BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.3. Otitis Media Supuratif Kronis
OMSK merupakan inflamasi kronis pada telinga tengah dan mukosa mastoid pada membran timpani yang tidak utuh (perforasi atau akibat timpanostomi) dan ditemukan adanya cairan telinga (Verhoeff, 2005). Perubahan inflamasi pada garis mukoperiosteal di celah telinga tengah dan terbentuk jaringan patologis yang ireversibel (Ibekwe, 2006). Otitis media supuratif kronik (OMSK) adalah radang kronis telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya sekret dari telinga (otorhea) lebih dari 3 bulan, baik terus menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin serous, mukus atau purulen (Amaleen, 2011).
Umumnya, pasien dengan perforasi membran timpani dengan keluhan telinga berair 6 minggu hingga 3 bulan digolongkan sebagai OMSK. Definisi menurut WHO yaitu pasien dengan keluhan otore 2 minggu, namun otolaringologis menggunakan durasi yang lebih lam, yaitu 3 bulan. Adanya perforasi membran timpani dengan telinga berair yang berasal dari telinga tengah
membedakan OMSK dengan jenis otitis media kronis lainnya. OMSK juga disebut otitis media kronis mukosal aktif, oto-mastoiditis kronis, dan timpanomastoiditis kronis. OMSK mungkin memiliki kolesteatoma dan komplikasi supuratif lainnya. (WHO, 2004).
2.3.2. Klasifikasi
Tabel 2.2. Klasifikasi Otitis Media Supuratif Kronis (Asroel, 2011) 1. Tubo timpanal Karakteristik perforasi pada pars tensa.
Penyakit tipe ini biasanya tidak berisiko komplikasi seperti sepsis intrakranial.
2. Atiko antral Tipe ini mengenai pars plasida dan karakteristik dengan pembentukan “ retraction pocket“, di mana terkumpul keratin untuk membentuk kolesteatoma. Kolesteatoma dibagi atas :
1. Kongenital 2. Didapat
2.3.3. Epidemiologi
Menurut Roland (1999) dalam Dewi (2013), pada survei yang dilakukan pada 7 propinsi di Indonesia pada tahun 1996 ditemukan prevalensi OMSK sebesar 3% dari penduduk Indonesia. Ini berarti bahwa dari 220 juta penduduk Indonesia, diperkirakan terdapat 6, 6 juta penderita OMSK. Di Indonesia menurut Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran, Departemen Kesehatan, tahun 1993-1996 prevalensi OMSK adalah 3, 1%-5, 20% populasi. Sedangkan usia terbanyak penderita infeksi telinga tengah adalah usia 7-18 tahun, dan penyakit telinga tengah terbanyak adalah OMSK. Penelitian yang dilakukan di RS St.Elisabeth pada tahun 1998, dari 135 penderita OMSK, 62,40% adalah kelompok umur 10-20 tahun.
Menurut WHO (2004), klasifikasi prevalensi OMSK: Tabel 2.3. Klasifikasi negara berdasarkan prevalensi OMSK
Sehingga, menurut WHO, Indonesia termasuk dalam klasifikasi prevalensi OMSK tinggi.
Sekitar 164 juta kasus penurunan pendengaran diakibatkan OMSK dan 90% kasus ada di negara berkembang. Pada tahun 1993, World Development Report memperkirakan sekitar 5.12 juta disability-adjusted life-years (DALYs) menderita akibat otitis media.were lost from otitis media, 91% berasal dari negara berkembang. Jumlah ini menurun padatahun 1996 menjadi 2.163 juta DALYs dengan 94% masih tetap berasal dari negara berkembang (WHO, 2004).
Semakin besar perforasi membran timpani, maka semakin berpotensi seseorang menderita OMSK. Beberapa studi memperkirakan insidensi OMSK tiap tahun mencapai 39 kasus per 100.000 orang pada anak dan dewasa yang berusia 15 tahun dan lebih muda. Di Inggris, 0,9% anak dan 0,5% dewasa mengalami OMSK. Di Israel, hanya 0.039% anak yang terkena OMSK (Akbaril, 2004).
2.3.4. Faktor Risiko
Faktor risiko yang diketahui mempengaruhi perkembangan dari otitis media antara lain infeksi saluran pernapasan atas akibat virus, fungsi imun yang tidak adekuat, disfungsi tuba eustakius, anatomi kraniofasial, perokok pasif, pekerja aktif siang hari, durasi menyusui yang tidak adekuat, alergi, dan gastroesophageal reflux disease (GERD) (Skoner, 2009).
Infeksi virus dan bakteri ditambah dengan faktor disfungsi tuba Eustakius, usia muda dan status imun yang tidak sempurna, alergi sistem pernapasan atas, faktor genetik, jenis kelamin laki-laki, makanan botol, jam aktivitas siang, dan perokok pasif juga merupakan faktor penyebab OMSK. Penggunaan dot dan posisi tidur juga mungkin berhubungan. Selain itu, onset awal otitis media mungkin juga berhubungan dengan diet ibu, penggunaan alkohol semasa hamil dan rendahnya antibodi pneumokokus pada darah tali pusar (WHO, 1996).
Fliss et al. (1991) dalam Verhoeff (2005) mengenali bahwa otitis media akut maupun yang berulang, riwayat orangtua mengalami otitis media kronis, dan suasana yang padat (keluarga dengan banyak anak, seringnya bekerja di siang hari) merupakan faktor risiko yang signifikan pada OMSK.
2.3.5. Patogenesis
OMSK merupakan infeksi bakteri piogenik yang menginfeksi telinga tengah. Streptococcus pneumonia (pneumococci) merupakan penyebab terbanyak pada berbagai kelompok usia (30% to 40%). Haemophilus influenzae menyebabkan sekitar 20% kasus namun lebih sering meningkat seiring penambahan usia. Jika eksudat purulen ini menumpuk di telinga tengah, gendang telinga dapat ruptur dan pus akan mengalir keluar (Rubin, 2014).
Gambar 2.5. OMSK. Eksudat purulen (tanda panah lurus) pada telinga tengah. Mukosa (tanda panah lengkung) menebal akibat inflamasi kronis dan granulasi (Rubin, 2014)
Otitis media biasanya disebabkan oleh infeksi virus yang selain menginfeksi sel epitel bersilia, juga memenuhi rongga udara dengan cairan. Pneumococci lalu semakin berkembang dengan adanya jaringan yang kaya nutrisi, kemudian dari infeksi sinus atau telinga tengah dapat menyebar ke selaput mening terdekat. Selain itu, virus yang menginfeksi sel epitel pernapasan di hidung dapat menyebabkan produksi mukus dan edema. Sel yang terinfeksi menghasilkan mediator inflamasi, seperti bradikinin, yang berperan dalam terlihatnya gejala common cold. Pada keadaan ini terjadi peningkatan mukus nasal dan obstruksi tuba Eustakius. Sehingga, terjadi stasis hasil sekresi tersebut yang dapat memicu infeksi bakteri sekunder dan dapat menyebabkan sinusitis bakteri dan otitis media (Rubin, 2014).
Infeksi asenden menuju endometrium, tuba fallopi dan ovarium dapat menyebakan oklusi tuba dan infertilitas. Klamidia juga dapat menginfeksi kelenjar Bartolini sehingga terjadi uretritis akut. Bayi yang lahir per vaginam dari ibu yang terinfeksi seperti ini dapat mengalami konjungtivitis, otitis media, dan pneumonia di kemudian hari. Pembesaran adenoid dapat menyebabkan obstruksi komplit atau
parsial pada tuba Eustakius, sehingga dapat menjadi otitis media. Infeksi masuk melalui antrum mastoid menuju sel mastoid. Ketika nasofaring ikut terinfeksi, mikroorganisme dapat mencapai telinga tengah melalui infeksi asenden ke tuba (Rubin, 2014).
2.3.6. Patofisiologi
Inflamasi nasal akibat serangan alergen mengakibatkan tanda dan gejala klasik RA dan disfungsi tuba Eustakius. Disfungsi tuba Eustakius menyebabkan peningkatan tekanan negatif pada telinga tengah dan ventilasi yang kurang. Keduanya baik ISPA maupun reaksi alergi nasal memicu inflamasi nasal, disfungsi tuba Eustakius, dan peningkatan protein transudat dan sekresi nasal yang dimodulasi bertahap oleh mediator inflamasi (Fireman, 1997). Obstruksi hidung dan infeksi, alergi, dan keduanya termasuk dalam penyebab otitis media. Pemicunya bisa karena tuba yang lunak dengan tekanan positif nasofaring, sekresi telinga tengah, atau dengan tekanan negatif nasofaring, seperti pipa yang dicegah terbuka dan akhirnya menjadi tersumbat (Fireman, 1997).
OMSK yang merupakan bagian dari otitis media dimulai dengan episode infeksi akut. Patofisiologi dimulai dengan iritasi dan inflamasi pada mukosa telinga tengah yang menghasilkan edema mukosa. Selanjutnya dapat berkembang menjadi ulkus mukosa dan kerusakan batas epitel hingga akhirnya terbentuk jaringan granulasi yang bisa menjadi polip (Roland, 2013).
2.3.7. Diagnosis a. Anamnesa
Anamnesa akurat tergantung pada daya ingat pasien, derajat penurunan pendengaran, dan pengaruhnya pada keadaan sekarang. Pada negara nerkembang, otore sering dianggap normal pada anak-anak.Di Malaysia, 42% anak dengan OMSK tidak mengeluhkan telinga berair sebelumnya. Di Afrika selatan, tak satupun orang dengan OMSK mengeluhkan gangguan. Riwayat penyakit diperlukan untuk mengetahui adanya gejala seperti nyeri telinga, cairan telinga, dan keluhan dan kelainan telinga lainnya. Riwayat adanya sekret telinga sebelumnya, khususnya ditambah dengan adanya udara dingin, nyeri kerongkongan, batuk, dan gejala infeksi
saluran napas atas lainnya dapat meningkatkan kecurigaan OMSK (WHO 2004).
Selain itu, manifestasi klinis dan laboratorium rinitis alergi berupa inflamasi jaringan lokal dan disfungsi organ pernapasan bagian atas merupakan manifestasi hipersensitifitas tipe I. Respon inflamasi diperantarai oleh ikatan antara antigen-IgE dengan sel mast dan basofil yang memicu pelepasan zat vasoaktif, enzimatik, dan mediator kemotaktik. Pengaktifan sel mast dan basofil memacu pelepasan mediator yang belum terbentuk sebelumnya (seperti histamin, chemotacting factor dan enzim) dan sintesa dan penghasilan mediator yang baru muncul (seperti prostaglandin, leukotrien, dan platelet activating factor). Sel mast dan basofil juga mampu mensintesa sitokin pro-inflamasi, faktor tumbuh dan regulasi yang berhubungan. Interaksi ini memicu respon bifasik: reaksi awal pada pembuluh darah, otot polos, dan kelenjar sekretori; dan reaksi lambat berupa edema mukosa dan influks sel inflamasi. Reaksi awal terjadi sesaat setelah pajanan antigen. Sedangkan reaksi lambat terjadi 2-4 jam setelah pajanan,maksimal pada 6-12 jam, dan biasanya selesai dalam 12-24 jam. Manifestasi klinis yang terlihat seperti: bersin, pruritus, hipersekresi mukus, hidung tersumbat, hiperresponsif jalan napas, dan adanya eosinofil nasal. Selain itu dapat ditemui alergen spesifik IgE, otitis media serosa, dan sinusitis (Shames, 1997).
Menurut Shenoi (2014), gejala klasik akibat keluarnya cairan dari telinga baik unilateral maupun bilateral yang tidak disertai nyeri berarti belum mengalami komplikasi. Jenis dan durasi keluarnya cairan dari telinga sering berhubungan dengan perubahan histopatologi pada telinga tengah dan mastoid dan berfungsi sebagai tanda yang berguna untuk mengukur keparahan penyakit secara klinis. Pada tipe tubotimpani, cairan hilang timbul dan biasanya mukoid atau mukopurulen, sering dipicu oleh infeksi saluran pernapasan atau melalui masuknya air melalui membaran yang mengalami perforasi sewaktu berenang. Biasanya cairannya tidak berbau. Sebaliknya pada tipe atikoantral, cairan biasanya sedikit, mungkin juga
banyak karena adanya infeksi aktif, sehingga cairan dan jarang sekali kering.
Gejala utama pada OMSK adalah cairan telinga yang purulen dan kronis yang berasal dari perforasi gendang telinga. Ketulian biasanya bersifat konduktif, dan gejalanya baik kuantitas maupun kualitasnya bergantung pada jenisnya, yaitu safe dan unsafe. OMSK safe cairannya bersifat mukoid tetapi ketika menjadi unsafe dapat berubah menjadi nanah yang kental (UOBabylon, 2014).
b. Otoskopi
Diagnosis OMSK adalah dengan memastikan adanya cairan yang keluar dari perforasi membran timpani. Hal ini memungkinkan dengan menghilangkan wax yang menyumbat cairan telinga, debris dan/atau massa pada kanalis auditori eksterna. Pemeriksaan membutuhkan cermin kepala, lampu kepala, otoskop atau otomikroskop, peralatan suction dan peralatan kecil lainnya.Tidak semua telinga berair disebut OMSK. Otitis media akut dan otitis eksterna akut juga bermanifestasi telinga yang nyeri dan berair. Namun, nyeri pada tragus dijumpai pada otitis eksterna, sedangkan nyeri mastoid dijumpai pada otitis media. Cairan pada otitis eksterna tidak dalam dan berbau busuk juga tidak dijumpai mukus, yang dapat diuji dengan cotton mop. Demam juga lebih tinggi dijumpai pada otitis media daripada otitis eksterna. OMSK menghasilkan cairan mukus dari telingan tanpa adanya demam, kecuali disertai dengan otitis eksterna atau infeksi sudah mencapai ekstrakranial atau intrakranial. Tanpa otoskopi pun OMSK bisa diperkirakan dengan adanya cairan telinga yang berlangsung lebih dari 2-3 bulan, sedangkan OMA dan otitis eksterna bisa sembuh dengan sendirinya (WHO, 2004).
c. Kultur Bakteri
Kulltur bakteri dilakukan karena 90-100% sekret yang kronis dari telinga disebabkan oleh bakteri, baik aerob maupun anaerob. Karena kebanyakan dengan pengobatan topikal sudah efektif dengan penggunaan antibiotik yang ditentukan secara empiris, biasanya pemeriksaan ini sudah jarang
dilakukan. Antibiotik yang digunakan biasanya antibiotik dengan spektrum luas (WHO, 2004).
Meskipun pengobatan dapat membasmi bakteri di telinga tengah, tapi hal ini tidak menjamin telinga berair tidak berulang atau pengobatan tuntas OMSK. Leiberman et al. (1992) dalam WHO (2004) melaporkan bahwa Pseudomonas aeruginosa dari telinga yang berair ditemukan sebelum pengobatan dan pada fase lanjut. Karena pengobatan topikal sering kali efektif dan jarang merugikan, kebanyakan OMSK akan diobati dengan antibiotik berspektrum luas berdasarkanempiris dan kultur dilakukan jika diduga adanya resistensi obat.
OMSK juga dapat dibedakan dengan OMA dari segi bakteri penyebab. Pada OMA, bakteri penyebabnya adalah Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae and Micrococcus catarrhalis. Bakteri tersebut merupakan patogen pada saluran napas yang berasal dari nasofaring menuju telinga tengah melalui tuba eustakius saat terjadi infeksi saluran pernapasan atas. Pada OMSK, bakteri penyebab dapat berupa bakteri aerob (seperti: Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli, S. aureus, Streptococcus pyogenes, Proteus mirabilis, Klebsiella species) atau anaerob (seperti: Bacteroides, Peptostreptococcus, Proprionibacterium) (WHO, 2004).
d. Histopatologi
OMSK muncul pada awal fase akut disertai dengan perubahan patologis pada mukosa dan tulang yang reversibel, yang berlanjut pada fase kronis yang lambat pada mukoperiosteal. Episode yang berulang pada otore dan perubahan mukosa mempunyai ciri osteogenesis, erosi tulang, osteitis pada tulang temporal dan tulang pendengaran. Kurangnya pendengaran akibat otitis media mempengaruhi fungsi intelektual, pada beberapa studi. Dampaknya dalam jangka waktu lama pada intelektual, linguistik, dan psikososial secara menyeluruh belum banyak diketahui.
OMSK menyebabkan tuli koduktif ringan sampai sedang mencapai 50% kasus. Hal ini dikarenakan adanya gangguan pada pertemuan antara
membran timpani dengan tulang pendengaran (tuli konduktif) atau kerusakan sel rambut akibat infeksi bakteri yang masuk ke telinga dalam (tuli sensorineural), atau keduanya (tuli campuran) (WHO, 2004).
e. Pencitraan
CT scan penting bagi pasien untuk menilai pasien yang tidak responsif terhadap pengobatan. Sedangkan MRI penting untuk mengetahui adanya komplikasi intratemporal atau intrakranial. Audiogram sebaiknya dilakukan sebelum operasi otologi apapun, kecuali kasus emergensi yang mengancam nyawa. Pemeriksaan lab biasanya dilakukan untuk menentukan terapi, namun hal ini pun dapat diabaikan (Roland, 2013). 2.3.8. Penanganan
Dua hal yang penting dalam pengobatan OMSK adalah membasmi kuman penyebab infeksi dan menutup perforasi membran timpani. Selain ditemui adanya bakteri di telinga tengah berhubungan dengan OMSK, perforasi membran timpani juga menyebabkan penurunan fungsi pendengaran dan invasi kuman yang menetap pada telinga tengah. OMSK yang berhubungan dengan penyakit mukosa difus yang sering dengan penyulit karena adanya dstruksi osteitis dan granulasi pada mastoid dan telinga tengah. Hal ini sering berhubungan dengan cairanyang purulen dan berbau busuk yang gagal diatas dengan antibiotik biasa (Motala, 2009).
a. Non Operatif
Menurut Ludman (1980) dalam WHO (2004), aural toiletkurang memiliki manfaat yang signifikan. Tidak ada konsensus yang berkaitan dengan manajemen medis OMSK. Namun, ada kesepakatan umum bahwa aural toilet harus menjadi bagian dari perawatan medis standar untuk OMSK.
Membersihkan telinga dapat mengurangi bagian yang terinfeksi dari telinga tengah dan bisa membantu penetrasi antimikroba topikal. Pada WHO (2004) juga terdapat penelitian oleh Cooke (1974) dan Rotimi (1990) yang membandingkan berbagai antibiotik oraldengan aural toilet.
dengan antibiotik(OR = 0,35, 95% CL =0,14, 0,87). Percobaanlain yang membandingkan klindamisin oral dengan aural toilet saja ditemukan otorheatingkatresolusinya93% dan29% masing-masing (WHO, 2004).
Umumnya irigasi telinga merupakan pengobatan medis standar pada OMSK. Dalam WHO (2004), beberapa larutan yang dapat digunakan antara lain: • Vinegar • Alkohol • Hidrogen peroksida • Povidon Iodin • Larutan salin
Larutan tersebut harus mendekati suhu tubuh agar tidak memicu vertigo.
Tabel 2.5. Pengobatan antibiotik topikal untuk OMSK (WHO, 2004).
1. Ophthalmic antibiotic drops containing buffered neutral solutions of gentamicin, tobramycin,
sulfisoxazole, chloramphenicol, sulfacetamide, tetracycline, polymyxin B, trimethoprim, norfloxacin,
ofloxacin, ciprofloxacin and erythromycin
2. Various steroid drops such as hydrocortisone, fluocinolone and triamcinolone
3. Powdered sulfanilamide 4. Powdered fungizone 5. Powdered sulfathiazole.
Kegagalan terapi antimikroba topikal hampir selalu kegagalan
penyampaian. Secara khusus, kegagalan penyampaian menggambarkan
ketidakmampuan antibiotik topikal yang tepat untuk mencapai lokasi tertentu infeksi dalam telinga tengah. Berbagai elemen dapat menghambat pengiriman obat, termasuk debris infeksius, jaringan granulasi, kolesteatoma, neoplasia,
menyeluruh untuk menilai obstruksi anatomi, termasuk pemeriksaan mikroskopis dan radiologis yang diperlukan. Selain itu, pemahaman yang jelas tentang konsentrasi yang sangat tinggi dari antibiotik dalam persiapan topikal harusdiingat (Roland, 2013).
Tabel 2.6. Pengobatan antibiotik parenteral untuk OMSK (WHO, 2004).
1. Penicillins: Carbenicillin, piperacillin, ticarcillin, mezlocillin, azlocillin, methicillin,
nafcillin, oxacillin, ampicillin, penicillin G
2. Cephalosporins: Cefuroxime, cefotaxime, cefoperazone, cefazolin,
Ceftazidime
3. Aminoglycosides: Gentamicin, tobramycin, amikacin
4. Macrolides: Clindamycin
5. Vancomycin
6. Chloramphenicol
7. Aztreonam
Tabel 2.7. Pengobatan antiseptik topikal untuk OMSK (WHO, 2004). Boric acid
Zinc peroxide powder Iodine powder
Dilute acetic acid drops, such as Domeboro solution or Vosol Alum acetate or Burow's solution
Spirit eardrops BPC containing industrial methylated spirit and water
b. Operatif
Mastoidektomidan / atautympanoplasti sangat sering diperlukan untuk menyembuhkan OMSK secara permanen. Prosedur ini sudah tersedia di pusat-pusat tersier dengan fasilitas departemen otologi yang merupakan layanan standar di semua negara. Mastoidektomi dilakukan dengan menghilangkan
sel-sel udara mastoid, granulasi dan debris menggunakan instrumen bedah mikro.
Tympanoplasti merupakan penutupan perforasi timpani dengan cangkok
jaringan lunak dengan atau tanpa rekonstruksi rantai tulang pendengaran
(WHO, 2004). 2.3.9. Prognosis
Menurut Baumann (2011) dalam penelitiannya, diperoleh hasil bahwa tidak ada perbedaan pada penilaian HR-QOL (Health-Related Quality Of Life) pasien OMSK mesotimpani dengan epitimpani. Meskipun begitu, tidak ada perburukan pada pasien dengan intervensi baik operasi bedah awal maupun lanjutan.
Menurut Roland (2013), OMSK sendiri bukanlah penyakit fatal. Pasien OMSK memiliki prognosis yang baik sehubungan dengan pengendalian infeksi.
Pemulihan terkait gangguan pendengaran bervariasi tergantung pada
penyebabnya. Gangguan pendengaran konduktif seringsebagian dapat dikoreksi
dengan operasi.
Sebagian besar morbiditas dari OMSK berasal dari terkait gangguan pendengaran konduktifdanstigmasosialcairanyang seringmengalir daritelinga yang terkena. Angka kematian dari OMSK muncul dari komplikasi intrakranial yang terkait. Bakteri yang diperoleh dari cairan serebrospinal dan spesimen nanah pasien dengan komplikasi intrakranial kebanyakan menunjukkan flora campuran (62,9%). Spesies Proteus paling sering ditemukan (34%) dan bakteri
anaerob sebanyak 21,3% dari spesimen. Abses mastoid terjadi di lebih dari separuh pasien dalam kelompok dengan komplikasi. Abses otak (57,4%)
merupakan komplikasi intrakranial palingsering (Rupa, 1991). 2.3.10. Komplikasi
OMSK dapat menjadi mastoiditis kronis karena adanya penyebaran yeng menjalar. Erosi pada dinding telingan tengah da kavum mastoid yang jarang juga dapat menyebabkan nervus fasial, bulbus jugularis, sinus lateralis, labirin mebranosa, dandura lobus temporal terpapar. Hal ini memicu komplikasi seperti
paralisis nervus fasialis, trombosis sinus lateralis, labirinitis, meningitis dan abses otak (WHO, 2004).
Komplikasi dari otitis media kronis akan minimal jika diberikan penanganan dengan antibiotik. Namun, akan ada akibat yang fatal jika infeksi terus berlanjut mengenai tulang mastoid sehingga terjadi meningitis, serta abses epidural, subdural, dan serebral (Rubin, 2014). Menurut Elango (1991) dalam WHO (2004), komplikasi mastoiditis kronis juga dapat terjadi secara luas.
Menurut Mawson (1979) dan Shenoi (1987) dalam WHO (2004), erosi pada dinding dari kavum telinga tengah yang jarang, dapat menjadi pemicu terpaparnya nervus fasialis, bulbus jugularis, sinus lateralis, labirin membranosa, dan dura lobus temporal. Selanjutnya, dapat terjadi paralisis nervus fasialis, trombosis, labirinitis, meningitis, dan abses otak. Selain itu, dapat terjadi ketulian. Ketulian dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu tuli kondukktif dan tuli sensorineural. Saluran mekanosensitif yang tersumbat di stereosilia pada sel rambut dapat menyebabkan sel berdegenerasi, sehingga terjadi tuli sensorineural dan abormalitas fungsi vestibula. Kerusakan sel rambut luar akibat pajanan terus-menerus juga dapat menyebabkan hal ini.