SKRIPSI
Oleh :
AHMAD FANANI
NPM 071101002
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “ VETERAN “
JAWA TIMUR
2011
“Ya Allah... Yang Maha Hidup dan Maha Tegak di atas Dzat-Nya sendiri, dengan Rahmat-Mu ya Allah.... saya memohon baguskanlah diriku dan permudahkanlah segala urusanku dan janganlah Engkau serahkan urusanku pada diriku sendiri walau sekejap mata.”
Seuntai kalam Alhamdulillah dan sujud syukur saya persembahkan kepada Al-Kholik sangat Maha Bijak sebagai rasa syukur yang sangat dalam, atas karunia yang telah, sedang dan akan diberikan kepada hamba-Nya. Renungan hatiku mengisyaratkan bahwa titah pengabdian selama ini tiada bermakna tanpa bimbingan dan sinar illahi. Begitu juga dengan selesainya karya ini, di satu sisi nampak terukir rasa lega atas terwujudnya hasil jerih payah dari hasil perjalanan panjang study. Namun di sisi lain harapan untuk selalu dekat dengan Allah SWT akan senantiasa saya upayakan tetap menggema di setiap langkah-langkah irama kehidupanku selanjutnya dalam menghadapi goncangan dan cobaan hidup yang mungkin menghalang dan membentang di hadapan serta kehidupan yang luas ini.
Selama penulisan proposal ini, penulis telah mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Maka dengan segala kerendahan hati, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Rektor Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
2. Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
3. Bapak Drs. Ec. Marseto, DS, Msi, Selaku ketua jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur. 4. Bapak Drs. Ec. Arief Bachtiar, Msi, Selaku Dosen Pembimbing.
5. Bapak dan Ibu Dosen pengajar di Fakultas Ekonomi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak mungkin saya sebutkan satu persatu, yang telah membantu terselesaikannya proposal penelitian untuk syarat menyusun skripsi S-1 ini. Dalam penulisan proposal penelitian ini penulis dengan rendah hati mengharap saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak untuk kesempurnaan dalam proposal ini di masa datang.
Akhir kata, walaupun Tugas Akhir ini dibuat dengan segala keterbatasan dan masih banyak kekurangan yang penulis sadari, namun penulis berharap bahwa skripsi ini dapat diterima serta bermanfaat baik untuk penulis dan semua pihak yang membutuhkan.
Surabaya, Mei 2011
Penulis
KATA PENGANTAR ... ii
2.2.1 Perencanaan Pembangunan ... 15
2.2.2 Pembiayaan Pembangunan Daerah Sebagai Unsur Penting Dalam Perencanaan ... 17
2.2.3 Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah ... 20
2.2.4 Derajat Desentralisasi Fiskal ... 21
2.2.5 Hubungan antara Perkembangan Ekonomi Daerah dengan Derajat Desentralisasi Fiskal ... 23
2.3 Kerangka Pemikiran ... 24
2.4 Hipotesis ... 28
BAB III : METODE PENELITIAN... 29
3.4.1 Teknik Analisis ... 32
3.4.2 Uji hipotesis ... 33
3.5 Uji penyimpangan Autokorelasi ... 37
3.6 Uji Penyimpangan Heteroskedastisitas ... 37
3.7 Uji Penyimpangan Multikolinearitas ... 38
BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 39
4.1. Gambaran Umum Obyek Penelitian ... 39
4.1.1. Kondisi Geografis Kabupaten Gresik ... 39
4.1.2. Keadaan Kependudukan Kabupaten Gresik ... 42
4.1.3. Struktur Ekonomi ... 43
4.2. Deskripsi Hasil Penelitian ... 45
4.2.1. Derajat Desentralisasi Fiskal ... 45
4.2.2. Perkembangan Ekonomi Daerah ... 48
4.2.3. Sumbangan dan Bantuan (Block Grants) ... 49
4.2.4. Bagi Hasil Pajak Pemerintah Pusat ... 51
4.3. Analisis Model dan Pembuktian Hipotesis ... 52
4.3.1. Analisis Model... 52
4.3.2. Pembuktian Hipotesis ... 59
4.4. Pembahasan ... 61
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 63
5.1. Kesimpulan ... 63
5.2. Saran ... 64
DAFTAR PUSTAKA
Tabel 4.2. Derajat Desentralisasi Fiskal Kabupaten Gresik Tahun 1985-2005 ... 46 Tabel 4.3. Perkembangan Ekonomi Daerah Kabupaten Gresik Tahun 1985-2005 . 48 Tabel 4.4. Sumbangan dan Bantuan yang bersifat Block Grants Kabupaten
Gresik Tahun 1985-2005 ... 49 Tabel 4.5. Bagi Hasil Pajak Pemerintah Pusat Kabupaten Gresik Tahun
1985-2005 ... 51 Tabel 4.6. Hasil Perhitungan Regresi ... 53 Tabel 4.7. Tabel dan ... 56
Lampiran 2. Hasil Perhitungan Regresi
Lampiran 3. Hasil Uji Non Heteroskedastisitas Lampiran 4. Hasil Uji Non Autokorelasi Lampiran 5. Hasil Uji Non Multikolinearitas Lampiran 6. Penyesuaian PAD
Lampiran 7. Penyesuaian Data Total Pendapatan
Penelitian ini di lakukan untuk mengetahui pengaruh variabel-variabel perkembangan ekonomi daerah, sumbangan dan bantuan yang besifat Block Grants serta bagi hasil pajak pemerintah pusat terhadap derajat desentralisasi fiskal di Kabupaten Gresik 1988-2008. Variabel derajat desentralisasi fiskal dilihat dari kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap total pendapatan daerah. Variabel perkembangan ekonomi daerah dilihat dari PDRB atas dasar harga konstan, variabel sumbangan dan bantuan yang bersifat Block Grants dilihat dari penerimaan sumbangan dan bantuan yang bersifat Block Grants serta variabel bagi hasil pajak pemerintah pusat dilihat dari penerimaan bagi hasil pajak pemerintah pusat.
Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dengan menggunakan analisis regresi linier berganda dengan menggunakan metode kuadrat terkecil biasa atau Ordinary Least Square (OLS). Penggunaan model regresi linier klasik (OLS) bertujuan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas terhadap variabel tergantung secara parsial maupun secara bersama-sama, serta untuk mengetahui besaran dan arah dari pengaruh tersebut.
Hasil analis dengan menggunakan analisis regresi linier berganda menunjukkan bahwa variabel perkembangan ekonomi daerah berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap derajat desentralisasi fiskal. Variabel sumbangan dan bantuan bersifat Block Grant berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap derajat desentralisasi fiskal, sedangkan variabel bagi hasil pajak pemerintah pusat juga berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap derajat desentralisasi fiskal.
Pembangunan adalah suatu dynamic concept yang merupakan suatu proses perubahan secara terus – menerus ke arah perbaikan, yakni suatu upaya peningkatan keseluruhan sistem sosial dan ekonomi menuju suatu kehidupan yang lebih baik dalam arti lebih berperi kemanusiaan (Sya'dullah,1999: 56). Secara umum pembangunan mencakup empat aspek; pertama, pembangunan harus memberikan kapasitas (capacity), artinya apa yang harus di lakukan untuk meningkatkan kemampuan dan energi yang di perlukan untuk itu. Kedua, pembangunan harus menekan pada pemerataan (equity), artinya perhatian yang tidak merata pada berbagai kelompok masyarakat akan memecah belah dan menghancurkan kapasitas mereka. Ketiga, pemberian kuasa dan wewenang masyarakat harus lebih besar, dengan pengertian bahwa hasil pembangunan cukup bermanfaat bagi masyarakat apabila masyarakat memiliki wewenang yang sepadan. Keempat, pembangunan mengandung arti kelangsungan perkembangan (sustainble) dan interdepensi antara satu sektor dengan ektor yang lainnya (Juned, dkk., 1995 : 22).
Konsep pembangunan ekonomi diartikan sebagai perubahan yang meningkat pada kapasitas produksi nasional, peningkatan dimaksud dicerminkan pada pertumbuhan ekonomi. Indikator pertumbuhan ekonomi tidak dapat hanya di lihat secara materiel, seperti meningkatkan pendapatan per-kapita, tetapi juga peningkatan formasi kapital nonmateriel seperti kebijaksanaan sosial budaya yang menunjang harmoni sosial dan kestabilan politik serta kemandirian (Kunarjo, 1993: 6).
Dalam upaya merealisasikan konsep pembangunan ekonomi bagi kesejahteraan masyarakat, maka peran pemerintah menjadi sentral karena sektor swasta tidak akan dapat mengatasi masalah perekonomian sepenuhnya, sehingga perekonomian tidak mungkin diserahkan sepenuhnya kepada sektor swasta. Di dalam perekonomian modern, peranan pemerintah dapat diklasifikasikan dalam tiga golongan, yaitu (Mangkoesoebroto, 1998: 2-10):
1. Peranan alokasi, yaitu peranan pemerintah dalam alokasi sumber-sumber ekonomi, dalam hal ini pemerintah mengusahakan agar alokasi sumber-sumber ekonomi dilaksanakan secara efisien.
2. Peranan distribusi, peranan pemerintah dalam hal ini adalah distribusi pendapatan dan kekayaan.
3. Peranan stabilisasi perekonomian
keputusan untuk di laksanakn pada waktu yang akan datang yang akan di arahkan pada pencapaian sasaran tertentu.
Perencanaan yang baik harus mempertimbangkan keadaan sekarang, kegagalan dan keberhasilan di waktu lampau, potensi yang ada, kemampuan merealisasikan potensi yang ada serta kendala (Kunarjo, 1993:17). Merencanakan sesuatu tanpa mengetahui sumber daya baik sumber daya alam, manusia serta sumber pembiayaan yang tersedia, adalah merupakan perencanaan yang ambisius dan hanya akan mengakibatkan berbagai kesulitan di kemudian hari.
Pembangunan ekonomi yang dilaksanakan tidak hanya dalam konteks pembangunan nasional, akan tetapi mencakup pembangunan ekonomi di daerah, yang merupakan bagian integral dari pembangunan ekonomi nasional. Hal ini menjadi semakin penting dengan adanya otonomi daerah yang pada prinsipnya untuk mempercepat terjadinya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Dengan adanya semangat otonomi daerah, maka kabupaten dan kota dituntut untuk dapat merealisasikan pembangunan ekonomi daerah sesuai dengan keinginan masyarakat setempat berdasarkan atas inisiatif dan peran serta masyarakat.
memperbaiki penggunaan sumber daya yang tersedia di daerah tersebut dan untuk memperbaiki kapasitas sektor swasta dalam menciptakan sumberdaya-sumberdaya secara bertanggung jawab.
Secara khusus bahwa di dalam hubungannya dengan perencanaan pembangunan termasuk di dalamnya perencanaan pembangunan daerah, maka faktor pembiayaan menjadi sangat penting, bahkan komponen pembiayaan termasuk di dalam perencanaan. Dalam kaitan ini, (Kunarjo, 1993: V) menyatakan bahwa perencanaan dan pembiayaan adalah dua kata yang tidak dapat dipisahkan. Perencanaan tanpa pembiayaan yang memadai hanya angan-angan kosong yang tidak banyak manfaatnya, sedangkan pembiayaan tanpa suatu perencanaan yang baik adalah merupakan suatu pemborosan. Dengan perencanaan yang baik, maka pengeluaran-pengeluaran akan dapat diarahkan ke sasaran yang lebih baik, sistematis, efisien dan efektif.
Di samping hal tersebut, (Koswara.,2000 : 98 ) berpendapat bahwa salah satu indikator yang menunjukan suatu daerah mampu melaksanakan otonomi terletak pada kemampuan keuangan daerah. Dalam hal ini daerah otonom harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber keuangannya sendiri, mengola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah.
Sejalan dengan hal tersebut, diperlukan pemahaman tentang potensi penerimaan daerah, yaitu kekuatan yang ada di daerah untuk menghasilkan sejumlah penerimaan tertentu. Di satu sisi, sebagaimana dikemukakan oleh Mardiasmo dan Makhfatih (2000: 16) adalah dengan melihat struktur ekonomi dan sosial suatu daerah, yang dapat menentukan tinggi rendahnya tuntutan akan adanya pelayanan publik dalam kuantitas dan kualitas tertentu. Pada masyarakat industri tuntutan akan kuantitas dan kualitas pelayanan publik akan lebih tinggi daripada masyarakat yang berbasis pertanian. Pada masyarakat berbasis industri, pemerintah akan terpacu untuk menarik pungutan-pungutan guna memenuhi tuntutan ketersediaan fasilitas pelayanan publik tersebut. Di samping hal tersebut struktur ekonomi dan sosial suatu daerah juga menentukan kemampuan masyarakat untuk membayar segala pungutan yang telah ditetapkan pemerintah.
kenyataannya sangat tergantung pada sumber dana dari pemerintah pusat, baik untuk pengeluaran rutin maupun untuk pengeluaran pembangunan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa derajat desentralisasi fiskal di Indonesia relatif rendah, karena masih dominannya alokasi dana dari pemerintah pusat kepada daerah.
Secara khusus Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF) di Kabupaten Gresik yang terlihat dari kontribusi PAD terhadap total pendapatan daerah tahun 2003 sampai dengan tahun 2008 kecil, bahkan tidak terjadi peningkatan yang berarti. Pada tahun 2003-2008 kontribusi PAD terhadap total pendapatan daerah terbesar pada tahun 2008 yaitu sebesar 18,52, tetapi kenaikan dari kontribusi tersebut masih sangat kecil, bahkan pada tahun sebelumnya mengalami penurunan, yaitu pada tahun 2004 dan pada tahun 2006. Hal ini menunjukkan bahwa kriteria penting dari adanya otonomi daerah yang menunjuk pada kesepadanan antara sumber dana dari pusat dan PAD, bahkan porsi PAD seharusnya jauh lebih besar dari sumber dana dari pusat dengan terus mengalami peningkatan ternyata masih belum bisa terealisasi. Berarti tingkat ketergantungan fiskal terhadap pemerintah pusat masih tinggi.
tinggi. Hal ini menunjukkan tingkat sentralisasi fiskal Kabupaten Gresik masih tinggi. Terkait dengan hal tersebut diperlukan upaya meningkatkan penerimaan PAD dengan tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi daripada tingkat pertumbuhan APBD, sehingga proporsi PAD terhadap total penerimaan APBD menjadi meningkat.
Berdasarkan uraian tersebut, maka permasalahannya adalah bahwa Derajat Desentralisasi Fiskal di Kabupaten Gresik, yang tercemin dari kontribusi PAD terhadap total APBD masih rendah. Kenyataan ini menyebabkan pendanaan bagi kepentingan pembangunan daerah masih sangat tergantung dari dana yang berasal dari pemerintah pusat. Terkait dengan hal tersebut, untuk meningkatkan Derajat Desentralisasi Fiskal Kabupaten Gresik perlu dilihat faktor-faktor yang mempengaruhi, utamanya faktor non PAD yang meliputi : Perkembangan ekonomi daerah, bagi hasil pajak pemerintah pusat, serta sumbangan dan bantuan yang dalam penelitian ini di khususkan pada sumbangan dan bantuan yang bersifat umum (Block Grants) atau Dana Alokasi Umum (DAU).
1.2.Perumusan Masalah
Sebelum penulis mengemukakan permasalahan yang ada, terlebih dahulu penulis akan menjelaskan arti dari kata masalah itu sendiri, menurut Kartini Kartono (1996: 18) :
“Masalah adalah situasi yang punya karakteristik sifat-sifat yang belum diketahui untuk di pecahkan atau di ketahui secara pasti.”
1. Apakah variabel perkembangan ekonomi daerah, Sumbangan dan Bantuan yang bersifat Block Grants, serta Bagi Hasil Pajak Pemerintah Pusat di Kabupaten Gresik masing-masing berpengaruh secara parsial dan signifikan terhadap Derajat Desentralisasi Fiskal di Kabupaten Gresik?
2. Apakah variabel perkembangan ekonomi daerah, Sumbangan dan Bantuan yang bersifat Block Grants, serta Bagi Hasil Pajak Pemerintah Pusat di Kabupaten Gresik masing-masing berpengaruh secara bersama-sama dan signifikan terhadap Derajat Desentralisasi Fiskal di Kabupaten Gresik?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk menganalisis pengaruh secara parsial variabel-variabel perkembangan ekonomi daerah, Sumbangan dan Bantuan yang bersifat Block Grants, serta Bagi Hasil Pajak Pemerintah Pusat terhadap Derajat Desentralisasi Fiskal di Kabupaten Gresik.
2. Untuk menganalisis pengaruh bersama variabel-variabel perkembangan ekonomi daerah, Sumbangan dan Bantuan yang bersifat Block Grants, serta Bagi Hasil Pajak Pemerintah Pusat terhadap Derajat Desentralisasi Fiskal di Kabupaten Gresik.
1.4.Manfaat Penelitian
1. Bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu ekonomi perencanaan dan pembangunan yaitu tentang mekanisme kebijakan desentralisasi beserta seluruh teori yang mendasarinya serta variabel-variabel yang terdapat di dalamnya.
2. Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Kabupaten Gresik, khususnya dalam upaya peningkatan Derajat Desentralisasi Fiskal, dengan melihat perkembangan ekonomi daerah, Bagi Hasil Pajak Pemerintah Pusat, serta Sumbangan dan Bantuan, utamanya yang bersifat Block Grants.
2.1.Penelitian terdahulu
Penelitian terdahulu yang pernah dilakukan oleh pihak yang dapat dipakai
sebagai bahan masukan serta pengkajian dalam penelitian ini di lakukan oleh :
Menurut Solichin (2002), dengan judul penelitian “Faktor-faktor yang
mempengaruhi Pendapataan Asli Daerah (PAD) di Kotamadya Kediri” melakukan
pengujian secara simultan dengan menggunakan uji F, Variabel bebas jumlah penduduk
( ), inflasi ( ) dan jumlah industri ( ) berpengaruh secara nyata terhadap
Pendapatan Asli Daerah (Y) dengan = 10,144 dan = 4,76 dengan α =
0,05. Sedangkan dari pengujian secara parsial dengan menggunakan uji t, variabel bebas
( ) jumlah penduduk berpengaruh secara nyata terhadap variabel terikat (Y) yaitu
Pendapatan Asli Daerah dengab menggunakan = 0,05 sehingga hasil yang
diperoleh yaitu = 4,107 = 1,943, sedangkan variabel ( ) inflasi tidak
berpengaruh secara nyata terhadap variabel terikat (Y) dengan = -1,647
= -1,943, sedangkan variabel ( ) jumlah indutri tidak berpengaruh secara nyata
terhadap variabel terikat (Y) dengan = 1,273 = 1,943, dari ketiga
variabel diatas dapat diketahui bahwa variabel jumlah penduduk memberikan pengaruh
terbesar yaitu 74% terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Menurut Qoryatin (2002) dengan judul penelitian “ Faktor-faktor yangmempengaruhi
Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kabupaten Probolinggo” melalui analisis uji linier
simultan, variabel bebas berpengaruh nyata terhadap variabel terikat dengan =
54,824 = 3,39 dengan menggunakan Level of significant (α) sebesar 0,05.
Sedangkan dari pengujian secara parsial, menggunakan uji t dengan = 0,025,
sehingga dapat diketahui variabel bebas Produk Domestik Regional Bruto ( )
berpengaruh secara nyata terhadap variabel terikat dengan = 2,158 =
2,201 Untuk variabel bebas jumlah penduduk ( ) diperoleh = 2,609
= 2,201 yang berarti jumlah penduduk tidak berpengaruh nyata terhadap Pendapatan
Asli Daerah (PAD), untuk variabel inflasi ( ) diperoleh = 1,408 dari =
-2,201 yang berarti bahwa inflasi tidak berpengaruh secara nyata terhadap Pendapatan
Asli Daerah (PAD). Variabel Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tidak
berpengaruh secara nyata terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang disebabkan
karena pemerintah kurang memanfaatkan sektor-sektor perekonomian yang ada
sehingga Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menjadi turun dan mengakibatkan
turunnya produktivitas yang secara tidak langsung akan diikuti dengan turunnya
produksi. Dan variabel inflasi tidak berpengaruh secara nyata terhadap Pendapatan Asli
Daerah (PAD) yang disebabkan karena terus naiknya harga-harga barang sehingga
mengakibatkan turunnya nilai mata uang. Sehingga perubahan Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) maupun inflasi dapat dikatakan tidak berpengaruh terhadap
naik turunnya Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Menurut Fuad (2004), dengan judul penelitian “Analisis faktor-faktor yang
mempengaruhi Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Jawa Tinur” dari hasil penelitian
melalui analisis uji linier berganda dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan uji F
dengan = 112,874 = 3,59 dengan menggunakan Level of significant (α)
sebesar 0,05. Sedangkan dari pengujian secara parsial, menggunakan uji t dengan =
0,025, sehingga dapat diketahui variabel bebas Produk Domestik Regional Bruto ( )
berpengaruh secara nyata terhadap variabel terikat dengan = 2,613 =
2,201. Untuk variabel bebas jumlah penduduk ( ) diperoleh = 2,045 =
2,201 yang berarti jumlah penduduk tidak berpengaruh nyata terhadap Pendapatan Asli
Daerah (PAD) ini disebabkan karena kenaikan jumlah penduduk yang tidak diikuti
dengan peningkatan taraf hidup penduduk menyebabkan masyarakat lebih cenderung
menggunakan pendapatan yang diperoleh untuk memenuhi kebutuhan hidup daripada
membayar pajak dimana pajak adalah salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah
(PAD), sedangkan variabel bebas pengeluaran pembangunan ( ) diperoleh =
2,752 = 2,201 yang berarti bahwa pengeluaran pembangunan berpengaruh
secara nyata terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Menurut I Wandana (2006) dengan judul penelitian “Analisis beberapa faktor
yang mempengaruhi Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kabupaten Gresik” dari hasil
penelitian disimpulkan bahwa : Melalui analisis regresi linier berganda dapat diperoleh
persamaan regresi dengan menggunakan uji regresi secara simultan. Variabel terikat
dengan = 18,946 = 3,48 dengan menggunakan level of significant (x)
sebesar 0,05. Sedangkan dari pengujian secara parsial, menggunakan uji t dengan
penduduk ( ) tidak berpengaruh secara nyata terhadap pendapatan asli daerah
Kabupaten Gresik (Y) dengan = 0,040 = 2,220 (untuk inflasi variabel
bebas inflasi ( ) diperoleh = -0,622 = -2,228 sehingga secara parsial
untuk variabel jumlah tenaga kerja ( ) diperoleh = 3,833 = 2,228
sehingga secara parsial dapat diketahui bahwa jumlah tenaga kerja berpengaruh
terhadap Pendapatan Asli Daerah di Kabupaten Gresik. Untuk variabel produk
Domestik Regional Bruto (y) diketahui = 2,665 = 2,220 sehingga
secara parsial dapat di ketahui bahwa produksi domestic regional bruto berpengaruh
secara nyata terhadap pendapatan asli daerah di Kabupaten Gresik.
Menurut Sari (2006) dengan judul penelitian “Faktor-faktor yang
mempengaruhi Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kabupaten Lamongan” dari hasil
penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa : Hasil analisis data menunjukkan bahwa
variabel bebas secara simultan berpengaruh nyata terhadap Pendapatan Asli Daerah
(PAD) di Kabupaten Lamongan. Hal ini diketahui dari uji F, yaitu diperoleh =
117,80 + = 3,35% secara parsial menunjukkan investasi, pengeluaran pemerintah
dan Pendapatan Domestic Regional Bruto (PDRB) berpengaruh nyata terhadap
Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaetn Lamongan. Dimana untuk variabel
investasi = 5,897 (2,201) untuk pengeluaran pemerintah = 4,459
(2,201) dan untuk variabel PDRB = -2,207 + ) -2,201),
sedangkan jumlah tenaga kerja sektor industri tidak berpengaruh terhadap Pendapatan
Asli Daerah (PAD) di Kabupaten Lamongan, di mana yang dihasilkan -0,098
(2,201). Hasil analisis dengan parsial menunjukkan bahwa variabel
investasinya berpengaruh dominant terhadap Pendapatan Asli Daerah (y) di Kabupaten
Lamongan.
Penelitian yang pernah dilakukan oleh peneliti terdahulu, mendukung terhadap
terdahulu adalah Pendapatan Asli Daerah yaitu penerimaan yang diperoleh dari
sumber-sumber pendapatan daerah yang digali dan dikelola sendiri oleh pemerintah daerah
dengan pola menggunakan pungutan-pungutan yang berdasarkan peraturan-peraturan
yang telah ditetapkan.
2.2. Landasan Teori
2.2.1. Perencanaan Pembangunan
Pembangunan merupakan suatu proses memperbaiki mutu kehidupan manusia,
dipahami sebagai suatu proses yang berdimensi jamak yang melibatkan soal
pengorganisasian dan peninjauan kembali keseluruhan sistem ekonomi dan sosial
(Todaro, 1997: 8). Di dalam proses pembangunan agar dapat di laksanakan secara
terarah dalam mencapai tujuan, baik jangka panjang, menengah maupun jangka pendek
di perlukan perencanaan yang integral. Hal tersebut sejalan dengan pendapat
Tjokroamidjojo (1994: 12) bahwa perencanaan dalam arti seluas-luasnya tidak lain
adalah suatu proses mempersiapkan secara sistematis kegiatan-kegiatan yang akan
dilakukan untuk mencapai suatu tujuan yang pada hakekatnya terdapat pada tiap jenis
usaha manusia. Dengan demikian, perencanaan adalah suatu cara bagaimana mencapai
tujuan sebaik-baiknya (Maximum Output) dengan sumber-sumber yang ada supaya
lebih efisien dan efektif.
Di sisi lain, Albert Waterston dalam (Tjokroamidjojo, 1994: 12) menyebutkan
bahwa perencanaan pembangunan adalah “melihat ke depan dengan mengambil pilihan
berbagai alternatif dari kegiatan untuk mencapai tujuan masa depan dengan terus
mengikuti agar supaya pelaksanaannya tidak menyimpang dari tujuan”. Secara khusus
untuk dilaksanakan pada waktu yang akan datang yang diarahkan pada pencapaian
sasaran tertentu.
Unsur-unsur perencanaan secara umum adalah: Pertama, berhubungan dengan
hari depan, kedua, mendesain seperangkat kegiatan secara sistematis, ketiga, dirancang
untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan persyarataan perencanaan pembangunan
yang baik menurut Kunarjo (1993: 15) adalah:
1. Didasari dengan tujuan pembangunan
2. Konsisten dan realitis
3. Pengawasan dan kontinyu
4. Mencakup aspek fisik dan pembiayaan
5. Memahami berbagai ciri hubungan antar variabel ekonomi
6. Mempunyai koordinasi yang baik.
Di sisi lain, tujuan pembangunan yang merupakan dasar perencanaan pada
prinsipnya mencakup hal-hal pokok sebagai berikut:
1. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi
2. Meningkatkan pemerataan pendapatan masyarakat
3. Meningkatkan kesempatan kerja
4. Meningkatkan pemerataan pembangunan antar daerah.
Pembangunan yang dilaksanakan di Indonesia, tidak terpisah dengan pembangunan
yang dilaksanakan di daerah, karena secara keseluruhan proses pembangunan nasional.
Hal tersebut sejalan dengan otonomi yang diberikan kepada daerah bahwa mksud dan
tujuan pemberian otonomi kepada daerah berorientasi pada pembangunan dalam arti
Dengan demikian otonomi daerah lebih merupakan kewajiban daripada hak, yaitu
kewajiban daerah untuk ikut melancarkan jalannya pembangunan sebagai sarana untuk
mencapai kesejahteraan rakyat yang harus diterima dan dilaksanakan dengan penuh
tanggung jawab (Abe, 2001: 47).
Pembangunan ekonomi mempunyai kedudukan yang amat penting, karena
keberhasilan di bidang ekonomi dapat menyediakan sumber daya yang lebih luas bagi
pembangunan di bidang lainnya. Untuk melakukan pembangunan tersebut diperlukan
landasan yang kuat, yaitu pengambilan kebijakan yang tepat, akurat dan terarah, untuk
mencapai sasaran di dalam perencanaan ekonomi. Tujuan dari kebijakan ekonomi itu
sendiri adalah dicapainya keseimbangan intern dan ekstern. Keseimbangan intern
diarahkan untuk mencapai laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, kesempatan kerja
yang meningkat dan laju inflasi yang rendah.
Dilihat dari peran pemerintah, termasuk kaitannya dalam proses pembangunan
daerah dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) (Mangkoesoebroto, 1998: 2), yaitu:
1. Peranan Alokasi, yaitu peranan pemerintah dalam alokasi sumber-sumber
ekonomi
2. Peranan distribusi
3. Peranan stabilisasi
Dalam pembangunan ekonomi daerah, peran pemerintah daerah utamanya adalah
memfasilitasi dan mempromosikan proses penciptaan nilai tambah secara optimal.
Lebih lanjut Arsyad (2006) menyatakan bahwa peranan pemerintah daerah dalam
pembangunan ekonimi daerah adalah sebagai entrepreneur, koordinator, fasilitator
Dengan peranan pemerintah sebagaimana di sebutkan, maka kegiatan ekonomi tidak
akan berjalan dengan baik tanpa campur tangan pemerintah, termasuk pengaruhnya
terhadap pembangunan yang dilaksanakan di daerah. Salah satu masalah pokoknya
sebagaimana dikemukakan Arsyad (1999: 298) adalah terletak pada penekanan terhadap
kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan pada kekhasan daerah yang
bersangkutan (Endogenous development) dengan menggunakan potensi sumber daya
manusia, kelembagaan dan suber daya fisik secara lokal (daerah). Orientasi ini
mengarahkan pada pengambilan inisiatif-inisiatif yang berasal dari daerah tersebut
dalam proses pembangunan untuk menciptakan kesempatan kerja baru dan peningkatan
kegiatan ekonomi.
Dengan demikian pelaksanaan pembangunan ekonomi daerah memerlukan suatu
perencanaan dari pemerintah daerah agar pembangunan ekonomi daerah mempunyai
arah, dan dapat mencapai tujuan yang diinginkan serta kebijakan yang diambil sesuai
dengan kekhasan daerah yang bersangkutan. Untuk melakukan suatu perencanaan yang
baik dan sesuai dengan pembangunan yang dilakukan di daerah memerlukan dukungan
dari masyarakat dan sumber daya lokal serta informasi dan data yang lengkap karena
kedekatan dengan obyek perencanaan. Karena pembangunan ekonomi daerah tanpa
adanya suatu perencanaan yang matang merupakan pembangunan yang tanpa arah
sehingga sulit untuk mencapai tujuannya.
2.2.2. Pembiayaan Pembangunan Daerah Sebagai Unsur Penting Dalam
Perencanaan
Secara khusus bahwa di dalam hubungannya dengan perencanaan pembangunan
menjadi sangat penting, bahkan komponen pembiayaan termasuk di dalam perencanaan.
Dalam kaitan ini, (Kunarjo, 1993: V) menyatakan bahwa perencanaan dan pembiayaan
adalah dua kata yang tidak dapat dipisahkan. Perancanaan tanpa pebiayaan yang
memadai hanya angan-angan kosong yang tidak banyak manfaatnya, sedangkan
pembiayaan tanpa suatu perencanaan yang baik adalah merupakan suatu pemborosan.
Dengan perencanaan yang baik, maka pengeluaran-pengeluaran akan dapat
diarahkan kesasaran yang lebih baik, sistematis, efisien dan efektif.
Sejalan dengan hal tersebut pembiayaan merupakan salah satu aspek di dalam
suatu anggaran. Sedangkan maenurut (Mardiasmo, 2002: 122), anggaran merupakan
alat perencanaan manajemen untuk mencapai tujuan organisasi. Anggaran sebagai alat
perencanaan digunakan untuk:
1. merumuskan tujuan serta sasaran kebijakan agar sesuai dengan visi dan misi
yang ditetapkan
2. merencanakan berbagai progran dan kegiatan untuk mencapai tujuan organisasi
serta merencanakan alternatif pembiayaannya
3. mengalokasikan dana pada berbagai program dan kegiatan yang telah disusun
4. menentukan indikator kinerja pencapaian strategi.
Didalam pelaksanaan otonomi daerah, maka dilihat dari sisi pembiayaan telah
ditentukan bahwa untuk Kabupaten dan Kota terdiri dari:
1. Pendapatan Asli Daerah (PAD), meliputi:
a. Hasil Pajak Daerah
b. Hasil Retribusi Daerah
d. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah
2. Dana Perimbangan, meliputi:
a. Dana Bagi Hasil
b. Dana Alokasi Umum (DAU)
c. Dana Alokasi Khusus (DAK)
3. Lain-lain pendapatan Daerah yang sah
Berdasarkan komponen pendapatan daerah tersebut terlihat bahwa terdapat 2 hal
pokok dalam hal pendapatan daerah Kabupaten/Kota yaitu pendapatan yang berasal dari
daerah sendiri dan pendapatan yang berasal dari pemerintah pusat serta provinsi.
Dalam pelaksanaan pembangunan daerah di Indonesia, pembiayaan pembangunan
bagi kebanyakan daerah masih sangat mengandalkan sumber pembiayaan pembangunan
yang berasal dari pemerintah pusat. Hal ini terlihat pada Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD), bahwa sekitar dua pertiga total pengeluaran pemerintah daerah
dibiayai oleh bantuan dan sumbangan dari pemerintah pusat (Shah, dkk., 1994).
Berdasarkan kondisi tersebut dapat disimpulkan bahwa sumber-sumber Pendapatan Asli
Daerah (PAD) di Kabupaten/ Kota belum sepenuhnya dapat mendukung
terselenggaranya pembangunan di daerah. Padahal salah satu kriteria penting
penyelenggaraan otonomi daerah adalah adanya kesepadanan antara sumber dana dari
pemerintah pusat dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD), bahkan secara ideal porsi
Pendapatan Asli Daerah (PAD) lebih besar dibandingkan dengan sumber dana yang
2.2.3. Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah
Peningkatan kemampuan organisasi pemerintah daerah, secara bertahap dan
berencana, khususnya di bidang keuangan dan pendapatan daerah diarahkan untuk lebih
mendekati hakikat otonomi yang diberikan, sebab permasalahan fiskal suatu pemerintah
daerah tidak akan dapat berhasil jika tidak didukung oleh kemampuan organisasinya.
Apabila segi fiskal dari pemerintah daerah ditingkatkan dengan jalan menggali potensi
Pendapatan Asli Daerah, maka kemampuan organisasi ditingkatkan dengan jalan
meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai pelaku kegiatan ekonomi
daerah.
Sistem hubungan keuangan antara pusat dan daerah hendaknya mampu
memberikan kejelasan tentang seberapa luas kewenangan yang dipunyai pemerintah
daerah dalam menggali sumber-sumber pendapatannya serta memanfaatkannya, serta
berapa luas kebebasan pemerintah daerah untuk mengadakan pungutan-pungutan,
menetapkan tarif dan ketentuan-ketentuan penerapan sanksinya, dan seberapa luas
kebebasan pemerintah daerah dalam menentukan besar dan arah pengeluarannya.
Dalam hubungannya dengan hubungan keuangan antara pusat dan daerah, maka
faktor perimbangan keuangan menjadi penting. Ada beberapa alasan yang
melatarbelakangi perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, sebagaimana
dikemukakan Soetrisno P.H (1982: 21) yaitu:
1. Latar belakang sosial politik
2. Alasan luasnya pemasaran barang-barang dan jasa
3. Alasan manfaat barang-barang kolektif
2.2.4. Derajat Desentralisasi Fiskal
Keterbatasan dana pembangunan dari pemerintah pusat bagi pembangunan di
daerah memerlukan strategi pengelolaan dan pengembangan sumber-sumber keuangan
bagi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di tiap daerah (Usman, 1996: 11).
Sejalan dengan hal tersebut bahwa otonomi daerah bisa diwujudkan hanya apabila
disertai dengan desetralisasi finansial yang efektif dengan lebih menekankan
optimalisasi penerimaan PAD (Radianto, 1997). Terkait dengan pelaksanaan otonomi
daerah dalam kerangka pelaksanaan pembangunan, maka desentralisasi fiskal
merupakan salah satu aspek penting. Hal tersebut disebabkan karena pengertian
desetralisasi fiskal menunjukkan pada kemampuan pemerintah daerah dalam
meningkatkan peranan PAD, meliputi pajak daerah, retribusi daerah, bagi laba Badan
Usaha Milik Negara (BUMD) serta penerimaan lainnya, dengan tingkat pertumbuhan
yang lebih besar daripada tingkat pertumbuhan penerimaan APBD.
Desentralisasi fiskal dilaksakan dengan beberapa alasan: pertama, untuk
mengalokasikan barang-barang dan jasa publik yang bermaanfaat dan eksternalitasnya
berskala regional serta lokal. Kedua, pemerintah daerah akan lebih cepat dalam
menginterpretasikan kebutuhan masyarakat di daerahnya. Pandangan tentang
desentralisasi fiskal dalam kaitannya dengan otonomi daerah, Maxwel dalam (Radianto,
1997) mengemukakan bahwa kemampuan pemerintah daerah untuk menjalankan
fungsinya tergantung pada kemampuan dalam menggali sumber-sumber penerimaan
yang independen. Pemerintah daerah yang memiliki pendapatan yang lebih besar dan
independen akan mempunyai posisi yang lebih baik daripada pemerintah daerah yang
Hal penting bagi otonomi daerah adalah bahwa daerah mempunyai keleluasaan
terutama dalam menggunakan dan abgi kepentingan masyarakat daerah (Davey, 1988:
40). Dalam demikian alokasi dana yang berasal dari pemerintah pusat yang disertai
kontrol yang ketat dalam penggunaannya tidak akan mendorong daerah dalam menggali
dan mengembangkan sumber-sumber pendapatan daerah yang ada, tetapi justru dapat
mematikan inisiatif-inisiatif daerah yang bersangkutan serta membuat daerah semakin
tergantung pada alokasi dana dari pemerintah pusat (Radianto, 1997 : 68).
Realitas hubungan keuangan antara pusat dan daerah selama ini ditandai dengan
tingginya tingkat ketergantungan fiskal daerah terhadap pemerintah pusat. Hal ini
berarti bahwa PAD masing-masing Kabupaten/ Kota di Indonesia belum mampu
membiayai pengeluaran rutin dan kotribusi PAD terhadap total penerimaan APBD
relatif lebih kecil. Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah dengan asas
desentralisasi bagib Kabupaten/Kota, maka secara finansial pemerintah daerah harus
bersifat independen di dalam perencanaan dan penggunaan keuangan. Dalam kaitan ini
maka penerimaan PAD harus dapat di optimalkan seimbang dengan penerimaan APBD.
Berdasarkan hal tersebut, diperlukan upaya optomalisasi penerimaan PAD terhadap
total penerimaan APBD dengan tingkat pertumbuhan PAD yang lebih tinggi daripada
tingkat pertumbuhan penerimaan APBD, sehingga derajat desentralisasi fiskal akan
meningkat dan derajat ketergantungan fiskal akan semakin menurun.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi Derajat Desentralisasi Fiskal adalah
perkembangan ekonomi daerah, serta bantuan pemerintah pusat (Nanga, 1991). Faktor
lain yang mempengaruhi Derajat Desentralisasi Fiskal adalah bagi hasil pajak
Pendapatan Kabupaten Gresik Tahun 2005-2008, faktor-faktor internal yang
mempengaruhi Derajat Desentralisasi Fiskal adalah:
1. Upaya intensifikasi dan ekstensifikasi PAD
2. Peningkatan pelayanan kepada masyarakat.
2.2.5. Hubungan antara Perkembangan Ekonomi Daerah dengan Derajat
Desentralisasi Fiskal
Tingkat perkembangan ekonomi daerah dapat dilihat dari tingkat perkembangan
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Semakin maju perekonomian suatu daerah,
maka laju pertumbuhan sektor atau lapangan usaha semakin besar pula, sehingga PDRB
juga semakin besar. Hal tersebut sejalan dengan fungsi utama dari kegiatan lapangan
usaha untuk menghasilkan barang dan jasa guna memenuhi kebutuhan manusia bagi
kesejahteraannya.
Perkembangan ekonomi daerah di mungkinkan akan berdampak positif terhadap
Pendapatan Asli Daerah sebagaimana di kemukakan Peacock dan Wiseman, bahwa
perkembangan ekonomi menyebabkan pemungutan pajak semakin meningkat dengan
semakin meningkatnya obyek pungutan pajak dan semakin meningkat pula kemampuan
masyarakat dalam membayar pungutan pajak (Mangkoesubroto, 1998: 73).
Semakin meningkatnya laju perkembangan ekonomi daerah, maka semakin
besar peluang daerah untuk meningkatkan potensi penerimaan daerah khususnya dari
sektor PAD. Hal tersebut ditandai dengan berkembangnya sektor-sektor usaha atau
lapangan usaha yang melakukan suatu kegiatan usaha, misalnya berkembangnya sektor
Dengan demikian semakin besar realisasi perkembangan Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB), maka semakin besar potensi penerimaan daerah, khususnya
dari sektor Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sejalan dengan hal tersebut, maka
perkembangan PDRB akan berpengaruh positif terhadap Derajat Desentralisasi Fiskal.
2.3 Kerangka Pemikiran
Untuk menciptakan perekonomian suatu negara yang seimbang di butuhkan
peningkatan pertumbuhan ekonomi. Keterbatasan dana pembangunan dari pemerintah
pusat bagi pembangunan di daerah memerlukan strategi pengelolaan dan pengembangan
sumber-sumber keuangan bagi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di tiap
daerah (Usman, 1996: 11). Sejalan dengan hal tersebut bahwa otonomi daerah bisa
diwujudkan hanya apabila disertai dengan desentralisasi finansial yang efektif dengan
lebih menekankan optimalisasi penerimaan PAD (Radianto, 1997: 42). Terkait dengan
pelaksanaan otonomi daerah dalam kerangka pelaksanaan pembangunan,maka
Desentralisasi Fiskal merupakan salah satu aspek penting. Desentralisasi Fiskal di
pengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain : Produk Domestik Regional Bruto (PDRB),
Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan Sumbangan Pemerintah. Berdasarkan pemikiran di
atas, maka dapat di jelaskan mengenai hubungan antara variabel bebas dengan variabel
terikat sebagai berikut :
a. Hubungan antara Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dengan Desentralisasi
Fiskal adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan jumlah seluruh
nilai tambah (produk) yang ditimbulkan oleh berbagai sektor atau lapangan usaha,
yang melakukan kegiatan usahanya di suatu daerah tertentu tanpa memperhatikan
kemampuan suatu daerah tertentu dalam menghasilkan pendapatan atau balas jasa
kepada faktor-faktor yang ikut berpartisipasi dalam proses produksi tersebut.
Dengan demikian Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) mencerminkan ukuran
produktivitas suatu wilayah dan sebagai ukuran kesejahteraan ekonomi penduduk.
Sehingga PDRB dapat memperlihatkan laju perkembangan ekonomi suatu daerah,
baik PDRB secara total maupun secara sektoral. Sehingga laju perkembangan
ekonomi daerah dengan indikator PDRB yang meningkat maka semakin besar pula
kontribusi sektor PDRB yang secara tidak langsung mengisyaratkan bahwa
semakin besar kemajuan sektor atau lapangan usaha yang melakukan kegiatan
usahanya di daerah tersebut. Tingkat perkembangan ekonomi daerah dapat di lihat
dari tingkat perkembangan PDRB. Semakin maju perekonomian suatu daerah,
maka laju pertumbuhan sektor atau lapangan usaha semakin besar pula, sehingga
PDRB juga semakin besar. Besaran PDRB dalam pembangunan ekonomi menjadi
salah satu kriteria untuk mengukur pertumbuhan ekonomi. (Nopirin, 1996: 9).
b. Hubungan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan Desentralisasi Fiskal, adalah
Pendapatan Asli Daerah (PAD) sepenuhnya dapat mendukung terselenggaranya
pembangunan di daerah. Salah satu kriteria penting penyelenggaraan otonomi
daerah adalah kesepadanan antara sumber dana dari pemerintah pusat dengan
Pendapatan Asli Daerah (PAD). Otonomi daerah bisa diwujudkan hanya apabila
disertai dengan desentralisasi finansial yang efektif dengan lebih menekankan
optimalisasi penerimaan PAD (Radianto, 1997: 42). Terkait dengan pelaksanaan
otonomi daerah dalam kerangka pelaksanaan pembangunan, maka desentralisasi
pengertian desentralisasi fiskal menunjukan pada kemampuan pemerintah daerah
dalam meningkatkan peranan PAD, meliputi pajak daerah, retribusi daerah, bagian
laba Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) serta penerimaan lainnya. Perkembangan
ekonomi daerah di mungkinkan akan berdampak positif terhadap Pendapatan Asli
Daerah (PAD), menyebabkan pemungutan pajak semakin meningkat dengan
semakin meningkatnya obyek pungutan pajak dan semakin semakin meningkat pula
kemampuan masyarakat dalam membayar pungutan pajak. Semakin meningkatnya
laju perkembangan ekonomi daerah, maka semakin besar peluang daerah untuk
meningkatkan potensi penerimaan daerah khususnya dari sektor Pendapatan Asli
Daerah (PAD) (Mangkoesubroto, 1998: 73).
c. Hubungan Sumbangan Dan Bantuan Pemerintah dengan derajat Desentralisasi
fiskal bahwa bantuan pemerintah pusat kepada daerah merupakan hal yang sangat
penting di dalam suatu Negara dengan sistem bertingkat. Realitas selama ini
menunjukan bahwa bantuan pemerintah pusat kepada daerah pada dasarnya ada 2
(dua) jenis, yaitu bantuan umum (Block grants) dan bantuan khusus (Spesific
grants). Dari kedua jenis bantuan tersebut, maka bantuan umum (Block grants)
menjadi penting, karena adanya keleluasaan bagi daerah di dalam penggunaannya.
Hal ini berbeda dengan bantuan khusus (Spesific grants),di mana daerah tidak
mempunyai keleluasaan di dalam penggunaannya karena telah di arahkan oleh
pemerintah pusat. Bantuan umum akan mengurangi tingkat ketergantungan fiskal
bila bantuan tersebut di arahkan untuk usaha mengoptimalkan penerimaan daerah.
Di sisi lain dengan semakin besarnya dana yang berasal dari pemerintah pusat yang
Pengalokasian dana yang di arahkan bagi sektor-sektor yang bersifat strategis, akan
mampu mendorong upaya pemerintah daerah untuk meningkatkan perluasan
potensi penerimaan daerah, khususnya dari sektor PAD. Bantuan umum akan
mengurangi tingkat ketergantungan fiskal bila bantuan tersebut diarahkan untuk
usaha mengoptimalkan penerimaan daerah. Dengan demikian bantuan pemerintah
pusat yang bersifat Block grants akan berpengaruh positif terhadap Derajat
Desentralisasi Fiskal (Kuncoro 2003: 53).
Gambar 2.1 : Paradigma “ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
DERAJAT DESENTRALISASI FISKAL DI KABUPATEN GRESIK”
2.4 Hipotesis
Setelah memahami permasalahan dan beberapa variabel yang mempengaruhi
Derajat Desentralisasi Fiskal maka disusun hipotesis sbb :
a. Variabel Perkembangan ekonomi daerah, Sumbangan dan Bantuan Pemerintah
dan signifikan terhadap Pusat yang bersifat Block grants, serta Bagi Hasil Pajak
Pemerintah Pusat masing-masing berpengaruh secara posotif dan signifikan
terhadap Derajat Desentralisasi Fiskal di Kabupaten Gresik.
b. Variabel Perkembangan Ekonomi Daerah, Sumbangan, dan Bantuan yang bersifat
Block Grants, serta Bagi Hasil Pajak Pemerintah Pusat secara bersama-sama
berpengaruh secara signifikan terhadap Derajat Desentralisasi Fiskal di Kabupaten
3.1.Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
Definisi operasional menurut NAZIR (1998 : 152), adalah suatu definisi yang
diberikan kepada sesuatu dengan cara memberikan sesuatu dengan cara memberikan arti
atau menspesifikasikan kegiatan ataupun memberikan suatu operasional yang
diperlukan untuk mengukur variabel tersebut.
Definisi operasional adalah ruang lingkup atau batasan dari variabel penelitian
berdasarkan data-data didalam penelitiannya. Adapun pengukuran variabel berkaitan
dengan upaya penglkasifikasian atau identitas variabel berdasarkan definisi operasional
dan pengukuran variabel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari :
a. Variabel Terikat / Dependent Variabel ( Y )
Yaitu variabel yang dapat dipengaruhi dalam hal ini Derajat
Desentralisasi. Derajat Desentralisasi Fisikal adalah besarnya rasio Pendapatan
Asli Daerah terhadap Total Pendapatan dalam satuan persen. Untuk mengetahui
besaran rasio PDA terhadap total pendapatan daerah atau lebih disebut dengan
Derajat Desentralisasi Fisikal digunakan analisis rasio dengan formulasi dasar
sebagaimana dikemukakan Widodo (1993 :69) sebagai berikut:
P Xm k = 100%
Di mana:
P adalah Rasio
k adalah Banyaknya Variabel bebas
m adalah besaran subsektor variabel bebas
b. Variabel Bebas / Independent Variabel ( X ) Yaitu variabel yang berpengaruh
terhadap varabel terikat yaitu :
1. Perkembangan ekonomi daerah ( X1 )
Adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di Kabupaten Gresik
berdasarkan Harga Konstan yang dinyatakan dalam satuan persen.
2. Bagi Hasil Pajak Pemerintah Pusat ( X2)
Adalah realisasi penerimaan Bagi Hasil Pajak Pemerintah Pusat yang
diterima oleh Kabupaten Gresik setiap tahun yang dinyatakan dalam
satuan persen.
3. Sumbangan dan Bantuan pemerintah pusat ( X3 )
adalah realisasi penerimaan sumbangan dan bantuan dari Pemerintah
Pusat yang bersifat Block Grants yang diterima oleh Kabupaten Gresik
setiap tahun yang dinyatakan dalam satuan persen.
Untuk mengetahui besarnya laju perkembangan ekonomi daerah yang dilihat dari
PDRB atas dasar harga konstan, realisasi penerimaan Bagi Hasil Pajak Pemerintah
Pusat, realisasi penerimaan Sumbangan dan Bantuan yang bersifat Block Grants di
Kabupaten Gresik digunakan analisis pertumbuhan dengan menggunakan formulasi
sebagaimana di kemukakan oleh Widodo (1993: 36) :
= 100%
di mana:
adalah besaran X pada tahun t
adalalah besaran X pada tahun t-1
3.2. Teknik Penentuan Sampel
Penelitian ini menggunakan jenis data time series atau runtut waktu. Data yang
diperoleh adalah data sekunder yang diperoleh dari penelitian di instansi Dinas
Pendapatan Daerah Kabupaten Gresik. Sedangkan periode waktu yang dipilih sebagai
sumber data adalah mulai tahun 1988-2008 (21 tahun) dan semua data yang dianalisis
merupakan data tahunan. Penekanan dalam masalah ini adalah data yang dipakai telah
mengalami penyesuaian, penyesuaian yang dimaksud adalah penyesuaian dari tahun
anggaran menjadi tahun takwim atau tahun pajak yaitu dalam 1 tahun mulai dari 1
Januari sampai dengan 31 Desember tahun tersebut, agar data yang digunakan
mengalami keseragaman sehingga dalam perhitungan analisis regresi diperoleh hasil
yang optimal.
3.3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk menunjang penelitian, maka bahan acuan dan data yang akan dikumpulkan
adalah menggunakan prosedur sebagai berikut:
1. Studi Kepustakaan, yaitu mengumpulkan bacaan-bacaan yang bersumber dari
literatur-literatur yang berfungsi sebagai bahan referensi.
2. Data Sekunder, dalam penelitian ini data yang diperoleh dari Instansi Dinas
3.4. Teknik Analisis Dan Uji Hipotesis
3.4.1. Teknik Analisis
Tenik analisis yang digunakan untuk mengestimasi model persamaan regresi
dalam penelitian ini menggunakan metode persamaan regresi dalam penelitian ini
menggunakan metode Ordinary LeastSquare (OLS). Penggunaan metode regresi linier
klasik (OLS) bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara variabel
tergantung dengan variabel-variabel bebas baik secara bersama-sama maupun secara
persial, serta untuk mengetahui besaran dan arah dari hubungan/ pengaruh tersebut.
Menurut Sumodiningrat (1993: 102) ada lima asumsi dasar untuk sebuah model
regresi linier, biasanya dikenal sebagai “Asumsi-asumsi Model Regresi Linier”, yaitu :
1. adalah sebuah variabel random riil dan memiliki distribusi normal.
2. Nilai rerata dari setiap periode tertentu adalah nol.
E[ ] = 0 (i = 1,...,n)
3. Varian dari adalah konstan setiap periode. Asumsi ini dikenal sebagai asumsi
“homoskedastisitas”.
E[ ] = adalah konstan)
4. Faktor penggunaan dari pengamatan yang berbeda-beda ( , ) tidak
tergantung. Asumsi ini dikenal sebagai asumsi “nir-autokorelasi”.
E[ ] = 0 ( i≠ j )
5. Variabel-variabek bebas adalah variabel nir-stokastik dan di ukur tanpa
kesalahan; tidak tergantung pada variabel babas.
6. Tidak ada hubungan linier yang pasti antara variabel X, yaitu tidak ada
multikolinearitas.
Kehandalan parameter-parameter yang diestimasi dapat dilihat melalui dua kriteria.
Yang pertama adalah kriteria statistik, adalah uji signifikansi dan homoskedastisitas.
Kriteria statistik hanya akan valid jika asumsi-asumsi regresi linier klasik terpenuhi.
Analisisis Kuantitatif yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan alat bantu
Ekonometrika dengan menggunakan program komputer Eviews versi 4.0.
3.4.2. Uji Hipotesis
Berdasarkan perhitungan dari model, akan diperoleh koefisien-koefisien variabel
bebas baik yang bertanda positif maupun negatif. Tanda yang diperoleh dari
perhitungan, selanjutnya dibandingkan dengan teori. Kemudian langkah selanjutnya
dilakukan pengujian hipotesis dengan derajat kepercayaan tertentu. Metode yang
digunakan adalah:
1.Uji Koefisien Determinasi ( )
Koefisien determinasi merupakan uji yang dilakukan dengan tujuan mengetahui
seberapa besar variasi dari variabel tergantung dapat dijelaskan oleh variabel
independen. Nilai berkisar antara 0 dan 1. Semakin besar nilai berarti semakin
besar variasi variabel tergantung yang dapat dijelaskan oleh variabel-variabel bebas, dan
sebaliknya.
2.Uji t
Uji t dilakukan untuk mengetahui signifikasi tidaknya hubungan variabel bebas
secara parsial terhadap variabel tergantung, dengan jalan membandingkan nilai
a. : = 0 ( i= 1,2,3), berarti koefisien β tidak signifikan atau tidak mempunyai
arti secara statistik.
b. : ≠ 0 ( i= 1,2,3), berarti koefisien β signifikan atau mempunyai arti
statistik.
c. Uji t dihitung dengan rumus :
t = / s
di mana :
t adalah nilai t
adalah koefisien regresi
s adalah Standar Deviasi dari koefisien regresi
d. Menentukan dengan tingkat kepercayaan (α) tertentu dengan rumus:
= α / 2; n-k-1
Dimana :
α adalah tingkat signifikan
n adalah banyaknya observasi
k adalah banyaknya variabel bebas
e. Menentukan kriteria uji t, yaitu :
Bila , maka ditolak, berarti variabel bebas secara parsial
memiliki pengaruh yang berarti terhadap variabel tergantung. Sebaliknya, bila
, maka diterima, artinya variabel bebas secara parsial tidak
Gambar 3.1 : Kurva Distribusi T
ditolak Daerah Penerimaan ditolak
( -t ; n-k-1 ) ( t ; n-k-1 ) Sumber : Sudrajat, MSW, 1988, Mengenai Ekonometrika Pemula, Cetakan Kedua,
CV Amico, Bandung, Halaman 94
3.Uji F
Uji F dilakukan untuk mengetahui signifikasi tidaknya variabel-variabel bebas,
yaitu perkembangan ekonomi daerah, Bagi Hasil Pajak Pemerintah Pusat serta
sumbangan Bantuan yang bersifat block grants secara bersama-sama terhadap variabel
tergantung, yaitu Derajat Desentralisasi Fiskal. Langkah-langkah uji F adalah sebagai
berikut :
a. Merumuskan hipotesis sebagai berikut :
: = = = 0, artinya variable bebas secara bersama – sama tidak
mempunyai pengaruh yang berarti terhadap variabel tergantung.
: Not all slope coefficient are simultaneously zero (tidak semua koefisien
slope secara simultan sama dengan nol), artinya variable bebas secara
bersama-sama mempunyai pengaruh yang berarti tehadap variable
tergantung.
. Uji F di hitung dengan rumus
F =
Dimana :
k adalah banyaknya variable bebas
n adalah banyaknya observasi
c. Menentukan dengan rumus :
= α (k) (n-k-1)
Di mana :
α adalah tingkat signifikan
k adalah banyaknya variable bebas
n adalah banyaknya observasi
d. Menentukan kriteria uji F, yaitu :
Bila , berarti ditolak artinya variable bebas secara
bersama-sama mempunyai pengaruh yang berarti terhadap variable
tergantung. Sebaliknya, bila , berarti di terima artinya variable bebas secara bersama-sama tidak memiliki pengaruh yang
berarti terhadap variabel tergantung.
Gambar 3.2 : Kurva Distribusi F
Daerah Penolakan
Daerah Penerimaan
F (α)
3.5. Uji penyimpangan Autokorelasi
Autokorelasi adalah suatu keadaan dimana variabel-variabel gangguan pada
periode tertentu berkorelasi dengan variabel g
angguan pada periode lain. Keadaan tersebut menyebabkan nilai dan
cenderung berlebihan. Masalah ini timbul karena residual tidak bebas dari satu
observasi lainnya.
Ada beberapa cara untuk mendeteksi ada tidaknya masalah utokorelasi, antara
uji d Durbin – Watson ( Durbin – watson d Test), uji Breusch Godfrey Lagrange
Multiplier. Dalam penelitian ini, untuk mendeteksi ada tidaknya masalah autokorelasi
digunakan uji-uji Breusch – Godfrey Lagrange Multiplier Test.
Pedoman dari penggunaan uji Breusch – Godfrey Lagrange Multiplier adalah
Hipotesis nol ( ) menyatakan bahwa tidak ada masalah autokorelasi sedangkan
hipotesis alternatif ( ) menyatakan bahwa ada masalah autokorelasi. Dasar
pengambilan keputusan adalah dengan membandingkan dan atau
dengan melihat nilai probabilitas (P – Value). Dalam penelitian ini didasar pengambilan
keputusan yang digunakan adalah dengan melihat nilai probabilitas (P – Value).
3.6. Uji Penyimpangan Heteroskedastisitas
Heteroskedastisitas merupakan situasi tidak konstannya varian dari residual
suatu pengamatan ke pengamatan yang lain. Konsekwensi terjadinya
Heteroskedastisitas adalah uji signifikansi terhadap model menjadi invalid. Ada
beberapa cara mendektaksi masalah heteroskedastisitas dalam model empiris. Para ahli
masalah heteroskedastisitas dalam model empiris, seperti dengan menggunakan uji
Park, uji Glejser, uji White. Dalam penelitian ini, untuk mendeteksi atau melacak ada
tidaknya masalah heteroskedastisitas dalam model empiris yang sedang diestimasi
digunakan uji White ( White’s HeteroscedasticityTest ).
Pedoman dari penggunaan model White adalah Hipotesis ( ) menyatakan
bahwa kondisi Homoskedastisitas terpenuhi (tidak terdapat masalah
Heteroskedastisitas), sedangkan hipotesis alternatif menyatakan kondisi
Homoskedastisitas tidak terpenuhi ( terdapat masalah Heteroskedastisitas). Uji White
dapat dilakukan secara langsung dalam program Eviews, dimana menyediakan dua versi
Uji White yaitu Uji White Heteroscedasticity (no cross term dan Uji White
Heteroscedasticity (cross term). Dasar pengambilan keputusan adalah dengan
membandingkan dan atau dengan melihat nilai probabilitas (P –
Value).
3.7. Uji Penyimpangan Multikolinearitas
Multikolinearitas merupakan hubungan linier (korelasi) antar variabel bebas.
Untuk mendeteksi adanya masalah Multikolinearitas dapat digunakan Eviews dengan
uji Pairwise Correlation Matrix. Ada hal-hal yang perlu diperhatikan dari hasil analisis
untuk melihat adanya masalah Multikolinearitas yang meliputi (1) Besarnya Codition
Index dari proses Collinearity Index, dimana akan dipergunakan pedoman bahwa
Codition Index > 30 mengidikasikan bahwa adanya masalah Multikolinearitas dan (2)
Matriks koefisien korelasi antara masing-masing variabel bebas. Jika koefisien korelasi
antara masing-masing variabel bebas lebih besar dari 0,8 maka Multikolinearitas terjadi
4.1. Gambaran Umum Obyek Penelitian
4.1.1. Kondisi Geografis Kabupaten Gresik
Kabupaten Gresik berada di antara 7 derajat dan 8 derajat Lintang Selatan dan di
antara 112 derajat dan 113 derajat Bujur Timur. Sebagian besar wilayahnya merupakan
dataran rendah dengan ketinggian antara 0-12 meter di atas permukaan laut kecuali
sebagian kecil di bagian utara (kecamatan Panceng) mempunyai ketinggian sampai 25
meter di atas permukaan laut. Bagian utara Kabupaten Gresik dibatasi oleh Laut Jawa,
bagian timur dibatasi oleh Selat Madura dan Kota Surabaya, bagian selatan berbatasan
dengan Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Mojokerto, sementara bagian barat
berbatasan dengan Kabupaten Lamongan.
Kabupaten Gresik mempunyai kawasan kepulauan yaitu Pulau Bawean dan
beberapa pulau kecil di sekitarnya. Luas wilayah daratan Gresik seluruhnya 1.192,25
Km² terdiri dari 998, 14 Km² luas daratan ditambah sekitar 196, 11 Km² Luas Pulau
Bawean, sedangkan luas wilayah perairan adalah 5.773, 80 Km² yang sangat potensial
dari sub sektor perikanan laut. Sebagian besar tanah di wilayah Kabupaten Gresik terdiri
dari jenis Aluvial, Grumosal, Mediteran Merah dan Litosol. Curah huajn di Kabupaten
Gresik adalah relatif rendah, yaitu rata-rata 2.000 mm per tahun sehingga hampir setiap
tahun mengalami musim kering yang panjang.
Berdasarkan ciri-ciri fisik tanahnya, Kabupaten Gresik dapat di bagi menjadi 4
a. Kabupaten Gresik bagian utara (meliputi wilayah Panceng, Ujung pangkah,
Sidayu, Bungah, Dukuh, Manyar) adalah bagian dari daerah pegunungan Kapur
Utara yang memiliki tanah relatif kurang subur (wilayah Kecamatan Panceng).
Sebagian dari daerah ini adalah daerah hilir aliran Bengawan Solo yang
bermuara di Pantai Utara Kabupaten Gresik. Kecamatan Ujung Pangkah daerah
hilir sungai tersebut sangat potensial karena mampu menciptakan lahan yang
cocok untuk pemukiman maupun usaha pertambakan. Potensial karena mampu
menciptakan lahan yang cocok untuk pemukiman maupun usaha pertambakan.
Potensi bahan-bahan galian di wilayah ini cukup potensial terutama dengan
adanya beberapa jenis bahan galian golongan C.
b. Kabupaten Gresik bagian tengah (meliputi wilayah Duduk Sampeyan, Balong
Panggang, Benjeng, Cerme, Gresik, Kebomas) merupakan kawasan dengan
tanah yang relatif subur. Di wilayah ini terdapat sungai-sungai kecil antara lain
Kali Lamong, Kali Corong, Kali Manyar sehingga di bagian tengah wilayah ini
merupakan daerah yang cocok untuk pertanian dan pertambakan.
c. Kabupaten Gresik bagian selatan meliputi Menganti, Kedamean, Driyorejo, dan
Wringin Anom adalah merupakan sebagian dataran rendah yang cukup subur
dan sebagian merupakan daerah bukit-bukit (Gunung Kendeng). Potensi
bahan-bahan galian di wilayah ini di duga cukup potensial terutama dengan adanya
beberapa jenis bahan galian golongan C, bahan galian yang bukan strategis dan
juga bukan vital seperti batu kapur, phospat, dolomit, batu bintang dan tanah
liat, pasir dan bahan galian lainnya. Sebagian dari bahan galian golongan C ini
d. Kabupaten Gresik wilayah Kepulauan Bawean dan Pulau kecil di sekitarnya
yang meliputi Kecamatan Sangkapura dan Tambak berpusat di Sangkapura.
Kabupaten Gresik adalah salah satu wilayah penyangga Kota Surabaya, di mana
Kota Surabaya adalah ibukota sekaligus pusat ekonomi di Jawa Timur. Di samping
Kabupaten Gresik daerah lain yang juga dapat dikatakan sebagai kawasan penyangga
Kota Surabaya adalah Kabupaten Sidoarjo, Bangkalan, Mojokerto dan Lamongan.
Keenam wilayah ini di kenal dengan istilah kawasan Gerbang Kertasusila. Fungsi
wilayah penyangga bagi Kabupaten Gresik dapat bernilai positif secara ekonomis, jika
kabupaten Gresik dapat mengantisipasi dengan baik kejenuhan perkembangan kegiatan
industri di surabaya yaitu dengan menyediakan lahan alternatif pembangunan kawasan
industri yang representatif, kondusif dan strategis.
Hampir sepertiga dari wilayah Kabupaten Gresik merupakan daerah pesisir pantai,
yaitu sepanjang 140 Km meliputi Kecamatan Kebomas, Kecamatan Gresik, Kecamatan
Bungah, Kecamatan Ujung Pangkah, Sidayu, Panceng serta Kecamatan Tambak dan
Sangkapura yang berada di Pulau Bawean. Sebagai wilayah pesisir yang juga telah
difasilitasi dengan pelabuhan besar, maka Kabupaten Gresik memiliki akses
perdagangan regional, nasional, bahkan internasional. Keunggulan greografis ini
menjadikan Gresik sebagai alternatif terbaik untuk investasi atau penanaman modal.
Dengan fasilitas Pelabuhan yang ada, Gresik memiliki potensi akses regional
maupun nasional sebagai pintu masuk baru unruk kegiatan industri dan perdagangan
untuk kawasan Indonesia Timur setelah Surabaya mengalami kejenuhan. Disamping itu
Kabupaten Gresik merupakan Kabupaten yang berpengalaman mengelola kegiatan
Semen Gresik Petrokimia Gresik. Demikian pula dengan dukungan sarana dan
prasarana transportasi darat, seperti; akses jalan tol menuju Surabaya, jarak yang relatif
dekat dengan pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, jalan beraspal dan angkutan umum
keselururan pelosok wilayah kecamatan, dan sarana transportasi laut yang memadai
berupa pelabuhan atau dermaga, Gresik siap menunjang aktivitas perdagangan dalam
taraf internasional.
4.1.2. Keadaan Kependudukan Kabupaten Gresik
Menurut catatan statistik Kantor Kependudukan Kabupaten Gresik menunjukkan
bahwa jumlah penduduk kabupaten Gresik pada tahun 2008 sebesar 1.159.033 jiwa
yang terbagi ke dalam sejumlah 279.103 keluarga, yang terdiri diri :
1. Penduduk perempuan : 547.517 jiwa
2. Penduduk laki-laki : 511.516 jiwa.
Jumlah penduduk sebanyak itu, dengan luas wilayah 1.191,25 Km² diperoleh kepadatan
penduduk sebesar 973 jiwa/km², dengan rata-rata per keluarga terdiri dari 4 orang.
Apabila di bandingkan dengan hasil regrestasi penduduk tahun 2004, dengan jumlah
penduduk sebesar 1.006.470 jiwa dan kepadatan penduduk mencapai 845 jiwa/km²,
maka terjadi peningkatan jumlah penduduk sebesar 15,16% dan kepadatan penduduk
meningkat 15,15%. Namun demikian, masalahnya bahwa tingkat kepadatan penduduk
Gresik tersebut tidaklah merata pada keseluruhan wilayah. Wilayah perkotaan jauh
dipadati penduduk sebesar 1814 jiwa/km² di bandingkan dengan wilayah pedesaan yang
hanya dihuni 736 jiwa/km². Kondisi ini tentu harus direspon secara objektif oleh
4.1.3. Struktur Ekonomi
Pada hakikatnya pembangunan ekonomi adalah serangkaian usaha dan
kebijaksanaan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, memperluas
lapangan kerja dan pemerataan pembagian pendapatan masyarakat. Pendapatan
ekonomi mempunyai kedudukan yang amat penting, karena keberhasilan dalam bidang
ekonomi dapat menyediakan sumber daya yang lebih luas bagi pembangunan di bidang
lainnya. Untuk melakukan pembangunan di perlukan landasan yang kuat, yaitu
pengambilan kebijakan yang tepat, akurat dan terarah, supaya hasil yang di capai akan
benar-benar sesuai dengan yang direncanakan.
Tidak dapat di pungkiri bahwa perkembangan ekonomi di Kabupaten Gresik
dari tahun ke tahun menunjukan arah positif. Di tinjau dari struktur perekonomian yang
ada, pilar utamanya adalah industri pengolahan. Sumbangannya terhadap PDRB, sektor
industri pengolahan menyumbang 49,06% dari seluruh kontruksi ekonomi daerah
Gresik tahun 2008. Dengan banyaknya industri tersebut akan nada kecenderungan
semakin cepat berdiri industri baru yang merupakan mata rantai industri yang saling
menunjang. Dengan demikian sektor industri merupakan sektor yang bias di harapkan
memulihkan perekonomian di Kabupaten Gresik, karena sektor industri ini di samping
menyerap banyak tenaga kerja juga menggerakkan perkembangan sektor-sektor lain.
Distribusi PDRB atas dasar harga konstan di Kabupaten Gresik pada sektor-sektor
TABEL 4.1
DISTRIBUSI PRESENTASE PDRB ATAS DASAR HARGA KONSTAN
KABUPATEN GRESIK TAHUN 2008
NO Sektor Ekonomi Persentase (%)
1 Industri pengolahan 49,06
2 Perdagangan, Hotel dan Restoran 21,38
3 Pertanian 10,41
4 Bangunan/ Konstruksi 5,35
5 Listrik, Gas dan Air Bersih 4,88
6 Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan 3,66
7 Transportasi & Komunikasi 2,14
8 Jasa-jasa 1,74
9 Pertambangan & Penggalian 1,38
Sumber : Kabupaten Gresik Dalam Angka, 2008
Berdasarkan Tabel 4.1 sektor perdagangan, hotel dan restoran merupakan sektor
yang sangat erat dengan sektor industri, sehingga mempunyai sumbangan terbesar
kedua yaitu sebesar 21,38%. Pembangunan infrastruktur yang menunjang sektor
industri merupakan kebutuhan utama, sektor yang menunjang sektor industri tersebut
adalah sektor Listrik, Gas dan Air Bersih yang memiliki sumbangan sebesar 4,88%.
Wilayah Kabupaten Gresik yang memanjang dari utara ke selatan sejauh lebih dari 82
ternyata Kabupaten Gresik masih memiliki potensi sector Pertanian yang cukup besar,
sector pertanian mempunyai peranan di urutan ketiga yakni sebesar 10,41%.
4.2. Deskripsi Hasil Penelitian
Mengingat bahwa realisasi pendapatan daerah tahun 2003 hanya berlangsung 9
bulan akibat adanya penyesuaian tahun anggaran dari bulan april sampai dengan bulan
Maret menjadi bulan bulan Januari sampai dengan bulan Desember, maka data dalam
penelitian ini dilakukan penyesuaian. Penyesuaian data dimaksud dilakukan mulai tahun
1987/1988 sampai dengan tahun 2003 dengan cara pergeseran Triwulan IV tahun
sebelumnya menjadi Triwulan I tahun bersangkutan, sehingga diperoleh data tahunan
mulai bulan Januari hingga bulan Desember.
Data pendapatan daerah yang semula dimulai pada bulan April sampai dengan
bulan Maret tahun berikutnya, disesuaikan menjadi data tahunan yang dimulai pada
bulan Januari sampai dengan bulan Desember tahun bersangkutan. Sehingga diperoleh
keseragaman data tahunan selama 12 bulan, hal ini di lakukan agar hasil perhitungan
dan analisis data bisa optimal. Perhitungan penyesuaian data tersebut sebagaimana
terlampir (Lampiran 5-8).
4.2.1. Derajat Desentralisasi Fiskal
Dalam penelitian ini Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF) di Kabupaten Gresik
dilihat dari rasio PAD terhadap total pendapatan daerah tampak pada tabel 4.2 sebagai
TABEL 4.2
DERAJAT DESENTRALISASI FISKAL
KABUPATEN GRESIK TAHUN 1988-2008
TAHUN Realisasi PAD (Rp) Realisasi Total
Pendapatan Daerah (Rp) DDF (%)
1988 1.413.951.636 9.092.770.164 15,55
1989 1.028.181.802 5.837.149.429 17,61
1990 1.584.592.675 5.344.826.182 29,65
1991 1.850.871.084 5.817.490.354 31,82
1992 2.080.041.915 5.996.768.256 34,69
1993 2.356.470.832 8.230.438.135 28,63
1994 2.926.903.964 11.077.281.999 26,42
1995 3.168.924.490 15.006.981.596 21,12
1996 4.305.019.401 16.359.661.602 22,24
1997 5.811.866.070 26.858.749.104 21,64
1998 9.411.810.872 32.459.101.821 29,00
1999 15.728.982.702 51.338.223.076 30,64
2000 15.146.975.231 49.222.687.310 30,77
2001 14.462.459.102 53.021.897.982 27,28
2002 17.435.772.088 92.937.722.379 18,76
2003 22.857.994.979 124.543.140.698 18,35
2004 32.464.795.392 249.209.458.397 18,03
2005 50.324.021.762 310.396.091.440 16,21
2006 59.811.702.093 388.497.835.692 15,40
2007 73.186.337.984 425.841.802.589 17,19
2008 87.961.119.316 474.988.244.204 18,52
Rata-rata 20.253.275.971 112.479.920.115 23,27