• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODE PENELITIAN

D. Jenis dan Sumber Data

2. Sumber Data

a. Data primer, merupakan data yang diperoleh secara langsung dari lapangan atau lokasi penelitian. Data ini bersumber dari hasil observasi dan wawancara dengan para informan yang telah ditentukan oleh peneliti.

b. Data sekunder, merupakan data yang diperoleh yang bersumber dari studi pustaka dan penelusuran dokumen-dokumen pendukung lainnya yang meliputi catatan-catatan adanya suatu peristiwa atau kejadian, artikel, majalah, koran, buku-buku bacaan lainnya yang relevan dengan masalah- masalah yang diangkat dalam penelitian ini.

Teknik pengumpulan data diperlukan untuk memperoleh data/ informasi yang tepat mengenai partisipasi masyarakat dalam program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) di Desa Batujala Kecamatan Bontoramba Kabupaten Jeneponto.

Adapun metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Observasi Lapangan, yaitu suatu metode pengumpulan data dengan mengadakan tinjauan langsung pada objek penelitian dengan cara : a.

Observasi, yaitu suatu cara untuk memperoleh data/ informasi yang dilakukan penulis dengan mendatangi secara langsung lokasi dan mengadakan pengamatan, mencatat fenomena-fenomena yang diselidiki melalui penglihatan dan pendengaran.

2. Wawancara, yaitu salah satu cara untuk memperoleh data/ informasi dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan kepada informan dengan menggunakan alat yang dinamakan kuisioner dan pedoman wawancara (interview guide) yang berupa daftar pertanyaan yang telah disusun sesuai dengan fokus penelit.

3. Survey instansi, yaitu pengumpulan data melalui instansi terkait guna mendapatkan data kualitatif dan data kuantitatif obyek studi.

4. Dokumentasi, yaitu salah satu cara dalam memperoleh data/ informasi khususnya dalam memperoleh bukti yang akurat, yang dapat membantu serta mendukung dalam penelitian, dengan jalan mengumpulkan dokumen-dokumen baik dalam bentuk tertulis, maupun dalam bentuk gambar.

teoritis dengan menghimpun dan menganalisis dokumen-dokumen (buku- buku teks, jurnal-jurnal penelitian dan bahan penelitian lainnya yang relevan), baik dokumen tertulis, gambar maupun elektronik.

F. Variabel Penelitian

Variabel dapat diartikan ciri dari individu, objek, gejala, peristiwa yang dapat diukur secara kuantitatif ataupun kualitatif (Sudjana,1984). Variabel dipakai dalam proses identifikasi, ditentukan berdasarkan kajian teori yang dipakai. Semakin sederhana suatu rancangan penelitian semakin sedikit variabel penelitian yang digunakan. Adapun variabel yang digunakan dalam penelitian ini, dapat dilihat pada tabel 3.3 sebagai berikut :

Tabel 3.3 Variabel Penelitian

No Sasaran Variabel Data Sumber

1. Menjelaskan

Gambaran Pelaksanaan Program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya di Kabupaten Jeneponto

Pelaksanaan Program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya Indikator :

1. Sosialisasi

2. Rembuk Masyarakat

- Penetapan calon penerima bantuan ke penerima bantuan

- Pembentukan Kelompok Kelompok

- Penyusunan RAB - Survey harga material - Penetapan Toko

Primer, dan Sekunder

- Observasi, - Lokasi

Penelitian

G. Metode Analisis Data

Teknik analisis adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan untuk pengelolaan dan menganalisis data-data guna menjawab permasalahan, dan untuk pencapaian tujuan yang diharapkan dalam studi dengan pengorganisasian data dan penentuan kategori. Terdapat beberapa alat analisis yang digunakan dalam studi ini adalah sebagai berikut:

1. Analisis Pelaksanaan Program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya.

Untuk mengetahui tahapan pelaksanaan program Bantuan Stimulan Peruamhan Swadaya, maka penelitian ini menganalisis data secara kualitatif,

Pelaksanaan Program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya di Kabupaten Jeneponto

Program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya :

1. Pencapaian target dari tahun 2012 sampai dengan tahun 2017;

2. Keterlibatan Aktor a. Tenaga Teknis b. Fasilitator c. Masyarakat 3. Nilai Manfaat 4. Sosial

a. Struktur Sosial

 Strata

 Status

 Class b. Sistem Sosial

 Tertutup

 Terbuka

5. Budaya, dilihat dari sistem nilai dan sistem norma.

dan Sekunder

- Lokasi Penelitian

kemudian menginterpretasikan dan menganalisisnya, sehingga diperoleh penjelasan dan pemahaman mengenai gejala yang diteliti. Dalam penelitian ini, akan digunakan model Miles & Huberman (1992) yang mengemukakan bahwa aktifitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif yang berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, hingga datanya sudah jenuh.

Adapun proses datanya mencakup:

a. Reduksi Data (Data Reduction)

Reduksi data merupakan proses mentransformasikan data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan, memfokuskan pada hal-hal yang penting serta memilih hal-hal-hal-hal yang pokok dan merangkumnya.

Dengan demikian data yang sudah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan memudahkan untuk dilakukan pengumpulan data selanjutnya serta memudahkan dalam mencari data lainnya jika diperlukan.

Reduksi data berlangsung secara terus-menerus selama penelitian di lapangan hingga penulisan laporan akhir penelitian selesai.

b. Penyajian Data (Data Display)

Setelah proses pereduksian data, selanjutnya data disajikan/

dimunculkan (display). Penyajian data dapat berbentuk bagan, hubungan antarkategori, dan uraian singkat kalimat yang disusun secara logis dan sistematis dalam menghafal catatan dilapangan yang bias.

Penyajian data yang paling sering digunakan dalam penelitian kualitatif

akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi dan menarik kesimpulan untuk meneruskan langkah selanjutnya dalam melakukan analisis.

c. Penarikan Kesimpulan/ Verifikasi (Conclusion Drawing/ Verification) Langkah ketiga dalam metode interaktif ini adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Pada tahapan ini, berbagai hal yang telah ditemukan di lapangan harus telah dipahami yang kemudian membuat kesimpulan-kesimpulan yang sifatnya sementara. Kesimpulan- kesimpulan sementara tersebut kemudian diverifikasi selama penelitian berlangsung.

Kesimpulan akan berubah bila tidak ditemukan bukti- bukti yang kuat yang mendukung pada tahapan pengumpulan data selanjutnya dan apabila kesimpulan yang dikemukakan di awal telah didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.

2. Analisis Efektifitas Program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya.

Selanjutnya untuk mengetahui kondisi rill dilapangan yang berkaitan dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam hal ini Tim Teknis, Tenaga Fasilitator Lapangan, dan Masyarakat itu sendiri dalam program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya di Desa Batujala Kabupaten Bontoramba, digunakanlah analisis kuantitatif deskriptif dengan menggunakan teknik scoring. Semakin besar skor, maka dapat dikatakan bahwa masyarakat memiliki pengaruh terhadap

proses (citizen power), begitupun sebaliknya apabila semakin rendah skor maka masyarakat hanya sekedar mengikuti kegiatan tanpa adanya tanggapan (komunikasi 1 arah) dan tidak memiliki pengaruh terhadap proses pengambilan keputusan (non participation).

Adapun tahapan yang digunakan dalam analisis scoring ini adalah sebagai berikut :

a. Menghitung total nilai seluruh responden terhadap beberapa indikator pada setiap tahapan kegiatan dan kemudian di rata-rata. Nilai rata-rata tersebut kemudian di jumlah.

b. Nilai akhir kemudian dibandingkan dengan tabel scoring Scooring.

Analisis skala likert digunakan untuk memperoleh skala ordinal, teknik pembobotan dengan skala likert dilakukan baik pada quisioner yang disebar maupun pada masing-masing data yang akan dianalisis. Data yang terkumpul dilakukan kategorisasi dengan skala likert yaitu sangat baik, baik, kurang baik, tidak baik, sangat tidak baik, penentuan kategorisasi dapat dilihat pada Tabel 3.4 berikut :

Tabel 3.4 Penentuan Kategorisasi Tabulasi Silang (Crostabulation)

No. Skala Likert Persentase (%) Nilai Bobot

(1) (2) (3) (4)

1. Sangat Baik 88,87-100 5

2. Baik 66,67-88,88 4

3. Kurang Baik 44,45-66,66 3

4. Tidak Baik 22,23-44,44 2

5. Sangat Tidak Baik/buruk 0,00-22,22 1 Sumber : Soegiono (2005 : 214)

Stimulan Perumahan Swadaya di Desa Batujala Kabupaten Jeneponto dengan Nilai bobot 5 kategori sangat baik, 4 kategori baik, 3 kategori kurang baik, 4 kategori tidak baik, dan 5 kategori sangat tidak baik kemudian hasil dari analisis skala likert di deskriptifkan untuk menilai efektifitas program.

c. Menginterpretasikan secara deskriptif kualitatif nilai akhir tersebut.

H. Definisi Operasional

Untuk dapat memudahkan pengertian dan gambaran yang jelas terhadap variabel yang diangkat dalam penelitian ini serta meyamakan persepsi dalam menginterpretasi, maka definisi operasional dalam penelitiaan ini adalah sebagai berikut :

1. Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya adalah bantuan pemerintah berupa stimulan bagi masyarakat berpenghasilan rendah untuk meningkatkan keswadayaan dalam pembangunan/ peningkatan kualitas rumah beserta prasarana, sarana, dan utilitas umum, dalam hal ini bantuan stimulan perumahan swadaya di Desa Batujala Kecamatan Bontoramba.

2. Masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) adalah Masyarakat yang mempunyai keterbatasan daya beli sehingga perlu mendapat dukungan pemerintah untuk memperoleh rumah yang layak huni, dalam hal ini masyarakat yang tinggal di Desa Batujala Kecamatan Bontoramba.

huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya, serta aset bagi pemiliknya.

4. Rumah tidak layak huni (RTLH) adalah rumah yang tidak memenuhi persyaratan keselamatan bangunan, kecukupan minimum luas bangunan, dan kesehatan penghuni. Dalam hal ini dimaksud rumah tidak layak huni di Desa Batujala Kecamatan Bantoramba Kabupaten Jeneponto.

5. Rumah swadaya adalah rumah yang dibangun atas prakarsa dan upaya masyarakat, dalam hal ini rumah swadaya yang berada di Desa Batujala Kecamatan Bontoramba Kabupaten Jeneponto.

6. Perumahan Swadaya adalah Kumpulan rumah swadaya sebagai bagian dari permukiman baik perkotaan maupun pedesaan yang dilengkapi dengan prasarana, sarana dan utilitas umum

7. Prasarana, sarana, dan utilitas umum yang disingkat PSU adalah kelengkapan dasar fisik, fasilitas, dan kelengkapan penunjang yang dibutuhkan agar perumahan dapat berfungsi secara sehat, aman dan nyaman

8. Tenaga fasilitator Lapangan (TFL) adalah tenaga profesional pemberdayaan lokal yang menjadi penggerak dan pendamping penerima bantuan dalam melaksanakan kegiatan, Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya, dalam hal ini fasilitator yang berada di Desa Batujala Kecamatan Bontoramba.

9. Lokasi BSPS adalah lokasi penerima BSPS per desa/kelurahan yang ditetapkan oleh menteri.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Kabupaten Jeneponto 1. Kondisi Geografi

Kabupaten Jeneponto dengan ibukota Bontosunggu sebagai salah satu sentra produksi garam di Sulawesi Selatan, terletak 91 Km di sebelah selatan Makassar (Ibu Kota Provinsi Sulawesi Selatan) dengan luas wilayah 749,79 Km2 atau 74.979 Ha, yang secara administratif terdiri dari 11 Kecamatan dan 113 Desa/Kelurahan. Kabupaten Jeneponto berbatasan dengan :

 Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Gowa dan Takalar

 Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Bantaeng

 Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Flores

 Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Takalar

Kabupaten Jeneponto dengan letak geografis 5º23’12” - 5º42’1,2”

Lintang Selatan (LS) dan 119º29’12” - 119º56’44,9” Bujur Timur (BT) dengan posisi strategis dan aksebilitas yang tinggi, sehingga memiliki peluang pengembangan ekonomi melalui keterkaitan wilayah khususnya keterkaitan dengan daerah yang mendukung pembangunan sosial ekonomi dan budaya.

Untuk lebih jelasnya tentang luas wilayah Kabupaten Jeneponto dirinci per Kecamatan dapat dilihat pada Tabel 4.1 berikut :

No Kecamatan Luas (Km2) Persentase (%)

1 Bangkala 121,82 16,25

2 Bangkala Barat 152,96 20,40

3 Tamalatea 57,58 7,68

4 Bontoramba 88,30 11,78

5 Binamu 69,49 9,27

6 Turatea 53,76 7,17

7 Batang 33,04 4,41

8 Arungkeke 29,91 3,99

9 Taroang 40,68 5,43

10 Kelara 43,95 5,86

11 Rumbia 58,30 7,78

Jumlah 749,79 100,00

Sumber : Kabupaten Jeneponto Dalam Angka 2016

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa luas wilayah Kabupaten Jeneponto yang terbesar di Kecamatan Bangkala Barat yaitu 152,96 Km2 dan terkecil di Kecamatan Arungkeke yaitu 29,91 Km2. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4.1 Peta Administrasi Kabupaten Jeneponto.

Gambar 4.1 Peta Administrasi Kabupaten Jeneponto

Kondisi tata guna lahan Kabupaten Jeneponto secara umum terdiri atas;

permukiman dan bangunan lainnya (perkantoran, perumahan dan permukiman, pendidikan, perdagangan/jasa, fasilitas sosial), sawah tadah hujan, dan lahan yang tidak diusahakan atau lahan kosong. Pergesaran pemanfaatan lahan Kabupaten Jeneponto secara umum telah mengalami perubahan yang cukup drastis, akibat terjadinya peningkatan pembangunan aktivitas sosial ekonomi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4.2 berikut:

Tabel 4.2 Penggunaan Lahan Kabupaten Jeneponto Tahun 2017

No Jenis Penggunaan Lahan Luas (Ha) Persentase (%)

1 Tegalan 41.855 52.4

2 Hutan 1.978 2.47

3 Hutan Bakau 665 0.83

4 Kebun/Perkebunan 1.244 1.55

5 Pasir Pantai 8.0 0.01

6 Pemukiman 2.674 3.35

7 Sawah Irigasi 10.661 13.3

8 Sawah Tadah Hujan 14.542 18.2

9 Semak Belukar/Alang-Alang 4.249 5.32

10 Sungai 657 0.82

11 Tambak 1.233 1.54

Jumlah 79.766 100.00

Sumber : Interpretasi Citra (GIS Analyst) Tahun 2017

Dari Tabel 4.2 diatas dapat dilihat bahwa penggunaan lahan terbesar di Kabupaten Jeneponto adalah Tegalan yaitu 41.855 Ha atau sekitar 52.4 % dan terkecil yaitu pasir pantai yaitu 8.0 ha atau sekitar 0.01 % dari luas wilayah Kabupaten Jeneponto. Untuk lebih jelasnya tentang penggunaan lahan di

Kabupaten Jeneponto berikut :

Gambar 4.2 : Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Jeneponto

3. Demografi

Perkembangan atau pertumbuhan penduduk merupakan indeks perbandingan jumlah penduduk pada suatu tahun terhadap jumlah penduduk pada tahun sebelumnya. Perkembangan jumlah penduduk dalam suatu wilayah dipengaruhi oleh faktor kelahiran dan kematian (pertambahan alami), selain itu juga dipengaruhi adanya faktor migrasi penduduk yaitu perpindahan keluar dan masuk. Pada dasarnya tingkat pertumbuhan jumlah penduduk, dapat digunakan untuk mengasumsikan prediksi atau meramalkan perkiraan

penduduk dimasa yang akan datang dilakukan dengan pendekatan matematis dengan pertimbangan pertumbuhan jumlah penduduk 3 tahun terakhir.

Data jumlah penduduk Kabupaten Jeneponto 5 tahun terakhir menunjukkan jumlah penduduk pada tahun 2012 sebanyak 348.138 jiwa, sedangkan pada tahun 2016 mencapai 5.213.560 jiwa. Untuk lebih jelasnya perkembangan jumlah penduduk di Kabupaten Jeneponto dapat dilihat pada Tabel 4.3 berikut :

Tabel 4.3 Perkembangan Jumlah Penduduk Kabupaten Jeneponto Tahun 2012-2016

No. Kecamatan 2012 2013 2014 2015 2016

1 Bangkala 50.650 196.010 307.736 483.145 758.358 2 Bangkala Barat 26.758 103.551 162.574 255.242 400.730 3 Tamalatea 40.991 158.631 249.050 391.009 613.884 4 Bontoramba 35.530 137.497 215.871 338.917 532.100

5 Binamu 53.252 206.079 323.545 507.965 797.506

6 Turatea 30.394 117.622 184.666 289.925 455.183

7 Batang 19.496 75.447 118.452 185.970 291.973

8 Arungkeke 18.522 71.678 112.535 176.679 277.387

9 Taroang 22.692 87.816 137.871 216.457 339.837

10 Kelara 26.860 88.466 163.194 256.215 402.257

11 Rumbia 22.993 88.980 139.699 219.328 344.345

Jumlah 348.138 1.331.777 2.115.193 3.320.852 5.213.560 Sumber : Kabupaten Jeneponto Dalam Angka, Tahun 2017

0 100,000 200,000 300,000 400,000 500,000 600,000 700,000 800,000

2012 2013 2014 2015 2016

Gambar 4.3 : Diagram Perkembangan Penduduk Kabupaten Jeneponto Tahun 2016

Dari Tabel 4.3 dan Gambar 4.3 diatas dapat dilihat bahwa perkembangan jumlah penduduk di Kabupaten Jeneponto dari tahun ke tahun terus meningkat. Jumlah Penduduk terbesar adalah di Kecamatan Binamu 797.506 Jiwa dan jumlah penduduk yang terkecil di Kecamatan Arungkeke yaitu 277.387 Jiwa pada Tahun 2016.

4. Sektor Ekonomi

Tujuan penguatan daya saing daerah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, caranya dengan pembangunan yang berkelanjutan. Bruntland (1987) mengemukakan bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan manusia pada masa kini tanpa melupakan kemampuan manusia dalam memenuhi kebutuhan mereka di

masa yang akan datang. Konsep pembangunan berkelanjutan ini, kini sudah menjadi tujuan dalam pembangunan dan pengembangan kota dan kabupaten di Indonesia. Dalam menciptakan kota dan kabupaten yang berkelanjutan, diperlukan lima prinsip dasar, yaitu environment (ecology), economy (employment), equity, engagement and energy (Research Triangle Institute, 1996).

Selama periode tahun 2011- 2015 perekonomian Kabupaten Jeneponto selalu mengalami pertumbuhan secara fluktuatif. Untuk pertumbuhan ekonomi mempunyai rata-rata 7,41%. Di Kabupaten Jeneponto pada tahun 2011 pertumbuhanya sebesar 7,32 % sedangkan pada tahun 2012 terjadi penurunan pertumbuhan sebesar 7,27 % sama halnya di tahun 2013 terjadi juga penurunan pertumbuhan sebesar 6,97 % terus di tahun 2014 terjadi peningkatan sebesar 7,71 % dan di tahun 2015 sebesar 7,80 %. Selama lima tahun terakhir (2011-2015), total nilai tambah oleh aktifitas sektor-sektor ekonomi yang berada di wilayah kabuapten jeneponto baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan ,secara konsisten mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, peningkatan yang lebih besar pada PDRB atas dasar harga berlaku di bandingkan PDRB atas dasar harga konstan yang menunjukkan adanya perubahan nilai rupiah atau terjadi inflasi. Dengan kata lain,rasio PDRB atas dasar berlaku denga PDRB atas dasar harga konstan

Pangkep Toraja Utara

Enrekang Luwu Utara

Jeneponto 17.63% 17.06% 15.16% 14.64% 17.16%

TINGKAT KEMISKINAN MASYARAKAT

yang semakin tinggi menunjukkan adanya peningkatan biaya produksi,meski demikian ,PDRB Kabupaten jeneponto tetap memperlihatkan pertumbuhan ekonomi yang terus konsisten meskipun di tahun 2013 pertumbuhan menurun sebesar 6,97 %, walaupun pada tahun 2013 pertumbuhan menurun sebesar 6,97 %, tetapi pembangunan ekonomi di kabupaten jeneponto terus membaik di lihat dari PDRB atas dasar harga berlaku dan PDRB atas dasar harga konstan tiap tahun meningkat.

1. Kondisi Sosial dan Budaya

Kabupaten Jeneponto termasuk daerah yang tingkat kemiskinannya berada di urutan kedua teratas setelah Kabupaten Pangkep. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan sekaligus menjadi pekerjaan utama bagi pemerintah daerah.

Permasalahan-permasalahan substansial yang merupakan isu-isu pembangunan yang akan diselesaikan kedepan yang di hadapi oleh Kabupaten Jeneponto, antara lain :

Gambar 4. 4 Indeks Pembangunan Manusia

Sumber : Data Statistik IPM Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 201

Jeneponto Toraja Utara Selayar Pangkep

8.50% 7.60% 7.00%

6.00%

KETERTINGGALAN WILAYAH

Dari Gambar 4.4 diatas dapat dilihat bahwa Tingkat kemiskinan di Kabupaten Jeneponto mencapai 17,16 % dan merupakan tertinggi ke dua setelah Kabupaten Pangkep yang mencapai 17,63 %.

Ada beberapa pola atau berbagai dimensi (multiple faced) tentang kemiskinan, yaitu pertama, kemiskinan struktural, kedua kemiskinan budaya dan ketiga budaya miskin (Suradi, 2006). Bank Dunia menjelaskan bahwa kemiskinan adalah ketidakmampuan individu dalam memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk hidup layak (Sumodiningrat, Santoso dan Maiwan, 1999).

Kemiskinan pada umumnya didefinisikan dari segi pendapatan dalam bentuk uang ditambah dengan keuntungan-keuntungan non-material yang diterima oleh seseorang. Secara luas kemiskinan meliputi kekurangan atau tidak memiliki pendidikan, kesehatan yang buruk, dan kekurangan transportasi yang dibutuhkan oleh masyarakat (Suharto, 2004). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4.5 ketertinggalan wilayah di Provinsi Sulawesi Selatan:

Gambar 4. 5 Ketertinggalan Wilayah

Sumber : Data Statistik IPM Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2016

Penetapan Kabupaten Jeneponto termasuk kriteria daerah tertinggal dilakukan dengan menggunakan pendekatan relatif berdasarkan pada perhitungan yaitu: (a) perekonomian masyarakat, (b) sumber daya manusia, (c) prasarana (infrastruktur). (d) kemampuan keuangan daerah, (e) aksesibilitas, (f) karakteristik daerah (Huruswati, 2009). Setelah dinyatakan sebagai daerah tertinggal di Tahun 2010 (Kepmensos RI Nomor 06B/HUK/2010), Kabupaten melakukan langkah-langkah kegiatan upaya pengentasan dari ketertinggalannya. Langkah awal, pemerintah melakukan identifikasi desa tertinggal, yang dilakukan pada tahun 2010. Hasil identifikasi memperlihatkan sebanyak 50 Desa/Kelurahan tertinggal.

B. Gambaran Umum Wilayah Penelitian

Lokasi penelitian berada di Kabupaten Jeneponto yaitu di Kecamatan Bontoramba Desa Batujala.

1. Letak Geografis dan Batas Wilayah

Kecamatan Bantoramba salah satu dari 11 kecamatan di Kabupaten Jeneponto yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Gowa disebelah utara, Kecamatan Tamalate di sebelah timur, Kecamatan Tamalatea di sebelah Selatan dan Kecamatan Bangkala di sebelah barat.

Sebanyak 12 Desa/Kelurahan di Kecamatan Bontoramba merupakan bukan daerah pantai dengan topografi atau ketinggian dari permukaan laut yang sama.

Jarak Desa/Kelurahan ke ibukota Kecamatan maupun ibukota Kabupaten berkisar 3-21 km. Untuk jarak terjauh adalah karangloe yaitu sekitar 21 Km dari ibukota Kabupaten (Bontosunggu), sedangkan untuk jarak terdekat adalah Desa Lentu. Untuk lebih jelasnya tentang letak administrasi Kecamatan Bontoramba dapat dilihat pada Gambar 4.6 Peta Administrasi Kecamatan Bontoramba berikut :

Gambar 4.6 Peta Administrasi Kecamatan Bontoramba

Luas Wilayah 0

5 10 15

11.71 3.91 5.76

3.64 8.35 9.32 12.98 3.96

Luas Wilayah

Luas Wilayah

2. Luas Wilayah

Kecamatan Bontoramba terdiri dari 12 desa/kelurahan dengan luas wilayah 88,30 Km2. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4.4 berikut :

Tabel 4.4 Luas Wilayah Kecamatan Bontoramba Menurut Desa/Kelurahan Tahun 2016

No Desa/Kelurahan Luas (Km2) Persentase (%)

1 Bulusuka 10,34 11,71

2 Maero 3,35 3,91

3 Lentu 5,09 5,76

4 Balumbungan 3,21 3,64

5 Bangkalaloe 7,37 8,35

6 Datara 8,23 9,32

7 Baraya 10,13 11,47

8 Bontoramba 3,59 4,07

9 Batujala 9,21 10,43

10 Bulosibatang 12,82 14,52

11 Kareloe 11,46 12,98

12 Tanammawang 3,50 3,96

Jumlah 88,30 100,00

Sumber : Kecamatan Bontoramba Dalam Angka Tahun 2017

Gambar 4.7 Diagram Luas Wilayah Lokasi Penelitian

Dari Tabel 4.4 dan Gambar 4.7 diatas dapat dilihat luas wilayah lokasi penelitian terbesar adalah Desa Bulosibatang yaitu 12,82 Km2 dan terkecil di Desa Balumbungan yaitu 3,21 Km2.

3. Jumlah Penduduk

Tahun 2015 jumlah penduduk Kecamatan Bontoramba sekitar 36.055 jiwa dan pada Tahun 2016 sekitar 36.291 jiwa. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4.5 berikut :

Tabel 4.5 Penduduk Kecamatan Bontoramba Menurut Desa/Kelurahan Tahun 2013-2016

No Desa/Kelurahan 2013 2014 2015 2016

1 Bulusuka 3.246 3.260 3.280 3.301

2 Maero 2.515 2.525 2.541 2.558

3 Lentu 2.207 2.217 2.231 2.246

4 Balumbungan 2.020 2.029 2.042 2.055

5 Bangkalaloe 3.240 3.254 3.274 3.295

6 Datara 3.602 3.617 3.639 3.663

7 Baraya 2.989 3.002 3.021 3.041

8 Bontoramba 2.154 2.164 2.178 2.192

9 Batujala 4.229 4.248 4.275 4.303

10 Bulosibatang 3.841 3.857 3.881 3.906

11 Kareloe 4.017 4.034 4.058 4.085

12 Tanammawang 1.617 1.625 1.635 1.646

Jumlah 35.677 35.832 36.055 36.291

Sumber : Kecamatan Bontoramba Dalam Angka Tahun 2017

Dari Tabel 4.5 diatas dapat dilihat bahwa jumlah penduduk terbesar pada Tahun 2016 yaitu di Desa Batujala yaitu 4.303 Jiwa sedangkan yang terkecil di Desa Tanammawang yaitu 1.646 jiwa.

4. Ketersediaan Fasilitas.

Jumlah fasilitas pendidikan di lokasi penelitian terdiri dari taman kanak-kanak (TK), sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), sekolah menengah umum (SMU), Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa sebaran fasilitas pendidikan cukup merata untuk tingkat sekolah dasar. Untuk taman kanak-kanak sebanyak 41 unit, SLTP 9 unit, Madrasah sebanyak 1 unit. Secara keseluruhan pelayanan kesehatan umum di hampir tiap Kelurahan sudah terlayani, baik melalui rumah sakit, puskesmas, maupun praktek dokter.

Fasilitas perekonomian di lokasi penelitian sangat beragam, terdiri dari warung / toko, rumah makan, cafe, apotik. Sebaran dari fasilitas ini sudah cukup baik sesuai kebutuhan dari tiap kelurahan. Salah satu upaya dalam meningkatkan laju perekonomian masyarakat di lokasi penelitian adalah dengan tersedianya fasilitas perdagangan dan jasa yang melayani kebutuhan masyarakat. Jenis kegiatan usaha yang ada sangat berperan penting terhadap ketersediaan lapangan kerja di lokasi penelitian.

5. Kondisi Sosial dan Ekonomi a. Jumlah Rumah Tangga Miskin

Jumlah rumah tangga miskin di Kecamatan Bontoramba tercatat 1.454 rumah tangga. Menurut Desa/Kelurahan, nampak rumah tangga

miskin terbanyak terdapat di Desa Baraya yaitu sebesar 155 rumah tangga miskin, menyusul Desa Datara sebanyak 148 rumah tangga miskin.

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4.6 berikut :

Tabel 4.6 Klasifikasi Desa Tertinggal di Kecamatan Bontoramba Menurut Desa/Kelurahan Tahun 2016

No Desa/Kelurahan Tertinggal Tidak Tertinggal

1 Bulusuka √

2 Maero √

3 Lentu √

4 Balumbungan √

5 Bangkalaloe √

6 Datara √

7 Baraya √

8 Bontoramba √

9 Batujala √

10 Bulosibatang √

11 Kareloe √

12 Tanammawang √

Jumlah 5 7

Sumber : Kecamatan Bontoramba Dalam Angka Tahun 2017

Dari Tabel 4.6 Desa tertinggal di Kecamatan Bontoramba sebanyak 5 Desa yaitu Desa Bulusuka, Desa Balumbungan, Desa Baraya, Desa Batujala dan Desa Tanammawang, dan Desa yang tidak tertinggal terdapat 7 Desa yaitu Desa Maero, Desa Lentu, Desa Bangkalaloe, Desa Datara, Desa Bontoramba, Desa Bulosibatang, dan Desa Kareloe.

b. Penerima Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya Desa Batujala Kecamatan Bontoramba

Salah satu yang menjadi fokus dalam peningkatan kesejahteraan yang dicanangkan oleh Pemerintah adalah kondisi perumahan masyarakatnya. Hal ini sesuai yang dijelaskan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman yang merupakan hasil revisi UU Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman, yang menegaskan bahwa rumah adalah salah satu kebutuhan dasar manusia dalam rangka peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat.

Pada Tahun Anggaran 2017, Pemerintah Kabupaten Jeneponto melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat di bawah naungan Satuan Kerja Non Vertikal Tertentu (SNVT) Penyediaan Perumahan Provinsi Sulawesi Selatan, menghadirkan kembali program baru sebagai upaya pemenuhan kebutuhan rumah bagi masyarakat.

Program tersebut adalah program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS). Salah satu daerah yang menjadi sasaran program BSPS adalah Kabupaten Jeneponto yaitu Kecamatan Bontoramba Desa Batujala. Program BSPS ini menargetkan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dan pada prinsipnya berupa penyediaan dana stimulan

guna Peningkatan Kualitas (PK) dan Pembangunan Baru (PB) bagi Rumah Tidak Layak Huni (RLTH). Untuk lebih jelasnya tentang penerima Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya dapat dilihat pada Gambar 4.8 berikut

Gambar 4.8 : a. Kondisi rumah sebelum renovasi, b. Kondisi rumah sedang dalam pekerjaan, c dan d Kondisi rumah setelah renovasi 100 %

a b

c d

Pada Gambar 4.8 diatas dapat perbedaan rumah sebelum renovasi dan setelah renovasi. Tingkat keberhasilan pembangunan melalui program bantuan stimulan perumahan swadaya tersebut sangat ditentukan oleh sejauhmana pembangunan tersebut mampu melibatkan partisipasi masyarakat. Semakin besar tingkat partisipasi masyarakat, maka tingkat keberhasilan pembangunan tersebut akan sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Sehingga pada akhirnya masyarakat sendirilah yang menjadi subjek dan objek dalam pelaksanaan program dan pemerintah hanya mengawasinya tanpa harus terjun langsung kedalam lingkup masyarakat.

C. Pelaksanaan Program Banatuan Stimulan Perumahan Swadaya 1. Distribusi Responden

Data karakteristik penduduk di lokasi penelitian didapatkan dengan cara survey lapangan, dalam penentuan sampel tentunya disesuaikan dengan jumlah populasi penelitian. Jumlah responden yang ditetapkan yaitu 100 orang yang tersebar di tiap Kecamatan Bontoramba. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4.7 berikut :

Tabel 4.7 Distribusi Responden

No. Desa Jumlah Responden (orang)

1. Bulusuka 15

2. Balumbungan 10

3. Baraya 20

Dokumen terkait