• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting yang harus dimiliki oleh manusia. Pendidikan dapat menjadi bekal bagi individu dalam menentukan arah hidup yang lebih baik. Undang-undang (UU) No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah mengamanatkan dilaksanakannya pendidikan kepada seluruh rakyat Indonesia sejak usia dini, yakni sejak anak dilahirkan. Pendidikan di Indonesia memiliki beranekaragam pengajaran tersendir1

Menurut Suparlan Suhartono dalam Burhanuddin (2011:226), bahwa pendidikan adalah segala kegiatan pembelajaran yang berlangsung sepanjang zaman dalam segala situasi kegiatan kehidupan. Pendidikan berlangsung disegala jenis, bentuk dan tingkat lingkungan hidup yang kemudian mendorong pertumbuhan segala potensi yang ada didalam diri individu. Dengan kegiatan pembelajaran seperti itu, individu mampu mengubah dan mengembangkan diri menjadi semakin dewasa,

i meskipun memiliki konsep dan metode yang berbeda dalam sistem pengajarannya. Tetapi setiap sekolah memiliki budaya dalam sistem mengajari anak didik dalam penyampaiannya dengan tepat sasaran dan mudah dimengerti anak didik sehingga menghasilkan anak didik yang terampil.

cerdas, dan matang. Sehingga pendidikan merupakan sistem proses perubahan menuju pendewasaan, pencerdasan dan pematangan diri. Setiap individu memiliki perbedaan karakter sehingga besarnya peran pendidikan dalam membentuk karakter seseorang menjadi lebih baik lagi. Beda karakter maka beda pula pola pengajaran yang diberikan seorang pendidik atau pengajar terhadap anak didiknya.

Pendidikan memiliki target yang berbeda dalam pengajarannya. Pendidikan orang normal berbeda dengan pendidikan orang yang berkebutuhan khusus terutama terhadap anak autis. Sistem pengajaran anak autis memiliki budaya tersendiri dalam pengajarannya. Metode dan konsep dari setiap materi mungkin memiliki cara yang sama pada setiap sekolah, akan tetapi memiliki cara yang berbeda dalam sistem penyampaian dan pola dalam mengajarkan anak autis tersebut. Hal ini yang menjadi budaya mengajar tersendiri terhadap sekolah tersebut.2

Pendidikan anak autis termasuk dalam pendidikan anak berkebutuhan khusus. Pendidikan anak autis yang termasuk dalam anak berkebutuhan khusus juga masuk dalam peraturan perundang-undangan, dimana keputusan Menteri pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 011/U/2002 tentang Penghapusan Evalusi Belajar Tahap Akhir Nasional Sekolah Dasar Luar Biasa (PEBTANSDLB), yaitu: Sekolah Luar Biasa Tingkat Dasar(SLBTD) dan Madrasah Ibtidaiyah(MI). Disini anak autis menjadi pengecualian dalam memperoleh pendidikan dengan

2

.2005.Undang-Undang Sistem Pendidikan.Jakarta:Pustaka Pelajar.

Pengecualian dalam memperoleh pendididkan terhadap anak autis untuk menciptakan keadilan dalam mendapat pendididkan yang layak bagi seluruh umat manusia (Danauatmaja 2003:2).

sistempengajaran yang berbeda terhadap pengajaran orang normal dengan penghapusan evaluasi dalam pendidikannya.

Istilah autisme berasal dari kata autos yang berarti diri sendiri dan isme yang berarti paham sehingga autisme adalah gangguan perkembangan saraf yang kompleks dan ditandai dengan kesulitan dalam interaksi sosial, komunikasi, perilaku yang berulang-ulang dan perilaku yang terbatas. Sehingga anak autis merupakan kategori ketidakmampuan anak yang ditandai dengan adanya gangguan dalam komunikasi, interaksi sosial, gangguan indrawi, pola bermain dan perilaku emosi. Hal ini yang menjadi pengecualian seorang anak autisme yang mendapat perolehan dan perhatian khusus dalam mendapatkan pendidikan yang layak(dalam Danauatmaja 2003:2-3).

Berdasarkan data dari Badan Penelitian Statistik (BPS) sejak 2010 dengan perkiraan hingga 2016, terdapat sekitar 140 ribu anak di bawah usia 17 tahun menyandang autisme. Perkembangan meningkat. Kalau di awal 2000-an prevalensinya sekitar 1:1000 kelahiran, penelitian pada 2008 menunjukkan peningkatan hingga 1,68:1000 kelahiran. Jumlah tersebut kurang lebih tidak jauh berbeda dengan yang diperkirakan oleh badan penelitian dan konsulting, SPIRE. Dari data pemetaan anak berkebutuhan khusus di Indonesia, diperkirakan terdapat 139.000 penyandang autisme dari 400.000 anak berkebutuhan khusus (ABK). Penyebaran paling banyak terdapat pada daerah dengan

kasus autisme tertinggi ada di Provinsi Jawa Barat, dengan total mencapai 25 ribu anak.3

Keberhasilan suatu lembaga pendidikan yaitu sekolah memiliki visi dan misi dalam mewujudkan budaya pendidikan ditanah air. Dizaman sekarang ini sekolah melakukan berbagai macam program untuk meningkatkan pendidikan. Usaha-usaha Melihat angka statistik peningkatan anak autisme ini menunjukan perlunya perhatian dan pendidikan khusus terhadap mereka yang menyandang autis. Hal ini disebabakan Negara Indonesia adalah yang mendukung Hak Asasi Manusia (HAM), Hal ini di sebabkan penyandang autis juga berhak mendapatkan hak asasinya dalam memperoleh keadilan terutama dipendidikan. Selanjutnya, Perhatian yang penting terhadap pembangunan sekolah autis perlu ditingkatkan, adanya sekolah-sekolah autis dapat membantu mereka untuk memperoleh pendidikan yang layak. Maka dari pada itu perlu adanya pola pengajaran yang berbeda terhadap anak autis agar konsep pembelajaran dapat diterima dengan baik dan pembentukan karakter yang baik pula. Sekolah-sekolah autis yang ada di Medan memberikan warna tersendiri dalam mengajarkan anak autis tersebut. Pengajaran tersendiri ini yang menjadi budaya mengajar dari sekolah tersebut mulai dari sistem pengajaran hingga sistem perilaku guru yang mengajar.

dari pemikiran manusia inilah yang menjadi suatu perencanaan dalam pembentukan suatu karakter individu manusia melalui pendidikan. Terutama dikaum pengajaran anak autis. Sistem pengajaran ataupun pengolahan pengajaran harus sesuai dengan karakter setiap anak didik yang diajarkan. Guru-guru harus memiliki pendekatan-pendekatan tersendiri dalam mengajarkan anak autis. Jelas berbeda ketika mengajar anak autis dengan anak yang normal. Pendekatan pembelajaran secara langsung yang merupakan pendekatan yang terstruktur dan berpusat pada guru yang digolongkan berdasarkan arahan dan kontrol dari guru yang merupakan suatu pola pengajaran yang sangat membangun karakter anak didik. Setiap guru harus memiliki harapan tinggi dalam kemajuan anak didiknya yang berkarakter seperti apapun baik normal maupun tidak normal agar setiap anak didik merasa dihargai dan memiliki arah dari pendidikannya yang dapat memicu semangat dari anak yang diajarkan (Sjarkawi 2006).

Memahami jalan perkembangan dan kemajuan sangatlah penting untuk mengajar dalam cara yang optimal untuk setiap anak yang dalam keadaan seperti apapun (dalam Santrock 2009:15). Hal ini menunjukan peran seorang guru dalam merubah sesuatu dari yang kurang baik menjadi lebih baik dan dari yang tidak bisa menjadi bisa. Sehingga membuat para guru dapat membentuk pola mengajar yang baik agar anak didik bisa menjadi lebih baik. Hal ini serupa halnya dengan mengajarkan seorang anak autis yang memiliki pemikiran dan karakter yang tidak

Menurut Hardiono S. Pusponegoro(2003:1-5), pendidikan anak autis memiliki perbedaan tersendiri dengan anak-anak normal lainnya. Anak autis memiliki fakta pengajaran yang unik. Pengajaran anak autis yang baikpun adalah dengan cara satu guru mengajarkan satu murid. Hal ini dikarenakan anak autis memiliki kelainan mental yang disebabkan sindrom, sehingga menyebabkan interaksi anak tidak dapat berjalan dengan baik. Perilakunya yang menyendiri dan sikapnya yang sensitif terhadap orang banyak membuat seorang anak autis memerlukan pengajaran secara pribadi.4

Banyak cara yang dapat digunakan untuk melakukan budaya mengajar dengan baik. Misalnya, dengan menggunakan metode pembelajaran yang sesuai dengan

Budaya mengajar merupakan suatu sistem yang harus dibangun oleh lembaga pendidikan yang salah satunya sekolah. Karena pola-pola pengajaran tersendiri inilah menjadi suatu identitas sekolah yang membuat sekolah tersebut berbeda dengan sekolah lainnya. Budaya mengajar salah satu sistem penerapan pola-pola mengajar anak agar anak dapat mengikuti sistem dan terikat dalam sistem tersebut.Banyak sekolah-sekolah menjadi favorit, karena membangun budaya mengajar disekolah dengan baik. Serta penerapannya yang ketat dan terus-menerus diterapkan terhadap anak didik sehingga menjadi suatu kebiasaan baik yang berujung pada nilai-nilai yang positif. Kebiasaan-kebiasan yang baik inilah yang menjadi budaya sekolah yang dibentuk dari pola-pola mengajar disekolah.

4

Menurut Hardiono S. Pusponegoro (2003:4), pendidikan anak autis memiliki sistem pengajaran tersendiri serta perlu perhatian dan emosional yang khusus dalam mengajarkannya

materi yang disampaikan dan disesuaikan kondisi siswa termasuk seperti kondisi anak autis. Dengan adanya ketetapan dalam memilih sebuah metode pembelajaran maka akan dengan mudah mencapai tujuan dari budaya mengajar yaitu pembelajaran. Keberhasilan suatu pembelajaran dapat diukur dari sejauh mana peserta didik mengalami perubahan yang lebih baik . Kalau dalam mengajar orang normal dapat dilihat dari bagaimana sianak dapat menguasai materi. Tetapi dari segi anak autis dapat dilihat dari perubahan karakter yang lebih baik.

Banyak anak-anak autis yang tidak mendapatkan pendidikan yang selayaknya. Kebanyakan orang tua menggangap anaknya yang menderita autis tidak memiliki masa depan, sehingga tidak perlu untuk sekolah seperti layaknya orang normal. Menurut penelitian yang dilakukan para ahli, sebagian dari anak autis adalah anak yang jenius. Hal ini yang tidak diketahui oleh banyak orang sehingga tidak mengetahui seberapa besar potensi anak autis. Permasalahan anak autis sangatlah tertutup dalam arti tidak terlalu dipublikasikan keberadaanya sehingga kurangnya perhatian dan sosialisasi terhadap anak autis. Bisa dilihat dari keberadaan sekolah-sekolah anak autis ditiap kota, jumlahnya yang sedikit membuat anak-anak autis susah untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Hal disebabkan kurangnya sosialisai pemerintah terhadap anak autis di Indonesia ini.

Antropologi merupakan suatu ilmu yang mempelajari manusia dan kebudayaannya dimana manusia memiliki suatu kebiasaan-kebiasaan yang terjadi

terdapat banyak interaksi-interaksi sosial serta kegiatan-kegiatan sosial yang dapat menjadi suatu obyek penelitian antropologi, dimana budaya mengajar tersebut salah satu obyek penelitian antropologi. Ilmu antropologi pendidikan merupakan suatu penerapan yang penting dalam membentuk budaya mengajar di dalam pendidikan. Menurut F Boas (dalam Koentjaraningrat 1990:228), bahwa pentingnya penelitian mengenai pendidikan sekolah dalam masa transmisi5

Menurut koentjaraningrat (1990:231), tanggapan yang baik dimiliki ilmu antropologi dalam penelitian pendidikan karena antropologi memiliki pendekatan wawancara yang dianggap sangat berguna untuk memperoleh banyak data, pendekatan antropologi dapat menambah pengertian mengenai masalah transmisi kebudayaan pada umumnya, pendekatan antropologi dapat menambah pengertian mengenai cara mendidik murid-murid dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda-beda dan metode cross-cultural (lintas budaya) yang dikembangkan oleh antropologi dianggap dapat membantu ilmu pendidikan komperatif. Sehingga pendidikan yang berhubungan erat dengan kebudayaan dapat menjadi

dan perubahan kebudayaan, dimana penyesuaian pendidikan terhadap individu berbeda-beda dan penerapan pengajarannya yang berbeda pula. Dimana antropologi memiliki peran dalam penelitian budaya mengajar karena materi-materi dan konsep-konsep yang ada pada ilmu antropologi.

5

Transmisi Budaya adalah suatu upaya atau proses dalam menyampaikan sikap, keyakinan, nilai-nilai, pengetahuan dan juga ketrampilan dari suatu generasi kepada generasi selanjutnya, sehingga budaya tersebut dapat tetap dipertahankan nilai-nilainya. Pengertian transmisi budaya, juga mencakup bagaimana menemukan dan menciptakan sesuatu yang baru. Fungsi transmisi budaya masyarakat kepada anak dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: (1) transmisi pengetahuan dan ketrampilan, (2) transmisi sikap, nilai-nilai dan norma-norma.

topikpembahasan ilmu Antropologi. Berdasarkan uraian diatas mengenai banyak permasalahan pendidikan yang tidak terlepas dari peran budaya, inilah yang menjadi ketertarikan penulis untuk mengkaji bagaimana pola ajar-mengajar para guru di Yayasan Talikasih Medan.

Dokumen terkait