• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN

6.2. Saran

Beberapa hal yang dapat direkomendasikan dari hasil penelitian ini di antaranya : 1. Depresi sering tidak terdiagnosis oleh dokter dan tenaga kesehatan

lainnya. Oleh karena itu, deteksi dini depresi dengan kuesioner deteksi dini depresi (contoh : BDI) perlu dilakukan pada pasien DM tipe 2. Hal ini dikarenakan, berdasarkan tinjauan pustaka yang telah disajikan dalam penelitian ini, depresi dapat memperburuk kondisi umum pasien DM tipe 2.

2. Tatalaksana holistik yang adekuat perlu diterapkan pada pasien DM tipe 2 yang terbukti menderita depresi guna menghindarkan pasien dari dampak buruk yang diakibatkan komorbid depresi dan memperbaiki outcome

medis sehingga kualitas hidup yang lebih baik dapat tercapai.

3. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengkonfirmasi apakah pasien yang didiagnosis DM tipe 2 cenderung menderita depresi dengan memperdalam cakupan penelitian sehingga lebih bermanfaat dalam perkembangan ilmu pengetahun khususnya di bidang kedokteran dan kesehatan.

4. Penelitian selanjutnya sebaiknya menggunakan teknik pengambilan sampel probability sampling, memperbanyak jumlah sampel, mengontrol penyakit mental yang lain seperti anxiety yang merupakan komorbid depresi, memilih kuesioner yang lebih aplikatif, dan memilih variable yang lebih menggambarkan risiko menderita depresi.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus

2.1.1 Pengertian

Diabetes melitus adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh defisiensi produksi insulin oleh pankreas atau ketidakefektifan produksi insulin baik karena faktor keturunan atau didapat (acquired). Defisiensi ini menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah (KGD), yang akhirnya membuat kerusakan banyak sistem tubuh, khususnya pembuluh darah dan saraf (WHO, 2013b)

Defek sekresi atau aksi atau sekresi dan aksi insulin pada penderita DM mengakibatkan terjadinya hiperglikemia. Hiperglikemia yang terjadi kronik pada DM berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi dan kegagalan beberapa organ khususnya mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah (ADA, 2004).

2.1.2 Klasifikasi

A. Diabetes Melitus Tipe I

1. Diabetes yang Dimediasi Sistem Imun

Diabetes yang dimediasi sistem imun terdapat sebanyak 5-10% dari keseluruhan tipe DM. Terminologi lain untuk bentuk DM ini adalah diabetes bergantung insulin atau juvenile-onset diabetes. Jenis DM ini disebabkan destruksi sel β pancreas oleh cellular-mediated autoimmune. Marker dari destruksi ini adalah autoantibodi sel β pankreas, autoantibodi terhadap insulin, antibodi terhadap glutamic acid decarboxylase (GAD65), dan autoantibodi terhadap tyrosine phosphatase IA-2 dan IA-2β. Penyakit ini juga berhubungan kuat dengan HLA gen DQA dan DQB, dan dipengaruhi oleh gen DRB. Pada tahap akhir dari penyakit ini, produksi insulin akan semakin berkurang sampai insulin sama sekali tidak diproduksi. DM jenis ini umumnya terjadi pada masa anak-anak dan remaja, tapi dapat juga terjadi pada semua umur, bahkan pada dekade ke-8 atau ke-9 kehidupan (ADA, 2004).

2. Diabetes Idiopatik

Diabetes Idiopatik merupakan beberapa bentuk dari DM tipe 1 yang tidak diketahui etiologinya. Beberapa pasien diabetes idiopatik mengalami insulinopenia (kekurangan insulin) permanen dan cenderung mengalami ketoasidosis, tapi tidak dijumpai bukti adanya mekanisme autoimunitas. Meskipun jarang pasien DM tipe 1 yang memenuhi kategori ini, keturunan Afrika dan Asia paling banyak menderita DM jenis ini. Individu dengan diabetes idiopatik mengalami episodik ketoasidosis dan menunjukkan derajat bervariasi defisiensi insulin antar episode. DM jenis ini sangat erat kaitannya dengan faktor keturunan, kurangnya bukti imunologi autoimunitas sel β, dan tidak berhubungan dengan HLA (ADA, 2004).

B. Diabetes Melitus Tipe 2

Diabetes melitus tipe 2 – disebut juga dengan non-insulin dependent diabetes atau adult-onset diabetes – diderita oleh 90-95% dari keseluruhan penderita DM. Penyakit ini mencakup orang-orang dengan resistensi insulin dan biasanya memiliki keluarga dengan defisiensi insulin. Destruksi autoimun sel β tidak terjadi pada DM tipe 2. Kebanyakan pasien dengan DM tipe 2 menderita obesitas, dan obesitas sendiri menyebabkan resistensi insulin. DM ini dapat terjadi pada mereka yang tidak tergolong obese berdasarkan kriteria berat badan klasik tapi memiliki proporsi lemak yang banyak terfokus pada regio abdomen. Ketoasidosis jarang terjadi secara spontan pada pasien ini, biasanya terjadi jika ada faktor pencetus seperti stress atau penyakit lain seperti infeksi. Bentuk penyakit ini biasanya tidak terdiagnosis selama beberapa tahun karena peningkatan KGD terjadi secara bertahap dan pada tahap awal biasanya tidak cukup berat untuk membuat pasien sadar akan adanya gejala klasik dari DM. Namun, beberapa pasien berada pada risiko yang tinggi untuk terjadinya komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular. Kadar insulin pada pasien dengan DM tipe 2 biasanya normal atau meningkat. Hal ini disebabkan karena tidak cukupnya insulin untuk mengkompensasi resistensi insulin. Resistensi insulin

akan berkurang dengan reduksi berat badan dan/atau terapi farmakologis hiperglikemia, tapi jarang kembali ke keadaan normal (ADA, 2004).

C. Diabetes Melitus Gestasional

DM Gestasional didefinisikan sebagai setiap derajat intoleransi glukosa dengan onset atau dikenali pertama kali saat kehamilan. Definisi ini dipakai tanpa melihat apakah insulin atau hanya modifikasi diet yang diberikan selama pengobatan atau apakah kondisi menetap setelah kehamilan (ADA, 2004).

D. Tipe spesifik lain dari Diabetes Melitus 1. Defek genetik fungsi sel β

a. Kromosom 12, HNF-α (dahulu MODY 3) b. Kromosom 7, glukokinase (dahulu MODY 2) c. Kromosom 20, HNF-α (dahulu MODY 1)

d. Kromosom 13, insulin promoter factor (IPF dahulu MODY 4) e. Kromosom 17, HNF-1β (dahulu MODY 5)

f. Kromosom 2, Neuro D1 (dahulu MODY 6) DNA mitokondria g. Lainnya.

2. Defek genetik kerja insulin : resistensi insulin tipe A, I eprechaunism, sindrom Rabson Mendenhall diabetes lipoatrofik, lainnya.

3. Penyakit eksokrin pankreas : pankreatitis, trauma/pankreatektomi, neoplasma, fibrosis kistik hemokromatosis, pankreatopati fibro kalkulus, lainnya.

4. Endokrinopati : akromegali, sindroma cushing, feokromasitoma, hipertiroidisme somatostatinoma, aldosteronoma, lainnya.

5. Karena obat/zat kimia : vacor, pentamidine, asam nikotinat, glukokortikoid, hormon tiroid, diazoxid, aldosteronoma, lainnya.

6. Infeksi : rubella congenital, CMV, lainnya.

7. Imunologi (jarang) : sindrom “Stiffman”, antibodi anti-reseptor insulin, lainnya.

8. Sindroma genetik lain : Sindrom Down, Sindrom Klinefelter, Sindrom Turner, Sindrom Wolfram’s, ataksia Friedreich’s, chorea Huntington, sindrom Laurence Moon Biedl distrofi miotonik, porfiria, sindrom Prader Willi, lainnya (Purnamasari, 2009 : 1883).

2.2. Diabetes Melitus Tipe 2 2.2.1 Faktor Risiko

Berikut merupakan faktor risiko untuk terkena DM tipe 2 : 1. Usia ≥ 45 tahun

2. Dapat terjadi pada usia lebih muda, terutama dengan IMT > 23 kg/m2, yang disertai dengan faktor risiko lain (PERKENI, 2006).

3. Riwayat keluarga menderita DM (orang tua atau saudara kandung dengan DM Tipe 2)

4. Aktivitas fisik yang kurang

5. Ras (Afrika-Amerika, Latin, Amerika Nativ, Asia Amerika, Kepulauan Pasifik)

6. Sebelumnya pernah teridentifikasi IFG atau IGT

7. Riwayat DM Gestasional atau melahirkan bayi dengan berat badan lebih dari 4 kg.

8. Hipertensi (tekanan darah ≥ 140/90 mmHg)

9. Kadar kolesterol HDL < 35 mg/dL dan/atau kadar trigliserida >250 mg/dL

10. Polycystic olivarian syndrome atau achantosis nigricans

11. Riwayat penyakit pembuluh darah ( ADA, 2007 dalam Powers, 2010 : 271).

2.2.2 Patogenesis

Pada keadaan fisiologis, konsentrasi glukosa plasma dipertahankan dalam batas yang sempit melalui regulasi ketat dan interaksi dinamis antara sensitivitas jaringan terhadap insulin dan sekresi insulin meskipun terjadi fluktuasi yang besar pada konsumsi glukosa individu dan penggunaan glukosa oleh tubuh. Pada DM

tipe 2, kedua mekanisme ini gagal dan akhirnya menyebabkan gangguan sekresi insulin dan resistensi insulin (Holt & Hanley, 2012 : 289-292).

Resistensi insulin didefinisikan sebagai ketidakmampuan insulin melakukan efek biologisnya pada konsentrasi fisiologis. Hal ini ditandai dengan ketidakmampuan insulin menstimulasi pengambilan glukosa oleh otot rangka dan menghambat produksi glukosa hepatik. Insulin juga gagal menekan lipolisis pada jaringan adiposa sehingga terjadi peningkatan asam lemak non-esterifikasi (Holt & Hanley, 2012 : 289-292).

Resistensi insulin dan sekresi insulin yang abnormal merupakan awal dari perkembangan DM tipe 2. Meskipun defek primer masih kontroversial, banyak studi mendukung pandangan yang menyatakan bahwa resistensi insulin mengawali defek sekresi insulin. DM terjadi hanya jika sekresi insulin menjadi tidak adekuat (Powers, 2010 : 275-277).

Karekteristik DM tipe 2 adalah adanya gangguan sekresi insulin, resistensi insulin, produksi glukosa hepar yang berlebihan, dan metabolisme lemak yang abnormal. Pada tahap awal penyakit ini, toleransi glukosa masih mendekati normal meskipun reistensi insulin telah terjadi. Hal ini disebabkan kompensasi sel β pankreas dengan meningkatkan produksi insulin. Resistensi insulin dan kompensasi hiperinsulinemia terus berkembang, lama kelamaan pankreas pada individu tertentu menjadi tidak mampu untuk tetap dalam keadaan hiperinsulinemia. IGT mulai berkembang, yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa post-prandial. Penurunan lebih lanjut dari sekresi insulin dan peningkatan produksi glukosa hepatik menyebabkan keadaan berkembang menjadi IFG yakni hiperglikemia puasa. (Powers, 2010 : 275-277).

Resistensi insulin mengganggu penggunaan glukosa pada jaringan sensitif- insulin dan meningkatkan produksi glukosa hepatik. Meningkatnya produksi glukosa hepatik menyebabkan terjadinya hiperglikemia puasa, sedangkan menurunnya penggunaan glukosa perifer menyebabkan hiperglikemia postprandial (Powers, 2010 : 275-277).

Penggunaan glukosa pada jaringan yang tidak bergantung pada insulin tidak terganggu pada DM tipe 2. Defek post-reseptor dalam

fosforilasi/defosforilasi yang diregulasi oleh insulin diduga dominan dalam patogenesis resistensi insulin. Sebagai contoh, defek signaling PI-3 kinase menyebabkan berkurangnya translokasi GLUT-4 ke membran plasma. Abnormalitas lain adalah akumulasi lipid dalam myosit otot rangka, yang dapat mengganggu fosforilasi oksidatif mitokondria dan mengurangi produksi ATP mitokondria. Gangguan oksidasi asam lemak dan akumulasi lipid dalam myosit otot rangka mungkin menghasilkan ROS seperti lipid peroksidase (Powers, 2010 : 275-277).

Obesitas yang menyertai DM tipe 2 – khususnya yang lokasinya di sentral atau viseral – diduga merupakan bagian proses patogenik DM tipe 2. Peningkatan massa adiposit menyebabkan peningkatan level asam lemak bebas dan produk sel lemak lainnya. Adiposit mensekresikan sejumlah produk biologik (asam lemak bebas non-esterifikasi, retinol-binding protein 4, leptin, TNF, resistin, dan adiponektin). Untuk meregulasi berat badan, nafsu makan, dan pengeluaran energi, adipokin memodulasi sensitivitas insulin. Peningkatan produksi asam lemak bebas dan adipokin menyebabkan resistensi insulin pada otot rangka dan hati. Asam lemak bebas mengganggu penggunaan glukosa pada otot rangka, meningkatkan produksi glukosa oleh hati, dan mengganggu fungsi sel β. Sebaliknya, produksi adiponektin – peptida yang mensensitasi insulin – berkurang pada individu dengan obesitas sehingga menyebabkan terjadinya resistensi insulin. Adiposit dan adipokin juga menyebabkan keadaan inflamasi dan mungkin menjelaskan mengapa marker inflamasi seperti IL-6 dan CRP sering ditemukan meningkat pada individu dengan DM tipe 2 (Powers, 2010 : 275-277).

2.2.3 Tanda dan Gejala

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penderita DM. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti di bawah ini.

1. Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

2. Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita (PERKENI, 2006).

Masharani (2007) memaparkan gejala & tanda klinis DM tipe 2 sebagai berikut :

1. Gejala

a) Gejala klasik poliuria, rasa haus, pandangan kabur, paresthesia, dan rasa lelah adalah manifestasi hiperglikemia dan diuresis osmotik yang juga terjadi pada DM tipe 1.

b) Pada pasien DM tipe 2 sering terjadi peningkatan mendadak KGD dan relatif asimptomatik awalnya. Khususnya terjadi pada pasien obese yang terdeteksi menderita DM hanya setelah terjadi glikosuria atau hiperglikemia.

c) Infeksi kulit kronik. Pruritus general dan gejala vaginitis sering dikeluhkan wanita dengan DM tipe 2.

d) Wanita dengan vulvovaginitis kandida kronik, melahirkan bayi dengan berat badan > 4 kg, atau polihidramnion, pre-eclampsia, atau keguguran janin yang tak terjelaskan harus dicurigai menderita DM tipe 2.

e) Pria dengan impotensi perlu dicurigai menderita DM tipe 2 2. Tanda

a) Individu dengan distribusi lemak pada abdomen, dada, leher , wajah, dan relatif sedikit lemak di daerah tungkai (obesitas android, terjadi akumulasi lemak di regio omentum dan mesenterik).

b) Hipertensi ringan, khususnya pada individu dengan obesitas tipe android.

2.2.4 Kriteria Diagnostik

Berdasarkan PERKENI (2006), berikut adalah beberapa kriteria diagnostik DM :

A. Gejala klasik DM dan glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL (11,1 mol/L) Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir

atau

B. Gejala klasik DM dan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL (7,0 mmol/L) Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam atau

C. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L)

TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air

2.2.5 Tatalaksana

Pengelolaan DM dimulai dengan terapi gizi medis dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila KGD belum mencapai target (Tabel 2.3.), dilakukan terapi farmakologis dengan OHO atau injeksi insulin (PERKENI, 2006).

A. Non-farmakologis 1. Edukasi :

a) Deskripsikan proses penyakit diabetes dan pilihan pengobatan yang ada. b) Diet.

c) Aktivitas fisik.

d) Pengobatan termasuk keefektifan dan keamanan insulin. e) Monitor sendiri KGD.

f) Mencegah, mendeteksi, dan mengobati komplikasi akut. g) Strategi personal untuk mengidentifikasi masalah psikososial.

h) Strategi personal untuk meningkatkan derajat kesehatan dan perubahan perilaku (Holt & Hanley, 2012 : 271-272).

2. Diet pada individu dengan DM : a) Karbohidrat

1) Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi. 2) Pembatasan karbohidrat < 130 g/hari tidak dianjurkan.

3) Makanan harus mengandung lebih banyak karbohidrat terutama yang berserat tinggi.

4) Sukrosa tidak boleh lebih dari 10% total asupan energi. 5) Makan tiga kali sehari.

b) Lemak

1) Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori. Tidak diperkenankan melebihi 30% total asupan energi.

2) Lemak jenuh <7% kebutuhan kalori.

3) Lemak tidak jenuh ganda < 10%, selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal.

4) Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara lain : daging berlemak dan susu penuh (whole milk).

5) Anjuran konsumsi kolesterol < 300 mg/hari. Diusahakan lemak berasal dari sumber asam lemak tidak jenuh (MUFA), membatasi PUFA dan asam lemak jenuh.

c) Protein

1) Dibutuhkan sebesar 15-20% total asupan energi.

2) Sumber protein yang baik adalah ikan, seafood, daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang, kacang- kacangan (Leguminosa), tahu, dan tempe.

3) Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8 g/kg BB per hari atau 10% dari kebutuhan energi. d) Garam

1) Tidak > 3000 mg.

2) Pembatasan natrium sampai 2400 mg terutama pada mereka yang hipertensi.

e) Serat

1) Konsumsi cukup serat dari kacang-kacangan, buah, dan sayur serta sumber karbohidrat yang tinggi serat, karena mengandung vitamin, mineral, serat dan bahan lain yang baik untuk kesehatan.

2) Anjuran konsumsi serat adalah ± 25g/hari. f) Lainnya

1) Fruktosa tidak dianjurkan pada penderita DM karena efek samping pada lipid plasma.

2) Batasi penggunaan pemanis bergizi. Dalam penggunaannya pemanis bergizi perlu diperhitungkan kandungan kalorinya sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.

3) Pemanis tak bergizi termasuk : aspartam, sakarin, sukralose, dan neotame.

4) Pemanis aman digunakan selama tidak melebihi batas aman (PERKENI, 2006).

3. Olahraga

Olahraga merupakan komponen penting gaya hidup sehat. Olahraga pada pasien DM perlu memperhatikan beberapa hal :

1) olahraga yang terlalu lama (>30 menit) dan terlalu berat,

2) dosis insulin yang tidak disesuaikan (pada pengguna insulin), serta 3) konsumsi karbohidrat yang terlalu sedikit.

Ketiga hal tersebut akan menyebabkan konsentrasi glukosa yang terlalu rendah sehingga dapat memicu terjadinya hipoglikemia (Holt & Hanley, 2012 : 271-272).

B. Farmakologi

1. OHO (Obat Hipoglikemik Oral)

Pada keadaan tertentu, OHO dapat diberikan tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi (PERKENI, 2006). Obat-obat yang umum digunakan untuk tatalaksana pasien DM beserta kerja utamanya terlihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Kelas obat-obatan antidiabetik oral dan kerja utamanya

Kelas beserta contoh menurunkan glukosa Kerja utama Mekanisme kerja seluler Biguanide

Metformin insulin (khususnya Melawan resistensi menurunkan output glukosa hepatik)

Meningkatkan ragam kebergantungan dan ketidakbergantungan insulin yang melibatkan AMPK Sulfonylureas Glimepiride, gliclazide, glyburide/glibenclamide, glipizide Menstimulasi sekresi insulin (khususnya 6-24 jam) Berikatan dengan reseptor sulfonylurea SUR 1 pada sel β pankreas, yang menutup kanal potasium Kir6.2 sensitif ATP

Meglitinides

Repaglinide, nateglinide insulin (onset lebih Stimulasi sekresi cepat dan durasi lebih singkat daripada Sulfonylureas)

Berikatan dengan sisi benzamido pada reseptor SUR1 pada sel β pankreas, yang menutup kanal potasium Kir6.2 sensitif ATP Gliptins (DPP-4 inhibitors) Sitagliptin, vildagliptin, saxagliptin Meningkatkan sekresi insulin prandial Menghambat enzim DPP-4, yang meningkatkan waktu paruh plasma hormon inkretin insulinotropik Thiazolidinediones (PPAR- -agonist Pioglitazone, rosiglitazone Meningkatkan sensitivitas insulin (khususnya meningkatkan penggunaan glukosa perifer) Mengaktivasi resepor nuklear PPAR – , utamanya di jaringan adiposa, yang mempengaruhi aksi insulin dan siklus glukosa-asam lemak α - Glucosidase inhibitors Acarbose, miglitol, voglibose Memperlambat proses pencernaan karbohidrat

Inhibisi kompetitif pada enzim α – Glucosidase usus

Sumber : Bailey, C. J & Krentz, A. J., 2010. Oral Antidiabetic Agents. In : Holt RIG, ed. Textbook of Diabetes, 4th ed. Wiley-Blackwell : 455-456

2. Insulin

Insulin digunakan untuk tatalaksana pasien DM tipe 1 dan pasien DM tipe 2 yang sudah masuk pada tahap lanjut. Insulin segera diberikan bila terdapat keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis,

stress berat, berat badan yang menurun cepat, dan adanya ketonuria (PERKENI, 2006). Tabel 2.2 menyajikan preparat insulin, dosis harian, dosis/hari, dan terapi kombinasinya.

Tabel 2.2. Preparat Insulin Dosis harian

biasa (U) Dosis/hari Terapi Kombinasi NPH

insulin 4–40 Bedtime pagi sulfonylurea, metformin, Dapat digunakan dengan dosis atau troglizatone pagi.

NPH

insulin 4-100 sebelum 1-2, biasanya makan pagi dan sebelum makan malam

Kombinasi sama dengan NPH bedtime

Ultralente 4-100 1-2 Kombinasi sama dengan NPH

Lente 4-100 1-2 Kombinasi sama dengan NPH

Semilente 2-30 1-2 Biasanya dikombinasi dengan ultralente

Regular 2-30 1-2 Biasanya dikombinasi dengan NPH dan diberi sebelum makan Lispro 2-30 1-2 Diberi sebelum makan untuk kontrol glikemik post-prandial

Sumber : Johnson, D. G & Bressler, R., 1999. Type 2 Diabetes Mellitus. In: Meikle, A. W., ed. HormoneReplacement Therapy. Humana Press : 156

Untuk menatalaksana DM, target pengobatan perlu ditetapkan. Pada umumnya, digunakan target glikemik dari ADA dan ACE seperti terlihat pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3. Target Glikemik

Parameter Normal ADA ACE

KGD puasa <100 (rata-rata-90) 70-130 <110 KGD post-prandial <140 <180 <140

HbA1c 4-6 <7 ≤6,5

Sumber : Buse, J. B., Polonsky, K. S., Burant, C. F., 2011. Type 2 Diabetes Mellitus. In : Melmed, S, Polonsky, K. S., Larsen, P. R., Kronenberg, H. M., ed. WILLIAMS Textbook of Endocrinology, 12th ed. Elsevier : 1379

2.2.6. Komplikasi

Powers (2010) membagi komplikasi DM tipe 2 menjadi komplikasi akut dan kronik

A. Komplikasi Akut

Komplikasi akut DM terdiri dari hipoglikemia, diabetik ketoasidosis dan hyperosmolar non-ketoacidotic coma.

1. Hipoglikemi

Lebih dari 30% pasien DM yang diobati dengan insulin mengalami keadaan hipoglikemik, setidaknya sekali dalam hidup mereka dan kira-kira 3% mengalami episode ini sering dan berat. Dalam Diabetes Control and Complications Trial, insiden hipoglikemia berat lebih tinggi dan diperkirakan 3 kali lebih tinggi pada mereka yang menjalani pengobatan insulin intensif. Hipoglikemia berat lebih sering terjadi selama tidur. Penyebab utamanya adalah dosis yang berlebihan dari insulin dan sulfonylurea, porsi makanan yang tidak adekuat, terlambat makan, dan olahraga yang tiba-tiba dan berlebihan (JDRF, 2013).

Hipoglikemia akut memproduksi gejala otonom (seperti berkeringat, tremor, palpitasi, dan rasa lapar) atau gejala neurologis (gangguan fungsi kognitif, seperti kesulitan dalam berkonsentrasi dan tidak terkoordinasi). Jika gejala neuroglikopenik terjadi tanpa didahului gejala otonom, pasien dapat berada dalam kondisi tidak sadarkan diri (JDRF, 2013).

2. Diabetik Ketoasidosis dan Hyperosmolar Non-Ketoacidotic Coma

Diabetic ketoasidosis merupakan penyebab utama kematian pada pasien DM tipe 1 di bawah usia 20 tahun. Tanda khas yang dapat ditemukan adalah hiperketonemia, metabolik asidosis, dan hiperglikemia. Meskipun diabetik ketoasidosis dapat terjadi pada semua usia, komplikasi ini lebih sering terlihat pada pasien yang lebih muda. DKA biasanya diawali adanya infeksi dan lebih jarang terjadi karena penyakit yang terjadi bersamaan seperti infark miokardium. Kadang-kadang dapat disebabkan kurangnya dosis injeksi insulin. Ketoasidosis juga dapat terjadi pada penderita DM tipe 2 disebabkan infeksi berat (JDRF, 2013).

Diabetik ketoasidosis ditandai dengan gejala mual, muntah, haus, poliuria, dan kadang-kadang nyeri abdomen yang diikuti tanda-tanda dehidrasi, asidosis respirasi, keton pada udara pernafasan, hipotermia, dan gangguan kesadaran (JDRF, 2013).

Angka kematian Hyperosmolar non-ketoacidotic coma adalah sebesar 30% kasus dan ditandai dengan hiperglikemia berat, dehidrasi, dan uremia prerenal. Hyperosmolar non-ketoacidotic coma biasanya mengenai usia paruh baya atau usia tua dengan DM tipe 2 yang tidak terdiagnosis. Faktor presipitasi termasuk infeksi, terapi diuretik dan mimum minuman dengan kadar glukosa tinggi (JDRF, 2013).

B. Komplikasi Kronik

Antara lain komplikasi kronik DM adalah diabetik retinopati, nefropati, neuropati, penyakit kardiovaskular, disfungsi ereksi, dan depresi.

1. Diabetik Retinopati

Diabetik retinopati (DR) merupakan komplikasi serius dan paling sering terjadi pada pendeita DM. DR merupakan penyakit progresif yang merusak pembuluh darah kecil di retina yang akhirnya menyebabkan masalah penglihatan. Pada tahapannya yang lebih lanjut (retinopati proliperatif) bisa menyebabkan kebutaan. Sebagian besar penderita DM mengalami DR setelah 20 tahun menderita DM; diperkirakan sekitar 20-30% dari mereka mengalami tahap lanjut diabetik retinopati (JDRF, 2013).

2. Diabetik nefropati

Diabetik nefropati, yang merupakan salah satu komplikasi DM yang paling sering dan paling mengerikan. Pada penyakit ini, terjadi kemerosotan secara perlahan-lahan ginjal dan fungsi ginjal yang mana pada kasus berat bisa menyebabkan terjadinya gagal ginjal, yang juga disebut end-stage renal disease (JDRF, 2013).

Diabetik nefropati ditandai dengan adanya proteinuria, berkurangnya kecepatan filtrasi glomerulus dan meningkatnya tekanan darah. Diabetik

nefropati dapat ditegakkan jika proteinuria lebih dari 0,5 g/hari di mana ISK dan penyakit ginjal lainnya telah disingkirkan (Scobie, 2007 : 70).

3. Diabetik neuropati

Setelah menderita DM selama 20 tahun, 40% pasien DM akan mengalami diabetik neuropati. Neuropati dapat muncul saat diagnosis DM tipe 2 ditegakkan. Komplikasi neurologis terjadi sama pada DM tipe 1 maupun tipe 2. Dampak dari kerusakan saraf berkisar dari sedikit gangguan sampai pada kematian. Diabetik neuropati menyebabkan hilangnya sensasi dan kadang-kadang bermanifestasi nyeri dan kelemahan pada ekstremitas atas dan bawah, dan merupakan penyebab utama amputasi yang tidak disebabkan oleh kecelakaan di US. Pada neuropati otonom, KGD yang tinggi menghancurkan

Dokumen terkait