitian untuk membuat
inferensi yang dapat ditiru dan sahih data yang memperhatikan konteksnya dan
analisa seperti ini berhubungan erat dengan komunikasi atau isi komunikasi.
Data yang telah diperoleh dari buku-buku, artikel-artikel, maupun tulisan
karya ilmiah kemudian diklasifikasikan untuk dimasukan ke masing-masing
hasil lapangan maka setiap poin pertanyaan dan jawaban dari wawancara
dimasukan kevariabel yang tepat untuk dapat diinterpretasikan. 4. Teknik Penulisan Skripsi
Dalam penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada buku pedoman
skripsi fakultas Syariah dan hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.28
G. Review Studi Terdahulu
Dalam review studi terdahulu penulis meringkas skripsi yang ada kaitanya
dengan pencatatan administrsi nikah diataranya adalah:
No Identitas Penulis Judul Perbedaan
1 Nurria Ningsih Pencatatan Perkawinan
Menurut UU No. 1 Tahun
1974 dan relevansinya
dengan keadaan
masyarakat
Penelitian ini tidak
hanya dilakukan
pada masyarakat
2 A. Syaadzali Mahalnya Biaya
Pernikahan sebagai pemicu
Nikah di Bawah Tangan
(Studi kasus di KUA kec.
Benda tangerang).
skripsi ini mengulas
mahalnya biaya
pernikahan sebagai
faktor seseorang
melakukan nikah di
bawah tangan.
28
19
3 Salman al-Farouqi Efektifitas Pelaksanaan
KMA No. 477 Tahun 2004
tentang pencatatan nikah
Dalam melakukan
penelitian tidak
hanya berpedoman
pada KMA N0. 477
Tahun 2004
4 Teguh Pribadi Tinjauan Yuridis Tehadap
Pencatatan Perkawinan
(Studi KUA malingping,
Banten)
Menyoroti
bagaimana KUA
memandang
pentingnya
pelaksanaan
pencatatan
perkawinan.
5 Asyhari Pandangan Tokoh
Masyarkat kecamatan
paciran terhadap pencatatn
perkawinan
Tidak hanya meneliti
dari pandangan
tokoh masyarakat
tetapi juga dari
berbagai pihak yang
dalam dimasyarakat.
6 Isti Astuti Safitri Evektifitas Pencatatan
Perkawinan pada KUA
Kecamatan Bekasi Utara
Tidak hanya
menyoroti Efektifitas
pencatatan saja
tetapi juga dari
dalam Kantor
Urusan Agama
maupun
dimasyarakat.
7 Siti Nurhairunisa
Adini
Urgenitas Pelaksanaan
Pencatatan Nikah (Studi
Kasus KUA Kecamatan
Larangan)
Tidak hanya
menyoroti hambatan
dari pelaksanaan
pencatatan nikah
tetapi juga
menyoroti
dampak-dampak dari
perkawinan yang
tidak di catatkan
8 Ima Mayasari Akibat Hukum Perkawinan
Yang tidak di catat di
KUA. (Studi kasus
perkawinan di bawah
tangan di kec. Diwek. Kab.
Jombang)
Hanya meneliti
akibat hukum yang
akan di dapat apabila
perkawinan tidak di
catat di KUA.
H. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, untuk lebih mudah memahami isi skripsi,
21
dalamnya terdiri dari beberapa sub bab. Adapun sistematika penulisanya adalah
sebagai berikut:
BAB I: PENDAHULUAN
Merupakan bab pendahuluan yang memuat latar belakang masalah,
identifikasi, pembatasan masalah, tujuan penelitian, kegunaan
penelitian, metode penelitian, review studi terdahulu dan sistematika
penulisan.
BAB II: ATURAN PERNIKAHAN DAN PENCATATAN
Dalam bab ini menerangkan pengertian pernikahan, rukun dan syarat
pernikahan, Pencatatan Pernikahan, Lembaga administrasi pencatatan
pernikahan serta Biaya pencatatan pernikahan menurut
undang-undang.
BAB III: KANTOR URUSAN AGAMA DI WILAYAH KECAMATAN
BUMIJAWA
Dalam bab ini menerangkan geografis wilayah Kantor Urusan Agama,
kedudukan kantor urusan agama, tugas dan wewenang kantor urusan
agama, struktur organisasi kantor urusan agama dan biaya
administarasi pencatatan pernikahan di Kantor Urusan Agama
Kecamatan Bumijawa. .
BAB IV: ANALISA BIAYA PENCATATAN PERNIKAHAN
Dalam bab ini menerangkan tingginya biaya administrasi pencatatan
pernikahan, apa faktor yang mengakibatkan tingginya biaya, dan
BAB V: PENUTUP
Merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran terkait
kajian yang dimaksud dari awal sampai akhir pembahasan serta
23
BAB II
ATURAN PERNIKAHAN DAN PENCATATAN
A. Pengertian Pernikahan
Pernikahan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku bagi semua
makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Ia adalah
suatu cara yang dipilih oleh Allah Swt., sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk
berkembang biak, dan melestarikan hidupnya.1
Kata “pernikahan” berasal dari kata “Nikah” atau “Zawaj” yang dari
bahasa arab dilihat secara bahasa berarti berkumpul dan mendidih atau dengan
ungkapan lain bermakna “Akad dan bersetubuh” yang secara syarat berarti akad
pernikahan.
Akad nikah yang telah dilakukan akan memberikan status kepemilikan
bagi kedua belah pihak (suami-istri), dimana status kepemilikan akibat akad
tersebut bagi si lelaki (suami) berhak memperoleh kenikmatan biologis dan segala
yang terkait itu secara sendirian tanpa dicampuri atau diikuti oleh lainya dengan
ilmu fiqih disebut “milku al-intifa” yakni hak memiliki penggunaan atau
pemakaian terhadap suatu benda (istri), yang digunakan untuk dirinya sendiri.2
Nikah (kawin) menurut arti asli ialah hubungan seksual tatapi menurut arti
majazi (mathaporic) atau arti hukum ialah aqad (perjanjian) yang menjadikan
1
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009), h. 6.
2
halal hubungan seksual sebagai suami istri antara seorang pria dengan seorang
wanita.3
Secara etimologis perkawinan dalam bahasa Arab berarti nikah atau zawaj.
Kedua kata ini yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak
terdapat dalam Al-Qur’an dan hadits Nabi. Al-Nikah mempunyai arti Al-Wath’i, Al-Dhommu, Al-Tadakhul, al-Jam’u atau ibarat ‘an al-wath wa al-aqd yang
berarti bersetubuh, hubungan badan, berkumpul, jima; dan akad.
Secara terminologis perkawinan yaitu akad yang membolehkan terjadinya
istimta’ (persetubuhan) dengan seorang wanita, selama seorang wanita tersebut
bukan dengan wanita yang diharamkan baik dengan sebab keturunan atau sebab
susuan.4
Nikah menurut Islam adalah nikah yang sesuai dengan ketentuan
ditetapkan Allah S.w.t. secara lengkap dengan rukun dan syaratnya, tidak ada
penghalang yang menghalangi keabsahanya, tidak ada unsur penipuan dari kedua
belah pihak baik suami maupun isteri atau salah satunya, serta niat kedua
mempelai sejalan dengan tuntunan syariat Islam.5
Apabila ditinjau dari segi hukum Islam bahwa pernikahan atau perkawinan
adalah suatu akad suci dan lurus antara laki-laki dan perempuan yang menjadi
sebab sahnya status sebagai suami isteri dan dihalalkannya hubungan seksual
3
M. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dari Segi Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Ind Hillco, 1990), Cet., Ke-2. h. 1.
4
Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), h. 4.
5
25
dengan tujuan mencapai keluarga sakinah, penuh kasih sayang, kebaikan dan
saling menyantuni. Di dalam hukum Islam perkawinan memiliki dalil naqli yaitu:
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi. (Qs-Annisa ayat [3]).6
Dalam bahasa indonesia kata perkawinan berasal dari kata “kawin” yang
menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan
hubungan kelamin atau bersetubuh.7Perkawinan mengandung arti perihal (urusan
dan sebagainya) kawin, pernikahan, pertemuan hewan jantan dan betina secara
seksual.8Dalam Al-Qur’an dan hadits Rasulullah SAW, pernikahan disebut dengan An-Nikah dan Az-Ziwaj az-zawaj, yang artinya berkumpul atau menindas
dan saling memasukan. Kata Nikah yang terdapat dalam surat Al-Baqarah (2) ayat
: 230, yang berbunyi:
6
A. Munir dan Sudarsono, Dasar-Dasar Agama Islam, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2013), Cet., Ke-3. h. 261-262.
7
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Nikah, (Jakarta: PT Ictiar Baru Van Hoeve, 1994), Cet., Ke-2. h. 32.
8
Artinya: Maka jika suami menolaknya (sesudah talak dua kali), maka perempuan
tidak boleh dinikahinya hingga perempuan itu kawin dengan laki-laki lain. (Qs.
Al-Baqarah [2] : 230).9
Artinya: Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu
mengigat akan kebesaran Allah. (Qs Al-Dzariyat [51] : 49).10
Ketentuan-ketentuan ini telah dituangkan di dalam firman Allah Swt
antara lain berbunyi:
Artinya: Dan dialah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan
gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. dan menjadikan padanya semua
buah-buahan berpasang-pasangan. (Qs. Ar-Ra’ad : [3]).11
Allah berfirman dalam kitab-Nya:
9
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Prenada Mulia, 2007), Cet., Ke-2. h. 36.
10
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, h. 9.
11
27
Artinya: Dan kawinilah orang yang sendirian diantara kamu dan
orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang elaki dan
hamba-hamba sahayamuyang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan
mampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah maha luas (pemberian-Nya)
lagi Maha Mengetahui. (Qs. Al-Nuur: [32]).12
Arti Nikah menurut para Ahli Ushul, sebagai berikut:
a. Ulama Syafi’iyah, berpendapat:
Kata nikah, menurut arti sebenarnya (hakiki) berarti “akad”, dan dalam
arti tidak sebenarnya (majazi) arti nikah berarti “bersetubuh” dengan
lawan jenis.
b. Ulama Hanafiyah, berpendapat:
Kata nikah, menurut arti sebenarnya (hakiki) berarti “bersetubuh”, dan
dalam arti tidak sebenarnya (majazi) arti nikah berarti “akad” yang menghalalkan hubungan kelamin antara pria dan wanita. Pendapat ini
sebaliknya dari pendapat ulama syafi’iyah.
c. Ulama Hanabilah, Abu Qasim al-Zajjad, Imam Yahya, Ibnu Hazm,
berpendapat: bahwa kata nikah untuk dua kemungkinan tersebut yang
disebutkan dalam arti sebenarnya sebagaimana terdapat dalam kedua
pendapat di atas yang disebutkan sebelumnya, mengandung dua unsur
sekaligus,13yaitu kata nikah sebagai “Akad” dan “Bersetubuh”.14
12
Mona Eliza, Pelanggaran Terhadap UU Perkawinan dan Akibat Hukumnya, (Ciputat: Adelina Bersaudara, 2009), Cet., Ke-1. h. 11-12.
13
Adapun menurut Ahli Fiqh, nikah pada hakikatnya adalah akad yang diatur
oleh agama untuk memberikan kepada pria hak memiliki dan menikmati faraj dan
atau seluruh tubuh wanita itu dan membentuk rumah tangga.15
Menurut para sarjan hukum ada beberapa pengertian perkawinan, sebagai
berikut:
a. Scholten yang dikutip oleh R. Soetojo Prawiro Hamidjojo
mengemukakan: Arti perkawinan adalah hubungan suatu hukum antara
seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersma dengan kekal
yang diakui oleh negara.
b. Subekti, mengemukakan: Arti perkawinan adalah suatu pertalian yang
sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang
lama.
c. Wirjono Prodjodikoro, mengemukakan: Arti perkawinan adalah suatu
hidup bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang
memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam perturan tersebut baik
agama maupun aturan Hukum negara.16
Dari pengertian perkawinan diatas, dapat disimpulkan beberapa
unsur-unsur dari suatu perkawinan yaitu sebagai berikut:
a. Adanya suatu hubungan hukum;
14
Chuzaimah Tahido yango dan Hafiz Anshary, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: LSIK, 1994), Cet., Ke-1. h. 53.
15
Chuzaimah Tahido yango dan Hafiz Anshary, Problematika Hukum Islam Kontemporer, h. 54.
16
29
b. Adanya seorang pria dan wanita;
c. Untuk membentuk keluarga (rumah tangga);
d. Dilakukan menurut undang-undang dan menurut hukum yang beraku.
Abu Yahya Zakariya Al-Anshary, memberikan arti “Nikah” menurut
istilah syara ialah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan
seksual dengan lafadz nikah atau dengan kata-kata yang semakna denganya.17
Dalam Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 Bab I Pasal 1 disebutkan
bahwa: “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang
bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.18
Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), seperti yang terdapat pada pasal
dinyatakan bahwa perkawinan dalam hukum Islam adalah akad yang sangat kuat
atau mitsaqan ghalidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakanya
merupakan ibadah.19Dan dijelaskan pula dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
sakinah, mawaddah dan rahmah.20
17
Abu Yahya Zakariya Al-Anshary, Fath al-Wahhab, (Singapura: Su Laiman Mar’iy, T.,t.p), h. 30.
18
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdatata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1 Tahun 1974 Sampai KHI, (Jakarta: Prenada Media Group, 2004), Cet., Ke-3. h. 43. Lihat juga, Djoko Prakoso dan I ketut Murtika, Azaz-azaz Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), Cet., Ke-1. h. 3.
19
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Prkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1 Tahun 1974 Sampai KHI, h. 43.
20
Sedangkan pernikahan didefinisikan sebagai ikatan lahir batin antara
seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri, dengan tujuan untuk
membentuk keluarga sakinah (rumah tangga) yang bahagia dan kekal.21
B. Rukun dan Syarat Pernikahan
Syarat sah dan tidaknya suatu perkawinan ditentukan oleh terpenuhinya atau
tidak semua rukun dan syarat perkawinan. Syarat dan rukun dalam sebuah hukum
fikih merupakan hasil ijtihad ulama yang diformulasikan dari dalil-dalil (nash)
serta kondisi objektif masyarakat setempat.
Rukun berasal dari kata (rakana, yarkunu, ruknan, rukunan yang artinya
tiang, sandaran, atau unsur). Yaitu suatu unsur yang merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan sah atau tidaknya
perbuatan tersebut dan ada atau tidak adanya sesuatu tersebut.22
Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya
suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkain
pekerjaan itu, seperti menutup aurat untuk shalat atau menurut Islam calon
pengantin laki-laki atau perempuan itu harus beragama Islam. Sah yaitu sesuatu
pekerjaan (ibadah) yang memenuhi rukun dan syarat.23
Dalam Islam pernikahan tidaklah semata-mata sebagai hubungan atau
kontrak keperdataan biasa, akan tetapi mempunyai nilai ibadah dan dalam
21Ma’ruf Amin,
Fatwa-Fatwa masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta: Elsas, 2008), h. 3.
22
Dahlan Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ikrar Mandiri Abadi, 2000), Cet., Ke-4. h. 1510.
23
31
Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 ditegaskan bahwa pernikahan merupakan akad
yang sangat kuat, hal tersebut dilakuakan untuk mentaati perintah Allah Swt, dan
dengan melaksanakanya merupakan suatu nilai ibadah kepada Allah Swt.24
Para ulama berbeda pandangan tentang penentuan rukun dan syarat nikah.
Menurut Hanafiyah, rukun nikah hanya terdiri dari ijab dan kabul saja. Bagi
Syafi’iyah, rukun perkawinan terdiri dari calon suami isteri, wali, dua orang saksi,
dan sighat (ijab kabul). Sedangkan menurut Malikiyah berpendapat bahwa yang
termasuk rukun nikah adalah wali, mahar calon suami isteri dan sighat.
Sementara yang dipakai oleh penduduk Indonesia yang mayoritas penduduk
mazhab Syafi’i. Yang menjadi rukun Perkawinan bagi Imam Syafi’i, menurut
Peunoh Daly dan Ahmad Rofiq ada lima.25
Dan dalam Bab IV diatur tentang rukun dan syarat Perkawinan sekalipun
tidak tegas pembedaanya satu dengan yang lain. Pasal 14 menyebutkan apa yang
biasa dalam kitab fiqh disebut dengan rukun nikah. dikatakan bahwa untuk
melaksanakan Perkawinan harus ada.26
a. Calon Suami.
Dengan syarat: hendaklah calon suami bukanlah mahrom bagi
calon isteri, calon suami haruslah ditentukan orangnya secara jelas dan
24
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, h. 69.
25
Yayan Sopyan, Islam Negara Tranformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, h. 125.
26
calon suami dalam keadaan boleh dikawin, artinya tidak dalam
keadaan ihram haji atau umrah.
b. Calon Isteri.
Dengan syarat: Tidak terdapatnya hal-hal yang dapat menghalangi
Perkawinan terhadap calon istri berkaitan dengan halangan Perkawinan
yang bersifat selamanya maupun temporer dan calon istri masih dalam
peminangan orang lain, calon istri haruslah ditentukan orangnya secara
jelas dan calon istri tidak dalam keadaan ihrom haji dan umrah.
Pada Kompilasi Hukum Islam, syarat-syarat yang berkaitan dengan
calon mempelai (suami-isteri) diatur pada pasal 15 hingga 18. Pada
pasal 15 nya, ada syarat tambahan mengenai calon suami, yakni
minimal 19 tahun, sedangkan calon isteri minimal 19 tahun.
Sedangkan pada pasal 16 dan 17 mensyaratkan adanya persetujuan dari
kedua belah pihak untuk berlangsungnya Perkawinan.27
c. Wali Nikah.
Dengan syarat: Beragama Islam, baligh, berakal, tidak terganggu
pendengaranya, bukan orang yang sedang pailit, tidak dalam keadaan
haji dan umrah.
d. Dua Orang Saksi.
Dengan syarat: Muslim, balig, berakal, merdeka, laki-laki, adil,
Pendengaran dan penglihatanya sempurna, Memahami bahasa yang
27
33
diucapkan ijab qabul, Tidak sedang mengerjakan ihram haji atau
umrah.28
e. Ijab dan Kabul.
Lafadz ijab dan kabul yang merupakan ikrar yang menyatakan
kerelaan dan keinginan dari masing-masing dalam ikatan rumah
tangga. Syarat-syarat Ijab dan kabul: adanya pernyataan mengawinkan
dari wali, adanya pernyataan mengawinkan dari suami, memakai
kata-kata nikah tazwij atau terjemahan dari kedua kata tersebut, antara Ijab
dan kabul bersambung jelas maksudnya, orang yang berkaitan dengan
Ijab kabul tidak dalam Ihram, haji, umrah dan majelis Ijab kabul itu
harus dihadiri minimal 4 orang calon suami atau wakilnya, wali dan
dua orang saksi.29
Kaitanya pada bidang Perkawinan adalah bahwa rukun perkawinan
merupakan sebagian dari hakikat Perkawinan, seperti keharusan atau kewajiban
ada kedua calon mempelai baik laki-laki dan perempuan, wali, ijab-kabul serta
dua orang saksi.30
Dalam melangsungkan dan mengurus adminstrasi pernikahan di Kantor
Urusan Agama mengacu kepada aturan hukum yakni berdasarkan Undang-undang
No. 7 tahun 1989 tentang pelaksanaan Peradilan Agama ayat (4), dan hal-hal yang
28 Asrorun Ni’an Sholeh,
Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta: Elsas, 2008), Cet., Ke-2. h. 31-32.
29
Yayan Sopyan, Islam Negara Tranformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, h. 126.
30
berkenaan dengan perkawinan dapat diatur di Peradilan Agama pada pasal 1 ayat
(1) yang menegaskan bahwa Peradilan Agama adalah Peradilan bagi orang-orang
yang beragama Islam.31
Pada tanggal 2 Januari 1974 telah disahkan oleh presiden R.I. suatu
Undang-undang Perkawinan Nasional, yaitu Undang-undang No. 1 tahun 1974
dengan peraturan pelaksanaanya PP. I No. 9 tahun 1975. Maka terhadap segenap
warga negara Indonesia yang ingin melangsungkan suatu Perkawinan berlakulah
Perkawinan yang telah diatur dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 dengan
pelaksanaanya PP. No. 9 tahun 1975.32
Setelah ditetapkanya Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan,
maka dasar berlakunya hukum Islam di bidang Perkawinan, talak dan rujuk
tentulah Undang-undang No. 1 tahun 1974, ini terutama pasal 2 ayat (1) dan pasal
2 ayat (2) yang menetapkan sebagai berikut:
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaanya itu. Tiap-tiap Perkawinan dicatat menurut
peraturan-peraturan, perundang-undangan yang berlaku.33
Sahnya suatu Perkawinan itu ditetapkan oleh ketentuan agama dan
kepercayaan mereka yang melakukan Perkawinan, berarti apabila suatu
Perkawinan yang dilakuakan bertentangan dengan ketentuan agama dan
31
Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum (Hukum Islam, Hukum Barat dan Hukum Adat), (Jakarta: Kencana, 2006), Cet., Ke-1. h. 185.
32
Djoko Prakoso dan I ketut Murtika, Azaz-azaz Hukum Perkawinan di Indonesia,h. 15.
33
35
kepercayaanya, dengan sendirinya menurut hukum Perkawinan belum sah dan
tidak mampunyai akibat hukum sebagai ikatan perkawinan.34
Adapun syarat merupakan sesuatu hal yang mesti harus dijalani dalam
Perkawinan. apabila syarat tidak dipenuhi maka bisa menimbulkan pencegahan
terhadap Perkawinan, yakni keterangan terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam
Pasal 60 ayat 1 yaitu pencegahan Perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu
Perkawinan yang dilarang hukum Islam dan peraturan perundang-undangan. Dan
pada ayat 2 yaitu pencegahan Perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau
isteri yang akan melangsungkan Perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan Perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan
Perundang-undangan.35
Menurut ulama Hanafi’yah, mengatakan bahwa sebagian syarat-syarat
pernikahan yakni berkaitan atau berhubungan dengan:
a. Akad, serta sebagian yang lainya berkaitan dengan saksi.36
1. Shihot, yaitu ibarat Ijab qabul, dengan syarat sebagai berikut:
a. Menggunakan lafad tertentu, baik dalam lafaz sarih. Misalnya
Tazwij atau Nikah.
b. Ijab-qabul dilakuakan didalam satu majelis;
c. Sighat didengar oleh orang-orang yang menyaksikan;
d. Ijab-qabul tidak berbeda maksud dan tujuan;
34
Djoko Prakoso dan I ketut Murtika, Azaz-azaz Hukum Perkawinan di Indonesia, h. 20.
35
Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam: Hukum Perkawina: Hukum Kewarisan, Hukum Perwakafan, (Bandung: Nuansa Aulia, 2008), h. 19.
36
e. Lafaz sighat tidak disebutkan untuk waktu tertentu.
2. Akad, dapat dilaksanakan dengan syarat-syarat apabila kedua calon
pengantin berakal, baligh dan merdeka.
3. Saksi, harus terdiri atas dua orang. Maka tidak sah apabila akad nikah
hanya disaksikan oleh satu orang saksi. Dan syarat-syaratnya dalah:
a. Berakal;
b. Baligh;
c. Merdeka;
d. Islam;
e. Kedua orang saksi mendengar.37
b. Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan syarat-syarat
perkawinan disebutkan dalam pasal 6 sebagai berikut:
1. Perkawinan harus didasarkan pada persetujuan kedua calon mempelai.
2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur
21 tahun harus mendapat ijin orang tua.
3. Dalam hal orang tua yang telah meninggal dunia atau dalam keadaan
tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya maka ijin yang dimaksud
ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau
dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
4. Dalam hal orang tua telah meninggal dunia atu dalam keadaan tidak
mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka ijin diperoleh dari wali,
orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah
37
37
dalam garis keturunan keatas selama mereka masih hidup dan dalam
keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
5. Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yan disebut dalam ayat (2),
(3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau diantara mereka tidak
menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat
tinggal orang yang melangsungkan perkawinan atas permintaan orang
tersebut dalam memberikan ijin setelah leboh dahulu mendengat
orang-orang tersebut dalam ayat dan pasal ini.
6. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu dari yang
bersangkutan tidak menentukan lain.38
Syarat pernikahan secara global ada lima macam yaitu:
a. Ketentuan adanya masing-masing pasangan. Karena nikah merupakan
aqd yang dilakukan secara timbal balik.
b. Keridhaan masing-masing pasangan.
c. Wali. Pernikahan tanpa wali tidak dianggap sah. Sedang syarat wali ada
tujuh yaitu: merdeka, laki-laki, adanya kesamaan agama antara wali
dengan orang yang di wali, baligh, berakal, adil dan benar.
d. Kesaksian. Pernikahan tidak dapat dilaksanakan kecuali ada dua orang
saksi.
e. Masing-masing pasangan terbebas dari larangan untuk melaksanakan
pernikahan karena suatu sebab atau karena masih ada keturunan.39
38
Rukun dan syarat Perkawinan tersebut di atas wajib dipenuhi, apabila
tidak terpenuhi maka Perkawinan yang dilangsungkan tidak sah. Disebutkan
dalam Kitab al-Fiqh’ala al-Mazahib al-Arbaah: Nikah Fasid yaitu nikah yang
tidak memenuhi syarat-syaratnya, sedang nikah batil adalah nikah yang tidak
memenuhi rukunya. Dan hukum nikah fasid dan nikah batil adalah sama yaitu
tidak sah.40
C. Pencatatan Pernikahan
Pada mulanya, syariat Islam baik dalam al-Qur’an maupun hadis tidak mengatur secara konkret tentang pencatatan Perkawinan dan akta nikah sebagai
alat bukti. Ini berbeda dengan ayat muamalah (mudayanahy) yang dalam situasi
tertentu diperintahkan untuk mencatatkannya.41
Pencatatan pernikahan dapat dijadikan sebagai alat bukti yang otentik agar
seseorang mendapatkan kepastian hukum. Hal ini sejalan dengan ajaran Islam
sebagaimana firman Allah yang termaktub dalam surat Al-Baqarah ayat 282:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah (seperti
berjual beli, hutang piutang, atau sewa menyewa dan sebagainya) tidak secara
39
Syaikh Humaidhy bin Abdul Aziz bin Muhammad, Kawin Campur Dalam Syariat Islam, (Jakarta: Pustka Al-Kautsar, 1993), Cet., Ke-3. h. 16.
40
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, h. 72.
41
39
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskanya. (Qs.Al-
Baqarah : [282]).
Ayat tersebut menjelaskan tentang pencatatan secara tertulis dalam segala
bentuk urusan muamalah, seperti perdagangan, hutang piutang dan sebagainya.42
Pencatatan pernikahan adalah pendataan administrasi perkawinan yang
ditandatangani oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dengan tujuan untuk
menciptakan ketertiban perkawinan dalam masyarakat, baik pelaksanaan
perkawinan berdasarkan hukum Islam maupun perkawinan yang dilaksanakan
oleh masyarakat yang tidak berdasarkan hukum Islam.43
Pencatatan pernikahan adalah suatu pencatatan yang dilakukan oleh
pejabat negara terhadap peristiwa Perkawinan. Dalam hal ini pegawai pencatat
nikah yang melangsungkan pencatatan, ketika akan melangsungkan akad
Perkawinan antara calon suami dan calon isteri.44
Pencatatan adalah suatu administrasi negara dalam rangka menciptakan
ketertiban dan kesejahteraan warga negaranya. Mencatat artinya memasukan
perkawinan itu dalam buku akta nikah kepada masing-masing suami isteri.
Kutipan akta nikah itu sebagai bukti otentik yang dilakukan oleh pegawai pencatat
nikah, talak dan rujuk. Juga oleh pegawai pencatat perkawinan pada Kantor
42
Happy Susanto, Nikah Sirri Apa Untungnya?, (Jakarta: Visimedia, 2007), h. 57.
43
Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 26.
44
Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan yang
berlaku mengenai pencatatan perkawinan.45
Yang dimaksud dengan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) adalah pegawai
pencatat Perkawinan dan perceraian pada KUA kecamatan bagi umat Islam dan
catatan sipil bagi nonmuslim.46Pencatatan Perkawinan adalah suatu yang
dilakukan oleh pejabat Negara terhadap peristiwa Perkawinan.47Dalam Kompilasi
Hukum Islam pada pasal 6 ayat 1 mengulangi pengertian pencatatan dimaksud
dalam artian setiap Perkawinan “harus” dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.48
Dengan demikian, maka pengertian pencatatan adalah kegiatan menulis
yang dilakukan oleh pejabat atau seseorang yang ditunjuk oleh pemerintah
mengenai suatu peristiwa yang terjadi. Sedangkan pengertian Perkawinan dalam
Ensiklopedi Indonesia adalah akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang
laki-laki dan perempuan yang keduanya bukan muhrim dan dilakukan dengan ijab
kabul.49
Pencatatan Perkawinan dimulai sejak pemberitahuan kehendak
melangsungkan Perkawinan dan berahir sesaat sesudah dilangsungkan
45
Arso Sostroatmodjo dan Awasit Aulawi, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 55-56.
46
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), Cet. Ke-1. h. 14.
47
Muhammad Zain & Mukhtar Alshadiq, Membangun Keluarga Harmonis, h. 36.
48
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: CV. Akademika Presindo, 2007), Cet., Ke-5. h. 68.
49