Bagaimana awal panggilan Romo hingga memilih menjadi seorang Imam?
Saya memilih menjadi seorang Imam itu karena mencintai para Imam, dan orang tua cukup akrab dengan beberapa Imam, sehingga ada kedekatan. Panggilan itu akhirnya tumbuh. Tapi, kalau bicara tentang masuk seminari, sebetulnya yang mendaftarkan masuk seminari itu saudari saya. Saya masuk Seminari Menengah Sinar Buana di Weetebula, sampai saya kelas 3 SMA baru terbentuk panggilan menjadi Imam. Saya lalu masuk Seminari Tinggi Kupang, dan ditahbiskan menjadi Imam pada 27 Oktober 2011.
Apa ada kebiasaan doa dalam keluarga, yang kemudian menguatkan Romo dalam panggilan sebagai seorang Imam?
Doa bersama, khususnya waktu makan dan tidur. Kami, lima bersaudara tidak boleh makan sendiri. Makan harus selalu bersama-sama, dan selalu berdoa bersama juga. Kecuali, kakak-kakak saya yang waktu
itu SMA, karena pulang sekolah itu berbeda, sisanya kami akan makan bersama. Semua selalu bersama, dan Bapak selalu pimpin doa. Setelah kami tahu cara pimpin berdoa, baru bergantian. Kebiasaan ini selalu kami lakukan bersama-sama hingga kami dewasa dan hidup sesuai jalan masing-masing (tidak satu rumah lagi). Kedua orang tua masih menghidupi kebiasaan berdoa dan makan bersama itu hingga kini.
Apa motto tahbisan Romo dan kenapa memilih itu?
Ia menyertai kamu dan akan diam di dalam kamu (Yoh 14:17). Ayat ini saya pilih karena seluruh perjalanan hidup saya itu memang panggilan Tuhan. Saya pernah sakit. Waktu kelas 1 SMA, sakit lumpuh layu, tidak bisa jalan. Saya merasa bahwa, seharusnya seminari tidak mempertahankan saya. Tapi, saya masih bertahan. Dalam kesederhanaan dan keterbatasan yang saya miliki, saya mengalami penyelenggaraan Tuhan, hingga tetap bertahan di seminari. Waktu
Pada 1 September 2019, seorang Imam Diosesan baru menjadi bagian dari Unio Keuskupan Banjarmasin. Dia adalah Pastor Damianus Ama Kii. Romo Dami –sapaan akrabnya, menjadi Imam Projo ke-7 di Keuskupan Banjarmasin. Sebelumnya, Romo Dami adalah Imam Diosesan Keuskupan Weetebula di tanah Sumba, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Awal perjalanan Romo Dami dimulai di Loksado, di wilayah Pegunungan Meratus. Bagaimana kisahnya? Crew Ventimiglia berkesempatan mewawancarai Romo Dami di penghujung tahun 2020, dan berikut petikan wawancara dengan Imam yang lahir di Weetebula, 19 April 1983 ini.
Frater tingkat 1, saya divonis hepatitis B – dikarantina kira-kira satu tahun, dan saya alami kesembuhan. Itu bagi saya kembali adalah penyelenggaraan Tuhan. Karena itu kenapa saya memilih Yoh 14:17. Dalam penyelenggaraan Tuhan dari saya lahir, masuk seminari, berkali-kali sakit dan disembuhkan, itu karena Ia menyertai dan diam di dalam kita.
Waktu di Seminari Tinggi, saya juga mengalami orang tua saya sakit. Saya tetap bertekad untuk jadi Imam. Puji Tuhan orang tua masih ada sampai sekarang. Lagi-lagi Tuhan hadir dan menyertai. Dua minggu menjelang tahbisan, saya juga sakit mata ikan. Bagi saya memilih bukan hanya karena alasan kesehatan, tapi ada sekian banyak cara Tuhan membimbing saya. Banyak hal yang saya tidak sadari terjadi, tapi nyatanya itu adalah penyelenggaraan Tuhan. Tuhan Yesus menyertai saya dalam hal-hal kecil. Dari situ keajaiban saya rasakan.
Bagaimana cerita hingga Romo menjadi bagian dari Keuskupan Banjarmasin?
Di awal tahun 2017, saya ikut retret di Cikanyere. Di sana ada ajakan untuk berkarya di wilayah misi Komunitas Tritunggal Mahakudus (KTM). Itu di daerah Loksado, Meratus. Akhirnya, dua minggu menjelang Natal saya melakukan asistensi di Meratus, mendampingi umat dan para
volunteer yang sudah lebih dulu bersama masyarakat di Pegunungan Meratus. Hanya dua minggu saya di Meratus, setelah itu pada Maret 2018 saya kembali ke Meratus, sampai sekarang saya memutuskan untuk jadi bagian dari Keuskupan Banjarmasin.
Ketika kembali pada Maret 2018 ke Meratus, disitulah saya mulai intens lagi mencintai pelayanan di tanah Meratus. Atas restu Uskup Keuskupan Banjarmasin, Mgr. Petrus Boddeng Timang dan Uskup Keuskupan Weetebula, Mgr. Edmund Woga, C.SS.R., pada 1 September 2019, saya menjadi bagian dari Keuskupan Banjarmasin, dan kini ditugaskan sebagai pastor rekan di Paroki Bunda Maria Banjarbaru.
Apa ada cerita menarik dan berkesan ketika Romo berada di Meratus?
Banyak sebetulnya. Misalnya, kedekatan antara budaya Meratus dengan apa yang Gereja miliki, misalnya antara balai adat dan gereja. Di kedua tempat itu, ada kemiripan, di mana orang-orang berkumpul bersama. Lalu, awal saya datang ketika Natal 2017 itu, ada 23 orang dibaptis. Dan, itu adalah karya dan penyelenggaraan Tuhan.
Kalau melihat itu, bukan hanya tentang pembaptisannya, tetapi cara kita hadir di tengah-tengah orang Dayak Meratus. Gereja hadir tidak dalam arti menghakimi, tapi melihat bagaimana pencarian mereka
(orang Meratus) akan Allah itu. Mereka melihat kesaksian kita, gereja yang sungguh memanusiakan manusia. Banyak orang Meratus sebelumnya merasa tertinggal dan ditinggalkan, di saat inilah kita hadir sebagai sesama ciptaan Tuhan. Gereja harus hadir untuk menghargai orang Dayak Meratus sebagai pemilik kebudayaan dan pemilik keberadaban.
Apa ‘salib’ yang Romo rasakan dan alami dalam panggilan sebagai seorang Imam?
Kalau dibilang ‘salib’ lebih pada begini, saya selalu berhadapan dengan situasi baru. Selalu saja, tidak diduga. Ada hal baru, dan saya harus menjalani itu. Ibarat kata, selalu memulai dari nol. Merasa tidak mampu, tetapi selalu mendapatkan tugas di tempat dan suasana yang baru. Jadi kalau saya mengartikan salib itu, salib itu dipikul dan dibawa jalan, kan? Bukan dipikul, lalu kita berdiam diri. Jadi, selama ini, ada kepercayaan yang saya dapatkan. Saya merasa tidak siap, tapi pada akhirnya Tuhan juga menunjukkan cara-Nya. Saya tidak pernah membayangkan dapat melakukan dan menjalani kepercayaan, seperti misalnya ketika berada di Meratus. Dengan penyelenggaraan Tuhan, semua berjalan dengan baik dan itu benar-benar tidak pernah saya bayangkan akan terjadi.
Kesan Romo dan harapan di Tahun Gereja
Berdialog Keuskupan Banjarmasin?
Bagi saya, Keuskupan Banjarmasin mau hadir untuk masyarakat asli di Pegunungan Meratus. Itu sesuatu hal yang luar biasa, terjadi dan saya bangga untuk hal itu. Bahwa, Gereja tidak berpangku tangan tapi masih mau menyentuh dan hadir bersama mereka yang lain, yang
terpinggirkan dan membutuhkan banyak hal, seperti pendidikan dan kesehatan.
Dalam segala keterbatasan, Keuskupan Banjarmasin kekurangan tenaga pastoral, tapi itu jadi motivasi. Kita memberi dari kekurangan, melakukan sesuatu bukan karena kita berkelimpahan tenaga, tapi karena peduli, prihatin, dan mau untuk hadir, tanpa memikirkan kurang atau lebihnya itu. Jika bicara tentang Tahun Gereja Berdialog, kita sudah melewati Tahun Gereja Konstektual, sesuai Ardas Keuskupan Banjarmasin. Meski, semua itu dilewati di tengah Pandemi Covid-19. Gerakan kita yang selalu ada, kita mau menjadi bagian dari Kalimantan Selatan. Di tahun Konstektual boleh dikatakan saat kita mendengar, merekam, melihat, dan juga membatinkan situasi Kalimantan Selatan. Di tahun 2021, sebagai tahun Gereja Berdialog, itu bagi saya pribadi sebagai tahun gerakan. Selain itu Gereja Asia, kan memandang dialog ada tiga hal, yaitu dialog dengan kaum miskin, dialog dengan agama-agama dan kepercayaan lain, dan dialog dengan budaya-budaya lain. Sehingga, harapannya, Gereja Katolik bisa tumbuh bersama sebagai masyarakat dan bagian dari Kalimantan Selatan. (lrn)