• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan: “Apakah terdapat perbedaan ekspresi HIF-1α pada jaringan endometriosis dibandingkan dengan endometrium normal?”

1.2 Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian ini adalah terdapat perbedaan antara ekspresi HIF-1α jaringan endometriosis dibandingkan ekspresi HIF-1α jaringan endometrium normal.

1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum

Mengetahui perbedaan ekspresi HIF-1α antara jaringan endometriosis dibandingkan jaringan endometrium normal.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui karakteristik subjek penelitian.

2. Untuk mengetahui hubungan ekspresi HIF-1α dengan endometriosis.

3. Untuk mengetahui hubungan ekspresi HIF-1α pada jaringan endometrium penderita endometriosis dengan stadium endometriosis.

1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian diharapkan menambah pengetahuan bahwa HIF-1α memiliki peranan dalam angiogenesis terkait VEGF yang menjadi salah satu teori pada kejadian endometriosis.

1.5.2 Manfaat Aplikatif

Dengan adanya peranan VEGF dalam patogenesis endometriosis, HIF-1α dapat menjadi salah satu biomarker diagnotik dan target terapi endometriosis.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Endometriosis

Endometriosis merupakan kelainan ginekologi yang ditandai dengan terjadinya proliferasi kelenjar dan stroma endometrium diluar kavum uteri.11,12 Dikatakan bahwa endometriosis adalah jaringan ektopik (tidak pada permukaan dalam uterus) yang memiliki susunan kelenjar atau stroma endometrium atau kedua-duanya dengan atau tanpa makrofag yang berisi hemosiderin dan fungsinya mirip dengan endometrium karena berhubungan dengan haid dan bersifat jinak, dan dapat menyebar ke organ lainnya seperti pada organ genitalia interna, vesica urinaria, ureter, usus, peritoneum, umbilicus, paru, bahkan dapat dijumpai di pericardium, mata dan otak.13,14

2.2 Insidensi dan Prevalensi

Insidensi keseluruhan endometriosis berkisar 5-10% pada wanita usia reproduktif dan prevalensinya dapat mencapai 20-50% pada wanita infertil dan wanita dengan nyeri pelvik kronis.

Rata-rata penderita endometriosis terdiagnosa pada usia antara 25 dan 30 tahun. Penyakit ini jarang terjadi pada wanita usia pramenarche namun dapat diidentifikasikan pada lebih dari 50% wanita yang berumur kurang dari 20 tahun dengan keluhan nyeri pelvik kronis atau dispareunia.

13,15

Belakangan ini insidensi endometriosis diperkirakan cenderung meningkat dari tahun ke tahun, terutama setelah semakin meluasnya penggunaan laparoskopi di bidang ginekologi. Di Indonesia sendiri ditemukan 15-25% wanita infertil yang disebabkan oleh endometriosis.

16,17

18

2.3 Diagnosis Endometriosis

Diagnosis endometriosis biasanya ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan dipastikan dengan laparoskopi yang merupakan gold standard. Dan endometriosis secara pasti ditegakkan berdasarkan hasil histopatologi dengan ditemukannya kelenjar dan stroma endometrium yang berasal dari jaringan diluar kavum uteri.

Anamnesis yang dapat membantu diagnosa endometriosis antara lain adanya riwayat nyeri yang berhubungan dengan siklus haid, nyeri pelvik kronik, dispareunia, dischezia, infertilitas atau perdarahan yang tidak teratur.

19

22,23

Salah satu keluhan yang paling sering dialami wanita dengan endometriosis adalah nyeri pelvik kronik mencakup dismenorea yang paling sering dilaporkan.

Meskipun demikian dismenorea tidak dapat secara pasti memprediksi endometriosis. Dismenorea yang berhubungan dengan endometriosis biasanya dimulai sebelum menstruasi dan bertahan selama menstruasi berlangsung dan dapat terjadi lebih lama dari itu. Sedangkan dispareunia terkait endometriosis biasanya terjadi sebelum menstruasi dan semakin nyeri tepat di awal menstruasi.

Nyeri ini lebih sering terjadi pada wanita dengan penyakit yang melibatkan septum rektovagina dan cul-de-sac.19,20 Mekanisme terjadinya nyeri pada endometriosis ini mungkin disebabkan oleh peradangan lokal, infiltrasi yang dalam dengan kerusakan jaringan, terlepasnya prostaglandin dan perlengketan.

Perdarahan tidak teratur yang berhubungan dengan endometriosis diperkirakan terjadi pada 11-34% penderita endometriosis. Hal ini dikatakan diakibatkan oleh adanya kelainan pada ovarium yang luas sehingga fungsi ovarium terganggu. Perdarahan ini juga dihubungkan dengan terjadinya peningkatan kadar estrogen dan berkurangnya progesteron yang mengakibatkan terganggunya keseimbangan eutopik endometrium penderita endometriosis.

14

19,20

Meskipun belum ada penjelasan yang pasti, endometriosis dihubungkan dengan infertilitas. Endometriosis dijumpai pada 20-40% wanita infertil, dan diduga ada beberapa mekanisme yang berhubungan dengan penurunan fertilitas pada wanita dengan endometriosis. Transport ovum dapat terganggu akibat adanya gangguan anatomi pada adneksa. Peradangan kronis yang mengakibatkan kadar makrofag yang cukup tinggi pada penderita endometriosis dapat mempengaruhi reseptifitas endometrium, folikulogenesis ovarium dan kerja dari saluran tuba.21 Kedua pengobatan baik medisinalis dan operatif telah digunakan untuk penanganan endometriosis terkait infertilitas. Penanganan lainnya seperti intrauterine insemination (IUI) dan IVF, juga telah digunakan pada wanita infertil dengan endometriosis.

Pemeriksaan fisik diperlukan untuk menentukan diagnosa dan penanganan yang tepat dan juga diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya penyakit lainnya yang mungkin memerlukan perhatian. Pemeriksaan harus mencakup penilaian dari posisi, ukuran dan mobilitas uterus, dimana uterus retrofleksi yang terfiksir dapat menjadi sangkaan adanya perlengketan hebat. Pemeriksaan rektovaginal mungkin diperlukan dan tepat untuk menilai ligamen uterosakral dan septum rektovaginal yang dapat menunjukkan adanya nodul pada deep infiltrating endometriosis. Massa di adneksa yang dijumpai pada pemeriksaan fisik dapat disangkakan sebagai kista endometriosis.

Pemeriksaan pada saat menstruasi dapat meningkatkan keberhasilan mendeteksi infiltrasi nodul endometriosis dan penilaian terhadap nyeri pelvik.

Pemeriksaan fisik memiliki sensitivitas, spesifisitas dan nilai duga yang lebih rendah jika dibandingkan dengan pembedahan yang merupakan gold standard endometriosis.

22

Ultrasonografi merupakan pencitraan yang paling umum untuk mendeteksi endometriosis. Dapat mendeteksi adanya suatu kelainan organ

1,16,23

panggul seperti mioma uteri dan kista ovarium.1 Pencitraan ini tidak mamadai untuk menetukan adanya lesi-lesi endometriosis superfisial yang biasanya tumbuh di sepanjang selaput peritoneum.24 Ultrasonografi transvaginal dapat sangat membantu mendiagnosis endometriosis stadium lanjut, tetapi tidak dapat digunakan untuk pencitraan adhesi pelvik atau foci superficial peritoneal.

Endometrioma dapat ditunjukkan dalam berbagai gambaran ultrasonografi, tetapi biasanya tampak sebagai struktur kistik dengan internal berdifusi rendah yang dikelilingi oleh kapsul ekogenik kering (crisp echogenic capsule). Beberapa dapat menunjukkan septa interna atau penebalan dinding nodular. Ketika karakteristik gejala dijumpai, ultrasonografi transvaginal memiliki sensitivitas 90% atau lebih dan spesifisitas hampir 100% untuk mendeteksi endometrioma.

Pencitraan dengan doopler juga dapat membantu diagnosis sonografi dimana endometrioma menerima suplai darah yang sedikit sedangkan karsinoma ovarium menerima suplai darah yang banyak. Apabila endometriosis diduga memiliki invasif yang lebih dalam terhadap organ-organ tertentu seperti usus atau kandung kemih, pemeriksaan tambahan seperti kolonoskopi, sistoskopi, ultrasonografi rektal dan MRI mungkin diperlukan.

23,24

1 MRI memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan ultrasonografi transvaginal dalam mendeteksi implan peritoneum dan memiliki sensitivitas 70% dan spesifisitas 75% untuk deteksi penyakit yang didapati dari pemeriksaan histopatologi, namun tidak dapat digunakan sebagai pencitraan utama karena harganya mahal dan memiliki sensitivitas yang buruk untuk mendeteksi lesi peritoneum maupun stadium endometriosis.23,25 MRI juga terkadang dapat menunjukkan perlengketan padat pada distorsi usus yang berada di dekatnya dan susunan anatomik di sekelilingnya.

Belum ada uji laboratorium darah yang dapat digunakan untuk diagnosa pasti endometriosis. Meskipun serum CA-125 mungkin dapat meningkat pada

24

endometriosis derajat sedang dan berat, ketentuan ini tidak dianjurkan sebagai pemeriksaan rutin. Pada suatu meta analisis dari 23 penelitian yang meneliti serum CA-125 pada wanita yang dinyatakan menderita endometriosis secara operatif, perkiraan sensitivitas dan spesifisitasnya hanya berkisar masing-masing 28% dan 90%.

Laparoskopi merupakan gold standard dalam menegakkan diagnosis suatu endometriosis dengan cara melihat langsung ke dalam rongga abdomen.

Keparahan penyakit paling baik digambarkan dengan tampilan langsung dan lokasi dari lesi endometriosis dan keterlibatan organ lainnya. Laparaskopi diagnostik tidak dibutuhkan sebelum pasien mengeluhkan gejala nyeri pelvik.

Meskipun laparoskopi dianggap sebagai prosedur yang minimal invasif, namun tetap dapat memberikan resiko pembedahan termasuk perforasi usus dan kandung kemih dan juga cedera pembuluh darah.

25

24

2.4 Klasifikasi Endometriosis

Klasifikasi endometriosis saat ini berdasarkan American Society for Reproductive Medicine (ASRM) yang merupakan revisi dari American Fertility Society (AFS). Endometriosis dibagi menjadi stadium I (minimal), stadium II (mild), stadium III (moderate), stadium IV (severe) atau dengan pembagian endometriosis minimal-ringan adalah AFS I-II dan endometriosis sedang-berat adalah AFS III-IV.19,25

Gambar 1. Stadium Endometriosis19

Sistem skoring endometriosis menurut ASRM yang telah direvisi, penilaian terhadap lesi endometriosis pada peritoneum dan tuba menggunakan nilai yang berhubungan dengan ukuran lesi. Penilaian ini juga didasarkan pada perlengketan pada ovarium dan tuba fallopi. Dan juga terdapat penilaian untuk lesi yang dijumpai pada daerah cul-de-sac posterior. Sistem skoring endometriosis diklasifikasikan sebagai berikut:

2.5 Penatalaksanaan

Penanganan endometriosis yang saat ini digunakan mencakup beberapa cara yaitu pengobatan medikamentosa, pembedahan atau kombinasi keduanya.

Pengobatan endometriosis bergantung kepada keluhan wanita yang menderita endometriosis dan penanganannya disesuaikan dengan tujuan. Untuk wanita dengan infertilitas dan nyeri terkait endometriosis perlu ditetapkan manakah yang menjadi prioritas utama dari dua pilihan pengobatan, yaitu hormonal ataukah pembedahan, karena belum ada bukti bahwa pengobatan hormonal tunggal dapat memperbaiki fertilitas dan angka residifnya sangat tinggi.

Jenis dan rancangan penanganan endometriosis perlu dirancang dan dimulai di meja operasi karena kepastian diagnosis endometriosis sebagian besar baru dapat ditegakkan pada saat laparoskopi atau laparatomi. Saat ini perencanaan penanganan endometriosis semakin bertambah rumit karena pilihannya sangat beragam.

22,23

23

Kemajuan besar telah dicapai dalam penanganan medikamentosa, meliputi GnRH agonis, GnRH antagonis, aromatase inhibitor, antagonis progesteron, modulator selektif steroid seks, antiangiogenesis, dan imunoterapi dengan vaksin. Mengingat kendala dalam biaya, seorang klinisi harus menetapkan secara ketat indikasi pemakaian obat-obatan tersebut. Untuk itu spesialis ginekologi perlu dengan baik memahami etiopatogenesis endometriosis dan juga dengan cara apa penanganan yang akan dilakukan.23

Gambar 2. Algoritme Diagnosis dan Penatalaksanaan Endometriosis15

2.6 Patogenesis

Sampai saat ini belum ada yang dapat menerangkan secara pasti penyebab terjadinya endometriosis. Namun demikian beberapa ahli mencoba menerangkan:26,27,28

• Teori implantasi dan regurgitasi (John A. Sampson)

Endometriosis terjadi karena darah haid mengalir kembali (regurgitasi) melalui tuba ke dalam rongga pelvis. Sudah dibuktikan bahwa dalam darah haid ditemukan sel-sel endometrium yang masih hidup. Sel-sel yang masih hidup ini kemudian dapat mengadakan implantasi di pelvis. Teori ini paling banyak penganutnya, tetapi teori ini belum dapat menerangkan kasus endometriosis di luar pelvis.

• Teori metaplasia (Rober Meyer)

26,27,28

Endometriosis terjadi karena rangsangan pada sel-sel epitel yang berasal dari coelom yang dapat mempertahankan hidupnya di dalam pelvis. Rangsangan ini akan menyebabkan metaplasi dari sel-sel epitel itu, sehingga terbentuk jaringan endometrium. Secara endokrinologis, epitel germinativum dari ovarium, endometrium dan peritoneum berasal dari epitel coelom yang sama. Teori Robert Meyer akhir-akhir ini semakin banyak ditentang. Disamping itu masih terbuka kemungkinan timbulnya endometroisis dengan jalan penyebaran melalui darah atau limfe, dan dengan implantasi langsung dari endometrium saat operasi.

• Teori penyebaran secara limfogen (Halban)

26,27,28

Teori ini dikemukakan atas dasar jaringan endometrium menyebar melalui saluran limfatik yang mendrainase rahim, dan kemudian diangkut ke berbagai tempat pelvis dimana jaringan tersebut tumbuh secara ektopik. Jaringan endometrium ditemukan dalam limfatik pelvis pada sampai 20% dari penderita endometriosis.

• Teori induksi

26,27,28

Teori induksi pada dasarnya menjelaskan kelanjutan dari teori metaplasia sel coelom. Bahwa endometrium yang mengalami degenerasi pada kavum abdomen melepaskan faktor-faktor yang menginduksi sebuah proses metaplastik

dalam sel-sel mesenkim yang menyebabkan terjadinya endometriosis. Adanya faktor biokimia endogen dapat menginduksi perubahan sel peritoneal menjadi jaringan endometrium.

• Teori imunologik

26,27,28

Banyak peneliti berpendapat bahwa endometriosis adalah suatu penyakit autoimun karena memiliki kriteria cenderung lebih banyak pada perempuan, bersifat familiar, menimbulkan gejala klinik, melibatkan multiorgan, dan menunjukkan aktivitas sel B-poliklonal. Di samping itu telah dikemukakan bahwa danazol yang semula dipakai untuk pengobatan endometriosis yang disangka bekerja secara hormonal, sekarang ternyata telah dipakai untuk mengobati penyakit autoimun atas dasar bahwa danazol menurunkan tempat ikatan IgG pada monosit, sehingga mempengaruhi aktivitas fagositik.26,27,28

2.7 Imunologi Endometriosis

Telah diketahui bahwa patogenesis endometriosis disebabkan oleh banyak faktor dan perkembangannya juga melibatkan faktor-faktor lain pada tingkat molekuler.27 Menurut teori implantasi endometriosis terjadi karena adanya aliran balik atau reflux dari menstruasi sehingga terjadi refluks jaringan endometrium melalui tuba fallopi menuju rongga pelvis dan sel endometrium tersebut kemudian berimplantasi. Setelah terjadinya peyebaran sel endometrium selama menstruasi, mekanisme endometriosis kemudian mengikuti beberapa tahap yaitu reflux, adhesi, preteolysis, proliferasi dan angiogenesis. Lingkungan peritoneum dari kebanyakan wanita memiliki kemampuan mereabsorbsi jaringan endometrium pada akhir periode menstruasi. Sedangkan pada beberapa wanita, proses reabsorbsi tersebut tidak terjadi secara efisien sehingga akhirnya menderita endometriosis. Hal itu dapat disebabkan oleh jaringan endometrium itu sendiri ataupun disebabkan oleh beberapa kelainan dari faktor-faktor yang ada

pada lingkungan peritoneum seperti sistem imunitas humoral dan selular, sel NK, makrofag, peritoneum, dan konsentrasi hormon lokal. Ketidakmampuan untuk mereabsorbsi implan pada peritoneum ini dapat diperburuk oleh disposisi anatomis yang sering dijumpai pada wanita dengan endometriosis dan hal ini dapat meningkatkan kejadian reflux menstruasi.

Setelah terjadi adhesi pada dinding peritoneum, sel endometrium kemudian akan berproliferasi. Berdasarkan teori metaplasia, dapat dikatakan bahwa walaupun endometriosis disebabkan oleh transformasi dari peritoneum menjadi epitel tipe mulerian, cukup jelas bahwa endometriosis merupakan suatu penyakit invasive.

27,28

30 Adhesi sel endometrium diikuti dengan invasi ke mesotelium dan sitolisis apoptosis dari jaringan endometrium ektopik oleh monosit dan makrofag peritoneum.

Apoptosis atau kematian sel yang terprogram memiliki peranan dalam homeostatis selular, mengeliminasi sel-sel dari lapisan fungsional dari endometrium pada akhir fase sekresi dan selama menstruasi. TNF-α diperkirakan merupakan signal lokal utama yang menginisiasi dan memodulasi apotosis selama menstruasi. Ketahanan dari endometrium yang mengalami reflux dapat disebabkan oleh keadaan resisten terhadap apoptosis.

28

Angiogenesis juga dikatakan memainkan peranan penting dalam patofisiologi endometriosis dikarenakan pertumbuhan lesi endometriosis membutuhkan suplai darah yang adekuat. Sama halnya dengan metastasis suatu tumor, implantasi endometrium memerlukan neovaskularisasi. Hal ini dikarenakan pada dasarnya pertumbuhan sel dikontrol berdasarkan kebutuhan oksigenasi yang dipengaruhi oleh pertumbuhan pembuluh darah melalui proses angiogenesis untuk memastikan suplai oksigen sampai pada jaringan dan sel.

29

27

Faktor-faktor yang mungkin terlibat dalam pertumbuhan endometriosis melalui neovaskularisasi berhubungan dengan pembentukan steroid, sitokin, radikal

bebas, dan faktor toksin pada lingkungan peritoneum.11 Diantara beberapa faktor angiogenik, Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) merupakan faktor angiogenik yang paling banyak diteliti saat ini. VEGF ditemukan lebih banyak pada jaringan endometrium wanita dengan endometriosis dibandingkan dengan wanita tanpa endometriosis. Peningkatan ekspersi VEGF juga ditemukan meningkat pada lesi endometrium merah dibandingkan dengan lesi endometrium hitam. Pada lesi endometrium merah, VEGF bukan hanya diekspresikan oleh makrofag, namun juga oleh beberapa sel. Korelasi dari konsentrasi yang tinggi dari VEGF dan keberadaan MMP-1 telah dilaporkan pada lesi endometriosis merah. VEGF dalam hal sebagai faktor angiogenik menyebabkan peningkatan permeabilitas dari pembuluh darah. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya kebocoran dari produk fibrin ke ruang ekstraselular yang akan meningkatkan perekrutan dari makrofag. Sekresi dari TNF-α dan IL-6 yang disekresikan oleh makrofag ketika molekul besar seperti fibrin mengaktivasi mereka, meningkatkan aktivitas angiogenik dari makrofag.

Endometriosis dikatakan juga berkaitan dengan meningkatnya aktivitas inflamasi. Beberapa penelitian membuktikan terjadi peningkatan serum marker inflamasi yang berada di dalam cairan peritoneum. Pemberian anti inflamasi pada wanita dengan endometriosis yang mengeluhkan nyeri pelvik mendukung hipotesa yang menyatakan terdapat kontribusi dari inflamasi kronis dalam patogenesis endometriosis.

27,29

28

Gambar 3. Patogenesis Endometriosis30

2.8 Hipoksia dan Inflamasi

Pada keadaan inflamasi, terjadi peningkatan faktor pertumbuhan, kemokin, sitokin, dan keseimbangan ROS yang mengakibatkan mutasi gen. Akan terjadi berbagai keadaan proinflamasi yang akan membentuk banyak radikal bebas sehingga menimbulkan keadaan hipoksia.

Hipoksia adalah suatu keadaan dimana konsentrasi oksigen dalam sel sangat rendah. Hipoksia disebabkan oleh cedera sel dimana cedera sel disebabkan oleh beberapa faktor; iskemik, anemia, penurunan perfusi oksigen disebabkan oleh masalah darah dan lain-lain. Keadaan hipoksia pada sel tumor disebabkan tingginya konsumsi oksigen akibat tingkat proliferasi yang sangat cepat dari sel tersebut, tidak adekuatnya aliran darah ke jaringan akibat kerusakan fungsi dan struktur jaringan vaskular, bertambahnya jarak difusi akibat ekspansi sel tumor serta berkurangnya kemampuan darah dalam mengangkut

31

oksigen. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa keadaan hipoksia pada sel tumor berhubungan dengan tingkat progresifitas proliferasi, peningkatan metastasis, prognosis buruk, dan resistensi sel tumor tersebut terhadap terapi.

Konsep bahwa hipoksia intra-tumor dapat memicu terjadinya keganasan juga telah banyak diketahui sejak beberapa tahun terakhir ini.

Pada keadaan hipoksia, protein Hypoxia Inducible Factor-1α (HIF-1α) berperan pentingmengendalikan respon selular dan akan mengalamidimerisasi dengan HIF-1β, membentuk faktortranskripsi HIF-1. Faktor transkripsi HIF akanterikat pada hypoxia responsive element (HREs)dalam promoter gen. Hal tersebut akan menginisiasi proses ekspresi gen yang responsif terhadap hipoksia, seperti gen Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF), Erythropoietin (EPO), dan lain-lain. Salah satu peran HIF-1 adalah mengaktivasi transkripsi gen-gen yang sangat penting dalam terbentuknya kanker, termasuk terjadinya angiogenesis, metabolisme glukosa, dan invasi sel-sel kanker.

32

Pada keadaan hipoksia juga terjadi peningkatan kadar reactive oxygen species (ROS). Saat ini, terdapat peningkatan perhatian pada fenomena ROS-dependent dalam regulasi aktivitas protein HIF-1α. Mitokondria merupakan tempat produksi ROS. Mitokondria berperan sebagai sensor untuk aktivasi HIF-1α. Mekanisme sensor O2 dan proses signaling dari ROS terhadap aktivasi protein HIF-1α memiliki jalur yang bermacam-macam pada sel yang berbeda-beda. Sampai saat ini belum ada kesepakatan pakar tentang mekanisme utama regulasi HIF-1α oleh ROS. Salah satu mekanisme regulasi HIF-1α oleh ROS adalah melalui perubahan status redoks dari sel. Pada metabolisme normal, radikal bebas anion superoksida (O2) diproduksi sebagai hasil dari rantai transfer elektron di mitokondria. Enzim MnSOD adalah antioksidan endogen yang terletak pada matriks mitokondria eukariotik dan merupakan antioksidan primer yang pertama kali berhadapan dengan radikal bebas, seperti O2.

31

33,34

Pada keadaan hipoksia kadar ROS akan meningkat. Beberapa ROS seperti O2, H2O2, OH

-normal diketahui berperan sebagai molekul signal yang menginduksi berbagai proses biologis, seperti stimulasi protein fosforilasi, Ca2+-signaling, hidrolisis fosfolipid, dan aktivasi faktor transkripsi. Saat ini, terdapat peningkatan perhatian yang tertuju pada fenomena regulasi ROS-dependent dari aktivitas protein HIF-1α. Hamanaka (2010) menyatakan H2O2 eksogen yang diberikan dalam keadaan normoksia menstabilkan protein HIF-1α, sementara itu hipoksia pada sel Hep3B dan pemberian antimicin A akan meningkatkan pembentukan ROS pada kompleks III di mitokondria dan stabilisasi HIF-1α, respon seperti ini tidak tampak pada sel yang mitokondrianya mengalami mutasi.

yang dihasilkan selama metabolisme aerobik

35 Pada penelitian lain disebutkan bahwa ROS yang dihasilkan selama hipoksia akan mengaktivasi mitogen activated protein kinasepathway (MAPK) yang akan memberikan sinyal untuk pengaktifan HIF-1α. Ekspresi protein HIF- 1α tampaknya peka terhadap perubahan kecepatan sintesis karena waktu paruhnya yang sangat pendek pada keadaan non-hipoksia.

Hipoksia menginduksi inflamasi melalui pelepasan mediator-mediator inflamasi oleh sel parenkim maupun endotel yang hipoksik. Neutrofil sebagai salah satu efektor inflamasi akut bekerja dengan membangkitkan radikal bebas.

33,34

Lingkungan mikro jaringan yang mengalami peradangan dan inflammasi ditandai dengan rendahnya tingkat oksigen dan glukosa dan meningkatnya kadar sitokin inflamasi, oksigen reaktif, dan spesies nitrogen dan metabolit. Kompleks faktor transkripsi yang diinduksi hipoksia, Hypoxia – inducible Factor (HIF) -1 diatur oleh hipoksia juga oleh berbagai macam mediator inflamasi. Dalam sistem sel kekebalan tubuh bawaan dan adaptif, HIF-1 diregulasi oleh senyawa bakteri dan virus, bahkan di bawah kondisi normoxic. Up-regulasi ini mempersiapkan

36

sel-sel ini bermigrasi ke dan berfungsi dalam hipoksia dan jaringan yang meradang. Setelah extravasasi dari pembuluh darah tersebut, aktivitas sel lebih ditingkatkan dengan stimulasi HIF-1 oleh sitokin proinflamasi seperti interleukin (IL) -1beta (β) dan tumor necrosis factor (TNF) alpha (α), dan faktor jaringan yang diekspresikan secara lokal. TNF-α yang disebabkan stimulasi HIF-1α stimulasi membutuhkan NF-kB pada tingkat stabilisasi protein HIF-1α tanpa mempengaruhi tingkat mRNA-nya. Tindakan sama, IL-1β pada stabilitas protein HIF-1α dengan memicu aktivitas NF-kB dan menghambat dimediasi degradasi protein VHL.

Fakta bahwa HIF dapat diaktifkan sebagai respons terhadap sitokin inflamasi menunjukkan HIF memainkan peran penting dalam inflamasi.

Hubungan antara induksi hipoksia dari HIF-1 dan jalur sinyal lain yang diaktifkan oleh peradangan memastikan respon dari jenis sel spesifik dan stimulus seluler yang memadai. Aktifitas yang berkepanjangan dari HIF-1 dalam kondisi peradangan, bagaimanapun, dapat berkontribusi bagi kelangsungan hidup jaringan dan sel yang rusak, sehingga memicu perkembangan endometriosis.

36,37

37

Endometrial Cell Injury

Gambar 4. Patofisiologi HIF pada Cedera Sel

2.9 Hipoksia Menginduksi Angiogenesis

Sistem vaskularisasi menghantarkan oksigen dan nutrisi kepada seluruh sel tubuh. Maka tidak mengherankan jika oksigen memiliki peran utama dalam regulasi organ tubuh yang sangat kompleks. Respon transkripsi terhadap rendahnya oksigen dimediasi oleh Hypoxia-Inducible Factor (HIF), faktor transkripsi yang mengontrol ekspresi angiogenik, metabolisme dan siklus sel gen. Oleh karena itu, jalur HIF saat ini dianggap sebagai pengaturan utama dari angiogenesis. Modulasi HIF dapat memberikan terapi yang menguntungkan bagi

Sistem vaskularisasi menghantarkan oksigen dan nutrisi kepada seluruh sel tubuh. Maka tidak mengherankan jika oksigen memiliki peran utama dalam regulasi organ tubuh yang sangat kompleks. Respon transkripsi terhadap rendahnya oksigen dimediasi oleh Hypoxia-Inducible Factor (HIF), faktor transkripsi yang mengontrol ekspresi angiogenik, metabolisme dan siklus sel gen. Oleh karena itu, jalur HIF saat ini dianggap sebagai pengaturan utama dari angiogenesis. Modulasi HIF dapat memberikan terapi yang menguntungkan bagi

Dokumen terkait