• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PENUTUP

B. Saran

Setelah melakukan penelitian, peneliti mengajukan beberapa saran, yaitu : 1. Guru diharapkan mengenalkan model pembelajaran hands-on, karena

model ini dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk memperoleh pengetahuan sendiri dengan melakukan suatu percobaan guna memahami konsep dan melatih keterampilan tangan.

2. Aspek psikomotor merupakan aspek yang penting untuk mengetahui hasil belajar siswa. Model ini mampu membantu untuk mengungkap aspek psikomotor siswa.

3. Persiapan alat dan bahan praktikum harus diperhatikan dengan baik agar proses pembelajaran berjalan lebih baik dan memperoleh hasil belajar yang lebih baik.

Arikunto, Suharsimi Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan Edisi Revisi, (Jakarta: Bumi Aksara. 2007)

Arikunto, Suharsimi, Manajemen Penelitian, (Jakarta:PT Rineka Cipta, 2007) Arikunto, Suharsimi Prosedur Penelitian Statistika Untuk Penelitian: Suatu

Pendekatan Praktik, (Jakarta: Rieneka Cipta, 2006), ed. Revisi IV, cet.13. Dahniar, Nani, Pertumbuhan Aspek Psikomotorik dalam Pembelajaran Fisika

Berbasis Observasi Gejala Fisis pada Siswa SMP, (Jurnal pendidikan Inovatif, Vol 1, No. 2,)

Depdiknas 2008. Pengembangan Perangkat Penilaian Psikomotor. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas.

Educational Broadcasting Corporation, “Construktivism as a Paradigm for Teaching and Learning: what does Construktivism have to do with my Classroom?,” artikel diakses pada tanggal 14 Juli 2010 dari (http://www.Thirteen.org).

Efendi, Ridwan, Kajian Penguasaan Konsep Dan Kemampuan Inkuiri Siswa Pada Konsep Hukum Newton Tentang Gerak Melalui Model Pembelajaran Learning Cycle Dengan Tiga Teknik Hands On. (Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan Dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 14 Mei 2011)

Feronika, Tonih, Analisis Kemampuan Psikomotor Siswa Dalam Pembelajaran Hands On Dengan Teknik Challenge Exploration Activity. EDUSAINS vol. 1 No. 2 Desember 2008.

Haury L. David dan Peter Rillero, Perspective of Hands-on science Teaching.,(Columbus:The ERIC Clearing for Science, Mathematics, and Environmental Education,1994. (online), dari http://www.ncrel.org/sdrs/areas/content/issue/content/cntareas/science/eric /-2html, diakses 20 januari 2010, hlm. 2-3

Herliani, Elly dkk., Penilaian Hasil Belajar Untuk Guru SMP. PPPTK IPA. Bandung. 2009.

Jurnal Penelitian Dan Pengembangan Pendidikan, JPPP, Lembaga Penelitian Undiksha, April 2008

Kartono. Hands On Activity Pada Pembelajaran Geometri Sekolah Sebagai Asesmen Kinerja Siswa. (Jurusan Matematika FMIPA UNNES)

Nazir,Moh., Metode Penelitian (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005)

Nermin & Olga, The Effect of Hands-on Learning Stations on Building American Elementary Teachers’ Understanding about Earth and Space Science Consepts, Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology Education, 2010, 6(2),

Purwanto, Ngalim, Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000)

Riyanti. Pembelajaran Biologi Dengan Group Investigation Melalui Hands On Activities Dan Elearning Ditinjau Dari Kreativitas Dan Gaya Belajar Siswa.Tesis.Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret. 2009 Rustaman, Y. Nuryani, Konstruktivisme Dan Pembelajaran IPA/Biologi.

(Makalah Disampaikan Pada Seminar/Lokakarya Guru-Guru IPA SLTP Sekolah Swasta Di Bandung 7-15 Agustus 2000).

Sanjaya, Wina, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta: Kencana Pernada Media Group. 2006)

Slameto. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi . (Jakarta: Rieneka Cipta. 2010)

Sofyan, Ahmad. Evaluasi Pembelajaran IPA Berbasis Kompetensi, (Jakarta: UIN Press, 2006)

Sudjana, Metoda Statistik, (Bandung : Tarsito, 2005)

Sudjana, Nana, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, cet. 13 (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009)

Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, kualitatif, dan R&D, (Bandung:Alfabeta, 2008)

Sugiyono, Statistika Untuk Penelitian, cet.13, (Bandung: Alfabeta, 2008).

Suparno, Paul, Metodologi Pembelajaran Fisika Konstruktivistik Dan Menyenangkan. (Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, 2007)

Surianto, Teori Pembelajaran Konstruktivisme, http://surianto200477 .wordpress.com/2009/09/17/teori-pembelajaran-konstruktivisme/diakses pada tanggal 11 Oktober 2010

Syah, Muhibbin, Psikologi Belajar, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu. 2001) Trianto, Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik,

(Jakarta: Presrtasi Pustaka Publisher, 2007)

Trianto, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009)

Trianto, Model Pembelajaran Terpadu Konsep, Strategi, dan Implementasinya dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007)

Wirasih, Anni dkk., IPA Terpadu: SMP/MTs Kelas VII (Depdiknas 2008)

Yamin, Martinis dan Bansu I Ansari,. Taktik Mengembangkan Kemampuan Individual

Yuliati, Pembelajaran Fisika berbasis Hands-on Activties untuk Menumbuhkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Meningkatkan Hasil Belajar Siswa SMP, ISSN: 1693-1246 Januari 2011, dalam ht tp:/ / journal.unnes.ac.id

8 A. Filsafat Konstruktivisme

Filsafat konstruktivisme adalah filsafat yang mempelajari hakikat pengetahuan dan bagaimana pengetahuan itu terjadi. Suparno mengutip pendapat Bettencourt bahwa menurut filsafat konstruktivisme, pengetahuan itu adalah bentukan (konstruksi) siswa sendiri yang sedang menekuninya.2 Menurut pandangan konstruktivisme bahwa setiap individu mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, bila yang sedang menekuni adalah siswa maka pengetahuan itu adalah bentukan siswa sendiri. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah jadi, tetapi sesuatu yang harus dibentuk sendiri. Jadi pengetahuan itu selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif melalui kegiatan berpikir seseorang. Pengetahuan merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman sejauh dialaminya. Proses ini akan berjalan terus menerus setiap kali mengadakan reorganisasi karena adanya suatu pemahaman yang baru.

Menurut Trianto teori konstruktivis menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai.3 Untuk dapat mengetahui sesuatu siswa haruslah aktif sendiri mengkonstruksi. Dengan kata lain, dalam belajar siswa haruslah aktif mengolah bahan, mencerna, memikirkan, menganalisis, dan akhirnya yang terpenting merangkumnya sebagai suatu pengertian yang utuh. Pengetahuan merupakan suatu proses menjadi tahu. Suatu proses yang terus akan berkembang semakin luas, lengkap dan sempurna.

2

Paul Suparno, Metodologi Pembelajaran Fisika Konstruktivistik Dan Menyenangkan. (Yogyakarta: Universitas Santa Dharma, 2007) h. 123.

3

Trianto, S.Pd, M.Pd. Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007) h. 13

Menurut teori konstruktivis satu prinsip yang paling penting dalam psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya. Guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberi kesempatan siswa untuk menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri, dan mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar.4

Dari perspektif konstruktivisme, pembelajaran bermakna dapat dibina di dalam diri peserta didik sebagai hasil pengalaman-pengalaman pancainderanya dengan alam. Mereka menggunakan pengalaman pancaindera dengan cara membentuk skema atau struktur kognitif dalam pikiran mereka sehingga akan tercipta makna dan pemahaman mereka terhadap situasi dan fenomena yang ada.

Dalam pembelajaran konstruktivisme, siswa belajar sains tidak hanya menerima informasi tentang produk sains, tapi melakukan proses ilmiah untuk menemukan fakta dan membangun konsep dan prinsip di bidang sains. Sangat jelas bahwa tanpa keaktifan siswa tidak akan berhasil dalam proses belajar mereka.

B. Hakikat Pembelajaran Konstruktivisme

Salah satu landasan teoritik pendidikan modern adalah teori pembelajaran konstruktivime. Pendekatan ini pada dasarnya menekankan pentingnya siswa membangun sendiri pengetahuan mereka lewat keterlibatan aktif proses belajar mengajar. Konstruktivisme merupakan landasan berpikir (filosofi) pendekatan kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong.5 Dalam proses pembelajaran, siswalah yang harus mendapatkan penekanan. Merekalah yang harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukan pembelajar atau orang lain.

4

Trianto, Ibid, h. 13 5

Mereka yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Penekanan belajar siswa secara aktif ini perlu dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri.

Beberapa hal yang mendapat perhatian pembelajaran konstruktivistik, yaitu: (1) peran aktif dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna, (2) pentingnya membuat kaitan antar gagasan oleh siswa dalam mengkontruksi pengetahuan dan (3) mengaitkan antara gagasan siswa dengan informasi baru di kelas.6

Teori perkembangan Piaget mewakili konstruktivisme, yang memandang perkembangan kognitif sebagai suatu proses dimana anak secara aktif membangun sistem makna dan pemahaman realitas melalui pengalaman-pengalaman dan interaksi-interaksi mereka.7 Teori belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi denga ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Perkembangan kognitif sebagian besar ditentukan oleh manipulasi dan interaksi aktif anak dengan lingkungan. J. Piaget mengartikan bahwa adaptasi terhadap lingkungan dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses penyempurnaan skema yang telah terbentuk. Sedangkan, akomodasi adalah proses perubahan skema.8 Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada. Proses akomodasi menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat. Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan

6

Dr. Nuryani Y. Rustaman. Konstruktivisme Dan Pembelajaran IPA/Biologi. (Makalah Disampaikan Pada Seminar/Lokakarya Guru-Guru IPA SLTP Sekolah Swasta Di Bandung 7-15 Agustus 2000).

7

Ibid. h. 14 8

Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta: Kencana Pernada Media Group. 2006), h.122

rangsangan itu. Akomodasi, dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang telah dipunyai. Pengalaman yang baru itu bisa jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan demikian orang akan mengadakan akomodasi.

Menurut J. Piaget pada dasarnya individu sejak kecil sudah memiliki kemampuan untuk mengkonstruk penetahuannya sendiri.9 Strategi pembelajaran berbasis konstruktivisme dari Piaget, dengan ide utamanya sebagai berikut:

1. Pengetahuan tidak diberikan dalam bentuk jadi (final), tetapi siswa membentuk pengetahuannya sendiri melalui interaksi dengan lingkungannya, melalui proses asimilasi dan akomodasi.

2. Agar pengetahuan diperoleh, siswa harus beradaptasi dengan llingkungannya

3. Andaikan dengan proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi terhadap lingkungannya, terjadilah ketidakseimbangan (disequilibrium). Akibatnya terjadilah akomodasi, dan struktur yang ada mengalami perubahan atau struktur baru timbul.

4. Pertumbuhan intelektual merupakan proses terus menerus tentang keadaan ketidakseimbangan dan keadaan seimbang (disequilibrium-equilibrium). Tetapi, bila terjadi kembali keseimbangan, maka individu itu terjadi kembali keseimbangan, maka individu itu berada pada tingkat intelektual yang lebih tinggi dari pada sebelumnya.10

Dari keterangan diatas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa teori ini memberikan keaktifan terhadap manusia untuk belajar menemukan sendiri kompetensi, pengetahuan atau teknologi, dan hal lain yang diperlukan guna mengembangkan dirinya sendiri.

9

Wina Sanjaya, ibid, h.122

10

Martinis Yamin dan Bansu I. Ansari, Taktik Mengembangkan Kemampuan Individual Siswa.(Jakarta: Gaung Persada Press. 2009), h. 91

Belajar adalah suatu aktivitas yang berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri siswa dengan faktor ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku. Berikut adalah tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa juga disebut tahap perkembangan mental. Ruseffendi mengemukakan:

a. Perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama. Maksudnya, setiap manusia akan mengalami urutan-urutan tersebut dan dengan urutan yang sama

b. Tahap-tahap tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental (pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual

c. Gerak melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration), proses pengembangan yang menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi).11

Berdasarkan uraian diatas, diartikan bahwa dalam pembelajaran menurut konstruktivisme guru perlu mengidentifikasi secara dini pengetahuan awal siswa. Hal ini bertujuan agar bentuk kegiatan yang akan dilakukan oleh guru dapat disesuaikan dengan karakteristik siswa. Konstruksi berarti bersifat membangun, dalam konteks filsafat pendidikan, Konstruktivisme adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern. Konstruktivisme merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajaran konstektual yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan

11

memberi makna melalui pengalaman nyata12. Pembelajaran konstruktivis memiliki beberapa karakteristik seperti pada tabel:

Tabel 2.1.Karakteristik Pembelajaran Konstruktivisme

No Karakteristik Penjelasan

1. Constructed Siswa mengikuti proses pembelajaran tidak dengan kepala kosong. Mereka telah memiliki konsepsi awal berupa pengetahuan, ide, dan pemahaman yang sebelumnya telah terbentuk. Melalui konsepsi awal tersebut siswa dapat mengkonstruksi pemahaman dan pengetahuan baru.

2. Active Siswa membentuk pengetahuan dan pemahamannya sendiri. Guru hanya membimbing, memantau, dan memberi masukan, selain itu guru juga memberikan ruang gerak bagi siswa untuk menyelidiki dan mempertanyakan pengetahuan serta mencoba aktivitas belajar baru, yang bertujuan untuk membantu siswa mencapai tujuan pembelajaran.

3. Reflective Guru dan siswa berupaya untuk meninjau ulang, mengorganisir, mengklarifikasi, dan mengevaluasi hal-hal yang telah dipelajari. 4. Collaborative Dengan bekerja sama, siswa dapat saling

bertukar pikiran untuk memudahkan mereka dalam memahami pelajaran maupun untuk memperkaya pengetahuan.

5. Inquiry-Based Aktivitas siswa yang mengacu pada pembelajaran konstruktivisme adalah pemecahan masalah, dengan tahapan mencari akar permasalahan, investigasi masalah, dan menggunakan berbagai sumber untuk pemecahan masalah.

6. Revolving Guru membantu siswa untuk melakukan eksplorasi terhadap hal baru atau pelajaran yang sedang dikaji, agar yang dipelajari siswa lebih bermakna pada kehidupan nyata. 13

12

Surianto, Teori Pembelajaran Konstruktivisme, artikel diakses 11 Oktober 2010 dari (http://surianto200477.wordpress.com/2009/09/17/teori-pembelajaran-konstruktivisme/)

13

Educational Broadcasting Corporation, “Construktivism as a Paradigm for Teaching and Learning: what does Construktivism have to do with my Classroom?,” artikel diakses pada tanggal 14 Juli 2010 dari (http://www.Thirteen.org).

Teori konstruktivisme menekankan bahwa dalam proses pembelajaran siswalah yang harus mendapatkan penekanan, merekalah yang harus aktif menggabungkan pengetahuan mereka, bukannya guru atau orang lain. Mereka yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Belajar lebih diarahkan pada experiental learning yaitu merupakan adaptasi kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkrit di laboratorium, diskusi dengan teman sejawat, yang kemudian dikontemplasikan dan dijadikan ide dan mengajar tidak terfokus pada si pendidik melainkan pada pembelajar. Belajar seperti ini selain berkenaan dengan hasilnya juga memperhatikan prosesnya dalam konteks tertentu.

C. Hakikat Pembelajaran IPA

Menurut Marsetio Donosepoetro, pada hakikatnya IPA dibangun atas dasar produk ilmiah, proses ilmiah dan sikap ilmiah. Selain itu, IPA dipandang pula sebagai proses, sebagai produk, dan sebagai prosedur14. Sebagai proses diartikan semua kegiatan ilmiah untuk menyempurnakan pengetahuan tentang alam maupun untuk menemukan pengetahuan baru. Sebagai produk diartikan sebagai hasil proses, berupa pengetahuan yang diajarkan dalam sekolah maupun di luar sekolah. Sebagai prosedur dimaksudkan adalah metodologi atau cara yang dipakai untuk mengetahui sesuatu (riset pada umumnya) yang lazim disebut metode ilmiah.

Fisika merupakan salah satu cabang dari IPA, dan merupakan ilmu yang lahir dan berkembang lewat langkah-langkah observasi, perumusan masalah, penyusunan hipotesis, pengujian hipotesis melalui eksperimen, penarikan kesimpulan, serta penemuan teori dan konsep. Dapat dikatakan bahwa hakikat fisika adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari gejala-gejala melalui serangkaian proses yang dikenal sebagai proses ilmiah yang dibangun atas dasar sikap ilmiah dan hasilnya terwujud sebagai produk ilmiah yang tersusun atas tiga komponen terpenting berupa konsep, prinsip, dan teori yang berlaku secara universal.

14

D. Hakikat Pembelajaran Hands-on

Konstruktivisme yang menggunakan kegiatan hands on serta memberikan kesempatan yang luas untuk melakukan dialog dengan guru dan teman-temannya akan dapat meningkatkan pengembangan konsep dan keterampilan berpikir para siswa.15 Prinsip teori konstruktivisme adalah ‘aktivitas harus selalu mendahului analisis’. Hands on activity adalah suatu kegiatan yang dirancang untuk melibatkan siswa dalam menggali informasi dan bertanya, beraktivitas dan menemukan, mengumpulkan data dan menganalisis serta membuat kesimpulan sendiri.16 Siswa diberi kebebasan dalam mengkonstruk pemikiran dan temuan selama melakukan aktivitas sehingga siswa melakukan sendiri dengan tanpa beban, menyenangkan dan dengan motivasi yang tinggi17. Melalui hands on activity akan terbentuk suatu penghayatan dan pengalaman untuk menetapkan suatu pengertian (penghayatan) karena mampu membelajarkan secara bersama-sama kemampuan psikomotorik (keterampilan), pengertian (pengetahuan) dan afektif (sikap) yang biasanya menggunakan sarana laboratorium dan atau sejenisnya. Juga, dapat memberikan penghayatan secara mendalam terhadap apa yang dipelajari, sehingga apa yang diperoleh oleh siswa tidak mudah dilupakan.18 Dengan hands on activity siswa akan memperoleh pengetahuan tersebut secara langsung melalui pengalaman sendiri.

Jika siswa tidak melaksanakan sains secara langsung, maka siswa tersebut belum melakukan sains seutuhnya. Dalam melakukan kegiatan ini siswa seperti halnya ahli-ahli professional ketika membuat hipotesis, mereka kemudian menguji ide-ide tersebut melalui eksperimen-eksperimen dan

15

Dr. Nuryani Y. Rustaman. Konstruktivisme Dan Pembelajaran IPA/Biologi. (Makalah Disampaikan Pada Seminar/Lokakarya Guru-Guru IPA SLTP Sekolah Swasta Di Bandung 7-15 Agustus 2000).

16

Kartono. Hands On Activity Pada Pembelajaran Geometri Sekolah Sebagai Asesmen Kinerja Siswa. (Jurusan Matematika FMIPA UNNES)

17

Riyanti. Pembelajaran Biologi Dengan Group Investigation Melalui Hands On Activities Dan Elearning Ditinjau Dari Kreativitas Dan Gaya Belajar Siswa.Tesis.Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret. 2009.

18

observasi. Seperti halnya peneliti, mereka tidak bisa langsung mengatakan hipotesis mereka benar sebelum mereka bisa membuktikannya. Oleh karena itu kegiatan tersebut dapat menerapkan pembelajaran fisika berbasis hands-on, yang dapat melibatkan keterampilan psikomotor siswa.

Rutherford dalam Haury dan Rillero menyebutkan bahwa “Hands-On” secara harfiah adalah siswa menggunakan peralatan dalam belajar, yang berarti bahwa belajar dengan pengalaman. Istilah lain untuk aktivitas sains hands-on adalah aktivitas yang berpusat pada materi, manipulasi, dan praktek19.

Hands-on merupakan suatu aktivitas dimana siswa memiliki objek, baik makhluk hidup maupun benda mati yang secara langsung dapat digunakan untuk penelitian. Aktivitas hands-on merupakan aktivitas yang berpusat pada material, aktivitas pada manipulasi, dan aktivitas praktikum. Haury dan Rillero mengutip Lump dan Oliver yang menyatakan bahwa “sains yang berlandaskan Hands-on di definisikan sebagai segala aktivitas laboratorium yang dilakukan siswa untuk menangani, memanipulasi atau megobservasi proses sains20.

Dari pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa aktivitas hands on adalah suatu pembelajaran yang melibatkan siswa secara langsung melalui pengamatan dalam kaitannya dengan proses sains.

Pembelajaran Hands-on melibatkan siswa pada seluruh pengalaman belajar yang mendorong siswa mengembangkan kemampuannya untuk berpikir secara kritis. Melalui aktivitas hands-on inilah siswa dapat secara langsung mengerti tentang sains. Siswa mengembangkan teknik-teknik yang efektif untuk mengobservasi dan menguji segala sesuatu yang ada disekeliling mereka, mengetahui apa yang mereka pelajari, bagaimana, kapan dan

19 David. L. Haury dan Peter Rillero, Perspective of Hands-on science

Teaching.,(Columbus:The ERIC Clearing for Science, Mathematics, and Environmental

Education,1994. (online), dari

http://www.ncrel.org/sdrs/areas/content/issue/content/cntareas/science/eric/-2html, diakses 20 januari 2010, hlm. 2-3.

20

mengapa segala sesuatu itu terjadi. Pengalaman-pengalaman tersebut sangat penting jika siswa saat ini tetap memiliki perhatian terhadap sains dan menjadi bekal untuk lebih melihat sains.

Pembelajaran berbasis hands-on activities merupakan suatu model yang dirancang agar siswa terlibat dalam empat komponen utama yaitu: menggali informasi dan bertanya, beraktivitas dan menemukan, mengumpulkan data dan menganalisis serta membuat kesimpulan sendiri. Empat komponen utama dalam pembelajaran hands-on activities akan dijelaskan sebagai berikut:

1. Menggali informasi dan bertanya

Guru memulai pembelajaran dengan memberikan LKS yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang membangkitkan rasa ingin tahu siswa, serta membimbing siswa untuk mengajukan hipotesis.

2. Beraktivitas dan menemukan

Setelah siswa berhipotesis, guru membimbing siswa melakukan penyelidikan atau percobaan untuk menguji hipotesis.

3. Mengumpulkan data dan menganalisis

Setelah siswa melakukan percobaan atau penyelidikan tersebut, siswa mengumpulkan data yang diperoleh dari hasil percobaannya. Sambil berdiskusi siswa menganalisis data untuk pembahasan dari data yang teramati.

4. Membuat kesimpulan

Selama siswa berdiskusi, guru memberikan kebebasan kepada siswa untuk bertanya ataupun memberikan tanggapan. Dan guru pun membimbing siswa menarik kesimpulan dengan memberikan kata kunci atau pertanyaan-pertanyaan pancingan21.

Pembelajaran fisika dengan model hands-on membantu siswa untuk belajar fisika atau prinsip-prinsip fisika dengan keaktifan siswa membuat

21 Yuliati, Pembelajaran Fisika berbasis Hands-on Activties untuk Menumbuhkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Meningkatkan Hasil Belajar Siswa SMP, ISSN: 1693-1246 Januari 2011, dalam http://journal.unnes.ac.id

sesuatu benda, peralatan atau hal, yang didasari dengan prinsip fisika. Tekanan model ini adalah siswa dibiasakan dengan aktif membuat atau menciptakan sesuatu peralatan yang menggunakan prinsip fisika.22 Melalui pembelajaran hands-on siswa akan dilibatkan dalam pengalaman belajar yang mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis, memberikan keterampilan kepada siswa menggunakan alat, merancang percobaan, berkomunikasi, bertanya, berhipotesis, observasi, dan berpendapat.

Peran guru dalam pembelajaran hands-on difokuskan dalam memotivasi dan melibatkan siswa pada pengalaman belajar yang dapat memperluas pengetahuan dan pemahaman siswa mengenai konten sains dalam proses belajar. Peran guru tidak hanya sebagai pemberi ilmu pengetahuan sebagaimana pembelajaran tradisional, tetapi juga harus membantu siswa membangun pengetahuannya sendiri. Guru yang menerapkan pembelajaran hands-on dalam kegiatan proses belajar harus mempertimbangkan juga bagaimana cara yang harus ditempuh umtuk mengevaluasi siswanya. Siswa tidak hanya diuji mengenai penugasan spesifik isi pengetahuannya, akan tetapi kinerjanya pun penting juga untuk dievaluasi.

Pembelajaran hands-on terdiri dari 3 teknik yaitu Guided Worksheet

Dokumen terkait