• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sanitasi si anak yang terlupakan*

Dari WSP Afrika Timur

*Ambillah, dia tanggung jawab anda (Dep PU), Bukan, dia tanggung jawab anda (Dep Kes) Bukan, anda ambil dia (Depdagri)

A

rtinya memisahkan pelayanan men- jadi bagian-bagian yang lebih kecil - seperti pendekatan 'modular'.

Keuntungannya adalah:

Bisa menggunakan teknologi dan tingkat pelayanan yang berbeda Lebih banyak pihak yang terlibat Masyarakat yang mengambil inisiatif untuk menyelesaikan masalahnya Pendanaan bisa bertahap dalam jum- lah yang lebih kecil dan sumber dana yang lebih bervariasi

Meningkatkan pilihan peranserta dan kepemilikan oleh pengguna. „

Un-bundling

     (Dep. C) (Dep. A) (Dep. B),

penagihan sebesar 87 persen dan pendapatan sekitar Rp. 35 juta/bulan, PDAM Banjarmasin mampu menutupi sebagian be- sar biaya operasi dan pemeliha- raan. Berbeda dengan PDAM Surakarta, yang mengopera- sikan jaringan perpipaan air limbah yang melayani sekitar 10 persen dari jumlah pendu- duk melalui 5.700 sambungan. Komposisinya 99,4 persen ru- mah tangga (domestik) dan 0,6 persen komersial dan niaga. Efisiensi penagihan di kuarter

pertama 2005 hanya sekitar 14,5 persen, hal ini menjadikan pengelolaan air lim- bah di Surakarta masih jauh dari cost recovery.

Topik ketiga tentang 'SBM (Sanitasi Berbasis Masyarakat) dan pemetaan sebagai tahapan menuju sanitasi perpipa- an yang efisien'. Ciri utama sanitasi ber- basis masyarakat adalah menempatkan masyarakat sebagai pemegang keputusan utama dalam pemilihan, pembiayaan, dan manajemen sistem sanitasi, dengan menggunakan pendekatan yang tanggap terhadap kebutuhan. SBM dinilai mampu menjadi solusi alternatif dalam penyedi- aan layanan sanitasi terutama bagi ma- syarakat miskin perkotaan. Namun SBM tidak dapat meningkatkan cakupan la- yanan perkotaan secara nyata karena pe- layanan terbatas pada lingkungan yang kecil. Sanitasi terpusat perkotaan, dinilai mampu menjangkau area yang relatif lebih luas namun masih menghadapi kendala seperti tarif dan efisiensi pena- gihan yang rendah, dan minimnya kapa- sitas pendanaan. Tantangan pengelolaan sanitasi skala kota adalah bagaimana mengintegrasikan SBM dengan bentuk- bentuk lain dari pelayanan sanitasi seper- ti air limbah perpipaan dan untuk men- ciptakan dukungan publik dan politik untuk investasi sektor sanitasi.

Topik keempat mengenai 'Member-

dayakan PDAM untuk memberikan pe- layanan air dan sanitasi bagi masyarakat miskin'. Sebelum PP 16/2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum efektif, belum ada peraturan yang secara eksplisit mengamanatkan PDAM untuk melayani masyarakat miskin. Me- nurut penelitian yang dilakukan oleh Mercy Corps di tahun 2004, masyarakat miskin di Jakarta menghabiskan 12-15 persen anggaran keluarganya untuk air bersih. Jika mendapatkan sambungan langsung, keluarga miskin dapat meningkatkan konsumsi air dari 2 ke 10 m3 per bulan, namun tetap dapat meng- hemat pengeluaran mereka untuk air ber- sih sekitar 11 persen. Kenapa PDAM? Karena sementara ini sebagian besar pelayanan air bersih perpipaan masih dimonopoli oleh PDAM. Beberapa upaya untuk memberdayakan PDAM untuk melayani masyarakat miskin misalnya: dukungan pemerintah, penyempurnaan peraturan, penyehatan PDAM, pelibatan masyarakat, pemberian insentif.

Sesi kedua berupa diskusi partisipatif yang dibagi dalam empat kelompok. Masing-masing membahas topik: (i) mengenal lebih jauh tentang SBM dan mengintegrasikannya pada sanitasi seka- la kota; (ii) persiapan dan kajian kela- yakan untuk sistem sanitasi perpipaan; (iii) peran dan posisi PDAM dalam me-

ngelola sanitasi perkotaan; (iv) pemulihan biaya dalam sektor sanitasi. Di kelompok pertama, peserta berpendapat bahwa prakarsa SBM dapat dipicu baik oleh masyarakat maupun intervensi dari pihak luar, namun keputusan utama tetap harus di tangan masyarakat. Stakeholder yang dapat berper- an dalam prakarsa SBM tidak terbatas pada pemerintah dan LSM saja, sektor swasta pun dinilai berpotensi, dengan menjadikan SBM sebagai salah satu pilihan sistem sanitasi. Untuk itu di- perlukan upaya untuk mempromosikan SBM ke berbagai pihak. Di kelompok dua promosi juga dinilai sebagai salah satu komponen yang penting sebelum me- langkah dari SBM ke sanitasi skala kota. Peserta berpendapat bahwa sanitasi skala kota memerlukan kombinasi dari sistem SBM dan sanitasi terpusat, dengan memadukan kelebihan dan kekurangan dari masing-masing pendekatan. Kelom- pok tiga berpendapat bahwa PDAM me- mungkinkan untuk mengelola air limbah skala kota dan juga berperan serta dalam prakarsa SBM. Namun peran ini tidak akan mengambil alih peran pihak-pihak lain yang sudah ada, tetapi lebih sebagai alternatif institusi penanggung jawab pihak pemerintah daerah selain dinas. Walaupun begitu kekhawatiran bahwa PDAM belum mampu mengelola dua jenis pelayanan tetap muncul dalam diskusi. Kelompok empat berpendapat bahwa kegiatan sanitasi dapat memu- lihkan biaya jika diperoleh subsidi yang cukup untuk break even dengan penda- patan yang diterima. Kebijakan yang di- nilai perlu untuk mendukung sektor sani- tasi adalah mengenai capital works dan pembiayaan operasi dan pemeliharaan. Peningkatan kesadaran publik termasuk juga dalam hal kesadaran untuk memba- yar sangat diperlukan.„(Lina)

E P U T A R W A S P O L A

S

D

alam rangka uji coba penerapan pendekatan CLTS (Community- Led Total Sanitation), Kelom- pok Kerja AMPL menyelenggarakan pe- latihan bagi tim inti pendekatan CLTS di Lumajang, Jawa Timur, 2-5 Mei 2005. Acara ini dihadiri oleh 38 orang peserta dari tim inti pusat (Bappenas, Dep. PU, Depdagri, Depkes, WSLIC, CWSH, WASPOLA/WSP-EAP), dan daerah (Pemda Kab. Lumajang, Kab. Sumbawa, Kab. Muara Enim, Kab. Sambas, dan Kab. Muaro Jambi).

Pelatihan ini bertujuan untuk (i) Memberikan pembekalan kepada tim inti untuk memahami prinsip dasar, tahap- tahap metodologi, dan tips melaksanakan uji coba pendekatan CLTS; (ii) Me- nyiapkan tim inti yang kelak akan bertu- gas untuk melaksanakan pelatihan dan mengawal proses uji coba di masing-ma- sing kabupaten; (iii) Melatih keterampil- an memicu dan memfasilitasi pendekatan CLTS dengan cara mempraktikkan secara langsung di masyarakat; dan (iv) Mema- hami dan menyepakati bentuk dukungan yang dibutuhkan di masing-masing kabu- paten untuk pelaksanaan uji coba.

Pelatihan ini dibuka oleh Oswar Mungkasa, mewakili Direktur Permu- kiman dan Perumahan, Bappenas. Ia me- ngatakan akses sanitasi di Indonesia masih belum memadai. Banyak pra- sarana dan sarana yang terbangun tidak berfungsi dengan baik (unsustained) atau tidak memenuhi persyaratan. Salah satu kendalanya adalah rendahnya kesadaran masyarakat mengenai pen- tingnya hidup bersih dan sehat (higieni- tas pribadi) sehingga menyebabkan min- imnya permintaan terhadap pelayanan sanitasi serta rendahnya willingness to pay terhadap pelayanan sanitasi. Selain itu, lanjutnya, ada ketergantungan pada pendanaan dari pemerintah pusat. Oleh

tasi lingkungan dan membantu upaya peningkatan akses sanitasi.

Pelatihan ini diisi oleh Kamal Kar, pakar CLTS. Ia menjelaskan CLTS meru- pakan suatu pendekatan untuk mengini- sasi/memicu (ignite/trigger) rasa jijik dan malu masyarakat atas kondisi sani- tasi dimana mereka buang air besar ditempat terbuka (open defecation) se- hingga pada akhirnya mereka mencari solusi secara bersama untuk mengubah kondisi mereka. Asumsi dasar

yang digunakan adalah bahwa tidak ada seorangpun yang tidak tergerak apabila mereka mengetahui bahwa mereka telah saling memakan kotoran mereka satu dengan yang lain- nya (eating each other shit). Selain itu, CLTS memicu ma- syarakat untuk menyadari bahwa masalah sanitasi meru-

dengan kesadaran dan usaha mereka sendiri, tidak ada hubungan dengan sub- sidi. Target dari penerapan pendekatan CLTS pun tidak didasarkan pada indika- tor jumlah jamban yang berhasil diba- ngun (number of toilet) melainkan beru- bahnya kebiasaan masyarakat untuk tidak buang air besar di tempat terbuka (open defecation).

Melalui CLTS akan diperkenalkan suatu perubahan pendekatan :

E P U T A R W A S P O L A

Dokumen terkait