• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DAN PENDAPATAN PETAN

Lampiran 25 Rumusan strategi Sinkolema

FAKTOR INTERNAL FAKTOR EKSTERNAL KEKUATAN (S)

a. Ketersediaan lahan dan kebun kopi yang luas

b. Budaya masyarakat yang sudah biasa bertani berbagai macam tanaman

c. Visi Pemda untuk menjadikan Kabupaten Kepahiang sebagai tujuan agrowisata

d. Letak geografis yang cocok untuk pengembangan perkrbuan kopi dan ternak lebah madu

e. Tersedianya sarana dan prasarana pendukung seperti air bersih, pasar, jalan yang layak dll

KELEMAHAN (W)

a. Terbatasnya dukungan finansial

b. Kelembagaan di tingkat petani yang masih tidak/kurang berfungsi

c. Masyarakat belum menguasai budidaya lebah madu

d. Penggunaan pestisida yang masih tinggi

e. Belum ada program yang disusun pemda mengenai pengembangan ternak lebah madu

PELUANG (O)

a. Terdapatnya lembaga perguruan tinggi yang memiliki kopetensi penerapan Sinkolema

b. Meningkatnya kebutuhan pendidikan yang berwawasan aplikatif seperti kebutuhan SMK pertanian

c. Tendensi masyarakat Indonesia minum madu yang meningkat

d. Madu adalah komoditi yang dikonsumsi semua lapisan masyarakat baik dalam maupun luar negeri

e. Adanya kepercayaan bahwa minum madu secara rutin dapat meningkatkan kebugaran dan memperpanjang umur

Memanfaatkan peluang mengoptimalkan Kekuatan

d. Optimalisasi pemanfaatan SDA bekerjasama dengan Perguruan Tinggi

e. Merealisasikan Visi dan Misi dengan member bekal pengetahan murid SMK

f. Peningkatan mutu dan produksi madu untuk memenuhi kebutuhan

konsumen

g. Pembenahan sarana dan prasarana produksi untuk memberikan layanan kebutuhan madu dengan cepat dan bermutu

Menanggulangi kelemahan dengan memanfaatkan peluang)

e. Mendapat bimbingan PTN dalam mendapatkan modal

dari sumber keuangan dan membentuk kelembagaan yang kuat

f. Optimalisasi transfer teknologi dari PT/PTN g. Mengurangi mpenggunaan pestisida untuk

menghasilkan madu yang aman dikinsumsi h. Dibuat program pengembangan ternal lebah

bekerjasama engan SMK

i. Pembentukan lembaga Setingkat atau dibawahnya yang khusus menangani satwa harapan termasuk lebah madu

FAKTOR INTERNAL FAKTOR EKSTERNAL KEKUATAN (S)

f. Ketersediaan lahan dan kebun kopi yang luas

g. Budaya masyarakat yang sudah biasa bertani berbagai macam tanaman

h. Visi Pemda untuk menjadikan Kabupaten Kepahiang sebagai tujuan agrowisata

i. Letak geografis yang cocok untuk pengembangan perkrbuan kopi dan ternak lebah madu

j. Tersedianya sarana dan prasarana pendukung seperti air bersih, pasar, jalan yang layak dll

KELEMAHAN (W)

f. Terbatasnya dukungan finansial

g. Kelembagaan di tingkat petani yang masih tidak/kurang berfungsi

h. Masyarakat belum menguasai budidaya lebah madu

i. Penggunaan pestisida yang masih tinggi

j. Belum ada program yang disusun pemda mengenai pengembangan ternak lebah madu

ANCAMAN (T)

a. Tersebarnya produk madu yang diproduksi dan diolah di daerah lain b. Belum adanya peraturan yang dapat

melindungi peterrnak madu

c. Beberapa infrastruktur jalan dan transportasi umum menuju lokasi perlu ditingkatkan

d. Adanya alternatif tempat lokasi lain di Kepahiang

Memakai kekuatan untuk mengantisipasi tantangan/ancaman)

c. Memanfaatkan fasilitas dan akses yang yang dimiliki PEMDA untuk ajang promosi

d. Pembenahan infrastruktur (jalan) dan akselerasi pelaksanaan terwujudnya Kabupaten Kepahiang sebagai Kota tujuan Arowisata

Memperkecil kelemahan dan mengatasi tantangan/ancaman) :

c. Menggalang kerjasama dengan berbagai pihak untuk kegiatan promosi

d. Pemanfaatan secara optimal sumberdaya Pemda yang

dimiliki

e. Kerjasama dengan berbagai pihak (yang satu Misi) untuk perbaikan dan penyediaan sarana dan prasarana pendukung kegiatan Sinkolema

Lampiran 26 Analisis Keberlanjutan Teknologi Sebelum Sinkolema

Lampiran 27 Analisis Keberlanjutan Teknologi Setelah Sinkolema GOOD BAD UP DOWN -60 -40 -20 0 20 40 60 0 20 40 60 80 100 120 Oth er D isti n g ish in g F eatu res Sinkolema Sustainability RAPBEE Ordination GOOD BAD UP DOWN -60 -40 -20 0 20 40 60 0 20 40 60 80 100 120 Oth er D isti n g ish in g F eatu res Sinkolema Sustainability RAPBEE Ordination

Lampiran 28, Analisis Keberlanjutan Ekologi Sebelum Sinkolema

Lampiran 29 Analisis Keberlanjutan Ekologi Setelah Sinkolema GOOD BAD UP DOWN -80 -60 -40 -20 0 20 40 60 -20 0 20 40 60 80 100 120 Oth er D isti n g ish in g F eatu res Sinkolema Sustainability RAPBEE Ordination GOOD BAD UP DOWN -80 -60 -40 -20 0 20 40 60 -20 0 20 40 60 80 100 120 Oth er D isti n g ish in g F eatu res Sinkolema Sustainability RAPBEE Ordination

Lampiran 30 Analisis Keberlanjutan Ekonomi Sebelum Sinkolema

Lampiran 31 Analisis Keberlanjutan Dimensi Ekonomi Sesudah Sinkolema -60 -40 -20 0 20 40 60 0 20 40 60 80 100 120 Oth er D isti n g ish in g F eatu res Sinkolema Sustainability RAPBEE Ordination GOOD BAD UP DOWN -60 -40 -20 0 20 40 60 0 20 40 60 80 100 120 Oth er D isti n g ish in g F eatu res Sinkolema Sustainability RAPBEE Ordination

Lampiran 32 Analisis Keberlanjutan Hukum dan Kelembagaan Sebelum Sinkolem

Lampiran 33 Analisis Keberlanjutan Hukum dan Kelembagaan Setelah Sinkolem GOOD BAD UP DOWN -60 -40 -20 0 20 40 60 0 20 40 60 80 100 120 Oth er D isti n g ish in g F eatu res Sinkolema Sustainability RAPBEE Ordination GOOD BAD UP DOWN -60 -40 -20 0 20 40 60 0 20 40 60 80 100 120 Oth er D isti n g ish in g F eatu res Sinkolema Sustainability RAPBEE Ordination

Lampiran 34 Analisis Keberlanjutan Sosial Budaya sebelum Sinkolema

Lampiran 35 Analisis Keberlanjutan Sosial Budaya Setelah Sinkolema GOOD BAD UP DOWN -60 -40 -20 0 20 40 60 0 20 40 60 80 100 120 Oth er D isti n g ish in g F eatu res SinkolemaSustainability RAPBEE Ordination GOOD BAD UP DOWN -60 -40 -20 0 20 40 60 0 20 40 60 80 100 120 Oth er D isti n g ish in g F eatu res SinkolemaSustainability RAPBEE Ordination

Lampiran 36 Cara pengukuran panjang (FL) dan lebar (Fb) sayap depan (Ruttner,

Lampiran 37 Cara pengukuran panjang dan lebar (B) abdomen pada Tergite 4 (A)

(A)

(B)

Tergite no 4

Lampiran 38 Cara pengukuran panjang proboscis (Ruttner, 1978) P an jan g P ro b o sci s

ABSTRACT

RUSTAMA SAEPUDIN. The Effect of Honeybee-Coffee Plantation Integration on Improving Honey Productivity of Apis cerana. Under supervision of Asnath Maria Fuah, Cece Sumantri, Luki Abdullah and Soesilowati Hadisoesilo.

A study of integrated farming system of honey bee–coffee plantation was conducted in Kepahiang, the Province of Bengkulu. The objective of the study was to evaluate the implementation of Apis cerana being managed in coffee plantation following integrated farming process to increase honeybee and coffee productivity. Location representing two different systems consisted of integrated and non integrated honeybee-coffee plantation were purposively chosen for the study using Apis cerana as major material in this study. Ten stups of honeybee were located in each system. In the integrated system, the stups set to be placed in different position, five stups were placed concerntratedly in the middle of coffee plantation and other five stups were placed spreadly around the platation with the distance between stup was approximately 100-200 meter. The number of honeybees of each stup were approximately 13000 bees. Data collected were analized to measure the production of nectar and honey in the two systems, and then used to formulate a sustainable model of integrated honeybee-coffee plantation. The results of the study indicated that the honey production of A. cerana at coffee plantation were significantly higher (P<0,01) by 114% than those which were off the plantation. Similarly, the coffee production honeybee-coffee plantation was significantly higher by 10.55 % (P<0,01) than those off the plantation. The honeybee colonies which were spreadly placed in coffee plantation significantly produced honey higher (P<0,01) than those in the center. Based on SWOT and sustainability analyses, the integrated honeybee-coffee plantation system was recommended to improve both honeybee and coffee production with a significantly high sustainability index.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Budidaya lebah madu merupakan salah satu alternatif usaha peternakan yang dapat dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan konsumen terhadap produk madu secara nasional. Beberapa keuntungan beternak lebah madu adalah tidak memerlukan lahan yang luas, dapat membantu program kelestarian lingkungan dan dapat meningkatkan perekonomian petani melalui penambahan penghasilan dari penjualan madu. Hal ini sejalan dengan keunggulan ternak lebah madu mudah dibudidayakan oleh masyarakat, memiliki nilai (value) sosial yang tinggi, adaptif terhadap lingkungan di Indonesia dan memiliki peluang ekonomi yang tinggi. Disamping itu, peternakan lebah madu tidak memerlukan biaya yang mahal dalam penyediaan pakannya (zero feed cost), penghasil karbohidrat berkualitas tinggi, dan bertindak sebagai polinator yang baik. Perannya dalam kelestarian lingkungan, Porrini et al. (2003) yang melakukan penelitian selama dua puluh tahun menyimpulkan bahwa lebah madu berfungsi sebagai bioindicator terhadap tingkat pencemaran lingkungan terutama pada kawasan pertanian intensif. Selaras dengan keunggulan-keunggulannya, informasi khasiat dan peranan madu sebagai sumber nutrisi yang berkualitas ditemukan pada hampir semua kitab suci.

Permintaan terhadap madu di Indonesia masih belum terpenuhi dari produk lokal, terbukti dengan beredarnya di pasaran madu yang berasal Thailand dan Cina. Faktor utama penyebab belum terpenuhinya kebutuhan madu dalam negeri adalah produktivitas lebah masih rendah sebagai akibat dari belum ada upaya dan teknologi untuk memanfaatkan sumberdaya alam secara efisien dan belum banyak campur tangan pemerintah terutama pemda dalam mengeluarkan kebijakan atau aturan mengenai pengembangan perlebahan. Walaupun sudah ada program dan upaya budidaya lebah madu sudah dilakukan oleh peternak dalam binaan Dinas Kehutanan, namun masih kurang efektif.

Salah satu upaya mengatasi rendahnya produksi madu adalah memanfaatkan sumberdaya vegetasi sebagai sumber pakan lebah yang berlimpah melalui suatu sistem/pola budidaya yang dilakukan secara terintegrasi dengan memanfaatkan potensi yang ada. Berdasarkan potensi sumberdaya alam seperti

keanekaragaman vegetasi yang tinggi maupun sumberdaya manusianya, Indonesia sebagai negara tropis memiliki keanekaragaman tumbuhan tinggi yang merupakan potensi sangat besar untuk pengembangan lebah madu. Salah satu contoh potensi yang tersedia adalah areal perkebunan kopi yang mencapai 1.73 juta ha (Departemen Pertanian 2005). Tanaman kopi dan tanaman pelindungnya seperti kaliandra mampu mengasilkan nektar dan tepungsari (pollen) yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber pakan sepanjang tahun (Macqueen 1992). Peningkatan efisiensi usaha dan produktivitas lebah madu dapat dilakukan melalui implementasi sistem integrasi antara dua atau lebih sumber komoditas yang berpotensi dikembangkan.

Efisiensi mengembangan semua karakter produksi baik dari aspek teknologi, biologi maupun ekonomi berkontribusi secara terpadu dalam suatu sistem dan memberikan nilai tambah bagi peternak lebah. Secara definisi, sistem adalah sekelompok komponen dalam satu wilayah yang saling mendukung, berinteraksi satu sama lainnya untuk mencapai tujuan yang diharapkan (Dillon et al. 1978). Sistem integrasi kebun kopi dan lebah madu (sinkolema) didasarkan pada hubungan saling menguntungkan antara vegetasi penghasil nektar dengan lebah sebagai polinator tanaman kopi. Disamping untuk meningkatkan produktivitas lebah dalam menghasikan madu juga dapat meningkatkan produksi biji kopi. Produksi madu kopi yang beraroma khas diharapkan dapat menjadi salah satu produk khas dan produk andalan Indonesia.

Pada umumnya perkebunan kopi tersebar secara merata di Indonesia dengan kepemilikan secara perorangan oleh masyarakat petani. Besarnya potensi perkebunan kopi, sehingga pada tahun 2009 Indonesia termasuk negara ke empat terbesar dunia penghasil kopi dengan produksi sebesar 700000 ton setelah Brazil yang mampu menghasilkan kopi 2249060 ton, Viet Nam 1251000 ton dan Columbia 887661 ton (FAO 2011). Sebagian besar wilayah Sumatera termasuk Propinsi Bengkulu, berkebun kopi menjadi mata pencaharian utama masyarakat. Tingginya minat masyarakat dalam mengelola perkebunan kopi didukung oleh harga kopi yang semakin tinggi berkaitan dengan permintaan dunia terhadap kopi terus meningkat, terutama setelah produksi kopi di negara-negara Amerika Latin mengalami penurunan.

Sinkolema didesain dengan tujuan untuk menghasilkan madu kopi murni yang diharapkan menjadi penghasilan utama petani kopi/peternak lebah di Indonesia. Oleh karena sinkolema memiliki karakterstik sebagai berikut: (a) Lebah yang dibudidayakan adalah lebah lokal (Apis cerana) dengan sistem tanpa digembalakan (non-migratory), (b) koloni lebah ditempatkan di areal kebun kopi, (c) pakan utama lebah adalah nektar bunga kopi dan pada saat kopi sedang tidak berbunga kebutuhan pakan lebah dipenuhi oleh tanaman lain seperti kaliandra, kacang-kacangan dan tanaman lain yang menghasilkan nektar, (d) dikembangkan dalam kelompok sehingga diperlukan kelembagaan yang kuat, dan (e) produk utama adalah madu dan kopi organik.

Konsep integrasi merupakan salah satu pola usaha tani yang efisien, produktif dan memiliki tingkat keberlanjutan yang menguntungkan petani peternak. Blesmeijer dan Slaa (2006) dan Byrne dan Fitzpatrick (2009) melaporkan bahwa penerapan integrasi dapat meningkakan produktivitas pertanian.

Kepahiang sebagai salah satu kabupaten di Propinsi Bengkulu yang terletak di Pulau Sumatra, memiliki luas kebun kopi mencapai 29 ribu ha (sekitar 83 % dari 35 ribu ha areal perkebunan) (Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kepahiang 2009). Namun, petani kopi dihadapkan pada beberapa kendala- kendala, antara lain pendapatan yang tidak kontinyu karena produksi kopi bersifat musiman, produktivitas kopi relatif rendah (0.97 ton/ha) dibandingkan dengan produksi optimal sebesar 1.54 ton/ha dan faktor teknis yang berhubungan dengan kapasitas SDM. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kepahiang telah melaksanakan kegiatan-kegiatan pembinaan, pelatihan, pemberian bantuan bibit dan saprodi lainnya untuk peningkatan produksi kopi, tetapi hasil yang diperoleh masih belum memadai karena belum ada upaya dan teknologi untuk meningkatkan produktivitas tanaman kopi. Demikian pula dengan peternakan lebah, di Kabupaten Kepahiang masih dihadapkan pada permasalahan produksi dan kualitas madu yang rendah terkait dengan teknik budidaya dan pemanenan yang kurang tepat. Produktivitas lebah madu di daerah Kepahiang berkisar antara 1-3 kg madu per koloni per tahun lebih rendah dari produksi optimal sekitar 5-10 kg/koloni/tahun (Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kepahiang 2009)

Ketersedian pakan yang belum memadai, penguasaan teknologi budidaya dan panen yang rendah, dan kelembagaan yang belum berfungsi dengan baik merupakan faktor penentu dalam usaha peningkatan produksi madu masyarakat. Integrasi usaha peternakan lebah dengan tanaman kopi merupakan salah satu upaya untuk mengatasi masalah yang dihadapi peternak lebah dan petani kopi dalam meningkatkan produksi madu dan kopi.

Banyak keuntungan yang dapat diperoleh petani kopi dari sistem integrasi kopi lebah madu (sinkolema), namun ada beberapa pertanyaan yang perlu dijawab meliputi: (1) Jumlah koloni lebah yang dapat dibudidayakan pada areal kebun kopi, (2) Cara mengatasi kekurangan pakan pada saat kopi sedang tidak berbunga, (3) Besarnya perubahan produktivitas lebah yang dibudidayakan pada kebun kopi, (4) Model yang tepat dalam penerapan integrasi dan lebah yang berkelanjutan. Kajian dan analisis komprehensif terhadap sistem yang ada perlu dilakukan, sehingga dapat dirumuskan sistem/pola integrasi lebah madu dengan kebun kopi yang dapat diaplikasikan pada perkebunan dengan petani yang memiliki lahan yang sempit (smalholder farmers) dan kemampuan mengadopsi teknologi yang sangat terbatas.

Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penerapan sistem integrasi lebah madu dengan kebun kopi (sinkolema) berbasis potensi sumberdaya lokal di Kabupaten Kepahiang untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan peternak lebah.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan alternalif usaha bagi petani kopi untuk meningkatkan efisiensi usaha dan pendapatan melalui pengembangan budidaya lebah madu di areal kebun kopi. Bagi pemerintah daerah, dapat digunakan sebagai dasar penentuan kebijakan dalam penyusunan program pembangunan pertanian/peternakan.

Kerangka Pemikiran

Petani kopi dan peternak lebah di Bengkulu menghadapi kendala rendahnya produksi kopi dan madu yang diusahakan selama ini. Data

menunjukan bahwa produktivitas kopi pada tahun 2008 sebesar 0.97 ton/ha (hanya 60% dari produksi optimal). Demikian pula dengan produktivitas lebah madu, hasil identifikasi awal menunjukkan bahwa produksi madu hanya berkisar antara 1-3 kg/koloni/tahun, lebih rendah dari produksi ideal 5-10 kg/koloni/tahun). Ketersediaan pakan merupakan penyebab utama rendahnya produksi madu dan hijrahnya koloni lebah, sementara keterampilan peternak dalam hal pemanenan menjadi penyebab rendahnya kualitas madu yang dihasilkan. Sebagian besar peternak belum pernah dibekali ketrampilan budidaya lebah madu melalui kegiatan pelatihan yang relevan. Selama ini budidaya lebah dilakukan di halaman rumah dengan sumber pakan yang sangat terbatas dan pengetahuan yang kurang memadai.

Lebah yang dibudidayakan adalah spesies A. cerana yang kurang ekonomis bila dibudidayakan secara digembalakan (non-migratory) karena karakter A. cerana agresif dan mudah hijrah. Alasan utama mengembangkan A. cerana karena jenis ini termasuk lebah asli Indonesia yang dapat menghasilkan madu organik dan tergolong jenis lebah yang sangat produktif menghasilkan madu walaupun produksinya tidak seproduktif A. mellifera.

Pengembangan kawasan memerlukan suatu konsep dan perencanaan yang tepat terutama berkaitan dengan potensi produksi, rencana pengembangan, teknologi budidaya dan prosesing yang digunakan termasuk SDM pengelola dan analisis positif terhadap berbagai kendala dalam upaya implementasi dan pemasaran hasil. Faktor-faktor penentu keberhasilan usaha lebah madu dan kebun kopi di Kabupaten Kepahiang meliputi keterampilan petani, manajemen pengelolaan dan teknologi yang diperlukan dalam budidaya lebah, pemanenan serta penanganan hasil sehingga madu yang dihasilkan mendapat pasar yang luas.

Integrasi lebah madu dan kebun kopi merupakan salah satu konsep yang mampu meningkatkan kapasitas yang ada, melalui suatu proses biologi yang mutualistis antara kopi dan lebah melalui penyerbukan kopi oleh lebah untuk meningkatkan produksi kopi dan kopi sebagai penyedia nektar dan polen untuk meningkatkan produksi madu. Budidaya lebah madu dan kebun kopi secara terpadu akan meningkatkan efisiensi usaha dan nilai tambah produk disamping menjaga kelestarian lingkungan. Pemanfaatan sumberdaya yang tersedia pada

kawasan perkebunan secara optimum, akan mampu menurunkan biaya produksi dan pada gilirannya meningkatkan pendapatkan petani (Gambar 1).

Metode dan pendekatan yang dilakukan adalah melalui beberapa tahapan berbasis input, proses dan luaran sebagaimana yang disajikan pada Gambar 2.

Kopi Lebah

Exixsting

Condition Daya Dukung Sinkolema Produk

Produksi madu Produksi kopi

Perekonomian Peternak/petani Produksi Nektar Kapasitas Tampung Komponen sistem SDM Teknologi Kelembagaan Budidaya Pengelolaan Analisis Keberlanjutan Kalender bunga TERNAK LEBAH SIKLUS PEMANFAATAN

SUMBER DAYA LOKAL

1. Nektar 2. Polen

PENYERBUKAN

Tanaman kopi

EFISIENSI USAHATANI DALAM RANGKA PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI Tanaman

Kaliandra

Gambar 2. Diagram alir penelitian. Gambar 1. Model pendekatan sinkolema.

Penelitian dilakukan untuk memperoleh data dan informasi tentang pola yang dilaksanakan saat ini, dan penerapan pola integrasi yang efektif bertujuan untuk meningkatkan produksi kopi dan madu. Data yang diperoleh dianalisis untuk menentukan suatu pola yang efisien, aplikatif dan menguntungkan. Disamping itu, komponen-komponen dari model/pola sinkolema yang ditentukan harus memiliki kapasitas penentu keberlanjutan usaha pada kawasan dimaksud, sehingga berdampak terhadap ekonomi wilayah.

TINJAUAN PUSTAKA

Asal Usul dan Klasifikasi Lebah Madu

Lebah madu adalah salah satu jenis serangga dari sekitar 20000 spesies lebah (Winston 1991). Genus lebah yang sudah umum dibudidayakan dan menghasilkan madu adalah genus Apis (Winston 1991). Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Ruttner (1988) bahwa pada umumnya yang termasuk lebah madu (honeybee) adalah A. mellifera, A. cerana, A. dorsata dan A. florea. Pada saat ini lebah madu yang digolongkan stingless bee (Meliponinae) tidak termasuk genus Apis sudah dibudidayakan dengan tujuan utamanya adalah diambil jasanya sebagai polinator karena kemampuannya dalam melakukan penyerbukan. Sihombing (2005); Tingek et al. (1996); Winston (1991); Crane (1990); Gojmerac (1983) mengklasifikasikan lebah madu sebagai berikut:

Kingdom : Animalia Phylum : Arthropoda Class : Insecta Order : Hymenoptera Suborder : Apocrita Superfamily : Apoidea Family : Apidae Subfamily : Apinae Tribe : Apini Genus : Apis

Species : Apis cerana A. mellifera A. florea A. dorsata A. koschevnikovi A. andreniformis A. laboriosa A. nuluensis A. nigrocincta

Apis nigrocincta terdapat pada laporan penelitian Hadisoesilo dan Otis (1996), sedangkan A. nuluensis dilaporkan Tingek et al. (1996).

Sama halnya dengan Ruttner (1988), Winston (1991) mengidentifikasi lima spesies lebah yang sudah dikenal sebagai penghasil madu, yaitu A. mellifera. A. cerana (Indian honey bee) A. dorsata, A. laboriosa (giant honey bees) dan A. florea (dwarf honey bee). Lebah di Indonesia dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu (1) spesies lebah yang sudah dibudidayakan dan (2) spesies lebah belum dibudidayakan. Spesies yang telah dibudidayakan adalah A. cerana dan A. mellifera (Sihombing 2005), A. nigrocincta (Hadisoesilo & Otis 1996), A. nuluensis (Tingek et al. 1996) dan A. koschevnikovi (Hadisoesilo et al. 2008) serta Trigona spp. (Slaa et al. 2006). Lebah madu A. cerana dikatagorikan sebagai lebah lokal yang komersial, sedangkan A. mellifera yang berasal dari Afrika (Winston 1991), dikatagorikan sebagai penghasil madu tertinggi lebah yang dibudidayakan. Secara umum A. cerana mempunyai ukuran kecil sekitar 1.10 cm untuk pekerja (worker), 1.30 cm untuk pejantan (drone) dan 1.50 cm untuk ratu (queen), memiliki sifat mudah hijrah dari sarang (absconding) bila terusik, dan lebih tahan terhadap hama atau predator. Selain itu, lebah ini mampu beradaptasi dengan daerah tropis serta lebih efisien dalam mengumpulkan nektar dari ribuan bunga tanaman yang bertebaran (Crane 1990).

Sihombing (2005) menyatakan bahwa berdasarkan analisis morfometrik, lebah A. cerana dikelompokkan ke dalam empat subspesies, yaitu A. cerana cerana, A. cerana indica, A. cerana japonica, dan A. cerana himalaya. Subspesies A. cerana cerana tersebar di Cina, Afganistan, Pakistan, India bagian utara, dan Vietnam bagian utara. Lebah A. cerana indica terdapat di India Selatan, Indonesia, Filipina, Malaysia, Sri lanka, Banglades, Myanmar, dan Thailand. A. cerana japonica berkembang biak di Jepang, sedangkan A. cerana himalaya berkembangbiak di sekitar pegunungan Himalaya, Nepal. A. cerana indica yang dipelihara di dalam stup baik secara alami maupun buatan manusia digolongkan sebagai lebah lokal Indonesia. Di alam lebah ini membuat sarang dalam rongga-rongga pohon dan celah batu.

Lebah madu species A. mellifera mempunyai ukuran tubuh sekitar 1.25 kali lebih panjang daripada A. cerana, yaitu sekitar 1.35, 1.65 dan 1.90 cm

masing-masing untuk pekerja, jantan dan ratu (Pusbahnas 2008). Ciri-ciri fisik lain adalah warna badan bervariasi dari coklat gelap sampai kuning kehitaman. Lebah ini memiliki sifat sabar dan selalu menjaga sarangnya agar tetap bersih (Pusbahnas 2008). Apis mellifera dibudidayakan di seluruh dunia termasuk Indonesia yang sudah dikenal sejak 1972, didatangkan dari Australia oleh Pusat Apiari Pramuka sebagai lebah unggul yang dapat beradaptasi dengan kondisi iklim tropis Indonesia dan mampu berprodukai tinggi yaitu sekitar 30–60 kg per koloni per tahun (Sihombing 2005).

Spesies-spesies lebah madu yang belum dapat dibudidayakan diantaranya A. dorsata, A. laboriosa, A. andreniformis dan A. florea. Apis dorsata hanya berkembang di Asia seperti; India, Filipina, China dan Indonesia. Madu dari spesies ini dikenal sebagai madu alam atau madu hutan. Di Indonesia, spesies lebah madu tersebut hanya terdapat di pulau Jawa, Sumatera, gugusan Kepulauan Sunda Kecil, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Sihombing 2005). Apis dorsata membangun sarang dengan sisiran tunggal atau selembar bergantung dicabang pohon dan tebing batuan (Winston 1991). Produksi madu per tahun per koloni mencapai 15 - 25 kg (Sihombing

Dokumen terkait