• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI: KESIMPULAN DAN SARAN

6.2 Saran

Kepada Pemerintah:

1. Diharapkan kebijakan penetapan Harga Referensi Daerah (HRD) jagung Sumatera Utara sama halnya dengan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) pada beras karena HRD yang berlaku saat ini tidak terdapat dasar hukum yang menyatakan ketersediaan pemerintah membeli jagung petani apabila harga jagung berada di bawah HRD jagung Sumatera Utara. Hal ini mengakibatkan apabila harga jagung berada di bawah HRD maka petani harus menerima harga yang berlaku meskipun berada di bawah HRD jagung Sumatera Utara.

2. Agar pemerintah mengeluarkan peraturan yang jelas mengenai penanggulangan harga jagung melalui peraturan yang mengikat.

3. Agar pemerintah memasukkan seluruh komponen biaya produksi dan keuntungan petani yang diharapkan dalam menganalisis dan menetapkan nilai HRD jagung Sumatera Utara sehingga harga yang berlaku di pasaran tidak merugikan petani produsen.

4. Agar pemerintah Provinsi Sumatera Utara sebaiknya melakukan sosialisasi ke daerah-daerah mengenai penerapan HRD jagung Sumatera Utara dan penerapannya harus berdampak bagi petani jagung di seluruh daerah di Sumatera Utara.

Kepada Petani:

1. Diharapkan petani lebih memperhatikan kadar air jagung pipil sesuai dengan standar yaitu sebesar 17%.

2. Diharapkan petani melakukan grading dimana jagung pipil yang rusak sebaiknya tidak dicampur dengan jagung pipil yang baik .

3. Agar petani mencari informasi harga jagung yang berkembang agar mendapatkan harga yang sesuai.

Kepada Peneliti:

1. Diharapkan peneliti selanjutnya mampu menganalisis nilai Harga Referensi Daerah (HRD) jagung Sumatera Utara yang seharusnya sesuai biaya produksi yang dikeluarkan petani jagung dan keuntungan yang diharapkan yaitu sebesar 30% (tiga puluh persen).

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA

PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1 Tinjauan Pustaka

Harga merupakan salah satu faktor yang sulit dikendalikan. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah mengenai hal ini tetapi tetap saja harga masih menjadi masalah, malah berkembang lagi menjadi masalah nomor wahid bagi petani. Kebijaksanaan mengenai harga biasanya merupakan wewenang pemerintah yang diturunkan dalam bentuk peraturan dan keputusan pejabat berwenang.

Kebijaksanaan diambil dengan tujuan untuk melindungi petani dan menstabilkan perekonomian. Untuk mencapai tujuan-tujuan ini, pemerintah baik di pusat

maupun di daerah mengeluarkan peraturan-peraturan tertentu; ada yang berbentuk Undang - Undang, Peraturan - Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur dan lain-lain (Daniel, 2004).

Kebijaksanaan pertanian adalah serangkaian kegiatan yang telah, sedang dan akan dilaksanakan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu. Adapun tujuan umum kebijaksanaan pertanian adalah memajukan pertanian, mengusahakan agar pertanian menjadi lebih produktif, produksi dan efisiensi produksi naik dan akibatnya penghidupan petani yang lebih tinggi dan kesejahteraan yang lebih sempurna (Mubyarto, 1989).

Peraturan-peraturan itu pada dasarnya dapat dibagi dua yaitu kebijaksanaan yang bersifat pengatur (regulating police) dan pembagian pendapatan yang lebih adil

misalnya peraturan dalam perdagangan/distribusi pupuk, sedangkan contoh

peraturan yang bersifat mengatur pembagian pendapatan adalah penentuan harga (Mubyarto, 1989).

Dasar penetapan harga adalah hubungan antara input dan output dalam proses produksi suatu komoditas. Harga-harga komoditas yang ditetapkan biasanya menyangkut barang-barang pokok atau kebutuhan utama masyarakat, komoditas pangan, komoditas industri serta komoditas yang mempunyai fungsi strategis lainnya (Daniel, 2004).

Salah satu kebijakan harga adalah kebijakan harga referensi daerah (HRD) untuk komoditas jagung. Harga Referensi Daerah (HRD) merupakan harga minimum pembelian jagung di tingkat petani yang disepakati sebesar biaya produksi ditambah margin/keuntungan petani sebesar 30% (tiga puluh persen). HRD ini digunakan sebagai acuan bagi petani produsen dan pelaku tata niaga jagung sehingga tidak merugikan petani (Ketapang SUMUT, 2012).

Pertimbangan dalam penetapan kesepakatan Harga Referensi Daerah (HRD) Jagung tahun 2012 di Provinsi Sumatera Utara adalah (Ketapang SUMUT, 2012): 1. Hasil Rapat Koordinasi; tanggal 15 Februari 2012 di Ruang Rapat Kenanga

Kantor Gubernur Sumatera Utara, tanggal 20 Februari 2012 di Badan Ketahanan Pangan Provinsi Sumatera Utara dan tanggal 22 Februari 2012 di Ruang Rapat Kenanga Kantor Gubernur Sumatera Utara yang dihadiri oleh Dinas/Instansi terkait, Tim Teknis Dewan Ketahanan Pangan Provinsi Sumatera Utara, Akademisi, Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT) dan Himpunan Petani Jagung Indonesia (HIPAJAGIN).

2. Hasil analisa usahatani jagung tahun 2012 oleh petani (HIPAJAGIN) Kabupaten Karo sebesar Rp 1641/Kg apabila ditambah margin keuntungan 30% dari biaya produksi, maka harga jual jagung pipilan kering di tingkat petani adalah Rp 2133/Kg.

Kebijaksanaan harga dalam bentuk peraturan yang diatur oleh pemerintah adalah kebijaksanaan harga dasar atau harga lantai (floor price) dan harga tertinggi atau harga atap (ceilling price). Harga dasar diperlukan untuk menjaga agar harga pasar pada saat panen tidak turun, supaya produsen bisa menerima hasilnya sesuai dengan harga yang telah ditetapkan tersebut. Sebaliknya, harga atap (harga maksimum) tetap diperlukan khususnya pada musim-musim paceklik, saat persediaan produksi terbatas. Sehingga dengan demikian kebijaksanaan harga dimaksudkan untuk melindungi produsen dari tekanan pasar (Daniel, 2004)

Dalam setiap aktivitas usaha di sektor pertanian atau agribisnis maka usaha tersebut selalu dihadapkan dengan situasi ketidakpastian (uncertainty) dan risiko (risk). Faktor ketidakpastian dan resiko merupakan faktor eksternalitas yaitu faktor yang sulit dikendalikan oleh produsen. Sumber ketidakpastian yang penting adalah fluktuasi produksi (output) dan fluktuasi harga. Adanya faktor ketidakpastian dan resiko ini menyebabkan produsen cenderung enggan memperluas usahanya (Soekartawi, 1993).

Dilihat dari segi ekonomi pertanian, keberhasilan produksi/panen petani pada tingkat harga yang diterima untuk hasil produksinya tersebut merupakan faktor yang sangat mempengaruhi perilaku kehidupan petani. Harga menjadi hal penting

yang diharapkan petani terutama ada beberapa persoalan yang biasanya dihadapi oleh petani antara lain (Rahim, 2008):

1. Pendapatan petani hanya diterima setiap musim panen sedangkan pengeluaran harus diadakan setiap hari, setiap minggu atau kadang-kadang dalam waktu yang sangat mendesak sebelum panen.

2. Petani hanya dapat menyimpan hasil panen yang besar untuk dijual sedikit demi sedikit pada waktu keperluannya tiba. Namun, karena padatnya penduduk maka lahan milik petani menjadi sangat sempit sehingga hasil bersih tidak cukup untuk hidup layak sepanjang tahun.

3. Pengeluaran yang besar kadang-kadang tidak dapat diatur dan ditunggu sampai panen tiba misalnya kematian dan pesta kawin. Dalam hal tersebut petani sering menjual tanaman pada saat masih hijau di sawah atau di kebun. Penjualan tersebut biasa disebut ijon sehingga harga yang diterima jauh lebih rendah.

4. Petani memiliki keperluan besar, misalnya memperbaiki rumah, membeli pakaian atau sepeda. Hal itu hanya dapat dipenuhi pada masa panen. Namun, umumnya harga hasil pertanian rendah saat panen. Jika hal itu terjadi, sebenarnya petani mengalami dua kali terpukul, yaitu pertama harga hasil panen rendah dan kedua petani harus menjual lebih banyak untuk mencapai uang yang diperlukan.

Telah banyak usaha yang dilakukan pemerintah Indonesia sejak masa orde baru hingga saat ini untuk meningkatkan produksi pertanian dan sekaligus memperbaiki tingkat kesejahteraan petani lewat berbagai macam program seperti intensifikasi, ekstensifikasi, diversifikasi produksi dan rehabilitasi. Namun

pengalaman selama ini menunjukkan bahwa bagaimanapun bagusnya konsep-konsep yang mendasari semua program tersebut, selama harga jual yang diterima petani tidak turut diperbaiki oleh pemerintah, usaha-usaha pemerintah tersebut tidak akan membawa hasil yang optimal. Artinya volume produksi mungkin akan meningkat, tetapi jauh di bawah target yang diharapkan, atau sama sekali tidak ada respons dari petani dalam bentuk peningkatan produksi (Tambunan, 2003). Solusi yang dapat diberikan untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut adalah melalui pembuatan suatu regulasi pertanian dengan mengusahakan stabilitas harga dan pendapatan petani antara musim yang satu dengan musim lainnya dari tahun ke tahun. Harga dan pendapatan yang rendah akan mengurangi semangat petani berproduksi. Stabilisasi harga dan pendapatan serta ekonomi pada umumnya tidak lepas dari tujuan menciptakan iklim usaha yang baik dalam kegiatan ekonomi, baik dalam bidang pertanian maupun non-pertanian (Rahim, 2008).

Rangsangan ekonomi dalam bentuk tingkat harga yang menguntungkan merupakan faktor paling penting bagi petani untuk meningkatkan produksinya, seperti juga berlaku bagi setiap produsen di sektor-sektor lain. Petani pada akhirnya akan merasa tidak ada untungnya memperluas lahan garapan, menerapkan teknologi baru, memakai pupuk yang berkualitas baik tetapi dengan harga lebih mahal daripada pupuk organik, dan melakukan diversifikasi produksi apabila semua itu tidak menambah penghasilannya. Dalam kata lain, harga merupakan faktor utama, sementara intensifikasi, ekstensifikasi, diversifikasi produk dan rehabilitasi hanyalah merupakan faktor-faktor penunjang untuk

dia mau menambah produksinya atau tidak, karena dia yang melakukan produksi bukan pemerintah atau pihak lain (Tambunan, 2003).

Harga merupakan faktor utama seperti yang dimaksud di atas. Oleh karena itu, kebijakan menaikkan output pertanian bisa berhasil lewat pemberian insentif harga. Pemerintah harus mengetahui betul bagaimana respons suplai di sektor pertanian terhadap perubahan harga. Tentu, respon ini berbeda menurut jenis komoditi dan bahkan antar petani di dalam kategori tanaman yang sama. Hal ini, tergantung pada tujuan petani melakukan kegiatan bertani dan kondisi ekonominya. Besarnya respon penawaran terhadap perubahan harga juga sangat penting bagi pembuat-pembuat kebijakan dalam mengevaluasi kebijakan. Pembuat-pembuat kebijakan juga dapat mengetahui apakah penetapan kebijakan harga yang lebih tinggi di tingkat petani dapat menaikkan atau sebaliknya mengurangi produksi (Tambunan, 2003).

2.2Landasan Teori

Harga adalah sejumlah uang yang harus diberikan seseorang untuk memperoleh barang dan jasa (Abdullah.N.S, 1995). Sedangkan Winardi (1998) mengemukakan bahwa harga adalah nilai tukar sesuatu benda atau jasa yang dinyatakan dalam bentuk uang (Anonimus1, 2012). Sedangkan harga jual adalah nilai yang

dibebankan kepada pembeli atau pemakai barang atau jasa. Menurut

Mulyadi (2001) harga jual adalah total biaya ditambah laba memadai yang diharapkan (Anonimus2, 2012).

Faktor terpenting dalam pembentukan harga adalah kekuatan permintaan dan penawaran. Permintaan dan penawaran akan berada dalam keseimbangan pada harga pasar jika jumlah yang diminta sama dengan jumlah yang ditawarkan .

Terjadinya peningkatan harga akan membawa keuntungan atau surplus bagi produsen (petani). Untuk mencari besarnya surplus produsen harus menggunakan garis penawaran (supply). Teori surplus produsen adalah ukuran keuntungan yang diperoleh produsen karena mereka beroperasi pada suatu pasar komoditi. Keuntungan akan diperoleh produsen karena harga yang terbentuk di pasar melebihi harga yang ditawarkan pada tingkat penjualan tertentu. Sebenarnya produsen bersedia menjual barangnya di bawah harga keseimbangan tetapi dengan kompensasi barang yang ditawarkan lebih sedikit dari jumlah barang yang ditawarkan pada kondisi setimbang (Joesron dan Fathorrozi, 2003) .

Konsumen akan mendapatkan surplus apabila harga yang diperkirakan lebih tinggi dari harga keseimbangan pasar (harga yang terjadi di pasar). Artinya adalah bahwa harga dalam kondisi keseimbangan pasar lebih rendah dari harga yang mampu dibayarkan oleh konsumen untuk sebuah barang. Besarnya surplus tentu saja bergantung pada berapa banyak yang akan dibeli konsumen dikalikan dengan selisih harga (Putong, 2005).

Besarnya surplus konsumen dan surplus produsen dapat dilihat pada grafik 2.1. Daerah Surplus Konsumen Daerah Surplus Produsen

Grafik 2.1 menunjukkan bahwa harga yang terjadi di pasar adalah Po. Harga ini ditentukan oleh permintaan dan penawaran di pasar yang ditunjukkan secara grafik oleh titik potong antara garis BS dan garis AD. Harga Po inilah yang harus dibayarkan oleh konsumen. Selisih antara harga optimal dengan harga yang harus dibayar merupakan sumber surplus bagi konsumen. Besarnya surplus ini dihitung dari perbedaan harga dikalikan dengan kuantitas pembeliannya. Apabila dijumlahkan untuk semua konsumen akan diperoleh keseluruhan surplus konsumen yang ditunjukkan daerah AEPo. Apabila harga yang berlaku di pasar lebih tinggi dari harga kesediaan minimal tersebut, produsen memperoleh surplus. Disebut surplus karena pada tingkat harga yang lebih rendahpun sudah mencerminkan kedudukan terbaik (optimal) bagi produsen. Besarnya surplus produsen sama dengan besarnya perbedaan harga tersebut dikalikan dengan kuantitas yang berhasil dijualnya pada harga Po. Bila semua surplus produsen dijumlahkan besarnya secara grafik dicerminkan oleh daerah BEPo. Besarnya

Grafik 2.1. Surplus Konsumen dan Surplus Produsen P A Po 0 S D Qo Q (Kuantitas) Harga Pasar B E

surplus konsumen dan produsen ini sangat penting diketahui untuk mengetahui pengaruh dari berbagai kebijaksanaan pemerintah terhadap kesejahteraan masyarakat (Sudarsono, 1995).

Komoditas pertanian bersifat khas yaitu disatu sisi sangat dibutuhkan akan tetapi disisi lain permintaannya bersifat inelastis dimana harga tidak berpengaruh besar terhadap permintaan. Oleh karena itu, besar kemungkinan produsen komoditas petanian disatu sisi akan banyak mengalami kerugian karena harga tidak berpengaruh besar pada permintaan. Pemerintah seringkali mengambil kebijakan untuk melindungi bagian dari masyarakat yang menderita. Hal ini tidak hanya berlaku pada beras/padi, melainkan juga untuk produk-produk pertanian/perkebunan lainnya. Kebijaksanaan dalam hal ini dapat dibagi dalam beberapa golongan, antara lain (Putong, 2005):

1. Pembatasan Jumlah Produk/Areal Produksi (Crop Restriction)

Kalau harga hasil pertanian terlalu rendah, maka untuk melindungi para petani ada kalanya jumlah areal dikurangi, untuk tiap petani ditentukan suatu kuota areal. Dengan demikian penawaran hasilnya turun dan harga produk naik. Dengan jalan ini konsumen menjadi korban karena ia harus membayar harga yang lebih mahal dan mendapat produk/barang yang kurang. Petani produsen menerima harga yang lebih mahal tetapi menjual dengan jumlah yang kurang. Apakah keadannya lebih baik atau lebih buruk, tergantung kepada elastisitas permintaan. Jika permintaan bersifat inelastis ditunjukkan pada grafik 2.2.

Dari grafik dapat dilihat bahwa permintaan adalah inelastis dimana hasil diturunkan oleh OS ke OS’, maka harga dari SE ke S’E’ atau dari OA ke OB. Jumlah hasil penjualan (revenue) yang diterima petani produsen mula-mula sebesar OSEA kemudian menjadi OS’E’B. Disini dapat dilihat bahwa bidang I yang hilang lebih kecil daripada bidang II yang diterima sebagai tambahan oleh petani sehingga para petani menerima hasil penjualan (revenue) yang lebih besar dan pembatasan jumlah produksi ini menguntungkan mereka. Ditambah lagi, karena produksinya turun, biaya (cost) nya juga turun sehingga revenue (profit) lebih tinggi (Kadariah, 1994).

Jika permintaan elastis dapat dilihat pada grafik 2.3. P B A 0 S’ S Q D R S’ S E E’ II I

II

I

Dari grafik dapat dilihat bahwa permintaan adalah elastis dimana hasil turun dari OS ke OS’, maka harga naik dari SE ke S’E’ atau dari OA ke OB. Jumlah yang diterima para petani produsen mula-mula sebesar OSEA, kemudian menjadi OS’E’B. Bidang I yang lebih besar daripada bidang II ditambahkan sehingga

petani menerima hasil penjualan (revenue) yang lebih kecil (selisih sebesar bidang I – bidang II). Jika selisih ini lebih besar daripada turunnya biaya produksi

(karena turunnya produksi) maka net revenue (profit) petani turun sehingga jumlah produksi ini merugikan petani. Jadi kebijaksanaan areal (produksi) ini harus melihat elastisitas permintaan. Konsumen tentu dirugikan, produsen belum tentu untung.

2. Penentuan Harga Dasar (Floor Price) dan Pembelian Kelebihan Hasil oleh Pemerintah

Pemerintah dapat menjamin kepada petani suatu tingkat harga yang lebih tinggi dari harga ekuilibrium dengan menggunakan price floor dimana tingkat harganya

Grafik 2.3 Permintaan Elastis P B A 0 S’ S Q D R S’ S E E’

produksi terbeli oleh konsumen. Sisanya dibeli oleh pemerintah dengan harga

floor price untuk ditimbun, jika tidak demikian maka harga akan turun kembali ke

tingkat semula (Kadariah, 1994).

Berikut ini akan dijelaskan penentuan harga dasar (price floor) dan pembelian kelebihan hasil oleh pemerintah pada grafik 2.4:

Dari grafik 2.4 dapat dilihat bahwa jumlah yang ditawarkan adalah OS dan harga

ekuilibrium adalah SE = OA. Jika tidak ada kebijaksanaan pemerintah,

penerimaan total (total revenue) petani produsen adalah OSEA. Setelah pemerintah menentukan floor price setinggi OB, maka jumlah yang dibeli konsumen turun sampai OS’. Sisanya sebesar SS’ dibeli oleh pemerintah dengan harga dasar (floor price) (Kadariah, 1994).

Grafik 2.4 Penentuan Harga Dasar (Floor Price) dan Pembelian Kelebihan Hasil Oleh Pemerintah

P B A 0 S’ S Q D S’ S E E’ F Floor Price

3. Pemerintah Menyupsidi Selisih antara Harga yang Dibayar Konsumen dan Floor Price

Pada kebijaksanaan ini kepada petani dijamin suatu harga dasar tetapi karena komoditas tersebut merupakan bahan makanan yang penting sekali untuk kehidupan masyarakat seperti beras maka tidak boleh bahan tersebut sampai busuk dalam timbunan dan harus dijual kepada konsumen dengan tingkat harga di pasar (harga ekuilibrium). Jadi konsumen tetap membayar harga ekuilibrium yang rendah dan mendapat jumlah yang terjual pada tingkat harga itu, sedang produsen menerima harga floor price yang dicantumkan oleh pemerintah juga untuk jumlah yang dibeli oleh konsumen. Selisih antara harga ekuilibrium dan floor price ini dibayar pemerintah berupa subsidi kepada petani. Disini konsumen tidak dirugikan (Kadariah, 1994).

Dari grafik 2.5 dapat dilihat bahwa jumlah yang dihasilkan adalah jumlah yang dibeli oleh konsumen = OS. Konsumen membayar harga ekuilibrium SE=OA.

Grafik 2.5 Pemerintah Menyupsidi Selisih antara Harga yang Dibayar Konsumen dan Floor Price

P B A 0 S Q D S E F Floor Price

dijamin pemerintah dan harga yang dibayar oleh konsumen adalah EF = AB. Subsidi pemerintah ini merupakan biaya bagi kebijaksanaan ini ialah sebesar AEFB.

4. Harga Atap (Ceilling Price)

Harga atap (ceilling price) adalah harga yang tertinggi yang diperbolehkan oleh pemerintah yang biasanya ditetapkan untuk melindungi konsumen jika harga

ekuilibrium yang terjadi di pasaran terlalu tinggi. Hal ini sering terjadi pada waktu

jumlah produksi/penawaran kurang, umpamanya pada waktu paceklik atau gagal panen.

Dari grafik dapat dilihat bahwa apabila diserahkan kepada mekanisme pasar maka harga (ekuilibrium) terjadi pada titik E yaitu setinggi OA. Pada tingkat harga ini yang dapat membeli komoditas hanyalah orang-orang yang mampu (kaya atau berpenghasilan tinggi) sedangkan orang-orang yang berpenghasilan rendah tidak dapat membeli. Untuk menolong orang-orang yang tidak mampu ini harga

Grafik 2.6 Harga Tertinggi (Ceilling Price) P A C 0 Q S D S T E Ceilling Price R

ditentukan lebih rendah daripada harga ekuilibrium misalnya OC. Dengan demikian maka akan terjadi excesss demand sebesar RT yang dapat menimbulkan perebutan barang. Jika pemerintah akan melakukan kebijaksanaan stabilisasi harga dengan melakukan kombinasi antara harga dasar (floor price) dan harga tertinggi (celling price) seperti pada grafik 2.7

Dari grafik 2.7 dapat dilihat apabila pemerintah mengadakan stabilisasi harga sebuah komoditas dengan mempertahankan harga pada tingkat OB maka pada waktu panen jika penawaran adalah SS pada gambar (a) dan harga ekuilibrium adalah SE=OA, pemerintah membeli sebanyak SS’ dengan harga OB (floor price) sehingga penawaran di pasar menjadi S’S’ dan ekuilibrium terdapat pada titik E’ pada harga OB, gambar (a).

Paceklik P A’ B 0 S Q S’ D S S’ E” E’ Ceilling Price (b) Panen P B A 0 S’ S Q D S’ S E E’ Floor Price (a)

Grafik 2.7 Kombinasi Harga Dasar (Floor Price) dengan Harga Atap/Tertinggi (Ceilling Price)

Pada waktu paceklik, jika penawaran menurun menjadi SS pada gambar (b) dan harga di pasar setinggi SE = OA’ maka komoditas yang ditimbun pemerintah pada waktu panen dilempar ke pasar sehingga penawaran menjadi S’S’ pada gambar (b) dan ekuilibrium terdapat pada titik E, pada harga OB (ceilling price). Dengan demikian maka harga dapat dipertahankan pada tingkat harga yang sama sepanjang tahun.

Penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual. Pernyataan tersebut dapat dinyatakan dalam rumus sebagai

berikut (Rahim, 2008):

= �

dimana :

TR = Total Penerimaan (Total Reveniew) Y = Hasil produksi

Py = Harga Y

Produksi dapat didefinisikan sebagai hasil dari suatu proses atau aktivitas ekonomi dengan memanfaatkan beberapa masukan (input). Dengan demikian kegiatan produksi tersebut adalah mengkombinasikan berbagai masukan untuk menghasilkan keluaran (Agung, 2008).

Fungsi produksi merupakan suatu fungsi yang menunjukkan hubungan antara hasil fisik (output) dengan faktor-faktor produksi (input). Dalam bentuk

matematika sederhana, fungsi produksi ini dituliskan sebagai berikut (Daniel,2004):

Y = f (X1 , X 2, ,…….., X n ) dimana :

Y = hasil fisik

X1…X n = faktor-faktor produksi

Dalam produksi pertanian hubungan fungsinya sebagai berikut (Daniel,2004): P = f (A, C, L, M)

dimana : P = produksi A = faktor alam

C = faktor modal (capital) L = faktor tenaga kerja (labor) M = manajemenmeramalkan

Biaya usahatani biasanya diklasifikasikan menjadi dua, yaitu (a) Biaya tetap (fixed

cost); dan (b) Biaya tidak tetap (variable cost). Biaya tetap ini umumnya

didefinisikan sebagai biaya yang relatif tetap jumlahnya, dan terus dikeluarkan walaupun produksi yang diperoleh banyak atau sedikit. Jadi besarnya biaya tetap ini tidak tergantung pada besar-kecilnya produksi yang diperoleh. Contohnya pajak. Biaya untuk pajak tetap dibayar walaupun hasil usahatani itu besar atau gagal sekalipun.

Disisi lain biaya tidak tetap atau biaya variabel didefinisikan sebagai biaya yang besar kecilnya dipengaruhi oleh produksi yang diperoleh. Contohnya biaya untuk sarana produksi. Kalau ingin produksi yang tinggi, maka tenaga kerja perlu

berubah-ubah tergantung dari besar kecilnya produksi yang diinginkan (Soekartawi, 1995).

Penerimaan usahatani merupakan perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual. Pernyataan tersebut dapat dinyatakan dengan rumus sebagai berikut (Rahim, 2008):

TR = Y x Py dimana :

TR : Total penerimaan

Y : Produksi yang diperoleh dalam suatu usahatani Py : Harga Y

Pendapatan usahatani merupakan selisih antara penerimaan dan semua biaya. Pendapatan meliputi pendapatan kotor atau penerimaan total dan pendapatan bersih. Pedapatan kotor atau penerimaan total adalah nilai produksi komoditas pertanian secara keseluruhan sebelum dikurangi biaya produksi. Pendapatan bersih usahatani dapat dirumuskan sebagai berikut:

� = −

dimana:

Pd = Pendapatan bersih usahatani TR = Total Penerimaan (total reveniew) TC = Total Biaya (total cost)

2.3Kerangka Pemikiran

Dalam penelitian ini akan dianalisis bagaimana dampak penetapan harga referensi daerah (HRD) jagung Sumatera Utara terhadap harga jual dan pendapatan petani di Kabupaten Dairi. Harga Referensi Daerah (HRD) Jagung Sumatera Utara dibentuk pada tahun 2008 yang kemudian diperbaharui pada tahun 2012. HRD

jagung mengalami kenaikan pada tahun 2012 yaitu sebesar Rp 533 dari Rp 1.600/Kg pada HRD 2008 menjadi Rp 2.133/Kg .

Dengan membandingkan antara HRD Jagung Sumatera Utara tahun 2012 dengan harga jual petani (harga aktual) maka akan diperoleh perbedaan antara HRD tahun 2012 dengan harga yang diterima petani di pasaran (harga aktual) tahun 2012. Adanya HRD ini berpengaruh terhadap harga jual petani sebab HRD merupakan harga minimum pembelian jagung di tingkat petani yang disepakati sebesar biaya

Dokumen terkait