• Tidak ada hasil yang ditemukan

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Umum Jual Beli 1.Definisi Jual Beli 1.Definisi Jual Beli

2. Rukun dan Syarat Jual Beli a.Rukun Jual Beli a.Rukun Jual Beli

Arkan adalah bentuk jamak dari rukn.Rukun sesuatu berarti sisinya yang paling kuat, sedangkan arkan berarti hal-hal yang harus ada untuk terwujudnya satu akad dari sisi luar. Rukun jual beli ada tiga: kedua belah pihak yang berakad („aqidah), yang diakadkan (ma‟qud alaih), dan shighat (lafal). Oleh sebab itu, ada di jual belikan yang didapati diluar, sebab akad akan terjadi dari luar yang mengatakan penanaman pihak yang berakad sebagai rukun bukan secara hakiki tetapi secara istilah saja, karena ia bukan bagian dari barang yang jika terpenuhi dua hal: yang pertama shighat yaitu ijab dan qabul.

Shighat atau lafal yang menunjukan kepada barang yang diakadkan,

maka huruf Kaf dalam ucapan seorang penjual “bi tuka” menunjukan kepada

barang yang diakadkan sehingga dia menjadi rukun yang hakiki. Sebenarnya tidak ada perbedaan antara yang berakad dan barang yang diakadkan, karena

16

ta‟ mutakallim (yang berbicara) dalam ungkapan bi‟tu menunjukan kepada penjual seperti Kaf menunjukan kepada pembeli, oleh sebab itu tidak ada perbedaan antara keduanya secara mutlak. Penulis mengungkapkan rukun-rukun ini dengan ucapannya dan syarat jual beli adalah ijab seperti ucapan

bi‟tuka (saya jual kepadamu), dan mallaktuka (saya beri kamu hak milik) dan qabul seperti isyttaraitu (saya beli), tamallaktu (saya jadikan ia hak miliku), dan qabiltu (saya terima). Penulis menyebutnya disini sebagai syarat berbeda dengan apa yang diungkapkan dalam Syarh Al- Muhadzdzab dengan tiga hal ini dengan istilah rukun, mudah-mudahan maksud dari syarat yaitu setiap yang tidak boleh tidak agar dia sama dengan apa yang ada dalam Syarh Al-muhadzdzab dengan istilah rukun.

Penulis mendahulukan shigat karena ia adalah rukun yang paling penting. Sementara Imam An-Nawawi dan Al- Mahalli mendahulukannya karena pihak yang berakad dan barang yang diakadkan tidak akan pernah terwujud dengan kriteria ini yaitu salah satunya yang berakad dan barang yang diakadkan tidak akan pernah terwujud dengan kriteria ini yaitu salah satunya yang berakad dan yang lain barang yang diakadkan kecuali jika ada shighat. Adapun zat keduanya, maka tidak ada keraguan bahwa keduanya lebih dahulu ada karena zat pihak yang berakad dan barang yang diakadkan lebih dahulu ada dari pada shighat.

17 1) Shighat

Shighat adalah ijab dan qabul, dan ijab seperti yang diketahui sebelumnya diambil dari kata aujaba yang artinya meletakkan, dari pihak Penjual yaitu pemberian hak milik, dan qabul yaitu orang yang menerima hak milik. Jika Penjual berkata: “bi‟tuka” (saya jual kepadamu) buku ini dengan ini dan ini, maka ini adalah ijab, dan ketika pihak lain berkata:

“qabiltu”( saya terima), maka inilah qabul. Dan jika Pembeli berkata:

“Juallah kepadaku kitab ini dengan harga begini” lalu Penjual berkata: “Saya jual kepadamu”, maka yang pertama adalah qabul dan yang kedua

adalah ijab. Jadi dalam akad jual beli Penjual selalu menjadi uang ber-ijab dan Pembeli menjadi penerima baik diawalkan atau diakhirkan lafalnya.

2) Permaslahan Furu‟

Pertama, ucapan pembeli boleh didahulukan dari ucapan penjual,

seperti jika dia berkata: “Juallah kepadaku tanah ini dengan harga sekian,” tetapi jika dia berkata: “Saya terima”, maka ini tidak sah karena

harus ada sesuatu sebelumnya dan tidak sah karena harus ada sesuatu sebelumnya dan tidak boleh dimulai dengan itu. Inilah yang ditegaskan oleh Imam Ahmad, dan tiga lagi bentuk shighat yang sah dalam lafal qabiltu seperti yang ditegaskan oleh dua syaikh dalam bab nikah, dan jual beli juga sama, yang ini sepadan dengan makna sedangkan yang pertama sepadan dengan lafalnya.

18

Kedua, jika dia berkata: “Jual Kepadaku”, lalu dijawab: “Saya

jual kepadamu,” jual beli terjadi menurut pendapat kedua tidak sah karena

ada kemungkinan ucapan jual kepadaku sebagai pertanyaan untuk mencari tahu apakah ada keinginan atau tidak, dan mazhab kami dalam bab nikah tetap sah. Bedanya, dalam bab nikah biasanya didahului oleh lamaran sehingga tidak perlu diluruskan lagi berbeda dengan pendapat yang lebih kuat. Penulis mengisyaratkan dengan Kaf Al-khitab dalam shighat ijab melihat kepada khitab itu sendiri, dan digabungkan dengan pihak mukhatab (yang diajak bicara), maka tidak cukup hanya di sandarkan kepada sebagiannya saja walaupun ia tidak bisa berdiri sendiri bahkan sekalipun ia ingin menjelaskan dengan cara sebagian saja sebagai

satu bentuk kiasan, seperti ia berkata:”Saya jual tangan kamu,” dan ini

pendapat Al-Asnawi. Adapun jika dia berkata: “Saya jual diri kamu” dan

yang dia maukan adalah benda, maka sah akadnya. Pendapat yang unggul bahwa boleh menyandarkan sesuatu kepada sebagian jika yang dia maksudkan semuanya walaupun ia bisa hidup tanpa benda itu. Andai dia

berkata: “Saya jual yang ada di tangan kamu”, dan yang dia mkasudkan adalah semuanya, maka jual beli sah, demikian juga dia berkata : “Saya jual semua yang ada padaku”, dan yang semisal itu.

Dari sini jelas bahwa jual beli harus disandarkan kepada orang yang diajak bicara walaupun ia hanya wakil. Jika jual beli tidak disandarkan kepada orang kedua atau wakilnya, maka akad jual beli tidak

19

sah, contohnya jika pembeli berkata kepada penjual: “Saya jual barang ini dengan harga sepuluh junaih” umpamanya lalu berkata: “Saya jual”, atau dia berkata: “Saya jual wakil kamu” lalu dia menerima, maka akadnya

tidak sah, berbeda dengan nikah, dia tetap sah bahkan tidak sah nikah kecuali dengan itu sebagaimana diterangkan dalam pembahasan tentang perwakilan. Dikecualikan darin penganggapan khitabsebagai jual beli yang mengandung kedua belah pihak, dan begitu juga dengan ucapannya

“ya” jika pembeli berkata kepada penjual:”Jual baju ini dengan sepuluh junaih” dan penjual berkata:”ya”.

3) Sharih (Shighat yang jelas) dan Kinayah (Kiasan)

Para ulama tidak berbeda pendapat mengenai keabsahan jual beli yang menggunakan shighat jual beli secara sharih (jelas dan lugas),

seperti ucapan “saya jual kepadamu, saya jadikan hak milikmu, dan belilah dariku!”.

Perbedaan pendapat terjadi mengenai pemakaian kata-kata kiasan dalam jual beli.Menurut pendapat yang paling shahih, akad jual beli tetap sah dengan menggunakan kata-kata kiasan selama memang mengandung makna jual beli dan yang lainnya.Namun sebagian ulama mengatakan bahwa akad jual beli tidak sah jika menggunakan shighat kinayah (kiasan), karena orang yang diajak bicara tidak tahu apakah dia diajak bicara tentang jual beli atau yang lainnya.

20 b. Syarat Jual Beli

Agar jual beli menjadi sah, diperlukan terpenuhinya syarat-syarat sebagai berikut: Di antaranya yang berkaitan dengan orang yang berakad. Yang berkaitan dengan yang diakadkan atau tempat berakad. Artinya harta yang akan dipindahkan dari kedua belah pihak yang melakukan akad, sebagai harga atau yang dihargakan. Adapun syarat-syaratnya adalah sebagai berikut:

1) Syarat orang yang berakad

Untuk orang yang melakukan akad disyaratkan: Berakal dan dapat membedakan (memilih). Akad orang gila, orang mabuk, anak kecil yang tidak dapat membedakan (memilih) tidak sah.

Jika orang gila dapat sadar seketika dan gila seketika (kadang-kadang sadar dan (kadang-kadang-(kadang-kadang gila), maka akad yang dilakukannya pada waktu sadar dinyatakan sah, dan yang dilakukan ketika gila, tidak sah.

Akad anak kecil yang sudah dapat membedakan baik ban buruknya sesuatu. dinyatakan valid (sah), namun kevalidannya tergantung kepada izin walinya.Apabila diizinkan oleh orang tuanya maka akad yang dilakukan anak kecil sah.

2) Syarat Barang yang diakadkan a) Bersihnya barang

21

Benda-benda najis bukan hanya tidak boleh diperjual-belikan, tetapi juga tidak sah untuk diperjual-belikan.Seperti bangkai, darah, daging babi, khamar, nanah, kotoran manusia.

b) Dapat dimanfaatkan.

Yang dimaksud dengan barang harus punya manfaat adalah bahwa barang itu tidak berfungsi sebaliknya.Barang itu tidak memberikan madharat atau sesuatu yang membahayakan atau merugikan manusia.

c) Milik orang yang melakukan akad.

Tidak sah berjual-beli dengan selain pemilik langsung suatu benda, kecuali orang tersebut menjadi wali (wilayah) atau wakil.Yang dimaksud menjadi wali (wilayah) adalah bila benda itu dimiliki oleh seorang anak kecil, baik yatim atau bukan, maka walinya berhak untuk melakukan transaksi atas benda milik anak itu.

d) Mampu menyerahkannya.

Maka menjual unta yang hilang termasuk akad yang tidak sah, karena tidak jelas apakah unta masih bisa ditemukan atau tidak.Demikian juga tidak sah menjual burung-burung yang terbang di alam bebas yang tidak bisa diserahkan, baik secara fisik maupun secara hukum.Demikian juga ikan-ikan yang berenang bebas di laut, tidak sah diperjual-belikan, kecuali setelah ditangkap atau bisa dipastikan penyerahannya.

22 e) Mengetahui.

Barang yang tidak diketahui keadaanya, tidak sah untuk diperjual-belikan, kecuali setelah kedua belah pihak mengetahuinya.Baik dari segi kuantitasnya maupun dari segi kualitasnya.

Di masa modern dan dunia industri, umumnya barang yang dijual sudah dikemas dan disegel sejak dari pabrik. Tujuannya antara lain agar terjamin barang itu tidak rusak dan dijamin keasliannya. Cara ini tidak menghalangi terpenuhinya syarat-syarat jual beli. Sehingga untuk mengetahui keadaan suatu produk yang seperti ini bisa dipenuhi dengan beberapa tehnik, misalnya:

(1) Dengan membuat daftar spesifikasi barang secara lengkap. Misalnya tertera di brosur atau kemasan tentang data-data produk secara rinci. Seperti ukuran, berat, fasilitas, daya, konsumsi listrik dan lainnya.

(2) Dengan membuka bungkus contoh barang yang bisa dilakukan demo atasnya, seperti umumnya sample barang.

(3) Garansi yang memastikan Pembeli terpuaskan bila mengalami masalah.

f. Barang yang diakadkan ada di tangan.

Barang harus tersedia, atau ada dan dapat dilihat bentuknya (Sabiq, 1987: 48-49).

23 3. Macam-Macam Jual Beli

Dalam syari‟at Islam hukum jual beli pada dasarnya mubah, namun demikian dalam prakteknya dapat digolongkan menjadi 2 yakni jual beli yang diperbolehkan dan jual beli yang dilarang.

a. Jual beli yang diperbolehkan

a. Salam (pesanan), jual beli Salam adalah jual beli melalui pesanan yakni jual beli dengan cara menyerahkan uang muka terlebih dahulu kemudian barang diantar belakangan.

b. Jual beli muqayyadah (barter), jual beli muqayyadah adalah jual beli dengan cara menukar barang dengan barang seperti menukar baju dengan sepatu.

c. Jual beli muthlaq, jual beli muthlaq adalah jual beli barang dengan sesuatu yang telah disepakati sebagai alat tukar.

d. Jual beli alat tukar dengan alat tukar, jual beli alat tukar dengan alat tukar adalah jual beli barang yang biasa dipakai sebagai alat tukar dengan alat tukar lainnya seperti dinar dengan dirham (Sabiq, 1987: )

b. Jual beli yang dilarang

a. Jual beli barang yang diharamkan

Tentunya ini sudah jelas sekali, menjual barang yang diharamkan dalam Islam.Jika Allah sudah mengharamkan sesuatu, maka Dia juga mengharamkan hasil Penjualannya.Seperti menjual sesuatu yang terlarang

24

dalam agama. Rasulullah telah melarang menjual bangkai, khamr, babi, patung dan lain sebagainya yang bertentangan dengan syari‟at Islam.

Begitu juga jual beli yang melanggar syar‟i yaitu dengan cara menipu. Menipu barang yang sebenarnya cacat dan tidak layak untuk dijual, tetapi sang Penjual menjualnya dengan memanipulasi seakan-akan barang tersebut sangat berharga dan berkualitas. Ini adalah haram dan dilarang dalam agama, bagaimanapun bentuknya.

b. Barang yang tidak ia miliki

Misalnya, seorang Pembeli datang kepadamu untuk mencari barang tertentu.Tapi barang yang dia cari tidak ada padamu.Kemudian kamu/ente dan Pembeli saling sepakat untuk melakukan akad dan menentukan harga dengan dibayar sekian, sementara itu barang belum menjadi hak milik ente (kamu) atau si Penjual.Kemudian ente pergi membeli barang dimaksud dan menyerahkan kepada si Pembeli.

Jual beli seperti ini hukumnya haram, karena si pedagang menjual sesuatu yang barangnya tidak ada padanya, dan menjual sesuatu yang belum menjadi miliknya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang cara berjual beli seperti ini. Istilah kerenanya reseller.

Dalam suatu riwayat, ada seorang sahabat bernama Hakim bin Hazam Radhiyallahu 'anhu berkata kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi

wa salalm : “Wahai, Rasulullah. Seseorang datang kepadaku.Dia ingin membeli sesuatu dariku, sementara barang yang dicari tidak ada

25

padaku.Kemudian aku pergi ke pasar dan membelikan barang itu”.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

اكادْنِع اسْيال اام ْعِبات الَ

Jangan menjual sesuatu yang tidak ada padamu.” [HR Tirmidzi].

3) Jual beli Hashah

Yang termasuk jual-beli Hashah ini adalah jika seseorang membeli dengan menggunakan undian atau dengan adu ketangkasan, agar mendapatkan barang yang dibeli sesuai dengan undian yang didapat.

Sebagai contoh: Seseorang berkata: “ Lemparkanlah bola ini, dan barang

yang terkena lemparan bola ini kamu beli dengan harga sekian”. Jual beli

yang sering kita temui dipasar-pasar ini tidak sah.Karena mengandung ketidakjelasan dan penipuan.

4) Jual beli Mulamasah

Mulamasah artinya adalah sentuhan. Maksudnya jika seseorang

berkata: “Pakaian yang sudah kamu sentuh, berarti sudah menjadi

milikmu dengan harga sekian”. Atau “Barang yang kamu buka, berarti telah menjadi milikmu dengan harga sekian”.

Jual beli yang demikian juga dilarang dan tidak sah, karena tidak ada kejelasan tentang sifat yang harus diketahui dari calon Pembeli.Dan didalamnya terdapat unsur pemaksaan.

26 5) Jual Beli Najasy

Bentuk praktek najasy adalah sebagai berikut, seseorang yang telah ditugaskan menawar barang mendatangi Penjual lalu menawar barang tersebut dengan harga yang lebih tinggi dari yang biasa.Hal itu dilakukannya dihadapan Pembeli dengan tujuan memperdaya si Pembeli. Sementara ia sendiri tidak berniat untuk membelinya, namun tujuannya semata-mata ingin memperdaya si Pembeli dengan tawarannya tersebut. Ini termasuk bentuk penipuan.

Rasullulah S.A.W. telah melarang perbuatan najasy ini seperti yang terdapat di dalam hadist yang artinya:

“Janganlah kamu melakukan praktek najasy, janganlah seseorang menjual di atas Penjualan saudaranya, janganlah ia meminang di atas pinangan saudaranya dan janganlah seorang wanita meminta (suaminya) agar menceraikan madunya supaya apa yang ada dalam bejana (madunya) beralih kepadanya,” (HR Bukhari [2140] dan Muslim [1413]).

Dokumen terkait