• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tim Sentra HKI Unud I Nym Mudana SH.,MH

1.2. Rumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG.

Bisnis era globalisasi saat ini persaingan perdagangan tidak semata-mata didasarkan pada kualitas produk dan harga tetapi terfokus pada penguasaan Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Oleh karenanya obyek perdagangan Internasional maupun nasional 70 % dikuasai oleh benda bergerak yang tidak berwujud yaitu Hak Kekayaan Intelektual.

Dalam upaya untuk dapat bersaing dalam perdagangan Internasional maka Indonesia telah menetapkan pembangunan ekonominya dengan mencanangkan perekonomian kreatif sebagai andalannya.

Sistem perekonomian kreatif pada dasarnya mengutamakan sumber daya manusia sebagai bahan pokok, oleh karenanya produk pada perekonomian kreatif tidak dapat dipisahkan dengan sentuhan Hak kekayaan Intelektual (HKI) berupa hasil olah pikir manusia yang menghasilkan idea atau gagasan-gagasan inovatif.

Disatu sisi berdasarkan jumlah pendaftaran Hak Kekayaan Intelektual di Dirjen HKI ternyata masih rendah, sehingga penting dilakukan peningkatan pemahaman tentang HKI.

1.2. Rumusan Masalah.

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka dalam tulisan makalah ini diperuntukkan untuk membahas beberapa masalah yang dirumuskan segabai beriut;

1. Apakah yang dimaksud dengan Hak Kekayaan Intelektual ?

2

BAB II PEMBAHASAN II.1. Ruang Lingkup Hak Kekayaan Intelektual

Hak Kekayaan intelektual (Intellectual Property Rights) dibagi dalam 2 cabang yaitu : 1. Hak Milik Perindustrian atau Industrial Property.

Dalam cabang ini termasuk antara lain Paten, Paten Sederhana atau Utility Model, Desain Produk Industri atau industrial Design, Merek atau Mark.

Obyek Hak Milik Perindustrian:

 Obyek Paten adalah penemuan dalam bidang teknologi;

 Obyek Paten Sederhana adalah penemuan sederhana dalam bidang teknologi;

 Obyek Merek adalah karya-karya berupa tanda yang diciptakan untuk membedakan barang-barang/produk satu dari yang lain tetapi yang sejenis.

 Obyek Desain Produk Industri adalah karya-karya yang pada dasarnya merupakan “pattern” yang digunakan untuk rnernbuat/mernproduksi barang secara berulang dan lebih banyak cenderung pada aspek estetika produk.

2. Hak Cipta atau Copyright.

Obyek Hak Cipta adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra. II.2. Beberapa Konvensi Internasional Di Bidang HKI.

Berikut ini adalah beberapa konvensi internasional yang cukup penting dalam bidang HKI :

1. Paris Convention

Perjanjian atau konvensi internasional terpenting dalam cabang Hak Milik Perindustrian adalah Paris Convention for the Protection of Industrial Property (1883) yang telah beberapa

3

kali diubah.Jumlah anggota Paris Convention pada tanggal 1 Januari 1997 ada sebanyak 140 Negara. Indonesia menjadi anggota Paris Convention pada tahun 1979 berdasarkan Keppres RI No. 24 Tahun 1979 tanggal 10 Mei 1979, namun Indonesia mengajukan reservasi terhadap pasal-pasal 1 s/d 12 (pasal-pasal-pasal-pasal substantif) dan pasal-pasal 28 ayat 1. Selanjutnya reservasi tersebut tclah dicabut berdasarkan Keppres RI No. 15 Tahun 1997 tanggal 7 Mei 1997.

2. Borne Convention

Perjanjian atau konvensi multilateral terpenting dalam cabang Hak Cipta adalah Borne

Convention for the Protection of Literary and Artistic Works (1886) yang telah beberapa kali diubah.Jumlah anggota Borne Convention pada tanggal 2 Maret 1997 sebanyak 121 Negara.

Indonesia pernah menjadi anggota Berne Convention namun pada tahun 1959 Indonesia menyatakan keluar sebagai anggota Berne Convention, tetapi berdasarkan Keppres No. 18 Tahun 1997 tanggal 7 Mci 1997, Indonesia telah meratifikasi kembali menjadi anggota dan Borne

Convention.

3. Hague Agreement

Salah satu perjanjian multilateral lainnya di bidang Hak Kekayaan Intelektual dimana Indonesia menjadi anggota sejak tahun 1950 adalah The Hague Agreement (1925) Concerning

The International Deposit Of Industrial Designs. Jumlah anggota Hague Agreement pada 1 Januari 1997, 26 Negara.

4. Konvensi UPOV

Khusus mengenai perlindungan hukum terhadap varitas baru tanaman atau new plant

variety protection atau juga disebut plant breeder right terdapat suatu konvensi internasional yang dinamakan UPOV “Union Intemationale pour Ia Protection des Obtention Vegetales” atau

4

dalam tahun 1961 dan mulai berlaku dalam tahun 1968.Dalam tahun 1972 dan 1978 di Jenewa UPOV mengalani revisi.Dalam tahun 1991 “1978 Act” direvisi kembali.

Sampai saat ini (berdasarkan data keanggotaan pada tahun 1999), keanggotaan UPOV ada 44 negara.Indonesia belum menjadi anggota Konvensi ini, dan pada saat ini sedang mempersiapkan pengaturan mengenai perlindungan hukum terhadap varitas baru tanarnan.

5. Budapest Treaty

Budapest Treaty on the International Recognition of the Deposit of Microorganisms for the Purposes of Patent Procedures yang disepakati pada tanggal 28 April 1977. Jumlah anggota

Treaty ini pada tanggal 1 Januari 1997 ada 38 Negara (Indonesia tidak termasuk sebagai anggota).

Dalam Treaty tersebut dikenal adanya “International depository authority”, yaitu suatu lembaga yang berfungsi untuk menyimpan jasad renik yang mempunyai keistimewaan/sifat tertentu dan tidak umum. Adapun lembaga yang dapat memperoleh status sebagai “international

depository authority” adalah lembaga yang berada di negara anggota Konvensi yang dapat memberikan jaminan kepada Direktur Jenderal WIPO bahwa lembaga yang bersangkutan dapat memenuhi dan akan terus memenuhi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Perjanjian ini. Pada tanggal 31 Januari 1997 terdapat 30 international depository authorities yaitu : 7 di United Kingdom, masing-masing 3 di Uni Soviet dan Republik Korea, 2 di Amerika Serikat, Cina, dan Italia serta masing-masing 1 di Jerman, Australia, Belgia, Republik Czech, Bulgaria, Perancis, Hongaria, Jepang, Negeri Belanda, Slovakia, dan Spanyol. Perjanjian Budapest dibentuk untuk membantu memecahkan masalah, khususnya bagi permintaan paten di bidang “penemuan mikrobiologi”.Penemuan di bidang ini besar sekali peranannya di bidang farmasi, khususnya.dalam produksi antibiotika, dan di bidang pangan, minuman, penanganan tumpahan

5

minyak bumi, energi alternatif, substitusi pupuk dan pemberantasan limbah beracun. Di sejumlah negara, pengajuan permintaan kepada kantor paten nasional yang hanya berupa suatu uraian tertulis saja secara lengkap tentang penemuan mikrobiologi seringkali dipandang masih kurang memadai, sehingga diperlukan juga adanya contoh mikro organisme itu sendiri, yang harus disimpan pada suatu lembaga penyimpanan khusus. Hal ini tentu bukan merupakan masalah yang sederhana, terlebih lagi seandainya pengajuan permintaan paten yang sama diinginkan dilakukan di beberapa negara secara serentak.

Untuk mengurangi kebutuhan penyimpanan di setiap negara tcmpat perlindungan dimintakan, Perjanjian ini menetapkan bahwa untuk memenuhi prosedur paten maka penyimpanan suatu mikro organisme dapat dilakukan pada salah satu lembaga penyimpanan yang diakui. Hal ini berlaku bagi semua negara anggota, termasuk kantor paten regional (misalnya: EPO).

6. Perjanjian Kerjasama Paten (Patent Cooperation Treaty / PCT)

Perjanjian Kerjasama Paten ditujukan untuk menyederhanakan prosedur administratif yang berkaitan dengan pendaftaran permintaan paten secara internasional. Berdasarkan Keppres No. 16 Tahun 1997 tanggal 7 Mei 1997, Indonesia telah meratifikasi menjadi anggota PCT. Sistem PCT merupakan sistem “pengajuan/pendaftaran” paten, bukan merupakan sistem “pemberian” paten dan dirancang untuk memungkinkan diprosesnya permintaan paten menurut 2 (dua) tahapan yaitu :

1) tahap internasional, mencakup pengajuan pcrmintaan internasional, penclusuran internasional, publikasi internasional dan pemeriksaan preliminer internasional, dan 2) tahap nasional, saat diambilnya keputusan untuk pemberian/penolakan paten secara

6

Sistem ini memungkinkan sebuah permintaan paten diajukan secara serentak pada sejumlah negara dan pengajuan permintaan itu akan merupakan ekuivalensi pengajuan permintaan paten pada masing-masing negara anggota yang dituju sebagaimana yang dinyatakan dalam permintaan paten itu. Permintaan paten internasional cukup diajukan dalam satu bahasa (yang diakui secara internasional), di kantor paten negara asal, dan selanjutnya cukup memenuhi satu ketentuan mengenai persyaratan formalitas.

Manfaat yang diperoleh dari pemakaian sistem PCT dapat diringkaskan sebagai berikut :  Sebelum memasuki tahap nasional, satu permintaan paten, yang diajukan dalam satu

bahasa, pada satu kantor paten, dapat (cukup untuk) menggantikan pengajuan paten yang banyak.

 Dimungkinkan untuk mengajukan permintaan paten pada saat terakhir (sebelum berakhirnya masa pengajuan dengan hak prioritas).

 Tanggal penerimaan permintaan internasional dapat dianggap sebagai tanggal penerimaan permintaan nasional di semua kantor paten yang dituju.

 Persyaratan formal yang seragam dapat diterima oleh semua kantor yang dituju.

 Pengendalian pemrosesan terhadap permintaan paten dapat lebih mudah dilakukan dari negara asal.

 Untuk membantu mengambil keputusan perlu tidaknya melanjutkan pemrosesan permintaan paten, para pemohon dapat memanfaatkan laporan penelusuran yang memberikan indikasi tentang peluang mereka untuk memperoleh paten.

 Seringkali, pemohon tidak perlu memutuskan untuk memasuki tahap nasional atas permintaan patennya sampai 30 bulan sejak tanggal prioritas permintaan, yang berarti 30 bulan sejak tanggal penerimaan paten di negara asal.

7

7. Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity)

Konvensi ini telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994. Tujuan utama dari Konvensi ini adalah mengatur/mengupayakan :

 Terjaminnya kelestarian sumberdaya hayati,

 penggunaan setiap komponen sumberdaya hayati, dan pembagian yang seimbang dan adil atas keuntungan yang diperoleh dari penggunaan dimaksud;

 akses untuk memperoleh sumberdaya genctik, pengalihan tcknologi, dan hak/kcwajiban terkait, serta pendanaannya.

Sebagaimana dimaklumi, Konvensi ini umumnya hanya mngatur hal-hal yang bersifat umum dan normatif dan tidak mengatur mengenai sanksi yang dapat dikenakan dengan tidak dipenuhinya ketentuan dalam Konvensi dimaksud.

Pada saat ini, Pemerintah sedang menelaah peratifikasian beberapa Protokol yang merupakan ketentuan lebih lanjut dari Konvensi ini.Beberapa diantaranya adalah Protokol Cartagena dan Protokol Kyoto.

8. Perjanjian mengenai Aspek-aspek yang berkaitan dengan perdagangan bagi hak atas kekayan intelektual (TRIPS)

Sebagaimana yang telah diketahui, Konvensi ini :

1) Diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan Undang-undang Nomor: 7 Tahun 1994; 2) mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995 (bagi Indonesia, ketentuan yang terkait akan

mulai diberlakukan sejak 1 Januari 2000);

3) mengaitkan Kekayaan Intelektual (Intellectual Property/ IP) dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang diatur dalam ketentuan GATT;

8

 mengurangi hambatan-hambatan terhadap perdagangan;  mendorong inovasi teknologi;

 menciptakan iklim lebih baik untuk pengalihan dan penyebarluasan teknologi;

 menyediakan keseimbangan antara hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang lebih baik antara produsen dan pemakai;

 menyediakan langkah-langkah penegakan yang efektif tanpa menciptakan kendala-kendala untuk perdagangan yang sah.

Perjanjian TRIP tersebut, menuntut adanya ketentuan/standar-standar perlindungan minimal sehubungan dengan : hak cipta dan hak-hak yang terkait; merek dagang termasuk merek jasa; indikasi geografis termasuk nama asal; desain produk industri;. paten, perlindungan bagi varietas tanaman; sirkuit terpadu (integrated circuits); dan rahasia dagang.

II.3. Penyelenggaraan Sistem HKI Di Indonesia

Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI) mempunyai peranan yang penting dalam upaya mewujudkan sistem HKI yang baik sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat, baik yang berasal dari dunia industri dan perdagangan, maupun dari institusi yang bergerak di bidang penelitian dan pengembangan. Sementara ini tugas dan fungsi utama Ditjen HKI adalah menyelenggarakan sistem pengadministrasian hak cipta, paten, dan merek.

Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, yang semula adalah Direktorat Jenderal hak Cipta, Paten, dan Merek (Ditjen HCPM) dibentuk pada tahun 1988. Sebelumnya, pengadministrasian perlindungan HKI dikelola oleh unit lain yang berada di lingkungan Departemen Kehakirnan RI. Di Indonesia, sistem perlindungan Merek telah

9

dimulai sejak tahun 1961, sistem perlindungan Hak Cipta dimulai sejak tahun 1982, sedangkan sistem Paten baru dimulai sejak tahun 1991. Beberapa waktu yang lalu (7 Mei 1997) ketiga peraturan-perundang-undangan tersebut telah diubah untuk menyesuaikan dengan kebutuhannya.

II.4.Ketentuan Umum Tentang Paten

Sebagaimana yang telah diketahui, Paten sebagai salah satu hak khusus di bidang “Intelectual Property Rights” yang diberikan oleh Negara kepada yang berhak atas suatu penemuan hanya dapat diberikan apabila yang bersangkutan mengajukan permintaannya secara resmi kepada Negara.Permintaan paten tersebut harus dilengkapi dengan persyaratan-persyaratan yang telah diatur, baik dalam bentuk Undang-undang, Peraturan Pemerintah dan Keputusan-keputusan Menteri.

Dalam kaitannya dengan pengajuan permintaan paten, selain aturan-aturan pokok tertulis dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten dan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten (yang keseluruhannya selanjutnya disebut sebagai Undang-undang Paten) sementara ini (sambil menunggu ditetapkannya peraturan pelaksanaan yang baru) perlu pula diperhatikan aturan lebih lanjut yang terdapat dalam :

1) Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1991 tentang Tata Cara Permintaan Paten; 2) Keputusan Menteri Kehakiman R.I. Nomor M.06-HC.02.01 Tahun 1991, tentang

Pelaksanaan Pengajuan Permintaan Paten;

3) Keputusan Menteri Kehakiman R.I. Nomor M.04-HC.02.10 Tahun 1991, tentang Persyaratan. Jangka Waktu Dan Tata Cara Pembayaran Biaya Paten;

10

4) Keputusan Menteri Kehakiman RI. Nornor M.01-HC.02.10 Tahun 1991, tentang Paten Sederhana.

Secara umum, dapat dikatakan bahwa ada 2 jenis persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu permintaan paten, yaitu persyaratan formal dan persyaratan substantif.Dengan demikian dikenal 2 jenis pemeriksaan yaitu pemeriksaan formal dan substantif.Yang pertama mencakup pemeriksaan atas kelengkapan administratif dan fisik yang harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum menjalani pemeriksaan yang kedua. Sedangkan yang kedua mencakup pemeriksaan atas: kebaruan suatu penemuan, ada/tidak ada langkah inventif, dan dapat/tidaknva penemuan tersebut diterapkan dalam industri.

II.4.1. Karakteristik Sistem Paten Terdapat 2 jenis paten yaitu :

 Paten (yang dapat diajukan secara konvensional atau melalui PCT).  Paten Sederhana.

3 hal pokok yang diatur dalam Paris Conventionmencakup : a) National Treatment, yang mengatur bahwa :

 dijaminnya pemberian perlindungan HKI yang sama kepada warga negara anggota

Paris Convention lainnya, seperti yang diberikan kepada warga negaranya sendiri;  warga negara dan negara bukan anggota Paris Convention juga mendapatkan

perlindungan yang sama jika yang bersangkutan bertempat tinggal atau memiliki usaha yang nyata di bidang industri atau perdagangan di suatu negara anggota Paris

Convention.

11

Penemuan yang sama lingkupnya, yang diajukan di negara-negara lain yang merupakan anggota Paris Convention, dianggap diajukan pada tanggal yang sama dengan tanggal diajukannya permintaan paten yang pertama, sejauh pengajuannya di negara-ncgara lain tersebut tidak lebih dari 12 (dua belas) bulan terhitung sejak tanggal diajukannya pcrmintaan paten yang pertama tersebut.

c) Common Rules, yang antara lain mengatur :

 Dijaminnya kebebasan dari setiap negara dalam menetapkan keputusan mengcnai dapat atau tidaknya suatu penemuan diberi paten;

 Harus diakui dan dicantumkannya nama penemu dalam dokumen yang terkait :  Pemeriksaan formalitas/administrative

 Publikasi sebelum pemeriksaan substantif  Pemeriksaan substantif yang ditunda  Kesempatan rnenyanggah dari pihak ketiga  Pemeriksaan substantif, meliputi :

 kebaruan (novelty),  inventiveness,  applicability to industry.  Pemberian/penolakan paten  Banding  Lisensi

12

Pada umumnya, pemrosesan permintaan paten yang bermula dari pengajuan permintaan paten sampai pada pemberian paten mengikuti aturan/pola yang sama di kebanyakan kantor paten nasional, dengan beberapa perbedaan kecil berkenaan dengan pentahapan dan waktu. Beberapa kelompok yang berperan pada tahap/proses pemberian paten dapat dikategorikan dalam lima kelompok, yaitu :

 Penemu atau para penerima dari suatu penemuan yang dimintakan perlindungannya;  (Para) pemohon (yang mengajukan permintaan paten). Pemohon mungkin berupa

sebuah badan hukum atau seorang atau lebih, yang biasanya adalah penemu atau para penemunya;

 Pemilik paten, kadang-kadang disebut pemegang paten yang tidak selalu merupakan pemohon paten;

 Kantor paten nasional yang merupakan institusi pemerintah tempat permintaan paten diajukan, dan yang memutuskan apakah suatu paten akan diberikan atau tidak;

 Masyarakat, baik sebagai satu kesatuan atau perorangan. Anggota masyarakat mempunyai hak tertentu, misalnya, dalam keadaan tertentu di beberapa negara, mereka berhak mengajukan toposisi (gugatan/keberatan) terhadap pemberian suatu paten. Di Indonesia, hak dan kewajiban penemu, pemohon, pemilik paten, Kantor Paten, dan masyarakat diatur oleh Undang-Undang Paten dan Peraturan-peraturan pelaksanaannya.

Sebelum mengajukan permintaan, calon pemohon harus memutuskan apakah ia akan mengajukan permintaannya pada saat itu. Keputusannya bergantung pada jawaban-jawaban atas beberapa pertanyaan.Misalnya, apakah penemuan itu dapat dipertimbangkan kelayakannya untuk memperoleh paten oleh Kantor Paten?Apakah penemuan itu mungkin mempunyai nilai ekonomis yang membenarkan/memungkinkannya mengeluarkan biaya-biaya yang berkaitan

13

dengan pemrosesan dan pemeliharaan paten?Atau apakah lebih penting untuk merahasiakan penemuan, jika memang mungkin untuk merahasiakannya, daripada memperoleh paten?

Segera setelah keputusan untuk mengajukan permintaan diambil, spesifikasi yang diperlukan untuk melengkapi permintaan harus disusun.Setelah permintaan disiapkan, permintaan tersebut harus diajukan kepada Kantor Paten.Tanggal diterimanya permintaan itu dan ditetapkannya tanggal penerimaan permintaan paten (filing date) oleh Kantor Paten sangatlah penting dan mempunyai makna hukum.

II.4.3. Prosedur Pra-Pemberian

Langkah-langkah dan penjabaran berikut ini merupakan tahapan yang harus dilalui oleh permintaan paten yang diajukan kepada Kantor Paten Indonesia:

 pemeriksaan formalitas;  publikasi; dan

 pemeriksaan mengenai substansi.

Segera setelah pemintaan diajukan, Kantor Paten memeriksa apakah permintaan itu memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh perundang-undangan paten.Pemeriksaan ini disebut “pemeriksaan formalitas”.Harap pemeriksaan ini dibedakan dan pemeriksaan substantif yang menelaah syarat-syarat kelayakan untuk mendapat paten (sifat kebaruan, langkah inventif, dapat diterapkan dalam industri).

Sebagaimana yang dipersyaratkan dalam Pasal 30 Undang-undang Paten, suatu dokumen permintaan paten harus terdiri dari :

a) Surat permintaan untuk memperoleh hak paten, b) Uraian penemuan,

14

d) Gambar penemuan (satu atau lebih bila ada), e) Abstrak penemuan;

f) Surat kuasa apabila perrnintaan paten dilakukan melalui konsultan paten,

g) Surat pernyataan pengalihan/penyerahan hak atas penemuan dan penemu kepada orang yang mengajukan permintaan paten,

h) Dokumen prioritas apabila diajukan dengan hak prioritas.

Jika selama pemeriksaan formalitas, Kantor Paten Indonesia berpendapat bahwa persyaratan-persyaratan formal belum dipenuhi, maka pemohon akan diberitahu dan diberi waktu tiga bulan untuk memperbaiki kekurangan-kekurangannya. Jika kekurangan persyaratan tersebut tidak dipenuhi dalam waktu yang ditetapkan, maka permintaan paten yang bersangkutan dianggap ditarik kembali. Jika Kantor Paten berpendapat bahwa suatu permintaan paten tidak mengandung rahasia atau tidak lagi mengandung kekurangan-kekurangan formal apapun, Kantor Paten akan mengumumkan permintaan paten tersebut. Undang-undang Paten mengatur bahwa permintaan paten diumumkan segera setelah 18 bulan sejak permintaan itu diajukan.

Tahapan berikutnya adalah pemeriksaan substantif.Indonesia menganut sistem pemeriksaan yang ditunda.Hal ini berarti bahwa pemeriksaan substantif atas suatu permintaan paten tidak dimulai secara otomatis, tetapi hanya dilakukan atas permintaan khusus untuk melaksanakannya.Si pemohon harus mengajukan permintaan untuk pemeriksaan substantif.Ketentuan terakhir menetapkan bahwa pengajuan permintaan substantif dapat dilakukan segera setelah diajukannya permintaan paten tetapi dimulainya pemeriksaan substantif paling cepat dapat dilakukan enam bulan setelah tanggal diumumkannya permintaan paten tersebut oleh Kantor Paten. Paling lambat dalam waktu 36 bulan setelah tanggal penerimaan permintaan paten, permintaan pemeriksaan substantif harus diajukan. Jika tidak diajukan

15

permintaan untuk melaksanakan pemeriksaan substantif dalam waktu yang ditentukan, maka permintaan paten yang terkait akan dianggap ditarik kembali.

Maksud dilaksanakannya pemeriksaan substantif di kebanyakan negara ialah untuk memastikan bahwa permintaan itu memenuhi syarat-syarat tertentu mengenai kelayakan untuk diberi paten. Pada intinya, ini adalah untuk mencegah pemberian paten bila :

a) terdapat ketentuan khusus dalam perundang-undangan yang mengecualikan penemuan itu dan perlindungan paten;

b) penemuan itu tidak baru, tidak melibatkan langkah inventif dan/atau tidak dapat diterapkan dalam industri;

c) penemuan itu tidak diungkapkan secara jelas dan lengkap dalam dokumen yang diajukan; atau

d) permintaan paten yang bersangkutan tidak memenuhi persyaratan fisik yang ditetapkan. Secara lebih spesifik persyarataan/substantif untuk mendapatkan Paten dapat dibahas dalam uraian berikut.

Umumnya diakui bahwa paten untuk suatu penemuan hanya dapat diberikan bila penemuan itu baru, meliputi langkah inventif, dan dapat diterapkan oleh industri.Bila penemuan yang diajukan untuk mernperoleh paten memenuhi ketiga syarat tersebut, maka penemuan itu dapat dikategorikan sebagai “layak diberi paten”.Ketiga syarat tersebut dikenal scbagai syarat-syarat substantif untuk kelayakan paten.Mereka disebut “substantif‟ karena menyangkut inti, pokok, mengenai pemecahan teknis yang diklaim sebagai penemuan dalam permintaan paten.Persyaratan substantif lainnya yang harus dipenuhi oleh suatu permintaan paten ialah bahwa uraiannya harus memenuhi standar kejelasan, dan cukup rinci, klaim yang diajukan harus didukung oleh uraian dan sesuai dengan ketentuan mengenai kesatuan penemuan.

16

Ada dua persyaratan lain yang juga harus dipenuhi untuk memungkinan pemberian paten bagi suatu penemuan, yaitu :

 materi pokok dan penemuan yang diklaim harus merupakan bagian dari suatu bidang teknologi yang perlindungan patennya dimungkinkan;

 materi pokok tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum atau moralitas.

Menurut peraturan yang berlaku dewasa ini materi-materi pokok berikut tidak layak untuk mendapat paten :

a) penemuan-penemuan yang jika diumumkan, dipakai, diterapkan atau diproduksi akan bertentangan dengan hukum, ketertiban umum atau moralitas;

b) metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan atau pembedahan yang diterapkan bagi tubuh manusia atau hewan (produk-produk yang dipakai dalam metode itu dapat dipatenkan);

c) teori-teori ilmu pengetahuan dan cara-cara matematika.

Ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Paten ini telah diselaraskan dengan ketentuan yang diatur dalam Perjanjian TRIP‟s.

Pertimbangan pertama agar suatu penemuan dapat dianggap layak untuk dipatenkan, adalah bahwa penemuan itu harus merupakan hal yang baru syarat kebaruan.Kebaruan merupakan syarat mutlak dalam pemeriksaan substansi.Suatu penemuan dapat dikatakan baru jika penemuan tersebut tidak diantisipasi oleh prior art.Penjelasan “Prior Art” secara sederhana ialah semua pengetahuan yang telah ada sebelum tanggal penerimaan suatu permintaan paten (filing date) atau tanggal prioritas permintaan paten yang bersangkutan, baik melalui pengungkapan tertulis ataupun lisan.Penetapan prior art biasanya didasarkan pada adanya

Dokumen terkait