1. Peneliti menyarankan agar setiap siswi yang gemuk dan obesitas untuk memperhatikan pola asupan gizinya, sehingga dapat mengurangi kejadian dismenore pagi primer itu sendiri.
2. Setiap siswi yang mempunyai aktivitas fisik ringan untuk berolahraga teratur, sedangkan bagi siswi yang memiliki aktivitas fisik berat untuk mengurangi kegiatannya.
Bagi peneliti lain
1. Peneliti yang akan meneliti kejadian dissmenore primer diharapkan juga meneliti faktor-faktor lain yang diduga sebagai faktor resiko timbulnya kejadian dismenore primer.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Remaja
Remaja adalah masa peralihan dari pubertas ke dewasa, yaitu pada umur 11-19 tahun (Anwar dkk., 2011). Menurut WHO remaja adalah mereka yang berusia 10-19 tahun. Sedangkan menurut Menteri Kesehatan RI tahun 2010 Remaja adalah mereka yang berusia 10-19 tahun dan belum kawin. Dimasa ini terjadi kematangan akhir yang disebut pubertas. Pubertas merupakan masa dimana fungsi endokrin dan gametogenesis dari gonad mengalami awal perkembanagan yang memungkinkan terjadinya peristiwa reproduksi. Pada wanita ditandai dengan tumbuhnya buah dada (telarche), selanjutnya pertumbuhan rambut pubis dan aksila (pubarche) dan terjadinya periode awal menstruasi (menarche) (Ganong, 2012)
2.1.1 Tahap perkembangan pubertas menurut Tanner
Menurut Tanner, tahap perkembangan pubertas adalah sebagai berikut :
Tabel 2.1. Tahap perkembangan pubertas menurut tanner (Batubara, 2010)
Tahap Payudara Rambut pubis
Tahap 1 Prapubertas Tidak ada rambut pubis
Tahap 2 Breatbudding, menonjol seperti bukit kecil, areola melebar
Jarang, berpigmen sedikit, lurus, atas medial
labia
Tahap 3 Payudara dan areola membesar, tidak ada kontur pemisah
Lebih hitam, mulai ikal, jumlah bertambah
Tahap 4 Areola dan papilla membentuk bukit kedua
Kasar, keriting, belum sebanyak dewasa
Tahap 5 Bentuk dewasa, papilla
menonjol, areola sebagai bagian dari kontur buah dada
Bentuk segitiga seperti pada perempuan dewasa, tersebar sampai pada medial paha
(a)
(b)
Gambar 2.1. (a) Tahap perkembangan payudara menurut Tanner (b) Tahap perkembangan rambut pubis menurut Tanner
2.2 Anatomi Alat-Alat Genitalia Wanita
Gunardi dan Wiknjosastro (2011) alat-alat genitalia wanita adalah : a. Vulva
Vulva ialah tempat bermuaranya sistem urogenital. Disebelah luar vulva dilingkari oleh labia mayora (bibir besar) yang ke arah belakang menyatu membentuk komissura posterior dan perineum. Di sebelah dalam labia mayora terdapat labio minora yang menyatu ke arah perineum dan membentuk frenulum labiorum pudendi.Di depan frenulum ini terdapat fossa navikulare. Kanan dan kiri fossa navikulare ini dapat dilihat dua buah lubang kecil tepat bermuara kelenjar Bartholini. Ke depan labia minora menyatu dan membentuk prepusium klitoridis dan frenulum klitoridis. Dibawah prepusium klitoridis terletak klitoris.
Gambar 2.2 Alat genitalia eksterna (Sherwood L., 2012)
b. Vagina
Vagina menghubungkan genitalia eksterna dengan genitalia interna. Introitus vagina tertutup sebagian oleh himen (selaput dara), suatu lipatan selaput setempat. Vagina berukuran di depan 6,5 cm dan dibelakang 9,5 cm. Secara embriologis, 2/3 bagian atas vagina berasal dari duktus Mulleri (asal dari entoderm), sedangkan 1/3 bagian bawahnya berasal dari lipatan-lipatan ektoderm. Epitel vagina terdiri atas epitel skuamosa. Lapisan ini terdiri dari beberapa lapisan epitel gepeng tidak
c. Uterus
Ukuran panjang uterus adalah 7-7,5 cm, lebar di tempat yang paling lebar 5,2 cm dan tebal 2,5 cm. Uterus terdiri dari korpus uteri (2/3 bagian atas) dan serviks (1/3 bagian bawah). Di dalam korpus uteri terdapat rongga (kavum uteri), yang membuka ke luar melalui saluran (kanalis servikalis) yang terdapat di serviks. Bagian atas uterus terdapat fundus uteri. Disisi kiri dan kanannya terdapat Tuba falopi. Dinding uterus terdiri terutama atas miometrium, yang merupakan otot polos berlapis tiga, lapisan otot sebelah luar longitudinal, sebelah dalam sirkuler, dan diantara kedua lapisan otot ini saling beranyaman.
Kavum uteri dilapisi oleh selaput lendir yang kaya dengan kelenjar yang disebut endometrium. Endometrium terdiri atas epitel selapis kubik. Di bagian luar, uterus dilapisi oleh lapisan serosa (peritonium viseral). Oleh karena itu lapisan dinding korpus uteri terdiri atas perimetrium, miometrium, dan endometrium. Uterus mendapat darah dari arteria uterina (cabang dari arteri iliaka interna) dan arteria ovarika.
d. Tuba fallopi
Tuba fallopi ialah saluran telur yang berasal dari duktus Muleri. Rata-rata panjang tuba 11-14 cm. Bagian tuba yang berada di dinding uterus dinamakan pars interstitialis, lateral dari itu terdapat dari ujung tuba (3-6 cm) terdapat pars ismika yang masih sempit (diameter 2-3 cm) dan lebih ke dalam lagi disebut pars ampularis yang lebih lebar (diameter 4-10 mm), tuba mempunyai anemon yang disebut infundibulum dan fimbria yang merupakan tangan-tangannya. Mukosa tuba terdiri atas epitel selapis kubik sampai silindrik, yang pada permukaannya terdapat silia.
e. Ovarium
Ovarium terletak pada lapisan belakang ligamentum latum. Lipatan yang menghubungkan lapisan belakang ligamentum latum dengan ovarium disebut
mesovarium. Ovarium dihubungkan dengan uterus melalui ligamentum ovarii propium. Bagian ovarium yang berada di dalam kavum peritonei dilapisi oleh epitel selapis kubik-silindris disebut epitelium germinativum. Di bawah epitel ini terdapat tunika albuginea dan dibawahnya lagi terdapat folikel primordial. Ovarium berfungsi dalam pembentukan dan pematangan folikel menjadi ovum, ovulasi, sintesis, dan sekresi hormon–hormon steroid
Gambar 2. 3. Alat genitalia interna (Gunardi dan Winkjosastro, 2011)
2.3 Menstruasi
Menstruasi adalah pendarahan uterus yang terjadi secara siklik dan dialami oleh sebagian besar wanita usia produktif. Menarche (onset menstruasi) terjadi pada usia rata-rata 12 tahun dimana kisaran normalnya adalah 8-16 tahun.
2.3.1 Siklus Menstruasi 2.3.1.1 Siklus Endomentrium
Siklus endometrium menurut ini terdiri dari empat fase, yaitu : a. Fase proliferasi
Fase proliferasi berkaitan dengan fase folikuler di ovarium. Fase folikuler ini menghasilkan hormon steroid seks yaitu estrogen. Estrogen ini berperan untuk
kelenjar mengalami proliferasi dan mencapai puncaknya pada hari ke 8 sampai hari ke 10 siklus dengan puncak kadar estradiol serum dan kadar reseptor estrogen di endometrium. Proliferasi endometrium ini terutama terjadi di stratum fungsional endometrium. Pada awal fase proliferasi tebal endometrium hanya 0,5 mm dan kemudian tumbuh menjadi sekitar 3,5-5 mm. Pada perempuan normal yang subur, fase proliferasi hanya berlangsung sebentar 5-7 hari atau cukup lama sekitar 21-30 hari (Samsulhadi, 2011)
b. Fase sekresi
Pasca ovulasi ovarium memasuki fase luteal, korpus luteum yang terbentuk menghasilkan steroid seks diantaranya estrogen dan progesteron. Kemudian estrogen dan progesteron dari korpus luteum ini mempengaruhi pertumbuhan endometrium dari fase proliferasi menjadi fase sekresi. Fase proliferasi ini berhenti 3 hari pascaovulasi sebagai akibat dihasilkannya antiestrogen yaitu progesteron. Pada fase sekresi, tampak kelenjar menjadi lebih berliku dan menggembung. Puncak sekresi terjadi 7 hari pasca lonjakan gonadotropin bertepatan saat implantasi blastosis jika terjadi kehamilan. Fase sekresi kurang lebih berkisar 12-14 hari (Samsulhadi, 2011) .
c. Fase iskemi/premenstrual
Implantasi atau nidasi ovum yang dibuahi terjadi sekitar 7 sampai 10 hari setelah ovulasi. Apabila tidak terjadi pembuahan dan implantasi, korpus luteum yang mensekresi estrogen dan progesteron menyusut. Seiring penyusutan kadar estrogen dan progesteron yang cepat, arteri spiral menjadi spasme, sehingga suplai darah ke endometrium fungsional terhenti dan terjadi nekrosis. Lapisan fungsional terpisah dari lapisan basal dan perdarahan menstruasi dimulai (Bobak, 2004 dalam Roza, 2011).
d. Fase menstruasi
Pada awal fase menstruasi kadar estrogen, progesteron, LH (Lutenizing Hormon) menurun atau pada kadar terendahnya selama siklus dan kadar FSH (Folikel Stimulating Hormon) baru mulai meningkat (Bobak, 2004 dalam Roza, 2011). Kadar estrogen dan progesteron yang rendah akan menyebabkan beberapa perubahan.
Pertama, terjadi penurunan penebalan endometrium yang menyebabkan terjadi penurunan aliran darah spiralis dan aliran darah vena sehingga terjadi vasodilatasi. Hal ini menyebabkan vasokontriksi dari arteriol, yang menyebabkan endometrium pucat. Sekitar 24 jam menjelang haid, terjadi iskemik endometrium. Kedua, terjadi apoptosis. Hal ini disebabkan oleh pelepasan enzim lisis di lisosom yang dipicu oleh penurunan progesteron dan estrogen. Enzim tersebut menghancurkan sel disekitarnya dan terjadi pelepasan prostaglandin, ektravasi sel darah merah ,nekrosis jaringan serta trombosis pembuluh darah. Ketiga, terjadi pelepasan endometrium (Samsulhadi, 2011) Pada fase ini, endometrium terlepas dari dinding uterus dengan disertai pendarahan dan lapisan yang masih utuh hanya stratum basal. Rata - rata fase ini berlangsung selama lima hari (rentang 3-6 hari) (Bobak, 2004 dalam Roza, 2011)
2.3.1.2 Siklus Ovarium
Siklus Ovarium terbagi 3 (tiga) yaitu : a. Fase Folikuler
Fase folikuler berlangsung 10-14 hari. Selama fase folikuler didapatkan beberpa folikel antral tumbuh tetapi pada hari ke-5 sampai ke-7 hanya satu folikel yang tetap tumbuh akibat sekresi FSH (Follicle stimulating hormone) (Samsulhadi, 2011)
b. Fase Ovulasi
Fase ovulasi ditandai dengan lonjakan LH (Luteinizing Hormone). Lonjakan LH dipicu kadar estrogen yang tinggi oleh folikel preovulasi yang menghambat pengeluaran FSH, kemudian hipofise mengeluarkan LH. Ovulasi terjadi 24-36 jam pasca puncak kadar estrogen (estradiol) dan 10-12 jam pasca puncak LH. Lonjakan LH memacu sekresi prostaglandin dan progesteron bersama lonjakan FSH memicu enzim proteolitik yang menyebabkan dinding folikel “pecah” (Samsulhadi, 2011) .
Korpus luteum mencapai puncak aktivitas fungsional 8 hari setelah ovulasi, dan mensekresi baik hormon estrogen maupun progesteron (Bobak, 2004 dalam Roza, 2011). Lonjakan LH kemudian menurun apabila tidak terjadi pembuahan. Pada haid normal, korpus luteum akan mengalami regresi 9-11 hari pasca ovulasi. Kemungkinan korpus luteum mengalami regresi akibat dampak luteolisis estrogen yang dihasilkan korpus luteum sendiri (Samsulhadi, 2011).
2.3.1.3 Siklus Hipofisis-Hipothalamus
Menjelang akhir siklus menstruasi yang normal, kadar estrogen dan progesteron darah menurun. Kadar hormon ovarium yang rendah dalam darah ini menstimulasi hipotalamus untuk mensekresi gonadotropin realising hormone (Gn-RH) . Pada awal siklus sekresi gonadotropin (FSH, LH) meningkat perlahan dengan sekresi FSH lebih tinggi dari LH. Pada folikel didapatkan dua macam sel yaitu sel teka dan sel granulosa yang melingkari sel telur (oosit) (Samsulhadi, 2011) .
Pada awal siklus (awal fase folikuler) reseptor LH hanya di jumpai pada sel teka dan FSH hanya pada sel granulosa. LH memicu sel teka untuk menghasilkan hormon androgen kemudian masuk ke sel granulosa. FSH mengubah hormon androgen tersebut menjadi estrogen. Stimulasi FSH tersebut menyebabkan beberapa folikel antral menjadi besar dan sekresi estrogen terus meningkat. Pada hari ke 5 sampai ke 7 siklus estrogen dan inhibin B terus meningkat yang akhirnya menekan FSH. Sekresi FSH yang menurun akhirnya menyebabkan hanya ada satu folikel yang akan terus tumbuh sedangkan folikel primordial yang lain akan mengalami atresia. Pada akhir masa folikuler sekresi LH akan lebih dominan dari FSH. Setelah 36-48 jam lonjakan LH, oosit akan keluar inilah yang disebut ovulasi (Samsulhadi, 2011) .
Pasca ovulasi, luteinisasi sel graulosa menjadi sempurna, sekresi progesteron meningkat tajam dan memasuki fase luteal. Kadar progesteron yang meningkat ini menyebabkan kadar LH dan FSH turun tetapi kadar LH tetap lebih dominan dari FSH. LH berperan untuk vaskularisasi dan sintesa hormon steroid di korpus luteum. Pada fase luteal kadar estrogen dan progesteron meningkat
mencapai puncak 7 hari pascaovulasi. Tetapi kadar progesteron lebih dominan dari estrogen. Apabila tidak terjadi fertilisasi dan implantasi ovum pada masa ini, korpus luteum menyusut dan mengalami atresia, oleh karena itu kadar estrogen dan progesteron menurun, maka terjadi menstruasi. Kurang dari 14 hari pasca estrogen dan progesteron cukup rendah dan mengakibatkan sekresi gonadotropin meningkat kembali dimana FSH lebih dominan dari LH dan dimulailah siklus berikutnya (Samsulhadi, 2011).
2.4 Dismenore
2.4.1. Pengertian Dismenore
Dismenore atau nyeri haid merupakan gejala, bukan penyakit. Kata dismenore berasal dari bahasa Yunani yaitu dysmenorrhea, “dys” berarti sulit, “meno” artinya bulan dan “rhhea” artinya aliran (Anisa, 2015). Dismenore adalah rasa nyeri yang menyertai menstruasi dan dapat mengganggu aktivitas sehari-hari (Manuaba, 2010).
2.4.2. Jenis Dismenore
Dalam sembiring (2011) dismenore dibagi menjadi dibedakan berdasarkan dua kategori yaitu :
1. Berdasarkan jenis nyerinya yaitu : a. Dismenore spasmodik
Dismenore spasmodik yaitu nyeri yang dirasakan di perut bagian bawah, dirasakan sebelum terjadinya menstruasi atau pada awal menstruas, umumnya diderita oleh wanita yang lebih muda.
b. Dismenore kongestif
Dismenore kongestif yaitu nyeri yang dirasakan sbelum datangnya menstruasi sampai dua atau tiga hari setelah menstruasi berlangsung hingga dua minggu sebelum menstruasi awal terjadi.
2. Berdasarkan penyebabnya yaitu : a. Dismenore Primer
Dismenore Primer adalah nyeri menstruasi tanpa kelainan patologi yang nyata (Dawood, 2006), semata mata hanya berkaitan dengan hormonal menstruasi (Manuaba, 2010). Dismenore biasanya muncul pada tahun kedua dan ketiga setelah menarche yaitu ketika siklus ovulalasi mulai teratur (Anisa, 2015)
b. Dismenore sekunder
Dismenore yang terjadi karena terdapat kelainan pada alat reproduksi (Manuaba, 2010) seperti endometriosis, adenomiosis, penyakit radang panggul, stenosis servikal, mioma dan polip uteri (Anisa, 2015). Endometriosis merupakan
penyebab pertama terjadinya dismenore sekunder, dimana adanya endometrium atau stroma di tempat yang tidak seharusnya (Harel, 2002 dalam Silviana, 2012)
2.4.3 Perbedaan Karakteristik Dismenore Primer dan Dismenore Sekunder Tabel 2.2 Perbedaan antara dismenore primer dengan dismenore sekunder (Febri, Junizar dkk, 2009 dalam Pakaya 2014)
Dismenore Primer Dismenore sekunder
1. Mengenai seseorang dengan usia lebih muda
2. Timbul segera setelah siklus haid yang teratur
3. Sering pada nulipara
4. Nyeri sering seperti kejang uterus
5. timbul mendahului haid, dan kemudian hilang bersamaan dengan keluarnya haid
6. Sering memberikan respon pada pengobatan medikamentosa
7. Sering disertai mual, muntah, diare, kelelahan dan nyeri kepala.
1. Mengenai pada seseorang dengan usia lebih tua
2. Timbulnya tidak menentu
3. Tidak berhubungan dengan paritas
4. Nyeri terus-menerus
5. Nyeri mulai pada saat haid dan meningkat bersamaan dengan keluarnya haid
6. Sering memerlukan tindakan operatif
7. Tidak disertai mual, muntah, diare, kelelahan dan nyeri kepala.
2.4.4 Derajat Dismenore
Menurut Fujiwara (2003) dan Novia Puspitasari (2008) Derajat dismenore dibagi dalam 4 kategori yaitu :
1. Kategori 0 adalah tidak nyeri sama sekali
2. Kategori 1 adalah nyeri ringan tetapi dapat diatasi tanpa obat pereda nyeri
3. Kategori 2 adalah nyeri sedang dan tertolong dengan obat pereda nyeri. 4. Kategori 3 adalah nyeri sangat hebat dan tidak akan berkurang walaupun telah menggunakan obat dan tidak mampu bekerja, perlu penanganan dokter.
Sedangkan karakteristik gejala dismenore berdasarkan derajat nyerinya menurut Manuaba (2010) dibedakan menjadi 3 kelompok yaitu:
1. Dismenore ringan
Dismenore ringan adalah rasa nyeri yang terjadi sejenak dapat pulih kembali, tidak memerlukan obat dan tidak mengganggu pekerjaan sehari hari.
2. Dismenore sedang
Dismenore yang memerlukan obat untuk menghilangkan rasa sakitnya tanpa terganggu aktivitas pekerjaanya.
3. Dismenore berat
Dismenore berat adalah rasa nyeri hebat sehingga tidak mampu melakukan tugas harian, memerlukan istirahat dan memerlukan obat intensitas tinggi serta diperlukan tindakan operasi, karena menggangu setiap menstruasi.
2.4.5 Patofisiologi Dismenore Primer
Dismenore primer selalu berhubungan dengan siklus ovulasi. Hal ini disebabkan oleh kontraksi dari miometrium yang diinduksi oleh prostaglandin. Kejadian yang berkaitan dengan kejadian menstruasi seperti sakit kepala, mual muntah berhubungan dengan pengeluaran prostaglandin dan metabolit prostaglandin ke sirkulasi sistemik (Speroff et al, 2005). Hal ini terjadi pada sekitar 60% pasien yang menderita dismenore primer (Dawood, 2006). Wanita dengan dismenore primer mempunyai endometrium yang memproduksi
empat kali lebih banyak prostaglandin dari pada yang tidak dismenore (prihatanti, 2010). Pelepasan prostaglandin terbanyak selama menstruasi didapati pada 48 jam pertama dan berhubungan dengan beratnya gejala yang terjadi (Speroff et al, 2005).
Prostaglandin F2α (PGF2α) adalah perantara yang paling berperan
dalam terjadinya dismenore primer (Speroff et al, 2005). Prostaglandin ini merupakan stimulan kontraksi miometrium yang kuat serta memberikan efek vasokontriksi pembuluh darah sehingga terjadi iskemik dari uterus.
Gambar 2. 5. Hubungan Prostaglandin dalam PGF2α yang dihasilkan selama
menstruasi (Wood, 2006)
Peningkatan PGF2α dalam endometrium diikuti dengan penurunan
progesteron pada fase luteal membuat membran lisosomal menjadi tidak stabil sehingga melepaskan enzim lisosomal. Pelepasan enzim ini menyebabkan pelepasan enzim phospholipase A2 yang berperan pada konversi fosfolipid menjadi asam arakidonat dan siklooksigenase pathway. Selanjutnya terjadi biosintesa prostaglandin dan tromboksan dari asam arakidonat (Daftary dan Patki, 2009). Setelah itu terjadi pembentukan PGF2α dan prostaglandin E2 (PGE2) melalui siklus endoperoxidase dengan perantara prostaglandin G2 (PGG2)
mengakibatkan peningkatan tonus miometrium dan kontraksi uterus yang berlebihan sehingga menyebabkan nyeri pada saat menstruasi (Alfrianne, 2008 dalam Pakaya, 2014). Selain itu dilaporkan juga wanita yang mengalami peningkatan vasopresin selama dismenore meskipun hal ini masih kontroversial. Vasopresin menghasilkan kontraksi uterus yang disritmik sehingga aliran darah uterus jadi berkurang dan menyebabkann hipoksia uterus. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya nyeri (Wood , 2006)
Gambar 2.6. Patofisiologi dismenore primer (Lefebvre et al., 2005 )
Menurut Wood (2006) disamping prostaglandin dan vasopressin, terdapat beberapa etiologi terjadinya kejadiaan dismenore primer, dimana telah ditemukan pasien yang memiliki laparoskopi normal dan menderita dismenore yang berat tetapi tidak mengalami kenaikan PGF2α. Diduga terdapat hubungan prostanoid seperti tromboksan A2, prostasiklin dan leukotrien dengan kejadian ini tetapi belum sepenuhnya diketahui. Prostasiklin yang merupakan vasodilator dan relaksan uterus ditemukan menurun pada pasien dengan dismenore primer. Selain itu terdapat peningkatan leukotrien seperti C4 dan D4 dimana spesific binding site dari C4 terdapat di sel miometrium. Leukotrien ini berperan terhadap hiperkontraktilitas dari uterus. Selain itu dilaporkan juga wanita yang mengalami peningkatan vasopresin selama dismenore meskipun hal ini masih kontroversial. Vasopresin menghasilkan kontraksi uterus yang disritmik sehingga aliran darah
uterus jadi berkurang dan menyebabkann hipoksia uterus. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya nyeri.
2.4.6 Gejala Dismenore
Menurut Kasdu (2005) dalam Roza (2011), gejala dismenore yang sering muncul adalah :
a) Rasa sakit yang dimulai pada hari pertama menstruasi
b) Terasa lebih baik setelah pendarahan menstruasi mulai
c) Terkadang nyerinya hilang setelah satu atau dua hari. Namun, ada juga wanita yang masih merasakan nyeri perut meskipun sudah dua hari haid. d) Nyeri pada perut bagian bawah, yang bisa menjalar ke punggung bagian
bahwa dan tungkai.
e) Nyeri dirasakan sebagai kram yang hilang timbul atau sebagai nyeri tumpul yang terus menerus.
f) Terkadang disertai rasa mual, muntah, pusing.
2.4.7 Faktor Resiko Dismenore Primer
2.4.7.1Usia menarche
Menurut Widjanarko (2006) dalam Pakaya (2014) terdapatnya hubungan antara usia menarche lebih awal terhadap kejadian dismenore primer. Hal ini dikarenakan saat menarche yang lebih awal, alat reproduksi belum siap untuk mengalami perubahan dan masih terjadi penyempitan pada leher rahim, maka akan timbul rasa sakit saat menstruasi. Usia menarche yang lebih awal memicu terjadinya siklus ovulasi yang lebih awal juga sehingga kemungkinan terjadi dismenore yang awal juga (Xiashou, 2010 dalam Silviana, 2012). Setelah terjadinya ovulasi, apabila tidak terjadi pembuahan maka sel folikel yang sudah tua akan mengalami atresia. Hal ini akan diikuti penurunan kadar estrogen dan progesteron yang merangsang prostaglandin untuk keluar. Prostaglandin ini menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah yang memicu dismenore.
2.4.7.2 Lama Menstruasi
Lama menstruasi merupakan faktor resiko dari dismenore primer. Lama menstruasi normal adalah 2-7 hari, jika lebih dari 7 hari maka akan menyebabkan dismenore lebih berat (Novia dan puspitasari, 2008). Hal ini disebabkan karena semakin lama uterus berkontraksi, akibatnya semakin banyak pula prostglandin dikeluarkan. Jika prostaglandin dikeluarkan maka akan menyebabkan vasokontriksi. Dimana vasokontriksi akan menimbulkan terjadinya iskemik yang memicu timbulnya nyeri (dismenore).
2.4.7.3Siklus Menstruasi
Siklus menstruasi adalah periode yang dibutuhkan antar tiap proses pendarahan menstruasi (Silviana, 2012). Siklus menstruasi yang normal adalah 21-35 hari. Beberapa penelitian menyatakan bahwa siklus menstruasi yang tidak normal merupakan faktor resiko dismenore primer. Weller (2002) dalam Silviana (2012) menyatakan bahwa wanita dengan siklus menstruasi yang tidak teratur lebih banyak mengalami gangguan menstruasi daripada yang tidak menstruasi.
2.4.7.4 Stress
Risiko untuk mengalami dismenore meningkat pada wanita yang mempunyai riwayat dismenore dan stres tinggi sebelumnnya dibandingkan dengan wanita yang tidak mempunyai riwayat stres sebelumnnya (French, 2005). Mekanisme hubungan stress dengan kejadian dismenore, belum sepenuhnya diketahui. Namun, diduga ada hubungan dengan kaskade respon neuroendokrin.Stress mencegah pengeluaran hormon progesteron dan estrogen, sehingga perkembangan folikel terhambat. Hal ini mempengaruhi sintesa dari progesteron, sehingga memicu keluarnya prostaglandin sehingga terjadi vasokontriksi di uterus, akhirnya terjadilah dismenore (Ju et al., 2013)
Beberapa studi cross sectional mengatakan ada efek negatif merokok dengan kejadian dismenore (Ju et al., 2013). Sundel et al (1990) dalam Ju et al (2013) mengatakan bahwa beratnya dismenore berhubungan dengan banyaknya batang rokok yang diisap perhari.
Merokok dapat meningkatkan lamanya menstruasi dan meningkatkan lamanya dismenore sedangkan alkohol merupakan racun bagi tubuh kita, dan hati bertanggungjawab terhadap penghancur estrogen untuk disekresi oleh tubuh. Fungsi hati terganggu karena adanya komsumsi alkohol yang terus menerus, maka estrogen tidak bisa disekresi dari tubuh, akibatnya estrogen dalam tubuh meningkat dan dapat menimbulkan gangguan pada pelvis (Pakaya, 2014)
2.4.7.4 Status Gizi
Menurut WHO (World of Health Organization) status gizi bisa dilihat dari pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT). Untuk menilai IMT maka kita harus menilai Berat Badan dibandingkan Tinggi badannya. Berikut klasifikasi status gizi berdasarkan IMT/U untuk anak umur 5-18 tahun menurut Kementerian Kesehatan RI Tahun 2010.
Tabel. 2.3 Status Gizi anak umur 5-18 tahun berdasarkan IMT/U (Kemenkes RI, 2010)
No Kategori Status Gizi Ambang Batas
(Z-score)
1. Sangat Kurus < -3SD
2. Kurus -3 SD sampai dengan < 2 SD
3. Normal 2SD sampai dengan 1 SD
4. Gemuk >1SD sampai dengan 2 SD
Menurut beberapa penelitian, kelebihan berat badan dapat mengakibatkan dismenore primer, karena di dalam tubuh yang mempunyai kelebihan berat badan terdapat jaringan lemak yang berlebihan yang dapat mengakibatkan hiperplasi pembuluh darah (terdesaknnya pembuluh darah oleh jaringan lemak) pada organ reproduksi wanita sehingga darah yang seharusnya mengalir pada proses menstruasi terganggu dan timbul dismenore primer (Widjanarko,2006) dalam Pakaya (2014).
Status gizi perlu diperhatikan karena menurut Riyadi (2003) dalam Lusiana dan dwiriani (2007), status gizi yang kurang akan mengakibatkan keterlambatan menstruasi dari yang seharusnya, sehingga menarche juga tertunda. Disamping itu remaja putri yang memiliki status gizi lebih baik memiliki kecepatan pertumbuhan yang lebih tinggi di masa pubertas dibandingkan remaja yang kurang gizi.
2.4.7.5 Aktivitas Fisik
Orang yang berolahraga diduga memiliki faktor resiko yang lebih rendah daripada yang tidak berolah raga. Menurut Giriwoyo (2012) dalam Setyani dan Indarwati (2014) pada saat kita olahraga terjadi pengeluaran hormon endorfin