• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III IMPLIKASI YURIDIS PENCABUTAN KETERANGAN

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka sebagai akhir dari seluruh tulisan ini, dapat diajukan saran-saran sebagai berikut: Hakim hendaknya dalam menolak atau menerima pencabutan keterangan terdakwa harus bersikap hati-hati, arif dan bijaksana. Tidak buru-buru mengambil keputusan. Harus lebih dulu dengan teliti mengadakan pemeriksaan yang menyeluruh secara cermat dan seksama termasuk mengedepankan sanubari dan hati nuraninya. Jangan hanya bersandar pada kebiasaan-kebiasaan yang bersifat formal di persidangan, hakim dalam menolak atau menerima pencabutan keterangan terdakwa, dapat merugikan pembelaan terdakwa.

BAB II

KETENTUAN HUKUM TERHADAP PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DALAM PERSIDANGAN

A.Tinjauan Umum Pembuktian

Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan penjelasan mengenai pengertian pembuktian, KUHAP hanya memuat jenis-jenis alat bukti yang sah menurut hukum, yang tertuang dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Walaupun KUHAP tidak memberikan pengertian mengenai pembuktian, akan tetapi banyak ahli hukum yang berusaha menjelaskan tentang arti dari pembuktian. Membuktikan ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu sengketa.27

Proses pembuktian atau membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas sesuatu peristiwa, sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut.28 Pembuktian mengandung arti bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya, sehingga harus mempertanggungjawabkannya.29

Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan

27

Subekti. (2001). Hukum Pembuktian, Jakarta: Pradnya Paramitha, hal. 1

28

Martiman Prodjohamidjojo. (1984). Komentar atas KUHAP: Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana, Jakarta: Pradnya Paramitha, hal. 11 29

Darwan Prinst. (1998). Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, Jakarta: Djambatan, hal. 133

ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.30

Hukum pembuktian merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian.31

1. Penuntut umum bertindak sebagai aparat yang diberi wewenang untuk mengajukan segala daya upaya membuktikan kesalahan yang didakwakannya kepada terdakwa.

Ditinjau dari segi hukum acara pidana sebagaimana yang diatur dalam KUHAP, telah diatur pula beberapa pedoman dan penggarisan:

2. Sebaliknya terdakwa atau penasihat hukum mempunyai hak untuk melemahkan dan melumpuhkan pembuktian yang diajukan penuntut umum, sesuai dengan cara-cara yang dibenarkan undang-undang.

3. Terutama bagi hakim, harus benar-benar sadar dan cermat menilai dan mempertimbangkan kekuatan pembuktian yang diketemukan selama pemeriksaan persidangan.32

30

M.Yahya Harahap. (2006). Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:

Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: Edisi Kedua,

Jakarta: Sinar Grafika, hal. 273

31

Hari Sasangka dan Lily Rosita. (2003). Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Bandung: Mandar Maju , hal. 10

32

1. Prinsip-Prinsip Pembuktian

a. Hal-hal yang dimuat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Prinsip ini terdapat pada Pasal 184 ayat (2) KUHAP yang berbunyi: “Hal-hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan” atau disebut dengan istilah notoire feiten.

Secara garis besar fakta notoir dibagi menjadi dua golongan, yaitu:

1) Sesuatu atau peristiwa yang diketahui umum bahwa sesuatu atau peristiwa tersebut memang sudah demikian halnya atau semestinya demikian.Yang dimaksud sesuatu misalnya, harga emas lebih mahal dari perak. yang dimaksud dengan peristiwa misalnya, pada tanggal 17 Agustus diadakan peringatan hari Kemerdekaan Indonesia.

2) Sesuatu kenyataan atau pengalaman yang selamanya dan selalu mengakibatkan demikian atau selalu merupakan kesimpulan demikian. Misalnya, arak adalah termasuk minuman keras yang dalam takaran tertentu bisa menyebabkan seseorang mabuk.33

b. Kewajiban seorang saksi

Kewajiban seseorang menjadi saksi diatur pada penjelasan Pasal 159 ayat (2) KUHAP yang menyebutkan: “Orang yang menjadi saksi setelah dipanggil ke suatu sidang pengadilan untuk memberikan keterangan tetapi dengan menolak kewajiban itu ia dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku, demikian pula dengan ahli.

33

c. Satu saksi bukan saksi (unus testis nullus testis)

Prinsip ini terdapat pada Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang berbunyi:

“Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya”. Menurut KUHAP, keterangan satu saksi bukan saksi tidak berlaku bagi pemeriksaan cepat. Hal ini

dapat disimpulkan dari penjelasan Pasal 184 KUHAP sebagai berikut: “Dalam

acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup didukung satu alat bukti yang sah”.

Jadi, ini berarti satu saksi, satu keterangan ahli, satu surat, satu petunjuk, atau keterangan terdakwa disertai keyakinan hakim cukup sebagai alat bukti untuk memidana terdakwa dalam perkara cepat.34

d. Pengakuan terdakwa tidak menghapuskan kewajiban penuntut umum membuktikan kesalahan terdakwa.

Prinsip ini merupakan penegasan dari lawan prinsip “pembuktian terbalik” yang tidak dikenal oleh hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia. Menurut Pasal 189 ayat (4) KUHAP yang berbunyi:

“Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti lain”.

e. Keterangan terdakwa hanya mengikat pada dirinya sendiri

Prinsip ini diatur pada Pasal 189 ayat (3) KUHAP yang berbunyi:

“Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri”. Ini

34

berarti apa yang diterangkan terdakwa di sidang pengadilan hanya boleh diterima dan diakui sebagai alat bukti yang berlaku dan mengikat bagi diri terdakwa sendiri.

Menurut asas ini, apa yang diterangkan seseorang dalam persidangan yang berkedudukan sebagai terdakwa, hanya dapat dipergunakan sebagai alat bukt i terhadap dirinya sendiri. Jika dalam suatu perkara terdakwa terdiri dari beberapa orang, masing-masing keterangan setiap terdakwa hanya merupakan alat bukti yang mengikat kepada dirinya sendiri. Keterangan terdakwa A tidak dapat dipergunakan terhadap terdakwa B, demikian sebaliknya.35

2. Teori-Teori atau Sistem Pembuktian

Ada beberapa sistem atau teori pembuktian, yaitu antara lain:

a. Sistem Atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Semata (Conviction In Time)

Sistem ini menganut ajaran bahwa bersalah tidaknya terdakwa terhadap perbuatan yang didakwakan, sepenuhnya tergantung pada penilaian “keyakinan” hakim semata-mata. Jadi bersalah tidaknya terdakwa atau dipidana tidaknya terdakwa sepenuhnya tergantung pada keyakinan hakim. Keyakinan hakim tidak harus timbul atau didasarkan pada alat bukti yang ada.

Sekalipun alat bukti sudah cukup kalau hakim tidak yakin, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana, sebaliknya meskipun alat bukti tidak ada tapi kalau

35

hakim sudah yakin, maka terdakwa dapat dinyatakan bersalah. Akibatnya dalam memutuskan perkara hakim menjadi subyektif sekali.

Kelemahan pada sistem ini terletak pada terlalu banyak memberikan kepercayaan kepada hakim, kepada kesan-kesan perseorangan sehingga sulit untuk melakukan pengawasan. Hal ini terjadi di praktik Peradilan Prancis yang membuat pertimbangan berdasarkan metode ini, dan banyak mengakibatkan putusan bebas yang aneh.36

b. Sistem Atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan Yang Logis (Conviction In Raisone)

Sistem pembukt ian Conviction In Raisone masih juga mengutamakan penilaian keyakinan hakim sebagai dasar satu-satunya alasan untuk menghukum terdakwa, akan tetapi keyakinan hakim disini harus disertai pertimbangan hakim yang nyata dan logis, diterima oleh akal pikiran yang sehat. Keyakinan hakim tidak perlu didukung alat bukti sah karena memang tidak diisyaratkan, meskipun alat-alat bukti telah ditetapkan oleh undang-undang tetapi hakim bisa menggunakan alat-alat bukti di luar ketentuan undang-undang. Yang perlu mendapat penjelasan adalah bahwa keyakinan hakim tersebut harus dapat dijelaskan dengan alasan yang logis.

Keyakinan hakim dalam sistem pembukt ian convition in raisone harus dilandasi oleh “reasoning” atau alasan-alasan dan alasan itu sendiri harus “reasonable” yakni berdasarkan alasan-alasan yang dapat diterima oleh akal dan

36

A. Minkenhof, hal. 219, dikutip Andi Hamzah. (1985). Pengantar Hukum Acara

nalar, tidak semata-mata berdasarkan keyakinan yang tanpa batas. Sistem pembuktian ini sering disebut dengan sistem pembuktian bebas.

c. Sistem Atau Teori Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif (Positief Wettelijk Bewijstheori)

Sistem ini ditempatkan berhadap-hadapan dengan sistem pembuktian

conviction in time, karena sistem ini menganut ajaran bahwa bersalah tidaknya

terdakwa didasarkan kepada ada tiadanya alat-alat bukti sah menurut undang-undang yang dapat dipakai membuktikan kesalahan terdakwa. Teori positif wetteljik sangat mengabaikan dan sama sekali tidak mempertimbangkan keyakinan hakim. Jadi sekalipun hakim yakin akan kesalahan yang dilakukan terdakwa, akan tetapi dalam pemeriksaan di persidangan pengadilan perbuatan terdakwa tidak didukung alat bukti yang sah menurut undang-undang maka terdakwa harus dibebaskan.

Umumnya bila seorang terdakwa sudah memenuhi cara-cara pembuktian dan alat bukti yang sah menurut undang-undang maka terdakwa tersebut bisa dinyatakan bersalah dan harus dipidana. Kebaikan sistem pembukt ian ini, yakni hakim akan berusaha membuktikan kesalahan terdakwa tanpa dipengaruhi oleh nuraninya sehingga benar-benar obyektif karena menurut cara-cara dan alat bukti yang di tentukan oleh undang-undang kelemahannya terletak bahwa dalam sistem ini tidak memberikan kepercayaan kepada ketetapan kesan-kesan perseorangan hakim yang bertentangan dengan prinsip hukum acara pidana. Sistem pembuktian positif yang dicari adalah kebenaran formal, oleh karena itu sistem pembuktian ini digunakan dalam hukum acara perdata. Positief wettelijk bewijstheori systeem di

benua Eropa dipakai pada waktu berlakunya Hukum Acara Pidana yang bersifat Inquisitor. Peraturan itu menganggap terdakwa sebagai objek pemeriksaan belaka; dalam hal ini hakim hanya merupakan alat perlengkapan saja.37

d. Sistem Atau Teori Pembuktian Menurut Undang-undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk Stelsel)

Sistem pembuktian negatief wettelijk terletak antara dua sistem yang berhadap-hadapan, yaitu antara sistem pembuktian positif wettelijk dan sistem pembuktian conviction intime. Artinya hakim hanya boleh menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan apabila ia yakin dan keyakinannya tersebut didasarkan kepada alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

Dalam sistem negatif wetteljik ada dua hal yang merupakan syarat untuk membuktikan kesalahan terdakwa, yakni: pertama, Wettelijk yaitu adanya alat-alat bukti yang sah dan ditetapkan oleh undang-undang dan kedua, Negatif, yaitu adanya keyakinan (nurani) dari hakim, sehingga berdasarkan bukti-bukti tersebut hakim meyakini kesalahan terdakwa. Antara alat-alat bukti dengan keyakinan diharuskan adanya hubungan causal (sebab akibat).

Meskipun terdakwa telah terbukti menurut cara dan dengan alat-alat bukti sah menurut undang-undang, akan tetapi bila hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa, maka ia dapat saja membebaskan terdakwa. Sebaliknya bila hakim yakin akan kesalahan terdakwa, tetapi keyakinannya tidak didasarkan atas alat-alat bukti sah menurut undang-undang, maka hakim harus menyatakan kesalahan

37

D. Simons. (1952). Beknopte handleiding tot het wetboek van strafvordering, Haarlem, de Erven F. Bohn, hal.114

terdakwa tidak terbukti. Sistem inilah yang dipakai dalam sistem pembuktian peradilan pidana di Indonesia.

B. Tinjauan Umum Tentang Alat Bukti Keterangan Terdakwa

1. Dasar Hukum Alat Bukti Keterangan terdakwa

a. Keterangan terdakwa (Pasal 184 huruf e dan Pasal 189 KUHAP).

Alat bukti keterangan terdakwa diatur secara tegas oleh Pasal 189 KUHAP, sebagai berikut:

1) Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang dilakukan atau yang ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri. 2) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk

membantu menemukan bukti di sidang asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.

3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.

4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia

bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.

b. Pemeriksaan terdakwa

Pemeriksaan terdakwa diatur dalam pasal 175-178 KUHAP, antara lain:

Pasal 175 berbunyi:

“Jika terdakwa tidak mau menjawab atau menolak untuk menjawab pertanyaan yang diajukan kepaadanya, hakim ketua sidang menganjurkan untuk menjawab dan setelah itu pemeriksaan dilanjutkan.”

Pasal 176 berbunyi:

“Jika terdakwa bertingkah laku yang tidak patutsehingga menggangu ketertiban sidang, hakim ketua sidang menegurnya dan jika teguran itu tidak diindakan ia memerintahkan suapaya terdakwa dikeluarkan dari sidang, kemudian pemeriksaan sidang dilanjutkan tanpa hadirnya terdakwa. Dalam hal terdakwa secara terus-menerus bertingkahlaku yang tidak patut sehingga mengganggu ketertiban sidang, hakim ketua sidang, mengusahakan upaya sedemikian rupa sehingga putusan tetap dapat dijatuhkan dengan hadirnya terdakwa.”

Pasal 177 berbunyi:

“jika terdakwa atau saksi tidak paham bahasa Indonesia, haki ketua sidang menunjuk seorang juru bahasa yang bersumpah atau berjanji akan menterjemahkan dengan benar semua yang harus diterjemahkan. Dalam hal seorang tidak boleh menjadi saksi dalam suatu perkara ia tidak boleh pula menjadi juru bahasa dalam perkara itu.”

Pasal 178 berbunyi:

“Jika terdakwa atau saksi bisu dan/atau tuli serta tidak dapat menulis, hakim ketua sidang mengangkat sebagai penterjemah orang yang pandai bergaul dengan terdakwa atau saksi itu. Jika terdakwa atau saksi bisu dan /atau tuli tetapi dapat menulis, hakim ketua sidang menyampaikan semua pertanyaan atau teguran kepadanya secara tertulis dan kepadanya terdakwa atau saksi tersebut diperintahkan untuk menulis jawabannya dan selanjutnya semua pertanyaan serta jawaban harus dibacakan.”

2. Pengertian Terdakwa dan Tersangka.

Menurut Pasal 1 butir 15 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, terdakwa adalah seorang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan. Terdakwa adalah

orang yang karena perbuatan atau keadaannya berdasarkan alat bukti minimal didakwa melakukan tindak pidana kemudian dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan.38

a. Diduga sebagai pelaku suatu tindak pidana;

Dari rumusan di atas dapat disimpulkan, bahwa unsur-unsur dari terdakwa adalah:

b. Cukup alasan untuk melakukan pemeriksaan atas dirinya di depan sidang

pengadilan;

c. orang yang sedang dituntut, ataupun d. Sedang diadili di sidang pengadilan.39

Tersangka akan berubah tingkatannya menjadi terdakwa setelah ada bukti lebih lanjut yang memberatkan dirinya dan perkaranya sudah mulai disidangkan di Pengadilan. Kedudukannya harus dipandang sebagai subjek dan tidak boleh diperlakukan sekehendak hati oleh aparat penegak hukum karena ia dilindungi oleh serangkaian hak yang diatur dalam KUHAP.

Tersangka sendiri menurut Pasal 1 butir 14 KUHAP adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.

3. Pengertian Alat Bukti Keterangan Terdakwa

Alat bukti keterangan terdakwa diatur secara tegas oleh Pasal 189 KUHAP, sebagai berikut:

a. Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang

38

Adnan Paslyadja. (1997). Hukum Pembuktian, Jakarta: Pusat Diktat Kejaksaan Republik Indonesia, hal. 69

39

perbuatan yang dilakukan atau yang ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri. Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.

b. Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri

c. Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.

Menurut Pasal 189 ayat (1) KUHAP di atas, keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang pengadilan tentang perbuatan yang ia lakukan atau ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Sehingga secara garis besar keterangan terdakwa adalah:

1. apa yang terdakwa "nyatakan" atau "jelaskan" di sidang pengadilan,

2. apa yang dinyatakan atau dijelaskan itu ialah tentang perbuatan yang terdakwa lakukan atau mengenai yang ia ketahui atau yang berhubungan dengan apa yang terdakwa alami sendiri dalam peristiwa pidana yang sedang diperiksa.40

Dari pengertian-pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa syarat sah keterangan terdakwa harus meliputi:

a. Apa yang terdakwa nyatakan di sidang pengadilan.

b. Pernyataan terdakwa meliputi:

40

M. Yahya Harahap. (2006). Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP :

Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: Edisi Kedua,

(1) Yang terdakwa lakukan sendiri,

(2) Yang terdakwa ketahui sendiri, (3) Yang terdakwa alami sendiri.

Pasal 184 ayat (1) KUHAP mencantumkan keterangan terdakwa sebagai alat bukti yang kelima atau terakhir setelah alat bukti petunjuk. Hal ini berbeda dengan HIR yang menempatkan keterangan terdakwa pada urutan ketiga di atas petunjuk, hanya saja dalam HIR "keterangan terdakwa" seperti dimuat pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP, menurut Pasal 295 butir 3 HIR disebut "pengakuan tertuduh".

Perbedaan kedua istilah ini ditinjau secara yuridis, terletak pada pengertian "keterangan terdakwa" yang sedikit lebih luas dari istilah "pengakuan tertuduh", karena pada istilah "keterangan terdakwa" sekaligus meliputi "pengakuan" dan "pengingkaran", sedangkan dalam istilah "pengakuan tertuduh", hanya terbatas pada pernyataan pengakuan itu sendiri tanpa mencakup pengertian pengingkaran.41 Sehingga dapat dilihat dengan jelas bahwa “keterangan terdakwa” sebagai alat bukti tidak perlu sama atau berbentuk pengakuan. Semua keterangan terdakwa hendaknya didengar. Apakah itu berupa penyangkalan, pengakuan, ataupun pengakuan sebagian dari perbuatan atau keadaan42

41

Ibid, hal.318

42

Andi Hamzah. (1997). Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 69

edangkan alasan ditempatkannya keterangan terdakwa pada urutan ketiga diatas petunjuk dalam HIR, karena suatu petunjuk dapat diperoleh dari keterangan terdakwa, maka dalam hal yang demikian petunjuk hanya bisa diperoleh setelah lebih dahulu memeriksa terdakwa.

4. Asas Penilaian Keterangan Terdakwa

Sudah tentu tidak semua keterangan terdakwa dinilai sebagai alat bukti yang sah. Untuk menentukan sejauh mana keterangan terdakwa dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang, diperlukan beberapa asas sebagai landasan berpijak, antara lain:

a. Keterangan itu dinyatakan di sidang pengadilan

Keterangan yang diberikan di persidangan adalah pernyataan berupa penjelasan yang diutarakan sendiri oleh terdakwa dan pernyataan yang berupa penjelasan atau jawaban terdakwa atas pertanyaan dari ketua sidang, hakim anggota, dan penuntut umum atau penasihat hukum.

b. Tentang perbuatan yang terdakwa lakukan, ketahui, atau alami sendiri

Pernyataan terdakwa meliputi:

(1) Tentang perbuatan yang terdakwa lakukan sendiri.

Terdakwa sendirilah yang melakukan perbuatan itu, dan bukan orang

lain selain terdakwa.

(2) Tentang apa yang diketahui sendiri oleh terdakwa.

Terdakwa sendirilah yang mengetahui kejadian itu. Mengetahui disini berarti ia tahu tentang cara melakukan perbuatan itu atau bagaimana tindak pidana tersebut dilakukan. Bukan berarti mengetahui dalam arti keilmuan yang bersifat pendapat, tetapi semata-mata pengetahuan sehubungan dengan peristiwa pidana yang didakwakan kepadanya.

(3) Tentang apa yang dialami sendiri oleh terdakwa.

Terdakwa sendirilah yang mengalami kejadian itu, yaitu pengalaman dalam hubungannya dengan perbuatan yang didakwakan. Namun apabila terdakwa menyangkal mengalami kejadian itu, maka penyangkalan demikian tetap merupakan keterangan terdakwa.

(4) Keterangan terdakwa hanya merupakan alat bukti terhadap dirinya sendiri.

Menurut asas ini, apa yang diterangkan seseorang dalam persidangan dalam kedudukannya sebagai terdakwa, hanya dapat dipergunakan sebagai alat bukti terhadap dirinya sendiri. Jika dalam suatu perkara terdakwa terdiri dari beberapa orang, masing-masing keterangan terdakwa hanya mengikat kepada dirinya sendiri. Dengan kata lain keterangan terdakwa yang satu tidak boleh dijadikan alat bukti bagi terdakwa lainnya.43

5. Keterangan Terdakwa Saja Tidak Cukup Membuktikan Kesalahannya

Asas ini ditegaskan dalam Pasal 189 ayat (4); "Keterangan terdakwa saja

tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain".

Pada hakikatnya asas ini hanya merupakan penegasan kembali prinsip batas minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Pasal 183 KUHAP telah menentukan asas pembuktian bahwa untuk menjatuhkan hukuman pidana

43

terhadap seorang terdakwa, kesalahannya harus dapat dibuktikan; “dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah”.44

6. Keterangan Terdakwa di Luar Sidang (The Confession Outside the Court)

Salah satu asas penilaian yang menentukan sah atau tidaknya keterangan terdakwa sebagai alat bukti adalah bahwa keterangan itu harus diberikan di sidang pengadilan. Dengan asas ini dapat disimpulkan, bahwa keterangan terdakwa yang dinyatakan di luar sidang pengadilan sama sekali tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti sah. Walaupun keterangan terdakwa yang dinyatakan di luar sidang pengadilan tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti, namun menurut ketentuan Pasal 189 ayat (2) KUHAP, keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat dipergunakan untuk "membantu" menemukan alat bukti di sidang pengadilan, dengan syarat keterangan di luar sidang didukung oleh suatu alat bukti yang sah, dan keterangan yang dinyatakan di luar sidang sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepada terdakwa.45

a. keterangan yang diberikan dalam pemeriksaan penyidikan,

Bentuk keterangan yang dapat dikualifikasi sebagai keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang ialah:

b. dan keterangan itu itu dicatat dalam berita acara penyidikan,

c. serta berita acara penyidikan itu ditandatangani oleh pejabat penyidik dan

Dokumen terkait