• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PENUTUP

5.2 Saran

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam membuat tulisan kajian fungsi sosial musik populer dalam upacara adat perkawinan masyarakat Batak Toba di kota BInjai. Untuk itu, bagi para peneliti selanjutnya diharapkan untuk semakin menyempurnakan bahasan tentang upacara ini.

Bagi para peneliti selanjutnya, peneliti juga berharap supaya mengkaji upacara-upacara lainnya yang dilaksanakan oleh suku Batak Toba yang ada di kota Binjai. Penulis mempunyai beberapa saran kepada pembaca lainnya, yaitu menyarankan agar gondang sabangunan tetap dipertahankan eksistensinya dan merasakan bahwa hal ini merupakan salah satu kekayaan budaya yang dijadikan milik bersama, sehingga setiap etnis yang ada di seluruh Indonesia tetap hidup dan terus berkembang.

Semoga tulisan ini dapat memberikan kontribusi yang baik terhadap apresiasi budaya dan pengetahuan terhadap ilmu pengetahuan secara umum dan bidang etnomusikologi secara khusus.

BAB II

MASYARAKAT BATAK TOBA DI KOTA BINJAI

2.1. Kota Binjai

Kota Binjai berbatasan langsung dengan Kabupaten Langkat di sebelah barat dan utara serta Kabupaten Deli Serdang di sebelah timur dan selatan. Binjai merupakan salah satu daerah dalam proyek pembangunan mebidang yang meliputi kawasan Medan, Binjai dan Kab. Deli Serdang (Lihat Gambar 2.1). Secara geografis, Kota Binjai terletak pada 3’31’40” – 3’40’2” Lintang Utara dan 98’27’3” – 98’32’32” Bujur Timur dan terletak 28 m di atas permukaan laut.

Gambar 1 : Peta Kota Binjai

Wilayah Kota Binjai seluas 90,23 km2, terletak 28 M diatas permukaan laut dan dikelilingi oleh Kab.Deli Serdang, Batas area disebelah Utara adalah Kecamatan Binjai Kabupaten Langkat dan Kecamatan Hamparan Perak Kab.Deli Serdang, di sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Sunggal Kab.Deli Serdang, di sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Sei Bingei Kab.Langkat dan Kecamatan Kutalimbaru Kab.Deli Serdang dan sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Selesai Kab.Langkat (sumber : www.Bappeda Kota Binjai.com).

Tabel 2.1 : Penduduk Kota Binjai Menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin Tahun 2011 Jumlah

Penduduk Total No Kecamatan Dewasa Anak-anak

L P L P L + P 1. Binjai Selatan 14.366 13.919 6.219 6.245 40.749 2. Binjai Kota 12.670 12.104 3.970 4.235 32.979 3. Binjai Timur 15.985 15.128 7.899 8.125 47.137 4. Binjai Utara 21.649 20.861 9.377 9.825 61.712 5. Binjai Barat 11.390 11.548 6.934 6.696 36.568 JUMLAH 76.060 73.560 34.399 35.126 219.145 Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Binjai, 2012

Penduduk Kota Binjai pada tahun 2012 berjumlah 219.145 jiwa. Penduduk terbesar di Kota Binjai berada di Kecamatan Binjai Utara yakni 28,16% , kemudian disusul Kecamatan Binjai Timur 21,51%, Kecamatan Binjai Selatan 18,60%, Kecamatan Binjai Barat 16,68%,

dan Kecamatan Binjai Kota 15,05%. ( Catatan: (1) Data tahun 2013, terjadi selisih 100 jiwa antara jumlah detail dengan jumlah akumulasi di BPS BDA 2014, maka peneliti mengikuti jumlah detail data ).

Kota Binjai merupakan kota multi etnis, dihuni oleh suku Jawa, suku Karo, suku Tionghoa dan suku Melayu (Lihat Tabel 2.2). Kemajemukan etnis ini menjadikan Binjai kaya akan kebudayaan yang beragam.

Tabel 2.2 : Perbandingan Etnis di Kota Binjai pada Tahun 2010, 2011, dan 2012.

No Nama Etnis 2010 2011 2012 1 Jawa 98,769 98,889 92,545 2 Melayu 31,132 31,170 29,170 3 Karo 22,466 22,493 21,050 4 Batak Simalungun 13,832 13,848 12,960 5 Batak Toba 16,637 16,658 15,589 6 Mandailing 23,141 23,169 21,683 7 Minang 15,583 15,602 14,601 8 Aceh 4,501 4,506 4,217 9 Tioghoa 17,441 17,462 16,342

10 Banten 4,653 4,659 4,360

JUMLAH 248,154 248,456 232,517

Sumber: Data Base Kota Binjai Tahun 2012, Bappeda Kota Binjai.

Etnis terbesar di Kota Binjai adalah Etnis Jawa yakni 92,545 % yang kemudian ikuti secara berurut adalah Melayu, Mandailing, Karo, Tionghoa, Batak Toba, Minang, Batak Simalungun, Banten dan Aceh.. Hal ini ditunjukan dari hasil Sensus tahun 2010 yakni sebesar 39,80%. Kemudian disusul etnis Melayu 12.55%, etnis Mandailing 9.33%, etnis Karo 9,05%, etnis Tionghoa 7,03%, etnis Batak Toba 6,70%, etnis Minang 6,28%, etnis Batak Simalungun 5,57%, etnis Banten 1,88% dan etnis Aceh 1,81%. Banyaknya etnis Jawa di Binjai tidak terlepas dari sejarah kuli kontak yang diterapkan semasa penjajahan Belanda di Sumatera Utara untuk membuka dan membangun wilayah perkebunan.

2.2. Masyarakat Batak Toba di Kota Binjai

Masyarakat Batak Toba yang ada di kota Binjai pada awalnya berasal dari orang-orang yang merantau untuk mencari pekerjaan, Kemajuan di berbagai aspek sosial budaya mendorong masyarakat Batak Toba untuk bermigrasi ke beberapa daerah-daerah di Indonesia mereka menjalani pendidikan, berjuang mencari pekerjaan dan mendapatkan finansial serta membangun keluarga diperantauan.

2.2.1. Adaptasi Masyarakat Batak Toba di Kota Binjai

Masyarakat Batak Toba yang datang ke kota Binjai beradaptasi dengan cara berbaur dengan etnis-etnis lain yang ada di kota Binjai. Suku Batak Toba merupakan salah satu suku pendatang yang menetap di kota Binjai. Suku bangsa lain juga merupakan suku yang menetap di Binjai terbagi, (1) suku bangsa tempatan (natif) yaitu suku Melayu (Usman Pelly 1990 :

84), dengan alasan bahwa suku Melayu pertama sekali bermukim di wilayah teritorial Kota Binjai, (2) suku pendatang antara lain: suku Jawa, suku Karo, suku Nias, suku Tionghoa, suku Batak Toba, suku Simalungun, suku Pakpak-Dairi, suku pesisir Sibolga dan suku Mandailing. Tibanya suku Batak Toba di Kota Binjai dan tinggal menetap dan melakukan aktifitas budaya dengan berbagai cara.

Dari migrasi tersebut suku Batak Toba juga membawa adat istiadat yang ada di daerah mereka, antara lain sistem garis keturunan patrialisme (mengikuti garis keturunan ayah), dibuktikan dengan adanya marga (klan), dan membawa kesenian adat leluhur, musik gondang sabangunan dan tarian (tortor) yang digunakan dalam upacara adat perkawinan dan kematian.

2.2.2. Mata Pencarian Masyarakat Batak Toba

Kedatangan suku Batak Toba di Kota Binjai berlangsung secara berkelompok dan juga secara individual. Para pemuda melakukan perjalanan (merantau) bersama-sama dengan teman sekampung ke Kota Binjai dengan tujuan untuk mencari pekerjaan. Kelompok ini menyebar keberbagai wilayah Kota Binjai, bekerja di bidang pertanian, industri, karyawan swasta, bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau TNI / POLRI, dan lainnya ( Lihat Tabel 2.3 ), buruh lepas juga ada yang berbaur lewat perkawinan antara suku Batak Toba dengan orang dari etnis lain.

Tabel 2.3 : Bidang Pekerjaan Masyarakat Batak Toba di Kota Binjai

pada Tahun 2010 dan 2011

No Bidang Pekerjaan 2010 2011

1 Pertanian 2.843 2.947

2 Industri 2.437 2.433

3 Karyawan swasta 3.357 3.438

4 Pegawai Negeri Sipil (

5 TNI / POLRI 3.069 3.594

6 Lainnya 2.151 712

JUMLAH 16637 16658

Sumber: Database Kota Binjai Tahun 2012 (Bappeda Kota Binjai) Susenas 2010 (BPS)

Beberapa bidang pekerjaan masyarakat Batak Toba di Kota Binjai yakni di bidang pertanian 17.70%, kemudian di industri 14.60%, karyawan swasta 20.64%, pegawai negeri sipil (pns) 21.21%, tni/polri 21.57%, dan lainnya 21.57%. Dengan bertambahnya jumlah suku Batak Toba yang menetap di Kota Binjai menimbulkan keinginan untuk bersatu dalam satu ikatan organisasi dan perkumpulan suku Batak Toba dalam bentuk organisasi sosial, pendidikan, dan kepemudaan.

2.3. Sistem Kepercayaan

Orang Batak dahulu masih percaya kepada mitos bahwa manusia Batak pertama berasal dari dewa yang turun dari kayangan di puncak Dolok Pusuk Buhit. Di tempat inilah mula-mula turunan si raja Batak ‘mamompari’ dengan kebudayaannya sendiri. Dahulu orang Batak mempunyai kepercayaan animisme, totemisme, yang menguasai tingkah laku dan cara hidup masyarakat Batak. Semua hal itu dicerminkan berupa pelahiran kepercayaan masyarakat terhadap kekuatan kosmos dengan bahasa yang digubah sedemikian rupa sehingga berlainan dari bahasa Batak Toba sehari-hari.

Menurut Koentjaraningrat (dalam Irmawati, 2008 : 49) tanah Batak telah dipengaruhi oleh beberapa agama. Agama Islam dan agama Kristen Protestan masuk ke daerah orang Batak sejak permulaan abad ke-19. Orang Batak mengenal kepercayaan Kristen sejak tahun 1861 (Simanjuntak, 1986). Agama Islam disiarkan oleh orang Minangkabau kira-kira tahun 1810 dan sekarang dianut oleh sebagian besar orang Batak Selatan, seperti Mandailing dan Angkola. Agama Kristen disiarkan di daerah Toba dan Simalungun (Batak Utara) oleh organisasi penyiar agama dari Jerman, yaitu Organisasi Reinische Missions Gesselschaft kira-kira sejak tahun 1863. Mayoritas masyarakat Batak Toba di Kota Binjai beragama

Kristen Protestan ada juga masyarakat Batak Toba di Kota Binjai yang menganut agama islam (Lihat Tabel 2.4).

Tabel 2.4 No Agama 2012 1 Kristen Protestan 14.546 2 Katolik 1023 3 Islam 20 JUMLAH 15.589

Sumber: Database Kota Binjai Tahun 2012 (Bappeda Kota Binjai) Susenas 2010 (BPS)

Masyarakat Batak Toba yang menganut agama terbanyak yakni kristen protestan 93.30%, masyarakat Batak Toba di kota Binjai yang menganut agama katolik 6.56%, dan agama islam 0,13% lebih sedikit dianut masyarakat Batak Toba di Kota Binjai dari kristen protestan dan katolik. Walaupun orang Batak Toba sebagian besar sudah beragama Kristen, masyarakat Batak Toba yang berada di Kota Binjai masih menjalankan kegiatan adat istiadat Batak Toba dalam pangoli anak/boru dan ulaon saur matua atau sari matua yang sering di temukan di Kota Binjai.

2.4. Organisasi Sosial

Dalam kehidupan sehari-hari, sistem kekerabatan dan kerjasama sangat menonjol pada masyarakat Batak Toba di kota Binjai, walaupun terdapat perbedaan dalam kepercayaan, budaya, dan adat istiadat. Ini mencerminkan kenyataan sosial bahwa orang-orang Batak Toba yang ada di kota Binjai sangat baik dalam menjalin keakraban walaupun berbeda keyakinan.

Organisasi sosial sangat penting dalam kehidupan sehari-sehari, kekerabatan dan kerja sama sangat menonjol meskipun terpolarisasi dalam paham keagamaan yang saling berbeda. Orang Batak Toba memakai dialek agak berbeda disetiap wilayah namun yang cukup khas dari bahasa Batak Toba adalah nada vocal yang mayoritas dalam setiap kata atau kalimat dan cendrung sedikit kasar. Ini juga secara tak langsung mempengaruhi adaptasi sosial antara sesama orang Batak Toba dengan daerah budaya yang berbeda.

Walaupun sudah berpindah ke tempat yang jauh, tetapi orang-orang Batak Toba yang datang ke kota Binjai tetap berusaha untuk mempertahankan sistem keakraban yang telah dibangun oleh para leluhur terdahulu. Kebudayaan Batak dapat dilihat melalui organisasi-organisasi atau perkumpulan-perkumpulan masyarakat Batak Toba yang ada di Kota Binjai. Ada yang membentuk perkumpulan berdasarkan marga seperti Persatuan Marga Sihombing, Persatuan Marga Purba, Persatuan Marga Simorangkir, Persatuan Marga Simatupang, Persatuan Marga Silalahi, Persatuan Marga Sinaga, dan sebagainya.

Selain itu juga masyarakat Batak Toba juga membentuk perkumpulan berdasarkan dimana mereka tinggal di Kota Binjai berupa Serikat Tolong Menolong (STM), seperti STM Sehati. Ada juga organisasi lain yang bersifat kepemudaan, gerejawi, pendidikan dan pembangunan yang berdiri di Kota Binjai.

2.5. Sistem Kekerabatan

Garis keturunan yang disandang oleh setiap orang Batak sekarang ini berasal dari satu sumber, yang secara eksklusif ditarik lurus dari pihak laki (keturunan agnatik atau laki-laki). Garis patrineal ini dipakai guna menentukan statuta keanggotaan dalam sebuah kelompok yang dinamai marga (klan). Sedangkan patrilinial adalah garis keturunan menurut laki-laki. Sehingga, kelompok marga Batak adalah sebuah organisasi keluarga yang luas. Kekerabatan dari kelompok keturunan bagi orang Batak banyak dijumpai menurut wilayah

kediaman masyarakat Batak Toba. Mereka membentuk grup-grup menjadi sebuah kelompok marga (descent group) sebagai kesatuan sosial. Kesatuan yang diakui (de facto) oleh umum.

Sistem kekerabatan keluarga Batak Toba, tidak dapat dipisahkan dari filsafat hidupnya dan merupakan suatu pranata yang tidak hanya mengikat seorang laki-laki dan seorang wanita, akan tetapi mengikat suatu hubungan yang tertentu yaitu kaum kerabat dari pihak laki-laki atau kaum kerabat dari pihak perempuan. Seluruh pihak yang masuk dalam lingkaran kerabat Batak Toba, masing-masing memiliki nama sebutan panggilan yang menunjukkan status kekerabatan. Filsafat hidup kekerabatan tersebut adalah Dalihan Na Tolu (tungku nan tiga) yang terdiri dari:

a. Hula-hula atau dinamai parrajaon (pihak yang dirajakan) yaitu marga ayah mertua seorang laki-laki yang memberinya istri. Yang termasuk hula-hula bukan hanya pihak mertua dan golongan semarganya tetapi juga bona ni ari yaitu marga asal nenek (istri kakek) ego lima tingkat ke atas atau lebih, tulang yaitu saudara laki-laki ibu, yang terdiri dari tiga bagian yaitu bona tulang (tulang kandung dari bapak ego), tulang tangkas (tulang ego saudara), tulang ro robot (ipar dari tulang), lae atau tunggane (ipar) yang termasuk di dalamnya anak dari tulang anak mertua, mertua laki-laki dari anak, ipar dari ipar, cucu ipar; bao (istri ipar) yaitu istri ipar dari pihak hula-hula mertua perempuan dan anak laki-laki, anak perempuan dari tulang ro robot; paraman dari anak laki-laki, termasuk di dalamnya anak ipar dari hula-hula, cucu pertama, cucu dari tulang, saudara dari menantu perempuan, paraman dari bao; hula hatopan yaitu semua abang dan adik dari pihak hula-hula.

b. Boru yaitu marga yang menerima anak perempuan sebagai istri, yang termasuk di dalamnya namboru (bibi) yang terdiri dari iboto ni ama niba (saudara perempuan bapak), mertua perempuan dari saudara perempuan, nenek dari menantu laki-laki;

amang boru (suami bibi) yang termasuk di dalamnya mertua laki-laki dari saudara perempuan, kakak dari menantu lakilaki; iboto (saudara perempuan) yang termasuk di dalamnya putri dari namboru, saudara perempuan nenek, saudara perempuan dari abang atau adik kita; lae (ipar) yang termasuk di dalamnya saudara perempuan, anak namboru, mertua laki-laki dari putri, amang boru dari ayah, bao dari saudara perempuan. Boru (putri) yang termasuk di dalamnya boru tubu (putri kandung), boru ni pariban (putri kakak atau adik perempuan), hela (menantu), yang termasuk di dalamnya suami dari putri, suami dari putri abang atau adik kita, suami dari putri; bere atau ibebere (kemenakan) atau anak dari saudara perempuan; boru natua-tua yaitu semua keturunan dari putri kakak kita dari tingkat kelima.

c. Dongan Sabutuha atau dongan tubu yaitu terdiri dari namarsaompu artinya segenap keturunan dari kakek yang sama, dengan pengertian keturunan lakilaki dari satu marga. Setiap orang Batak Toba dapat terlihat dalam posisi sebagai dongan tubu, hula-hula dan boru terhadap orang lain. Terhadap hulahula-nya, dia adalah boru. Sebaliknya, terhadap boru dia merupakan hulahula dan terhadap garis keturunannya sendiri dia merupakan dongan tubu. Penyebutan kata somba marhula-hula, elek marboru, manat mardongan tubu adalah salah satu semboyan yang hidup hingga saat ini pada masyarakat Batak Toba yang mencerminkan keterkaitan hubungan ketiga sistem kekerabatan ini. Artinya hula-hula menempati kedudukan yang terhormat diantara ketiga golongan fungsional tersebut. Boru harus bersikap sujud dan patuh terhadap hula-hula dan harus dijunjung tinggi. Hal itu tampak dari filosofi yang dianut tentang ketiga golongan ini. Hula-hula, mata ni mual si patio-tioon, mata ni ari so husoran artinya hula-hula adalah sumber mata air yang selalu dipelihara supaya tetap jernih dan matahari yang tidak boleh

ditentang. Hula-hula diberi sebutan sebagai debata na tarida atau wakil Tuhan yang dapat dilihat, karena merupakan sumber berkat, perlindungan dan pendamai dalam sengketa. Elek marboru artinya hula-hula harus selalu menyayangi borunya dan sangat pantang untuk menyakiti hati dan perasaan boru. Manat mardongan tubu artinya orang yang semarga harus berperasaan seia sekata dan sepenanggungan sebagai saudara kandung dan saling hormat menghormati.

Adapun fungsi dalihan natolu dalam hubungan sosial antar marga ialah mengatur ketertiban dan jalannya pelaksanaan tutur, menentukan kedudukan, hak dan kewajiban seseorang dan juga sebagai dasar musyawarah dan mufakat bagi masyarakat Batak Toba di Kota Binjai. Dimana saja ada masyarakat Batak Toba, secara otomatis berlaku fungsi dalihan natolu. Dan selama orang Batak Toba tetap mempertahankan kesadaran bermarga, selama itu pulalah fungsi dalihan natolu tetap dianggap baik untuk mengatur tata cara dan tata hidup masyarakatnya.

2.6. Kesenian

Masyarakat Batak Toba memiliki beberapa kesenian yang menarik dan menjadi ciri khasnya. Salah satunya adalah :

• Seni Kerajinan

Martonun, atau keterampilan dalam membuat kais ulos dengan alat tenun tradisional, merupakan salah satu seni kerajinan dalam tradisi adat Batak Toba, yang hingga saat ini masih bisa dijumpai di pedalaman Pulau Samosir dan daerah-daerah lainnya di sekitar Danau Toba. Masyarakat Batak Toba melakukan berbagai seni kerajinan sesuai dengan peran dan fungsinya dalam struktur adat dan religi yang mereka percaya.

• Seni Sastra

Ada banyak seni sastra yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Batak Toba, meliputi sastra lisan dan sastra tulisan. Beragam cerita rakyat, seperti terjadinya Danau Toba dan Batu Gantung, menjadi legenda yang sampai saat ini masih bisa kita dengar. Pantun-pantun yang disebut umpasa juga ada dalam kebudayaan Batak Toba, yang menjadi kearifan lokal etnik tersebut. Semua seni sastra itu memiliki makna filosofis dalam kehidupan mereka.

• Seni Rupa

Seni pahat dan seni patung menjadi keterampilan utama dalam seni rupa tradisional yang hidup di Batak Toba. Ukiran-ukiran yang terdapat gorga atau ornamen rumah adat mereka, menjadi bukti keindahan dari seni pahat masyarakat Batak Toba. Sedangkan, seni patung bisa dilihat dari banyak peralatan tradisional, seperti sior dan hujur (panah), losung gaja (lesung besar), serta parpagaran dan sigale-gale (alat untuk memanggil kekuatan gaib).

• Seni Tari

Tari Tortor menjadi salah satu kesenian yang paling menonjol dalam kebudayaan masyarakat Batak Toba. Manortor (menari, bahasa Batak Toba) merupakan lambang bentuk syukur kepada Mulajadi Nabolon, dewa pencipta alam semesta, dan rasa hormat kepada hula-hula dalam konsep kekeluargaan mereka. Oleh karena itu, tari ini biasanya dilakukan dalam upacara ritual, ataupun dalam upacara adat, seperti acara pernikahan.

• Seni Musik

Seni musik dalam masyarakat batak toba dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu musik vokal (ende) dan musik instrumentalia (gondang).

Musik vokal (ende) tradisional pembagiannya ditentukan oleh kegunaan dan tujuan lagu tersebut yang dapat dilihat dari liriknya. Ben Pasaribu (1986:27-28) membuat pembagian terhadap musik vokal tradisional batak toba dalam delapan bagian, yaitu:

a. Ende mandideng adalah musik vokal yang berfungsi untuk menidurkan anak.

b. Ende sipaingot adalah musik vokal yang berisi pesan kepada putrinya yang akan menikah dinyanyikan pada saat senggang pada hari menjelang pernikahan tersebut. c. Ende pargaulan adalah musik vokal yang secara umum merupakan “solo-chorus” dan

dinyanyikan oleh kaum muda mudi dalam waktu senggang biasanya malam hari. d. Ende tumba adalah musik vokal yang khususnya dinyanyikan saat pengiring tarian

hiburan (tumba). Penyanyinya sekaligus menari dengan melompat-lompat dan berpegangan tangan sambil bergerak melingkar. Biasanya ende tumba ini dilakukan oleh remaja di alaman (halaman kampung) pada malam terang bulan.

e. Ende sibaran adalah musik vokal sebagai cetusan penderitaan yang berkepanjangan. Penyanyinya adalah orang yang menderita tersebut, yang menyanyi ditempat yang sepi.

f. Ende pasu-pasuan adalah musik vokal yang berkenan dengan pemberkatan berisi lirik-lirik tentang kekuasaan yang abadi dari yang maha kuasa. Biasanya dinyanyikan oleh orang-orang tua kepada keturunannya.

g. Ende hata adalah musik vokal yang berupa lirik yang diimbuhi ritem yang disajikan secara monoton seperti metric speech. Liriknya berupa rangkain pantun dengan bentuk aabb yang memiliki jumlah suku kata yang sama. Biasanya dimainkan oleh kumpulan kanak-kanak yang dipinpin oleh seorang yang lebih dewasa atau orangtua. h. Ende andung adalah musik vokal yang bercerita tentang riwayat hidup seseorang yang

telah meninggal dunia yang disajikan pada saat atau setelah disemayamkan. Dalam ende andung melodinya datang secara spontan sehingga penyanyinya haruslah

penyanyi yang cepat tanggap dan trampil dalam sastra serta menguasai beberapa motif-motif lagu yang penting untuk jenis nyanyian ini.

Demikian juga yang musik vokal dikategorikan menjadi tiga jenis, yaitu:

a. Ende namarhadohoan yaitu musik vocal yang dinyanyikan untuk acara-acara namarhadohoan (resmi).

b. Ende siriakon yaitu musik vocal yang dinyanyikan oleh masyarakat batak toba dalam kegiatan sehari-hari.

c. Ende sibaran yaitu musik vocal yang dinyanyikan dalam kaitannya dengan berbagai peristiwa kesedihan atau dukacita.

Dari beberapa jenis musik vocal tersebut yang sering terdapat pada masyarakat toba adalah jenis ende andung dan ende sibaran, dimana saat terjadi peristiwa dukacita, maka akan ada beberapa pihak dari keluarga yang meninggal dunia tersebut yang mangandungi jenazah orang yang meninggal dunia tersebut sebelum dimakamkan.

Musik tradisi masyarakat Batak Toba disebut sebagai gondang. Ada tiga arti untuk kata gondang yaitu satu jenis musik tradisi Batak toba, komposisi yang ditemukan dalam jenis musik tersebut (misalnya komposisi berjudul Gondang Mula-mula, Gondang Haroharo) dan alat musik kendang. Ada 2 ansambel musik gondang yaitu gondang sabangunan yang biasanya dimainkan diluar rumah dihalaman rumah dan gondang hasapi yang biasanya dimainkan dalam rumah.

Gondang sabangunan terdiri dari sarune bolon (sejenis alat tiup/obo), taganing (perlengkapan terdiri dari lima kendang yang dikunci punya peran melodis dengan sarune tersebut), gordang (sebuah kendang besar yang menonjolkan irama ritme), empat gong yang disebut ogung dan hesek sebuah alat perkusi (biasanya sebuah botol yang dipukul dengan batang kayu atau logam) yang membantu irama. Sebahagian besar repertoar gondang

sabangunan juga dimainkan dalam konteks ansambel gondang hasapi. Ansambel ini terdiri dari hasapi ende (sejenis gitar kecil yang punya dua tali yang main melodi), hasapi doal (sejenis gitar kecil yang punya dua tali yang main pola irama), garantung (sejenis gambang kecil yang main melody ambil peran taganing dalam ansambel gondang hasapi), sulim (sejenis suling terbuat dari bambu yang punya selaput kertas yang bergetar, seperti sulim dze dari cina), sarune etek (sejenis klarinet yang ambil peran sarune bolon dalam ansambel ini), dan hesek (sejenis alat perkusi yang menguatkan irama, biasanya alat ini ada botol yang dipukul dengan sebuah sendok atau pisau).

Ensambel gondang hasapi adalah ensambel musik dengan menggunakan hasapi (long neck lute) sebagai pembawa melodi disertai alat musik sulim (aeropon, side-blown flute). Hasapi biasanya digunakan dua buah, satu hasapi ende, yaitu hasapi sebagai pembawa melodi dan satu lagi hasapi doal, yaitu hasapi sebagai pembawa tempo. Tangga nada yang dipakai dalam musik gondang hasapi hampir sama dengan yang dipakai dalam gondang sabangunan, tetapi lebih seperti tangga nada diatonis mayor yang dipakai di Barat.

Dokumen terkait