• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Otitis Media Supuratif Kronis dengan Rinitis Alergi di RSUP H. Adam Malik Medan di Tahun 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Otitis Media Supuratif Kronis dengan Rinitis Alergi di RSUP H. Adam Malik Medan di Tahun 2014"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Grace Roseliny P

Tempat / Tanggal Lahir : Rantauprapat/ 25 Januari 1994

Agama : Kristen

Alamat : Jl. Jamin Ginting, Gg. Purba, No. 1A, Padang Bulan,

Medan

Riwayat Pendidikan : 1. TK Methodist 2 Rantauprapat (1998 - 1999)

2. SD Methodist 2 Rantauprapat (1999 – 2002)

3. SDN 112142 Rantau Utara (2002 – 2005)

4. SMPN 1 Rantau Utara (2005 – 2008)

5. SMAN 3 Rantau Utara (2008-2011)

6. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (2011-sekarang)

(2)

2. 3. Riwayat Organisasi : 1. -

(3)

Lampiran 2

INFORMED CONSENT

(Penjelasan untuk Calon Peserta Penelitian)

Saya yang bernama Grace Roseliny Pangaribuan, mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, bersama dengan ini memohon kesediaan Bapak/ Ibu/ Saudara/i untuk berpartisipasi sebagai subjek penelitian saya yang berjudul:

Hubungan Otitis Media Supuratif Kronis dengan Rinitis Alergi di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2014

Apakah tujuan penelitian ini?

Saya mengikutsertakan Anda dalam penelitian saya yang berjudul: Hubungan otitis media supuratif kronis dengan rinitis alergi, untuk mengetahui seberapa besar pengaruh rinitis alergi sebagai faktor risiko otitis media supuratif kronis. Apa saja yang akan Anda lakukan dalam penelitian ini?

Pertama, saya akan menanyakan identitas Anda yaitu: nama, alamat, jenis kelamin, umur, pekerjaan, dan pendidikan Anda. Jika Anda pria atau wanita dengan umur ≥ 18 tahun dan bisa bekerja sama, maka saya dapat mengikutsertakan Anda dalam penelitian. Kemudian, saya akan menanyakan kepada dokter apakah Anda mengalami otitis media supuratif kronis (congek). Lalu saya akan meminta Anda mengisi kuesioner yang berisi beberapa pertanyaan.

Bagaimana jika tidak ingin berpartisipasi?

Partisipasi Anda pada penelitian ini bersifat sukarela untuk membantu saya mendapatkan gelar dokter. Jika Anda tidak bersedia, tidak akan terjadi perubahan mutu pelayanan dari dokter.

Bagaimana kerahasiaan hasil dari penelitian ini?

(4)

Lampiran 3

SURAT PERSETUJUAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, Nama lengkap :

Tanggal lahir :

Alamat :

Menyatakan bersedia dan tidak berkeberatan menjadi subjek dalam penelitian yang dilakukan oleh,

Nama Mahasiswa : Grace Roseliny P

NIM : 110100110

Universitas : Universitas Sumatera Utara Fakultas : Kedokteran

Setelah mendapatkan penjelasan penelitian ini secara lengkap dan memahaminya, maka dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan saya menandatangani dan menyatakan bersedia berpartisipasi pada penelitian ini. Bila saya ingin mendapatkan penjelasan lebih lanjut, saya akan mendapatkannya dari peneliti.

Jika Anda bersedia, mohon tanda tangan di bawah ini:

( )

(5)

Lampiran 4

Scoring for Allergic Rhinitis Nama pasien :

Usia :

Jenis kelamin : Profesi : Status OMSK :

1. Dalam 12 bulan terakhir, ketika sedang tidak pilek dan flu, adakah Anda mengalami:

A. Bersin? Ya ( ) Tidak ( ) B. Hidung berair? Ya ( ) Tidak ( )

C. HIdung tersumbat? Ya ( ) Tidak ( )

2. Dalam 12 bulan terakhir, apakah gejala hidung tersebut disertai mata yang gatal/berair?

Ya ( ) Tidak ( )

4. Apakah faktor pemicu yang merangsang atau memperparah gejala hidung tersebut?

a. Debu rumah ( )

b. Serbuk sari bunga ( ) c. Hewan (kucing, anjing) ( )

d. Lainnya (jelaskan): ____________________ 5. Menurut Anda, apakah Anda alergi?

Ya ( ) Tidak ( )

6. Apakah Anda sudah diperiksa dengan tes untuk alergi (tes cungkil kulit atau

IgE)? Ya ( ) Tidak ( )

Jika ya, apakah hasilnya positif? Ya ( ) Tidak ( )

7.Pernahkah dokter mendiagnosa Anda dengan penyakit alergi? (asma, eksim, rhinitis alergi)?

Ya ( ) Tidak ( )

(6)

9. Adakah anggota keluarga yang menderita:

Ayah Ibu Saudara

Kandung Asma

a. Ya b. Tidak Eksim a. Ya b. Tidak Rinitis alergi a. Ya

(7)

Lampiran 5

Interpretasi Scoring for Allergic Rhinitis

Items /discriminators

Score (points) awarded by experts

Cumulative score

Blocked, runny nose, sneezing in past year

(nasal symptoms)

1 per symptom 3

Itchy eyes 2 5

Triggers Pollens, house dust

mites, dust Epithelia (cat, dog)

2

1 7*

Perceived allergic status 2 9

Previous positive allergic

tests 2 11

Previous medical diagnosis

of allergy 1 13

Family history of allergy 2 14

TOTAL *Maximum 2.

RA (+) jika skor ≥ 6 dan RA (-) jika skor < 6.

(8)

Lampiran 6

DATA INDUK

Nama JK U Status OMSK Gejala hidung Mata gatal/ berair Faktor pemicu/ alergen Merasa alergi Pernah Tes alergi Pernah didiagnosa alergi Riwayat keluarga alergi Total SFAR Status Rinitis alergi

P G L 54 Positif 3 2 2 0 0 1 2 10 Positif

A R L 35 Positif 2 0 2 0 2 0 0 6 Positif

R P P 18 Positif 2 0 2 0 2 1 0 7 Positif

E T P 26 Positif 2 0 2 2 0 1 2 9 Positif

S S L 36 Positif 3 0 2 0 0 1 0 6 Positif

B K L 61 Positif 2 0 0 0 0 0 0 2 Negatif

S G L 54 Positif 3 0 2 0 0 1 2 8 Positif

W L 25 Positif 3 0 2 2 0 0 2 9 Positif

S S L 42 Positif 0 2 0 0 0 0 0 2 Negatif

P H L 56 Positif 1 2 2 2 0 0 0 7 Positif

E S P 60 Positif 0 0 0 0 0 0 0 0 Negatif

H S L 22 Positif 3 0 2 0 0 1 0 6 Positif

D T P 25 Positif 0 0 2 2 2 1 0 7 Positif

M L 19 Positif 2 2 2 0 2 0 2 10 Positif

A D L 26 Positif 2 0 2 2 0 1 2 9 Positif

V S L 47 Positif 3 2 0 0 0 0 2 7 Positif

S H L 68 Positif 1 0 0 0 0 0 2 3 Negatif

K S L 74 Positif 3 0 2 2 0 1 2 10 Positif

N P 44 Negatif 1 0 0 0 0 0 0 1 Negatif

U S L 23 Negatif 0 0 0 0 0 0 0 0 Negatif

M P 34 Negatif 3 0 2 2 0 1 2 10 Positif

R P 23 Negatif 0 2 1 0 0 0 2 5 Negatif

J P 43 Negatif 3 2 2 2 0 1 2 12 Positif

M S L 39 Negatif 3 0 0 0 0 0 2 5 Negatif

S P 59 Negatif 3 0 0 2 2 1 2 10 Positif

B P 27 Negatif 3 0 0 2 0 0 2 7 Positif

A H L 59 Negatif 3 0 2 0 0 0 0 5 Negatif

M L

M P 32 Negatif 0 2 2 0 0 0 0 4 Negatif

S G L 55 Negatif 2 2 2 0 0 0 0 6 Positif

P P 21 Negatif 3 0 0 2 0 0 0 5 Negatif

M S L 51 Negatif 0 0 0 0 0 0 0 0 Negatif

S L 41 Negatif 0 0 2 0 0 1 0 3 Negatif

E T L 57 Negatif 0 0 0 0 0 0 0 0 Negatif

S S L 60 Negatif 1 0 2 0 0 0 0 3 Negatif

N P 51 Negatif 2 0 0 0 0 0 0 2 Negatif

(9)

Lampiran 7

OUTPUT DATA HASIL PENELITIAN

A. Frekuensi Data Penelitian

Kel. Usia Kasus

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid ≥18 sd. <28 7 19.4 38.9 38.9

≥28 sd. <38 2 5.6 11.1 50.0 ≥38 sd. <48 2 5.6 11.1 61.1

≥48 7 19.4 38.9 100.0

Total 18 50.0 100.0

Missing System 18 50.0

Total 36 100.0

Kel. Usia Kontrol

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid ≥18 sd. <28 4 11.1 22.2 22.2

≥28 sd. <38 3 8.3 16.7 38.9 ≥38 sd. <48 4 11.1 22.2 61.1

≥48 7 19.4 38.9 100.0

Total 18 50.0 100.0

Missing System 18 50.0

(10)

Jenis Kelamin Kasus OMSK

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 18 50.0 50.0 50.0

L 14 38.9 38.9 88.9

P 4 11.1 11.1 100.0

Total 36 100.0 100.0

Jenis Kelamin Kontrol

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 18 50.0 50.0 50.0

L 9 25.0 25.0 75.0

P 9 25.0 25.0 100.0

Total 36 100.0 100.0

Hasil SFAR

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid positif 19 52.8 52.8 52.8

negatif 17 47.2 47.2 100.0

Total 36 100.0 100.0

status OMSK

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid positif 18 50.0 50.0 50.0

negatif 18 50.0 50.0 100.0

(11)

B. Tabulasi Silang Data Penelitian

Kel. Usia Kasus * Kel. Usia Kontrol Crosstabulation

Kel. Usia Kontrol

Total 18-28 29-39 40-50 >50

Kel. Usia Kasus

18-28 Count 3 1 1 2 7

% within Kel. Usia Kontrol 75.0% 33.3% 25.0% 28.6% 38.9%

29-39 Count 1 0 1 0 2

% within Kel. Usia Kontrol 25.0% .0% 25.0% .0% 11.1%

40-50 Count 0 0 0 2 2

% within Kel. Usia Kontrol .0% .0% .0% 28.6% 11.1%

>50 Count 0 2 2 3 7

% within Kel. Usia Kontrol .0% 66.7% 50.0% 42.9% 38.9%

Total Count 4 3 4 7 18

% within Kel. Usia Kontrol 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided) Pearson

Chi-Square 9.704

a

9 .375

Likelihood Ratio 12.281 9 .198

Linear-by-Linear

Association 2.520 1 .112

N of Valid Cases 18

(12)

Jenis Kelamin Kasus OMSK* Jenis Kelamin Kontrol Crosstabulation

JK Kontrol

Total

L P

JK Kasus Count 18 0 0 18

% within JK Kontrol 100.0% .0% .0% 50.0%

L Count 0 7 7 14

% within JK Kontrol .0% 77.8% 77.8% 38.9%

P Count 0 2 2 4

% within JK Kontrol .0% 22.2% 22.2% 11.1%

Total Count 18 9 9 36

% within JK Kontrol 50.0% 25.0% 25.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 36.000a 4 .000

Likelihood Ratio 49.907 4 .000

N of Valid Cases 36

a. 7 cells (77,8%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1,00.

Hasil SFAR * status OMSK Crosstabulation

status OMSK

Total positif negatif

Hasil SFAR positif Count 14 5 19

% within status OMSK 77.8% 27.8% 52.8%

negatif Count 4 13 17

% within status OMSK 22.2% 72.2% 47.2%

Total Count 18 18 36

(13)

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 9.028a 1 .003

Continuity Correctionb 7.133 1 .008

Likelihood Ratio 9.456 1 .002

Fisher's Exact Test .007 .003

Linear-by-Linear Association 8.777 1 .003

N of Valid Casesb 36

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8,50. b. Computed only for a 2x2 table

C. Regresi Logistik

B Sig. Exp(B)

95,0% C.I.for EXP(B) Lower Upper

Step 1a bersin 1.614 .182 5.023 .470 53.709

Hidungberair -.863 .463 .422 .042 4.227

Hidungtersumbat -.437 .659 .646 .092 4.514

matagatalberair -.098 .848 .907 .334 2.462

alergen .816 .120 2.262 .809 6.331

merasaalergi -.442 .404 .643 .227 1.816

tesalergipositif 1.008 .166 2.739 .658 11.409

didiagnosaalergi .066 .945 1.068 .163 7.018

riwayatkeluargaalergi .469 .374 1.599 .569 4.492

(14)

B Sig. Exp(B)

95,0% C.I.for EXP(B) Lower Upper

Step 1a statusRA 2.208 .004 9.100 1.998 41.445

(15)

Lampiran 8

(16)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, I. Lee, WC. 1999. Otoneurosyphilis masquerading as neurofibromatosis type II. ORL J Otolarngol 61(1):33-40.

Aino, Ruohola. et all. 2006. Microbiology of Acute Otitis media in children with tympanostomy tubes: prevalences of bacteria and viruses. Clinical Infectious

Diseases 43 (1):1417-1422.

Akbaril, Hedaiat., Hosseini, R. F., Miri, Sara., Amin., Reza. 2004. The

Prevalence of Allergic Rhinitis among 11-15 Years-old Children in Shiraz.

Department of Immunology, Bu-Ali Research Center, Mashhad University of Mashhad, Iran. IJI VOL. 1 NO. 2: 1-5.

Akindale, Oluwatoyin. Nwawolo, CC. Okeowo PA. 1998. Tympanometric screening for otitis media with effusion (OME) in Nigerian Children aged 2-7

years. Nigerian Quarterly Journal of Hospital Medicine 8(1):44-46.

Al Anazy, Fatma Homoud. 2011. The Role of Nasal Allergy in Otitis Media with Effusion. Associate Professor ENT Department Medical College - King Saud

University Riyadh, Saudi Arabia. Bahrain Medical Bulletin, Vol. 33, No. 1, March 2011

Amaleen, S. ‎2011. Available from:

General and disease-specific quality of life in patients with chronic repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21423/4/Chapter%20II.pdf.

[Accessed 29 May 2014]

Annesi-Maesano, I. Didier, A. Klossek, M. Chanal, I. Moreau, D.Bousquet, Jean.

2002. The score for allergic rhinitis (SFAR): a simple and valid assessment

method in population studies. Allergy 2002: 57: 107–114. ISSN 0105-4538

Asroel, Harry. 2011. Otitis Media. Departemen THT-KL FK USU / RSUP H. ADAM MALIK. Medan.

Bakhshaee, Mehdi. Rajati, Mohsen. Fereidouni, Mohammad. Khadivi, Ehsan. Varasteh, Abdolreza. 2009. Allergic rhinitis and chronic suppurative otitis media. Eur Arch Otorhinolaryngol.

(17)

suppurative otitis media - a prospective study. Health and Quality of Life

Outcomes 9:48 Available from: [Accessed 24 June 2014]

Berman, Stephen. Otitis media in developing countries. 1995. Pediatric 96(1 pt 1):126-131.

Bluestone, Charles D. Klein, Jerome O. Klein. 2007. Chapter 3: Physiology,

Pathophysiology, and Pathogenesis. OTITIS MEDIA IN INFANTS AND

CHILDREN. 4th Ed. BC Decker Inc.

Bourdin. D, Gras. I, Vachier. P, Chanez. 2009. Upper airway 1: Allergic rhinitis and asthma: united disease through epithelial cells. Thorax, 64:999-1004.

Bousquet, J et al. 2005. Characteristics of intermittent and persistent allergic rhinitis: DREAMS study group. Clin Exp Allergy 35:728–732

Bousquet, Jean et al. 2005. Severity and impairment of allergic rhinitis in patients consulting in primary care. Journal Allergy Clinical Immunology Volume

117, Number 1:159

Bousquet, P.J et al. 2007. Visual analog scales can assess the severity of rhinitis graded according to ARIA guidelines. Allergy 62: 367–372

Chandra, Prasad Kishore. Suja, Sreedharan. Yeshwanth, Chakravarthy. Chandra, Prasad Sampath. 2007. Tuberculosis in the Head and Neck: experience in India. Journal Laryngol Otolaryngology. 121(10): 979-985

Clare, Bardley-Stevenson. O‟Neill, Paddy. Roberts, Tony. 2007. Otitis media in children (acute). Clin Evid (Online) 2007: 0301. Available from:

[Accessed

06 June 2014]

Demoly, Pascal et al. 2013. Assessment of disease control in allergic rhinitis. Clinical and Translational Allergy 3:7

Dewi, NP. 2013. Gambaran Pasien Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) di RSUP H. Adam Malik Medan. Available from:

jurnal.usu.ac.id/index.php/ejurnalfk/article/download/1347/714. [Accessed

(18)

Dhingra, PL. Dhingra, Shruti. 2004. Disorders of middle ear (Chapter 11).In Elsevier (Ed), Diseases of Ear, Nose and Throat 3rd edn. New Delhi:

Gopsons 80-86.

Dorland, Kamus Saku Kedokteran. 1996. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Edisi 25:948.

Ellis, Harold. 2006. Part 6: The Central Nervous System - The special senses, Clinical Anatomy 11th ed. Blackwel Publishing: 383-387.

Fireman, Philip. 1997. Otitis Media and its Relation to Allergic Rhinitis. Allergy and Asthma Proc. May-June 1997, Vol. 18, NO.3

Ganong. 2014. Ganong's Review of Medical Physiology 23rd. McGraw-Hill Company. Available from:

[Accessed 29 May 2014]

Gladstone. Jackler. Varav. 1995. Tympanic membrane wound healing: an overview. Otolaryngol Clin North Am 28: 913-932

Greisner WA III, Settipane RJ, Settipane GA. 1998. Natural history of hay fever: a 23-year follow-up of college students. Allergy Asthma Proc. 19:271-275.

Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9801740. [Accessed 24 June 2014]

Han, Doo Hee. Rhee, Chae-Seo. 2012. Comorbidities of Allergic Rhinitis, Allergic Diseases. Highlights in the Clinic, Mechanisms and Treatment,

(Ed.), ISBN: 978-953-51-0227-4

Ibekwe, Titus S. 2006. Otitis media - focusing on the developing world. Available from:

Ibekwe, Titus Sunday. Nwaorgu, Onyekwere George. Onakoya PA. Ibekwe, Paul Adekunle. 2007. Paediatric Otorhinolaryngology emergencies: a tropical country‟s experience. Emerg Med Australas,9(1):76-77.

(19)

JOHANSSON. HOURIHANE JO’B. J, BOUSQUET. S, BRUIJNZEEL KOOMENDREBORG. T, HAATELA. 2001. A revised nomenclature for allergy. Allergy 56:813–824.

Johansson. T, Bieber. R, Dahl. et al. 2004. Revised nomenclature for allergy for global use: Report of the Nomenclature Review Committee of the World

Allergy Organization. J Allergy Clin Immunol 113(5): 832-836

Kim. A, Kaplan. 2008. Treatment and management of allergic rhinitis [feature]. Clinical Focus, 1-4.

Kreiner-Møller, E. Chawes, B. L. K. Caye-Thomasen, P. Bønnelykke, K. Bisgaard, H. 2012. Allergic rhinitis is associated with otitis media with effusion: a birth cohort study. Clinical & Experimental Allergy, 42, 1615

1620.

Lee. Mace. 2009. An approach to allergic rhinitis. Allergy Rounds.

Lukehart, Sheila A. 2005. Syphilis. Chapter 153. In Harrison‟s PRINCIPLES OF INTERNAL MEDICINE 6th edn.Vol 1. USA. McGraw-Hill Companies 977 985.

Malavige, G.N. 2002. Allergic rhinitis and Chronic otitis media. Available from:

[Accessed 30 May 2014]

Mastin. 2003. Recognizing and treating non-infectious rhinitis. J Am Acad Nurse Pract 15:398-409.

Matsumoto. 2007.Molecular biology of tuberculosis. Kekkaku. 82(12): 933-940. Mawson, SR. Disease of Middle Ear. Disease of the ear. 3rd ed. Great Britain: Alden and Mombrax ltd.1974

Motala, C. D Hawarden, D. 2009. GUIDELINE: Diagnostic testing in allergy.

Vol. 95, No. 3 South Africa Medical Journal

Munir, D. 2012. Rinitis alergi terhadap terhadap gangguan fungsi tuba Eustachius Universitas Sumatera Utara. Available from:

(20)

Munir, Delfitri. 2013. Rinitis Alergi. Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Novina, N. 2011. Available from:eprints.undip.ac.id/29135/2/Bab_1.pdf. [Accessed 03 May 2014]

Pelikan. 2006. CHRONIC OTITIS MEDIA (SECRETORY) AND NASAL ALLERGY. SCRIPTA MEDICA (BRNO) – 79 (4): 177–198

Peter, Small et all. 2007. The Canadian Rhinitis Working Group: Rhinitis: A practical and comprehensive approach to assessment and therapy. J

Otolaryngol 36(Suppl 1):S5-S27.

Plaut, Marshall. Valentine, Martin D. 2005. CLINICAL PRACTICE: Allergic Rhinitis. The New England Journal of Medicine 353:1934-44.

Philip, Fireman, 1997. Otitis media and eustachian tube dysfunction: connection Piau, J.P. et al. 2010. Assessing allergic rhinitis in developing countries. The International Journal of Tuberculosis and Lung Disease 14(4):506–512 Quiller, David M. Feller, David B. 2006. Diagnosing Rhinitis: Allergic vs. Nonallergic. University of Florida Family Medicine Residency Program, Gainesville, Florida. American Family Physician. Volume 73, Number 9

May 1, 2006.

Rask, Andersen H. Dan, Bagger-Sjoback. 2008. Chapter 225 Anatomy and Embryology of external and middle ear. In Kerr AG (ed.), Scott-Brown’s

otolaryngology 7th

edn. Vol 3. London: Arnold, 2008.

Restuti. 2006. Hubungan Alergi dengan Otitis Media Supuratif Kronik. Abstrak Pertemuan Ilmiah Tahunan Otologi I. Jakarta: 31

to allergic rhinitis. The Journal of Allergy and Clinical Immunology. 1997

Feb;99(2):S787-97.

Rianto, Djoko. 1998. Effectiveness of ciprofl oxacin ear drops vs chloramphenicol ear drops for treating active benign type chronic otitis media. Master of

(21)

Roland, Peter S. 2013. Chronic Suppurative Otitis Media : Prognosis.

Available from:

overview#aw2aab6b2b6aa. [Accessed 29 May 2014]

Rubin, Emanuel. Reisner, Howard M. 2014. Essentials of Rubin’s Pathology ed 6th. Lippincott Williams & Wilkins. Page 670, 678-679

Rupa. Raman. 1991. Chronic Suppurative Otitis Media: Complicated

versus Uncomplicated Disease. Vol. 111, No. 3. Pages 530-535. Available

from:

[Accessed 24 June 2014]

SAMJ. 1996. Volume 86 No. 10. Available from:

Sethi, Ashwani. Sethi, Deepika. JC, Passey. Srivastav, N. 2006. Coexistent acute pyogenic and tubercular petrous apicitis: a diagnostic dilemma. The Journal

of Laryngology & Otology, 120, pp 875-878. Available from: doi:10.1017/S0022215106000843. [Accessed 29 May 2014]

Shames, Richard S. Adelman, Daniel C. 1997. Chapter 3: Dissorders of The Immune Systems. a Lange medical book: Pathophysiology of Disesase 2nd

Edition. Page 29-48. ISBN 0-8385-7678-8

Sheikh, Javed et al. 2014. Allergic Rhinitis. Available from:

May 2014]

Shenoi, P.M. 2010. Chapter 10: Management of chronic suppurative otitis media. Available from:

(22)

Silbernagl, Stefan., Lang, Florian. 2000. Color Atlas of Pathophysiology. Thieme. Stuttgart · New York. Pg 304

Sicherer, Scott H. et al. 2012. Allergy Testing in Childhood: Using Allergen Specific IgE Tests. Pediatrics 2012;129;193

Skoner, Amanda R. Skoner. Kelleen R. B.S, Skoner. Skoner, David P. 2009. Allergic rhinitis, histamine, and otitis media. Allergy and Asthma

Proceedings. September–October Vol. 30, No. 5

Skoner, David P. 2000. Complications of allergic rhinitis. Department of Allergy and Immunology, Children’s Hospital of Pittsburgh. JOURNAL ALLERGY CLINICAL IMMUNOLOGY VOLUME 105, NUMBER 6, PART 2.

Small, Peter.,Kim, Harold. 2011. Allergic Rhinitis. Allergy, Asthma & Clinical Immunology 7(Suppl 1):S3. Available from:

http://www.aacijournal.com/content/7/S1/S3. [Accessed 24 June 2014] Spector, Sheldon L. 1997. Overview of comorbid associations of allergic Rhinitis. University of California at Los Angeles School of Medicine.

JOURNAL ALLERGY CLINICAL IMMUNOLOGY VOLUME 99, NUMBER 2.

Spector, Sheldon L et al. 2003. Symptom severity assessment of allergic rhinitis: part 1 VOLUME 91

Standring, Susan. 2008. Head and Neck – External and Midlle Ear. Gray's Anatomy, 40th Edition. The Anatomical Basis of Clinical Practice. IV:36.

Susilo, Deddy Eko. 2010. Alergi sebagai Faktor Risiko terhadap Kejadian Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) di RSUP H.Adam Malik Medan. Available

from: repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21128/5/Chapter%20I.pdf

[Accessed 03 May 2014]

Terrehorst et al. 2002. Prevalence and severity of allergic rhinitis in house dust mite-allergic patients with bronchial asthmaor atopic dermatitis. Clin Exp;

32:1160-1165

(23)

University of Babylon.2014. Classification Of Otitis media. Available from:

[Accessed

29 May 2014]

Utami, Tutie Ferika. Sudarman, Kartono Rianto, Bambang U. D. Christanto, Anton. 2010. Rinitis Alergi sebagai Faktor Risiko Otitis Media Supuratif Kronis. Departemen Telinga Hidung dan Tenggorok, Fakultas Kedokteran

Universitas Gadjah Mada/RS Dr. Sardjito, Yogyakarta, Indonesia. Verhoeff, Monique. 2005. Chronic suppurative otitis media: A review. International Journal of Pediatric Otorhinolaryngology 70, 1-12

Wallace, Dana V et al. 2008. The diagnosis and management of rhinitis: An updated practice parameter. J ALLERGY CLINICAL IMMUNOLOGY

Wisnu, Fahlia

[Accessed 29 May 2014]

World Health Organization, 1996. PREVENTION OF HEARING IMPAIRMENT FROM CHRONIC OTITIS MEDIA. Report of a WHO/CIBA Foundation

Workshop, The CIBA Foundation.

World Health Organization, 2004. Chronic Supppurative Otitis Media, Burden o Illness and Management Options. Child and Adolescent Health and

Development Prevention of Blindness and Deafness.

Zhang et al. (2014) Risk Factors for Chronic and Recurrent Otitis Media–A Meta-Analysis.

(24)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian

3.2. Definisi Operasional

Tabel 3.1. Variabel dan Pengukuran

Variabel Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala Ukur Umur kuesioner anamnesis kelompok

usia dalam tahun

ordinal

Jenis Kelamin kuesioner anamnesis laki-laki dan perempuan

nominal

OMSK rekam

medis anamnesis dan otoskopi OMSK dan non-OMSK nominal

RA Scoring For

Allergic

Rhinitis

anamnesis RA (+) dan RA (-)

nominal

1. Umur

- Definisi operasional : lama waktu hidup atau ada (sejak dilahirkan atau diadakan)

- Alat ukur : kuesioner - Cara ukur : anamnesis

- Hasil ukur : kelompok usia dalam tahun - Skala ukur : ordinal

Otitis Media Supuratif Kronis

(25)

2. Jenis Kelamin

- Definisi operasional : perbedaan antara perempuan dengan laki-laki secara biologis sejak seseorang lahir

- Alat ukur : kuesioner - Cara ukur : anamnesis

- Hasil ukur : laki-laki dan perempuan - Skala ukur : nominal

3. OMSK

- Definisi operasional : radang yang menetap pada telinga tengah dan kavum mastoid dengan keluhan sekret telinga berulang atau menetap, pada pemeriksaan otoskopi didapat cairan/ tanpa cairan pada liang telinga, membran timpani perforasi

- Alat ukur : kuesioner

- Cara ukur : anamnesis dan otoskopi - Hasil ukur : OMSK dan non-OMSK - Skala ukur : nominal

4. Rinitis Alergi

- Definisi operasional : inflamasi hidung yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat

- Alat ukur : Scoring For Allergic Rhinitis, terdiri dari 9 pertanyaan yang ditanyakan dan diisi oleh peneliti.

- Cara ukur : anamnesis

- Hasil ukur : RA (+) jika skor ≥ 6 dan RA (-) jika skor < 6 SFAR sudah diakui, baik skor SFAR ⩾ 7 maupun SFAR ⩾ 6 sama-sama memberikan hasil yang baik dalamhal sensitivitas dan spesifisitas sebanding dengan rinitis alergi yang didiagnosa dokter (Piau, 2010).

(26)

Tabel 3.2. Interpretasi Scoring For Allergic Rhinitis. SFAR telah divalidasi oleh Annesi-Maesano (2002) dan telah disesuaikan untuk negara berkembang oleh Piau (2010). Tiga jenis validasi SFAR telah dilakukan: validasi diagnosis, validasi internal, dan penerimaan populasi (Annesi-Maesano, 2002).

3.3. Hipotesis

(27)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian case-control yang bertujuan menganilisis hubungan antara OMSK dengan rinitis alergi yang merupakan faktor risiko OMSK.

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSUP H. Adam Malik, Medan, Sumatera Utara, mulai bulan Oktober sampai dengan November 2014. RSUP H. Adam Malik merupakan rumah sakit tipe A yang menerima rujukan dari Puskesmas atau tempat layanan kesehatan lainnya di Sumatera Utara.

4.3. Populasi dan Sampel 4.3.1. Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah semua pasien yang berobat rawat jalan ke Departermen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan pada bulan Oktober – November tahun 2014.

4.3.2. Sampel

(28)

Adapun kriteria inklusi adalah sebagai berikut: 1. Kasus

- Pria atau wanita umur ≥ 18 tahun dan kooperatif

- Pasien OMSK rawat jalan yang sudah ditegakkan menderita OMSK - Pasien yang bersedia mengikuti penelitian

2. Kontrol

- Pria atau wanita umur ≥ 18 tahun dan kooperatif - Pasien non-OMSK

- Pasien yang bersedia mengikuti penelitian

Sedangkan kriteria eksklusi adalah pasien yang tidak bersedia mengikuti penelitian.

Subyek yang telah memenuhi kriteria inklusi menandatangani informed consent dan dilakukan anamnesis SFAR.

4.4. Metode Pengumpulan Data

Pengambilan data dilakukan dengan anamnesis pada pasien OMSK (kasus) dan kontrol. Selanjutnya, dilakukan anamnesis SFAR.

4.5. Metode Analisis Data

Data yang sudah dikumpulkan kemudian diolah dengan komputer menggunakan program SPSS. Data akan dianalisa secara analitik.

Data disajikan dalam bentuk tabulasi dan deskripsi statistik. Analisis statistik yang digunakan adalah:

1) Uji chi-square (X2), untuk menilai ada tidaknya perbedaan yang bermakna antara kasus OMSK dengan kontrol

(29)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian

5.1.1 Deskripsi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSUP H. Adam Malik, Medan, Sumatera Utara. Waktu pengambilan data dimulai pada bulan Oktober sampai dengan November 2014. Populasi pada penelitian ini adalah semua pasien yang berobat rawat jalan ke Departermen THT-KL. Data yang diambil meliputi jawaban identitas diri, status OMSK, dan jawaban Scoring For Allergic Rhinitis.

Sampel dalam penelitian adalah pria atau wanita umur ≥ 18 tahun dan kooperatif yang dibagi menjadi menjadi kasus dan kontrol setelah ditegakkan oleh dokter. Peneliti mengambil sampel dari keseluruhan populasi sebanyak 36 orang diantaranya terdapat 18 orang yang memenuhi kriteria inklusi sampel dan 18 orang memenuhi kriteria inklusi kontrol. Pemilihan sampel dilakukan secara acak sampai melewati jumlah sampel minimal.

5.1.2 Karakteristik Sampel

Tabel 5.1 Distribusi subyek penelitian menurut umur

OMSK Kontrol Nilai p

(Uji X2)

Frequency Percent Frequency Percent

≥18 sd. <28 7 19.4 4 11.1

0.375

≥28 sd. <38 2 5.6 3 8.3

≥38 sd. <48 2 5.6 4 11.1

≥48 7 19.4 7 19.4

Total 18 50.0 18 50.0

(30)

bahwa jumlah orang terbanyak berkunjung pada rentang usia ≥18 sd. <28 tahun (7 orang) dan ≥48 tahun (7 orang), sedangkan pada kontrol terlihat bahwa jumlah orang terbanyak berkunjung pada rentang usia ≥48 tahun (7 orang). Dari keseluruhan kunjungan, jumlah orang terbanyak berkunjung pada rentang usia

[image:30.595.110.516.258.343.2]

≥48 tahun (14 orang).

Tabel 5.2 Distribusi subyek penelitian menurut jenis kelamin

OMSK Kontrol

Nilai p (Uji X2)

Frequency Percent Frequency Percent

L 14 38.9 9 25.0 0.000

P 4 11.1 9 25.0

Total 18 50.0 18 50.0

Berdasarkan tabel 5.2, dari hasil uji X2 dapat digambarkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara jenis kelamin subyek pada kelompok kasus dan kelompok kontrol dengan nilai p=0.000 (p<0.05). Dari keseluruhan sampel, laki-laki cenderung lebih sering berobat ke poli THT dibandingkan perempuan dengan perbandingan 23:13. Laki-laki diperoleh sebanyak 14 orang pada kasus dan 9 orang pada kontrol.

Tabel 5.3 Hasil pengukuran SFAR pada kasus OMSK dan kontrol

OMSK Kontrol Nilai p (Uji X2)

Hasil SFAR

positif 14 (77.8%) 5 (27.8%)

0.003

negatif 4 (22.2%) 13 (72.2%)

Total 18 (100.0%) 18 (100.0%)

[image:30.595.114.511.527.635.2]
(31)
[image:31.595.128.496.155.372.2]

5.1.3 Analisis Regresi Logistik

Tabel 5.4 Hubungan antara poin SFAR dengan OMSK

Poin SFAR

B P OR

IK 95%

Lower Upper

Bersin 1.614 0.182 5.023 0.470 53.709

Hidung berair -.863 0.463 0.422 0.042 4.227

Hidung tersumbat -.437 0.659 0.646 0.092 4.514

Mata gatal dan berair -.098 0.848 0.907 0.334 2.462

Alergen 0.816 0.120 2.262 0.809 6.331

Merasa alergi -.442 0.404 0.643 0.227 1.816

Tes alergi positif 1.008 0.166 2.739 0.658 11.409

Didiagnosa alergi 0.066 0.945 1.068 0.163 7.018

Riwayat keluarga alergi 0.469 0.374 1.599 0.569 4.492

Variabel tergantung dari penelitian ini adalah OMSK, sedangkan variabel bebas adalah poin SFAR. Dari tabel 5.4, diperoleh empat variabel yang berhubungan bermakna dengan OMSK, yaitu: bersin, paparan alergen, tes alergi positif, dan riwayat keluarga alergi.

- Peluang terjadinya OMSK 5 kali lebih besar pada pasien dengan riwayat bersin dibandingkan pada pasien dengan tanpa riwayat bersin

- Peluang terjadinya OMSK 2,3 kali lebih besar pada pasien yang kambuh dengan adanya alergen dibandingkan dengan yang tanpa alergen.

- Peluang terjadinya OMSK 2,7 kali lebih besar pada pasien yang sudah pernah tes alergi positif dibandingkan dengan pasien yang belum pernah tes alergi positif.

(32)
[image:32.595.156.470.132.210.2]

Tabel 5.5 Hubungan antara rinitis alergi dengan OMSK

B p OR

IK 95%

Lower Upper

Rinitis

Alergi 2.208 0.004 9.100 1.998 41.445

Variabel tergantung dari penelitian ini adalah OMSK, sedangkan variabel bebas adalah rinitis alergi. Berdasarkan tabel 5.5, diperoleh hubungan yang bermakna. Peluang terjadinya OMSK 9.1 kali lebih besar pada pasien dengan rinitis alergi dibandingkan dengan pasien tanpa rinitis alergi (IK 95%: 1.998-41.445).

5.2 Pembahasan

Berdasarkan tabel 5.1, dari hasil uji X2 dapat digambarkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara umur subyek pada kelompok kasus dan kelompok kontrol dengan nilai p=0.375 (p>0.05). Hal ini sesuai dengan penelitian Utami (2010) bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara umur subyek pada kelompok kasus dan kelompok kontrol dengan nilai p = 0.102 (p>0.05). Menurut Bernstein et al. (1985) di dalam jurnal Spector (1997), prevalensi alergi hidung pada anak dengan OME bervariasi antara 35% sampai 50%, tergantung pada usia anak tersebut, sehingga tidak terdapat dominasi usia. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna dalam hal umur karena rinitis alergi merupakan penyakit yang kambuh tergantung dari jenis dan kapan alergen pemicu muncul, sehingga tidak tergantung usia pasien.

(33)

Berdasarkan tabel 5.3, dari hasil uji X2 dapat digambarkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara hasil pengukuran SFAR subyek pada kelompok kasus dan kelompok kontrol dengan nilai p=0,003 (p<0.05). Hal ini menunjukkan adanya hubungan antara OMSK dengan rinitis alergi. Menurut Tomonaga et al. (1988) dalam Skoner (2000), prevalensi yang tinggi pada OME kronis pada pasien dengan rinitis alergi menunjukkan bahwa alergi yang berhubungan dengan IgE turut berperan dalam patogenesis penyakit telinga tengah. Pada anak dengan alergi, 21% mengalami OME, di mana 50% anak dengan OME kronis mengalami riniti alergi. Otitis media efusi dapat berlanjut menjadi OMA dan jika sudah perforasi akan menyebabkan OMSK.

Dari tabel 5.4, diperoleh empat variabel yang berhubungan bermakna dengan OMSK, yaitu: bersin, paparan alergen, tes alergi positif, dan riwayat keluarga alergi. Keempatnya merupakan variabel yang berperan pada rinitis alergi. Adanya hubungan antara alergi dengan otitis media juga didukung oleh penelitian Al Anazy (2011) yang menunjukkan adanya hubungan antara alergi dengan otitis media efusi. Diperoleh RAST yang positif pada 31 (81.6%) kelompok OME (kasus), tujuh diantara kelompok kontrol hasilnya positif 23%). Riwayat rinitis alergi ditemukan positif baik pada kasus maupun kontrol.

(34)

penelitian Bakhshaee (2009), meskipun rinitis alergi lebih banyak ditemukan pada kelompok kasus (OMSK) dibanding dengan kelompok kontrol, namun perbedaannya tidak signifikan secara statistik (p = 0.241, OR = 1.28, IK = 0.69– 2.36). Hal ini mungkin karena sampel yang kurang banyak, atau cara menegakkan diagnosa yang kurang akurat.

Menurut Draper (1967), Hurst (2000), Hurst & Venge (2002) dalam Bluestone & Klein (2007), faktor alergi diperkirakan sebagai salah satu etiologi dari otitis media, karena otitis media lebih sering terjadi pada orang yang alergi. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Pelikan (2006) menunjukkan adanya faktor alergi pada hidung pada pasien dengan otitis media kronis. Reaksi hipersensitifitas pada pada mukosa hidung memicu respon primer pada hidung, lalu memicu respon sekunder pada telinga tengah, atau dapat langsung memberikan respon pada telinga tengah tanpa adanya respon secara klinis pada hidung.

(35)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

1. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara usia subyek pada kelompok kasus dan kelompok kontrol dengan nilai p=0.375 (p>0.05).

2. Terdapat perbedaan yang bermakna antara jenis kelamin subyek pada kelompok kasus dan kelompok kontrol dengan nilai p=0.000 (p<0.05). Laki-laki lebih banyak menderita OMSK dibandingkan dengan perempuan.

3. Terdapat perbedaan yang bermakna antara hasil pengukuran SFAR subyek pada kelompok kasus dan kelompok kontrol dengan nilai p=0.003 (p<0.05). 4. Peluang terjadinya OMSK 5 kali lebih besar pada pasien dengan riwayat

bersin dibandingkan pada pasien dengan tanpa riwayat bersin

5. Peluang terjadinya OMSK 2,3 kali lebih besar pada pasien yang kambuh dengan adanya alergen dibandingkan dengan yang tanpa alergen.

6. Peluang terjadinya OMSK 2,7 kali lebih besar pada pasien yang sudah pernah tes alergi positif dibandingkan dengan pasien yang belum pernah tes alergi positif.

7. Peluang terjadinya OMSK 1,6 kali lebih besar pada pasien dengan riwayat keluarga alergi dibandingkan pada pasien dengan tanpa riwayat keluarga alergi.

8. Diperoleh hubungan yang bermakna rinitis alergi dengan OMSK. Peluang terjadinya OMSK 9.1 kali lebih besar pada pasien dengan rinitis alergi dibandingkan dengan pasien tanpa rinitis alergi (IK 95%: 1.998-41.445).

6.2. Saran

1. Petugas Kesehatan

(36)

2. Masyarakat

Bagi penderita dengan riwayat bersin berulang yang kambuh dengan adanya pemicu alergen, pernah tes alergi positif serta ada riwayat keluarga menderita alergi agar lebih waspada terhadap gangguan telinga, yaitu OMSK.

3. Penelitian selanjutnya

(37)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Telinga

Perkembangan telinga dimulai pada minggu ke-3 kehidupan intra-uteri dan berakhir pada dewasa. Prosesnya mencakup perkembangan bagian dalam, tengah, dan luar telinga yang kompleks. Telinga tengah terdiri atas kavum telinga tengah, osikel, additus, resesus antrum yang menghubungkan kavum telinga tengah dengan kavum mastoid, kompartemen superior atik dengan tegmentum timpanikum pada atapnya. Tuba eustakius menhubungkan telinga tengah dengan nasofaring. Fungsi telinga tengah mencakup transformasi, transmisi, dan amplifikasi suara dalam proses mendengar. Fungsi ini mrnurun pada otitis media (Rask, 2008).

[image:37.595.152.436.416.629.2]

2.1.1. Telinga Bagian Luar

Gambar 2.1. Gambaran Umum Telinga (Ellis, 2006)

(38)

meluas ke dalam sampai ke membran timpani. Panjangnya sekitar 1,5 inchi (37 mm), dan memiliki bidang unik berbentuk S yang mengarah ke medial atas dan ke depan, kemudian ke medial belakang dan ke medial depan dan bawah. Membran timpani, atau gendang telinga, memisahkan telinga tengah dari meatus auditori eksterna. Membran timpani terdiri dari lapisan kulit luar, bersambung dengan kulit pada meatus auditori eksterna yang berupa lapisan mukoperiosteum dari kavum timpani. Bentuknya oval di bagian luar dan sedikit cekung ke luar, dan tembus pandang sehinga memungkinkan pada pemeriksaan untuk melihat dasar maleus dan bagian dari inkus . Bagian yang lebih besar dikenal sebagai pars tensa. Di atas proses lateral malleus ada area segitiga kecil di mana membran tipis dan longgar yang disebut pars flaccida (Ellis, 2006).

2.1.2. Telinga tengah

Telinga tengah, atau kavum timpani, adalah rongga yang menyerupai celah sempit di bagian petrosa tulang temporal yang berisi tiga tulang pendengaran. Dinding lateral dibentuk terutama oleh membran timpani, yang memisahkannya dari meatus auditori eksternal, dan di bagian atasnya adalah bagian skuamosa tulang temporal. Bagian atas dari kavum timpani dikenal sebagai resesus epitimpani; pada bagian ini terdapat inkus dan kepala maleus. Dinding medial, yang memisahkan kavum dari telinga interna terlihat cochleae fenestra ( jendela bulat ), ditutupi oleh membran timpani sekunder membran; vestibule fenestra (jendela oval), ditempati oleh dasar dari stapes yaitu promontorium. Di bagian anterior, kavum berhubungan dengan faring melalui pharyngotympanic atau tuba Eustakius. Di bagian posterior, kavum

berhubungan dengan mastoid atau antrum timpani dan sel-sel udara mastoid. Antrum mastoid adalah rongga kecil di bagian posterior tulang temporal, terhubung ke reses epitympanic dari telinga tengah melalui aditus. Tuba Eustakius memiliki panjang sekitar 1.5 inchi (37mm) dengan

(39)

mukosanya tipis pada baguan yang keras, tetapi pada bagian kartilago banyak mengandung kelenjar mukus, dan pada bagian orifisium faring terdapat banyak jaringan limfoid yang disebut tubal tonsil, yang bisa membengkak bila terjadi infeksi (Ellis, 2006).

(40)
[image:40.595.171.486.129.291.2]

Gambar 2.2. Labirin Membranosa (Ellis, 2006)

Gambar 2.3. Membran Timpani Dilihat dengan Auroskop (Ellis, 2006) 2.1.3. Telinga dalam

[image:40.595.145.479.338.477.2]
(41)
[image:41.595.153.488.107.452.2]

G

Gambar 2.4. Vaskularisasi dan Persarafan Telinga (Standring, 2008)

(42)

V.Labirintin yang diteruskan ke sinus petrosus inferior atau sinus sigmoideus. Vena-vena kecil melewati akuaduktus vestibularis dan kohlearis ke sinus petrosus superior dan inferior. N.Vestibulokohlearis (N.akustikus) yang dibentuk oleh bagian kohlear dan vestibular, didalam meatus akustikus internus bersatu pada sisi lateral akar N.Fasialis dan masuk batang otak antara pons dan medula. Sel-sel sensoris vestibularis dipersarafi oleh N.Kohlearis dengan ganglion vestibularis (scarpa) terletak didasar dari meatus akustikus internus (Ahmad, 1999).

2.2. Otitis Media

Otitis media merupakan peradangan pada telinga tengah. Menurut GG (2008) dalam Ibekwe (2006), otitis media dapat digolongkan berdasarkan:

a. Durasi – otitis media akut dan otitis media kronis b. Jenis cairan telinga – supuratif dan non-supuratif c. Otitis media dengan efusi dan aero-otitis media

d. Organisme penyebab – otitis media bakterial dan otitis media karena organisme spesifik, seperti: otitis media tuberkulosis dan sifilis.

Beberapa jenisnya akan dibahas seperti berikut: a. Otitis Media Akut

OMA merupakan infeksi akut pada mukosa telinga tengah, juga termasuk sel udara mastoid. OMA kebanyakan terjadi pada anak-anak (Berman, 1995; Dhingra, 2004; Clare, 2007). Tampilan klinis mencakup gejala lokal dan gejala sistemik. Pada anak dapat ditemui demam dengan suhu tinggi mencapai 41-42 C, tidak mau makan, tangisan yang tidak berhenti, dan mudah terusik (Ibekwe, 2007; Aino, 2006)

b. Otitis Media Efusi

(43)

c. Otitis Media Spesifik

Otitis media tuberkulosa memang tidak umum. Tetapi, jumlahnya semakin meningkat (Matsumoto, 2007). Ciri-cirinya adalah adanya cairan telinga tanpa nyeri telinga dan adanya multi-perforasi membran timpani yang dapat mengenai semua usia terutama anak-anak dan dewasa muda (Sethi, 2006; Chandra 2007). Otitis media sifilis disebabkan oleh spiroseta yang menginfeksi koklear dan kanalis semisirkularis. Dijumpai adanya tuli sensorineural dan vertigo (I, 1999). Diagnosis ditegakkan melalui pemeriksaan cairan telinga pada mikroskop lapangan gelap (Lukehart, 2005).

[image:43.595.114.518.363.547.2]

d. Otitis Media Kronis

Tabel 2.1. Klasifikasi Otitis Media Kronis menurut Browning (1977) (Ibekwe, 2006)

Faktor predisposisi kronisitas otitis media diduga karena:

(44)

auditorius eksterna atau dari luar lebih leluasa masuk ke dalam telinga tengah menyebabkan infeksi kronik mukosa telinga tengah (Mawson, 1974).

3. Pseudomonas aeruginusa dan Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang tersering diisolasi pada OMSKB, sebagian besar telah resisten terhadap antibiotika yang lazim digunakan. Ketidaktepatan atau terapi yang tidak adekuat menyebabkan kronisitas infeksi (Rianto, 1998).

4. Faktor konstitusi, alergi merupakan salah satu faktor konstitusi yang dapat menyebabkan kronisitas. Pada keadaan alergi ditemukan perubahan berupa bertambahnya sel goblet dan berkurangnya sel kolumner bersilia pada mukosa telinga tengah dan tuba auditoria sehingga produksi cairan mukoid bertambah dan efisiensi silia berkurang (Gladstone, 1995). Penyakit alergi adalah suatu penyimpangan reaksi tubuh terhadap paparan bahan asing yang menimbulkan gejala pada orang yang berbakat atopi sedangkan pada kebanyakan orang tidak menimbulkan reaksi apapun (Restuti, 2006).

2.3. Otitis Media Supuratif Kronis 2.3.1. Definisi

OMSK merupakan inflamasi kronis pada telinga tengah dan mukosa mastoid pada membran timpani yang tidak utuh (perforasi atau akibat timpanostomi) dan ditemukan adanya cairan telinga (Verhoeff, 2005). Perubahan inflamasi pada garis mukoperiosteal di celah telinga tengah dan terbentuk jaringan patologis yang ireversibel (Ibekwe, 2006). Otitis media supuratif kronik (OMSK) adalah radang kronis telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya sekret dari telinga (otorhea) lebih dari 3 bulan, baik terus menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin serous, mukus atau purulen (Amaleen, ‎2011).

(45)

membedakan OMSK dengan jenis otitis media kronis lainnya. OMSK juga disebut otitis media kronis mukosal aktif, oto-mastoiditis kronis, dan timpanomastoiditis kronis. OMSK mungkin memiliki kolesteatoma dan komplikasi supuratif lainnya. (WHO, 2004).

2.3.2. Klasifikasi

Tabel 2.2. Klasifikasi Otitis Media Supuratif Kronis (Asroel, 2011) 1. Tubo timpanal Karakteristik perforasi pada pars tensa.

Penyakit tipe ini biasanya tidak berisiko komplikasi seperti sepsis intrakranial.

2. Atiko antral Tipe ini mengenai pars plasida dan karakteristik dengan pembentukan “ retraction pocket“, di mana terkumpul keratin untuk membentuk kolesteatoma. Kolesteatoma dibagi atas :

1. Kongenital 2. Didapat

2.3.3. Epidemiologi

(46)
[image:46.595.109.507.153.290.2]

Menurut WHO (2004), klasifikasi prevalensi OMSK: Tabel 2.3. Klasifikasi negara berdasarkan prevalensi OMSK

Sehingga, menurut WHO, Indonesia termasuk dalam klasifikasi prevalensi OMSK tinggi.

Sekitar 164 juta kasus penurunan pendengaran diakibatkan OMSK dan 90% kasus ada di negara berkembang. Pada tahun 1993, World Development Report memperkirakan sekitar 5.12 juta disability-adjusted life-years (DALYs) menderita akibat otitis media.were lost from otitis media, 91% berasal dari negara berkembang. Jumlah ini menurun padatahun 1996 menjadi 2.163 juta DALYs dengan 94% masih tetap berasal dari negara berkembang (WHO, 2004).

Semakin besar perforasi membran timpani, maka semakin berpotensi seseorang menderita OMSK. Beberapa studi memperkirakan insidensi OMSK tiap tahun mencapai 39 kasus per 100.000 orang pada anak dan dewasa yang berusia 15 tahun dan lebih muda. Di Inggris, 0,9% anak dan 0,5% dewasa mengalami OMSK. Di Israel, hanya 0.039% anak yang terkena OMSK (Akbaril, 2004).

2.3.4. Faktor Risiko

Faktor risiko yang diketahui mempengaruhi perkembangan dari otitis media antara lain infeksi saluran pernapasan atas akibat virus, fungsi imun yang tidak adekuat, disfungsi tuba eustakius, anatomi kraniofasial, perokok pasif, pekerja aktif siang hari, durasi menyusui yang tidak adekuat, alergi, dan gastroesophageal reflux disease (GERD) (Skoner, 2009).

(47)

Infeksi virus dan bakteri ditambah dengan faktor disfungsi tuba Eustakius, usia muda dan status imun yang tidak sempurna, alergi sistem pernapasan atas, faktor genetik, jenis kelamin laki-laki, makanan botol, jam aktivitas siang, dan perokok pasif juga merupakan faktor penyebab OMSK. Penggunaan dot dan posisi tidur juga mungkin berhubungan. Selain itu, onset awal otitis media mungkin juga berhubungan dengan diet ibu, penggunaan alkohol semasa hamil dan rendahnya antibodi pneumokokus pada darah tali pusar (WHO, 1996).

Fliss et al. (1991) dalam Verhoeff (2005) mengenali bahwa otitis media akut maupun yang berulang, riwayat orangtua mengalami otitis media kronis, dan suasana yang padat (keluarga dengan banyak anak, seringnya bekerja di siang hari) merupakan faktor risiko yang signifikan pada OMSK.

2.3.5. Patogenesis

(48)

Gambar 2.5. OMSK. Eksudat purulen (tanda panah lurus) pada telinga tengah. Mukosa (tanda panah lengkung) menebal akibat inflamasi kronis dan granulasi (Rubin, 2014)

Otitis media biasanya disebabkan oleh infeksi virus yang selain menginfeksi sel epitel bersilia, juga memenuhi rongga udara dengan cairan. Pneumococci lalu semakin berkembang dengan adanya jaringan yang kaya nutrisi,

kemudian dari infeksi sinus atau telinga tengah dapat menyebar ke selaput mening terdekat. Selain itu, virus yang menginfeksi sel epitel pernapasan di hidung dapat menyebabkan produksi mukus dan edema. Sel yang terinfeksi menghasilkan mediator inflamasi, seperti bradikinin, yang berperan dalam terlihatnya gejala common cold. Pada keadaan ini terjadi peningkatan mukus nasal dan obstruksi

tuba Eustakius. Sehingga, terjadi stasis hasil sekresi tersebut yang dapat memicu infeksi bakteri sekunder dan dapat menyebabkan sinusitis bakteri dan otitis media (Rubin, 2014).

[image:48.595.150.310.111.347.2]
(49)

parsial pada tuba Eustakius, sehingga dapat menjadi otitis media. Infeksi masuk melalui antrum mastoid menuju sel mastoid. Ketika nasofaring ikut terinfeksi, mikroorganisme dapat mencapai telinga tengah melalui infeksi asenden ke tuba (Rubin, 2014).

2.3.6. Patofisiologi

Inflamasi nasal akibat serangan alergen mengakibatkan tanda dan gejala klasik RA dan disfungsi tuba Eustakius. Disfungsi tuba Eustakius menyebabkan peningkatan tekanan negatif pada telinga tengah dan ventilasi yang kurang. Keduanya baik ISPA maupun reaksi alergi nasal memicu inflamasi nasal, disfungsi tuba Eustakius, dan peningkatan protein transudat dan sekresi nasal yang dimodulasi bertahap oleh mediator inflamasi (Fireman, 1997). Obstruksi hidung dan infeksi, alergi, dan keduanya termasuk dalam penyebab otitis media. Pemicunya bisa karena tuba yang lunak dengan tekanan positif nasofaring, sekresi telinga tengah, atau dengan tekanan negatif nasofaring, seperti pipa yang dicegah terbuka dan akhirnya menjadi tersumbat (Fireman, 1997).

OMSK yang merupakan bagian dari otitis media dimulai dengan episode infeksi akut. Patofisiologi dimulai dengan iritasi dan inflamasi pada mukosa telinga tengah yang menghasilkan edema mukosa. Selanjutnya dapat berkembang menjadi ulkus mukosa dan kerusakan batas epitel hingga akhirnya terbentuk jaringan granulasi yang bisa menjadi polip (Roland, 2013).

2.3.7. Diagnosis a. Anamnesa

(50)

saluran napas atas lainnya dapat meningkatkan kecurigaan OMSK (WHO 2004).

Selain itu, manifestasi klinis dan laboratorium rinitis alergi berupa inflamasi jaringan lokal dan disfungsi organ pernapasan bagian atas merupakan manifestasi hipersensitifitas tipe I. Respon inflamasi diperantarai oleh ikatan antara antigen-IgE dengan sel mast dan basofil yang memicu pelepasan zat vasoaktif, enzimatik, dan mediator kemotaktik. Pengaktifan sel mast dan basofil memacu pelepasan mediator yang belum terbentuk sebelumnya (seperti histamin, chemotacting factor dan enzim) dan sintesa dan penghasilan mediator yang baru muncul (seperti prostaglandin, leukotrien, dan platelet activating factor). Sel mast dan basofil juga mampu mensintesa sitokin pro-inflamasi, faktor tumbuh dan regulasi yang berhubungan. Interaksi ini memicu respon bifasik: reaksi awal pada pembuluh darah, otot polos, dan kelenjar sekretori; dan reaksi lambat berupa edema mukosa dan influks sel inflamasi. Reaksi awal terjadi sesaat setelah pajanan antigen. Sedangkan reaksi lambat terjadi 2-4 jam setelah pajanan,maksimal pada 6-12 jam, dan biasanya selesai dalam 12-24 jam. Manifestasi klinis yang terlihat seperti: bersin, pruritus, hipersekresi mukus, hidung tersumbat, hiperresponsif jalan napas, dan adanya eosinofil nasal. Selain itu dapat ditemui alergen spesifik IgE, otitis media serosa, dan sinusitis (Shames, 1997).

(51)

banyak karena adanya infeksi aktif, sehingga cairan dan jarang sekali kering.

Gejala utama pada OMSK adalah cairan telinga yang purulen dan kronis yang berasal dari perforasi gendang telinga. Ketulian biasanya bersifat konduktif, dan gejalanya baik kuantitas maupun kualitasnya bergantung pada jenisnya, yaitu safe dan unsafe. OMSK safe cairannya bersifat mukoid tetapi ketika menjadi unsafe dapat berubah menjadi nanah yang kental (UOBabylon, 2014).

b. Otoskopi

Diagnosis OMSK adalah dengan memastikan adanya cairan yang keluar dari perforasi membran timpani. Hal ini memungkinkan dengan menghilangkan wax yang menyumbat cairan telinga, debris dan/atau massa pada kanalis auditori eksterna. Pemeriksaan membutuhkan cermin kepala, lampu kepala, otoskop atau otomikroskop, peralatan suction dan peralatan kecil lainnya.Tidak semua telinga berair disebut OMSK. Otitis media akut dan otitis eksterna akut juga bermanifestasi telinga yang nyeri dan berair. Namun, nyeri pada tragus dijumpai pada otitis eksterna, sedangkan nyeri mastoid dijumpai pada otitis media. Cairan pada otitis eksterna tidak dalam dan berbau busuk juga tidak dijumpai mukus, yang dapat diuji dengan cotton mop. Demam juga lebih tinggi dijumpai pada otitis media daripada otitis eksterna. OMSK menghasilkan cairan mukus dari telingan tanpa adanya demam, kecuali disertai dengan otitis eksterna atau infeksi sudah mencapai ekstrakranial atau intrakranial. Tanpa otoskopi pun OMSK bisa diperkirakan dengan adanya cairan telinga yang berlangsung lebih dari 2-3 bulan, sedangkan OMA dan otitis eksterna bisa sembuh dengan sendirinya (WHO, 2004).

c. Kultur Bakteri

(52)

dilakukan. Antibiotik yang digunakan biasanya antibiotik dengan spektrum luas (WHO, 2004).

Meskipun pengobatan dapat membasmi bakteri di telinga tengah, tapi hal ini tidak menjamin telinga berair tidak berulang atau pengobatan tuntas OMSK. Leiberman et al. (1992) dalam WHO (2004) melaporkan bahwa Pseudomonas aeruginosa dari telinga yang berair ditemukan sebelum

pengobatan dan pada fase lanjut. Karena pengobatan topikal sering kali efektif dan jarang merugikan, kebanyakan OMSK akan diobati dengan antibiotik berspektrum luas berdasarkanempiris dan kultur dilakukan jika diduga adanya resistensi obat.

OMSK juga dapat dibedakan dengan OMA dari segi bakteri penyebab. Pada OMA, bakteri penyebabnya adalah Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae and Micrococcus

catarrhalis. Bakteri tersebut merupakan patogen pada saluran napas yang

berasal dari nasofaring menuju telinga tengah melalui tuba eustakius saat terjadi infeksi saluran pernapasan atas. Pada OMSK, bakteri penyebab dapat berupa bakteri aerob (seperti: Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli, S. aureus, Streptococcus pyogenes, Proteus mirabilis, Klebsiella

species) atau anaerob (seperti: Bacteroides, Peptostreptococcus, Proprionibacterium) (WHO, 2004).

d. Histopatologi

OMSK muncul pada awal fase akut disertai dengan perubahan patologis pada mukosa dan tulang yang reversibel, yang berlanjut pada fase kronis yang lambat pada mukoperiosteal. Episode yang berulang pada otore dan perubahan mukosa mempunyai ciri osteogenesis, erosi tulang, osteitis pada tulang temporal dan tulang pendengaran. Kurangnya pendengaran akibat otitis media mempengaruhi fungsi intelektual, pada beberapa studi. Dampaknya dalam jangka waktu lama pada intelektual, linguistik, dan psikososial secara menyeluruh belum banyak diketahui.

(53)

membran timpani dengan tulang pendengaran (tuli konduktif) atau kerusakan sel rambut akibat infeksi bakteri yang masuk ke telinga dalam (tuli sensorineural), atau keduanya (tuli campuran) (WHO, 2004).

e. Pencitraan

CT scan penting bagi pasien untuk menilai pasien yang tidak responsif terhadap pengobatan. Sedangkan MRI penting untuk mengetahui adanya komplikasi intratemporal atau intrakranial. Audiogram sebaiknya dilakukan sebelum operasi otologi apapun, kecuali kasus emergensi yang mengancam nyawa. Pemeriksaan lab biasanya dilakukan untuk menentukan terapi, namun hal ini pun dapat diabaikan (Roland, 2013). 2.3.8. Penanganan

Dua hal yang penting dalam pengobatan OMSK adalah membasmi kuman penyebab infeksi dan menutup perforasi membran timpani. Selain ditemui adanya bakteri di telinga tengah berhubungan dengan OMSK, perforasi membran timpani juga menyebabkan penurunan fungsi pendengaran dan invasi kuman yang menetap pada telinga tengah. OMSK yang berhubungan dengan penyakit mukosa difus yang sering dengan penyulit karena adanya dstruksi osteitis dan granulasi pada mastoid dan telinga tengah. Hal ini sering berhubungan dengan cairanyang purulen dan berbau busuk yang gagal diatas dengan antibiotik biasa (Motala, 2009).

a. Non Operatif

Menurut Ludman (1980) dalam WHO (2004), aural toiletkurang memiliki manfaat yang signifikan. Tidak ada konsensus yang berkaitan dengan

manajemen medis OMSK. Namun, ada kesepakatan umum bahwa aural toilet harus menjadi bagian dari perawatan medis standar untuk OMSK.

Membersihkan telinga dapat mengurangi bagian yang terinfeksi dari

telinga tengah dan bisa membantu penetrasi antimikroba topikal. Pada

WHO (2004) juga terdapat penelitian oleh Cooke (1974) dan Rotimi (1990) yang membandingkan berbagai antibiotik oraldengan aural toilet.

(54)

dengan antibiotik(OR = 0,35, 95% CL =0,14, 0,87). Percobaanlain yang membandingkan klindamisin oral dengan aural toilet saja ditemukan otorheatingkatresolusinya93% dan29% masing-masing (WHO, 2004).

Umumnya irigasi telinga merupakan pengobatan medis standar pada OMSK. Dalam WHO (2004), beberapa larutan yang dapat digunakan antara lain:

• Vinegar • Alkohol

• Hidrogen peroksida • Povidon Iodin • Larutan salin

[image:54.595.109.517.384.597.2]

Larutan tersebut harus mendekati suhu tubuh agar tidak memicu vertigo.

Tabel 2.5. Pengobatan antibiotik topikal untuk OMSK (WHO, 2004).

1. Ophthalmic antibiotic drops containing buffered neutral solutions of gentamicin, tobramycin,

sulfisoxazole, chloramphenicol, sulfacetamide, tetracycline, polymyxin B, trimethoprim, norfloxacin,

ofloxacin, ciprofloxacin and erythromycin

2. Various steroid drops such as hydrocortisone, fluocinolone and triamcinolone

3. Powdered sulfanilamide 4. Powdered fungizone 5. Powdered sulfathiazole.

Kegagalan terapi antimikroba topikal hampir selalu kegagalan

penyampaian. Secara khusus, kegagalan penyampaian menggambarkan

ketidakmampuan antibiotik topikal yang tepat untuk mencapai lokasi tertentu

infeksi dalam telinga tengah. Berbagai elemen dapat menghambat pengiriman obat, termasuk debris infeksius, jaringan granulasi, kolesteatoma, neoplasia,

(55)

menyeluruh untuk menilai obstruksi anatomi, termasuk pemeriksaan mikroskopis dan radiologis yang diperlukan. Selain itu, pemahaman yang jelas tentang konsentrasi yang sangat tinggi dari antibiotik dalam persiapan topikal

[image:55.595.105.521.224.464.2]

harusdiingat (Roland, 2013).

Tabel 2.6. Pengobatan antibiotik parenteral untuk OMSK (WHO, 2004).

1. Penicillins: Carbenicillin, piperacillin, ticarcillin, mezlocillin, azlocillin, methicillin,

nafcillin, oxacillin, ampicillin, penicillin G

2. Cephalosporins: Cefuroxime, cefotaxime, cefoperazone, cefazolin,

Ceftazidime

3. Aminoglycosides: Gentamicin, tobramycin, amikacin

4. Macrolides: Clindamycin

5. Vancomycin

6. Chloramphenicol

7. Aztreonam

Tabel 2.7. Pengobatan antiseptik topikal untuk OMSK (WHO, 2004). Boric acid

Zinc peroxide powder Iodine powder

Dilute acetic acid drops, such as Domeboro solution or Vosol Alum acetate or Burow's solution

Spirit eardrops BPC containing industrial methylated spirit and water

b. Operatif

(56)

sel-sel udara mastoid, granulasi dan debris menggunakan instrumen bedah mikro.

Tympanoplasti merupakan penutupan perforasi timpani dengan cangkok

jaringan lunak dengan atau tanpa rekonstruksi rantai tulang pendengaran

(WHO, 2004). 2.3.9. Prognosis

Menurut Baumann (2011) dalam penelitiannya, diperoleh hasil bahwa tidak ada perbedaan pada penilaian HR-QOL (Health-Related Quality Of Life) pasien OMSK mesotimpani dengan epitimpani. Meskipun begitu, tidak ada perburukan pada pasien dengan intervensi baik operasi bedah awal maupun lanjutan.

Menurut Roland (2013), OMSK sendiri bukanlah penyakit fatal. Pasien OMSK memiliki prognosis yang baik sehubungan dengan pengendalian infeksi.

Pemulihan terkait gangguan pendengaran bervariasi tergantung pada

penyebabnya. Gangguan pendengaran konduktif seringsebagian dapat dikoreksi

dengan operasi.

Sebagian besar morbiditas dari OMSK berasal dari terkait gangguan

pendengaran konduktifdanstigmasosialcairanyang seringmengalir daritelinga

yang terkena. Angka kematian dari OMSK muncul dari komplikasi intrakranial yang terkait. Bakteri yang diperoleh dari cairan serebrospinal dan spesimen nanah pasien dengan komplikasi intrakranial kebanyakan menunjukkan flora

campuran (62,9%). Spesies Proteus paling sering ditemukan (34%) dan bakteri

anaerob sebanyak 21,3% dari spesimen. Abses mastoid terjadi di lebih dari separuh pasien dalam kelompok dengan komplikasi. Abses otak (57,4%)

merupakan komplikasi intrakranial palingsering (Rupa, 1991). 2.3.10. Komplikasi

(57)

paralisis nervus fasialis, trombosis sinus lateralis, labirinitis, meningitis dan abses otak (WHO, 2004).

Komplikasi dari otitis media kronis akan minimal jika diberikan penanganan dengan antibiotik. Namun, akan ada akibat yang fatal jika infeksi terus berlanjut mengenai tulang mastoid sehingga terjadi meningitis, serta abses epidural, subdural, dan serebral (Rubin, 2014). Menurut Elango (1991) dalam WHO (2004), komplikasi mastoiditis kronis juga dapat terjadi secara luas.

Menurut Mawson (1979) dan Shenoi (1987) dalam WHO (2004), erosi pada dinding dari kavum telinga tengah yang jarang, dapat menjadi pemicu terpaparnya nervus fasialis, bulbus jugularis, sinus lateralis, labirin membranosa, dan dura lobus temporal. Selanjutnya, dapat terjadi paralisis nervus fasialis, trombosis, labirinitis, meningitis, dan abses otak. Selain itu, dapat terjadi ketulian. Ketulian dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu tuli kondukktif dan tuli sensorineural. Saluran mekanosensitif yang tersumbat di stereosilia pada sel rambut dapat menyebabkan sel berdegenerasi, sehingga terjadi tuli sensorineural dan abormalitas fungsi vestibula. Kerusakan sel rambut luar akibat pajanan terus-menerus juga dapat menyebabkan hal ini.

2.4. Hipersensitifitas

(58)
[image:58.595.151.462.177.363.2]

terdepoosit di jaringan yang akan mengaktivasi komplemen dan memicu datangnya leukosit. Pada resksi hipersensitivitas tipe IV, antibodi

Gambar 2.6 Klasifikasi Rinitis Alergi menurut lama dan keparahan gejala. Sumber: Small (2007) dan Bousquet et al. (2008)

tidak termasuk namun limfosit T dan makrofag yang berperan menghasilkan sekresi produk yang akan menyebabkan kerusakan sel (Shames, 1997).

2.5. Rinitis

Rinitis digolongkan berdasarkan etiologi terdiri atas: dimediasi-IgE, otonom, infeksius, dan idiopatik. Berikut adalah pembagian dari rinitis.

Tabel 2.8. Klasifikasi rinitis berdasarkan etiologi Description

Ig-E-mediated (allergic)

- Ig-E mediated inflammation of the nasal mucose, resulting in eosinophilic and Th-2 cell infiltration of the nasal lining - Further classified as intermittent or persistent

Autonomic - Drug-induced (rhinitis medicamentosa) - Hypothyroidism

- Hormonal

[image:58.595.106.521.556.745.2]
(59)

infection

Idiopatic Etiology cannot be determined

[image:59.595.112.510.286.570.2]

Dulunya rinitis alergi digolongkan menjadi musiman dan menahun. Tetapi, tidak semua pasien cocok dengan klasifikasi tersebut (Lee, 2009). Sehingga, sekarang rinitis alergi digolongkan berdasarkan durasi gejala yang terjadi (kadang-kadang dan terus-menerus) dan keparahannya (ringan, sedang-berat) (Jean, 2008).

Tabel 2.9. Rinitis Alergi dan Non-alergi (Mastin, 2003)

2.5.1. Rinitis Alergi

(60)

2.5.2. Rinitis Non-Alergi

Diagnosa rinitis non alergi ditegakkan sesudah menyingkirkn kemungkinan alergi. Penyebab yang umum antara lain: rinitis vasomotor, rinitis hormonal, rinitis nonalergi dengan sindrom eosinofilia, rinitis yang berhubungan dengan pekerjaan (subtipe iritan), rinitis gustatori, rinitis medikamentosa, dan rinitis yang diinduksi oleh obat (Quiller, 2006).

Banyak penyakit imunologis tidak hanya diperantarai hanya satu, namun banyak jenis reaksi hipersensitifitas, rinitis salah satunya. Rinitis merupakan inflamasi pada membran mukosa pada kavum nasalis dan sinus. Penyebabnya bervariasi, mulai dari commmon cold sampai infeksi lain yang jarang terjadi, seperti difteri dan antraks. Menurut Rubin (2014), beberapa jenis rinitis antara lain:

1. Rinitis viral. Penyebab yang banyak menyebabkan rinitis akut adalah infeksi virus, khusunya common cold. Virus tersebut menggandakan diri di sel epitel, menyebabkan peluruhan sel. Mukosa terlihat edema dan akan terjadi penumpukan sel neutrofil dan mononuklear. Secara klinis, pembengkakan mukosa terasa seperti hidung yang sumbat. Sekresi mukus yang banyak meningkatkan permeabiitas pembuluh darah sehingga terjadi rinorhea. Rinitis viral juga dapat diikuti infeksi sekunder oleh flora normal hidung dan faring. Keluarnya cairan seosa yang banyak dapat berubah menjadi mukopurulen. Lalu, epitel sel akan berdegenerasi cepat setelah masa inflamasi selesai.

2. Rinitis kronis. Rinitis akut yang berulang dapat menjadi rinitis kronis. Deviasi septum nasalis sering menjadi faktor pencetus. Pada riniris kronis biasanya terjasi penebalan mukosa nasalis akibat hiperemis berkepanjangan, hiperplasia kelenjar mukus, dan infiltrasi sel plasma.

(61)

2.6. A n a t o m i

[image:61.595.135.514.138.453.2]

H i d u n g

(62)
[image:62.595.120.484.67.652.2]

Gam bar 2.8. Arte ri Kav um Nasa lis (Nett er, 2011)

(63)
[image:63.595.129.465.372.550.2]

Hidung dari luar terdiri atas bagian tulang keras dan tulang rawan yang ditutupi oleh jaringan kulit dan lemak fibrosa. Kavitas nasalis dibagi menjadi kiri dan kanan oleh septum nasalis yang tersusun atas lempeng yang tegak lurus yaitu tulang etmoid, kartilago septalis dan vomer. Meatus superior menerima bukaan dari sel udara etmoid posterior. Bukaan ke meatus medialis melalui sinus frontalis dan maksilaris juga bagian depan dan tengah sel udara etmoid. Bagian atas kavum nasalis diperdarahi oleh cabang etmoidal dari arteri oftalmikus, cabang arteri karotis interna. Cabang sfenopalatum arteri maksilaris, cabang dari arteri karotis eksterna, memperdarahi bagian bawah kavum nasalis. Di dalam vestibulum hidung, pada septum anteroposterior berhubungan dengan cabang septalis arteri fasialis. Vena berjalan ke bawah menuju vena fasialis dan ke atas menuju cabang etmoid dari vena oftalmikus (Ellis, 2006).

Gambar 2.10. Septum Nasal (Elli

Gambar

Tabel 3.1. Variabel dan Pengukuran
Tabel 3.2. Interpretasi Scoring For Allergic Rhinitis. SFAR telah
Tabel 5.1 Distribusi subyek penelitian menurut umur
Tabel 5.3 Hasil pengukuran SFAR pada kasus OMSK dan kontrol
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilakukan pada respoden dengan masa post partum antara hari 10 sampai hari ke 40 post partum ditemukan jumlah kuman terendah dan masih didapatnya kuman

Sesuai Berita Acara Hasil Pengadaan Langsung Kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo Tahun Anggaran 2017, Nomor: 13/08.SAL.KAR/2017, Tanggal 31 Agustus 2017, kami

Sesuai Berita Acara Hasil Pengadaan Langsung Kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo Tahun Anggaran 2017, Nomor: 13/07.KEN.NGA/2017, Tanggal 28 Juli 2017, kami

Sesuai Berita Acara Hasil Pengadaan Langsung Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Sukoharjo Tahun Anggaran 2017, Nomor: 06.6/ PP/V/2017, Tanggal 19 Mei 2017,

[r]

[a,Pf,Af,e,Perf]=sim(net,P,[],[],T) yang dimasukkan pada aplikasi Matlab dari input dan target data pengujian. Nilai Error diperoleh dari : Target-Output. Jumlah SSE adalah total

minuman beralkohol menjadi bermasalah jika dikonsumsi dalam jumlah yang banyak karena akan. menimbulkan efek yang

Pada perusahaan kedai kopi apik menunjukan ada korelasi antara kualitas produk dan kualitas pelayanan dengan kepuasan konsumen, sedangkan untuk kualitas lokasi