EKSPRESI HYPOXIA INDUCIBLE FACTOR-1α PADA JARINGAN ENDOMETRIOSIS
TESIS
OLEH : YASMIEN HASBY
PROGRAM STUDI MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2015
PENELITIAN INI DI BAWAH BIMBINGAN TIM – 5
Pembimbing : Dr. dr. Henry Salim Siregar, SpOG.K
dr. M. Rhiza Z. Tala, M.Ked(OG), SpOG.K
Penyanggah : dr. Ichwanul Adenin, M.Ked(OG), SpOG.K dr. Riza Rivani, SpOG.K
dr. Muara P. Lubis, M.Ked(OG), SpOG.K
Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi salah satu syarat untuk mencapai Master dalam
bidang Obstetri dan Ginekologi
LEMBAR PENGESAHAN
Penelitian ini Telah Disetujui oleh Tim-5
PEMBIMBING :
Dr. dr. Henry Salim Siregar, SpOG.K
Pembimbing I Tgl. April 2015
...
dr. M. Rhiza Z. Tala, M.Ked(OG), SpOG.K
Pembimbing II Tgl. April 2015
...
PENYANGGAH :
dr. Ichwanul Adenin, M.Ked(OG), SpOG.K
Sub.Div. Fertilitas & Endokrinologi Reproduksi Tgl. April 2015
...
dr. Riza Rivani, SpOG.K
Sub.Div. Onkologi Ginekologi Tgl. April 2015 ...
dr. Muara P.Lubis, M.Ked(OG), SpOG.K
Sub.Div. Fetomaternal Tgl. April 2015
...
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Tesis ini disusun untuk melengkapi tugas – tugas dan memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan MasterKedokteran Klinis Obstetri dan Ginekologi. Sebagai manusia biasa saya menyadari bahwa tesis ini banyak kekurangannya dan masih jauh dari sempurna, namun demikian besar harapan saya kiranya tulisan sederhana ini dapat bermanfaat dalam menambah perbendaharaan bacaan khususnya tentang :
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SW T, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penulisan tesis ini dapat diselesaikan.
”Ekspresi Hypoxia Inducible Factor-1α pada Jaringan Endometriosis”
1. Rektor Universitas Sumatera Utara dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Su ma te ra Uta ra , yan g te la h memb e rikan ke se mp atan
ke pa da sa ya un tu k mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis di Fakultas Kedokteran USU Medan.
Dengan selesainya laporan penelitian ini, perkenankanlah saya menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi – tingginya kepada yang terhormat :
2. Prof. dr. Delfi Lutan, MSc, SpOG(K), Ketua Departemen Obstetri dan Ginekologi FK USU Medan; Dr. dr. M. Fidel Ganis Siregar, M.Ked(OG), SpOG(K), Sekretaris Departemen Obstetri dan Ginekologi FK USU Medan;
Dr. dr. Henry Salim Siregar, SpOG(K), Ketua Program Studi Dokter Spesialis
Obstetri dan Ginekologi FK USU Medan; dr. M. Rhiza Z. Tala,
M.Ked(OG), SpOG(K), Sekretaris Program Studi Dokter Spesialis Obstetri
dan Ginekologi FK USU Medan; Prof. dr. M. Fauzie Sahil, SpOG(K), dr. Deri Edianto, SpOG(K), Prof. Dr. M. Jusuf Hanafiah, SpOG(K); Prof. Dr. Djafar Siddik, SpOG(K); Prof. Dr. Hamonangan Hutapea, SpOG(K); Prof. DR.
dr. M. Thamrin Tanjung, SpOG(K); Prof. Dr. R. Haryono Roeshadi,
SpOG(K); Prof. Dr. T. M. Hanafiah, SpOG(K); Prof. Dr. Budi R.
Hadibroto, SpOG(K); dan Prof. Dr. Daulat H. Sibuea, SpOG(K);
yang secara bersama-sama telah berkenan menerima saya untuk mengikuti pendidikan dokter spesialis di Departemen Obstetri dan Ginekologi.
3. Ketua Divisi Fertilitas & Endokrinologi Reproduksi dr.Ichwanul Adenin M.Ked(OG), SpOG(K) yang telah mengizinkan saya untuk
melakukan penelitian mengenai
4.
“Ekspresi Hypoxia Inducible Factor-1α pada Jaringan Endometriosis”.
5.
Dr. dr. Henry Salim Siregar, SpOG(K), dr. M. Rhiza Z. Tala, M.Ked(OG), SpOG(K), selaku pembimbing tesis saya, serta dr.
Ichwanul Adenin, M.Ked(OG), SpOG(K), dr. Riza Rivani, SpOG(K), dan dr. Muara P. Lubis, M.Ked(OG), SpOG, selaku penyanggah. Terima kasih kepada para guru saya selaku tim-5, atas bimbingan, koreksi, dan kritik yang membangun dalam rangka melengkapi penulisan dan penyusunan tesis ini hingga dapat terselesaikan dengan baik.
dr. Aswar Aboet, M.Ked(OG), SpOG(K) selaku pembimbing
refarat magister saya yang berjudul
“Ulipristal Acetate Sebagai Penanganan Non Operatif Mioma Uteri”6. dr. Yostoto B. Kaban,
7.
S p O G ( K ) s el a k u b a p ak a n g k a t s a y a s e l am a m e nj al a ni m a s a pendidik an, yang telah bany ak m engay om i, m em bim bing dan m em berikan nasehat yang bermanfaat kepada saya selama dalam pendidikan.
8.
Ketua Departemen Patologi Anatomi FK USU, dr. T. Ibnu Alferraly, SpPA, dr. Jessy Chrestella, M.Ked(PA), SpPA dan dr. Lydia Imelda, M.Ked(PA), SpPA yang telah memberikan izin dan membantu saya melakukan penelitian ini.
9. Direktur RSUP. H. Adam Malik Medan yang telah memberikan kesempatan dan sarana kepada saya untuk bekerja sama selama mengikuti pendidikan Magister Kedokteran Klinis Obstetri dan Ginekologi di Departemen Obstetri dan Ginekologi.
Seluruh Staf Pengajar Departemen Obstetri dan Ginekologi FK USU Medan, yang secara langsung telah banyak membimbing dan mendidik saya sejak awal hingga akhir pendidikan. Semoga Allah SWT membalas budi baik guru-guru saya.
10. Direktur RSUD. Dr. Pirngadi Medan yang telah memberi kesempatan dan sarana kepada saya untuk bekerja sama selama bertugas di rumah sakit tersebut.
11.
K e p ad a se lu ruh te ma n se ja wa t P P DS ya n g tida k d a pa t sa ya se b u tkan n a man ya sa tu p e rsa tu , dokter muda, bidan, paramedik, karyawan / karyawati di Departemen Obstetri dan Ginekologi FK USU dan pasien pasien yang telah ikut membantu dan bekerja sama dengan saya dalam menjalani pendidikan Magister Kedokteran Klinis Obstetri dan Ginekologi FK USU / RSUP. H.Adam Malik.
Tiada kata yang dapat saya ucapkan selain rasa syukur kepada Allah SW Tdan se mbah su jud serta te rima ka sih yang tida k te rh ingga sa ya sa mpa ikan kepada kedua orang tua saya yang sangat saya cintai, Papadr. H. M. Nauni Hasby dan Mama Hj.Fauzia Fatmi Siregaryang telah membesarkan, membimbing, mendoakan, serta mendidik saya dengan penuh kesabaran dan kasih sayang dari sejak kecil hingga kini.
Kepada saudara-saudara saya Bang Yufin dan Kak Indri, Bang Yasir dan Kak Mimi, Bang Yafis dan Yuke, terimakasih atas bantuan doa dan dukungan kepada saya selama menjalani pendidikan ini dan kepada lima orang keponakan tersayang, Hasya, Aka, Haqi, Araf dan Cempaka yang telah menjadikan hari-hari saya lebih ceria sejak kehadirannya.
Kepada teman-teman terdekat “The Tingers” dan “Senang Bersamamu” terimakasih telah menjadi teman berbagi cerita, teman dikala senang maupun susah.
Kepada seluruh keluarga handai tolan yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu persatu, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang telah banyak memberikan bantuan, dukungan dan doa, saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
S e mo g a A l la h SW T se n a n t ia sa me m b e r i k a n ra h ma t d a n h i d a ya h - N ya ke p a d a k it a semua. Amin Ya Rabbal ’Alamin.
Medan, April 2015
dr. Yasmien Hasby
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ...i
DAFTAR SINGKATAN ...x
DAFTAR GAMBAR ...xii
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ...1
1.2 Rumusan Masalah ...4
1.3 Hipotesis Penelitian ...4
1.4 Tujuan Penelitian ...4
1.4.1 Tujuan Umum ...4
1.4.2 Tujuan Khusus ...4
1.5 Manfaat Penelitian ...5
1.5.1 Manfaat Teoritis ...5
1.5.2 Manfaat Aplikatif...5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Endometriosis ...6
2.2 Insidensi dan Prevalensi ...6
2.3 Diagnosis Endometriosis...7
2.4 Klasifikasi Endometriosis ...11
2.5 Penatalaksanaan ...13
2.6 Patogenesis ...15
2.7 Imunologi Endometriosis ...17
2.8. Hipoksia dan Inflamasi ...20
2.9 Hipoksia Menginduksi Angiogenesis ...24
2.10 Hypoxic-inducible Factor (HIF)-1α ...27
2.11 HIF-1α pada Endometriosis ...30
2.11.1 Prostaglandin ...31
2.11.2 Estrogen ...34
2.11.3 Leptin ...35
2.11.4 Faktor Angiogenik ...36
2.12 Kerangka Teori ...37
2.13 Kerangka Konsep ...38
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian ...39
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ...39
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian...39
3.3.1 Populasi Penelitian ...39
3.3.1 Sampel Penelitian ...40
3.4 Kriteria Penelitian ...41
3.4.1 Kriteria Inklusi ...41
3.4.2 Kriteria Eksklusi ...41
3.5 Identifikasi Variabel ...41
3.6 Definisi Operasional ...42
3.7 Cara Kerja dan Teknik Pengumpulan Data ...44
3.8 Kerangka Kerja ...45
3.9 Analisis Statistik ...46
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...47
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...53
5.1 Kesimpulan ...53
5.2 Saran ...53
DAFTAR PUSTAKA ...55
LAMPIRAN ...63
DAFTAR SINGKATAN AFS : American Fertility Society
ASRM : American Society for Reproductive Medicine bFGF : Basic Fibroblast Growth Factor
bHLH-P : Basic Helix Loop Helix-Per/Arnt/Sim CA-125 : Cancer Antigen 125
COX-2 : Cyclo-oxigenase-2 CYR61 : Cysteine-rich 61
DUSP2 : Dual Specificity Phosphatase2
EPO : Erythropoietin
ER : Estrogen
ERK : Extracellular Signal Regulated Kinase
GPR : G-protein
HCC : Hepatocellular Carcinoma HIF-1α : Hypoxia-Inducible Factor-1α HREs : Hypoxia Response Elements
IL : Interleukin
IUI : Intrauterine Insemination
IVF :
JNK : c-Jun N-terminal Kinase In Vitro Fertilization
MAPK : Mitogen Activated Protein Kinase MMP : Matrix Metalloproteinase
MPC-1 : Monocyte Chemoattractant Protein-1 MRI : Magnetic Resonance Imaging
mRNA : messenger Ribonucleic Acid
NK : Natural Killer
ODDD : Oxygen-Dependent Degradation Domain PDGF : Platelet Derived Growth Factor
PG : Prostaglandin
PH : Prolyl Hydroxylase
PHDs : Prolyl Hydroxylases
PlGF :
PL : Phospholipase
Phosphatidylinositol-glycan Factor ROS : Reactive Oxidative Stress
SIM : Single Minded Homologue
TNF : Tumor Necrosing Factor
VEGF : Vascular Endothelial Growth Factor VHL : Von HippelLindau Protein
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Stadium Endometriosis ...12
Gambar 2. Algoritme Diagnosis dan Penatalaksanaan Endometriosis ...14
Gambar 3. Patogenesis Endometriosis ...20
Gambar 4. Patofisiologi HIF pada cedera sel ...24
Gambar 5. Regulasi Angiogenesis tergantung Oksigen melalui Faktor Angiogenik Hypoxia-inducible Factor (HIF) ...25
Gambar 6. Skema Representatif Struktur HIF-α dan HIF-β dan DNA Binding ....28
Gambar 7. Regulasi Aktivitas Hypoxia-inducible Factor (HIF) ...30
EKSPRESI HYPOXIA INDUCIBLE FACTOR-1α PADA JARINGAN ENDOMETRIOSIS
Yasmien Hasby, Henry Salim Siregar, M Rhiza Z Tala, Ichwanul Adenin, Riza Rivani, Muara P Lubis, Jessy Chrestella, Betty
Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara
Abstrak
Latar belakang: Endometriosis merupakan salah satu penyakit jinak yang sering dijumpai oleh para ahli di bidang ginekologi. Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) merupakan salah satu faktor angiogenik yang produksinya diatur oleh hipoksia. Inflamasi yang diinduksi hipoksia akan memicu sitokin proinflamasi seperti IL-1β dan TNF-α yang akan menyebabkan upregulasi HIF, dimana HIF- 1α sangat berpengaruh terhadap keadaan hipoksia. Perbedaan ekspresi HIF-1α antara jaringan endometriosis dan endometrium normal masih kontroversial.
Tujuan: Untuk mengetahui perbedaan antara ekspresi HIF-1α antara jaringan endometriosis dibandingkan ekspresi HIF-1α jaringan endometrium normal.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian analitik dengan desain penelitian cross sectional yang bertempat di Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara bulan April 2015. Sampel penelitian adalah 23 blok parafin jaringan endometriosis dan 23 blok parafin 23 endometrium normal yang dibuktikan dengan pemeriksaan histopatologi. Jaringan diwarnai dengan pewarnaan imunohistokimia dengan antibodi HIF-1α dan interpretasi sediaan dilakukan oleh dua ahli patologi anatomi. Untuk melihat perbedaan antara kedua kelompok dilakukan uji fischer exact.
Hasil: Intensitas ekspresi HIF1-α berbeda secara signifkan antara kedua kelompok (p<0,001). Kelompok endometriosis menunjukkan ekspresi HIF1-α terbanyak adalah +2 atau +3 sedangkan ekspresi HIF1-α negatif terbanyak pada kelompok non endometriosis. Tidak ada kelompok endometriosis dengan ekspresi HIF1-α negatif dan tidak ada kelompok non endometriosis yang menunjukkan ekspresi HIF1-α +3.
Kesimpulan:Terdapat perbedaan yang bermakna antara ekspresi HIF-1α pada jaringan endometriosis dibandingkan jaringan endometrium normal.
Kata Kunci: endometriosis; hipoksia; angiogenik; inflamasi
EXPRESSION OF HYPOXIA INDUCIBLE FACTOR-1α IN ENDOMETRIOSIS Yasmien Hasby, Henry Salim Siregar, M Rhiza Z Tala, Ichwanul Adenin, Riza
Rivani, Muara P Lubis, Jessy Chrestella, Lidya Imelda
Department of Obstetrics and Gynecology School of Medicine Universitas Sumatera Utara, Department of Pathology School of Medicine Universitas
Sumatera Utara
Abstract
Background: Endometriosis is one of benign diseases which is often encountered by gynecologists. Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) is one of the angiogenic factors which is regulated by hypoxia. Inflammation that induced by hypoxia will trigger proinflammatory cytokines such as IL-1β and TNF- α causing HIF upregulation. HIF-1α is very affected on hypoxia. The difference of HIF-1α expression between endometriosis and normal endometrium is still controversial.
Objective: To determine the difference between HIF-1α expression in endometriosis tissue and normal endometrium.
Method: This study is an analytic study with cross sectional method at Department of Pathology in April 2015. Samples were 23 paraffin block of endometriosis tissue and 23 paraffin block of normal endometrium attested from histophatology. Tissues were stained with immunohistochemical staining with HIF-1α antibody and the preparations were interpreted by two pathologists.
Result: The intensity of HIF-1α expression were significantly different between two groups (p< 0,001). Endometriosis group showed that most HIF-1α expression were +2 or +3, while the majority of HIF-1α expression negative on non- endometriosis group. No endometriosis group with negative HIF-1α expression and otherwise no non-endometriosis group showed HIF-1α expression +3.
Conclusion: There was significant difference between the expression of HIF-1α in endometriosis tissue compared to normal endometrium tissue.
Key words: endometriosis; hypoxia; angiogenic; inflammation; cytokin
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Endometriosis merupakan salah satu penyakit jinak yang sering dijumpai oleh para ahli di bidang ginekologi. Penyakit ini mempengaruhi kurang lebih 5- 10% wanita usia reproduktif di Amerika Serikat dan selama 30 tahun terakhir ini menunjukkan angka kejadian yang meningkat.1 Endometriosis yang didefinisikan sebagai adanya kelenjar dan stroma endometrium diluar rongga kavum uteri, merupakan penyakit yang dihubungkan dengan nyeri pelvik, nyeri haid, dispareunia dan infertilitas. Wanita yang mengalami endometriosis paling banyak pada masa reproduksi dikarenakan pembentukan dan pertumbuhan lesi endometriosis dipengaruhi oleh estrogen.
Beberapa teori telah banyak diungkapkan namun hingga saat ini patogenesis dan etiologi terjadinya endometriosis masih belum dapat dijelaskan dengan pasti. Namun saat ini didapati beberapa pandangan baru dari penelitian- penelitian terakhir dengan menggunakan metode genetik, molekuler dan biokimia baru antara lain adanya polimorfisme beberapa gen yang berhubungan dengan endometriosis, pengaruh dari endokrin dan reseptornya, peranan apoptosis, sistem imunitas, angiogenesis, suasana lingkungan di peritoneum yang telah membantu menjelaskan mekanisme endometriosis dan memberikan pendekatan baru terhadap diagnosis dan pengobatan penyakit yang cukup kompleks ini.
2
Angiogenesis dikatakan memiliki peranan penting dalam patofisiologi endometriosis, menjadikannya target baru yang potensial untuk terapi penyakit ini.
3,4,5
2 Angiogenesis merupakan pembentukan pembuluh darah baru yang dibentuk dari pembuluh darah yang sudah ada yang melibatkan interaksi molekuler, salah satunya adalah Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF). VEGF berperan
dalam meningkatkan mitogenik sel spesifik endotelial dan aktifitas permeabilitas pembuluh darah.6 Produksi VEGF diatur oleh berbagai rangsangan. Hipoksia adalah salah satu faktor yang paling ampuh menghasilkan ekspresi VEGF.
Hypoxia-Inducible Factor-1α (HIF-1α) diyakini memainkan peranan dalam angiogenesis terkait VEGF.
Terdapat beberapa jenis VEGF yang dikenal, diantaranya VEGF-A, VEGF-B, VEGF-C, VEGF-D, VEGF-E, VEGF-F dan PlGF. VEGF-A adalah jenis VEGF yang banyak ditemukan pada sel glandular epitel dan stroma dari endometrium baik eutopik maupun ektopik endometrium yang diketahui mempunyai peranan pada angiogenesis secara umum dan juga angiogenesis pada proliferasi endometrium.
2
Ekspresi VEGF-A dapat diinduksi dengan keadaan hipoksia. Kebutuhan oksigen ditransportasikan oleh eritrosit yang bersirkulasi, yang produksinya dikontrol oleh glycoprotein hormone erythropoietin (EPO). Dengan adanya peningkatan kebutuhan oksigen akan membutuhkan pertumbuhan pembuluh darah baru. Keadaan hipoksia akan meningkatkan dan mengaktifkan Hypoxia- Inducible Protein-1 (HIF-1) yang akan meningkatkan ekspresi gen VEGF dan gen reseptor VEGF. HIF-1 merupakan faktor transkripsi yang paling penting untuk gen regulasi-hipoksia. HIF-1 merupakan heterodimer yang terdiri dari HIF-1α dan HIF-1β. HIF-1β lebih stabil, sedangkan HIF-1α sangat berpengaruh terhadap keadaan hipoksia.
7,8,9
HIF-1α merupakan faktor transkripsi berupa protein dengan struktur helix- loop-helix yang tersebar dalam sel mamalia. Dalam keadaan normal HIF-1α akan dihidroksilasi oleh prolyl hydroxylase (PH), kemudian akan berikatan dengan Von Hippel Lindau Protein (VHL) yang selanjutnya akan didegradasi. Bentuk heterodimer ini mengikat elemen yang respon terhadap hipoksia pada berbagai gen seperti enzim glikolitik, eritropoetin dan VEGF.
2,9
2
Perbedaan ekspresi HIF-1α antara jaringan endometriosis ektopik dan endometrium eutopik masih kontroversial. Penelitian Xu dkk (2006) menunjukkan ekspresi HIF-1α secara signifikan meningkat pada endometrium ektopik daripada pada endometrium yang normal (P <0,01), Ekspresi ini tidak mengalami perubahan dalam siklus menstruasi normal pada ketiga tipe endometrium (tidak ada perbedaan yang signifikan (P> 0,05)). Dari penelitian tersebut mereka menyimpulkan bahwa ekspresi HIF-1α meningkat secara signifikan pada pasien dengan endometriosis, yang menunjukkan bahwa HIF-1α berkaitan erat dengan patogenesis endometriosis.10
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan: “Apakah terdapat perbedaan ekspresi HIF-1α pada jaringan endometriosis dibandingkan dengan endometrium normal?”
1.2 Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini adalah terdapat perbedaan antara ekspresi HIF-1α jaringan endometriosis dibandingkan ekspresi HIF-1α jaringan endometrium normal.
1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum
Mengetahui perbedaan ekspresi HIF-1α antara jaringan endometriosis dibandingkan jaringan endometrium normal.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui karakteristik subjek penelitian.
2. Untuk mengetahui hubungan ekspresi HIF-1α dengan endometriosis.
3. Untuk mengetahui hubungan ekspresi HIF-1α pada jaringan endometrium penderita endometriosis dengan stadium endometriosis.
1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian diharapkan menambah pengetahuan bahwa HIF-1α memiliki peranan dalam angiogenesis terkait VEGF yang menjadi salah satu teori pada kejadian endometriosis.
1.5.2 Manfaat Aplikatif
Dengan adanya peranan VEGF dalam patogenesis endometriosis, HIF- 1α dapat menjadi salah satu biomarker diagnotik dan target terapi endometriosis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Endometriosis
Endometriosis merupakan kelainan ginekologi yang ditandai dengan terjadinya proliferasi kelenjar dan stroma endometrium diluar kavum uteri.11,12 Dikatakan bahwa endometriosis adalah jaringan ektopik (tidak pada permukaan dalam uterus) yang memiliki susunan kelenjar atau stroma endometrium atau kedua-duanya dengan atau tanpa makrofag yang berisi hemosiderin dan fungsinya mirip dengan endometrium karena berhubungan dengan haid dan bersifat jinak, dan dapat menyebar ke organ lainnya seperti pada organ genitalia interna, vesica urinaria, ureter, usus, peritoneum, umbilicus, paru, bahkan dapat dijumpai di pericardium, mata dan otak.13,14
2.2 Insidensi dan Prevalensi
Insidensi keseluruhan endometriosis berkisar 5-10% pada wanita usia reproduktif dan prevalensinya dapat mencapai 20-50% pada wanita infertil dan wanita dengan nyeri pelvik kronis.
Rata-rata penderita endometriosis terdiagnosa pada usia antara 25 dan 30 tahun. Penyakit ini jarang terjadi pada wanita usia pramenarche namun dapat diidentifikasikan pada lebih dari 50% wanita yang berumur kurang dari 20 tahun dengan keluhan nyeri pelvik kronis atau dispareunia.
13,15
Belakangan ini insidensi endometriosis diperkirakan cenderung meningkat dari tahun ke tahun, terutama setelah semakin meluasnya penggunaan laparoskopi di bidang ginekologi. Di Indonesia sendiri ditemukan 15- 25% wanita infertil yang disebabkan oleh endometriosis.
16,17
18
2.3 Diagnosis Endometriosis
Diagnosis endometriosis biasanya ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan dipastikan dengan laparoskopi yang merupakan gold standard. Dan endometriosis secara pasti ditegakkan berdasarkan hasil histopatologi dengan ditemukannya kelenjar dan stroma endometrium yang berasal dari jaringan diluar kavum uteri.
Anamnesis yang dapat membantu diagnosa endometriosis antara lain adanya riwayat nyeri yang berhubungan dengan siklus haid, nyeri pelvik kronik, dispareunia, dischezia, infertilitas atau perdarahan yang tidak teratur.
19
22,23
Salah satu keluhan yang paling sering dialami wanita dengan endometriosis adalah nyeri pelvik kronik mencakup dismenorea yang paling sering dilaporkan.
Meskipun demikian dismenorea tidak dapat secara pasti memprediksi endometriosis. Dismenorea yang berhubungan dengan endometriosis biasanya dimulai sebelum menstruasi dan bertahan selama menstruasi berlangsung dan dapat terjadi lebih lama dari itu. Sedangkan dispareunia terkait endometriosis biasanya terjadi sebelum menstruasi dan semakin nyeri tepat di awal menstruasi.
Nyeri ini lebih sering terjadi pada wanita dengan penyakit yang melibatkan septum rektovagina dan cul-de-sac.19,20 Mekanisme terjadinya nyeri pada endometriosis ini mungkin disebabkan oleh peradangan lokal, infiltrasi yang dalam dengan kerusakan jaringan, terlepasnya prostaglandin dan perlengketan.
Perdarahan tidak teratur yang berhubungan dengan endometriosis diperkirakan terjadi pada 11-34% penderita endometriosis. Hal ini dikatakan diakibatkan oleh adanya kelainan pada ovarium yang luas sehingga fungsi ovarium terganggu. Perdarahan ini juga dihubungkan dengan terjadinya peningkatan kadar estrogen dan berkurangnya progesteron yang mengakibatkan terganggunya keseimbangan eutopik endometrium penderita endometriosis.
14
19,20
Meskipun belum ada penjelasan yang pasti, endometriosis dihubungkan dengan infertilitas. Endometriosis dijumpai pada 20-40% wanita infertil, dan diduga ada beberapa mekanisme yang berhubungan dengan penurunan fertilitas pada wanita dengan endometriosis. Transport ovum dapat terganggu akibat adanya gangguan anatomi pada adneksa. Peradangan kronis yang mengakibatkan kadar makrofag yang cukup tinggi pada penderita endometriosis dapat mempengaruhi reseptifitas endometrium, folikulogenesis ovarium dan kerja dari saluran tuba.21 Kedua pengobatan baik medisinalis dan operatif telah digunakan untuk penanganan endometriosis terkait infertilitas. Penanganan lainnya seperti intrauterine insemination (IUI) dan IVF, juga telah digunakan pada wanita infertil dengan endometriosis.
Pemeriksaan fisik diperlukan untuk menentukan diagnosa dan penanganan yang tepat dan juga diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya penyakit lainnya yang mungkin memerlukan perhatian. Pemeriksaan harus mencakup penilaian dari posisi, ukuran dan mobilitas uterus, dimana uterus retrofleksi yang terfiksir dapat menjadi sangkaan adanya perlengketan hebat. Pemeriksaan rektovaginal mungkin diperlukan dan tepat untuk menilai ligamen uterosakral dan septum rektovaginal yang dapat menunjukkan adanya nodul pada deep infiltrating endometriosis. Massa di adneksa yang dijumpai pada pemeriksaan fisik dapat disangkakan sebagai kista endometriosis.
Pemeriksaan pada saat menstruasi dapat meningkatkan keberhasilan mendeteksi infiltrasi nodul endometriosis dan penilaian terhadap nyeri pelvik.
Pemeriksaan fisik memiliki sensitivitas, spesifisitas dan nilai duga yang lebih rendah jika dibandingkan dengan pembedahan yang merupakan gold standard endometriosis.
22
Ultrasonografi merupakan pencitraan yang paling umum untuk mendeteksi endometriosis. Dapat mendeteksi adanya suatu kelainan organ
1,16,23
panggul seperti mioma uteri dan kista ovarium.1 Pencitraan ini tidak mamadai untuk menetukan adanya lesi-lesi endometriosis superfisial yang biasanya tumbuh di sepanjang selaput peritoneum.24 Ultrasonografi transvaginal dapat sangat membantu mendiagnosis endometriosis stadium lanjut, tetapi tidak dapat digunakan untuk pencitraan adhesi pelvik atau foci superficial peritoneal.
Endometrioma dapat ditunjukkan dalam berbagai gambaran ultrasonografi, tetapi biasanya tampak sebagai struktur kistik dengan internal berdifusi rendah yang dikelilingi oleh kapsul ekogenik kering (crisp echogenic capsule). Beberapa dapat menunjukkan septa interna atau penebalan dinding nodular. Ketika karakteristik gejala dijumpai, ultrasonografi transvaginal memiliki sensitivitas 90% atau lebih dan spesifisitas hampir 100% untuk mendeteksi endometrioma.
Pencitraan dengan doopler juga dapat membantu diagnosis sonografi dimana endometrioma menerima suplai darah yang sedikit sedangkan karsinoma ovarium menerima suplai darah yang banyak. Apabila endometriosis diduga memiliki invasif yang lebih dalam terhadap organ-organ tertentu seperti usus atau kandung kemih, pemeriksaan tambahan seperti kolonoskopi, sistoskopi, ultrasonografi rektal dan MRI mungkin diperlukan.
23,24
1 MRI memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan ultrasonografi transvaginal dalam mendeteksi implan peritoneum dan memiliki sensitivitas 70% dan spesifisitas 75% untuk deteksi penyakit yang didapati dari pemeriksaan histopatologi, namun tidak dapat digunakan sebagai pencitraan utama karena harganya mahal dan memiliki sensitivitas yang buruk untuk mendeteksi lesi peritoneum maupun stadium endometriosis.23,25 MRI juga terkadang dapat menunjukkan perlengketan padat pada distorsi usus yang berada di dekatnya dan susunan anatomik di sekelilingnya.
Belum ada uji laboratorium darah yang dapat digunakan untuk diagnosa pasti endometriosis. Meskipun serum CA-125 mungkin dapat meningkat pada
24
endometriosis derajat sedang dan berat, ketentuan ini tidak dianjurkan sebagai pemeriksaan rutin. Pada suatu meta analisis dari 23 penelitian yang meneliti serum CA-125 pada wanita yang dinyatakan menderita endometriosis secara operatif, perkiraan sensitivitas dan spesifisitasnya hanya berkisar masing-masing 28% dan 90%.
Laparoskopi merupakan gold standard dalam menegakkan diagnosis suatu endometriosis dengan cara melihat langsung ke dalam rongga abdomen.
Keparahan penyakit paling baik digambarkan dengan tampilan langsung dan lokasi dari lesi endometriosis dan keterlibatan organ lainnya. Laparaskopi diagnostik tidak dibutuhkan sebelum pasien mengeluhkan gejala nyeri pelvik.
Meskipun laparoskopi dianggap sebagai prosedur yang minimal invasif, namun tetap dapat memberikan resiko pembedahan termasuk perforasi usus dan kandung kemih dan juga cedera pembuluh darah.
25
24
2.4 Klasifikasi Endometriosis
Klasifikasi endometriosis saat ini berdasarkan American Society for Reproductive Medicine (ASRM) yang merupakan revisi dari American Fertility Society (AFS). Endometriosis dibagi menjadi stadium I (minimal), stadium II (mild), stadium III (moderate), stadium IV (severe) atau dengan pembagian endometriosis minimal-ringan adalah AFS I-II dan endometriosis sedang-berat adalah AFS III-IV.19,25
Gambar 1. Stadium Endometriosis19
Sistem skoring endometriosis menurut ASRM yang telah direvisi, penilaian terhadap lesi endometriosis pada peritoneum dan tuba menggunakan nilai yang berhubungan dengan ukuran lesi. Penilaian ini juga didasarkan pada perlengketan pada ovarium dan tuba fallopi. Dan juga terdapat penilaian untuk lesi yang dijumpai pada daerah cul-de-sac posterior. Sistem skoring endometriosis diklasifikasikan sebagai berikut:
• Stadium 1 (minimal) : 1-5
19
• Stadium 2 (mild) : 6-15
• Stadium 3 (moderate) : 16-40
• Stadium 4 (severe) : >40
2.5 Penatalaksanaan
Penanganan endometriosis yang saat ini digunakan mencakup beberapa cara yaitu pengobatan medikamentosa, pembedahan atau kombinasi keduanya.
Pengobatan endometriosis bergantung kepada keluhan wanita yang menderita endometriosis dan penanganannya disesuaikan dengan tujuan. Untuk wanita dengan infertilitas dan nyeri terkait endometriosis perlu ditetapkan manakah yang menjadi prioritas utama dari dua pilihan pengobatan, yaitu hormonal ataukah pembedahan, karena belum ada bukti bahwa pengobatan hormonal tunggal dapat memperbaiki fertilitas dan angka residifnya sangat tinggi.
Jenis dan rancangan penanganan endometriosis perlu dirancang dan dimulai di meja operasi karena kepastian diagnosis endometriosis sebagian besar baru dapat ditegakkan pada saat laparoskopi atau laparatomi. Saat ini perencanaan penanganan endometriosis semakin bertambah rumit karena pilihannya sangat beragam.
22,23
23
Kemajuan besar telah dicapai dalam penanganan medikamentosa, meliputi GnRH agonis, GnRH antagonis, aromatase inhibitor, antagonis progesteron, modulator selektif steroid seks, antiangiogenesis, dan imunoterapi dengan vaksin. Mengingat kendala dalam biaya, seorang klinisi harus menetapkan secara ketat indikasi pemakaian obat-obatan tersebut. Untuk itu spesialis ginekologi perlu dengan baik memahami etiopatogenesis endometriosis dan juga dengan cara apa penanganan yang akan dilakukan.23
Gambar 2. Algoritme Diagnosis dan Penatalaksanaan Endometriosis15
2.6 Patogenesis
Sampai saat ini belum ada yang dapat menerangkan secara pasti penyebab terjadinya endometriosis. Namun demikian beberapa ahli mencoba menerangkan:26,27,28
• Teori implantasi dan regurgitasi (John A. Sampson)
Endometriosis terjadi karena darah haid mengalir kembali (regurgitasi) melalui tuba ke dalam rongga pelvis. Sudah dibuktikan bahwa dalam darah haid ditemukan sel-sel endometrium yang masih hidup. Sel-sel yang masih hidup ini kemudian dapat mengadakan implantasi di pelvis. Teori ini paling banyak penganutnya, tetapi teori ini belum dapat menerangkan kasus endometriosis di luar pelvis.
• Teori metaplasia (Rober Meyer)
26,27,28
Endometriosis terjadi karena rangsangan pada sel-sel epitel yang berasal dari coelom yang dapat mempertahankan hidupnya di dalam pelvis. Rangsangan ini akan menyebabkan metaplasi dari sel-sel epitel itu, sehingga terbentuk jaringan endometrium. Secara endokrinologis, epitel germinativum dari ovarium, endometrium dan peritoneum berasal dari epitel coelom yang sama. Teori Robert Meyer akhir-akhir ini semakin banyak ditentang. Disamping itu masih terbuka kemungkinan timbulnya endometroisis dengan jalan penyebaran melalui darah atau limfe, dan dengan implantasi langsung dari endometrium saat operasi.
• Teori penyebaran secara limfogen (Halban)
26,27,28
Teori ini dikemukakan atas dasar jaringan endometrium menyebar melalui saluran limfatik yang mendrainase rahim, dan kemudian diangkut ke berbagai tempat pelvis dimana jaringan tersebut tumbuh secara ektopik. Jaringan endometrium ditemukan dalam limfatik pelvis pada sampai 20% dari penderita endometriosis.
• Teori induksi
26,27,28
Teori induksi pada dasarnya menjelaskan kelanjutan dari teori metaplasia sel coelom. Bahwa endometrium yang mengalami degenerasi pada kavum abdomen melepaskan faktor-faktor yang menginduksi sebuah proses metaplastik
dalam sel-sel mesenkim yang menyebabkan terjadinya endometriosis. Adanya faktor biokimia endogen dapat menginduksi perubahan sel peritoneal menjadi jaringan endometrium.
• Teori imunologik
26,27,28
Banyak peneliti berpendapat bahwa endometriosis adalah suatu penyakit autoimun karena memiliki kriteria cenderung lebih banyak pada perempuan, bersifat familiar, menimbulkan gejala klinik, melibatkan multiorgan, dan menunjukkan aktivitas sel B-poliklonal. Di samping itu telah dikemukakan bahwa danazol yang semula dipakai untuk pengobatan endometriosis yang disangka bekerja secara hormonal, sekarang ternyata telah dipakai untuk mengobati penyakit autoimun atas dasar bahwa danazol menurunkan tempat ikatan IgG pada monosit, sehingga mempengaruhi aktivitas fagositik.26,27,28
2.7 Imunologi Endometriosis
Telah diketahui bahwa patogenesis endometriosis disebabkan oleh banyak faktor dan perkembangannya juga melibatkan faktor-faktor lain pada tingkat molekuler.27 Menurut teori implantasi endometriosis terjadi karena adanya aliran balik atau reflux dari menstruasi sehingga terjadi refluks jaringan endometrium melalui tuba fallopi menuju rongga pelvis dan sel endometrium tersebut kemudian berimplantasi. Setelah terjadinya peyebaran sel endometrium selama menstruasi, mekanisme endometriosis kemudian mengikuti beberapa tahap yaitu reflux, adhesi, preteolysis, proliferasi dan angiogenesis. Lingkungan peritoneum dari kebanyakan wanita memiliki kemampuan mereabsorbsi jaringan endometrium pada akhir periode menstruasi. Sedangkan pada beberapa wanita, proses reabsorbsi tersebut tidak terjadi secara efisien sehingga akhirnya menderita endometriosis. Hal itu dapat disebabkan oleh jaringan endometrium itu sendiri ataupun disebabkan oleh beberapa kelainan dari faktor-faktor yang ada
pada lingkungan peritoneum seperti sistem imunitas humoral dan selular, sel NK, makrofag, peritoneum, dan konsentrasi hormon lokal. Ketidakmampuan untuk mereabsorbsi implan pada peritoneum ini dapat diperburuk oleh disposisi anatomis yang sering dijumpai pada wanita dengan endometriosis dan hal ini dapat meningkatkan kejadian reflux menstruasi.
Setelah terjadi adhesi pada dinding peritoneum, sel endometrium kemudian akan berproliferasi. Berdasarkan teori metaplasia, dapat dikatakan bahwa walaupun endometriosis disebabkan oleh transformasi dari peritoneum menjadi epitel tipe mulerian, cukup jelas bahwa endometriosis merupakan suatu penyakit invasive.
27,28
30 Adhesi sel endometrium diikuti dengan invasi ke mesotelium dan sitolisis apoptosis dari jaringan endometrium ektopik oleh monosit dan makrofag peritoneum.
Apoptosis atau kematian sel yang terprogram memiliki peranan dalam homeostatis selular, mengeliminasi sel-sel dari lapisan fungsional dari endometrium pada akhir fase sekresi dan selama menstruasi. TNF-α diperkirakan merupakan signal lokal utama yang menginisiasi dan memodulasi apotosis selama menstruasi. Ketahanan dari endometrium yang mengalami reflux dapat disebabkan oleh keadaan resisten terhadap apoptosis.
28
Angiogenesis juga dikatakan memainkan peranan penting dalam patofisiologi endometriosis dikarenakan pertumbuhan lesi endometriosis membutuhkan suplai darah yang adekuat. Sama halnya dengan metastasis suatu tumor, implantasi endometrium memerlukan neovaskularisasi. Hal ini dikarenakan pada dasarnya pertumbuhan sel dikontrol berdasarkan kebutuhan oksigenasi yang dipengaruhi oleh pertumbuhan pembuluh darah melalui proses angiogenesis untuk memastikan suplai oksigen sampai pada jaringan dan sel.
29
27
Faktor-faktor yang mungkin terlibat dalam pertumbuhan endometriosis melalui neovaskularisasi berhubungan dengan pembentukan steroid, sitokin, radikal
bebas, dan faktor toksin pada lingkungan peritoneum.11 Diantara beberapa faktor angiogenik, Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) merupakan faktor angiogenik yang paling banyak diteliti saat ini. VEGF ditemukan lebih banyak pada jaringan endometrium wanita dengan endometriosis dibandingkan dengan wanita tanpa endometriosis. Peningkatan ekspersi VEGF juga ditemukan meningkat pada lesi endometrium merah dibandingkan dengan lesi endometrium hitam. Pada lesi endometrium merah, VEGF bukan hanya diekspresikan oleh makrofag, namun juga oleh beberapa sel. Korelasi dari konsentrasi yang tinggi dari VEGF dan keberadaan MMP-1 telah dilaporkan pada lesi endometriosis merah. VEGF dalam hal sebagai faktor angiogenik menyebabkan peningkatan permeabilitas dari pembuluh darah. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya kebocoran dari produk fibrin ke ruang ekstraselular yang akan meningkatkan perekrutan dari makrofag. Sekresi dari TNF-α dan IL-6 yang disekresikan oleh makrofag ketika molekul besar seperti fibrin mengaktivasi mereka, meningkatkan aktivitas angiogenik dari makrofag.
Endometriosis dikatakan juga berkaitan dengan meningkatnya aktivitas inflamasi. Beberapa penelitian membuktikan terjadi peningkatan serum marker inflamasi yang berada di dalam cairan peritoneum. Pemberian anti inflamasi pada wanita dengan endometriosis yang mengeluhkan nyeri pelvik mendukung hipotesa yang menyatakan terdapat kontribusi dari inflamasi kronis dalam patogenesis endometriosis.
27,29
28
Gambar 3. Patogenesis Endometriosis30
2.8 Hipoksia dan Inflamasi
Pada keadaan inflamasi, terjadi peningkatan faktor pertumbuhan, kemokin, sitokin, dan keseimbangan ROS yang mengakibatkan mutasi gen. Akan terjadi berbagai keadaan proinflamasi yang akan membentuk banyak radikal bebas sehingga menimbulkan keadaan hipoksia.
Hipoksia adalah suatu keadaan dimana konsentrasi oksigen dalam sel sangat rendah. Hipoksia disebabkan oleh cedera sel dimana cedera sel disebabkan oleh beberapa faktor; iskemik, anemia, penurunan perfusi oksigen disebabkan oleh masalah darah dan lain-lain. Keadaan hipoksia pada sel tumor disebabkan tingginya konsumsi oksigen akibat tingkat proliferasi yang sangat cepat dari sel tersebut, tidak adekuatnya aliran darah ke jaringan akibat kerusakan fungsi dan struktur jaringan vaskular, bertambahnya jarak difusi akibat ekspansi sel tumor serta berkurangnya kemampuan darah dalam mengangkut
31
oksigen. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa keadaan hipoksia pada sel tumor berhubungan dengan tingkat progresifitas proliferasi, peningkatan metastasis, prognosis buruk, dan resistensi sel tumor tersebut terhadap terapi.
Konsep bahwa hipoksia intra-tumor dapat memicu terjadinya keganasan juga telah banyak diketahui sejak beberapa tahun terakhir ini.
Pada keadaan hipoksia, protein Hypoxia Inducible Factor-1α (HIF-1α) berperan pentingmengendalikan respon selular dan akan mengalamidimerisasi dengan HIF-1β, membentuk faktortranskripsi HIF-1. Faktor transkripsi HIF akanterikat pada hypoxia responsive element (HREs)dalam promoter gen. Hal tersebut akan menginisiasi proses ekspresi gen yang responsif terhadap hipoksia, seperti gen Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF), Erythropoietin (EPO), dan lain-lain. Salah satu peran HIF-1 adalah mengaktivasi transkripsi gen-gen yang sangat penting dalam terbentuknya kanker, termasuk terjadinya angiogenesis, metabolisme glukosa, dan invasi sel-sel kanker.
32
Pada keadaan hipoksia juga terjadi peningkatan kadar reactive oxygen species (ROS). Saat ini, terdapat peningkatan perhatian pada fenomena ROS- dependent dalam regulasi aktivitas protein HIF-1α. Mitokondria merupakan tempat produksi ROS. Mitokondria berperan sebagai sensor untuk aktivasi HIF- 1α. Mekanisme sensor O2 dan proses signaling dari ROS terhadap aktivasi protein HIF-1α memiliki jalur yang bermacam-macam pada sel yang berbeda- beda. Sampai saat ini belum ada kesepakatan pakar tentang mekanisme utama regulasi HIF-1α oleh ROS. Salah satu mekanisme regulasi HIF-1α oleh ROS adalah melalui perubahan status redoks dari sel. Pada metabolisme normal, radikal bebas anion superoksida (O2) diproduksi sebagai hasil dari rantai transfer elektron di mitokondria. Enzim MnSOD adalah antioksidan endogen yang terletak pada matriks mitokondria eukariotik dan merupakan antioksidan primer yang pertama kali berhadapan dengan radikal bebas, seperti O2.
31
33,34
Pada keadaan hipoksia kadar ROS akan meningkat. Beberapa ROS seperti O2, H2O2, OH-
normal diketahui berperan sebagai molekul signal yang menginduksi berbagai proses biologis, seperti stimulasi protein fosforilasi, Ca2+-signaling, hidrolisis fosfolipid, dan aktivasi faktor transkripsi. Saat ini, terdapat peningkatan perhatian yang tertuju pada fenomena regulasi ROS-dependent dari aktivitas protein HIF- 1α. Hamanaka (2010) menyatakan H2O2 eksogen yang diberikan dalam keadaan normoksia menstabilkan protein HIF-1α, sementara itu hipoksia pada sel Hep3B dan pemberian antimicin A akan meningkatkan pembentukan ROS pada kompleks III di mitokondria dan stabilisasi HIF-1α, respon seperti ini tidak tampak pada sel yang mitokondrianya mengalami mutasi.
yang dihasilkan selama metabolisme aerobik
35 Pada penelitian lain disebutkan bahwa ROS yang dihasilkan selama hipoksia akan mengaktivasi mitogen activated protein kinasepathway (MAPK) yang akan memberikan sinyal untuk pengaktifan HIF-1α. Ekspresi protein HIF- 1α tampaknya peka terhadap perubahan kecepatan sintesis karena waktu paruhnya yang sangat pendek pada keadaan non-hipoksia.
Hipoksia menginduksi inflamasi melalui pelepasan mediator-mediator inflamasi oleh sel parenkim maupun endotel yang hipoksik. Neutrofil sebagai salah satu efektor inflamasi akut bekerja dengan membangkitkan radikal bebas.
33,34
Lingkungan mikro jaringan yang mengalami peradangan dan inflammasi ditandai dengan rendahnya tingkat oksigen dan glukosa dan meningkatnya kadar sitokin inflamasi, oksigen reaktif, dan spesies nitrogen dan metabolit. Kompleks faktor transkripsi yang diinduksi hipoksia, Hypoxia – inducible Factor (HIF) -1 diatur oleh hipoksia juga oleh berbagai macam mediator inflamasi. Dalam sistem sel kekebalan tubuh bawaan dan adaptif, HIF-1 diregulasi oleh senyawa bakteri dan virus, bahkan di bawah kondisi normoxic. Up-regulasi ini mempersiapkan
36
sel-sel ini bermigrasi ke dan berfungsi dalam hipoksia dan jaringan yang meradang. Setelah extravasasi dari pembuluh darah tersebut, aktivitas sel lebih ditingkatkan dengan stimulasi HIF-1 oleh sitokin proinflamasi seperti interleukin (IL) -1beta (β) dan tumor necrosis factor (TNF) alpha (α), dan faktor jaringan yang diekspresikan secara lokal. TNF-α yang disebabkan stimulasi HIF-1α stimulasi membutuhkan NF-kB pada tingkat stabilisasi protein HIF-1α tanpa mempengaruhi tingkat mRNA-nya. Tindakan sama, IL-1β pada stabilitas protein HIF-1α dengan memicu aktivitas NF-kB dan menghambat dimediasi degradasi protein VHL.
Fakta bahwa HIF dapat diaktifkan sebagai respons terhadap sitokin inflamasi menunjukkan HIF memainkan peran penting dalam inflamasi.
Hubungan antara induksi hipoksia dari HIF-1 dan jalur sinyal lain yang diaktifkan oleh peradangan memastikan respon dari jenis sel spesifik dan stimulus seluler yang memadai. Aktifitas yang berkepanjangan dari HIF-1 dalam kondisi peradangan, bagaimanapun, dapat berkontribusi bagi kelangsungan hidup jaringan dan sel yang rusak, sehingga memicu perkembangan endometriosis.
36,37
37
Endometrial Cell Injury
Gambar 4. Patofisiologi HIF pada Cedera Sel
2.9 Hipoksia Menginduksi Angiogenesis
Sistem vaskularisasi menghantarkan oksigen dan nutrisi kepada seluruh sel tubuh. Maka tidak mengherankan jika oksigen memiliki peran utama dalam regulasi organ tubuh yang sangat kompleks. Respon transkripsi terhadap rendahnya oksigen dimediasi oleh Hypoxia-Inducible Factor (HIF), faktor transkripsi yang mengontrol ekspresi angiogenik, metabolisme dan siklus sel gen. Oleh karena itu, jalur HIF saat ini dianggap sebagai pengaturan utama dari angiogenesis. Modulasi HIF dapat memberikan terapi yang menguntungkan bagi berbagai macam patologi termasuk kanker, penyakit jantung iskemik, penyakit arteri perifer, penyembuhan luka dan penyakit neovaskular mata. Hipoksia mengakibatkan pertumbuhan pembuluh darah dengan upregulasi jalur pro- angiogenik yang menjadi pendukung biologi sel endotel, stroma dan vaskular.
Lebih menarik lagi, penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa hipoksia mempengaruhi aspek tambahan dari angiogenesis termasuk pembentukan, maturasi dan fungsi dari pembuluh darah.38
Gambar 5. Regulasi Angiogenesis tergantung Oksigen melalui Faktor Angiogenik Hypoxia-inducible Factor (HIF)38
Jalur HIF meregulasi gen pro-angiogenik, termasuk vascular endothelial growth factor (VEGF), angiopeietin-1, angiopoietin-2, Tie2, platelet-derived growth factor (PDGF), basic fibroblast growth factor (bFGF), dan monocyte chemoattractant protein-1 (MCP-1). Sesungguhnya, stimulasi ektopik dari jalur HIF cukup untuk menginduksi angiogenesis lokal dengan tidak adanya faktor tambahan dalam berbagai jaringan dan konteks. Faktor pro-angiogenik HIF diatur mengeksekusi program angiogenik HIF spesifik dengan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, proliferasi sel endotel, tumbuh, migrasi, adhesi, dan pembentukan tuba. Luasnya gen target pro-angiogenik HIF dan proses angiogenik menjadikan HIF sebagai "master regulator" angiogenesis.
HIF-1α banyak terekspresi pada berbagai macam kanker salah satunya pada kanker endometrium yang merupakan salah satu tumor ganas dari organ reproduksi wanita. Horree dkk (2007) menunjukkan bahwa ekspresi HIF-1α meningkat dari keadaan normal melalui keadaan predominan menjadi suatu endometrioid adenokarsinoma setara dengan penurunan aktivasi gen dan peningkatan angiogenesis. Dari penelitian ini HIF-1α dihubungkan dengan prognosis buruk pada kanker endometrium stadium I.
38
Pada penelitian lain Wu dkk menulis bahwa hepatocellular carcinoma juga menunjukkan ekspresi HIF-1. HCC merupakan suatu tumor hipervaskular dan angiogenesis memainkan peranan penting dalam progresifitasnya. Keadaan hipoksia menstimulasi angiogenesis untuk mendukung pertumbuhan tumor dengan menginduksi ekspresi faktor-faktor angiogenesis, seperti insulin-like growth factor IIdan VEGF. HIF-1 yang muncul pada keadaan hipoksia dari tumor tersebut memainkan peranan penting dalam ekspresi VEGF, angiogenesis dan pertumbuhan tumor.
39
40
Hipoksia merupakan suatu keadaan yang tidak seimbang antara suplai oksigen dan kebutuhannya yang terjadi pada kanker dan pada penyakit kardiovaskular iskemik. HIF-1 awalnya teridentifikasi sebagai faktor transkripsi yang memediasi ekspresi hypoxia-induced erythropoietin. Belakangan ini penggambaran dari mekanisme molekuler angiogenesis telah mengungkapkan peranan HIF-1 dalam regulasi faktor pertumbuhan angiogenik.
Pada penelitian invivo Becker dkk, dikatakan bahwa dijumpai hubungan estradiol dengan HIF-1α. Pemberian 2-Methoxyestradiol menurunkan ekspresi HIF-1α disertai penurunan gen targetnya seperti VEGF, fosfogliserat kinase dan glucose transporter-1. Hal ini menunjukkan perkembangan endometriosis yang bergantung kepada estrogen.
41
42
2.10 Hypoxic-inducible Factor (HIF)-1α
Pertama kali diidentifikasi berdasarkan kemampuannya untuk mengatur ekspresi erythropoietin (EPO), faktor hipoksia (HIF), HIF-1α, mengatur susunan yang kompleks pada gen dalam merespon kekurangan oksigen. Protein HIF termasuk ke dalam bHLH-PAS (basic helix loop helix-Per/ARNT/Sim) kelompok protein 12 dan terdiri dari 3 subunit-α regulasi O2, HIF-1α, HIF-2α, dan HIF-3α, dan secara konstitutif menunjukkan subunit-β dari translokator nuklir golongan Aryl hydrocarbon, termasuk ARNT, ARNT2, dan ARNT3. Subunit HIF-α bersifat homolog secara struktural, mengandung bHLH domain N-terminal yang memediasi pengikatan dan spesifisitas DNA. HLH dan PAS domain memediasi heterodimerisasi dengan mitra transkripsi ARNT. Meskipun kelompok ARNT semua berstruktur homolog, tidak semua ARNT memberikan respon adaptif terhadap hipoksia. ARNT3, yang dikenal sebagai BMAL, merupakan regulator penting dari ritme kardiak, sedangkan ARNT2 terutama terlibat dalam perkembangan saraf, dimana ia kompleks dengan single-minded homologue1
(SIM1). ARNT2 memediasi beberapa respon transkripsi hipoksia di SSP, meskipun ARNT adalah HIF-β primer yang terlibat dalam respon hipoksia.38,43,44
Gambar 6. Skema Representatif Struktur HIF-α dan HIF-β dan DNA Binding38
Dalam kondisi normoksik, subunit HIF-α ter-polyubiquitinated pada residu 2 prolin diantara oxygen-dependent degradation domain (ODDD) melalui sebuah kelompok enzim yang dikenal sebagai prolyl hydroxylases (PHDs). Hal ini membantu pengenalan kompleks ligase VHL E3 ubiquitin dan selanjutnya degradasi dari HIF-α melalui proteasom 26S. Sebagai tambahan, hidroksilasi dari residu terminal aspargine-C HIF-α melalui faktor inhibisi HIF-1 (FIH-1) mencegah pengikatan kofaktor yang diperlukan pada aktivitas HIF. Hipoksia menghambat aktivitas PHD dan enzim FIH-1, yang mengakibatkan protein HIF-α tidak teridentifikasi oleh VHL, terstabilisasi, dan translokasi ke nukleus. Disana akan berdimerisasi dengan HIF-1β/ARNT dan berikatan dengan hypoxia response elements (HREs) diantara promotor dari gen target. Bersama dengan koaktivator
protein p300 dan CBP, kompleks HIF mengaktivasi transkripsi sebuah panel gen- gen yang diperlukan sebagai respon terhadap hipoksia.38,44,45
Gambar 7. Regulasi Aktivitas Hypoxia-inducible Factor (HIF)38
2.11 HIF-1α pada Endometriosis
Bagaiamanapun, ekspresi HIF-1α pada lesi endometriosis ektopik belum diketahui dengan pasti. Perbedaan ekspresi HIF-1α antara jaringan endometriosis ektopik dan endometrium eutopik masih kontroversial. Penelitian Wu dkk (2007) menunjukkan level mRNA dan protein HIF-1α lebih tinggi pada jaringan endometriosis ektopik dibandingkan endometrium eutopik. Kobayashi dkk (2012) dalam analisis histokimia endometriosis ovarium menunjukkan
IRP1/IRP2/HIF-1beta meningkat secara signifikan dibandingkan kontrol. Berg dkk (2013) menemukan upregulasi HIF-1α pada lesi mirip endometriosis. Namun, peningkatan ekspresi ini hanya ditemukan pada stadium awal transplantasi dan invasi, sedangkan hal ini tidak ditemukan perbedaan dengan kontrol. Hal ini yang diyakini menjadi dasar kontroversi.
Hipoksia dan HIF-1α meningkatkan ekspresi gen regulator sinergis yang berperan dalam perkembangan jaringan endometriosis secara tidak langsung.
HIF-1α memicu perkembangan jaringan endometriosis melalui peningkatan kadar PGF2α dan PGE2 telah ditemukan dalam cairan peritoneal dari wanita dengan endometriosis. Jalur kedua adalah HIF-1α meningkatakan faktor angiogenik seperti VEGF, CYR61, dan osteopontin yang meningkatkan nutrisi untuk perkembangan jaringan endometriosis. Jalur ketiga adalah HIF mengikat reseptor HER yang banyak terdapat pada leptin di mana leptin merangsang perkembangan jaringan endometriosis melalui jalur ERK/JNK. Jalur keempat adalah HIF memicu downregulasi ERα, upregulasi ERβ, overekspresi GPR30 yang memicu perkembangan jaringan endometriosis yang dipicu status dan homeostasis hormonal.
46,47
2.11.1 Prostaglandin
48
Prostaglandin adalah kelompok asam lemak rantai panjang disentesis dari asam arakidonat dan terlibat dalam banyak proses fisiologis dan patologis seperti peradangan, memperbaiki jaringan, proliferasi dan angiogenesis. Pada mamalia, sel-sel mensintesis PG dari asam arakidonat melalui mediasi beberapa enzim termasuk fosfolipase A2 (PLA2), prostaglandin G/H sintase (lebih dikenal sebagai siklooksigenase, COX), dan terminal PG sintase. PLA2 memotong dan melepaskan asam arakidonat dari membran fosfolipid. COX kemudian mengubah asam arakidonat ke PGH2, yang merupakan prekursor PG umum dan
selanjutnya akan dikonversi menjadi prostaglandin atau metabolit PG terkait dengan terminal PG sintase.
Disregulasi enzim tertentu telah dikaitkan dengan perkembangan endometriosis. COX-2, enzim yang bertanggung jawab untuk dalam biosintesis PGE2, ditemukan menyimpang ekspresinya dalam makrofag peritoneal dan sel stroma endometrium. Produksi menyimpang dari PGE2 oleh makrofag dan sel stroma ektopik berkontribusi untuk berbagai proses patologis terhadap perkembangan endometriosis termasuk steroidogenesis, proliferasi sel, angiogenesis, dan inhibisi imunitas.
49,50
Meskipun sitokin proinflamasi tinggi biasanya ditemukan dalam cairan peritoneal dari wanita dengan endometriosis, hal ini tidak sepenuhnya menjelaskan overekspresi COX-2 di endometriosis. Sebaliknya, dikatakan bahwa COX-2 setidaknya 100 kali lebih sensitif terhadap pengobatan interleukin (IL)-1β dalam sel stroma endometrium dibandingkan dengan sel-sel stroma endometrium yang normal dan meningkatkan sensitivitas ini gen COX-2 yang dimediasi melalui ERK.
51
52 Suatu penelitian menemukan DUSP2, sebuah fosfatase nuklir yang menginaktivasi ERK, menurunkan regulasi dalam sel-sel stroma jaringan endometriosis ektopik. Analisis bioinformatika mengungkapkan bahwa ada unsur respon hipoksia (HRE) yang berperan dalam promotor DUSP2, menunjukkan DUSP2 adalah gen dependen hipoksia. Gagasan ini didukung oleh hasil bahwa stres hipoksia dan overekspresi HIF-1α mendownregulasi DUSP2.
Downregulasi DUSP2 menyebabkan aktifnya ERK dan p38-MAPK dan akhirnya meningkatkan sensitivitas COX-2 dalam rangsangan proinflamasi.
Baik hipoksia dan PG memainkan peran penting dalam fisiologi endometrium normal. Pada saat menstruasi, banyak sitokin proinflamasi, peningkatan ekspresi COX-2, PGE2 dalam sel stroma endometrium. Wu dkk (2011) menunjukkan HIF-1α memicu endometriosis melalui efek pada
53
peningkatan ekpresi COX-2, IL-1beta, dan PGE2. Peningkatan protein HIF-1α akan menyebabkan downregulasi DUSP1 kemudian terjadi efek penurunan MAPK, peningkatan aktivasi ERK, dan MAPK p38 pada sel stroma endometriosis ektopik. COX2 dan PGE2 akan meningkat memicu StAR yang meningkatkan pertumbuhan sel stroma endometriosis. PGE2 menstabilkan HIF-1α melalui E- series reseptor prostanoid 2 (EP2) jalur dalam model sel epitel endometrium.
Hipoksia dan PG (PGF2α dan PGE2 khususnya) menginduksi faktor angiogenik seperti VEGF, IL-8, dan CYR61.
Mikro RNA (miRNAs) adalah RNA noncoding kecil modulasi ekspresi gen sasaran melalui pembelahan atau penindasan translasi. Fungsi regulasi dari miRNAs telah terlibat dalam hipoksia, peradangan, perbaikan jaringan, proliferasi sel, apoptosis, remodelling matriks ekstraselular, dan angiogenesis pada endometriosis. Telah dilaporkan bahwa ekspresi mir-20a relatif lebih tinggi pada lesi ektopik dibandingkan dengan yang di jaringan endometrium eutopik. Dengan menggunakan pendekatan biologi molekuler dan bioinformatika, kami mengidentifikasi bahwa promotor mir-20a regulasi HRE, suatu segemen cis DNA tempat pengikatan HIF. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa ekspresi miR- 20a dipicu oleh hipoksia. miR-20a memiliki lokasi target di DUSP2 3’-UTR yang menyebabkan efek downregulasi DUSP2. Penurunan ekspresi DUSP2, memicu fosforilasi ERK, overekspresi ERK, upregulasi COX-2, dan faktor mitogenik. Pada endometriosis ektopik, juga ditemukan penurunan miR-20a yang menjadi inhibitor HIF-1α sehingga HIF-1α upregulasi dan mengikat CREBBP, suatu kofaktor yang lebih meningkatkan lagi aktivitas HIF-1α.
52,53
2.11.2 Estrogen
51,52,53
Perkembangan endometriosis bergantung estrogen didasari oleh insidensi endometriosis biasanya pada menarche atau menopause dan penelitian invitro yang menunjukkan hanya monyet yang menerima estrogen dan
progesteron menunjukkan perkembangan endometriosis. Dua isoform reseptor estrogen nuklir (ERα dan ERβ) dan satu reseptor G protein-coupled estrogen (GPR30) memediasi sebagian besar fungsi regulasi dari isoform estrogen.
Penelitian invivo Becker dkk (2008) penurunan HIF-1α akan menurunkan gen tagetnya seperti VEGF, fosfogliserat kinase, dan transporter glukosa-1.
Penelitian ini juga menerangkan adanya hubungan estradiol dengan HIF-1α karena terapi inhibitor estradiol pada mencit menurunkan ekspresi HIF-1α secara signifikan.
54
Ekspresi menyimpang dari ERα, ERβ, dan GPR30 telah dilaporkan pada wanita dengan endometriosis. Downregulasi ERα dan/atau upregulasi ERβ serta overekspresi GPR30 ditemukan dalam jaringan endometriosis. Hipoksia juga menginduksi hal yang sama. GPR30 juga diregulasi oleh hipoksia secara HIF-1α, dan memediasi efek anti-apoptosis estrogen pada hipoksia diinduksi apoptosis.
Interaksi antara hipoksia dan estrogen bisa lebih rumit karena estrogen menginduksi HIF-1α sehingga hal ini bersifat timbal balik.
42
2.11.3 Leptin
55
Leptin awalnya diidentifikasi sebagai hormon endokrin, yang disekresi oleh adiposit, bekerja pada hipotalamus untuk mengatur homeostasis energi.
Beberapa bukti menunjukkan leptin dan reseptornya banyak diekspresikan dalam berbagai jaringan seperti perut, otot, plasenta, ovarium, dan uterus secara parakrin dan autokrin. Selain peran regulasi dalam mempertahankan homeostasis energi, fungsi leptin juga terlibat dalam proliferasi sel, angiogenesis, dan respon imun.
Penelitian Wu dkk (2007) berhipotesis bahwa penyimpangan ekspresi leptin pada stroma endometriosis diregulasi oleh peningkatan HIF-1α. Pajanan sel stroma endometrium dalam kondisi hipoksia oleh desferioxamin menyebabkan peningkatan ekspresi gen leptin. Assay promoter aktivitas
56
menunjukkan bahwa HIF-1α memicu aktivitas promoter leptin setelah terapi defderioxamin. Reseptor leptin juga ditemukan diekspresikan baik pada stroma endometrial maupun sel epitiel, menunjukkan efek parakrin dan autokrin leptin ada endometriosis. Leptin merangsang perkembangan jaringan endometriosis melalui jalur ERK/JNK. Berhubungan dengan HIF, HRE ditemukan pada promoter dan intron pertama leptin.
2.11.4 Faktor Angiogenik
40
Endometrium ektopik harus didukung oleh oksigen, nutrisi, dan metabolit untuk berkembang. Untuk mengatasi kekurangan oksigen pada vaskonstriksi akibat peningkatan sitokin proinflamasi pada endometriosis, sel-sel harus melakukan angiogenesis. Dalam endometrium normal, hipoksia menginduksi ekspresi beberapa isoform VEGF pada sel epitel dan stroma endometrum.
Penelitian Mahnke dkk (2000) menunjukkan tingkat VEGF wanita endometriosis pada cairan peritoneal lebih tinggi dibandingkan kontrol.
Penelitian laboratorium Becker dkk (2008) menunjukkan bahwa penekanan ekspresi VEGF dikatikan dengan peningkatan HIF-1α. Selain itu, efek HIF-1α pada estrogen memicu PI3K/Akt untuk meningkatkan ekspresi VEGF.
Selain itu, peningkatan leptin juga memicu VEGF. Ekspresi protein 61 (CYR61), suatu faktor angiogeneik, juga dependen downregulasi DUSP2-dependen HIF- 1α. Osteopontin, faktor angiogenik juga diinduksi keadaan hipoksia dan HIF.
57
42
2.12 Kerangka Teori
Menstruasi Retrograd
Sel endometrium di rongga peritoneum
Apoptosis ↓↓
Adhesi pada peritoneum
Implantasi dan invasi
Pertumbuhan dan perkembangan sel
endometrium ektopik Perdarahan secara
siklik pada ronggaperitoneum
Inflamasi kronik / pembentukan peritoneal fibrosis
Neoangiogenesis
Makrofag
Faktor Genetik, Hormonal dan
Lingkungan
VEGF, MMP, Growth factor
Hypoxia ↑↑
HIF- 1α ↑↑
Cedera sel
ROS
↑↑
2.13 Kerangka Konsep
Variabel Independent
HIF-1α ENDOMETRIOSIS
Faktor Perancu :
• Gangguan kardiovaskular
• Tumor/neoplasia endometrium
• Anemia
Variabel Bebas
Variabel Tergantung
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian cross sectional pemeriksaan imunohistokimia terhadap parafin blok jaringan endometriosis dan parafin blok jaringan endometrium normal untuk melihat perbedaan ekspresi HIF-1α.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara mulai April 2015 sampai Mei 2015.
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian 3.3.1 Populasi Penelitian
Subjek penelitian kelompok kasus adalah parafin blok jaringan endometriosis yang diperoleh dari tindakan laparatomi dan laparaskopi.
Sedangkan subjek penelitian kelompok kontrol adalah parafin blok jaringan endometrium normal yang diperoleh dari tindakan histerektomi laparatomi dan kuretase.
3.3.2 Sampel Penelitian
Penentuan besar sampel, dilakukan berdasarkan perhitungan statistik dengan menetapkan tingkat kepercayaan 95% dan kekuatan uji (power test) 95
%.
Dengan menggunakan rumus penentuan besar sampel untuk menguji perbedaan dua rata-rata, yaitu: besar sampel penelitian dihitung secara stastistik berdasarkan rumus :
n = (Zα √ 2P.Q + Zβ √ P1 Q1 + P2 Q2 )
(P
2
1 - P2) dimana :
2
Zα = nilai baku normal dari table Z yang besarnya bergantung pada nilai α yang ditentukan. Nilai α = 0,05 Zα = 1,96
Zß= nilai baku normal dari table Z yang besarnya bergantung pada nilai ß yang ditentukan. Nilai ß = 0,20 Zß
P
= 0,84
1 =
P
proporsi ekspresi HIF1-α pada endometriosis = 0,6
2 =
Q
proporsi ekspresi HIF1-α pada non endometriosis = 0,2
1 = 1- P1 Q
= 0,4
2 = 1-p2
P= (P
= 0,8
1 + P2 Q = 1-P = 0,6
)/2 =0,4
n1 = n 2
n = 46 orang
= 22,325 dibulatkan menjadi 23 orang (jumlah sampel masing-masing kasus dan kontrol)
3.4 Kriteria Penelitian 3.4.1 Kriteria Inklusi
• Kelompok kasus: parafin blok jaringan endometriosis yang dibuktikan oleh pemeriksaan histopatologi. Jaringan dapat diambil dari hasil laparatomi maupun laparaskopi.
• Kelompok kontrol: parafin blok jaringan endometrium normal yang dibuktikan secara histopatologi. Jaringan dapat diambil dari hasil histerektomi laparatomi maupun kuretase.
3.4.2 Kriteria Eksklusi
• Sediaan tidak dapat dianalisa oleh sebab proses pembuatan parafin yang tidak baik.
• Hasil pemeriksaan parafin blok berasal dari jaringan endometrium pasien dengan kondisi perancu seperti gangguan kardiovaskular, tumor/neoplasia endometrium dan anemia berat.
3.5 Identifikasi Variabel Variabel bebas
• Ekspresi HIF-1α
Variabel tergantung
• Endometriosis
3.6 Definisi Operasional
Endometrium ektopik endometriosis :
Definisi :jaringan endometrium pada penderita endometriosis yang terdapat diluar uterus.
Alat ukur :pemeriksaan histopatologi jaringan dinyatakan sebagai endometriosis
Cara ukur :melihat hasil histopatologi
Skala ukur :endometriosis dan non endometriosis (skala rasio) Endometrium normal
Definisi :adalah lapisan dalam uterus normal.
Alat ukur :pemeriksaan histopatologi Cara ukur :melihat hasil histopatologi
Skala ukur :normal dan tidak normal (skala rasio) Stadium endometriosis
Definisi :adalah derajat keparahan endometriosis yang diklasifikasikan berdasarkan American Society for Reproductive Medicine (ASRM)
Alat ukur :tindakan laparatomi atau laparoskopi
Cara ukur :penilaian temuan operatif terhadap lesi endometriosis Skala ukur :stadium I (minimal), stadium II (mild), stadium III (moderate),
stadium IV (severe) Umur
Defenisi :usia dalam tahun dihitung berdasarkan tahun kelahiran.
Alat ukur :kalender dalam hitungan tahun.
Cara ukur :menghitung jumlah tahun dari sejak tahun kelahiran
Skala ukur :18-30 tahun, 31-40 tahun dan >40 tahun (skala nominal/variabel)
Paritas
Definisi :jumlah persalinan yang pernah dialami Alat ukur :melihat rekam medis
Cara ukur :melihat rekam medis
Skala ukur :0, 1-2, >4 (skala interval) Ekspresi HIF-1α
Definisi :adalah hasil pengamatan ekspresi antigen terhadap reseptor HIF-1α.
Alat ukur :imunohistokimia
Cara ukur :pewarnaan imunohistokimia jaringan endometrium normal dan jaringan endometriosis yang diamati oleh dua orang observer.
Skala ukur :ekspresi +1, +2,+3 dan negatif (skala interval) Dengan nilai interpretasi sebagai berikut :
Negatif :apabila tidak ditemukan sel yang mengikat antibodi.
+1 adalah :apabila sel mengikat antibodi dan terwarnai namun intensitas warna kurang kuat.
+2 adalah :apabila sel mengikat antibodi dan terwarnai namun intensitas warna cukup kuat.
+3 adalah :apabila sel mengikat antibodi dan terwarnai dengan intensitas yang sangat kuat
3.7 Cara Kerja dan Teknik Pengumpulan Data
1. Setelah mendapat persetujuan dari komisi etik melakukan penelitian, penelitian dimulai dengan mengumpulkan data dari histopatologi pasien yang pernah diperiksa histopatologis dan didiagnosa sebagai endometriosis (sesuai kriteria inklusi dan eksklusi). Sedangkan kelompok kontrol diambil dari data histopatologi departemen PA, pasien yang dilakukan laparatomi histerektomi atau kuretase.
2. Dari data PA tersebut, diambil data rekam medik tentang identitas lengkap dan karakteristik pasien.
3. Dilakukan peminjaman sediaan parafin blok.