• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

5.2. Saran

Berdasarkan kesimpulan yang telah dikemukakan tersebut, maka dapat dikemukakan saran-saran sebagai berikut :

1. rehabilitasi gedung sekolah, bea siswa, pengadaan buku dan lain-lain. Melihat Di Kabupaten Gresik sektor industry yang dominan adalah industry pengolahan. Realisasi yang terjadi adalah adanya eksternalitas negative yaitu lingkungan yang tercemar. Upaya yang bisa dilakukan pemerintah daerah Kabupaten Gresik adalah dengan menetapkan jenis pajak daerah atau jenis penerimaan lain terkait dengan limbah industri, misalnya pajak lingkungan. Keberadaan peraturan daerah tentang pajak lingkungan ini sekaligus dapat berfungsi mengatur, sehingga pembangunan yang berwawasan lingkungan dapat terealisasi.

2. Pembangunan terminal-terminal sub induk, karena menyebarnya lokasi-lokasi industri di berbagai wilayah Kabupaten Gresik memerlukan penghubung dan penunjang kelancaran transportasi. Dengan adanya terminal-terminal sub induk tersebut akan muncul berbagai obyek-obyek pungutan, khususnya PAD, misalnya banyak muncul papan reklame, retribusi. Sehingga dengan pembangunan terminal sub induk tersebut berpengaruh terhadap peningkatan penerimaan PAD.

3. Di dalam upaya peningkatan PAD, hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah khususnya pemerintah daerah Kabupaten Gresik adalah dengan upaya sosialisasi peningkatan kesadaran masyarakat untuk membayar berbagai pungutan serta diikuti dengan peningkatan mutu pelayanan masyarakat. Sehingga kesadaran dan partisipasi masyarakat untuk membayar berbagai pungutan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku akan semakin meningkat.

4. Kondisi perekonomian global yang tidak dapat diprediksi membuat pemerintah berhati-hati menetapkan asumsi makro pada Rancangan Anggaran Pendapatan danBelanja Negara (RAPBN) 2012. Menurut Plt. Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) pada Kementerian Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro, pemerintah perlu berhati-hati menentukan asumsi makro, meskipun kondisi perekonomian dan sentimennya saat ini cenderung positif. Selain itu, pemerintah juga masih akan menjaga defisit anggaran agar tidak terlalu tinggi.

5. Dalam menjalankan desentralisasi bukanlah pekerjaan yang mudah, sehingga desentralisasi di Indonesia seringkali mengalami pasang surut karena berbagai kendala yang harus dihadapi oleh pemerintah daerah terutama dalam hal keterbatasan SDM, finansial dan minimnya potensi daerah. Sehingga membuat tujuan desentralisasi seringkali tidak sejalan (bahkan di satu sisi distorsif) dengan tujuannnya. Penelitian Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) di 42 kabupaten/kota menunjukkan kendala terbesar yang saat ini dihadapi oleh pemerintah daerah adalah dalam hal desentralisasi fiskal. Karena dalam praktiknya hampir semua daerah sering kesulitan dalam mencari dan meningkatkan pendapatannya sendiri, sehingga walaupun 10 tahun desentralisasi dijalankan sebagian besar daerah masih menggantungkan penerimaannya dari bantuan pusat baik dalam bentuk block grant (DAU) maupun specific grant (DAK). Daerah-daerah yang bisa menjalankan desentralisasi fiskalnya hanyalah daerah yang memiliki potensi sumber daya alam melimpah atau daerah yang berkarakteristik perkotaan besar. Bagi 92% kabupaten/kota di Indonesia yang

tidak memiliki kekayaan sumber daya alam, menjadi tidak mudah untuk melepaskan ketergantungan dari bantuan pemerintah pusat. Walaupun sebenarnya sampai saat ini di daerah-daerah penelitian tersebut semua pemerintah daerah terus berupaya untuk menumbuhkan potensi ekonominya dengan membuka kesempatan seluas-luasnya kepada semua investor untuk menginvestasikan modalnya di daerah masing-masing. Hanya saja, upaya tersebut bukanlah sesuatu hal yang mudah karena selain minimnya potensi yang membuat tidak tertariknya investor, juga keterbatasaan dana dari pemerintah daerah untuk meningkatkan fasilitas-fasilitas infrastruktur dan suprastruktur ekonomi di daerahnya. Karena itulah, satu-satunya upaya yang saat ini dilakukan pemerintah daerah untuk mengurangi tingkat ketergantungan keuangannya terhadap pemerintah pusat (walaupun tidak signifikan) dilakukan dengan cara menggenjot PAD semaksimal mungkin terutama di sektor retribusi daerah. Dampaknya cukup negatif karena retribusi yang dinaikkan tersebut rata-rata adalah retribusi yang sifatnya memberikan beban bagi rakyat miskin (retribusi kesehatan) dengan rata-rata di atas 60% dari total PAD.

6. Lemahnya derajat desentralisasi fiskal juga berdampak pada belanja daerah, dimana biaya program pembangunan sebagian besar harus ikut bergantung dari bantuan pusat sehingga celah fiskal daerah menjadi tinggi. Masalahnya APBN juga memiliki keterbatasaan yang tidak mungkin dapat menutupi tingginya celah fiskal daerah, sehingga prosentase DAU sebagian besar hanya diberikan untuk memenuhi alokasi dasar (gaji PNS) saja. Wajar jika kemudian, wajah belanja semua daerah menjadi tidak pro poor karena sebagian besar belanja telah habis

dulu untuk menutupi kebutuhan birokrasi (gaji, tunjangan, perjalanan dinas, gedung, perkantoran, dll). Itu pula, kenapa walaupun di sektor pendidikan alokasi belanja di 42 kab/kota rata/rata telah berada di atas 20% namun sebagian besar penggunaannya hanya bisa digunakan untuk memenuhi gaji guru dan dinas, tidak sampai pada program pelayanan publik seperti pengadaan dan kondisi daerah yang masih kesulitan dalam menjalankan desentralisasi fiskalnya, sangat urgen untuk memikirkan ulang (terutama bagi pemerintah pusat) perlunya membuat grand strategy yang dalam penguatan desentralisasi fiskal, agar otonomi daerah dapat berjalan lebih efektif. Grand strategy tersebut dengan memperbaiki beberapa aturan sistem yang telah ada, yang pertama menyangkut penggunaan DAU dan perampingan birokrasi. Berdasarkan hasil penelitian World Bank (2007) terhadap Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) Departemen Keuangan RI, celah fiskal dan alokasi dasar dalam DAU yang digelontorkan ke daerah (miskin) perbandingannya adalah 50:50. Namun dalam praktiknya di 41 kab/kota yang hasilnya rata-rata 80:20. Kesimpang-siuran ini paling tidak harus dijawab dengan perlunya sebuah aturan mengenai batas minimal perbandingan penggunaan antara alokasi dasar dan celah fiskal yang bersifat proporsional dan memungkinkan bagi daerah miskin untuk bisa membiayai pembangunan di daerahnya.

7. Krisis ekonomi tahun 1998 yang mengakibatkan kerusakan struktural perekonomian di beberapa Negara menyebabkan fluktuasi yang mengakibatkan terjadinya penyimpangan output terhadap tern berupa kontrasi atau ekspansi ekonomi yang kemudian membentuk suatu pola siklus naik turun. aktifitas naik

turunnya perekonomian tersebut terekam dalam agregat ekonomi yang tertrasmisi ke kinerja penerimaan yang tercermin dalam APBN. Menurut Edi Wahyudi, Program Doktor (S-3) IPB, Salah satu komponen penting di sisi penerimaan dalam APBN adalah sektor pajak. Untuk mendorong pertumbuhan pendapatan Negara dalam mewujudkan kemandirian keuangan bangsa dalam membiayai pembangunan melalui optimalisasi penggalian dana yang bersumber dari dalam negeri, maka pemerintah perlu menyusun berbagai kebijakan fiskal, baik di bidang perpajakan maupun Negara bukan pajak

Arsyad, Lincolin, 1999. Ekonomi Pembangunan, Edisi Keempat, STIE YKPN,Yogyakarta

Davey, Kenneth 1988. Pembiayaan Pemerintah Daerah: Praktek-praktek Internasional dan Relevansinya Bagi Dunia Ketiga, UI-Press, Jakarta

Devas, N., Binder, B., Both, A., Davey, K., Kelly, R., 1989. Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia, cetakan Pertama, UI-Press, Jakarta

Juned M.J., Thoha M., Darwin M., 1995. “ Implementasi Kebijakan Program Bantuan Pembangunan Daerah Tingkat II, Studi Kasus di Kabupaten Aceh Timur dan Kabupaten Aceh Utara”, Laporan Penelitian, BPPS, UGM, Yogyakarta

Kartini Kartono, PengantarMetodologi RisetSosial, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 1996

Koswara, 2000. “Menyongsong Pelaksanaan Otonomi Daerah Berdasarkan UU Nomer 22 Tahun 1999: Suatu Telaahan Menyangkut Kebijakan, Pelaksanaan dan Kompleksitasnya”, Tahun XXIX Nomer 1, 36 – 53

Kunarjo, 1993, Perencanaan dan Pembiayaan Pembangunan, Edisi Kedua, UI-Press, Jakarta

Kuncoro, Mudrajad, 2003. Ekonomi Pembangunan, Edisi ketiga, AMP YKPN, Yogyakarta

Mangkoesoebroto, G., 1998. Ekonomi Publik, Edisi Ketiga, BPFE, Yogyakarta Mardiasmo, 2002. Otonomi Dan Manajemen Keuangan Daerah, Andi, Yogyakarta Nanga, Muana, 1991, “Otonomi Keuangan Daerah Tingkat II (Suatu Studi Kasus di

Kabupaten Malang, Probolinggo dan Trenggalek, Jawa Timur)”, Tesis Program Pasca Sarjana (Tidak Dipublikasikan), UGM, Yogyakarta

Nopirin, 1996. “Globalisasi dan Regionalisasi Ekonomi: Indikator dan Trend Ekonomi Daerah, Pendekatan Makro”, Modul Program PMSES (Tidak Dipublikasikan), Yogyakarta

P.H., Soetrisno, 1982. Dasar-Dasar Keuangan Negara, Cetakan Kedua, BPFE, Yogyakarta

Radianto, Elia, 1997. “Otonomi Keuangan Daerah Tingkat II, Suatu Studi di Maluku”, Prisma, No. 3 Tahun XXVI, LP3ES, Jakarta, 39 – 50

Shah, A., Zia, Q., Bagchi, A., Binder, B., Heng-fu, Zai, 1994. “Intergovermental Fiscal Relations in Indonesia Issues and Reform Options”, The World Bank, Washington DC,82 – 97

Sumodiningrat, Gunawan, 1998. Ekonometrika, Edisi Pertama, BPFE, Yogyakarta Tjokroamidjojo, Bintoro, 1994. Perencanaan Pembangunan, MASAGUNG,

JakartaTodaro, Michael, 1997. Economic Development, Sixth Edition, Addisson Wesley Longman Ltd., Harlow, England

Usman, Marzuki, 1996. “Strategi Pembiayaan Pengembangan Otonomi Daerah”, Makalah Seminar, Jakarta

Widodo, S. Triyanto, 1993. Indikator Ekonomi, Dasar Perhitungan Perekonomian Indonesia, Penerbit Kanisius, Yogyakarta

Dokumen terkait