• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN TEORITIS A. Jual Beli

3. Rukun dan Syarat Jual Beli

Menurut Wahbah Zuhaili, demikian pula menurut jumhur ulama, bahwa rukun jual beli meliputi (penjual dan pembeli), (ijab kabul), (objek akad atau

17 Al-Qur‟an Al-Karim dan Terjemahannya, h.47.

18At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, Juz 3, Nomor Hadis 1209, Maktaba Kutub Al-Mutun, Silsilah Al-„Ilm An-Nafi‟, Seri 4, 1426 H, h. 515.

19Ahmat Syafei, Fiqih Muamalah Untuk UIN, STAIN, PTAIS, dan Umum, Bandung: Pustaka Setia, Cet. Ke-10, 2001, h. 74-75.

20 Qamarul Huda, Fiqh Muamalah, h. 54.

barang)21. Sedangkan menurut minoritas ulama, rukun jual beli hanya ada satu, yakni ijab dan kabul yang menunjukkan adanya maksud untuk saling menukar atau sejenisnya (mu‟āṭah), demikian menutur ulama Hanafiyyah22.

Dalam jual beli terdapat rukun dan syarat yang harus dipenuhi, diantaranya, yaitu:

a. Aqidayn (yang membuat perjanjian), yaitu penjual dan pembeli, dengan syarat keduanya harus sudah baligh dan berakal sehingga mengerti benar tentang hakekat barang yang dijual. Adapun syarat-syarat bagi orang yang melakukan akad adalah sebagai berikut :

1) Aqil (berakal). Karena hanya orang yang sadar dan berakallah yang akan sanggup melakukan transaksi jual beli secara sempurna.

2) Tamyi, yaitu mampu membedakan mana yang baik dan yang buruk.

3) Mukhtar,yaitu tidak ada paksaan dan bebas melakukan transaksi jual beli b. Ma‟qud alaih yaitu barang yang diperjual belikan, syaratnya ialah :

1) Objek boleh dalam bentuk barang atau hak, serta milik penjual secara penuh.

2) Objek harus berupa barang ataupun hak yang dapat dimanfaatkan sesuai syariat maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3) Objek harus berwujud dan dapat diserahterimakan pada saat akad berlangsung maupun pada waktu yang telah ditentukan yang dapat dilakukan menggunakan akad jual beli salam atau akad istishna‟.

21 Wahbah Zuhaili, Al-Mu’tamad fi Al-Fiqh Al-Syafi’i,Juz 3, h. 11.

22 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatuhu, Juz 5, h. 28.

17

c. Sighat, yaitu serah terima antara penjual dengan pembeli dengan lafadz yang jelas, dengan syarat yaitu:

1) Disampaikan secara jelas ijab dan qobul agar dapat dipahami oleh kedua belah pihak

2) Adanya kesesuaian antara ijab dan qobul

3) Berada dalam satu majelis ada pada saat ijab dan qobul bersambung.

Bersambungnya akad dapat diketahui dengan adanya sikap saling mengetahui diantara kedua pihak yang melangsungkan akad, seperti kehadiran keduanya ditempat berbeda, tetapi dimaklumi oleh keduanya23.

Disamping itu para ulama juga mengemukakan syarat-syarat lain, antara lain:

a. Barang yang menjadi objek transaksi jual beli benar-benar milik penjual, artinya tidak tersangkut dengan kepemilikan orang lain24.

b. Hendaknya barang yang akan dijual ada c. Hendaknya barang yang akan dijual bernilai

d. Hendaknya barang yang akan dijual bisa diserahterimakan pada saat transaksi.

e. Kepemilikan dan otoritasnya25. f. Dan Bebas dari gharar26.

23Hadi Mulyo, Falsafah dan Hikmah Hukum Islam (Semarang: Adhi Grafika, 1992), h. 375.

24 Imam Mustofa, Fiqih Mu‟amalah Kontemporer, hlm. 28.

25 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatuhu, Juz 5, hlm. 36-37. Lihat pula dalam;

Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, hlm. 83.

26 Imam Mustofa, Fiqih Mu‟amalah Kontemporer, hlm. 28.

Pertama, barang yang menjadi objek transaksi benar-benar milik sah penjual atau orang yang melakukan akad. Dalam artian bahwa orang yang melakukan perjanjian jual beli atas suatu barang adalah pemilik sah barang tersebut dan atau telah mendapatkan izin dari pemilik sah barang tersebut27.

Kedua, hendaknya barang yang akan dijual ada. Dengan demikian, tidak sah jual yang tidak ada wujud barangnya sama sekali, seperti menjual janin dari janin hewan yang masih ada dalam kandungan, ataupun menjual sesuatu yang kemungkinan besar akan tidak, seperti janin yang masih ada dalam kandungan dan air susu yang masih ada dalam sumber asalnya28.

Ketiga, barang yang akan dijual bernilai. Perihal ini selain barang bernilai juga halal, dapat dimiliki, dapat disimpan, dan dapat dimanfaatkan sebagaimana mestinya serta tidak menimbulkan kerusakan. Demikian diantara syarat yang berkaitan dengan objek transaksi sebagaimana diutarakan oleh Mustofa29.

Keempat, barang yang akan dijual bisa diserahterimakan pada saat transaksi atau pihak penjual dapat atau mampu menyerahkan. Sehubungan dengan ini, yang dimaksud dengan mampu menyerahkan yaitu bahwa pihak penjual (baik sebagai pemilik maupun sebagai kuasa) dapat menyerahkan barang yang dijadikan objek jual beli sesuai dengan bentuk dan jumlah yang diperjanjikan pada waktu penyerahan barang kepada pihak pembeli.

27 Chairuman Pasaribu dkk, Hukum Perjanjian dalam Islam, hlm. 39

28 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatuhu, Juz 5, hlm. 60.

29 Imam Mustofa, Fiqih Mu‟amalah Kontemporer, hlm. 26.

19

Kelima, kepemilikan dan otoritasnya. Artinya masingmasing pihak yang terlibat transaksi harus cakap hukum dan merupakan pemilik otoritas atau kewenangan untuk melakukan penjualan atau pembelian suatu barang. Otoritas ini dapat diwakilkan kepada orang lain yang juga harus cakap hukum30.

Konsekuensi hukum jual beli seorang yang tidak memiliki “kepemilikan dan otoritas” tidak sah ini berdasarkan hadis berikut :

Artinya: Dari Ḥakīm Ibn Hizam, Ia berkata: Aku pernah bertanya kepada Rasulullah Saw,. Ya Rusulallah (bagaimana) tentang seseorang yang datang kepadaku, lalu meminta kepadaku supaya aku menjual sesuatu yang aku tidak memilikinya untuk kujual ?,. Ia menjawab: Janganlah engkau menjual apa yang tidak engkau miliki (H.R Imām yang lima)31.

Keenam, bebas dari gharar. Gharar sendiri secara bahasa bermakana “resiko atau bahaya”32. Paralel dengan ini, dalam kamus al-Munawir disebutkan gharar yaitu membahayakan, kebatilan dan kebohongan33. Lebih lanjut dalam bahasa al-Kattani,

30 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatuhu, Juz 5, hlm. 36.

31 Faīṣal bin „Abd al-Azīz Ali Mubārak, Bustān Al-Aḥbār Muḥtaṣar Naīl Al-Aūṭār, Terj. A.

Qadir Hassan dkk, Surabaya: Bina Ilmu Offset, Cet. Ke3, Juz 4, 2001, hlm. 1665-1666. Lihat pula;

Mālik bin Anas, Al-Muwaṭā‟, Taḥqīq Kulāl Ḥasan „Alī, Damskus: Muassasah al-Risālah, Cet. Ke-I, 2013, hlm. 491.

32 Atabik Ali dkk, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, Yogyakarta: Multi Karya Grafika, Cet. Ke-7, 2003, hlm. 1347.

33 Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir (Arab-Indonesia terlengkap), Surabaya:

Pustaka Progresif, 1997, hlm. 1001.

penerjemah buku al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuh mengartikannya dengan

“manipulasi”34.

Sedangkan menurut al-Syarakhsī (Hanafiyyah), bahwa gharar adalah jual beli yang tidak diketahui akibatnya. Menurut al-Qarafi (Malikyyah) adalah jual beli yang tidak diketahui apakah barang bisa didapat atau tidak. Menurut al-Syirazi adalah jual beli yang tidak jelas barang dan akibatnya. Menurut Ibn Taimiyyah (Hanabilah) gharar adalah transaksi dimana pembeli tidak tahu barang apa yang dibelinya dan barang apa yang dijualnya. Kesimpulannya, jual beli yang mengandung gharar adalah jual yang mengandung bahaya (kerugian) bagi salah satu pihak dan bisa mengakibatkan hilangnya harta atau barangnya.

Dokumen terkait