• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN

1.5. Tinjauan Pustaka

Secara umum pengertian olahraga adalah sebagai salah satu aktivitas fisik maupun psikis seseorang yang berguna untuk menjaga dan meningkatkan kualitas kesehatan seseorang setelah olahraga. “Olahraga” datang dari bahasa Perancis Kuno desport yang bermakna “kesenangan”, serta pengertian berbahasa Inggris tertua ditemukan seputar tahun 1300 yakni “segala hal yang mengasyikkan serta menghibur untuk manusia”. Olahraga adalah satu di antara sumber utama dari hiburan karenanya ada pendukung olahraga yang umumnya terbagi dalam beberapa besar orang dan bisa disiarkan lebih luas lagi lewat tayangan olahraga (Rusli dan Sumardianto, 2000: 6).

Olahraga adalah kesibukan yang benar-benar utama untuk menjaga kesehatan seseorang. Olahraga juga adalah satu tingkah laku aktif yang menggiatkan metabolisme serta memengaruhi manfaat kelenjar didalam badan untuk menghasilkan sistem kekebalan badan dalam usaha menjaga badan dari masalah penyakit dan stress. Oleh karenanya, benar-benar disarankan pada tiap-tiap orang untuk lakukan aktivitas olahraga dengan cara teratur serta tersetruktur dengan baik. Menurut Jayawardana (2010: 1), olahraga merupakan kemampuan dasar yang dimiliki manusia yang bisa dikembangkan dan dilatih untuk kepentingan kesehatan bagi dirinya. Sedangkan menurut Cholik Mutoir (2003: 86), pengertian olahraga adalah proses sistematik yang terdiri atas setiap kegiatan dan usaha yang dapat membantu perkembangan atau pun membina potensi – potensi jasmaniah dan rohaniah seseorang sebagai perorangan, atau pun anggota masyarakat. Olah raga dapat berupa permainan, pertandingan, serta prestasi puncak di dalam pembentukan manusia yang memiliki ideologi yang seutuhnya dan berkualitas yang didasarkan pada dasar negara dan Pancasila.

Tetapi seiring berjalannya waktu, olahraga bukan hanya sekedar untuk menyehatkan tubuh belaka, bahkan sekarang dikaitkan dengan adanya kasus sosial suatu kelompok yang dikaitkan dengan gaya hidup. Gaya hidup itu kemudian ditunjukkan oleh perilaku tertentu sekelompok orang atau masyarakat yang menganut nilai-nilai dan tata hidup yang hampir sama. Gaya hidup yang berkembang di masyarakat merefleksikan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat itu sendiri. Untuk memahami bagaimana gaya hidup, sekelompok masyarakat di perlukan program atau instrumen untuk mengukur gaya hidup yang berkembang sehingga menurut Kotler (2002: 192), gaya hidup adalah pola hidup seseorang di dunia yang mengekspresikan dalam aktivitas, minat, dan opininya. Gaya hidup menggambarkan “keseluruhan diri seseorang” dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Gaya hidup menggambarkan seluruh pola seseorang dalam beraksi dan berinteraksi di dunia. Menurut Assael, gaya hidup adalah “A mode of living that is identified by how people spend their time (activities), what they consider important in their environment (interest), and what they think of themselves and the world around them (opinions)”. Secara umum dapat diartikan sebagai model kehidupan yang dikenal dengan bagaimana orang menghabiskan waktunya (aktivitas), apa yang mereka anggap penting dalam lingkungan mereka (minat), dan apa yang orang pikirkan tentang diri sendiri dan dunia di sekitar (opini).

Gaya hidup juga menunjukkan bagaimana orang hidup, bagaimana membelanjakan uangnya, dan bagaimana mengalokasikan waktu. Sehingga dapat disimpulkan bahwa gaya hidup adalah pola hidup seseorang yang dinyatakan dalam kegiatan, minat dan pendapatnya dalam membelanjakan uangnya dan bagaimana mengalokasikan waktu. Faktor-faktor utama pembentuk gaya hidup dapat dibagi menjadi dua yaitu secara

demografis dan psikografis. Faktor demografis misalnya berdasarkan tingkat pendidikan, usia, tingkat penghasilan dan jenis kelamin, sedangkan faktor psikografis lebih kompleks karena indikator penyusunnya dari karakteristik konsumen. Mowen dan Minor menegaskan bahwa gaya hidup merujuk pada bagaimana orang hidup, bagaimana mereka membelanjakan uangnya, dan bagaimana mereka mengalokasikan waktu mereka. Hal ini dinilai dengan bertanya kepada konsumen tentang aktivitas, minat, dan opini mereka, gaya hidup berhubungan dengan tindakan nyata dan pembelian yang dilakukan konsumen. Orang yang berasal dari subkultur, kelas sosial dan pekerjaan yang sama dapat mempunyai gaya hidup yang berbeda karena gaya hidup seseorang menunjukkan pola kehidupan orang yang bersangkutan yang tercermin dalam kegiatan, minat, dan pendapatnya (Minor dan Mowen, 2002: 282).

Gaya hidup modern di suatu pihak dapat dilihat sebagai produk dari profesionalisme masyarakat yang akan semakin kentara pada abad ke-21 yang menegaskan batas-batas biologis dan sosial yang memiliki biaya sangat tinggi. Hal ini disebabkan dengan adanya kehidupan di perkotaan yang tinggi akan berkembangnya globalisasi. Budaya global ditandai oleh integrasi budaya lokal ke dalam suatu tatanan global. Globalisasi yang ditandai oleh perbedaan-perbedaan dalam kehidupan telah mendorong pembentukan defenisi baru tentang berbagai hal dan memunculkan praktik kehidupan yang beragam dari dimensi kehidupan yang mengalami redefinisi dan diferensiasi atau perbedaan yang menunjukkan sifat relatif suatu praktik sosial, yang semakin kuat sejalan dengan perbaikan transformasi dan teknologi komunikasi tentang bagaimana memilih dari sekian banyak informasi yang tersedia yang didukung oleh kerangka yang mampu memberdayakan individu. Disamping globalisasi yang sangat

berpengaruh, tidak ketinggalan faktor yang melingkupinya ialah tekanan masyarakat kota yang berperan penting dalam mendorong faktor-faktor yang berkaitan (Hannerz, 1992).

Tekanan penduduk yang begitu besar di kota menimbulkan berbagai persoalan karena begitu banyak orang yang memperebutkan kesempatan apapun yang terjadi di kota, termasuk ke dalam gaya hidup yang semakin berkembang pesat dalam hal urbanisasi dan globalisasinya. Yang menarik di sini bahwa urbanisasi yang berkembang di satu pihak telah menambah persoalan kota, khususnya berkaitan dengan keberadaan “peasant” in the cities, yang menunjukkan kontinuitas tradisi agraris; di lain pihak adalah keluarnya kelas menengah ke kelas atas. Hal yang mencolok terjadi dalam kecendurangan ini adalah tumbuhnya “consumer culture” di kota-kota (Featherstone, 1991) yang merupakan bagian dari proses ekspansi pasar (Evers, 1991) sehingga mempengaruhi perkembangan globalisasi dalam menyikapi perilaku gaya hidup.

Menurut Koswara (1991), ada beberapa implikasi dari tekanan penduduk di perkotaan. Pertama, tingkat kepadatan penduduk yang tinggi akan membawa implikasi pada fasilitas publik perkotaan. Berbagai sarana dan prasarana menjadi kurang memadai. Kedua, tingkat kepadatan penduduk yang mempengaruhi pengelolaan ruang yang lebih rumit. Ketiga kenyamanan untuk tinggal di kota menjadi persoalan penting akibat tekanan penduduk. Paling sedikit terdapat empat persoalan pokok yang muncul diperkotaan: (1) fasilitas-fasilitas lingkungan dan infrastruktur yang kurang memadai; (2) kondisi perumahan yang kurang sehat; (3) tingginya tingkat kepadatan penduduk dan pola penggunaan tanah yang tidak teratur; dan (4) tatanan kehidupan sosial yang kurang teratur. Dua proses tanda dari transformasi sosial perkotaan, yaitu proses konsumsi simbolis dan transformasi estetis. Pada definisi gaya hidup hanya dapat dilihat dari proses

konsumsi simbolis yang merupakan tanda penting dari pembentukan gaya hidup di mana nilai-nilai simbolis dari suatu produk dan praktik telah mendapat penekanan yang besar dibandingkan dengan nilai-nilai kegunaan dan fungsional.

Proses konsumsi simbolis dapat dijelaskan dengan tiga cara. Pertama, kelas sosial telah membedakan proses konsumsi dimana setiap kelas menunjukkan proses identifikasi yang berbeda dalam satu tatanan umum yang tidak terbentuk sepenuhnya. Kedua, barang yang dikonsumsi kemudian menjadi wakil dari kehadiran. Hal ini berhubungan dengan dengan aspek-aspek psikologis dimana konsumsi suatu produk berkaitan dengan perasaan atau rasa percaya diri yang menunjukkan bahwa itu bukan hanya sekedar media atau barang, tetapi juga merupakan isi dari kehadiran seseorang karena dengan cara itu ia berkomunikasi. Dan yang ketiga, berdasarkan proses konsumsi dapat dilihat bahwa konsumsi citra (image) di satu pihak telah menjadi proses konsumsi yang penting dimana citra yang dipancarkan oleh suatu produk atau praktik (konsumsi maupun kegiatan) merupakan alat ekspreksi diri bagi kelompok. Bagi kelompok kelas menengah citra yang melekat pada suatu prosuk (global) merupakan intrumen modernitas yang mampu menegaskan keberadaan identitasnya (Goffman, 1951).

Menurut Featherstone (1995: 95), gaya hidup diartikan sebagai, “Consumption and lifestyle preferences involve discriminatory judgements which at the same time identify and render classifiable our own particular judgement of taste to others. Particular constellations of taste, consumption preference and lifestyle practices are associated with specific occupation and class fractions, making it possible to map out the universe of taste and lifestyle with its structured oppositions and finely graded distinctions which operate within a particular society…”. Inti dari pernyataan tersebut ialah konsumsi dan

gaya hidup melibatkan penilaian tersendiri dan di waktu yang sama mengenali dan memberikan pengelompokan bagaimana cara kita sendiri memberi penilaian terhadap orang lain. Dengan ini semua kita dapat menyusun keseluruhan rasa dan gaya hidup beserta perbedannya yang telah tersusun dan bertingkat dimana berlaku dalam masyarakat tertentu.

Giddens menhyatakan proses konsumsi perkotaan ini merupakan “emancypatory politics” dan “life politics” sekaligus. Sebagai emancypatory politics konsumsi perkotaan membebaskan manusia dari hambatan-hambatan posisi sosial tradisional, seperti kelas, gender, usia, dan etnis. Konsumsi dalam hal ini merupakan teknik di dalam pelarian sosial seorang dari satu ikatan tradisional dengan cara menegosiasikan identitas diri. Sedangkan sebagai life politics, konsumsi merupakan politik aktualisasi diri dalam lingkungan yang terorganisir secara refleksif, dimana refleksivitas menghubungkan diri dan tubuh ke dalam sistem global (Giddens dalam Lury, 1996: 40).

Jika dikaitkan dengan hubungan antropologi, gaya hidup termasuk kedalam antropologi kontemporer yaitu suatu integrasi sosial komunitas yang kemudian dapat membentuk suatu gaya hidup yang sifatnya bermacam-macam. Teori antropologi tidak jauh kaitannya dengan “ilmu tentang manusia”. Jadi, komunitas atau masyarakat sudah pasti mengacu kepada teori tersebut. Dan dalam kasus ini, bagian yang terkait dalam teori antropologi ialah etnologi. Etnologi adalah ilmu bagian mengenai asas-asas manusia, dengan mempelajari kebudayaan dalam kehidupan masyarakat atau komunitas dari yang tersebar di seluruh muka bumi pada masa sekarang ini (Koentjaraningrat, 2009).

Penelitian mengenai olahraga dan gaya hidup, antara lain sudah pernah diteliti oleh Rendi Arsami Siregar (2007) dengan judul “Gaya Hidup Fitness (Studi Etnografi

Tentang Gaya Hidup Fitness di Lubuk Pakam)” yang melihat semakin banyaknya para pelaku atau peminat olahraga fitness yang ingin datang untuk berolahraga atau sekedar datang untuk berbincang dengan yang lain dan berkumpul di tempat fitness tersebut. Selain mengkaji tentang gaya hidup, Rendi Arsami Siregar meneliti suatu kondisi yaitu dimana terlihat beberapa pelaku fitness setelah melakukan olahraga, mereka beristirahat tetapi sambil menghisap rokok. Hal ini semakin menambah rasa penasaran untuk semakin mengkaji masalah tersebut. Bukankah berolahraga memiliki tujuan untuk menyehatkan tubuh tetapi malah melakukan hal yang dapat merusak kesehatan tubuh. Apakah mereka melakukan olahraga fitness hanya untuk mencari identitas sosial agar dianggap hebat oleh orang lain atau ada makna tersembunyi dibalik olahraga fitness tersebut.

Dari penelitian terdahulu mengenai teori yang hampir bersamaan dapat dibedakan dengan lebih memfokuskan faktor yang mendukung seseorang dalam mengambil keputusannya untuk berolahraga di pusat kebugaran. Pada penelitian kali ini, peneliti juga akan membahas berbagai jenis olahraga yang ada di dalam Best Fitness dan mengamati sisi lain dari tujuan orang-orang dalam berolahraga, apakah faktor pendukung gaya hidup merupakan salah satu pemicu utama untuk mengambil keputusan dalam berolahraga atau tidak.

Disamping itu, tujuan utama terbentuknya satu komunitas adalah untuk memenuhi kebutuhan dan keselamatan bersama. Definisi tersebut dianggap sebagai definisi masa lampau (Coleman, 1976). Pada masa sekarang, kata Coleman, pengertiannya terutama diacukan kepada hal-hal yang dimiliki bersama. Berkaitan dengan adanya proses konsumsi yang telah membentuk suatu kesatuan kehidupan dengan basis-basis material yang dapat menghilangkan nilai-nilai subjektif dalam pertukaran sosial (Simmel, 1991).

Seting perkotaan lebih merupakan “tempat berbelanja” identitas yang ingin dibentuk. Selalu ada orang atau kelompok yang tidak terikat pada sistem yang umum, yang tampak dari sifat-sifat individual yang dikembangkan secara aktif untuk melihat latar belakang orang yang terlibat dalam jaringan tersebut, seperti jenis komunitas, jaringan kekerabatan, dan jaringan keluarga (Friedman, 1995: 95).

Dokumen terkait