• Tidak ada hasil yang ditemukan

Saran

Dalam dokumen UNIVERSITAS INDONESIA (Halaman 47-121)

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.2. Saran

a. Menggiatkan sosialisasi perizinan sarana yang saat ini sudah tidak lagi dilakukan di Sudinkes, melainkan telah berpindah di kantor walikota melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP).

b. Perlu adanya penambahan tenaga yang bekerja di bidang Sumber Daya Kesehatan khususnya bagian Farmasi Makanan dan Minuman.

DAFTAR ACUAN

Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta. (2002). Pedoman Perizinan Sarana Farmasi Makanan dan Minuman Provinsi DKI Jakarta. Jakarta: Suku Dinas Kesehatan Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (1990). Peraturan Menteri Kesehatan No. 246/Menkes/PER/V/1990 tentang Izin Usaha Industri Kecil Obat Tradisional dan Pendaftaran Obat Tradisional. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2012). Peraturan Menteri Kesehatan No.006 Tahun 2012. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tentang Industri dan Usaha Obat Tradisional. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. (2009). Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 150 Tahun 2009 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Dinas Kesehatan. Jakarta: Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Pemerintah Republik Indonesia. (1999). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia.

Pemerintah Republik Indonesia. (2000). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Otonom. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia.

Pemerintah Republik Indonesia. (2009). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia.

Lampiran 1. Struktur organisasi Suku Dinas Kesehatan Kepala Suku Dinas Kesehatan Seksi Kesehatan Masyarakat Seksi Pelayanan Kesehatan

Seksi Sumber Daya Kesehatan Seksi Pengendalian Masalah Kesehatan Subbagian Tata Usaha

Lampiran 2. Diagram alur pemberian izin yang diterbitkan oleh Sudinkes Kotamadya

Penundaan dan saran perbaikan dengan batas waktu maksimal 1 bulan

Berkas permohonan dari pemohon ke PTSP

Sudin Yankes Kotamadya

Evaluasi permohonan dan pemerksaan sarana oleh Seksi FMM

Tidak lengkap Lengkap dan memenuhi

syarat

Izin apotek, IKOT, UMOT, Toko Obat, CPAK

Pemohon

Lengkap dan memenuhi syarat

Pemohon

Lamanya permohonan masuk s.d. keluar izin = 12 hari kerja (apabila berkas permohonan lengkap)

Lampiran 3. Daftar periksa perizinan apotek yang bekerja sama dengan pihak lain

Lampiran 7. Daftar Periksa perizinan apotek karena pergantian apoteker penanggung jawab

Lampiran 8. Daftar periksa perizinan apotek karena pergantian pemilik sarana apotek

Lampiran 9. Daftar periksa perizinan apotek karena perubahan alamat (perubahan nama jalan)

Lampiran 11. Daftar periksa perizinan apotek karena perubahan denah ruang apotek

Lampiran 12. Daftar Periksa Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA) / Surat Izin Kerja Apoteker

Lampiran 15. Daftar periksa permohonan izin pergantian penanggung jawab teknis pedagang eceran obat

Lampiran 17. Formulir Permohonan Sertifikat Produk Pangan Industri Rumah Tangga No. Dokumen C M-01/PM-04/PKJS-PF No. Revisi 00 Jakarta, Lamp :

Hal : Permohonan Sertifikat Produk Pangan Industri Rumah Tangga

Kepada

Yth. Kepala Suku Dinas Kesehatan Kota Administrasi Jakarta Pusat Di Jakarta

Yang bertanda tangan di bawah ini saya

Nama Pemilik : ... Nama Perusahaan : ... Alamat/ Telepon : ... Nama Penanggung Jawab ... : Alamat/ Telepon : ...

Sebagai pertimbangan bersama ini kami lampirkan surat-surat sebagai berikut: 1. Data perusahaan pangan industri rumah tangga

2. Peta lokasi tempat usaha 3. Denah ruangan beserta ukuran 4. Rancangan etiket/ label

5. Foto copy penanggung jawab/ pemilik

6. Pas foto berwarna pemohon/ penanggung jawab 3x4 (2 lembar) 7. Surat tanda pendaftaran industri kecil bagi perusahaan yang memiliki

modal peralatan lebih daari Rp 5.000.000 8. Data produk

9. Surat keterangan penunjukkan, bila repacking

10. Copy tanda bukti pemilik tempat/ status bangunan, bila tempat usaha milik sendiri lampirkan sertifikat dan bila sewa minimal 2 tahun dengan

melampirkan surat sewa dan foto copy KTP pemilik

11. Sertifikat Keamanan Pangan (mengikuti Penyuluhan Keamanan Pangan)

Demikianlah permohonan ini kami buat dengan sebenarnya dengan harapan dapat dikabulkan. Hormat kami Cap Perusahaan (…………..) Materai 6000

Lampiran 18. Persyaratan administrasi perizinan UMOT

PEMANTAUAN PENGGUNAAN OBAT RASIONAL DI

PUSKESMAS KECAMATAN JOHAR BARU PERIODE

APRIL 2014

TUGAS KHUSUS PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER

DINNY CHAIRUNISA 1306343504

ANGKATAN LXXVIII

PROGRAM PROFESI APOTEKER FAKULTAS FARMASI

DEPOK JUNI 2014

ii Universitas Indonesia

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... ii DAFTAR GAMBAR ... iii DAFTAR TABEL ... iv DAFTAR LAMPIRAN ... v

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Tujuan ... 2

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 3 2.1 Pusat Kesehatan Masyarakat ... 3 2.1.1 Pengertian Puskesmas ... 3 2.1.2 Visi dan Misi Puskesmas ... 4 2.1.3 Tujuan dan Fungsi Puskesmas ... 5 2.2 Penggunaan Obat Rasional ... 6 2.3 Penggunaan Obat yang Tidak Rasional ... 9 2.3.1 Deskripsi ... 9 2.3.2 Kriteria Penggunaan Obat yang Tidak Rasional ... 10 2.4 Pemantauan dan Evaluasi Penggunaan Obat Rasional ... 11 2.4.1 Deskripsi ... 11 2.4.2 Manfaat Pemantauan dan Evaluasi ... 12 2.4.3 Cara Pemantauan dan Evaluasi Penggunaan Obat ... 12 2.4.4 Kegiatan Pemantauan dan Evaluasi ... 13

BAB 3. METODE PELAKSANAAN ... 17 3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan ... 17 3.2 Metode Pelaksanaan ... 17

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 19 4.1 Hasil ... 19 4.2 Pembahasan ... 20

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 25 5.1 Kesimpulan ... 25 5.2 Saran ... 25

DAFTAR ACUAN ... 27

iii Universitas Indonesia

Gambar 4.1. Grafik Batang Laporan Indikator Peresepan Penggunaan Obat Rasional di Puskesmas Johar Baru Periode April 2014 ... 20

iv Universitas Indonesia

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Laporan Indikator Peresepan Penggunaan Obat Rasional di

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Formulir Pelaporan Indikator Peresepan ISPA non Pneumonia ... 29 Lampiran 2. Formulir Pelaporan Indikator Peresepan Diare non Spesifik ... 30 Lampiran 3. Formulir Pelaporan Indikator Peresepan Myalgia ... 31 Lampiran 4. Laporan Indikator Peresepan di Puskesmas... 32 Lampiran 5. Formulir Pelaporan Indikator Peresepan ISPA non Pneumonia

Puskesmas Kecamatan Johar Baru, Jakarta Pusat, DKI Jakarta Periode April 2014... 33 Lampiran 6. Formulir Pelaporan Indikator Peresepan ISPA non Diare Non

Spesifik Puskesmas Kecamatan Johar Baru, Jakarta Pusat,

DKI Jakarta Periode April 2014 ... 36 Lampiran 7. Formulir Pelaporan Indikator Peresepan Myalgia

Puskesmas Kecamatan Johar Baru, Jakarta Pusat, DKI

Jakarta Periode April 2014 ... 39 Lampiran 8. Laporan Indikator Peresepan di Puskesmas Kecamatan Johar

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesehatan merupakan salah satu unsur kesejahteraan umum yang harus dapat diwujudkan melalui pembangunan yang berkesinambungan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis. Salah satu upaya pemerintah dalam mewujudkan hal tersebut yaitu membentuk Pusat Kesehatan Masyarakat (PUSKESMAS). Puskesmas merupakan salah satu unit pelayanan kesehatan. Dalam memberikan pelayanan kesehatan terutama pengobatan di Puskesmas maka diperlukan pengelolaan obat yang benar secara optimal untuk menjamin tercapainya tepat jumlah, tepat jenis, tepat penyimpanan, tepat waktu pendistribusian, tepat penggunaan dan tepat mutunya di tiap unit pelayanan kesehatan (Direktorat Jendral Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2010).

Salah satu tanggung jawab apoteker adalah melakukan penilaian kerasionalan penggunaan obat dan memberikan laporan sebagai suatu bentuk pengawasan terhadap pengelolaan obat yang terdapat di Puskesmas. Laporan tentang kerasionalan obat ini diserahkan ke seksi Sumber Daya Kesehatan (SDK) pada subseksi Farmasi, Makanan, dan Minuman (Farmakmin) Suku Dinas

Kesehatan Kabupaten/Kota. Pelaporan Penggunaan Obat Rasional (POR)

bertujuan untuk memberikan gambaran pola peresepan di Puskesmas atas pasien dengan diagnosa ISPA, diare dan myalgia. Persentase penggunaan antibiotika pada ISPA non pneumonia, persentase penggunaan antibiotika pada diare non spesifik, persentase penggunaan sediaan injeksi pada pengobatan myalgia, serta rata-rata jumlah item obat per lembar dapat digunakan untuk memonitoring POR di Puskesmas.

Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis melakukan rekapitulasi laporan POR di Puskesmas Johar Baru periode April 2014 dalam rangka tugas khusus Praktek Kerja Profesi Apoteker di Suku Dinas Kesehatan Jakarta Pusat.

1.2 Tujuan

1. Menentukan kerasionalan berdasarkan penggunaan antibiotika untuk penyakit ISPA non pneumonia dan diare non spesifik serta penggunaan injeksi untuk penyakit myalgia

2. Menentukan kerasionalan berdasarkan rerata item obat per lembar resep periode April 2014 di Puskesmas Kecamatan Johor Baru kota administrasi Jakarta Pusat.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas)

2.1.1 Pengertian Puskesmas

Berdasarkan KEPMENKES RI No. 128/MENKES/SK/II/2004 mengenai Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat, Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) didefinisikan sebagai unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja. Sebagai unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota (UPTD), Puskesmas berperan menyelenggarakan sebagian dari tugas teknis operasional Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan merupakan unit pelaksana tingkat pertama serta ujung tombak pembangunan kesehatan di Indonesia. Pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh Puskesmas merupakan upaya kesehatan oleh bangsa Indonesia untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Puskesmas bertanggungjawab hanya sebagian upaya pembangunan kesehatan yang dibebankan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota sesuai dengan kemampuannya. Secara nasional, standar wilayah kerja Puskesmas adalah satu kecamatan, tetapi apabila di satu kecamatan terdapat lebih dari dari satu Puskesmas, maka tanggung jawab wilayah kerja dibagi antar Puskesmas, dengan memperhatikan keutuhan konsep wilayah (desa/kelurahan atau RW). Masing-masing puskesmas tersebut secara operasional bertanggung jawab langsung kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota (Kemenkes RI, 2004).

Program upaya pengobatan di Puskesmas bertujuan meningkatkan mutu pelayanan dan menjaga tingkat ketersediaan obat pada semua unit pelayanan yang ada di wilayahnya. Dalam melaksanakan pengelolaan obat di Puskesmas telah ditetapkan unit pengelola obat dengan Tugas Pokok dan Fungsi (TUPOKSI) di Puskesmas dan Puskesmas Pembantu, yaitu (Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2010):

a. Petugas menyusun rencana kebutuhan obat secara efektif dan efisien.

b. Petugas melaksanakan permintaan obat dan perbekalan kesehatan sesuai kebutuhan.

c. Petugas menerima obat dari gudang farmasi Kabupaten/Kota sesuai slip penerimaan obat.

d. Petugas menyimpan obat sesuai dengan bentuk sediaan atau indikasi, kemudian abjad nama obat dengan memperhatikan waktu kadaluarsa (bila ada).

e. Petugas mencatat setiap jenis obat dalam kartu stok obat.

f. Petugas mendistribusikan obat ke unit pelayanan dalam bentuk buku register harian.

g. Petugas membuat Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO)

setiap akhir bulan, Laporan Indikator Peresepan, dan lainnya.

h. Petugas melakukan pembinaan, supervisi, dan evaluasi pengelolaan obat. 2.1.2 Visi dan Misi Puskesmas

Visi pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh Puskesmas adalah tercapainya Kecamatan Sehat menuju terwujudnya Indonesia Sehat. Kecamatan Sehat adalah gambaran masyarakat kecamatan masa depan yang ingin dicapai melalui pembangunan kesehatan, yakni masyarakat yang hidup dalam lingkungan dan berperilaku sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Indikator Kecamatan Sehat yang ingin dicapai mencakup 4 (empat) indikator utama yakni lingkungan sehat, perilaku sehat, cakupan pelayanan kesehatan yang bermutu dan derajat kesehatan penduduk kecamatan (Kemenkes RI, 2004).

Misi pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh Puskesmas adalah mendukung tercapainya misi pembangunan kesehatan nasional. Misi tersebut adalah (Kemenkes RI, 2004):

1. Menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan di wilayah kerjanya. Puskesmas akan selalu menggerakkan pembangunan sektor lain yang diselenggarakan di wilayah kerjanya, agar memperhatikan aspek kesehatan, yakni pembangunan yang tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan, setidak-tidaknya terhadap lingkungan dan perilaku masyarakat. 2. Mendorong kemandirian hidup sehat bagi keluarga dan masyarakat di wilayah

kerjanya. Puskesmas akan selalu berupaya agar setiap keluarga dan masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah kerjanya makin berdaya di bidang

kesehatan, melalui peningkatan pengetahuan dan kemampuan menuju kemandirian untuk hidup sehat.

3. Memelihara dan meningkatkan mutu, pemerataan dan keterjangkauan

pelayanan kesehatan yang diselenggarakan. Puskesmas akan selalu berupaya menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan standar dan memuaskan masyarakat, mengupayakan pemerataan pelayanan kesehatan serta meningkatkan efisiensi pengelolaan dana sehingga dapat dijangkau oleh seluruh anggota masyarakat.

4. Memelihara dan meningkatkan kesehatan perorangan, keluarga dan masyarakat berserta lingkungannya. Puskesmas akan selalu berupaya memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit, serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga dan masyarakat yang berkunjung dan yang bertempat tinggal di wilayah kerjanya, tanpa diskriminasi dan dengan menerapkan kemajuan ilmu dan teknologi kesehatan yang sesuai. Upaya pemeliharaan dan peningkatan kesehatan yang dilakukan Puskesmas mencakup pula aspek lingkungan dari yang bersangkutan.

2.1.3 Tujuan dan Fungsi Puskesmas

Tujuan pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh Puskesmas adalah mendukung tercapainya tujuan pembangunan kesehatan nasional yakni meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang yang bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya dalam rangka mewujudkan Indonesia Sehat 2010 (Kemenkes RI, 2004).

Puskesmas mempunyai fungsi sebagai berikut :

1. Pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan

Puskesmas selalu berupaya menggerakkan dan memantau penyelenggaraan pembangunan lintas sektor termasuk oleh masyarakat dan dunia usaha di wilayah kerjanya, sehingga berwawasan serta mendukung pembangunan kesehatan. Di samping itu Puskesmas aktif memantau dan melaporkan dampak kesehatan dari penyelenggaraan setiap program pembangunan di wilayah kerjanya. Khusus untuk pembangunan kesehatan, upaya yang dilakukan

Puskesmas adalah mengutamakan pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit tanpa mengabaikan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan. 2. Pusat pemberdayaan masyarakat

Puskesmas selalu berupaya agar perorangan terutama pemuka masyarakat, keluarga dan masyarakat termasuk dunia usaha memiliki kesadaran, kemauan, dan kemampuan melayani diri sendiri dan masyarakat untuk hidup sehat, berperan aktif dalam memperjuangkan kepentingan kesehatan termasuk pembiayaannya, serta ikut menetapkan, menyelenggarakan dan memantau pelaksanaan program kesehatan. Pemberdayaan perorangan, keluarga dan masyarakat ini diselenggarakan dengan memperhatikan kondisi dan situasi, khususnya sosial budaya masyarakat setempat.

3. Pusat pelayanan kesehatan strata pertama

Puskesmas bertanggungjawab menyelenggarakan pelayanan kesehatan tingkat pertama secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. Pelayanan kesehatan tingkat pertama yang menjadi tanggungjawab Puskesmas meliputi: a. Pelayanan kesehatan perorangan

Pelayanan kesehatan perorangan adalah pelayanan yang bersifat pribadi (private goods) dengan tujuan utama menyembuhkan penyakit dan pemulihan kesehatan perorangan, tanpa mengabaikan pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit. Pelayanan perorangan tersebut adalah rawat jalan dan untuk Puskesmas tertentu ditambah dengan rawat inap.

b. Pelayanan kesehatan masyarakat

Pelayanan kesehatan masyarakat adalah pelayanan yang bersifat publik (public goods) dengan tujuan utama memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit tanpa mengabaikan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan. Pelayanan kesehatan masyarakat tersebut antara lain promosi kesehatan, pemberantasan penyakit, penyehatan lingkungan, perbaikan gizi, peningkatan kesehatan keluarga, keluarga berencana, kesehatan jiwa serta berbagai program kesehatan masyarakat lainnya.

2.2 Penggunaan Obat Rasional

Penggunaan obat secara rasional (rational use of medicine) menurut World

yang sesuai dengan kebutuhan klinis mereka, dalam dosis yang sesuai dengan kebutuhan individual, untuk jangka waktu yang tepat, dan dalam biaya terapi yang terjangkau bagi pasien maupun komunitas mereka. Lebih detil lagi, penjabaran definisi ini dirangkum dalam satu slogan, yaitu „8 Tepat dan 1 Waspada‟ (Swandari, 2012), yang berisi:

a. Tepat Diagnosis

Penggunaan obat harus berdasarkan penegakan diagnosis yang tepat. Ketepatan diagnosis menjadi langkah awal dalam sebuah proses pengobatan karena ketepatan pemilihan obat dan indikasi akan tergantung pada diagnosis penyakit pasien. Contohnya misalnya pasien diare yang disebabkan ameobiasis maka akan diberikan metronidazol. Jika dalam proses penegakkan diagnosisnya tidak dikemukakan penyebabnya adalah amoebiasis, terapi tidak akan menggunakan metronidazol. Pada pengobatan oleh tenaga kesehatan, diagnosis merupakan wilayah kerja dokter. Sedangkan pada swamedikasi oleh pasien, apoteker mempunyai peran sebagai second opinion untuk pasien yang telah memiliki self-diagnosis.

b. Tepat pemilihan obat

Berdasarkan diagnosis yang tepat maka harus dilakukan pemilihan obat yang tepat. Pemilihan obat yang tepat dapat ditimbang dari ketepatan kelas terapi dan jenis obat yang sesuai dengan diagnosis. Selain itu, obat juga harus terbukti manfaat dan keamanannya. Obat juga harus merupakan jenis yang paling mudah didapatkan. Jenis obat yang akan digunakan pasien juga seharusnya jumlahnya seminimal mungkin.

c. Tepat indikasi

Pasien diberikan obat dengan indikasi yang benar sesuai diagnosa Dokter. Misalnya Antibiotik hanya diberikan kepada pasien yang terbukti terkena penyakit akibat bakteri.

d. Tepat pasien

Obat yang akan digunakan oleh pasien mempertimbangkan kondisi individu yang bersangkutan. Riwayat alergi, adanya penyakit penyerta seperti kelainan ginjal atau kerusakan hati, serta kondisi khusus misalnya hamil, laktasi, balita, dan lansia harus dipertimbangkan dalam pemilihan obat. Misalnya

Pemberian obat golongan Aminoglikosida pada pasien dengan gagal ginjal akan meningkatkan resiko nefrotoksik sehingga harus dihindari.

e. Tepat dosis

Dosis obat yang digunakan harus sesuai range terapi obat tersebut untuk memberikan efek terapi yang maksimal. Obat mempunyai karakteristik farmakodinamik maupun farmakokinetik yang akan mempengaruhi kadar obat di dalam darah dan efek terapi obat. Besar dosis, cara, dan frekuensi pemberian umumnya disesuaikan dengan kondisi pasien dari segi usia, bobot badan, maupun kelainan tertentu. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat dengan rentang terapi yang sempit misalnya Teofilin, Digitalis, dan Aminoglikosida akan sangat beresiko timbulnya efek samping. Sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak akan menjamin tercapainya kadar terapi yang diharapkan.

f. Tepat cara dan lama pemberian

Cara pemberian yang tepat harus mempertimbangkan mempertimbangkan keamanan dan kondisi pasien. Hal ini juga akan berpengaruh pada bentuk sediaan dan saat pemberian obat. Misalnya pasien anak yang tidak mampu menelan tablet parasetamol dapat diganti dengan sirup. Lama pemberian meliputi frekuensi dan lama pemberian yang harus sesuai karakteristik obat dan penyakit. Frekuensi pemberian akan berkaitan dengan kadar obat dalam darah yang menghasilkan efek terapi. Contohnya penggunaan antibiotika Amoxicillin 500 mg dalam penggunaannya diberikan tiga kali sehari selama 3-5 hari akan membunuh bakteri patogen yang ada. Agar terapi berhasil dan tidak terjadi resistensi maka frekuensi dan lama pemberian harus tepat.

g. Tepat harga

Penggunaan obat tanpa indikasi yang jelas atau pemberian obat untuk keadaan yang sama sekali tidak memerlukan terapi obat merupakan pemborosan dan sangat membebani pasien, termasuk peresepan obat yang mahal padahal alternatif obat yang lain dengan manfaat dan keamanan sama dan harga lebih mudah tersedia. Contoh Pemberian antibiotik pada pasien Infeksi Saluran Pernafasan Atas/ISPA non pneumonia dan diare non spesifik, serta penggunaan injeksi pada pasien myalgia yang sebenarnya tidak diperlukan hanya merupakan pemborosan serta dapat menyebabkan efek samping yang tidak dikehendaki.

h. Tepat informasi

Kejelasan informasi tentang obat yang harus diminum atau digunakan pasien akan sangat mempengaruhi ketaatan pasien dan keberhasilan pengobatan. Tenaga kefarmasian harus mampu menyediakan dan memberikan informasi kepada pasien dan tenaga kesehatan lain untuk menunjang penggunaan obat yang rasional dalam rangka mencapai keberhasilan terapi. Informasi yang diberikan meliputi nama obat, aturan pakai, lama pemberian, efek samping, dan interaksi obat tertentu dengan makanan. Misalnya pada peresepan Rifampisin harus diberi informasi bahwa urin dapat berubah menjadi berwarna merah sehingga pasien tidak akan berhenti minum obat walaupun urinnya berwarna merah.

i. Waspada efek samping

Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi. Contohnya Penggunaan Teofilin menyebabkan jantung berdebar.

Prinsip 8 Tepat dan 1 Waspada diharapkan dapat menjadi indikator untuk menganalisis rasionalitas dalam penggunaan Obat. Kampanye Penggunaan Obat Rasional (POR) diharapkan dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi belanja obat dan mempermudah akses masyarakat untuk memperoleh obat dengan harga terjangkau. POR juga dapat mencegah dampak penggunaan obat yang tidak tepat sehingga menjaga keselamatan pasien. Pada akhirnya, POR akan meningkatkan kepercayaan masyarakat (pasien) terhadap mutu pelayanan kesehatan.

2.3 Penggunaan Obat yang Tidak Rasional (Kementrian Kesehatan Republik

Indonesia, 2010) 2.3.1 Deskripsi

Penggunaan obat dikatakan tidak rasional jika kemungkinan dampak negatif yang diterima oleh pasien lebih besar dibanding manfaatnya. Dampak negatif dapat berupa :

a. Dampak klinis (misalnya terjadi efek samping dan resistensi kuman).

b. Dampak ekonomi (biaya tak terjangkau karena penggunaan obat yang tidak

rasional dan waktu perawatan yang lebih lama).

2.3.2 Kriteria Penggunaan Obat yang Tidak Rasional

Menurut Buku Materi Pelatihan Manajemen Kefarmasian di Puskesmas, suatu penggunaan obat dikatakan tidak rasional bila ditemukan salah satu dari empat kondisi peresepan di bawah ini, yaitu :

1. Peresepan yang Berlebih (over prescribing)

Pemberian obat yang sebenarnya tidak diperlukan untuk penyakit yang bersangkutan. Sebagai contoh, pemberian antibiotik pada ISPA non pneumonia (yang umumnya disebabkan oleh virus).

2. Peresepan yang Kurang (under prescribing)

Pemberian obat kurang dari yang seharusnya diperlukan, baik dalam hal dosis, jumlah maupun lama pemberian. Tidak diresepkannya obat yang diperlukan untuk penyakit yang diderita juga termasuk dalam kategori ini. Sebagai contoh pemberian antibiotik selama 3 hari untuk ISPA pneumonia yang seharusnya diberikan selama 5 hari, tidak memberikan oralit pada anak yang jelas menderita diare yang spesifik.

3. Peresepan yang Majemuk (multiple prescribing)

Pemberian beberapa obat untuk satu indikasi penyakit yang sama. Dalam kelompok ini juga termasuk pemberian lebih dari satu obat untuk penyakit yang diketahui dapat disembuhkan dengan satu jenis obat. Sebagai contoh, pemberian dua jenis antibiotik untuk satu indikasi penyakit yang sama.

4. Peresepan yang Salah (incorrect prescribing)

Dalam dokumen UNIVERSITAS INDONESIA (Halaman 47-121)

Dokumen terkait