• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II DISSENTING OPINION DALAM MEKANISME

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas maka penulis memberikan saran :

1. Perlu dilahirkan suatu landasan yang mengatur tentang mekanisme dissenting opinion dalam suatu peraturan perundang-undangan yang khusus.

2. Perlu disosialisasikan kepada Hakim secara intensif agar Hakim di Indonesia lebih memahami kedudukan dan penggunaan dissenting opinion dalam peradilan demi mencapai suatu keadilan.

BAB II

DISSENTING OPINION DALAM MEKANISME PENGAMBILAN PUTUSAN HAKIM DITINJAU DARI HUKUM ACARA PIDANA

INDONESIA

A. Mekanisme Pengambilan Putusan Hakim

Hakim sebagai salah satusubsistem peradilan merupakan pilar utama dan tempat terakhir bagi pencari keadilan untuk mencari keadilan. Sebagai salah satu elemen kekuasaan kehakiman yang menerima, memeriksa, dan memutus perkara, hakim dituntut untuk memberikan keadilan kepada para pencari keadilan.54

Hakim adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman (Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989,55 Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986),56 yakni pejabat peradilan yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili (Pasal 1 butir (8) Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981).57

54

Mujahid A. Latief, Op.Cit., hlm. 283.

55

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, dan kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989. Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 memberi penegasan yang sama: : “Hakim pengadilan adalah pejabat yang melakukan tugas kekuasaan kehakiman”.

56

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, dan diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

57

Dalam Pasal 1 butir (9) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ditegaskan: “Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang

Penggunaan istilah pejabat sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang membawa konsekuensi oleh karena kewenangan

dan tanggung jawabnya terumuskan dalam rangkaian tugas, kewajiban, sifat, dan sikap tertentu, yaitu sebagai penegak hukum dan keadilan.58

Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, hakim dituntut untuk bekerja secara profesional, bersih, arif, dan bijaksana, serta mempunyai rasa kemanusiaan yang tinggi, dan juga menguasai dengan baik teori-teori ilmu hukum. Oleh karena itu, sangat berlebihan dan tidak bijaksana tanggapan dari berbagai pihak yang mengecam, merendahkan, bahkan mengejek hakim yang kadang dilakukan dengan bahasa yang kasar dan tidak proporsional, dalam menyikapi suatu putusan hakim dalam perkara tertentu. Hakim tidak boleh gentar dengan komentar-komentar tersebut, manakala ia sudah bekerja secara profesional, bersih, arif, dan bijaksana.59

Dalam diri hakim diemban suatu amanah untuk menerapkan hukum secara adil, dan apabila penerapan peraturan perundang-undangan akan menimbulkan ketidakadilan, hakim wajib berpihak pada keadilan (moral justice) dan mengesampingkan perundang-undangan (legal justice). Ketidakadilan dalam suatu perundang-undangan adalah hal yang mungkin terjadi. Hal ini disebabkan karena pembuat undang-undang hanya menetapkan peraturan umum tanpa memahami keseluruhan cakupan kegiatan masyarakat, sedangkan hal-hal yang berupa pertimbangan yang bersifat konkret diserahkan sepenuhnya menjadi tanggung jawab hakim.60

58

Wildan Suyuthi Mustofa, Kode Etik, Etika Profesi dan Tanggung Jawab Hakim; dalam bukunya yang berjudul Kode Etik Hakim (jilid II), (Kencana: Rawamangun, 2013), hlm. 72.

59

Lihat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial Nomor 047/KMA/SKB/V/2009 – 2/SKB/P.KY/IV/2009

60

Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. (Liberty: Yogyakarta, Bahkan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970

Pasal 27 ayat (1) mengharuskan Hakim untuk terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan, dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.61

Dalam kasus konkret, hakim dapat diibaratkan dengan malaikat peniup sangkakala kehidupan yang menghidupkan hukum tertulis berupa pasal-pasal mati dan huruf-furuf mati menjadi hidup. Taverne pernah menyatakan:

Hal ini yang menjadi penyebab tidak ada undang-undang yang lengkap selengkap-lengkapnya dan jelas sejelas-jelasnya.

62

“Berikanlah saya seorang jaksa yang jujur dan cerdas, berikanlah saya seorang hakim yang jujur dan cerdas, maka dengan undang-undang paling buruk pun, saya akan menghasilkan putusan yang paling adil”. Senada dengan hal tersebut, Hamilton juga menyatakan:63

Pernyataan Taverne di atas mengingatkan pendapat, betapa hakim sebagai personifikasi lembaga peradilan mengemban amanah yang tidak ringan. Hakim selain dituntut memiliki kemampuan intelektual dalam membuat putusan, juga harus memiliki moral dan integritas tinggi sebagi hakim. Bukan hanya itu, pada titik tertentu hakim bahkan harus punya kadar iman dan takwa yang tinggi, mampu berkomunikasi dengan baik, di samping sanggup menjaga peran, wibawa, dan statusnya di hadapan masyarakat. Jika semua persyaratan ini dipenuhi, diharapkan hasil kerja hakim akan merefleksikan rasa keadilan, menjamin kepastian hukum, dan bermanfaat bagi masyarakat.

“Berikan kami orang yang memiliki semangat dalam pekerjaannya dan kamu akan mendapatkan apa yang kamu inginkan”.

61

H. F. Abraham Amos, Op.Cit, hlm. 12.

62

Kelik Pramudya dan Ananto Widiatmo, Pedoman Etika Profesi Aparat Hukum Hakim, Jaksa, Polisi, Notaris, dan Advokat. (PT. Suka Buku: Jakarta, 2004), hlm. 34; yang dikutip dari Wildan Suyuthi Mustofa, Op.Cit, hlm. 71.

Didalam mengadili suatu perkara, ada tiga langkah yang harus dilakukan:64

1. Menemukan hukum, menetapkan manakah yang akan diterapkan diantara banyak kaidah di dalam sistem hukum, atau jika tidak ada yang tepat diterapkan, setidaknya mencapai suatu kaidah untuk perkara itu yang mungkin nantinya dipakai sebagai suatu kaidah untuk perkara lain sesudahnya.

2. Menafsirkan kaidah yang dipilih atau diterapkan secara demikian yaitu menentukan maknanya sebagaimana ketika kaidah itu dibentuk dan berkenaan dengan kekuasaannya yang dimaksud.

3. Menerapkan kepada perkara yang sedang dihadapi kaidah yang ditemukan dan ditafsirkan sebelumnya.

Pengambilan keputusan adalah suatu proses untuk menyelesaikan suatu permasalahan dengan cara memilih salah satu dari berbagai alternatif yang ada untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan yaitu menghasilkan suatu keputusan yang baik untuk mengatasi suatu masalah. Pengambilan keputusan (decision making) melibatkan proses kognitif, dimulai dari mengenali masalah,mengidentifikasi alternatif pemecahan masalah, menilai, memilih, hingga memutuskan alternatif yang paling adekuat.

Untuk melahirkan sebuah putusan, hakim harus melewati beberapa prosedur tertentu, dan ada berbagai jenis putusan yang akan dilahirkan dari dunia peradilan.65

64

Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, (Bhatara: Jakarta , 1996), hlm. 52.

Memang tidak mudah bagi hakim untuk membuat suatu putusan, karena idealnya suatu putusan harus memuat ide idee des recht(cita-cita hukum)

65

Iqbal Albanna, “Putusan Hakim dan Eksekusi”, diakses dari

yang meliputi tiga unsur, yaitu keadilan (Gerechtigheid), kepastian hukum (Rechtszekerheid), dan kemanfaatan (Zwechtmassigheid).66

Dalam membuat keputusan pengadilan, seorang hakim dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:67

Menurut Sudikno Mertokusumo, hakim dalam memutus perkara harus memiliki kemampuan menyelesaikan perkara yuridis (the power of solving legal problems), yang terdiri dari tiga kegiatan, yaitu merumuskan masalah hukum (legal problem identification), memecahkan masalah (legal problems solving), dan mengambil putusan (decision making).

1. Faktor hakim itu sendiri, misalnya adalah kepribadiannya, intelegensi, suasana hati,

2. Faktor opini publik yang tertulis dalam media massa ketika sidang tengah berlangsung,

3. Faktor pengacara, misalnya performance dan gaya bicara yang meyakinkan juga memberikan pengaruh terhadap putusan hukuman, 4. Faktor terdakwa, misalnya jenis kelamin terdakwa, ras dan kemampuan

bicara.

68

Dalam implementasinya, sangat sulit bagi seorang hakim untuk mensinergikan ketiga unsur tersebut, terutama antara unsur keadilan dengan kepastian hukum yang kadang bisa saling bertentangan. Hakim harus memilih salah satu dari ketiga asas tersebut untuk memutuskan suatu perkara dan tidak mungkin ketiga asas tersebut dapat tercakup sekaligus dalam satu putusan. Jika diibaratkan dalam sebuah garis hakim dalam memeriksa dan memutuskan suatu perkara berada diantara dua titik pembatas dalam garis tersebut, yaitu berdiri pada

66

Muchtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional. (Bina Cipta: Bandung, 1986), hlm. 319-320.

67

Probowati, Y. dan Sugiyanto,Peranan Etnik dan Daya Tarik Wajah Terdakwa Terhadap Putusan Hakim. (Jurnal Anima: Jakarta, 1997), hlm. 215-228

68

titik keadilan atau titik kepastian hukum, sedangkan titik kemanfaatan sendiri berada diantara keduanya.

Pada saat hakim menjatuhkan putusan yang lebih dekat mengarah pada asas kepastian hukum, maka otomatis hakim akan menjauh dari titik keadilan. Sebaliknya jika hakim menjatuhkan putusan lebih dekat mengarah pada keadilan, maka secara otomatis hakim akan menjauhi titik kepastian hukum. Disinilah letak batas-batas kebebasan hakim, dimana hakim hanya dapat bergerak diantara dua titik pembatas tersebut. Dengan suatu pertimbangan yang bernalar, seorang hakim akan menentukan kapan dirinya berada di dekat titik kepastian hukum, dan kapan harus berada di titik keadilan. Hal ini membuktikan meskipun undang-undang mengatur agar hakim dalam memeriksa dan menjatuhkan putusan suatu perkara bersifat bebas dan tanpa batas.Dalam praktek. hal ini tidak sepenuhnya benar dan tidak mungkin terjadi.

Dapat diambil kesimpulan bahwa seorang hakim dalam memeriksa dan memutus perkara tidak selamanya terpaku pada suatu asas, asas yang terkandung dalam putusan disesuaikan dengan kasus yang sedang diperiksa. Meski demikian, ketiga unsur tersebut tetap harus dipertimbangkan oleh hakim dan diterapkan secara proporsional, sehingga pada gilirannya dapat dihasilkan putusan yang berkualitas dan memenuhi harapan masyarakat.

Putusan hakim biasa diartikan sebagai pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan (konsensius). Menurut Pasal 1 butir 11 KUHAP, putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang

diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Menurut buku “Peristilahan Hukum Dalam Praktek” yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia, putusan diartikan sebagai “Hasil atau kesimpulan dari suatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak- masaknya yang dapat berbentuk tertulis ataupun lisan”.69

Adapun pendapat beberapa ahli mengenai putusan adalah sebagai berikut:70

Pembuatan putusan oleh hakim dipengadilan merupakan proses yang kompleks yang memerlukan pelatihan, pengalaman dan kebijaksanaan. Sebelum mengeluarkan suatu putusan, hakim menelaah terlebih dahulu data-data yang diperoleh selama proses persidangan sepertiapakah bukti- bukti yang dihadirkan sudah cukup meyakinkan dan sah secara hukum, apakah keterangan saksi dapat Rubinidan Chaidir Ali, merumuskan bahwa keputusan hakim itu merupakan suatu akte penutup dari suatu proses perkara dan putusan hakim itu disebut vonis yang menurut kesimpulan-kesimpulan terakhir mengenai hukum dari hakim serta memuat akibat-akibatnya.

Pendapat lain, Ridwan Syahrani memberi batasan putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan pada sidang pengadilan yang terbuka untuk umum untuk menyelesaikan dan mengakhiri perkara perdata

Sudikno Mertokusumo kemudian juga memberi batasan putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat yang diberi wewenang itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.

Readford mengungkapkan definisi pengambilan keputusan sebagai suatu perumusan berbagai macam alternatif tindakan dalam menghadapi situasi serta menetapkan pilihan yang tepat dari berbagai alternatif.

69Kejaksaan Agung Republik Indonesia,

Peristilahan Hukum Dalam Praktek, (Kejaksaan Agung: Jakarta, 1985), hlm. 221.

dipercaya, saling berkesesuaian dengan keterangan saksi yang lain, meyakinkan dan sah secara hukum, apakah saksi memberikan keterangan yang sebenar- benarnya atau tidak, bagaimanaisi pembelaan terdakwa, tuntutan jaksa hingga muatan psikologis.

Keputusan yang akan dijatuhkan kepada terdakwa harus didasari oleh rasa tanggung jawab, keadilan, kebijaksanaan, profesionalisme dan bersifat obyektif. Selain itu, hakim juga harus bertanya kepada hati nuraninya apakah putusan itu nantinya akan menciptakan rasa keadilan atau malah menjadi suatu bentuk ketimpangan yang kemudian merobek rasa keadilan di masyarakat.

Meskipun sistem hukum di Indonesia terkadang tidak dapat mencapai keadilan yang sempurna, namun hakim harus dapat menetapkan keputusan yang mendekati keadilan. Di negara demokrasi yang umumnya mengedepankan prinsip suara terbanyak, perselisihan dapat diatasi dengan cara yang tampak adil dan mendukung stabilitas sosial karena mustahil untuk mencapai suatu keadilan yang dapat mengakomodir kepentingan semua pihak. Hal ini disebabkan sifat egosentrisme dan paradigma masyarakat yang menanggap suatu keadilan yang hakiki itu adalah ketika keadilan itu menguntungkan bagi dirinya, meskipun demikian masyarakat harus percaya pada keadilan sistem hukum secara keseluruhan.71

Selain itu, sistem peradilan di Indonesia dilandaskan pada Pancasila yang menempatkan harkat dan martabat manusia pada tempatnya dan melaksanakan perlindungan serta jaminan hak-hak asasi manusia. Hal tersebut

tertuang dalam pertimbangan Undang-undang No. 8 tahun 1981 yang memuat Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Mekanisme pengambilan putusan hakim secara umum diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, HIR (Herzeine Inlandsch Reglement), Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dan peraturan-peraturan lainnya dibawah undang-undang yang mengatur secara teknis.

Kekuasaan kehakiman mempunyai beberapa asas yang menjadidasar dari ketentuan-ketentuan dalam kekuasaan kehakiman secara umum.Asas-asashukum umum kekuasaan kehakiman (peradilan) yang baikmenurut Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari diantaranya meliputihal-hal sebagai berikut:72

Hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu perkara yang dihadapkan kepadanya, pertama-tama harus menggunakan hukum tertulis terlebih dahulu, yaitu peraturan perundang-undangan, tetapi kalau peraturan perundang-

1. Asas Kebebasan Hakim

2. Pemeriksaan Berlangsung Terbuka 3. Hakim Bersifat Aktif

4. Asas Objektivitas

5. Putusan Disertai Alasan (Motiverings Plicht)

6. Peradilan dilakukan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan” 7. Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan 8. Susunan Persidangan Dalam Bentuk Majelis

9. Pemeriksaan Dalam Dua Tingkat

Berdasarkan uraian diatas, apabila putusan hakim dijatuhkan denganmemenuhi asas – asas tersebut diatas selain menjamin adanya kepastianhukum, diharapkan juga demi memenuhi rasa keadilan.

72

undangan tersebut ternyata tidak cukup atau tidak tepat dengan permasalahan suatu perkara, barulah hakim akan mencari dan menemukan sendiri hukumnya dari sumber-sumber hukum lain seperti yurisprudensi, doktrin, traktat, kebiasaan, atau hukum tidak tertulis.

Pasal 182 KUHAP ayat 1 dan 2 mengatur bahwa setelah penuntut umum membacakan tuntutannya dan terdakwa atau penasehat hukum terdakwa selesai mengajukan pembelaannya, maka majelis hakim menutup persidangan. Meskipun sidang telah ditutup oleh hakim ketua, pemeriksaan dapat dibuka satu kali lagi atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dan/atau kuasa hukumnya maupun karena kewenangan dari hakim ketua.

Kemudian majelis hakim mengadakan musyawarah yang bersifat tertutup dimana hanya hakim ketua dan hakim anggota yang ikut dalam musyawarah untuk mengambil suatu kesimpulan dan memberikan suatu putusan terhadap perkara yang ditangani, yang didasari pada surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam persidangan.73

Menurut Abdul Manan, Musyawarah Majelis hakim merupakan perundingan yang dilaksanakan untuk mengambil keputusan terhadap suatu perkara yang diajukan kepadanya dan sedang diproses dalam persidangan”.74

Selanjutnya Abdul Manan mengungkapkan bahwa tujuan diadakannya musyawarah majelis ini adalah untuk menyamakan persepsi, agar terhadap

73

Lihat KUHAP Pasal 182 ayat (4) Jo. Pasal 182 ayat (3)

74H.Insyafli, “

Ikhtisar Permusyawarah Majelis Hakim”,diakses dari

perkara yang sedang diadili itu dapat dijatuhkan putusan yang seadil-adilnya, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.75

Menurut M. Natsir Asnawi, majelis hakim setidak-tidaknya akanmelakukan dua hal dalam musyawarah majelis, yaitu:76

a. Menetapkan pihak mana yang berhasil membuktikan dan pihak mana yang tidak berhasil membuktikan.Tiap hakim anggota akan mengemukakan pendapatnyamengenai keseluruhan fakta yang terungkap di persidangan. Masing-masing hakim akan mengkonstantir fakta-fakta sebagaijalan untuk menetapkan hukumnya.

b. Menetapkan hak-hak dan hubungan hukum di antara para pihak. Setelah hakim menetapkan fakta-fakta yang terjadi, laluhakim mengajukan konklusi yang dapat berupa menetapkansiapa berhak atas apa juga menetapkan hubungan hukum di antara para pihak.

Menurut Shidarta, terdapat enam langkah utama dalam proses penalaran hukum dalam proses pembuatan putusan hakim, yaitu:77

“Pertama, mengidentifikasi fakta-fakta untuk menghasilkan suatu struktur kasus yang sungguh-sungguh diyakini oleh hakim sebagai kasus yang riil terjadi; Kedua, menghubungkan struktur kasus tersebut dengan sumber hukum yang relevan sehingga ia dapat menetapkan perbuatan hukum dalam peristilahan yuridis; Ketiga, menyeleksi sumber hukum dan aturan hukum yang relevan untuk kemudian mencari tahu kebijakan yang terkandung didalam aturan hukum itu (the policies underlying those rule), sehingga dihasilkan struktur aturan yang koheren. Keempat, menghubungan struktur aturan dengan struktur kasus. Kelima, mencari alternatif penyelesaian yang mungkin. Keenam, menetapkan pilihan atas

75

Ibid.

76

M. Natsir Asnawi. Hermeneutika Putusan Hakim. (UII Press: Yogyakarta, 2014), hlm. 15.

77

salah satu alternatif untuk kemudian diformulasikan sebagai putusan akhir”.

Dalam musyawarah, majelis hakim mengupayakan adanya suatu kemufakatan dalam pendapat hakim teradap suatu perkara yang akan diputus. Dalam hal tidak mungkin mencapai suatu kemufakatan, keputusan diambil berdasarkan voting atau suara hakim terbanyak. Kemudian dalam hal pemungutan suara tidak dimungkinkan, yang diambil adalah pendapat hakim yang paling meguntungkan untuk terdakwa.

Berdasarkan Pasal 23 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970, isi keputusan pengadilan selain harus memuat alasan-asalan dan dasar-dasar putusan, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili

Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Hal ini diatur dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.Selain itu, hal-hal yang harus diperhatikan dan dimuat dalam putusan hakim secara umum diatur dalam Pasal 184 HIR, yaitu:

a. Suatu keterangan singkat tetapi jelas dari isi gugatan, b. Jawaban tergugat atas gugatan itu,

c. Alasan-alasan keputusan,

d. Keputusan hakim tentang pokok perkara dan tentang ongkos perkara, e. Keterangan apakah pihak-pihak yang berperkara hadir pada waktu

f. Kalau keputusan itu didasarkan atas suatu undang-undang ini harus disebutkan,

g. Tanda-tangan hakim dan panitera

Putusan hakim yang baik harus dapat memenuhi dua persyaratan, yakni memenuhi kebutuhan teoritis maupun praktis. Yang dimaksudkan kebutuhan teoritis disini ialah bahwa menitikberatkan kepada fakta hukum beserta pertimbangannya maka putusan tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan dari segi ilmu hukum bahkan tidak jarang dengan putusannya yang membentuk yurispundensiyang dapat menentukan hukum baru (merupakan sumber hukum). Sedangkan yang dimaksud dengan kebutuhan praktis ialah bahwa dengan putusannya diharapkan hakim dapat menyelesaikan persoalan/sengketa hukum yang ada dan sejauh mungkin dapat diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa, maupun masyarakat pada umumnya karena dirasakan adil, benar dan berdasarkan hukum.78

Biasanya antara pelaksanaan musyawarah dan pembacaan putusan diberi tenggang waktu. Pemberian waktu ini berbeda dengan tenggang waktu dengan perkara-perkara tertentu yang bersifat khusus seperti praperadilan yang diatur batas waktu pembacaan putusannya. Tidak ada aturan umum yang menentukan bahwa selain perkara-perkara yang khusus disebutkan secara eksplisit batasan waktu penyelesaiannya. Dalam peradilan pidana, apabila suatu keputusan akan dijatuhkan, harus ada pemberitahuan terlebih dahulu kepada penuntut umum,

78

Iqbal Albanna, “Penemuan Hukum oleh Hakim”, diakses dari

terdakwa, dan penasehat hukum terdakwa mengenai tanggal pembacaan putusan.79

Setelah putusan dijatuhkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum, maka putusan tersebut bukan lagi menjadi milik pengadilan (hakim), akan tetapi Selain dengan adanya tenggang waktu ketentuan perundang-undangan ternyata juga membenarkan putusan pengadilan negeridijatuhkan dan diumumkan pada hari itu juga setelah musyawarah dilaksanakan.

Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 5 Tahun 1959 tanggal 20 April 1959 dan No. 1 Tahun 1962 tanggal 7 Maret 1962 menginstruksikan kepada para hakim agar pada waktu putusan pengadilan tersebut diucapkan, konsep putusan harus telah dipersiapkan. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah adanya perbedaan antara bunyi putusan yang diucapkan hakim di depan persidangan yang terbuka untuk umum dengan yang tertulis.

Putusan hakim harus dibacakan di depan persidangan yang terbuka untuk umum. Bila hal tersebut tidak dilaksanakan maka putusan tersebut terancam batal. Akan tetapi, dalam hal penetapan pembacaan di persidangan terbuka untuk umum tidak diperlukan.

Setiap putusan hakim harus dituangkan secara tertulis dan ditandatangani oleh ketua sidang dan panitera yang memeriksa perkara tersbut. Berdasarkan Pasal 187 HIR apabila ketua sidang berhalangan menandatangi maka putusan itu harus ditandatangani oleh hakim anggota tertua yang telah ikut memeriksa dan memutus perkaranya, sedangkan apabila panitera yang berhalangan menandatangani, maka untuk hal tersebut cukup dicatat dalam berita acara.

milik masyarakat. Sehingga seperti yang telah diungkapkan di atas, pentingya pertanggungjawaban para hakim sehingga putusan pengadilan itu harus dipertanggungjawabkan secara moral dan yuridis kepada masyarakat. Dengan terbukanya atau publikasi dari dissenting opinion atau menjadi bagian satu kesatuan dari putusan peradilan memberikan peluang bahwa masyarakat dapat berpendapat dan mengkritik secara bebas sebagai bagian masukan yang informatif bagi lembaga peradilan itu sendiri. Serta tentu menunjukkan kemadirian dan kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara

Dokumen terkait